Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola asuh orang tua


2.1.1. Pengertian pola asuh
Menurut Hurlock (dalam Pratiwi, 2015) pola asuh adalah pola sikap
atau perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya yang memiliki
pengaruh terhadap kepribadian anak. Pengertian pola asuh dalam
penelitian ini diartikan sebagai sikap, prilaku atau tindakan tertentu
yang berkenaan dengan orang tua, dalam mendidik anak-anaknya.

Pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan
orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan fisik dan psikologis
tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar dapat
hidup selaras dengan lingkungan.Pola asuh orang tua merupakan
salah satu faktor penting dalam mengembangkan ataupun
menghambat tumbuhnya kreativitas. Seorang anak yang dibiasakan
dengan suasana keluarga yang terbuka, saling menghargai, saling
menerima dan mendengarkan pendapat anggota keluarganya, maka
ia akan tumbuh menjadi generasi yang terbuka, fleksibel, penuh
inisiatif dan produktif, suka akan tantangan dan percaya diri
(Rachmawati, 2011)

Perilaku kreatif dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Lain


halnya jika seorang anak dibesarkan dengan pola asuh yang
mengutamakan kedisplinan yang tidak dibarengi dengan toleransi,
wajib menaati peraturan, memaksakan kehendak, yang tidak
memberikan peluang bagi anak untuk berinisiatif, maka yang muncul
adalah generasi yang tidak memiliki visi masa depan, tidak punya
keinginan untuk maju dan berkembang, siap berubah dan beradaptasi
dengan baik, terbiasa berpikir satu arah (linier), dan lain sebagainya

9
10

(Rachmawati, 2011).

Masing-masing pola asuh orang tua yang ada, akan memberikan


pengaruh yang berbeda terhadap pembentukan kepribadian dan
perilaku anak. Orang tua merupakan lingkungan terdekat yang selalu
mengitari anak sekaligus menjadi figur dan idola mereka. Model
perilaku orang tua secara langsung maupun tidak langsung akan
dipelajari dan ditiru oleh anak. Anak meniru bagaimana orang tua
bersikap, bertutur kata, mengekspresikan harapan, tuntutan dan
kritikan satu samalain, menanggapi dan memecahkan masalah serta
mengungkapan perasaan dan emosinya (Yusuf, 2013 dalam
Amperiana, 2014).

Menurut pendapat Baumrind (dalam Amperiana, 2014),


menyebutkan tiga tipe pola asuh: otoriter, otoritatif/demokratis, dan
permisif. Otoriter (authoritarian parenting) menetapkan aturan atau
standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak
boleh dipertanyakan, demokratis atau otoritatif (authoritative
parenting) menekankan menghormati individualitas anak,
mendorong anak agar belajar mandiri, namun orang tua tetap
memegang kendali atas anak, pola asuh permisif (permisif parenting)
dapat dikatakan sebagai pola asuh tanpa penerapan disiplin pada
anak (Atkinson et al, 2012 dalam Amperiana, 2014).

Orang tua adalah orang-orang yang mempunyai tugas untuk


mendefinisikan apa yang baik dan apa yang dinggap buruk oleh
anak. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai
dengan norma tingkah laku yang diterima di keluarga dan
masyarakat. Pola asuh merupakan pola pengasuhan yang berlaku
dalam keluarga, interaksi antara orang tua dan anak selama
mengadakan kegiatan pengasuhan.Kegiatan pengasuhan dilakukan
11

dengan mendidik, membimbing, memberi perlindungan, serta


pengawasan terhadap anak.Pengalaman dan pendapatindividu
menjadikan perbedaan penerapan pola asuh orang tua terhadap anak
(Hartati, 2012 dalam Fatimah 2013).

Pola asuh orang tua dalam perkembangan anak adalah sebuah cara
yang digunakan dalam proses interaksi yang berkelanjutan antara
orang tua dan anak untuk membentuk hubungan yang hangat dan
memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan anak yang
meliputi perkembangan motorik halus, motorik kasar, bahasa dan
kemampuan sosial sesuai dengan tahap perkembangannya (Supartini
dalam Kurniawati dkk, 2011 dalam Fatimah, 2013).

2.1.2. Dimensi Pola Asuh Orangtua


Menurut Singgih Krishendaryanto yang dikutip oleh Isti Nurwidayati
(2012: 10) terdapat beberapa dimensi yang muncul dari proses pola
asuh yang dilakukan orangtua, diantaranya adalah:
2.1.2.1.Penolakan terhadap anak
Sikap penolakan akan mendorong orangtua untuk cenderung
tidak mengurusi anaknya atau lebih bersikap keras dan kejam
kepada anak. Penolakan orangtua akan memberikan dampak
yang buruk pada perkembangan dan proses tingkah laku
dikemudian hari. Menurut Y. Singgih D Gunarsa dan Singgih
D Gunarsa (1985: 122) menyatakan bahwa, sikap penolakan
yang dilakukan oleh orang tua akan berakibat sebagai
berikut:
a. Anak merasa tidak aman serta tidak merasa bahwa
dirinya masuk dalam hitungan keluarga dan mengalami
kecemasan yang sangat.
b. Penolakan secara terang-terangan terhadap anak, akan
menjadikan anak agresif, menaruh dendam, mudah
12

