Anda di halaman 1dari 4

2.

Kami akan Menerapkan hukuman sosial ketimbang hukuman pidana untuk koruptor

Pro:

1. Hukuman pidana terlalu berpihak pada koruptor.

Ketika negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan
baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar
publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor. Dalam UU No
31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi
yang paling banyak disediakan undang-undang untuk diancamkan ke koruptor ialah
sanksi penjara, denda, dan pidana tambahan. Masalahnya, apakah sanksi tersebut sudah
dimanfaatkan dengan sangat efektif oleh pemerintah untuk menggelandang pelaku
korupsi? Katakanlah proses penuntutan dan pengadilan untuk koruptor dinafikan dari
skenario pemerintah, maka pembahasan tentang penjeraan pelaku korupsi akan
ditujukan kepada lembaga pemasyarakatan sebagai benteng terakhir untuk melawan
korupsi.

2. Penerapan efek jera pada koruptor

Membuat efek jera pada koruptor dengan mememasukkan mereka ke dalam penjara
tidak terbukti efektif. Contohnya saja seperti yang kita tau koruptor terkenal gayus
tambunan bisa pergi ke singapur maupun nonton tenis di bali dengan status tahanan di
mako brimob kelapa dua. Contoh lainnya setya novanto yang bisa pergi jalan-jalan
keluar padahal berstatus tahanan. Terlebih lagi adanya fasilitas mewah yang koruptor
dapatkan di dalam penjara bagaikan hotel. Dengan uang mereka dapat membeli
segalanya. Hal ini menunjukkan lemahnya hukum yang berjalan di negeri kita.
Hukuman di negeri kita terlalu mudah untuk dibeli. Bukankah ini saatnya kita mencoba
menerapkan hukuman baru yang bisa jadi lebih efektif yaitu hukuman sosial bagi
koruptor. sanksi sosial dinilai penting untuk memberikan efek jera bagi para koruptor
agar tidak melakukan kembali tindakan korupsi. Contohnya saja seperti Pemberian
hukuman kerja sosial bagi para koruptor, diharapkan bisa memunculkan budaya malu
dalam diri koruptor tersebut sehingga mereka jera untuk tidak melakukan tindakan
korupsi kembali. Dengan memberikan hukuman seperti menjadi tukang bersih sampah
di kota/pasar ataupun menjadi tukang sapu di jalanan hukuman tersebut dapat dilihat
secara langsung oleh masyarakat sehingga para koruptor dapat merasa hina dan malu
ketika berada di sekeliling masyarakat. Hal ini yang dapat menumbuhkan rasa maupun
efek jera pada mereka sehingga mereka tidak akan mengulangi tindakan korupsi lagi.
Karena itu, seharusnya pemerintah segera menambahkan sanksi sosial kedalam UU
kita.

3. Gerakan moral untuk mencegah dan memberantas korupsi

AKHIR-AKHIR ini muncul kecenderungan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan


sanksi sosial di samping sanksi hukum seperti yang selama ini berjalan, terutama untuk
kasus yang berkaitan dengan usaha pemberantasan korupsi. Contohnya saja gerakan
moral untuk memerangi praktik suap sebagai bagian dari korupsi yang ditujukan
kepada seluruh dunia usaha yaitu dengan mengadakan kampanye nasional antisuap dan
gerakan nasional antikorupsi. Dari perkembangan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemberantasan korupsi tidak mungkin hanya mengandalkan pendekatan hukum tetapi
juga diperlukan pendekatan sosial yang berbasiskan pada moral dan budaya.
Pendekatan ini sangat beralasan mengingat korupsi berkaitan erat dengan naluri
manusia yang cenderung berkeinginan mengumpulkan harta kekayaan secara tidak
terbatas. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana perkembangan tersebut dapat
membangun suatu sanksi sosial yang efektif dan bagaimana peranannya dengan sanksi
hukum yang berjalan selama ini. Sanksi sosial berkaitan erat dengan sikap sosial dan
sikap sosial ini berkaitan dengan penilaian sosial. Terdapat keterbatasan masyarakat
untuk dapat memahami makna korupsi sebagai suatu perbuatan yang tidak bermoral,
terutama yang berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan pelaku berupa kerugian
negara. Dengan adanya gerakan moral dapat membuat masyarakat sadar betapa
buruknya tindakan korupsi itu sehingga perilaku koruptif dapat dihindari sedini
mungkin.
PENEGASAN:

