Unsent Letters - Elcessa PDF
Unsent Letters - Elcessa PDF
unsent
a Novel By Elcessa
letters
unsent letters
pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent
Letters a novel by
Elcessa
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
©Elcessa
57.17.1.0038
Penyunting: Septi Ws
ISBN: 978-602-375-962-0
Dicetak pada Juni 2017
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan,
fotokopi, mikrofilm, VCD, CD-Rom, dan rekaman suara) tanpa izin penulis dan penerbit.
pustaka-indo.blogspot.com
Ucapan
Terima Kasih
Sebelumnya aku belum pernah menulis teeniction yang
benar-benar selesai dari awal sampai akhir. Biasanya aku hanya
bisa menulis beberapa chapter tetapi setelahnya cerita tersebut
terbengkalai karena ide cerita itu datang dalam bentuk fragmen
tanpa pernah menjadi utuh. Unsent Letters terasa berbeda.
Kisah Rafa, Kejora, dan Noah datang seutuhnya—dari prolog
hingga epilog. Adegan demi adegannya pun mampu kutuliskan
serapi mungkin meski sempat beberapa kali stuck dan ada
beberapa adegan ditulis ulang.
Awalnya kisah ini kutulis untuk diriku sendiri, sekadar
untuk menyalurkan hobi. Aku tidak menyangka kalau kisah
yang tadinya menghuni situs oranye itu bisa menjelma menjadi
sebuah kisah utuh di halaman buku. Untuk itu, aku ingin
mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang memiliki
peran penting dalam perjalanan Unsent Letters:
Pertama-tama, terima kasih kepada Allah SWT atas nikmat
dan kesempatan yang telah diberikan-Nya padaku. I’m very glad
He let me do the things that I love.
Untuk Mama, Ayah, dan Ai, thank you for the endless support
and for believing in me.
pustaka-indo.blogspot.com
Untuk Moureta Lingkar Maharani dan Suelsa Haya, thank
you for proving me that family doesn’t always mean they’re bonded
by blood. You’ve been there since day one. I owe you guys a lot.
Untuk Rifka Azzahra, terima kasih atas kritik dan sarannya
yang sangat menampar, tapi membantu. Terima kasih juga udah
rela direpotin selama ini. Sukses selalu!
Untuk Kak Christa Bella, Yolana Ivanka, dan Sashi Kirana,
terima kasih karena selalu rela digangguin, ditanya-tanya, dan
selalu ngeladenin ocehanku yang sebenarnya nggak penting. It’s
been nice knowing you, thank you.
Untuk Aulia Nanda, Anita Faridah, Romdoni Gozali, Ghea
Grahmaulidya, dan semua teman-temannya di Firelies terima
kasih banyak karena sudah repot-repot membuat lagu dan music
video untuk soundtracknya Unsent Letters. It means a lot.
Untuk Mbak Septi dan semua pihak Grasindo, terima kasih
banyak atas kesempatan dan kepercayaannya.
Untuk anak-anak asuh Kakak Elsa di grup LINE
Unpredictable! Terima kasih banyak sudah berbagi cerita,
ketawa bareng dan membuat notiication saya jebol. You guys
rock!
Dan terakhir, untuk semua teman-temanku baik di kampus
maupun di Wattpad yang selalu memberi dukungan, untuk
semua orang yang menyempatkan diri membaca kisah Rafa
dan Kejora, maaf karena nama kalian nggak bisa kusebutkan
satu per satu, tapi terima kasih banyak karena telah meluangkan
waktu!
Semoga kalian menikmati kisah Rafa dan Kejora
sebagaimana aku menikmati proses penulisannya!
Elsa.
pustaka-indo.blogspot.com
Prolog
Day 15: Dubai—Jakarta
26 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
2
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
konyol yang pernah ia dengar. “Trust me, young lady, saya sudah
banyak makan asam garam untuk bilang kalau pernyataan itu
sepenuhnya salah.”
Kali ini ekspresi laki-laki di sebelahnya berubah serius.
Sorot matanya melembut saat ia menatap Kejora seraya berbisik
sendu, “When the time comes, you’ll see how much you regret not
saying the things that you wanted to say to someone that means the
whole world to you. Trust me, I know.”
Kejora memilih untuk bungkam, menutup mulutnya rapat-
rapat. Dieratkannya genggaman pada tumpukan surat yang
telah menemaninya selama belasan hari terakhir. Helaan napas
meluncur dari bibir gadis itu. Berat dan menyakitkan. Seakan
ada luka yang kembali terbuka dan perihnya kian terasa setiap
kali udara memenuhi paru-parunya.
Perlahan tapi pasti, Kejora menutup mata, membiarkan
realitas meluruh selagi potongan gambar yang berasal dari
masa lalu mengelilinginya, meredam deru mesin pesawat.
Menghantarkannya ke satu masa ketika semua begitu mudah.
Begitu sederhana.
Dan sekali lagi, sosok yang menjadi alasan di balik puluhan
surat tak terkirim di pangkuannya, sosok yang selama ini selalu
menghantui bayangnya sejak masa putih abu-abu berakhir,
kembali hadir. Menorehkan luka baru tiap imajinya muncul,
meski hanya dalam wujud memori.
3
pustaka-indo.blogspot.com
Membuka
Luka Lama
Day 1: Jakarta—Dubai
10 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
5
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
tak bisa kita hadapi. Tak ada mimpi yang tak mungkin. Kita
berdua mengira apa yang kita punya cukup kuat, cukup kokoh
untuk melawan arus yang menerjang. Tetapi, kita berdua salah,
kan, Raf? Kehancuran itu justru pada akhirnya berasal dari diri
kita sendiri.
Kalau sedang sendirian di malam hari, aku sering berpikir,
mempertanyakan pada bintang yang sinarnya mulai meredup
di langit, kenapa semuanya hancur di saat kita semakin dekat
dengan mimpi? Kenapa semuanya harus berakhir di saat aku
mengira kita akan memiliki satu sama lain selamanya?
Seakan kerlip bintang memberiku ilham, aku pun sadar
bahwa waktu itu kita sedang diuji. Dunia ingin melihat seberapa
jauh sepasang anak adam mampu menumbuhkan akar yang
kokoh untuk kehidupan. Dunia ingin tahu, apakah akar itu
akan terlepas begitu saja karena badai dan hujan? Mungkin
butuh waktu bertahun, hingga akhirnya dunia tetap mendapat
jawaban yang diinginkannya.
Kita kalah, Raf.
Akar milik kita tidak menancap cukup dalam di tanah.
Angin, badai, dan hujan lebat menarik lepas semuanya. Pada
akhirnya, semua yang telah kita bangun bertahun-tahun hilang
sia-sia. Satu-satunya yang tersisa hanyalah lubang yang cukup
dalam. Cukup untuk membuatku berduka berbulan lamanya,
sementara kamu menghilang entah kemana.
Cerita yang kita punya, Rafa, mungkin butuh waktu
bertahun untuk menjabarkannya. Namun, hari ini, aku telah
berjanji pada diriku sendiri untuk sesaat melemparkan diri
kembali ke masa lalu. Sebentar saja, aku janji. Aku ingin kembali,
tanpa beban, tanpa tuntutan, tanpa penyesalan.
6
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
7
pustaka-indo.blogspot.com
Sepenggal Lagu
Masa Kecil
Day 1: Jakarta—Dubai
10 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
9
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
bisa kamu harapkan dari gadis biasa sepertiku? Meski aku tidak
menyukai perbuatan para senior, toh aku lebih memilih untuk
menunduk dan diam.
Hari itu aku mati-matian menutupi tubuhku yang kurus
dan tidak terlalu tinggi dari mata para senior, berharap sosokku
cukup kasatmata sehingga mereka tak akan mengerjaiku. Kalau
perlu, aku ingin mereka tidak menyadari kehadiranku sekalian.
Tetapi, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berada di pihakku
karena para senior malah dengan senang hati menunjukku.
Memintaku untuk melakukan hal-hal konyol di depan semua
orang.
Tentu saja aku menolak mentah-mentah. Kamu yang
paling tahu, Raf, aku benci dipermalukan di depan umum. Aku
benci jadi tertawaan orang banyak. Namun, hari itu para senior
bertingkah seakan merekalah yang berkuasa. Mereka berteriak
di depan wajahku, mengataiku tidak sopan dan belagu. Pada
akhirnya, aku hanya bisa pasrah saat mereka menggiringku ke
halaman belakang sekolah, tempat matahari bersinar sangat
terik, dan menyuruhku untuk berdiri di sana sampai acara hari
itu usai sebagai hukuman.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam, berharap topi
ala petani yang kukenakan cukup untuk menghalau sinar sang
surya yang membakar kulit. Tetapi, sepertinya usahaku sia-sia
saja karena aku bisa merasakan keringat yang mengalir deras
dari pelipis. Bahkan, wajahku mulai memerah.
