Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan

epilepsi ( Epileptic seizure ). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan

antiepilepsi, sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala konvulsi penyakit lain.

Bromida, obat pertama yang digunakan untuk terapi epilepsi telah di tinggalkan

karena ditemukanya berbagai antiepilepsi baru yang lebih efektif. Fenobarbital

diketahui memiliki efek antikonvulsi spesifik, yang berarti efek antikonvulsinya

tidak berkaitan langsung dengan efek hipnotiknya.

Di indonesia phenobarbital masih digunakan, walaupun diluar negeri obat ini

mulai banyak ditinggalkan fenitoin (difenilhidantoin), sampai saat ini masih tetap

merupakan obat utama anti epilepsi,khususnya untuk bangkitan parsial dan

bangkitan umum tonik-klinik. Disamping itu karbamazepin semakin banyak

digunakan,karena dibandingkan dengan fenitoin efek sampingnya lebih sedikit

dan lebih banyak digunakan untuk anak-anak karena tidak menyebabkan wajah

kasar dan hipertrofigusi.Pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku maupun

kemampuan kognitif lebih kecil.(Sulastia,2011)

Epilepsi menyatakan suatu serangan berulang secara periodik dengan atau

tanpa kejang,serangan tersebut disebabkan oleh kelebihan muatan neuron kartikal

dan ditandai dengan penambahan aktifitas listrik seperti yang di ukur dengan

elektro ensefaagram(EEG). Kejang menyatakan keparahan kontriksi otot polos

yang tidak terkendali. Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium untuk

1
epilepsi. Dalam beberapa hal khususnya setelah kejang tonik-klonik umum(atau

mungkin parsiak kompleks).Kadar seram prolaktrin dapat naik sesaat pemeriksaan

laboratorium dapat dilakukan untuk menentukan penyebab kejang yang dapat

diobati.(yaitu hipoglikemia perubahan konsentrasi elektrolit,infeksi dan

sebagainya)Yang bukan merupakan serangan epilepsi.Mekanisme aksi sebagian

besar OAE meliputi efek pada kanal ion natrium dan kalsium penghambatan

neurotransmisi (GAMA) atau keringanan neuro transmisi (Glutamat dan

aspartit).OAE yang efektif terhadap kejang tonik-klonik umum dan parsial

mungkin dapat mengurangi pengulangan secara terus-menerus yang memicu

patensial aksi dengan cara menunda pemulihan konat natrium sehingga tidak

terjadi aktifitas.obat yang menurunkan aliran kalsium tipe T karhuotamik efektif

melawan kejang abse umum.(Elin yulinati sukandar,2008).

1.2. Rumusan Masalah

a. Apa itu arti obat antikonvulsi ?

b. Apa saja macam – macam obat antikonvulsi ?

c. Bagaimana cara kerja dan khasiat obat antikonvulsi ?

d. Apa indikasi / kontra indikasi obat antikonvulsi ?

e. Berapa dosis obat, Efek sampingnya apa saja dan Bagaimana cara

mengatasinya ?

1.3. Tujuan

a. Untuk mengetahui arti obat antikonvulsi .

b. Untuk mengetahui macam – macam obat antikonvulsi.

c. Untuk mengetahui cara kerja dan khasiat obat antikonvulsi.

2
d. Untuk mengetahui indikasi / kontra indikasi obat antikonvulsi.

e. Untuk mengetahui dosis obat, efek samping dan cara mengatasinya.

1.4. Manfaat

a. Sebagai bahan untuk memberikan pengetahuan tentang obat antikonvulsi.

b. Sebagai bahan untuk mengetahui macam, cara kerja / khasiat, indikasi

serta kontra indikasi, dosis, dan efek samping beserta cara mengatasinya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Antikonvulsan adalah obat yang digunakan untuk mengembalikan kestabilan

rangsangan sel saraf sehingga dapat mencegah atau mengatasi kejang. Selain

mengatasi kejang, antikonvulsan juga digunakan untuk meredakan nyeri akibat

gangguan saraf (neuropati) atau mengobati gangguan bipolar.

