Anda di halaman 1dari 20

STUNTING

Stunting sendiri merupakan sebuah masalah kesehatan di mana seorang bayi atau
anak-anak mengalami hambatan dalam pertumbuhan tubuhnya, sehingga gagal
memiliki tinggi yang ideal pada usianya.

Secara garis besar, masalah kesehatan ini disebabkan oleh kurangnya nutrisi
penting dalam tubuh, seperti lemak, karbohidrat dan protein. Dalam kasus ini, orang
tua seringkali menyalahkan artikan jika gemuk merupakan tanda bahwa anak
mereka sehat. Padahal, kegemukan di usia yang tidak wajar, pada dasarnya
merupakan gejala dari penyakit kurang gizi dan juga stunting itu sendiri.

Nah, berkaitan dengan itu, disini IDN Times akan membagikan sedikit informasi
mengenai 5 gejala dari stunting yang wajib diwaspadai. Tanpa perlu berlama-lama
lagi, berikut informasinya.

1. Kelelahan tanpa alasan yang jelas

videoblocks.com
Pada dasarnya, setiap anak yang didiagnosis mengalami stunting memiliki gejala
yang berbeda-beda. Namun, kelelahan tanpa alasan yang jelas menjadi salah satu
yang sering muncul dan terlihat dengan mudah.

Hormon tiroksin memegang peranan penting dalam pertumbuhan setiap manusia,


terlebih pada anak atau bayi, hormon yang satu ini sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan otak. Akan tetapi, jika hormon ini berada di titik terendahnya atau bisa
dikatakan gagal berkembang didalam tubuh, maka beberapa gejala akan muncul.

Beberapa diantaranya adalah kelelahan tanpa alasan yang jelas (yang menjadi
gejala paling umum bagi pengidap stunting), kulit kering dan juga masalah terhadap
tingkat kehangatan tubuh.

2. Mudah tersinggung atau marah

theodysseyonline.com

Stunting tidak hanya membuat hormon tiroksin menurun, namun juga mengganggu
hormon-hormon lainnya yang berdampak terhadap perilaku atau emosi. Bagi
seseorang yang mengidap stunting, mereka akan memiliki tingkat emosi yang tidak
stabil.
Dalam kasus ini, mudah marah dan tersinggung menjadi salah satu pelampiasan
emosi yang seringkali diperlihatkan. Selain itu, jika masalah yang satu ini sudah
terlihat, maka kemungkinan besar anak atau bayi yang memilikinya, akan menjadi
pribadi yang nakal dan susah diatur, lantaran tingkat kestabilan emosinya yang tidak
dapat terjaga dengan baik.

Satu yang pasti, butuh kesabaran ekstra bagi para orang tua jikalau anak mereka
sudah memperlihatkan gejala semacam ini.

3. Kurangnya respon sosial yang memadai

chestnuthilllocal.com

Sejak dini, orang tua selalu diajarkan untuk bisa memberikan arahan atau
pembelajaran terhadap anak-anak mereka. Mulai dari bagaimana cara melakukan
sejumlah hal kecil seperti menaruh benda hingga berbicara sekata dua kata sebagai
bentuk dari bersosialisasi.
Nah, jika para orang tua yang membaca artikel ini mendapati anak atau bayi mereka
mengalami respon sosial yang tergolong kurang, maka itu harus diwaspadai dan
juga segera ditangani. Kurangnya respon sosial yang memadai di usia yang masih
sangat dini (2-3 tahun), pada faktanya merupakan satu dari sekian banyaknya gejala
stunting.

Jika sudah seperti ini, orang tua sangat disarankan untuk melakukan pendekatan
persuasif.

4. Tubuh gagal berkembang di usia di bawah dua tahun

defeatdd.com

Pertumbuhan yang mulai terhambat atau tidak bisa menjadi lebih tinggi, terutama di
usia di bawah dua tahun, merupakan gejala awal sekaligus makna dari stunting itu
sendiri. Gejala yang satu ini butuh penanganan yang cepat dan tepat. Jika tidak,
maka gejala tubuh gagal berkembang dengan baik ini, akan 'tumbuh' menjadi
stunting yang sangat merugikan dan itu semua tidak dapat diatasi lagi kedepannya.