Aku menggerutu, merutuki para senior yang bertingkah
semena-mena, dan menendang kerikil-kerikil di sekitarku
dengan penuh emosi. Namun, gerutuan dan seluruh sumpah
serapahku mendadak lenyap begitu saja saat telingaku
menangkap nada-nada asing yang mengalun tak jauh dariku.
10
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
11
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
12
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
13
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
14
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
“Satu lagu,” desakmu waktu itu. “Satu lagu aja dan gue janji
nggak akan pernah minta lo untuk nyanyi lagi seumur hidup lo.”
“Enggak, deh,” tolakku, masih berkeras pada pendirianku.
Tentunya aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri di
hadapanmu pada perjumpaan pertama kita.
Selama beberapa saat kamu mengamatiku dalam diam.
Dari sinar matamu, aku tahu kalau kamu sedang merencanakan
sesuatu. Dugaanku terbukti benar karena detik berikutnya kamu
mengatakan satu kalimat yang sukses membuatku terdiam.
“Gue senior lo,” ucapmu dengan nada tegas. “Gue juga
berhak kasih lo hukuman. Kalau lo nggak mau, gue bisa aduin
ke kakak pembina lo, supaya dihukum. Tahun lalu ada yang
diceburin ke kali belakang, biar lo tau aja, sih.” Senyum penuh
percaya diri terukir di bibirmu, seakan kamu tahu sejak awal
kamu pasti akan memenangkan perdebatan itu.
Bukan, Raf, pada akhirnya aku menyerah bukan karena
ancaman yang keluar dari bibirmu, melainkan karena sesuatu
yang kamu releksikan hari itu. Seakan kamu tidak peduli meski
suaraku akan terdengar sangat menyedihkan nantinya karena
kamu akan tetap menghargainya. Menghargai usaha yang
kulakukan untuk menyanyikan lagu itu.
Detik ketika kamu menatapku seraya mengulas senyum
lembut, aku yakin aku bukan diriku lagi. Kamu telah
mengendalikanku, bahkan tanpa kamu sadari. Seakan tidak
mempedulikan fakta kalau suaraku pas-pasan, dari bibirku
meluncur potongan lagu “I Wouldn’t Mind” milik He Is We.
Pelan tapi pasti. Semuanya berjalan begitu cepat, aku bahkan
tak memercayai apa yang baru saja aku lakukan. Fokusku saat
itu hanyalah kamu. Aku ingin tahu, reaksi macam apa yang
15
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
16
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
17
pustaka-indo.blogspot.com
Buku Cerita dan
Cokelat Panas
(Bagian I)
Day 2: Dubai—Roma
11 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
19
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
20
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
21
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
22
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
23
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
24
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
25
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
26
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
27
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
28
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
29
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
kali. Gue cuma pelajar biasa yang meski sering ikut remedial,
belum sefrustrasi itu buat ikut sindikat begituan,” gerutumu,
membuat tawa kecil mau tak mau meluncur dari bibirku.
“Maksud gue nggak gitu,” balasku sedikit malu seraya
menyelipkan helaian rambut di belakang telinga. “Gue cuma
was-was, apalagi sama orang asing,” terangku tanpa diminta.
Seulas senyum kecil kembali tersungging di bibirmu.
“Berani taruhan, setelah ini lo nggak akan anggap gue orang
asing lagi. Lagian gue cuma mau ajak lo minum cokelat panas
aja, kok.”
Aku kembali mengatupkan bibir rapat-rapat, memilih
untuk diam meski dalam hati menimbang-nimbang ajakanmu.
Logikaku mengatakan jika aku menerima tawaranmu berarti
aku telah kehilangan akal sehat karena kamu adalah orang asing.
Namun, aku bisa mendengar hatiku berbisik, bukankah segala
sesuatunya selalu dimulai dari rasa asing dan tidak familier?
Bukankah orang-orang yang nantinya akan menemani kita
sepanjang hidup awalnya adalah orang yang tidak kita kenal?
Seulas senyum kecil perlahan terbit di bibirku. Kamu
dan sorot matamu yang menghipnotis nyaris membuatku
mengangguk kalau saja ponselku tidak bergetar mendadak,
mengeluarkanku dari belenggu pikiran irasional yang sempat
muncul. Cepat-cepat aku merogoh saku dan mendapati sebuah
pesan singkat tertera di layar.
Noah Albert
Lucil, gue disuruh jemput lo, udah di luar gerbang. Lo ngobrol
sama siapa sih? Buruan. Laper. Mau bakmi.
30
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
31
pustaka-indo.blogspot.com
Buku Cerita dan
Cokelat Panas
(Bagian II)
Day 2: Roma
11 Juli
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
33
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
34
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
35
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
36
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
37
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
38
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
39
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
40
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
41
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
42
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
43
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
pikiran tidak masuk akal itu dari benakku dan kuraih ponselmu
hati-hati. Kusimpan nomorku di sana dalam diam meski dalam
hati aku membaca nomor yang kuketik berkali-kali.
Setelah yakin nomor yang aku tuliskan benar, kuserahkan
ponsel itu kembali padamu. Kamu menerimanya dengan senang
hati, lalu menyelipkannya ke dalam kantung celana. “hanks,
Ra,” gumammu pelan. Aku hanya tersenyum tipis.
Sedetik kemudian sebuah ide brilian tiba-tiba saja muncul
di kepalaku. Cepat-cepat aku mengarahkan pandangan padamu.
“Tapi, gue juga punya syarat.”
Kamu menatapku, bingung. “Apa, Ra?”
“Pokoknya nggak boleh hubungin gue sama sekali, di
sekolah juga nggak boleh ngobrol, sampai lo berhasil nyelesaiin
buku itu,” tuturku, membuatmu melayangkan tangan ke kepala
dan menggaruknya gusar seketika.
“Syarat lo kok nyebelin banget, sih?” komentarmu tidak
setuju.
Aku memilih untuk memasang ekspresi datar. “Ya, terserah
aja. he deal is on you.”
Kamu terlihat berpikir keras sebelum akhirnya menghela
napas pasrah. “Deal, deh. Lo itu, bener-bener ya,” balasmu,
terdengar kesal sendiri.
Aku tertawa pelan. “Deal,” anggukku seraya mengulurkan
tangan ke arahmu, mengisyaratkan untuk menjabat tanganku.
“Meskipun gue nggak yakin lo bisa namatin buku itu.”
Kamu membalas uluran tanganku seraya tersenyum.
Senyum itu lagi. Senyum penuh teka-teki yang selalu berhasil
mengacaukan ritme detak jantungku. “Jangan anggap remeh,
Kejora,” ucapmu ringan, “gue punya motivasi.”
Aku kontan menaikkan alis. “Oh, ya? Apa?”
44
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
“Lo.”
Selama beberapa saat, hening menyelimuti kita. Satu-
satunya yang bisa kudengar hanyalah alunan lagu lama yang
berasal dari pengeras suara dan helaan napasku yang tak
beraturan. Ucapanmu hari itu, entah kenapa mampu membuat
jantungku seakan berhenti berdetak selama beberapa saat.
Padahal, hanya satu kata sederhana, Raf, tapi kenapa efeknya
sedahsyat itu? Aura canggung yang sempat menyelimuti kita
perlahan mulai luntur saat kamu tiba-tiba bertanya, “Lo suka
musik?”
Aku mengedikkan bahu ke arahmu. “Siapa juga yang nggak
suka musik?”
Menurutku, musik adalah pelarian. Sesuatu yang aku
cari kalau mood-ku kacau, pun sesuatu yang aku cari saat aku
sepenuhnya bahagia. Sesuatu yang mampu mengisi kekosongan
di dalam dada saat aku merasa sepi, dan sesuatu yang mampu
melengkapi momen-momen manis dalam hidupku. Setiap
cerita punya musik sendiri. Mungkin itulah kenapa sampai
detik ini, ada satu-dua lagu yang setiap kali kudengar selalu
mengingatkanku padamu. Lagu-lagu itu, mereka bercerita
tentang kita.
“Banyak,” tukasmu langsung saat mendengar jawabanku.
“Banyak orang di dunia ini yang bahkan nggak bisa meluangkan
waktu untuk mendengarkan barang satu-dua lagu setiap
harinya. Gue heran gimana caranya mereka bisa bertahan
hidup.”