(https://www.alodokter.com/antikonvulsan)

Antikonvulsan ( antiepilepsi ) adalah Obat yang digunakan untuk mengurangi

penderitaan dan frekuensi epilepsi. Epilepsi = Ayan. Epilepsi disebutkan oleh

timbulnya pelepasan muatan listrik yang berlebihan secara cepat dan mendadak di

pangkalnya dalam susunan syaraf sentral ( neuron – neuron tertentu ).

Penyebab – penyebab epilepsi ialah karena luka di otak seperti abses, tumor

dan arterioklerosis, keracunan timah hitam atau petidin. Adapun Jenis epilepsi :

1. Grand-mal, Serangan 1 – 2 menit pingsan, beberapa menit setelah sadar

perasaan kacau dan kantuk. Terjadi kejang otot, kaki – tangan bergerak,

tak sadar, menjerit, dari mulut keluar busa.


2. Petit-mal, Serangan hanya beberapa detik, gangguan kesadaran ringan

tanpa kejang. Penderita sering termenung.


3. Psikhomotor, Pada serangan kesadaran hanya sebagian terganggu dan

ingatan tidak hilang. Penderita berbuat kelakuan otomatis dan sering.

Penentuan jenis epilepsi dengan jalan E.E.G. ( Electroencephalograf).

(Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan, 2017).

2.2 Macam – macam obat

4
Obat antikonvulsan terdiri dari beberapa jenis, yang meliputi:

 Hidantoin

Antikonvulsi yang pertama dipakai untuk mengobati serangan kejang

fenitoin, suatu hidantoin yang ditemukan pada tahun 1983 yang sampai kini

masih terus sering dipakai untuk mengendalikan serangan kejang. Obat ini

paling sedikit efek toksiknya, sedikit efeknya terhadap sedasi umum. Dan

tidak menimbulkan adiksi. Tetapi, obat ini tidak boleh dipakai selama

kehamilan karena dapat menimbulkan efek teratogenik pada janin.

 Barbiturat

Fenobarnital, suatu barbiturat dengan masa kerja panjang, sampai kini

masih diresepkan untuk mengobati serangan kejang grand-mal dan episode

akut dari serangan kejang akibatstatus epileptikus ( serangan kejang epilepsi

yang berturut – turut dan cepat), meningitis, reaksi toksik, dan eklampsia.

Dibandingkan dengan fenitoin, kemungkinan efek teratogenik dan efek

samping dari fenobarbital lebih ringan. Masalah – masalah yang berkaitan

dengan fenobarbital adalah sifatnya yang menyebabkan sedasi umum dan

toleransi klien terhadap obat. Penghentian fenobarbital harus bertahap untuk

menghindari kekambuhan serangan kejang.

 Suksinimid

Kelompok obat suksinimid dipakai untuk mengobati serangan kejang

absence, atau petit-mal, dan dapat dipakai dalam kombinasi dengan

antikonvulsi yang lain untuk mengobati serangan kejang. Etosuksimid adalah

5
suksinimid pilihan ; formula lain yaitu metsuksimid, dan fenuksimid

digunakan terutama untuk serangan kejang petit-mal yang refrakter.

 Oksazolidon / oksazolidindion

Oksazolidon, trimetadion dan parametadion, juga diresepkan untuk

mengobati serangan kejang petit-mal. Trimetadion adalah obat pertama yang

dikembangkan untuk petit-mal. Trimetadion adalah obat pertama yang

dikembangkan untuk petit-mal dan karena itu lebih sering diresepkan dari

pada pemakaian kelompok antikonvulsi ini. Trimetadion adapat dipakai dalam

kombinasi dengan obat-obat lain atau dipakai tunggal untuk mengobati

serangan kejang petit-mal yang refrakter.