tersinggung, berbohong, serta mencari perhatian dengan


cara yang aneh.
c. Penolakan yang diselubungi oleh sikap perlindungan
yang luar biasa akan mengakibatkan anak bertingkah laku
patuh, pemalu, suka menyindir, sukar bergaul dengan
teman sebaya, dan selalu ingin dipuji.
2.1.2.2. Pemanjaan berlebihan
Pemanjaan yang diberikan orangtua kepada anak merupakan
salah satu bagian hubungan antara orangtua dan anak yaitu
dengan cara memberikan kasih sayang dan perhatian. Namun
jika pemanjaan yang diberikan orangtua terlalu berlebihan,
maka akan mengakibatkan anak dapat mengalami gangguan
dalam laju pertumbuhan menuju kedewasaan nanti.
2.1.2.3. Hubungan hangat
Hubungan yang hangat sangat diperlukan oleh setiap anak
dari orangtuanya. Hubungan hangat ini merupakan
perwujudan rasa kasih sayang orangtua terhadap anaknya.
Menurut Y. Singgih D Gunarsa dan Singgih D Gunarsa
(1985: 35) menyatakan bahwa hubungan yang hangat dan
erat antara orangtua dan anak, berbicara, memberikan tugas-
tugas yang praktis merupakan kegiatan intruktif yang dapat
membantu memacu perkembangan serta kemampuan anak.
Hubungan hangat antara orangtua dan anak akan menjadikan
anak berkembang dengan baik.
2.1.2.4.Pilih kasih atau anak emas
Pilih kasih terjadi karena orangtua merasa anak yang satu
memiliki kelebihan dari anak yang lainya. Salah satu
penyebab terjadinya pilih kasih karena adanya gangguan
emosional yang menjadikan adanya anak favorit keluarga.
Tanpa disadari, perlakuan pilih kasih akan berakibat anak
mengalami hambatan dalam perkembangan jiwa terutama
13

adanya kecemburuan, dan mudah tersinggung. Pilih kasih


dapat mempengaruhi perkembangan mental anak. Anak yang
mendapat kasih sayang yang kurang akan menjadi pendiam
dan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungan sekitar.
2.1.2.5.Kebebasan
Aktivitas yang dilakukan oleh anak dapat dipengaruhi oleh
pola asuh orangtua yang diberikan. Kebebasan yang diberkan
orangtua kepada anaknya juga merupakan pembelajaran bagi
anak bagaimana bersosialisasi dengan orang lain maupun
lingkungan sekitar.
2.1.2.6.Kemandirian
Harapan orangtua terhadap anak salah satunya adalah agar
kelak anak dapat hidup mandiri. Proses dalam melatih
kemandirian dipengaruhi oleh pola asuh orangtua terhadap
anaknya. Anak sedikit banyak belajar dari kebiasaan orang
disekitarnya terutama orangtua sebangai orang terdekat
dengan anak. Oleh karena itu kemandirian anak banyak
dipengaruhi oleh kebiasaan orangtua.

2.1.3. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua


Pola asuh merupakan proses di dalam keluarga, interaksi orang tua
dan anak. Pola asuh diterapkan sejak anak lahir dan disesuaikan
dengan usia serta tahap perkembangan (Hartati, 2012 dalam Fatimah,
2013).
2.1.3.1.Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter cenderung menetapkan standar yang
mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-
ancaman.Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah,
dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa
yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak
14

segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak


mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya
bersifat satu arah. Orang tua tipe ini akan memerlukan umpan
balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang


penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar
menantang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah,
cemas dan menarik diri. Pola asuh otoriter, orang tua
melakukan kontrol ketat terhadap perilaku anak dengan
menentukan seluruh kebijaksanaan, banyak memberi
perintah, anak tidak boleh memberikan pendapat dan
mengkritik, anak harus mengikuti pendapat dan keinginan
orang tua. Jadi kekuasaan mengatur prilaku anak sepenuhnya
terletak pada orang tua. Banyak orang tua yang menerapkan
pola asuh otoriter karena mereka sangat takut jika anaknya
berbuat kesalahan. Banyak orang tua yang mengeluh
mengenai anaknya yang sulit diatur atau tidak mau menurut.

Beberapa orang tua langsung bereaksi keras melarang


anaknya bila melihat anak mulai melakukan hal-hal yang
berbahaya atau tidak berkenan di hati orang tua.Pelarangan
ini tidak keliru, karena tidak ada orang tua yang
menginginkan anaknya mengalami hal-hal yang
membahayakan bagi dirinya. Tapi pelarangan tadi tidak
efektif mencegah anak untuk tidak melakukan perbuatan
yang dilarang itu, walaupun mematuhinya biasanya hanya
bersifat sementara.

Bila orang tuanya tidak mengawasinya, anak akan kembali


melakukannya. Hal seperti ini sebetulnya lebih berbahaya
15

karena anak akan melakukannya secara diam-diam sehingga


tidak lagi terpantau oleh orang tua. Dan pada akhirnya
berbohong merupakan cara efektif bagi anak untuk
menghindari kemarahan orang tua, apabila ketahuan atau
tertangkap basah melakukan kesalahan tersebut.

Pola asuh ini bersifat memaksa, keras dan kaku, dimana


orang tua akan marah jika anak melakukan sesuatu yang
tidak. Dalam pola asuh ini, hukuman mental dan fisik akan
sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus
tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang
telah membesarkannya

Ciri-cirinya antara lain orang tua bertindak keras,


memaksakan disiplin, memberikan perintah dan larangan
anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak
boleh membantah orang tua, orang tua disini sangat berkuasa.
2.1.3.2.Pola asuh otoritatif/demokratis
Pola asuh otoritatif/demokratis adalah jenis pola asuh yang
mana orang tua memberi kebebasan kepada anak untuk
berkreasi dan mengeksoplorasi berbagai hal, tentu dengan
batasan dan pengawasan yang baik dari orang tua. Pola asuh
ini dianggap sesuai dan baik untuk diterapkan oleh orang tua.
Anak yang diasuh dengan pola asuh ini akan hidup ceria,
menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada
orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik,
disukai lingkungan dan masyarakat.