Jawaban yang kamu lontarkan hari itu dan ekspresi
wajahmu saat kamu mengucapkan kata demi katanya, entah
kenapa berhasil membuatku menyimpulkan satu hal; bahwa
45
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
46
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
47
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
48
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
49
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
50
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
51
pustaka-indo.blogspot.com
Gaya Tarik
Menarik Antar
Bintang
Day 3: Roma—Pisa
12 Juli
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Sore itu aku baru saja tiba di rumah Noah. Bunda memintaku
untuk mengantarkan sup jagung buatan beliau sekaligus
mengecek kondisi sahabatku yang satu itu. Dengan langkah
ringan, aku menyeberangi pekarangan rumah Noah. Hamparan
bunga warna-warni dan rerumputan hijau silih berganti
melewati pandangan. Kedua orangtua Noah memang suka
53
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
54
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
55
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
56
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
57
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
58
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Ada dompet, cologne bayi, notes kecil, satu buah pulpen dan
kotak CD yang kamu berikan—lengkap bersama post it-nya.
Aku hanya bisa menggelamkan kepalaku di antara bantal
selagi Noah meraih kotak tersebut. Sahabatku itu lalu berdeham
pelan, sebelum membaca tulisan yang kamu bubuhkan di
sana keras-keras dengan bahasa Inggris yang kelewat fasih,
membuatku menenggelamkan wajah semakin dalam. “…. I think
we could still make a great melody.” Decakan keras meluncur dari
bibir Noah. “Cih, did he think someone would actually buy that
bullshit?” ucapnya malas-malasan.
Meski masih menutupi wajah dengan bantal, aku bisa
merasakan tatapannya yang lekat diarahkan padaku. Aku tahu
pasti penyebabnya; karena aku memilih untuk bungkam dan
bukannya menyetujui ucapannya. Detik berikutnya, Noah sudah
merenggut paksa bantal dalam pelukanku. Dia lalu menatapku
dengan sorot tak percaya, “Really, Lucil? Lo termakan gombal
model beginian?”
Aku hanya bisa menggaruk kepala dengan serbasalah.
“Untuk ukuran gombal, lo harus mengakui kalau itu gombalan
yang lumayan bagus.”
Noah mendelik sebal. “Ini kenapa gue nggak suka lo
kebanyakan baca novel. Lo jadi berekspektasi,” balasnya, sedikit
ketus.
Aku menaikkan alis, tanda tidak mengerti. “Maksud lo?”
“Iya, lo berekspektasi kalau semua cowok itu baik. Seakan
mereka semua prince charming yang naik kuda ngitarin halaman
rumah lo,” jawab Noah cepat. Sahabatku itu lalu meletakkan
kedua tangannya di atas bahuku, memaksaku menatapnya
lurus-lurus. “Habis ini apa? Cowok model begini, Lucil, dia
mungkin bakal ngajak lo keluar dan lo mungkin akan jawab iya.
59
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
60
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
61
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
hal seperti itu sudah biasa—dan ya, hal seperti itu memang
sudah terjadi sejak kami berada di sekolah dasar. Sementara
aku? Aku tetap menjadi Lucillia Kejora yang kasatmata dan
harus berusaha ekstra keras untuk mengikuti langkah Noah
yang lebar.
Aku mengerti kalau bukan salah Noah jika dia terlahir
dengan tampang dan tubuh seberuntung itu. Kulitnya putih
meski kerap kali terkena pancaran sinar matahari. Dadanya
bidang dengan tubuh tinggi dan lengan yang cukup berotot.
Aku tahu benar postur itu merupakan warisan dari Om Albert,
ayah Noah yang berdarah Prancis. Sementara alis mata tebal
dan garis rahangnya yang tegas merupakan ciri khas Noah yang
berasal dari ibunya. Tak lupa pula sepasang manik berwarna
hitam-kebiruan menambah pesona yang dimiliki Noah. Laki-
laki beruntung itu bisa saja mengadu nasib di bidang entertain.
Namun, dia selalu saja menolak dan menyuruhku diam saat
usul itu terlontar dari bibirku.
Kehebohan akan kedatangan Noah masih saja berlanjut
bahkan sampai bel pulang berbunyi. Aku sendiri mengemas
barang-barangku dengan malas sambil sesekali melirik
Noah yang tempat duduknya berjarak cukup jauh dariku.
Sahabatku itu terlihat sibuk mengobrol dengan beberapa
anak laki-laki lainnya. Samar-samar aku bisa mendengar kata
‘kick-of’, ‘gawang’, serta ‘Manchester City’ yang membuatku
mengasumsikan kalau mereka sedang mengobrol tentang sepak
bola.
Sedetik kemudian Noah menoleh ke arahku. “Lo mau balik
sekarang?”
“Menurut lo?”
62
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
63
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
64
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
65
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
66
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
67
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
68
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
karena kita yang sebenarnya jauh berbeda dari apa yang mereka
harapkan.”
Kamu menatapku tanpa berkedip dalam diam selama
beberapa saat, membuat suasana menjadi canggung. “Gue suka
cara lo berpikir.” Senyum samar terukir di bibirmu. “Ini pertama
kalinya gue membahas topik semacam ini sama cewek.”
Aku tertawa kecil saat mendengar ucapanmu sebelum
memutar mata. “Jangan coba labelin gue, Raf. Lo nggak kenal
diri gue yang sebenarnya,” balasku ringan.
Detik itu kamu ikut tertawa. Kamu terus tertawa hingga
yang ada di antara kita hanyalah keheningan murni. Sedari
awal, tak pernah sekali pun manik matamu meninggalkanku.
Hingga akhirnya, setelah hening yang cukup lama, aku bisa
mendengar kamu berkata dengan suara pelan.
“Gue memang nggak kenal diri lo yang sebenarnya, Kejora.”
Kamu tertawa kecil sekali lagi, entah apa yang lucu
tepatnya aku juga tidak mengerti. Namun sedetik kemudian
kamu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sebelum
kembali memfokuskan pandangan padaku. Suaramu terdengar
seperti bisikan saat melanjutkan, “ButI’d like to know you better.”
69
pustaka-indo.blogspot.com
Satu Langkah
Lebih Dekat
Day 4: Pisa—Venice
13 Juli
Halo, Rafa.
Sekarang tepat pukul delapan malam di Venice dan aku baru
saja tiba di hotel. Seharian aku sibuk berkeliling kota bersama
rombongan. Omong-omong, aku menemukan travel-partner
selama perjalanan ini berlangsung. Namanya Audrey. Seorang
entrepreneur yang mengaku penat dengan kepadatan Jakarta
dan butuh libur panjang. Pertama, kami pergi ke Piaza San
Marco, sebuah gedung dengan menara yang cukup tinggi. Nah,
dari puncak menara tersebut, kami bisa melihat pemandangan
Kota Venice secara keseluruhan.
Kami juga mengunjungi Bridge of Sighs atau jembatan
rintihan. Namanya memang terdengar menyeramkan, Raf.
Tetapi, jembatan itu merupakan salah satu tempat sakral dalam
hal asmara di kota ini. Tak lupa pula aku mencicipi hidangan
khas; Polenta. Bentuknya persegi panjang, berwarna keemasan
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
71
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
72
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
73
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
74
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
75
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Saat aku pulang ke rumah sore harinya, Bunda dan Ayah sedang
sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa untuk
perjalanan bisnis mereka. Bunda dan Ayah memang selalu
seperti itu, partner dalam kerja juga partner dalam hidup.
Bunda bekerja sebagai sekretaris pribadi Ayah, sementara Ayah
sendiri memimpin sebuah perusahaan tekstil yang cukup besar.
Tidak mengherankan kalau mereka selalu pergi bersama.
“Bunda, mau ke Denpasar sama Ayah,” terang Bunda saat
aku bertanya ke mana tujuan mereka kali ini. “Makanya Bunda
minta izin sama Tante Ratih, supaya Noah sering nengokin
kamu sampai minggu depan. Ngawasin kamu. Sekalian sama
Clara, adiknya. Katanya dia kangen main boneka sama kamu,”
tambah Bunda lagi tanpa diminta sambil memasukkan baju ke
dalam koper.
Aku ingat kamu pernah bertanya padaku dulu, sedekat apa,
sih, aku dan Noah?
Sedekat ini, Raf. Sangat dekat. Tetapi, itu semua tentu saja
faktor dari pertemanan kami yang telah terjalin semenjak masa
kanak-kanak. Bahkan, Bunda dan Tante Ratih sudah saling
76
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Rafael Leonardi
Check your mailbox. Mailbox beneran ya, Ra. Kotak pos sih
bahasa indonesianya.
77
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
78
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
79
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Lo nggak tau aja rencana gue itu apa, batinku waktu itu.
Kalau aku bisa mengeluarkan tawa jahat pastilah suasananya
sudah seperti di ilm-ilm. “Movie marathon ya? Gue yang pilih
karena lo nyebelin,” tawarku sebelum mengambil CD ilm A
Walk To Remember.