 Benzodiazepin

Tiga benzodiazepin yang mempunyai efek antikonvulsi adalah

klonazepam, klorazepat di pottasium, dan diazepam. Klonazepam efektif

dalam mengendalikan serangan kejang petit-mal (absence); tetapi toleransi

dapat terjadi 6 bulan setelah dimulainya terapi obat, dan akibatnya dosis

klonazepam harus disesuaikan. Klorazepat dipotassium seringkali diberikan

sebagai terapi tambahan untuk mengobati serangan kejang parsial.

Diazepam terutama diresepkan untuk mengobati status epilepstikus akut

dan harus diberikan intravena untuk mencapai respon yang diinginkan. Obat

ini mempunyai efek jangka singkat; sehingga antikonvulsi lain, seperti

fenitoin atau fenobarbital, perlu diberikan selama atau segera sesudah

diazepam.

6
 Iminostilben

Karbamazepin, suatu iminostilben, efektif untuk mengobati gangguan

serangan kejang yang refrakter yang tidak memberikan respon terhadap terapi

antikonvulsi lain. Obat ini dipakai untuk mengendalikan serangan kejang

grand-mal dan parsial dan kombinasi dari serangan kejang ini.

Karbamazepin juga dipakai untuk gangguan psikiatrik, seperti penyakit

bipolar; sebagai analgesik pada neuralgia trigeminalis, dan untuk mengobati

gejala -agejala putus obat dari alkohol. Tetapi, obat ini belum disetujui oleh

FDA untuk pengobatan gangguan – gangguan di atas.

 Valporat

Asam valporat telah diresepkan untuk serangan kejang petit-mal, grand-

mal, dan campuran dari jenis-jenis ini. Harus hati hati dalam memberikan obat

ini kepada anak yang sangat kecil dan klien dengan gangguan hati karena

hepatotoksisitas merupakan salah satu dari reaksi yang merugikan dari obat

ini. Enzim – enzim hati harus dipantau. (Translation of Pharmacology : a

Nursing Proccess Approach. 1996).

2.3 Cara kerja atau khasiat obat

Obat yang paling banyak diteliti adalah fenitoin, yang pada konsetrasi

terapeutik tidak mempunyai pengaruh pada pelepasan transmitor atau pada

respons neuron terhadap glutamat atau GABA. Kerja antikonvulsannya

kemungkinan diakibatkan oleh kemampuannya untuk mencegah aktivitas repetitif

frekuensi tinggi, namun tegangan menunjukkan bahwa fenitoin meningkatkan

7
proporsi kanal Na+ inaktif untuk semua potensial membran yang diberikan.

Fenitoin cenderung terikat pada kanal Na+ yang inaktif ( tertutup), menstabilkan

kanal dalam keadaan inaktif, dan mencegahnya kembali ke keadaan istirahat

( tertutup ) yang harus dilalui sebelum kanal dapat membuka kembali.

Depolarisasi repetitif berfrekuensi tinggi meningkatkan proporsi kanal Na+ inaktif

dan, karena kanal Na+ rentan terhadap blokade oleh fenintoin, aliran Na+

berkurang secara progresif sampai akhirnya tidak cukup untuk membangkitkan

potensial aktif. Transmisi neuronal pada frekuensi normal relatif tidak dipengaruhi

oleh fenitoin karena proporsi Na+ yang jauh lebih kecil berada dalam keadaan

inaktif. Karbamazepin, lamotrigin, valproat, dan kemungkinan topiramat

mempunyai aksi yang serupa pada kanal Na+ neuron. Valproat tampaknya juga

meningkatkan inhibisi sentral GABAergik melalui mekanisme yang bisa

melibatkan stimulasoi aktivitas dekarboksilase asam glutamat dan/atau inhibisi

aktivitas GABA-T. Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA-T yang

meningkatkan kadar GABA otak dan pelepasan GABA sentral. Benzodiazepin

(misalnya klonazepam) dan fenobarbital juga meningkatkan inhibisi sentral,

tetapi dengan cara memperkuat kerja dari GABA yang dilepaskan pada sinaps, di

kompleks reseptor GABAA –kanal CI-. Fenobarbital juga bisa mengurangi efek

glutamat pada sinaps eksitasi.