Untuk mengetahui apakah bayi atau anak mengalami gejala tubuh gagal
berkembang, bisa dilihat melalui beberapa tanda berikut. Seperti, berat badan yang
sulit untuk naik, mudah terkena infeksi atau penyakit dan telat mengalami
menstruasi pertama (khusus anak perempuan).

5. Wajah menjadi tampak lebih muda di usianya

popsugar.com

Sebagian besar indikasi atau gejala stunting muncul dengan fakta bahwa segala
pertumbuhan umum pada anak menjadi terhambat atau gagal berkembang. Tak
hanya tinggi badan dan juga berat badan, kondisi kulit atau wajah juga ikut
terdampak. Seorang anak atau bayi yang didiagnosis memiliki stunting, akan
memiliki wajah yang terlihat lebih muda di usianya.

Berbeda dengan gagal berkembangnya tinggi badan yang menjadi gejala awal,
wajah terlihat lebih muda merupakan gejala akhir dari stunting. Gejala yang satu ini
ibarat pisau bermata dua, sebab di satu sisi sangat mudah dikenali atau
diperhatikan, namun di sisi lain, lumayan sulit untuk ditangani atau dicegah lantaran
waktu kemunculannya yang cenderung terlambat.

Itu tadi beberapa informasi terkait gejala-gejala dari stunting yang patut diwaspadai.
Pada faktanya, meski gejala stunting umumnya terlihat ketika balita, segala hal
penyebab stunting sebenarnya sudah muncul atau terjadi sejak bayi masih di dalam
kandungan. Maka dari itu, para orang tua terutama ibu, sangat disarankan untuk
selalu memperhatikan jenis makanan hingga pola makan ketika masih mengandung.

Tak cuma ibu atau orang tua saja, kita sebagai generasi millennial juga wajib sadar
betul bahwa stunting sangat berbahaya untuk masa depan kesehatan Indonesia.
Oleh karena itu, jadilah generasi #MillennialBEST yang sadar betul akan pentingnya
perilaku hidup bersih dan sehat.

Stunting sendiri merupakan sebuah masalah kesehatan di mana seorang bayi atau
anak-anak mengalami hambatan dalam pertumbuhan tubuhnya, sehingga gagal
memiliki tinggi yang ideal pada usianya.

Secara garis besar, masalah kesehatan ini disebabkan oleh kurangnya nutrisi
penting dalam tubuh, seperti lemak, karbohidrat dan protein. Dalam kasus ini, orang
tua seringkali menyalahkan artikan jika gemuk merupakan tanda bahwa anak
mereka sehat. Padahal, kegemukan di usia yang tidak wajar, pada dasarnya
merupakan gejala dari penyakit kurang gizi dan juga stunting itu sendiri.

Nah, berkaitan dengan itu, disini IDN Times akan membagikan sedikit informasi
mengenai 5 gejala dari stunting yang wajib diwaspadai. Tanpa perlu berlama-lama
lagi, berikut informasinya.
1. Kelelahan tanpa alasan yang jelas

videoblocks.com

Pada dasarnya, setiap anak yang didiagnosis mengalami stunting memiliki gejala
yang berbeda-beda. Namun, kelelahan tanpa alasan yang jelas menjadi salah satu
yang sering muncul dan terlihat dengan mudah.

Hormon tiroksin memegang peranan penting dalam pertumbuhan setiap manusia,


terlebih pada anak atau bayi, hormon yang satu ini sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan otak. Akan tetapi, jika hormon ini berada di titik terendahnya atau bisa
dikatakan gagal berkembang didalam tubuh, maka beberapa gejala akan muncul.

Beberapa diantaranya adalah kelelahan tanpa alasan yang jelas (yang menjadi
gejala paling umum bagi pengidap stunting), kulit kering dan juga masalah terhadap
tingkat kehangatan tubuh.
2. Mudah tersinggung atau marah

theodysseyonline.com

Stunting tidak hanya membuat hormon tiroksin menurun, namun juga mengganggu
hormon-hormon lainnya yang berdampak terhadap perilaku atau emosi. Bagi
seseorang yang mengidap stunting, mereka akan memiliki tingkat emosi yang tidak
stabil.