Menurut pendapat Hurlock (dalam Pratiwi, 2015)


mengemukakan pola asuh demokratis adalah pola asuh yang
dicirikan sebagai orang tua yang melihat pada pentingnya
16

anak mengetahui mengapa suatu peraturan dibuat, anak juga


diberi kesempatan untuk berbicara atau memberi alasan
ketika melanggar peraturan. Hukuman yang diberikan
tergantung pelanggarannya dan bersifat mendidik. Selain itu,
orang tua juga memberikan hadiah dalam bentuk pujian
ketika anak berperilaku baik. Anak yang mendapat pola asuh
demokratis, mereka akan tumbuh sebagai pribadi yang
mampu mengendalikan diri secara umum dan memiliki
konsep diri yangpositif.

Menurut (Amperiana ,2014) mengemukakan bahwa pola asuh


demokratis merupakan jenis pola asuh yang paling
mendukung kepribadian anak masa kini. Orang tua dengan
pola asuh demokratis akan memberikan kehangatan,
perhatian, kasih sayang, dukungan, dan arahan bagi anak
untuk melakukan hal-hal yang berguna.

Jenis pola asuh ini memiliki ciri-ciri orang tua dalam


menentukan peraturan terlebih dahulu mempertimbangkan
dan memperhatikan keadaan, perasaan dan pendapat anak,
musyawarah dalam mencari jalan keluar suatu permasalahan,
hubungan antar keluarga saling menghormati, adanya
hubungan yang harmonis antara anggota keluarga, adanya
komunikasi dua arah, memberikan bimbingan dengan penuh
pengertian.
2.1.3.3.Pola asuh permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola asuh yang mana orang
tua bersikap cuek terhadap anak. Pola ini dapat disebut juga
sebagai pola pembiaran.Karena dalam pola ini orang tua
membiarkan apapun yang dilakukan oleh anaknya.Misalnya
tidak mau sekolah, tidak pulang ke rumah, atau pulang sesuka
17

hati, memiliki pergaulan bebas dan negatif dan sebagainya


(Fatimah, 2013).

Penyebab dari jenis pola asuh ini adalah karena orang tua
terlalu sibuk dengan pekerjaannya atau urusan lainnya
sehingga tidak memiliki waktu untuk mendidik dan
mengasuh anaknya dengan baik. Anak-anak hanya diberi
materi atau harta, terserah anak mau tumbuh dan berkembang
seperti apa. Bila orang tua menerapkan jenis pola asuhini,
maka anak akan merasa tidak berarti, rendah diri, liar dan
nakal (Fatimah, 2013)

Pola asuh permisif atau pemanja biasanya orang tua


memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa
melakukan pengawasan yang cukup darinya. Orang tua tipe
ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh
anak. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakterisik
anak-anak yang impulsif, agresif, tidak patuh, manja, kurang
mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan
kurang matang secara sosial (Fatimah,2013).

Pola asuh permisif ini muncul karena adanya kesenjangan


atas pola asuh. Namun disisi lain, orang tua tidak tahu apa
yang seharusnya dilakukan terhadap putra putri mereka,
sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-
anak mereka kepada masyarakat dan media massa yang ada.
Sambil berharap suatu saat akan terjadi suatu keajaiban yang
datang untuk menyulap anak - anak mereka sehingga menjadi
pribadi yang soleh dan soleha (Fatimah,2013).
18

Pola asuh permisif yang cenderung memberikan kebebasan


terhadap anak untuk berbuat apa saja yang tidak kondusif
bagi pembentukan karakter anak. Bagaimanapun anak tetap
memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal mana
yang baik dan mana yang salah. Dengan memberikan
kebebasan yang berlebihan, apalagi terkesan membiarkan,
akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah. Pola
asuh permisif mempunyai ciri diantaranya, dominasi terhadap
anak, sikap longgar atau kebebasan dari orang tua,tidak ada
bimbingan dan pengarahan dari orang tua, kontrol dan
perhatian orang tua sangat kurang (Fatimah, 2013).

Anak-anak yang dimanja akan tumbuh menjadi generasi yang


kurang percaya diri, cengeng dan tidak survive dalam
menghadapi masalah, lambat untuk dewasa, mudah dibujuk
serta ditipu dan kurang dapat menghargai orang lain dan
kurang memiliki kepedulian sosial. (Fatimah, 2013). Ciri-ciri
pola asuh Permisif ditandai dengan adanya sikap orang tua
yang mengalah dan menerima, selalu menuruti kehendak
anak, memberikan penghargaan yang berlebihan, mengalah
dan selalu memberikan perhatian yang berlebihan (Fatimah,
2013)