Hukuman pidana pada koruptor tidak efektif. Mengapa? Dengan penjara maupun
pembayaran denda, koruptor hanya berdiam diri di dalam penjara, hal ini tidak
sebanding dengan kerugian negara yang mereka buat. Hukum di negeri ini masih
sangat lemah yang dapat dibeli dengan uang atau kekayaan. Apakah mereka koruptor
yang sudah bebas dari penjara dapat di jamin merasakan efek jera dan tidak akan
mengulanginya lagi? Tentu saja tidak. Pada faktanya, masih banyak mantan napi
koruptor yang memiliki harta dan kekayaan yang berlimpah ruah. Mereka bisa saja
mengulangi tindakan korupsi lagi. Sanksi sosial merupakan hukuman yang paling
efektif untuk membuat efek jera pada koruptor. Penerapan sanksi sosial secara
langsung dapat memberikan tamparan keras bagi mental koruptor. Dengan pemberian
hukuman menjadi tukang sampah atau sejenisnya pada koruptor dapat membuat
mereka merasa sangat terhina di depan masyarakat dan membuat mereka sadar akan
perbuatan korupsi tersebut. Bukankah ini waktunya untuk kita sadari bahwa tindakan
korupsi dapat dicegah melalui penanaman moral sedini mungkin di lingkungan kita
supaya perilaku koruptif tidak akan timbul baik dari hal kecil yang apabila terus
menerus dilakukan dapat menjadi besar.

Kontra

1. Hukuman Pidana memiliki payung hukum yang jelas.

Yaitu setiap hukuman pidana yang diambil berlandaskan payung hukum UU no 31


tahun 1999 yang jelas yang tidak dapat diganggu gugat dan tertulis secara resmi.
Sedangkan hukuman sosial tidak memiliki landasan yang kuat untuk menghukum
koruptor karena bersifat tidak tertulis serta hanya berdasarkan moral dan sikap yang
masyarakat setempat anut. Sanksi sosial tidak akan membuat efek jera pada koruptor
karena lemahnya hukum ini.

2. Hukuman sosial dapat mengikis Mental koruptor

Apabila koruptor mendapat hukuman sosial seperti menyapu atau membersihkan


sampah kota dari jabatan yang tinggi sebelumnya menjadi pekerja rendahan dapat
membuat mereka merasa terhina di depani masyarakat, bisa saja mereka menyimpan
rasa balas dendam sehingga bercita-cita akan mengulangi tindakan korupsi lagi setelah
bebas dari hukuman tersebut. Bahkan korupsi yang mereka lakukan nantinya akan
lebih parah lagi dari sebelumnya karena adanya rasa balas dendam tersebut.

3. Sanksi sosial terlalu sepele untuk koruptor.

Hukuman sosial terlalu kecil bagi koruptor. Sanksi ini terlalu mudah dan sederhana
dijalankan untuk koruptor karena tidak sebanding dengan kerugian uang negara atau
uang rakyat yang mereka ambil. Contohnya saja seperti ex bupati kutai kartanegara rita
yang telah melakukan tipikor dengan jumlah milyaran hingga triliyunan. Coba anda
bayangkan apa saja yang rakyat dapatkan apabila uang tersebut benar-benar mengalir
untuk memajukan wilayah tersebut. Kebanyakan dari mereka para koruptor sudah tidak
merasakan malu atas tindakan yang telah mereka buat. Dengan baju yang bertulis
tahanan KPK mereka masih bisa tersenyum manis di depan kamera tv seperti tidak
nampak rasa bersalah sedikitpun di wajah mereka. Oleh karena itu hukuman sosial
tidaklah membuat mereka takut karen terlalu ringan untuk dijalankan.

PENEGASAN:

Hukuman pidana merupakan hukuman yang paling layak diterapkan untuk segala
bentuk pelanggaran tindak pidana korupsi karena memiliki landasan yang jelas yaitu
dengan berpedoman pada payung hukum yang resmi dan tertulis. Selain itu penerapan
hukuman sosial memiliki dampak psikologis para koruptor, yang dapat membuat
mereka merasa hina dan memiliki tekad yang kuat untuk mengulanginya kembali
sebagai tindakan balas dendam akan hukuman yang telah mereka dapatkan diantaranya
seperti hinaan, cacian, dan makian dari masyarakat. Disisi lain, hukuman sosial terlalu
ringan dan sederhana untuk koruptor karena tidak sebanding dengan kerugian atas
perbuatan yang telah mereka lakukan. Bila hukuman sosial di terapkan, hal ini sangat
amat tidak adil dan lebih berpihak pada koruptor.

Anda mungkin juga menyukai