Dalam kasus ini, mudah marah dan tersinggung menjadi salah satu pelampiasan
emosi yang seringkali diperlihatkan. Selain itu, jika masalah yang satu ini sudah
terlihat, maka kemungkinan besar anak atau bayi yang memilikinya, akan menjadi
pribadi yang nakal dan susah diatur, lantaran tingkat kestabilan emosinya yang tidak
dapat terjaga dengan baik.

Satu yang pasti, butuh kesabaran ekstra bagi para orang tua jikalau anak mereka
sudah memperlihatkan gejala semacam ini.

Baca Juga: Catat! Ini 4 Tanda Anak Terkena Stunting yang Sering Diabaikan
3. Kurangnya respon sosial yang memadai
Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

 10 KDrama dengan Pemeran Utama yang Tsundere, Cuek tapi Peduli


 Isu Putus Cinta, 10 Potret Terbaru Aurelie Moeremans yang Anti Galau!
 10 Tahun Berkarya, 7 Fakta Raisa Live in Concert 2020

Semua berita yang kamu suka #AdadiIDN


Baca berita sesuai topik yang kamu pilih dan
lebih nyaman di IDN app

Download Yuk!
chestnuthilllocal.com

Sejak dini, orang tua selalu diajarkan untuk bisa memberikan arahan atau
pembelajaran terhadap anak-anak mereka. Mulai dari bagaimana cara melakukan
sejumlah hal kecil seperti menaruh benda hingga berbicara sekata dua kata sebagai
bentuk dari bersosialisasi.

Nah, jika para orang tua yang membaca artikel ini mendapati anak atau bayi mereka
mengalami respon sosial yang tergolong kurang, maka itu harus diwaspadai dan
juga segera ditangani. Kurangnya respon sosial yang memadai di usia yang masih
sangat dini (2-3 tahun), pada faktanya merupakan satu dari sekian banyaknya gejala
stunting.

Jika sudah seperti ini, orang tua sangat disarankan untuk melakukan pendekatan
persuasif.
4. Tubuh gagal berkembang di usia di bawah dua tahun

defeatdd.com

Pertumbuhan yang mulai terhambat atau tidak bisa menjadi lebih tinggi, terutama di
usia di bawah dua tahun, merupakan gejala awal sekaligus makna dari stunting itu
sendiri. Gejala yang satu ini butuh penanganan yang cepat dan tepat. Jika tidak,
maka gejala tubuh gagal berkembang dengan baik ini, akan 'tumbuh' menjadi
stunting yang sangat merugikan dan itu semua tidak dapat diatasi lagi kedepannya.

Untuk mengetahui apakah bayi atau anak mengalami gejala tubuh gagal
berkembang, bisa dilihat melalui beberapa tanda berikut. Seperti, berat badan yang
sulit untuk naik, mudah terkena infeksi atau penyakit dan telat mengalami
menstruasi pertama (khusus anak perempuan).
5. Wajah menjadi tampak lebih muda di usianya

popsugar.com

Sebagian besar indikasi atau gejala stunting muncul dengan fakta bahwa segala
pertumbuhan umum pada anak menjadi terhambat atau gagal berkembang. Tak
hanya tinggi badan dan juga berat badan, kondisi kulit atau wajah juga ikut
terdampak. Seorang anak atau bayi yang didiagnosis memiliki stunting, akan
memiliki wajah yang terlihat lebih muda di usianya.

Berbeda dengan gagal berkembangnya tinggi badan yang menjadi gejala awal,
wajah terlihat lebih muda merupakan gejala akhir dari stunting. Gejala yang satu ini
ibarat pisau bermata dua, sebab di satu sisi sangat mudah dikenali atau
diperhatikan, namun di sisi lain, lumayan sulit untuk ditangani atau dicegah lantaran
waktu kemunculannya yang cenderung terlambat.

Itu tadi beberapa informasi terkait gejala-gejala dari stunting yang patut diwaspadai.
Pada faktanya, meski gejala stunting umumnya terlihat ketika balita, segala hal
penyebab stunting sebenarnya sudah muncul atau terjadi sejak bayi masih di dalam
kandungan. Maka dari itu, para orang tua terutama ibu, sangat disarankan untuk
selalu memperhatikan jenis makanan hingga pola makan ketika masih mengandung.
Tak cuma ibu atau orang tua saja, kita sebagai generasi millennial juga wajib sadar
betul bahwa stunting sangat berbahaya untuk masa depan kesehatan Indonesia.
Oleh karena itu, jadilah generasi #MillennialBEST yang sadar betul akan pentingnya
perilaku hidup bersih dan sehat.

Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59


bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting
kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO

Home

Lifestyle

Health Concerns

Mengenal "Stunting" dan Efeknya pada Pertumbuhan Anak


Rabu, 8 Februari 2017 | 10:03 WIB
Para ibu hamil bukan hanya diperiksa kondisi kehamilannya, tapi juga diberikan penyuluhan untuk menjaga kesehatan ibu
hamil dan janinnya.

Editor: Bestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Mungkin tidak semua orang akrab dengan istilah stunting. Padahal,
menurut Badan Kesehatan Dunia, Indonesia ada di urutan ke-lima jumlah anak dengan
kondisi stunting.

Salah satu wilayah di Indonesia dengan angka stunting tertinggi adalah kabupaten Ogan
Komering ilir. Angka stunting kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menurut Riskesdas
mencapai 40,5% atau hampir setengah balita di OKI mengalami stunting. Bahkan, angka ini
di atas angka stunting nasional 37%.

Menurut WHO, di seluruh dunia, diperkirakan ada 178 juta anak di bawah usia lima tahun
pertumbuhannya terhambat karena stunting.

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam
waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting
terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.
Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59
bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting
kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO.

Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang
tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta
prestasi sekolah yang buruk.

Stunting dan kondisi lain terkait kurang gizi, juga dianggap sebagai salah satu faktor risiko
diabetes, hipertensi, obesitas dan kematian akibat infeksi.

Penyebab Stunting

Situs Adoption Nutrition menyebutkan, stunting berkembang dalam jangka panjang karena
kombinasi dari beberapa atau semua faktor-faktor berikut:
1. Kurang gizi kronis dalam waktu lama
2. Retardasi pertumbuhan intrauterine
3. Tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori
4. Perubahan hormon yang dipicu oleh stres
5. Sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak.

Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti bahwa asupan
makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah terjadi di masa lalu
seorang.

Penyebab Stunting pada Anak


Memahami penyebab stunting adalah hal yang dapat dilakukan sejak janin di dalam
kandungan. Berikut adalah penyebab stunting yang harus Anda tahu, di antaranya:

1. Asupan Nutrisi Ibu

Penyebab stunting yang pertama dipengaruhi oleh asupan nutrisi ibu hamil. Ibu hamil
yang kurang mengonsumsi makanan bergizi seperti asam folat, protein, kalsium, zat
besi, dan omega-3 cenderung melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi. Kemudian
saat lahir, anak tidak mendapat ASI eksklusif dalam jumlah yang cukup dan MPASI
dengan gizi yang seimbang ketika berusia 6 bulan ke atas.
2. Kurangnya Asupan Makanan Sehat dan Bergizi sebagai
Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping yang tidak cukup dan kekurangan nutrisi penting di
samping asupan kalori murni adalah salah satu penyebab pertumbuhan pada anak
terhambat. Anak-anak perlu diberi makanan yang memenuhi persyaratan minimum
dalam hal frekuensi dan keragaman makanan untuk mencegah kekurangan gizi.

3. Kebersihan Lingkungan

Ada kemungkinan besar hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak dan praktik
sanitasi rumah tangga. Kontaminasi jumlah besar bakteri fecal coliform oleh anak-anak
ketika meletakkan jari-jari kotor atau barang-barang rumah tangga di mulut mengarah ke
infeksi usus. Kondisi ini memengaruhi status gizi anak dengan cara mengurangi nafsu
makan (2), mengurangi penyerapan nutrisi (3), dan meningkatkan kehilangan nutrisi (1).

Penyakit-penyakit yang berulang seperti diare dan infeksi cacing usus (helminthiasis)
yang keduanya terkait dengan sanitasi yang buruk telah terbukti berkontribusi terhadap
terhambatnya petumbuhan anak.

Enviromental enterophaty adalah infeksi usus halus pada anak yang disebabkan oleh
sanitasi yang buruk. Infeksi kronis yang terjadi akibat lingkungan yang kotor dan sanitasi
buruk menyebabkan fungsi usus halus terganggu.

Selain beberapa penyebab stunting seperti di atas, hal-hal lainnya yang bisa
berkontribusi pada stunting adalah konflik sosial, kondisi iklim, harga dan ketersediaan
pangan yang pada gilirannya berkontribusi menyebabkan stunting.