Noah benci ilm itu. Menurut Noah ilm itu membosankan
setengah mati dan selalu berhasil membuatnya tertidur di dua
puluh menit pertama. Tetapi, sepertinya Noah merasa bersalah
karena tidak memberiku izin pergi ke gig kamu, maka dia
menyetujui permintaanku untuk menonton ilm tersebut. Aku
lalu mengambil tempat di sebelah Noah dan Clara, berpura-
pura serius menonton. Sesekali aku memperhatikan Noah
yang mulai menguap. Ternyata segelas cokelat panas dan ilm
membosankan cukup untuk mengelabui seorang Noah Albert.
Tak sampai dua puluh menit kemudian, aku menemukan
Noah dan Clara sudah tertidur pulas di sofa dengan posisi saling
berpelukan. Sambil tersenyum puas, aku perlahan bangkit dan
langsung bergerak menuju kamar. Kuganti piyamaku dengan
sweter biru muda dan jeans. Tak lupa aku meraih Converse
kesayanganku untuk melengkapi penampilanku malam itu.
Setelah memastikan kalau Noah dan Clara tertidur pulas,
aku memutuskan untuk menyelinap keluar melalui jendela
kamar. Aku sempat terkikik geli saat membayangkan reaksi
Noah ketika dia terbangun nantinya. Namun, tentunya sudah
terlambat bagi sahabatku itu karena aku telah pergi.
Asal kamu tahu, Raf, aku belum pernah melakukan hal
segila itu sebelumnya. Selama belasan tahun hidupku, sosok
Lucillia Kejora selalu menjadi anak rumahan yang penurut.
Yang tak berani mengambil risiko atas hidup dan pilihannya.
80
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
81
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
he ray of sunlight
get through my window,
as you sit next to the glass
glowing and shimmering.
Like a star, shining in the night sky.
Oh, darling, you always one to me.
I need you to know,
no matter how part we drifted apart
this heart will always belong to your heart.
Because darling, you always one to me.
And I don’t wanna feel this empty side,
where you used to be sleeping
82
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
83
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
84
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
85
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
86
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
87
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
88
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
89
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
inspirasi untuk orang banyak. Gue cuma mau berbagi, Ra. Tapi,
untuk mencapai mimpi yang sederhana itu aja susah banget.
Yah, mungkin selamanya mimpi-mimpi gue akan selalu jadi
fantasi anak laki-laki tujuh belas tahun yang buta akan dunia
nyata.”
Kamu mengucapkan kalimat itu dengan senyum tipis.
Pandanganmu diarahkan jauh ke langit tak berbintang. Helaan
napasmu berat dan teratur. Seakan apa yang baru saja kamu
ucapkan merupakan beban yang sudah lama kamu pendam,
tetapi tak berani kamu keluarkan.
Jujur, aku tidak tahu tanggapan seperti apa yang harus
kuberikan. Aku bahkan belum menemukan impianku—
mungkin ada jauh di dalam hati, tapi toh aku belum yakin.
Aku tidak bisa memahami perasaanmu seutuhnya. Maka, aku
memilih diam dan meneguk kembali soda dalam genggamanku.
Setelah hening beberapa saat, kamu menoleh dengan sorot
lembut. “Kalau kamu, apa impian kamu?” tanyamu, membuatku
tertegun.
“Nggak tau,” balasku pelan. Pandanganku jauh di awang-
awang. Mendadak aku merasa sangat bodoh. “Aku belum yakin
mau jadi apa ke depannya.”
Kamu menatapku dengan kening berkerut. “How could you
not know, Ra?”
“And how could you know, Raf?” balasku langsung.
Saat itu, aku memang belum yakin ingin jadi apa aku
kedepannya. Tetapi, setiap kali aku melihat binar di kedua
matamu saat kamu membicarakan mimpi-mimpimu, sesuatu
seolah tergerak di dalam diriku. Aku juga ingin punya mimpi,
Raf. Aku ingin memiliki sesuatu yang aku cintai setengah mati
dan berusaha sekeras apa pun untuk meraihnya. Aku ingin
90
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
91
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
92
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
93
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
94
pustaka-indo.blogspot.com
Melayang
Bersama Angin
Day 5: Venice—Laussane
14 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
96
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
kasih dia makan. Si Kejora sama Noah ini aneh kali lidahnya.
Sok kebarat-baratan,” omel Ayah waktu itu dengan logat khas
Sumatera-nya, membuat kita semua tertawa.
Dan meskipun Noah berkali-kali berusaha mengungkit fakta
bahwa kamu adalah anak band yang berantakan, aku bersyukur
Bunda dan Ayah seakan mampu melihat sisi baik dari dirimu.
Pada akhirnya, saat kamu pamit pulang, Bunda memberiku
pelukan hangat dan menanyaiku apakah aku menyukai kamu.
Aku hanya bisa tersenyum malu dan seakan seluruh semesta
sedang berpihak padaku, Bunda tidak keberatan dengan hal
itu. Kedua orangtuaku menyukai kamu. Bahkan, hanya dengan
sekali pertemuan.
Momen itu merupakan salah satu dari sekian banyak
momen favoritku tentang kita. Waktu itu semuanya sangat
sederhana, Raf. Hanya ada aku, perempuan kecil yang perlahan
jatuh cinta dan kamu, laki-laki pemberani yang membuatku
mampu mengambil semua risiko yang ada.
Namun, di balik semua sikap manis itu, kamu tentu
mempunyai satu sisi yang lain. Sisi yang berhasil membuatmu
mendapat predikat sebagai murid yang harus dijauhi jika ingin
lulus dengan nama baik-baik. Seperti gelap dan terang yang
selalu beriringan. Meskipun begitu, selalu ada waktu ketika aku
berharap bisa melihat sisi gelapmu sekali lagi. Karena satu hal
yang aku tahu pasti; sisi itu hanya muncul di saat kamu mencoba
melindungiku.
97
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
98
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
99
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
100
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
101
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
102
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
103
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
104
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
105
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
106
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
107
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
108
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
109
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
110
pustaka-indo.blogspot.com
Melebur Jadi Satu
Day 6: Lausanne—Glacier 3000—Zurich
15 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
112
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
113
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
“Ya elah, Bu,” cetus salah satu teman sekelasku. “Siapa lagi
di sekolah ini yang namanya Kejora?”
Mendengar ucapan teman sekelasku, Bu Marta langsung
menatapku dengan pandangan menyelidik. “Kamu kenal sama
anak-anak badung itu?”
Aku benar-benar menahan diriku sendiri untuk tidak
menghela napas berat. Meski aku telah mengetahui alasan
sebenarnya kenapa kamu kerap kali disebut sebagai tukang
buat onar, tetapi tetap saja aku kesal sendiri setiap mendengar
orang lain menyinggung tentang reputasimu yang satu itu.
“Aduh, Kejora, ngapain kamu dekat-dekat mereka?” ujar
Bu Marta dengan nada nyaring saat aku menganggukkan
kepala. “Mereka itu usil sekali, kalau di mata pelajaran saya
selalu saja membuat keributan. Apalagi si Karel itu! Masa dia
pernah memutar lagu dangdut waktu saya lagi mengadakan tes,
volumenya kuat sekali pula. Nggak sopan anak itu.” Aku bisa
melihat kilatan emosi di mata Bu Marta saat beliau menyebut
nama Karel. Yah, temanmu yang satu itu memang hiperaktif.
Aku tidak heran.
“Kejora kan nggak sama Karel, Bu,” sahut suara lain dari
sudut kelas. “Kejora mah sama Rafa.”
Mendengar itu, Bu Marta kontan mendengus keras. “Ah,
Rafa itu juga sama aja kayak Karel.” Bu Marta benar-benar
terlihat kesal saat menatapku. “Karel yang mutar lagu, dia yang
joget.”
Seluruh penjuru kelas langsung tertawa terbahak-bahak
saat mendengar ucapan Bu Marta, sementara aku hanya bisa
menunduk dalam dan menempelkan keningku ke permukaan
meja. Rasanya aku benar-benar malu, kesal, dan geli. Aku tidak
tahu apa yang harus kurasakan. Dari sudut mataku, aku bahkan
114
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
115
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
116
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
balik omelan Noah. Sahabatku itu, apa yang dia lihat di dirimu
sampai-sampai sangat berat baginya untuk memercayai kamu?
Noah memasukkan tangannya ke dalam saku celana selagi
tatapannya dialihkan entah ke mana. Aku tahu tebakanku
sepenuhnya benar. “Gue kan pernah bilang, gue nggak bisa
percaya dia untuk jagain lo,” ucap Noah.
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Perlahan, aku
mengambil langkah lebar ke arah Noah dan mendaratkan
tanganku di kedua pundaknya, memaksanya menatapku lurus-
lurus meski aku sedikit berjinjit. “Noah, lo lihat gue, apa sih
yang bikin lo segitu nggak sukanya sama Rafa?”