Bangkitan lena melibatkan aktivitas neuron osilasi antara talamus dan korteks

serebri. Osilasi melibatkan kanal Ca2+ (tipeT) pada neuron talamus yang

meghasilkan spike dengan ambang batas rendah dan memungkinkan sel untuk

terbakar dalam ledakan. Bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa obat yang

8
mengendalikan absans (etosuksimid dan valproat) menurunkan aliran Ca2+ ini

dan mengacaukan osilasi talamokortikal yang penting dalam terjadinya bangkitan

lana. (At a glace Farmakologi Medis Edisi ke-5.2006).

2.4 Dosis, Indikasi dan kontra indikasi

Indikasi dan kontra


Obat Dosis
indikasi
Golongan
HIDANTOIN
Fenitoin D : PO : 100 mg, t.i.d ; IV : Serangan kejang tonik –
( dilantin ) dosis pembebanan 10 – 15 klonik ( grand – mal )
mg/kg ; infus IV : 50 mg/menit dan psikomotor. Batas
Maks. 300 mg/hari serum 10 – 20 µg/mL.
A : 4-8 mg/kg/hari dalam dosis Reaksi yang merugikan
terbagi berupa hiperplasia
gingiva.
Mefenitioin D : PO : mula – mula 50 – 100
( mesantoin ) mg; 100 – 200 mh; t.id. Serangan kejang grand
A : mula – mula 50 – 100 mg/ – mal, psikomotor, fikal
hari dalam dosis terbagi ( simple )

Etotoin D : PO : 1-3 g/hari dalam dosis Serangan kejang grand-


( peganone ) A : 0,5 – 1 g/hari mal psikomotor

9
Golongan
BARBITURAT
Fenobarbital D : PO : 400 – 600 mg/hari Kategori kehamilan D.
( luminal ) A : PO : 3 – 6 mg/kg/hari Hindari sebisa
dalam dosis terbagi. mungkin. Serangan
kejang grand – mal dan
psikomotor, status
epileptikus.
Waktu paruh 60 – 120
jam. Batas serum: 15 –
40 µg.mL. Keadaan
yang tetap 15 – 10 hari.

Metobarbital D : PO : 400 – 600 mg/hari Serangan kejang grand


( mobaral ) A : PO : 6 – 12 mg/kg/hari – mal dan petit mal
dalam dosis terbagi atau ( absence )
> 5 thn : 32 – 64 mg t.i.d atau
q.i.d
< 5 thn : 16 – 32 mg t.i.d atau
q.i.d

Primidon D : PO 125 – 250 mg b.i.d Erat berkaitan dengan


( mysoline ) sampai q.i.d barbiturat. Batas
A : <8 thn ½ dosis dewasa serum : 5 – 10 µg/mL

Golongan
SUKSINIMID
Etosksimid D : PO : 250 mg, b.i.d naikkan Serangan kejang petit –
( Zarontin ) dosis bertahap mal ( absence ) batas
A : 3 – 6 thn: PO : 250 mg/hari. serum : 40 – 100 µg/Ml.
Iritasi lambung sering
terjadi.
D & A: PO: dosis awal 300
Metsuksimid mg/hari selama 1 minggu: Serangan kejang petit –
( celontin ) dapat ditingkatkan dalam mal ( absence ) jika
interval. refrakter terhadap obat
lain. Sering terjadi
toksisitas: lebih sering
daripada etosuksimid.
D & A: PO: 0,5 – 1 g,b.id atau
Fensuksimid t.i.d Serupa dengan
( milontin ) metsuksimid.