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua


2.1.4.1.Usia orang tua
Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin
bertambah umur semakin bertambah pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki mengenai perilaku yang sesuai
untuk mendidik anak. Anak-anak dengan orang tua usia muda
akan mendapatkan pengawasan yang lebih longgar karena
dalam diri orang tua usia muda cenderung memiliki sifat
19

toleransi yang tinggi dan memaklumi terhadap anak. Usia ibu


muda juga dapat mempengaruhi sumber daya yang tersedia
untuk anak (Wong, 2012)
2.1.4.2.Jenis kelamin orangtua
Perbedaan gender diantara orang tua akan ikut berpengaruh
dalam cara mereka mengasuh anak, hal ini mungkin
disebabkan karena realisasi perbedaan dalam bagaimana
mereka berpikir dan berperilaku. Diantara ayah dan ibu,
keduanya memiliki keinginan untuk melakukan apa yang
menurut mereka benar untuk memaksimalkan potensi anak-
anak mereka. Misalnya seorang ibu ingin putrinya menjadi
lebih tegas dan mahir dalam bersosialisasi dan seorang ayah
ingin anaknya menjadi, lebih fleksibel, tumbuh dengan tegas
dan berkepribadian kuat (Wong, 2012).
2.1.4.3.Pendidikan dan wawasan orangtua
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta
pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak.
Pendidikan akan memberikan dampak bagi pola pikir dan
pandangan orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua
yang memiliki tingkat pendidikan dan wawasan yang tinggi
akan memperhatikan dan merawat anak sesuai dengan usia
perkembangannya dan akan menunjukkan penyesuaian
pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan membuat anak
memiliki pandangan positif terhdap orang lain dan
masyarakat (Wong,2012).
Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika ibu memiliki
pengetahuan yang lebih tinggi terhadap perkembangan anak,
mereka menunjukkan tingkat keterampilan pengasuhan yang
lebih tinggi, anak-anak mereka memiliki kemampuan kognitif
yang lebih tinggi dan sedikit masalah perilaku (Wong,2012)
20

2.1.4.4.Kondisi sosial ekonomi orang tua


Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang
dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan
sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh
yang sesuai dengan perkembangan anak. Untuk anak-anak
yang hidup dalam kemiskinan, watak yang terbentuk akan
lebih keras karena faktor-faktor lain dalam lingkungan sosial
anak di samping orang tua telah ditemukan memiliki dampak
pada perkembangan anak (Wong,2012). Suatu penelitian
tahun 2010 menunjukkan ada pola pengasuhan yang berbeda
antara orang tua berdasarkan status ekonominya. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa orang tua yang telah
mendapatkan penghasilan lebih dari 40.000 ribu/bulanan
memiliki skor yang lebih tinggi untuk pola asuh permisif dari
orang tua berpenghasilan rendah.
2.1.4.5.Kondisi psikologi orang tua
Psikologis orang tua juga mempengaruhi cara orang tua
dalam mengasuh anak, orang tua yang rentan terhadap emosi
negatif, baik itu depresi, lekas marah, cenderung berperilaku
kurang peka dan lebih keras dari Orang tua lainnya.
Karakteristik kepribadian orang tua juga berperan dalam
mempengaruhi emosi yang mereka alami, kognitif dan
atribusi yang berdampak pada perkembangan kepribadian
anak (Wong,2012)
2.1.4.6.Pengasuh pendamping
Orang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah dan
memiliki lebih banyak waktu di luar rumah, seringkali
mempercayakan pengasuhan anak kepada nenek, tante atau
keluarga dekat lain. Bila tidak ada keluarga tersebut maka
biasanya anak dipercayakan pada pembantu (babysitter).
Dalam tipe keluarga seperti ini, anak memperoleh jenis
21

pengasuhan yang kompleks sehingga pembentukan


kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh
orang tua (Wong, 2012)
2.1.4.7.Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan
oleh masyarakat dalam mengasuh anak.Karena pola-pola
tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah
kematangan.Orang tua mengaharapkan kelak anaknya dapat
diterima di masyarakat dengan baik.Oleh karena itu
kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh
anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan
pola asuh pada anaknya (Wong, 2012).

2.1.5 Cara mengukuran pola asuh


pola asuh diukur dengan menggunakan sebuah kuesioner yang sesuai
Dimensi Pola Asuh Orang tua menurut Singgih Krishendaryanto
yang dikutip oleh Isti Nurwidayati (2012: 10) dengan empat tipe
pilihan sesuai dengan skala likert yaitu Selalu (SL), Sering (S),
Kadang-Kadang (KK), Tidak Pernah (TP), masing-masing diberi
nilai 1 sampai 4.
Tabel 2.3 Penghitungan Skor dengan Skala Likert
Favorable Unfavorable
NO Jawaban Skor Jawaban Skor

1 Selalu (SL) 4 Selalu (SL) 1

2 Sering (S) 3 Sering (S) 2


3 Kadang-Kadang 2 Kadang-Kadang 3
(KK) (KK)
4 Tidak Pernah 1 Tidak Pernah (TP) 4
(TP)
22

Selanjutnya dibedakan menjadi 3 kategori yaitu tinggi, sedang dan


rendah, yaitu
a. Tinggi jika skor 80-120
b. Sedang jika skor 40-79
c. Rendah jika skor 0-39

Adapun Dimensi Pola Asuh yang digunakan sebagai alat ukur


antara lain :