“He’s just not right for you, Kejora.” Helaan napas mengikuti
kalimat sederhana yang Noah ucapkan. Kalimat itu membuatku
tertegun selama beberapa saat. Bagaimana bisa dia berkata kalau
kamu tidak tepat untukku? Bagaimana bisa dia menentukan hal
semacam itu? Aku mengamati Noah, berusaha memahami apa
maksud sebenarnya di balik kalimatnya dan apa arti dari sorot
matanya yang mendadak tak bisa kubaca. Namun, yang kudapat
adalah nihil. Aku tak mengerti sama sekali.
Kesal, cepat-cepat aku mengembalikan fokus pada barang-
barang dan ranselku. “Oh, ya? Terus siapa yang menurut lo
tepat buat gue?” tukasku sinis.
Noah memilih untuk bungkam. Selama sepersekian detik,
aku rasa aku sempat melihat sorot sedih di kedua matanya.
Atmosfer di antara kami terasa asing. Aku dan Noah memang
sering berdebat, tapi perdebatan semacam ini—apalagi sampai
aku mengeluarkan nada kasar—bukanlah jenis perdebatan
yang sering kami hadapi.
“Ya mana gue tau, memangnya gue biro jodoh,” gumam
Noah pelan tapi cukup untuk kudengar.
117
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
118
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
119
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
120
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
121
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
122
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
nanti. Whatever it takes, as long as you’re happy with me, I’ll try
my best.”
Jarum jam masih terus berputar dan angin laut masih terus
berembus. Namun, saat aku menatap kedua manik cokelat gelap
milikmu, aku merasa kalau duniaku berhenti berputar.
“Kenapa aku, Raf?” tanyaku saat telah berhasil menemukan
suara. Mataku mendadak terasa panas. Hal yang baru saja
kamu ucapkan merupakan hal termanis yang pernah seseorang
ucapkan padaku selama belasan tahun hidupku. “Dari sekian
banyak murid yang ikut orientasi hari itu, kenapa aku?”
Kamu menyelipkan helaian rambutku yang jatuh menutupi
wajah ke belakang telinga sebelum menjawab, “Gue juga nggak
tau.”
Senyum itu masih terukir di wajahmu. Senyum yang selalu
berhasil membuatku jatuh dan bertekuk lutut. “Mungkin
karena kamu yang paling terang di antara mereka semua? Buat
gue, kamu selalu jadi bintang yang paling terang. Bintang yang
jaraknya dua langkah dari sang mentari. Kejora. Kamu cahaya
yang menuntun gue pulang.”
Aku benar-benar berusaha sangat keras untuk tidak
menangis hari itu. Kamu membuatku merasa seakan aku benar-
benar berarti di hidupmu. Seakan aku ini sepotong kecil puzzle
yang setelah sekian lama kamu cari, akhirnya kamu temukan.
Seakan di saat kita bersama, kamu bisa mendengar bunyi klik
yang menandakan kalau aku memang sudah seharusnya berada
di sisimu.
Melihatku yang masih bergeming, kamu meraih tanganku
dan menggenggamnya perlahan. Detik ketika kamu kembali
buka suara, adalah detik ketika hatiku melambung tinggi jauh
123
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
124
pustaka-indo.blogspot.com
Sinar
yang Menembus
Jendela
Day 6: Lausanne—Glacier 3000—Zurich
15 Juli.
Halo, Rafa.
Well, surat yang kedua untuk hari ini. Entah kenapa aku
tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam
dan aku masih terjaga tanpa alasan yang jelas. Sangat tidak
masuk akal.
Omong-omong, aku sedang berada di Zurich, kalau kamu
penasaran. Malam ini aku dan rombongan tur menyempatkan
diri untuk bermalam di sini sebelum memulai perjalanan
panjang ke Amsterdam. Tidak kusangka aku hampir melalui
setengah liburanku.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
126
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
127
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
128
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
129
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
130
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Beberapa hari setelah aku memberi tahu Noah perihal kita, aku
ingat berkunjung ke rumahmu dan menemukan kejutan yang
tak pernah kuduga di sana.
Waktu itu sudah terhitung tiga bulan sejak kita bersama dan
belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki di rumahmu,
sementara kamu sendiri sudah seperti anggota keluarga
tambahan di keluargaku. Ya, kamu memang sering berkunjung
ke rumah—untuk sekadar menemaniku movie marathon di akhir
pekan, menemani Ayah mengobrol dan menjadi lawan beliau
bermain catur, atau mencicipi masakan Bunda dengan sukarela
saat beliau mencoba membuat resep baru. Kedua orangtuaku
menyukaimu nyaris sebesar aku menyukai kamu. Sementara
kedua orangtuamu mungkin tidak tahu kalau aku ada.
Aku tidak ingat tepatnya kenapa aku bisa berkunjung
ke rumahmu hari itu, yang jelas ketika aku melangkahkan
kaki ke ruang tamu, seorang perempuan cantik dengan
tubuh tinggi menyapaku hangat. Perempuan itu adalah Tante
131
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
132
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
133
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
134
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
135
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
136
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
rumah yang kita tinggali terlalu sesak dan sempit hingga kamu
memutuskan untuk pergi. Mencari tempat lain untuk bernaung
tanpa pernah kembali.
137
pustaka-indo.blogspot.com
Saat Semuanya
Lebih Mudah
Day 7: Zurich—Scaf hausen—Titisee—Frankfurt
16 Juli.
Time lies so fast when you’re having fun. It’s a common phrase
that we often ind everywhere; from a passage of a book, on some
random pages on the internet nor a song. And it’s magniicently true.
Aku rasa hal itu jugalah yang terjadi pada kita. Tahun-tahun
pertamaku sebagai murid sekolah menengah atas perlahan
namun pasti kulalui meski cukup melelahkan. Rutinitasku,
yah, pergi ke sekolah bersama Noah, menyempatkan diri untuk
menemani kamu latihan band sorenya atau untuk sekadar
menghabiskan waktu bersama, belajar dan mengerjakan tugas
di malam hari sambil mendengar celotehanmu lewat telepon,
dan terkadang di akhir pekan aku akan menemani Tante Dian
hunting DVD ataupun pergi menonton gig kamu.
Aku rasa bagian yang paling menyenangkan dari semua
rutinitas monotonku adalah saat aku pulang ke rumah di akhir
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
139
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
140
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
141
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
142
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
143
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
144
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
adegan itu terasa lucu, tetapi entah kenapa, aku tidak memiliki
cukup keberanian untuk menatapmu. Mungkin karena ini
pertama kalinya kamu memelukku selagi kita berada di
lingkungan sekolah? Entahlah.
Saat aku akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat
kepala, kamu masih berdiri di hadapanku. Jari-jarimu yang
panjang perlahan meraih tanganku, mengusap punggungnya
perlahan. Dengan seulas senyum yang benar-benar manis kamu
lalu berkata, “hanks, Kejora.”
145
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
146
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
147
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
148
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
arahku dan hanya dengan gestur itu, aku tahu kalau apa yang
sedang berputar dalam benak kita sama. “Noah,” panggilku
sekali lagi, membuatnya menoleh malas-malasan.
“Pleaseeeee,” ucapku dan kamu berbarengan dengan nada
manis, membuat Noah kesal setengah mati, tapi akhirnya
mengangguk.
149
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
150
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
151
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
152
pustaka-indo.blogspot.com
Hari Kelulusan
Day 8: Frankfurt—Cologne—Amsterdam
17 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
154
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
155
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
156
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
157
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
158
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
159
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
160
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Tak terkecuali kamu. Dari jarak sejauh itu, aku bisa melihat
matamu mulai memerah—sama seperti teman-temanmu dan
semua orang yang ada di atas panggung. Perasaan haru pun
tak luput menyusup ke dada kami, para penonton yang ada di
dalam ruangan. Bahkan, sudut mataku terasa basah.
Setelah lagu itu berakhir, hening menyelimuti aula selama
beberapa saat. Seharusnya, setelah kalian menyanyikan Auld
Lang Syne, kalian semua turun dari atas panggung. Namun,
bukannya turun, kalian malah meraih tangan satu sama lain
dan menggenggamnya semakin erat, lalu tersenyum ke arah
penonton. Aku menyipitkan mata saat menyadari sesuatu yang
janggal. Klana, Karel, dan Adrian menghilang dari barisan.
Ke mana teman-temanmu pergi? Jangan sampai kalian
merencanakan sesuatu untuk mengacaukan hari bersejarah itu.
Beberapa detik kemudian, lampu tiba-tiba saja padam. Dan
di sela-sela keterkejutan penonton, aku bisa mendengar kamu
menyanyikan bait pertama dari lagu “Team” milik Lorde dengan
suara khasmu yang membuat hatiku seketika berdesir.
Wait ‘till announced
We’ve not yet lost all our graces
Perlahan, lampu mulai hidup kembali. Dan kini tidak hanya
kamu, tetapi semua orang yang ada di atas panggung ikut
bernyanyi.
he hound will stay in chains
Look upon Your Greatness and she’ll send the call out
Beat yang berasal dari drum pun ikut bergabung kali ini.