10
Golongan
OKSAZOLIDON
Trimetadion D: PO: 300-600 mg, t.i.d atau Serangan kejang petit-
(Tridion) q.i.d. mal (absence). Banyak
A: PO: 13 mg/kg, t.i.d., atau efek samping; jarang
335 mg/m2 , t.i.d., atau 300-900 dipakai. Hindari
mg/hari dalam dosis terbagi pemakaian selama
hamil
Sama seperti trimetadion
Parametadion
(Paradion)

Golongan
BENZODIAZEPIN
(Antiansietas)
Klonazepam D: PO: 0,5-1 mg, t.i.d., secara Petit-mal, mioklonus,
(Klonopim) bertahap naikkan dosis setiap 3 dan status epileptikus.
hari sampai kejang Batas serum: 20-80 µg-
dikendalikan mL; ½: 20-38 jam
A: PO: 0,01-0,03 mg/kg/hari,
naikkan dengan bertahap

Korazepat D: PO: 7,5 mg, t.i.d Serangan kejang


(Tranxene) A: PO; 7,5 mg, b.i.d parsial. Dapat dipakai
sebagai terapi tambahan

Diazepam D: IV: 5-10 mg, 2-5 mg/menit; Status epileptikus (obat


(Valium) q 2-4 jam, PRN pilihan). Pemakaian
IM: 5 mg parenteral untuk status
A: IV: 1 mg selama 3 menit epileptikus.

Golongan
IMINOSTILBEN A: PO: 200 mg, b.i.d., dosis Serangan kejang grand-
Karbamazepin ditingkatkan jika perlu mal, psikomotor, dan
(tegretol) A: PO: 10-20 mg/kg/hari, campuran. Batas serum:
dalam dosis terbagi 5-12 µg/mL. Dipakai
untuk mengobati
serangan kejang yang
tidak berespon terhadap
antikonvulsan lain.
Golongan
VALPROAT
Asam Valproat D&A: PO: 15 mg/kg sampai Serangan kejang grand-
(Depakene) dengan 60 mg/kg/hari dalam mal, petit-mal,
dosis terbagi psikomotor, dan
mioklonik. Batas

11
serum: 40-100 µg/mL.
Dosis dapat
ditingkatkan tiap
minggu sebanyak 5-10
mg/kg/hari sampai
serangan kejang dapat
dikendalikan. Hindari
selama kehamilan.

2.5 Efek samping dan cara mengatasinya

Setiap obat umumnya memiliki efek samping yang berbeda-beda pada

setiap individu. Obat antikonvulsan memiliki efek samping yang berbeda

tergantung dari golongannya. Berikut efek samping dari setiap golongan

antikonvulsan:

1. Golongan hidantoin. Efek samping: gangguan susunan saraf

pusat, saluran cerna, gusi, kulit dan lain-lain.

2. Golongan barbiturat. Efek samping: efek sedatif

3. Golongan suksinimid. Efek samping: mual, sakit kepala, ngantuk dan

ruampada kulit.

4. Golongan oksazolidindion (Trimetadion). Efek samping: gangguan pada

kulit, fungsi ginjal dan hati.

5. Golongan benzodiazepin. Efek samping: pusing, mengantuk, dan lain-lain.

6. Karbamazepin. Efek samping: pusing, vertigo, penglihatan kabur dan lain-

lain.

7. Golongan asam valproat. Efek samping: mual, muntah, anoreksia,

peningkatan berat badan, pusing, gangguan keseimbangan dan kebotakan.

12
Cara mengatasi efek samping :

 Beritahu klien untuk tidak mengendarai kendaraan atau menjalankan

mesin sewaktu memakai antikonvulsi, terutama barbiturat. Rasa

mengantuk sering timbul sampai orang yang bersangkutan menyesuaikan

diri dengan dosis obat yang diberikan. Jika dosis ditambah, rasa

mengantuk dan pusing mungkin dapat timbul.


 Beritahu klien untuk memberitahukan perawat dan dokter jika terjadi

reaksi yang merugikan, seperti gingivitis ( hiperplasma gusi ), nistagmus

( pergerakan mata yang cepat ), sulit bicara dan ruam kulit, yang timbul

pada pemakaian fenitoin.