1. Penolakan terhadap anak


2. Pemanjaan berlebihan
3. Pilih kasih
4. Hubungan hangat
5. Kebebasan
6. Kemandirian

2.2. Pengertian Siswa Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus menurut Krik, Heward, Orlansky (dalam
Mohammed Effendi, 2009) adalah anak yang dianggap memiliki
penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal, baik dalam hal fisik,
mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan
dengan anak-anak secara umum atau rata-rata seusianya.Seorang anak
dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau
bahkan lebih dari dirinya (Dedi Kustawan dan Yani Meimulyani,
2013).
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus menurut Dedy Kustawan
(2013) adalah sebagai berikut :
a. Tunanetra
b. Tunarungu
c. Tunawicara
d. Tunagrahita
23

e. Tunalaras
f. Autis

2.2.1. Anak berkebutuhan khusus (tuna grahita)


Adalah anakyang dengan karakteristik khusus yang mempunyai kelainan
dalam pertumbuhan dan perkembangan pada mental intelektual atau
kecerdasan yang terganggu sejak bayi atau sejak masa kandungan,
yang disebabkan oleh faktor biologis maupun faktor fungsional (Moh
Efendi, 2009). Adakalanya disertai dengan cacat fisik dengan ciri-ciri
dan klasifikasi sebagai berikut:
Ciri-ciri anak Tuna Grahita antara lain :
1. Kecerdasan sangatterbatas.
2. Ketidakmampuan sosial yaitu tidak mampu mengurus diri
sendiri,sehingga selalu memerlukan bantuan oranglain.
3. Keterbatasan minat.
4. Daya ingat lemah.
5. Emosi sangat labil.
6. Apatis, acuh tak acuh terhadapsekitarnya.
7. Kelainan fisik, khusus jenis mongoloid, seperti badan bungkuk, tampak
tidak sehat, muka datar, telinga kecil, badan terlalu kecil, kepala terlalu
besar, mulut melongo, dan matasipit.
Penyandang Tunagrahita (cacat ganda) adalah seorang yang mempunyai
kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang tertanggu,
adakalanya cacat mental dibarengi dengan cacat fisik sehingga disebut
cacat ganda misalnya, cacat intelegensi yang mereka alami disertai
dengan keterbelakangan mental penglihatan (cacat pada mata).
2.2.2. Menurut (Moh Efendi, 2009) Anak Tuna grahita memiliki tiga
klasifikasi, yaitu sebagai berikut :
2.2.2.1 Tunagrahita Ringan (Debil)
Anak tunagrahita ringan (Debil) atau biasa disebut mampu didik
adalah anak yang memiliki kemamuan intelektual cenderung
24

cerdas. Biasanya tampang atau kondisi fisiknya tidak berbeda


dengan anak normal lainnya, mereka mempunyai IQ kisaran 50-
70. Mereka masuk kelompok anak mampu didik karena
mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis,
dan berhitung. Anak tunagrahita ringan biasanya
bisamenyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SDumum.
2.2.2.2 Tunagrahita Sedang (Imbesil)
Anak Tunagrahita sedang masuk kelompok anak mampu latih.
Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada
sebagian anak tunagarahita yang mempunyai fisik normal.
Kelompok anaktunagarhita ini mempunyai IQ antara 30-50.
Mereka biasanya menyelesaikan pendidkan setingkat kelas II SD
umum .Biasanya anak tunagrahita sedang (Imbesil) ini adalah anak
yang dalam proses pemebelajarannya cenderungsulit.
2.2.2.3 Tunagrahita Berat atau Idiot
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya, tidak
mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita
berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30
kebawah. Dalam kegiatan sehari-haripun mereka membutuhkan
bantuan dan pengawasan.

2.2.3. Perilaku anak tunagrahita


2.2.3.1.Karakteristik tingkah laku Tunagrahita Ringan (Debil)
Anak yang masuk kelompok Tunagrahita ringan (Debil) ini secara
tingkah laku masih bisa disamakan dengan anak-anak normal
lainnya, mereka masih bisa merespon sesuatu disekitarnya dengan
baik. Mereka masih bisa mengikuti pelajaran layaknya anak
normal baik menulis, membaca, maupun menghitung, walaupun
tidak sebaik respon anak normal lainnya. Penguasaan
bahasanyapun memadai dalam situasi tertentu.Mereka dapat
bergaul dengan baik dengan oranglain.
25

Adapun perilaku sosial yang ditampilkan anak tunagrahita


ringan dalam lingkungan keluarga diantaranya: egois,
pendiam, suka jajan. Sedangkan prilaku yang ditaampilkan
disekolah diantaranya: mudah bosan, suka mengganggu
teman, suka merampas kue orang. Di samping itu di lingkungan
masyarakat suka menampilkan prilaku: nakal, suka minta uang
(Somantri 2010).
2.2.3.2.Karakteristik tingkah laku Tunagrahita Sedang (Imbesil)
Anak ini termasuk kelompok anak yang hampir tidak bisa
mempelajari pelajaran-pelajaran akademik. Perkembangan
bahasanyajuga lebih terbatas dari pada anak tunagrahita ringan
(Debil). Mereka dapat berkomunikasi hanya dengan beberapa
kata. Mereka dapat membaca dan menulis, seperti namanya
sendiri, alamatnya, nama orang tuanya, dan lain-lain. Mereka
mengenalangka- angka tanpa pengertian. Namun mereka masih
mempunyai potensi untuk merawat diri sendiri, walaupun kadang
masihdiperlukanbantuanpengawasan padaanak tersebut. Anak
tunagrahita sedang ini masih bisa membedakan hal yang bahaya
dan tidak bahaya.
Perilaku anak tunagrahita sedang dalam keseharian dalam
keluarga diantaranya: egois, suka berbuat keributan, tidak mau
dilarang, tidak mau diam dam menyayangi anak kecil.
Sedangkan prilakudi lingkungan sekolah diantaranya: suka
berbuat keributan (mengganggu teman) diantaranya merebut
mainan temannya, mencoret buku temannya, merebut
kuetemannya,mengambil peralatan sekolah temannya. Kemudian
anak tunagrahita sedang juga memiliki sifat egois (tidak mau
melepaskan mainan), cepat bosan dalam belajar, pendendam
dan suka menggambar. Disamping itu prilaku yang ditampilkan
di lingkungan masyarakat diantaranya: suka mengganggu
teman,dan suka memaksakan kehendak (Somantri, 2010).
26