Langsung saja aku melirik panggung kecil yang terletak di sudut
ruangan, tempat alat-alat musik diletakkan dan mendapati
Karel, Klana, serta Adrian sudah ambil posisi. Sebenarnya, aku
ingin tertawa melihat Klana. Temanmu yang satu itu terlihat
161
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
162
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
163
pustaka-indo.blogspot.com
Bulan
dan Langkah Kaki
Day 8: Frankfurt—Cologne—Amsterdam
17 Juli.
Halo, Rafa.
Kamu masih ingat tidak dengan adiksiku pada malam
ketika purnama bersinar terang di langit? Kalau sudah seperti
itu, kamu tahu, kan, kalau aku pasti lebih memilih untuk
menghabiskan malamku di halaman belakang rumah sendirian,
hanya ditemani playlist sendu di iPod-ku, menatap langit malam
semalaman. Setidaknya satu kali dalam sebulan, sudah menjadi
rutinitasku.
Kali ini pun tak berbeda. Purnama kembali bersinar terang
di langit malam Amsterdam. Aku duduk di kursi yang terletak
di balkon, ditemani satu gelas panjang berisi soda yang tak
kusentuh dan lagu-lagu dari playlist di iPod-ku yang kuberi
nama “dance, its moonlight”. Kalau diperhatikan, nama playlist
itu seakan menginterpretasikan lagu di dalamnya berisi musik
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
165
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
166
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
167
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
168
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
169
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
170
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
171
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
satu hal yang aku tahu pasti; aku menangis menyadari betapa
akuratnya ucapanmu.
Semua yang terjadi di antara kita terasa sangat cepat,
Rafa. Dan meski aku memohon pada alam semesta untuk
menghentikan waktu tepat di momen itu, meski hanya sesaat,
toh seluruh dunia akan terus berputar. Mengabaikanku dan
deraian air mataku seakan permohonanku hanyalah angin lalu.
Aku juga takut, Raf.
Aku sangat takut karena seiring malam berganti, maka
semakin cepat waktu yang kita miliki berakhir. Aku takut suatu
saat nanti akan terbangun di pagi hari dan menyadari bahwa
waktu kita telah habis. Karena meski semua yang kita punya
terasa sangat manis dan indah, jauh di dalam hati, aku tahu
kalau hal itu tidak akan berjalan selamanya.
172
pustaka-indo.blogspot.com
Menggenggam Mimpi
Day 9: Amsterdam
18 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
susu rasa vanila. Sure, I do ramble on this letter right now but I’m
not drunk. I don’t drink, to be exact.
Orang bilang susu dapat membantumu agar tidur lebih
baik. Tetapi, kenapa yang terjadi padaku malah sebaliknya,
Raf? Buktinya, meskipun sekarang ini aku sedang meminum
botol ketiga dari aku masih terjaga sepenuhnya. Heck, bahkan
aku terjaga sambil menulis surat dengan lancar. Yah, tulisanku
memang sedikit berantakan malam ini. Padahal, biasanya
surat-surat yang aku tulis untukmu selalu rapi dan kusimpan di
dalam amplop warna-warni yang cantik. Setiap menyelesaikan
satu surat, biasanya aku akan meletakkannya di sudut terdalam
koperku agar tidak tercecer.
Jujur, Raf, aku belum tahu apa yang ingin kulakukan
dengan surat-surat ini sebenarnya. Apa harus aku berikan
padamu? Tetapi, bagaimana kalau saat kamu membacanya kamu
malah menganggapku sebagai perempuan menyedihkan yang
sampai sekarang masih belum bisa melupakanmu? Bagaimana
kalau kamu sudah memiliki penggantiku sekarang? Atau lebih
buruknya lagi, bagaimana kalau kamu sudah menikah?
Oke, baiklah, aku tahu kalau dua kemungkinan terakhir
yang kusebutkan sedikit tidak mungkin. Tabloid dan berita-
berita di internet memang mengatakan kalau kamu masih
sendiri. Tetapi, siapa yang tahu kebenarannya? Aku sudah cukup
lama bersama kamu untuk tahu kalau semua yang ditampilkan
di media sosial bisa jadi hanya sebuah setting. Public igure
seperti kamu, kehidupannya terlalu rumit dan penuh kepura-
puraan.
Aku jadi ingat hari itu. Hari yang aku yakin pasti kamu
nobatkan sebagai hari terbaik dalam hidupmu, tetapi justru
sebaliknya untukku. Kalau bisa aku ingin menghilangkan hari
174
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
175
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
176
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
177
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
dengan kaus dan celana tidur. Aku lalu ikut mengambil tempat
di sebelahmu, menatap layar televisi dengan serius. Filmnya
baru saja dimulai—Tom sedang memecahkan piring di counter
dapur. Selama ilm berlangsung, yang menyelimuti kita
hanyalah helaan napas yang teratur. Aku melirikmu sesekali,
mendapati kamu yang balas melirikku dengan seulas senyum
kecil di sudut bibirmu. Ada sesuatu yang salah padamu hari itu,
aku yakin.
“Gue nggak pernah ngerti sama jalan pikirannya Summer,”
katamu tiba-tiba, membuatku menoleh. “Seenak jidatnya aja dia
bilang kalau dia sama Tom cuma teman, padahal semua orang
juga tau kalau teman nggak kayak gitu,” sambungmu kesal.
Aku tertawa pelan. “Namanya juga ilm, Raf. Suka-suka
sutradaranya lah.”
“Tapi, dia egois banget, Ra.” Kamu terlihat tidak setuju
dengan ucapanku. “Dia ngelakuin apa yang dia mau tanpa
memedulikan perasaan orang lain. Gue kesel, pengin gue jedutin
ke tembok,” tambahmu membuat tawaku semakin keras.
Aku lalu menoleh ke arahmu sambil tersenyum kecil saat
tawaku sudah surut. “Raf, daripada kamu marah-marah nggak
jelas karena ilm, mending kamu cerita deh kenapa kamu
senyum-senyum kayak orang gila gitu.”
Seringai lebar langsung muncul di wajahmu. “Ah, itu,”
gumammu pelan. Perlahan kamu lalu meraih sesuatu dari saku
celana dan mengacungkan sebuah amplop yang terlihat sedikit
kusut di depan wajahku.
Langsung saja aku meraih amplop itu dan menatap kamu
dengan mata membesar. “Kamu dapat dua milyar beneran?”
178
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
179
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
180
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
181
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
182
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
183
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
184
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
185
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
186
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Aku tidak tahu tepatnya apa yang kalian bicarakan hari itu.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Joe langsung menggiring
kalian ke ruangannya. Kali ini, Marlene ikut bersama kalian.
Aku hanya bisa pasrah memainkan ponsel, berusaha menerka
apa yang kalian rundingkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya dalam hati, memangnya apa yang salah kalau
para personel Constant Star punya pasangan?
Setelah nyaris empat puluh lima menit berlalu, kamu
dan teman-temanmu akhirnya keluar dari ruangan. Joe dan
Marlene berjalan di belakang kalian, mengobrol serius dengan
volume pelan. Ekspresi kalian berempat tidak bisa kubaca. Mau
tak mau satu hal terlintas di benakku; ada sesuatu yang salah.
“Semuanya baik-baik aja?” tanyaku pelan saat kamu
akhirnya berdiri di hadapanku.
Kamu menatapku lekat untuk waktu yang cukup lama.
Aku tidak tahu tepatnya apa yang kamu pikirkan karena meski
aku telah berulang kali mencoba untuk memahami, aku selalu
saja gagal. Pada akhirnya, kamu mengangguk pelan, meraih
tanganku dan bergumam, “Ya, semuanya baik-baik aja.”
Namun, kilatan di matamu mengatakan sebaliknya.
187
pustaka-indo.blogspot.com
Patahan Pertama
Day 10: Amsterdam—Brussesls—Paris
19 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
189
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Seharusnya aku tahu ada yang salah dengan hari itu. Pasalnya
saat aku terbangun, aku bisa merasakan sesuatu yang janggal
dengan suasana rumahku. Biasanya di akhir pekan suara berisik
dari arah dapur menandakan kalau Bunda sedang membuat
sarapan dan Ayah yang menyenandungkan lagu-lagu dalam
bahasa Batak sambil mencuci mobil selalu mewarnai pagiku.
Namun, hari itu berbeda. Suasananya hening. Bahkan, aku
bisa mendengar bunyi jam berdetik. Maka, setelah mencuci
muka, aku memutuskan untuk keluar dari kamar seraya
berjinjit. Waktu itu masih pukul enam pagi. Hawa dingin sisa
subuh masih terasa. Aku memeluk diri sendiri dan melangkah
perlahan. Entah kenapa, aku merasa seakan sedang bermain di
dalam ilm horor. Seakan-akan jika aku tidak waspada akan ada
roh jahat yang menyeretku paksa ke dunianya.