Perbedaan Stunting dan Wasting


Kebanyakan orang awam menyamaratakan ciri stunting (pendek) dan wasting (balita
kurus), padahal hal ini adalah dua bentuk malnutrisi terpisah yang memerlukan
intervensi berbeda untuk pencegahan dan pengobatannya.
Akan tetapi, kedua bentuk malnutrisi ini memiliki hubungan yang erat dan sering terjadi
bersama dalam populasi yang sama dan sering pada anak yang sama. Keduanya
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, terutama ketika keduanya hadir pada anak
yang sama.

Massa otot yang berkurang merupakan karakteristik dari kurus yang parah, tetapi ada
bukti tidak langsung bahwa itu juga terjadi pada stunting. Berkurangnya massa otot
meningkatkan risiko kematian selama infeksi dan juga dalam banyak situasi patologis
lainnya.

Fokus Penanganan

Berkurangnya massa otot dapat mewakili mekanisme umum yang menghubungkan


wasting dan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi angka kematian
terkait gizi buruk, intervensi harus bertujuan untuk mencegah wasting dan stunting, yang
sering kali memiliki penyebab yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pengobatan harus fokus pada anak-anak yang
wasting dan stunting yang memiliki defisit terbesar dalam massa otot, daripada berfokus
pada kekurangan gizi saja.

Penurunan massa lemak sering terjadi tetapi tidak konsisten dalam stunting. Lemak
mengeluarkan banyak hormon, termasuk leptin, yang mungkin memiliki efek stimulasi
pada sistem kekebalan tubuh.

Perlu diketahui juga bahwa leptin memiliki efek pada pertumbuhan tulang. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa anak-anak kurus dengan simpanan lemak rendah
berdampak pada tinggi badannya yang tetap rendah.

Ini juga dapat menjelaskan keterkaitan stunting yang sering dikaitkan dengan wasting.
Bagaimanapun, stunting dapat terjadi tanpa adanya wasting dan bahkan pada anak-
anak yang kelebihan berat badan. Dengan demikian, suplementasi makanan harus
digunakan dengan hati-hati dalam populasi di mana stunting tidak terkait dengan
wasting dan simpanan rendah lemak.
Stunting di Indonesia
Data Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi stunting terdiri atas balita yang
memiliki badan sangat pendek 11,5% sementara dengan tinggi badan pendek mencapai
19,3%.

Prevalensi balita stunting pada 2018 naik dalam dua tahun terakhir dan berada di level
tertingginya sejak 2014. Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami
masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari 20% atau balita kurus di atas
5%. Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan orang tua akan pentingnya kesehatan
menjadi salah satu penyebab tingginya balita dengan tinggi badan di bawah standar

Kondisi Ibu dan Calon Ibu

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan
memengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu
yang memengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu
dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan.

Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari
terjadinya stunting.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia 10-14
tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi kehamilan pada
remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan.

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan berumur
15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di atas 20 tahun
(usia ideal kehamilan).

Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia
17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa
setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami kehamilan
pertama pada usia muda atau remaja.

Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan)
dan gizi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya stunting. Remaja
putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki status gizi yang baik. Pada
tahun 2017, persentase remaja putri dengan kondisi pendek dan sangat pendek
meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 7,9% sangat pendek dan 27,6% pendek.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko
kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas rata-
rata nasional. Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan datang
akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau
kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi
stunting di Indonesia.

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun 2017
adalah 10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah 14,8%. Asupan gizi
WUS yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki berat badan yang
ideal saat hamil.

Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang ditetapkan
pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit yang
mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan
7 mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang
Standar Produk Suplementasi Gizi.

Situasi Bayi dan Balita

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi
menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses
penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.
Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) hal yang perlu
diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD
sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat inisiasi
menyusu dini.

Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh
(97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12
provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum
mengumpulkan data.

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar
61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa
Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua
(15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh karena itu,
sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan.

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai
dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang
dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami
defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9%
balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.

Guna memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian
makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun
PMT pabrikan yaitu biskuit khusus balita. Jika berat badan telah sesuai dengan
perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka makanan tambahan balita kurus
dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang.

Anda mungkin juga menyukai