2.2.3.3. Karakteristik tingkah laku Tunagrahita Berat atauIdiot


Anak tunagrahita Berat atau Idiot jika dilihat dari segi perilaku
anak ini tidak dapat mebedakan bahaya dan bukan bahaya.
Anak ini selalu bergantung pada pada kehidupan orang lain
dan tidak bisa memelihara dirinya sendiri contohnya seperti
makan, minum,berpakaian,dan sebagainya.Mereka tidak dapat
bicara seperti layaknya normal, mereka hanya mampu
mengucapkan kata-kata atau tanda sederhana saja (Somantri,
2010).

2.3. Strategi Koping


Strategi koping (mekanisme koping) adalah cara berespon bawaan atau
dapatan terhadap perubahan lingkungan atau masalah atau situasi tertentu.
Strategi koping individu sering kali berubah dengan penilaian kembali
terhadap situasi. Koping dapat adaptif dan maladaptif, koping adaptif
membantu individu menghadapi stress dan meminimalkan distress yang di
akibatkannya secara efektif. Koping maladaptif dapat mengakibatkan
distress yang tidak seharusnya bagi individu dan orang lain (Kozier, 2010).
2.3.1. Jenis- jenis strategi koping
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Nasir & Muhith, 2011) secara
umum membedakan bentuk strategi koping ke dalam dua klasifikasi,
yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Carver,
Weintraub, dan Scheier (dalam Maryam, 2017) menjelaskan bahwa
problem focused coping digunakan untuk mengontrol hubungan yang
terjadi antara individu dengan lingkungan yang berorientasi pada
pemecahan masalah, pembuatan keputusan maupun dengan
menggunakan tindakan langsung serta strategi penyelesaian. Pada
emotional focused coping, tekanan emosional yang dialami individu
dikurangi atau diminimalkan tanpa mengubah kondisi objektif dari
peristiwa yang terjadi. Reaksi dari tekanan emosional tersebut dapat
berupa upaya menghindari, meminimalkan tekanan, membuat jarak,
27

memberi perhatian pada hal tertentu saja (selektif) atau memberi


makna positif terhadap situasi negatif. Selain itu, dapat pula berupa
usaha untuk mencari hal- hal terbaik dari masalah yang dihadapi,
memperoleh simpati dan pengertian dari orang lain, atau dengan cara
mencoba untuk melupakan peristiwa.
2.3.1.1.Koping yang berfokus pada masalah (problem focused
coping). problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres
dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi
dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya
tekanan. problem focused coping ditunjukan dengan
mengurangi demans dari situasi yang penuh dengan stres atau
memperluas sumber untuk mengatasinnya. Seseorang akan
cenderung menggunakan metode problem focused coping
apabila mereka percaya bahwa sumber atau demans dari
situasi dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem
focus coping antara lain sebagai berikut :
a. Confrontative coping : usaha untuk mengubah suatu
keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang
agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan
pengambilan resiko.
b. Seeking social support : usaha untuk mendapatkan
kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari
orang lain.
c. Planful problem solving : usaha untuk mengubah
keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang
hati-hati, bertahap dan analisis.
2.3.1.2.Emotional Focused Coping
Emotional focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres
dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan
oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
28

Emotional focused coping ditunjukan untuk mengontrol


repon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat
mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku
dan kongnitif. Strategi yang digunakan dalam emotional
focused coping, yaitu sebagai berikut :
a. Self-control
Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi
yang menekan.
b. Distancing
Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti
menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa
atau menciptakan pandangan –pandangan yang positif,
seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
c. Positive reap parsial
Usaha mencari suatu makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga
melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
d. Accepting responsibility
Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dari
permasalahan yang dihadapinya dan mencoba
menerimanya untuk membuat semuannya menjadi lebih
baik.
e. Escape/avoidance
Usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada
hal seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan
obat- obatan.
individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping
dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut mereka dapat
dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan
emotional focused coping dalam menghadapi masalah-masalah
29

yang menurutnya sulit dikontrol. Terkadang individu dapat


menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun
tidak semua strategi koping pasti digunakan oleh individu
(Taylor,1991 dalam Nasir dan Muhith, 2011).
2.3.1.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Strategi Koping
Taylor (2009) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang
mempengaruhi individu dalam melakukan strategi koping.
Kedua faktor tersebut terbagi ke dalam faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal
dari dalam diri individu, seperti karateristik sifat kepribadian
dan metode koping yang digunakan. Sedangkan faktor
eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu,
seperti: waktu, uang, pendidikan, kualitas hidup, dukungan
keluarga, dan sosial serta tidak adanya stresor lain.
Maryam (2017) menjelaskan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan individu dalam melakukan
koping, antara lain:
a. Kondisi kesehatan
Definisi sehat menurut WHO( dalam Maryam, 2009),
adalah suatu keadaan sejahtera atau status kenyamanan
menyeluruh yang meliputi fisik, mental, dan sosial yang
tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kondisi
kesehatan yang baik sangat diperlukan agar seseorang
dapat melakukan koping dengan baik sehingga berbagai
permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan
baik.
b. Konsep diri
Menurut Maramis ( dalam Maryam, 2009), apabila
individu memiliki konsep diri yang positif, maka masalah-
masalah yang dihadapi dapat disikapi dengan cara yang
positif di mana individu memiliki kesadaran bahwa setiap
30