Aku memanggil Bunda dan Ayah beberapa kali, tetapi
nihil. Tidak ada sahutan. Pun aku memberanikan diri untuk
mengecek kamar mereka. Kosong. Seprai dan selimutnya telah
dirapikan, membuat rasa curigaku semakin besar. Setelah
menimbang sejenak, aku memutuskan untuk berpikir positif
dan menyimpulkan kalau mungkin Bunda dan Ayah sedang
pergi mencari sarapan dan tidak tega membangunkanku yang
tertidur pulas.
Dengan langkah ringan, aku kembali menuju kamar,
bersiap melanjutkan tidur. Tetapi, baru setengah jalan, aku bisa
mendengar suara tawa tertahan dari halaman belakang. Cepat-
cepat aku memutar arah, bergegas menuju ke sumber suara
meski sebenarnya aku sedikit takut—maksudku, bagaimana
kalau itu ternyata … makhluk halus?
Namun, semua hipotesis aneh yang sempat muncul di
kepalaku buyar saat mendapati Ayah, Bunda, Om Albert, Tante
190
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
191
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
192
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
193
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
194
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
195
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
196
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
197
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
198
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
199
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
200
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
201
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
202
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
203
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
204
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
205
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
206
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
207
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Aku tahu lagu itu. “Hey here Delillah” milik Plain White
T’s dan bukannya Hey here Kejora. Sangat kreatif, Rafa.
208
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
209
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
210
pustaka-indo.blogspot.com
Bertahan
Day 11: Paris
20 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
212
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Seakan karakter Tick Tock sang pencuri waktu dalam ilm Spy
Kids mewujud ke dunia nyata, hari-hari yang kita lewati ke
depannya berjalan sangat cepat—mimpi kamu berubah jadi
kenyataaan, panggung sederhana di kafe berganti menjadi
pentas dengan lampu sorot yang menyilaukan mata, honor pas-
pasan yang dulu kamu terima kini terbayar berkali-kali lipat.
Nyaris semuanya berubah.
Single pertama kalian telah diluncurkan. Autumn Fall,
ditulis oleh Klana, yang menceritakan tentang seseorang yang
dipertemukan kembali dengan masa lalunya oleh takdir. Aku
menyukai lagu itu. Petikan gitar dan suaramu yang lembut
213
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
214
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
215
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
216
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
217
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
atau apalah, tapi gue nggak yakin kalau udah kayak gitu bisa
dipertahankan.”
Susah payah aku menelan ludah setelah mendengar kalimat
yang kamu lontarkan. “Oh, gitu, ya,” tuturku pelan. Rasa
nyeri di dadaku semakin menjadi-jadi saat pikiranku kembali
mengulang kalimat yang kamu ucapkan. Kemungkinan untuk
bertahan itu sedikit, katamu. Apa hal itu berlaku juga pada
kita, Raf? Apa kalau aku mengejar cita-citaku maka aku akan
kehilangan kamu?
“Kamu sendiri udah ada rencana mau ambil jurusan apa?”
Pertanyaan yang kamu lontarkan mengeluarkanku dari
lamunan. Langsung saja aku mengerjap beberapa kali dan
memasang senyum tipis. “Belum, masih bingung,” balasku
pendek. Dalam hati, aku menimbang-nimbang haruskah aku
mencoba untuk memberitahu kamu tentang keinginanku
untuk kuliah ke luar negeri? Tetapi, bagaimana kalau lagi-lagi
responsmu membuatku kecewa?
Setelah menarik napas berulang kali, aku mengangkat dagu
dan menatapmu lurus sebelum memulai dengan hati-hati. “Ayah
sama Bunda … selalu berharap aku bisa kuliah di luar negeri.”
Aku juga ingin, Raf. Kalimat itu menggantung di ujung lidahku.
Kamu balas menatapku untuk waktu yang cukup lama.
Terlihat mencari sesuatu di bola mataku. “Jadi, kamu mau
pergi?” tanyamu datar, membuatku kembali menelan ludah
dengan perasaan tidak enak.
“Aku belum tau,” gumamku pelan.
Meski pada akhirnya kamu memilih untuk mengulas
senyum, aku tahu kalau kamu tidak sepenuhnya senang dengan
ucapanku. “Keren sih ke luar negeri.” Kamu memasang cengiran
218
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
219
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
220
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
221
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
222
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
223
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
sekarang, kamu harus kasih tau aku semuanya. Tanpa ada yang
disembunyiin lagi. Apa kamu siap?” tanyaku. Suaraku bergetar,
akibat menahan emosi yang bergejolak.
Di hari ulang tahunku, kamu berjanji agar semuanya
baik-baik saja. Kamu memintaku untuk mengabaikan orang
lain dan hanya memercayaimu. Tetapi, kamu tidak pernah
memberitahuku alasannya. Kamu tidak pernah memberitahuku
tentang apa yang bisa membuat hubungan kita tidak baik-baik
saja. Kamu tidak pernah memberitahuku tentang apa yang
kamu dan Joe bicarakan. Kamu tidak pernah memberitahuku
hal sepenting apa yang membuatmu sampai melupakan ulang
tahunku dan mengomel tidak jelas karena aku pergi dengan
Noah. Kamu juga tidak pernah memberitahuku ada hubungan
apa antara Marlene dan Constant Star—kenapa dia selalu ikut
ke mana pun kalian pergi.
Lalu, apa aku pernah bertanya, Rafa? Sekalipun aku tidak
pernah bertanya karena aku menghargai kamu dan privasimu.
Aku percaya padamu. Tetapi, semua yang terjadi hari itu terasa
janggal dan aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi.
“Semuanya nggak sesederhana itu, Ra,” balasmu seraya
menggeleng ke arahku, membuat emosi di dalam dadaku
semakin memuncak.
“hen I don’t want this conversation for now.” Aku mengangkat
telunjuk, mengisyaratkanmu untuk diam. “Aku nggak maksa
kamu untuk kasih tau aku apa yang Joe bicarakan hari itu
selama ini. Aku diam karena aku tau kamu pasti punya alasan
kenapa kamu nggak langsung cerita sama aku. Aku nunggu,
Raf. Tapi, mau sampai kapan? Sampai kapan aku harus nunggu
kamu buat terbuka sama aku?”
224
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
225
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
226
pustaka-indo.blogspot.com
Akar Permasalahan
Day 12: Paris
21 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
228
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
229
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
230
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
231
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
232
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
233
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Klana Deva
Gue udah bilang sama Mbak Siska kalau lo mau datang. Nanti
dia bakal nungguin lo di depan pintu masuk, sekalian nanti dia yang
bakal antar ke studio.
Aku menghela napas pelan setelah membaca balasan
dari Klana. Sebelum memutuskan untuk pergi menemuimu,
aku sempat meneleponmu beberapa kali, untuk menanyakan
posisimu sehingga aku tahu ke mana harus pergi. Namun,
kamu tidak menjawab satu pun panggilanku. Aku tidak
menyalahkanmu, mungkin kamu memang sedang sibuk.
Sebagai gantinya, aku mengirimkan pesan singkat pada Klana—
menanyakan di mana kalian berada dan apa yang sedang kalian
lakukan.
Turns out, kamu dan teman-temanmu sedang berada
di stasiun TV untuk menghadiri salah satu acara talkshow.
Aku memberi tahu Klana kalau ada hal penting yang ingin
aku bicarakan langsung padamu. Temanmu yang satu itu
menyuruhku untuk langsung saja menyusul karena acara
talkshow tersebut terbuka untuk umum. Tak lupa dia menyuruh
Mbak Siska—asisten kalian—untuk menunggu kedatanganku
agar aku tidak tersesat.
Semua itu aku dan Klana rencanakan tanpa
sepengetahuanmu. Kalau kamu bertanya kenapa, jawabanku
sederhana; karena aku ingin memberi kejutan untukmu.
Maksudku, kita sudah cukup lama tidak bertemu, seharusnya
kamu merasa senang, kan, kalau aku tiba-tiba muncul di
hadapanmu? Meski begitu, ada sesuatu yang mengusik dadaku.
Pasalnya, jauh di dalam hatiku, aku tahu kalau kedatanganku ke
sana bukanlah sepenuhnya untuk sekadar berbasa-basi karena
234
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
235
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
236
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
237
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
238
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
239
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
240
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
241
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
242
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
243
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
244
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
245
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
246
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
menatapnya kaget. “Lo kira enak ada di posisi dia? Nggak tau
apa-apa, nggak tau mana yang mau dipercaya, serbasalah. Lo
kira dia minta untuk berada di situasi itu?” tambah Klana lagi,
tatapannya yang dingin dan menusuk diarahkan tepat padamu.