 Nasehatkan klien yang memakai fenitoin bahwa pengobatan yang

diberikan akan menyebabkan urin berwarna merah muda, merah, atau

coklat kemerahan. Perubahan warna ini tidak berbahaya.


 Peringatkan klien wanita yang memakai antikonvulsi dan bermaksud

untuk hamil untuk memeriksakan ke dokter karena beberapa antikonvulsi,

fenitoin dan asam valproat, dapat berefek teratonik pada janin. Selama

kehamilan, serangan kejang seringkali bertambah akibat meningkatnya

laju metabolisme, dan kadar fenitoin serum harus diawasi dengan ketat.

Antikonvulsi digolongkan ke dalam kategori kehamilan D.


 Beritahu klien bahwa alkohol dan penekanan SSP lainnya dapat

menimbulkan efek depresi tambahan pada tubuh dan harus dihindari.


 Nasehatkan klien untuk mendapatkan kartu dan gelang atau label petanda

yang menunjukkan masalah kesehatan dan pengobatan yang sedang

dipakai.
 Beritahui klien untuk tidak menghentikan regimen antikonvulsi secara

mendadak tetapi dengan bertahao menghentikan obat yang diresepkan

13
untuk mencegah rebound serangan kejang ( kekambuhan serangan

kejang ).
 Beritahu klien untuk menjaga higiene mulut dengan baik selama memakai

fenitoin. Beritahu klien untuk menggunakan sikat gigi yang lembut untuk

mencegah iritasi dan perdarahan gusi.


 Beritahu klien untuk memakai antikonvulsan yang diresepkan, melakukan

tes laboratorium yang diperintahkan, dan tetap mengunjungi dokter.


 Ajari klien untuk tidak mengobati diri sendiri dengan obat bebas tanpa

terlebih dulu memberitahu dokter.


 Beritahu klien penderita diabetes untuk memantau kadar glukosa serum

lebih serig dari biasa karena fenitoin dapat menghambat pelepasan insulin,

sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa.


 Ajari klien untuk melaporkan gejala-gejala nyeri tenggorokan, memar, dan

perdarahan hidung, yang mungkin menunjukkan adanya diskrasia darah.


 Beritahu klien untuk memakai antikonvulsi pada waktu yang sama setiap

hari bersama makanan atau susu. Jika menggunakan bentuk cair, kocoklah

terlebih dulu sebelum meminum obat.


 Beritahu klien untuk memberitahu dokter atau perawat jika terjadi hal-hal

berikut ini: gejala-gejala kekambuhan atau memberuku, inkoordinasi otot-

otot, gerakan involunter dari bola mata, pusing, sulit bicara (slurred

speech), mual, muntah, anoreksia, diare atau konstipasi, atau kekacauan

mental atau penglihatan kabur.


 Beritahu klien akan adanya perkumpulan nasional, negara bagian, dan

daerah yang menyediakan sarana, informasi terakhir, dan dukungan.

(Hayes.Translation of Pharmacology :a Nursing Process Approach,

1996.)

14
BAB III
KESIMPULAN
Anti konvulsan adalah suatu kelompok obat yang digunakan untuk

mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epiletic seizure) dan bangkitan non-

epilepsi. Anti konvulsi merupakan golongan obat yang identik dan sering hanya

digunakan pada kasus-kasus kejang karena epiletik. Oleh karena itu, anti konvulsi

berhubungan erat dengan kasus epilepsi. Pada penderita epilepsi, terkadang

sinyal-sinyal untuk menyampaikan rangsangan tidak beraktivitas sebagaimana

mestinya.
Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses

kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang juga epilepsi karena

genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan dan belum diketahui secara pasti

penyebab aslinya. Pada umumnya sebagian obat antiepilepsi di metabolisme di

hati, kecuali vigabatrin dengan bapentin yang dieliminasi oleh ekskresi ginjal.

Pentingnya pencegahan dengan menangani obat dan pemeriksaan klinis yang tepat

dapat membantu penyembuhan penyakit ini.

15
16

Anda mungkin juga menyukai