masalah dapat diselesaikan dengan cara yang baik atau


bersangka baik. Namun, jika konsep diri yang negatif
muncul, maka hal yang dapat terjadi adalah adanya
pikiran, perasaan maupun perbuatan yang negatif dalam
menyikapi semua masalah yang dialami sehingga individu
dengan konsep diri negatif cenderung terlibat dengan
orang-orang yang dapat memunculkan masalah.
c. Kepribadian
Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan bahwa
individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung
memiliki penyesuaian kurang baik dengan dunia luar,
memiliki jiwa tertutup, sulit bergaul atau sulit
berhubungan dengan orang lain, serta kurang dapat
menarik hati orang lain. Individu introvert cenderung
menunjukkan sikap pesimis, lebih bermasalah dengan
fokus,cenderung menggunakan koping avoidance atau
penyangkalan dalam mengahadapi masalah. Sedangkan
individu tipe kepribadian extrovert cenderung lebih
terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain
lancar. Individu extrovert adalah individu yang memiliki
rasa optimis. Individu yang optimis akan lebih berantusias
untuk mencari pemecahan masalah karena yakin bahwa
semua masalah pasti ada jalan keluar asalkan mau berpikir
dan berusaha untuk mencoba.
31

2.3.2 Cara mengukuran strategi koping


Strategi koping diukur dengan menggunakan sebuah kuesioner
atau butir-butir pertanyaan yang sesuai dengan jenis - jenis
strategi koping menurut Moos dalam Brunner dan suddarth
(2002) dan Siswanto (2007) dengan empat tipe pilihan sesuai
dengan skala likert yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS), masing-masing diberi
nilai 1 sampai 4.
Tabel 2.3 Penghitungan Skor dengan Skala Likert
Favorable Unfavorable
NO Jawaban Skor Jawaban Skor

1 Sangat Setuju 4 Sangat Setuju 1


(SS) (SS)
2 Setuju (S) 3 Setuju (S) 2
3 Tidak Setuju 2 Tidak Setuju 3
(S) (S)
4 Sangat Tidak 1 Setuju Sangat 4
Setuju (STS) Tidak (STS)

Selanjutnya dibedakan menjadi 2 kategori yaitu adaptif dan


maladaptif, yaitu koping Adaptif jika skor 30-60 dan Maladaptif jika
skor 0-29
Adapun indikator strategi koping antara lain :
2.3.2.1 Meminta dukungan pada individu lain
Merupakan usaha individu dalam mencari dukungan
sosial sebagai bantuan yang berasal dari orang lain seperti
teman, tetangga, teman kerja dan orang – orang lainnya.
Bentuk dukungan ini dapat berupa informasi, tingkah laku
tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu
32

yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan


dan bernilai.
2.3.2.2 Melihat sesuatu dari segi positifnya
Memahami masalah dengan mengembangkan cara
berpikir positif yaitu berpikir, menduga, dan berharap
hanya yang baik tentang suatu keadaan atau tentang
seseorang. Sikap positif dapat tercermin dalam bertakwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa dan selalu memohon
pertolongan Tuhan setiap mengalami kesulitan, disiplin,
jujur, setia kawan, kekeluargaan, selalu menyelesaikan
tanggung jawab dengan baik, dan sebagainya.
2.3.2.3 Cendrung realistik Sifat seseorang yang cenderung untuk
berpikir yang penuh
perhitungan dan sesuai dengan kemampuan, sehingga
gagasan yang akan diajukan bukan hanya angan – angan
atau mimpi belaka tetapi sebuah kenyataan.
2.3.2.4 Menjauhi permasalahan dengan menyibukkan diri pada
aktivitas lain
Menjauhi permasalahan merupakan suatu
ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan diri.
Tawuran antar pelajar, mengambil hak milik orang lain
(mencuri, merampok, korupsi), penyalahgunaan obat
terlarang, dan seks bebas merupakan contoh perilaku
yang timbul karena ketidakmampuan dalam
mengendalikan diri dalam menyelesaikan suatu
permasalahan.
2.3.2.5 Menarik diri
Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang
lain karena suatu kondisi yang dialami, ditandai dengan
33

adanya usaha pembatasan hubungan dengan dunia luar


dan reaksi terbatas terhadap rangsang luar.
2.3.2.6 Cendrung bersifat emosional
Sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu
permasalahan dengan reaksi berlebihan, perilaku yang
kurang berkenan, marah, kecewa, atau dengan
melampiaskan kemarahan kepada orang – orang di
sekitarnya.

2.4 Keterkaitan Konsep Pola Asuh Dengan Konsep Strategi Koping


Orang Tua Yang Memiliki Anak Tunagrahita
Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh sebab itu pengawasan,
perhatian dan bimbingan sangat perlu diberikan sejak dini agar
memiliki dampak yang baik pada nantinya. Pola asuh orangtua yang
berupa perlakuan dan perhatian sangat dibutuhkan oleh anak-anak,
terutama bagi anak yang melangalami tunagrahita. Anak tunagrahita
tidak dapat hidup mandiri, masih memerlukan perhatian yang lebih dari
orangtua. Oleh karena itu orangtua perlu memberikan pola asuh yang
tepat dalam mengontrol, mengawasi, serta memperhatikan anaknya.
Orangtua adalah orang yang paling dekat dengan anak, maka
pertumbuhan dan perkembangan dari anak merupakan tanggung jawab
mereka seutuhnya. Perry (2004 dalam Ekantari, 2010) mengungkapkan,
bahwa salah satu beban fisik penyebab stres pada orangtua dari anak
retardasi mental berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam
melakukan aktivitas sehari-hari membuat orangtua khususnya ibu
harus selalu membantu dan mendampingi anak. Hal itu tentu saja
menyebabkan kelelahan fisik. Sedangkan psikis yang dirasakan
orangtua berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari rasa kaget,
kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak, serta tidak adanya dukungan
keluarga. Ditambah lagi dengan beban sosial di mana respon yang
negatif dari masyarakat membuat orang tua menjadi malu dan menarik
34

