Anda di halaman 1dari 2

ABDUL MUIS

Abdul Muis lahir di Sungai Puar, Sumatera Barat, 3 Juli 1883. Dia adalah putra Datuk Tumangguang Sutan
Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran
tinggi Agam. Jabatan ayahnya memungkinkan Abdul Muis memasuki STOVIA (School tot Oleiding Voor
Inlandsche Artsen), sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia
Belanda.

Namun, saat diadakan ujian praktikum, Abdul Muis jatuh pingsan. Ternyata, dia tidak tahan melihat
darah. Dengan demikian, kandaslah cita-citanya menjadi dokter. Beberapa waktu lamanya dia lalu
bekerja sebagai pegawai negeri pada Departemen Agama dan Kerajinan

Setelah itu ia pindah ke harian "Preanger Bode", surat kabar Belanda yang terbit di Bandung. Tugas
Abdul Muis adalah mengoreksi karangan-karangan yang akan dimasukkan ke percetakan. Di situ, dia
membaca karangan-karangan Belanda yang berisi penghinaan terhadap bangsa Indonesia. Perasaannya
tersinggung. Abdul Muis mengajukan protes kepada atasannya, tetapi tidak pernah ditanggapi. Hal itu
mendorongnya untuk menulis karangan-karangan yang menangkis penghinaan yang dilontarkan
terhadap bangsanya oleh penulis-penulis Belanda. Artikel-artikel itu dikirimnya ke harian De Express,
harian berbahasa Belanda yang dipimpin oleh Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), seorang Indo yang
menentang penjajahan Belanda.

Di dunia jurnalis, Abdul Muis pun pernah bekerja sama dengan Haji Agus Salim memimpin majalah
Neraca. Di luar dunia jurnalis, Abdul Muis adalah anggota Sarekat Islam (SI). Namanya sejajar dengan
tokoh SI lainnya seperti Haji Agus Salim maupun Mohammad Roem.

Johan Prasetya dalam buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penerbit Saufa, Agustus 2014)
menulis, Abdul Muis adalah anggota pengurus besar SI. Dalam Kongres SI pada tahun 1916 di Bandung,
Abdul Muis menegaskan perlunya mengusahakan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat Indonesia,
khususnya kaum Islam.

Sebagai aktivis pergerakan yang cerdas, Abdul Muis memilih cara unik untuk memperjuangkan nasib
bangsanya. Selain melalui tulisan-tulisan yang tajam, ia juga menggelorakan pemboikotan perayaan yang
diadakan Belanda untuk mengenang 100 tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Perancis pada Pada
November 1913. Aksi tersebut membuatnya harus berhadapan dengan mahkamah pengadilan.
Dalam banyak momen, Abdul Muis selalu memanfaatkan untuk kepentingan Indonesia. Ketika dikirim ke
Belanda pada 1917 atas nama Komite Ketahanan Hindia Belanda (Indie Weerbar), ia memanfaatkan
kesempatan itu untuk memengaruhi tokoh-tokoh politik Belanda agar mendirikan sekolah teknologi
tinggi (Technische Hooge School) di Indonesia.

Gagasan itu timbul setelah Abdul Muis mencoba naik pesawat terbang. Dari pengalaman tersebut, Abdul
Muis yakin bahwa kemajuan teknik barat perlu dipelajari oleh pemuda-pemuda Indonesia.
Perjuangannya tidak sia-sia. Sekolah tersebut akhirnya didirikan dan sekarang terkenal dengan nama
Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di momen lain, bersama HOS Cokroaminoto, Abdul Muis yang merupakan wakil dari SI dalam Volksraad,
pada tanggal 25 November 1918 mengajukan mosi terhadap Pemerintah Belanda agar membentuk
parlemen yang anggota-anggotanya dipilih sendiri oleh rakyat.

Pada peristiwa pemogokan massal buruh di Yogyakarta tahun 1922, Abdul Muis juga terlibat. Pemerintah
Belanda akhirnya menangkap Abdul Muis dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat pada tahun 1927.

Di Garut, jiwa sastra Abdul Muis muncul. la menulis novel yang kemudian cukup terkenal hingga
sekarang yakni "Salah Asuhan". Ia juga menerjemahkan buku dan bahasa asing, antara lain "Sebatang
Kara", "Don Kisot", dan "Tom Sawyer Anak Amerika".

Pada zaman Jepang, nama Abdul Muis tidak banyak terdengar. Tetapi setelah kemerdekaan
diproklamasikan, keinginannya untuk melakukan kegiatan politik bangkit kembali. Bersama beberapa
temannya, ia membentuk "Persatuan Perjuangan Priangan", yang berpusat di Wanaraja, di luar Garut.

Tahun 1946 ia ditawari menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, tetapi ada saja orang yang iri.
Orang itu menulis laporan palsu kepada Presiden Soekarno yang mengatakan bahwa sewaktu diasingkan
di Garut, Abdul Muis minta ampun kepada Pemerintah Belanda. Padahal, anjuran meminta ampun
ditolak mentah-mentah oleh Abdul Muis.

Abdul Muis meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
Nomor 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan
Kemerdekaan kepada Abdul Muis.

Anda mungkin juga menyukai