diri dari kehidupan sosial. Memiliki anak yang normal baik fisik
maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada
kenyataannya tidak semua pasangan dikaruniai anak yang normal,
dalam hal ini mengalami retardasi mental. Penantian akan hadirnya
anak dapat berubah menjadi suatu stresor. Hal ini lah yang dapat
memperungaruhi pola asuh orang tua itu sendiri, apa bila orang tua
tidak bisa mengimbangi dengan strategi koping yang tepat untuk
mengatasi stressornya maka akan sering menimbulkan ketidaksabaran
orang tua dalam mendidik anaknya. jika ketidaksabaran itu tidak di
manage dan dipahami dengan baik, alih alih anak tunagrahita tidak bisa
berkembang yang ada justru malah menimbulkan masalah baru
terutama bagi kejiwaan anak tunagrahita itu sendiri. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa strategi koping orang tua yang efektif/adaptif akan
menimbulkan pola asuh yang baik juga pada anak dengan tunagrahita.

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Strategi Koping Orang Tua


Pola Asuh Yang Memiliki Anak
Tunagrahita

Skema 2.1

2.6 Hipotesis
Hipotesis Penelitian Ini Adalah “Ada Hubungan Pola Asuh Dengan
Strategi Koping Orang Tua Yang Memiliki Anak Tunagrahita Di
SDLB Negeri Pelambuan Banjarmasin”.

Anda mungkin juga menyukai

  • Angka Kecelakaan
    Angka Kecelakaan
    Dokumen1 halaman
    Angka Kecelakaan
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Cover Askep PJK
    Cover Askep PJK
    Dokumen1 halaman
    Cover Askep PJK
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Cover LP
    Cover LP
    Dokumen1 halaman
    Cover LP
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Leaflet HT Kelompok 7
    Leaflet HT Kelompok 7
    Dokumen2 halaman
    Leaflet HT Kelompok 7
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • LP AKTIVITAS REevisi 2
    LP AKTIVITAS REevisi 2
    Dokumen3 halaman
    LP AKTIVITAS REevisi 2
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • CV
    CV
    Dokumen2 halaman
    CV
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Resume 2
    Resume 2
    Dokumen5 halaman
    Resume 2
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • TUTORIAL Maternitas
    TUTORIAL Maternitas
    Dokumen6 halaman
    TUTORIAL Maternitas
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Nefro
    Nefro
    Dokumen1 halaman
    Nefro
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • TUTORIAL Maternitas
    TUTORIAL Maternitas
    Dokumen6 halaman
    TUTORIAL Maternitas
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Bab 3 Fixs
    Bab 3 Fixs
    Dokumen18 halaman
    Bab 3 Fixs
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • TUTORIAL Maternitas
    TUTORIAL Maternitas
    Dokumen6 halaman
    TUTORIAL Maternitas
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 Fixs
    Bab 1 Fixs
    Dokumen8 halaman
    Bab 1 Fixs
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Fixs
    Kuesioner Fixs
    Dokumen4 halaman
    Kuesioner Fixs
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka Fixs
    Daftar Pustaka Fixs
    Dokumen4 halaman
    Daftar Pustaka Fixs
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Long Case
    Long Case
    Dokumen11 halaman
    Long Case
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Nefro
    Nefro
    Dokumen1 halaman
    Nefro
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • CKD
    CKD
    Dokumen13 halaman
    CKD
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Dops Skin Test
    Dops Skin Test
    Dokumen3 halaman
    Dops Skin Test
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Icu Askep CKD
    Icu Askep CKD
    Dokumen20 halaman
    Icu Askep CKD
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • LP TB
    LP TB
    Dokumen2 halaman
    LP TB
    Syarif Hidayatullah
    Belum ada peringkat
  • Askep CKD - 1
    Askep CKD - 1
    Dokumen14 halaman
    Askep CKD - 1
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen17 halaman
    Bab 3
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Iapp Jantung
    Iapp Jantung
    Dokumen4 halaman
    Iapp Jantung
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Sman 11
    Sman 11
    Dokumen4 halaman
    Sman 11
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Kimiagol5a Kelompok 5 XII IPA 2
    Kimiagol5a Kelompok 5 XII IPA 2
    Dokumen26 halaman
    Kimiagol5a Kelompok 5 XII IPA 2
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN PENDAHULUAN Angina Pektoris
    LAPORAN PENDAHULUAN Angina Pektoris
    Dokumen11 halaman
    LAPORAN PENDAHULUAN Angina Pektoris
    m.taufik hidayat
    100% (1)
  • Laporan Pendahuluan Gagal Jantung
    Laporan Pendahuluan Gagal Jantung
    Dokumen16 halaman
    Laporan Pendahuluan Gagal Jantung
    m.taufik hidayat
    Belum ada peringkat
  • Askep Hisprung
    Askep Hisprung
    Dokumen18 halaman
    Askep Hisprung
    Tohit Bagus
    Belum ada peringkat