Meski jauh di dalam hatimu aku yakin kalau kamu
menyetujui ucapan Klana, kamu tetap memilih untuk keras
kepala dan memutar mata. “Ya, tapi kan—”
“Joe minta supaya di depan media Rafa terlihat seakan
dia punya hubungan dengan Marlene,” potong Klana langsung
seraya menatapmu lekat tepat di manik mata, membuat
jantungku berhenti berdetak selama beberapa saat. Temanmu
itu lalu mengalihkan pandangannya padaku dan melanjutkan,
“Pihak Label minta agar lo nggak muncul ke publik sebagai
pacar Rafa. Sebagai gantinya, Rafa di-setting seakan dia dekat
dengan Marlene. Mereka nggak diminta pacaran pura-pura atau
bahkan pacaran secara nyata. Mereka hanya diminta untuk
terlihat dekat dengan satu sama lain di hadapan publik agar
publik mengasumsikan kalau—“
“Rafa pacaran sama Marlene,” lanjut Karel sambil
tersenyum miris.
Klana mengangguk singkat. “Semuanya untuk menaikkan
popularitas. Sejauh ini respons fan Marlene dan khalayak ramai
positif. Penjualan single juga meningkat. Bahkan, banyak banget
orang yang menganggap mereka lucu dan menjodoh-jodohkan
di media sosial.” Klana lalu menoleh ke arahmu dan menatapmu
tepat di manik mata saat dia bertanya, “Ini nggak lebih dari
sekadar bisnis, ya kan, Raf?”
Aku ikut mengalihkan pandangan ke arahmu. Berusaha
menangkap manik cokelat gelap milikmu untuk mencari tahu
emosi macam apa yang tertulis di sana. Namun, kamu memilih
247
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
248
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
lebih baik daripada rasa sesak yang memenuhi dada setiap kali
aku menatapmu.
“We’re hiding now, aren’t we?” Pertanyaan itu kusuarakan
dengan serak. Mataku terasa panas. Mati-matian aku berusaha
agar air mata tidak mengalir.
Kamu memilih untuk berpaling. “Kinda.”
Satu isakan meluncur dari bibirku saat mendengar
jawabanmu. “Rafa,” panggilku, susah payah mencegah agar
tangisku tidak pecah. “Terus aku harus gimana?” tanyaku
parau. “Aku harus jawab apa kalau orang-orang tanya tentang
kita? Apa yang harus aku bilang sama Bunda? Di sekolah,
mereka semua datangin aku, mereka tahu tentang kita. Mereka
tanya apa kita udah berakhir dan apa kamu sekarang bersama
Marlene. Mereka … aku ....”
Tangis yang sedari tadi berusaha kubendung mendadak
pecah begitu saja. Aku menutup mulut dengan kedua telapak
tangan, berusaha meredam isakan yang meluncur dari bibirku
sementara air mata mengalir deras. Hari itu, Rafa, adalah kali
pertama aku menangis karena kamu. Sayangnya, bukannya
menangis karena bahagia, aku malah menangis sebagai luapan
dari semua rasa sakit yang kamu berikan padaku.
Kamu hanya bisa terduduk kaku. Pandanganmu lurus
ke arahku. Bibirmu membentuk garis tipis. Sorot matamu
terlihat putus asa. Setelah menit demi menit berlalu, kamu lalu
menghela napas berat, berjalan ke arah pintu dan membukanya
lebar. Meninggalkanku di dalam dengan suara bantingan dan
tangis yang semakin keras.
Adrian dan Karel langsung mengambil tempat di
sisiku, mengusap punggungku dan membisikkan kata-kata
penenang yang sejujurnya tidak membantu sama sekali. Dari
249
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
250
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
251
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
kan, kamu selalu bisa cerita apa aja sama aku? Aku bakal selalu
di pihak kamu dan mendukung kamu.”
Kedua manik cokelat gelap milikmu menatapku dengan
sorot tak terbaca yang telah kukenal benar. Aku selalu benci
saat aku tidak bisa memahami isi pikiranmu, tetapi aku
masih ingin mencoba, Raf. Aku ingin lebih mengerti kamu,
memahami kamu, menjadi tempatmu bersandar saat seluruh
dunia membuatmu kecewa. Aku tidak ingin menyerah meski
sikapmu melukaiku.
“Aku ... mau mempertahankan hubungan kita,” ucapku
setegas yang aku bisa. “Aku nggak mau apa yang udah kita bangun
bertahun-tahun rusak karena hal sepele kayak gini. Tapi, kamu
tau kan, Raf, aku nggak bisa mempertahankannya sendiri. Aku
butuh bantuan kamu.” Kali ini nada suaraku melembut. Ragu-
ragu, aku mengulurkan tangan untuk mengusap lenganmu.
“Meskipun aku sedih dan kecewa dengan sikap kamu, tapi aku
tetap ingin percaya pada kita. Aku harap kamu juga melakukan
hal yang sama.”
Perlahan kubalikkan tubuh selagi aku mengembuskan
napas berat. Aku telah mengatakan bagianku. Setidaknya,
aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Tanpa menunggu
balasanmu, aku segera mengambil langkah lebar, berusaha
menciptakan jarak yang cukup jauh sehingga aku tidak perlu
mendengar bagianmu. Takut kalau apa yang kamu ucapkan
malah membuatku semakin kecewa.
Namun, belum sempat lagi aku mencapai tangga, aku
bisa mendengarmu memanggilku meski pelan dengan suara
bergetar. Aku menghentikan langkah tanpa menoleh. Aku tidak
mau membalikkan tubuh hanya untuk mendapati kamu dan
sorot tak terbaca itu di sana, Rafa. Aku tidak mau.
252
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
253
pustaka-indo.blogspot.com
Salah Siapa
Day 13: Paris
22 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
yang kamu lindungi? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Raf?
Kenapa meski telah ribuan kali mencoba, aku tetap tidak bisa
mengerti kamu sepenuhnya?
“Gue tidur di sini ya, malam ini,” pintamu seraya
menggenggam tanganku lembut, mengusap punggungnya
seperti yang selalu kamu lakukan. Berusaha menenangkanku.
“Gue janji nggak akan ngapa-ngapain. Numpang tidur doang.
Janji.”
Melihat kamu yang menatapku lekat dengan sorot
penuh harap dan wajah lebam, aku tidak punya pilihan selain
mengangguk dan balas menggenggam tanganmu. Aku tahu
Ayah pasti akan marah besar jika beliau tahu kamu menginap
di kamarku. Namun, malam itu, aku seakan kehilangan akal
sehat. Satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah; aku rela
melakukan apa saja asal kamu baik-baik saja.
Tak lama setelah itu, kamu menghilang di balik pintu
kamar mandi untuk membersihkan luka, sementara aku
terduduk lemas di ujung kasur. Suara-suara di kepalaku tak
henti mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi padamu.
Ingin saja aku mendesakmu, Raf, memaksamu sampai kamu
menceritakan apa sebenarnya yang menyebabkan luka lebam di
wajahmu. Aku ingin tahu yang sebenarnya, Raf, bukan hanya
mendengar omong kosong seperti ‘Gue nggak apa-apa’.
Saat kita berdua akhirnya berbaring di tempat tidur, kamu
menyuarakan satu pertanyaan denga pelan. “Ra, gue boleh
peluk kamu nggak?”
Aku mengangguk samar. Ratusan emosi meledak di dalam
dadaku. Seharusnya aku merasa senang. Namun, entah kenapa,
luapan perasaan yang menghuniku seakan membawa ombak
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
256
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
257
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
258
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
259
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
mengira dia pacaran sama cewek lain, siapa juga yang nggak
akan kesal sama cewek itu?”
Pertanyaan yang Marlene ucapkan sukses membuatku
membatalkan niat untuk berpura-pura bodoh. “Meskipun gue
kesal, toh gue nggak bisa ngapa-ngapain,” balasku, berusaha
terdengar santai tetapi gagal total. Aku terdengar seperti ibu
kos yang rewel karena belum mendapat uang sewa. “Ini dunia
kalian. Dunia kalian yang sampai kapan pun nggak akan pernah
gue mengerti.”
“hen I’m right, you hate me,” tukas Marlene langsung. Sudut
bibirnya terangkat, membentuk senyum.
Aku menghela napas berat. “Gue nggak benci sama lo,
Marlene.” Kalimatnya mendadak membuatku merasa seakan
aku adalah tokoh antagonis di dalam kisahku sendiri. “Gue
cuma ... belum bisa menerima semuanya,” sambungku pelan,
putus asa. Bodoh, Kejora, kenapa aku malah terlihat lemah di
depan rivalku sendiri?
“Kejora, terkadang industri musik nggak seperti yang lo
bayangin. Kalau boleh jujur, gue juga nggak mau kejadiannya
kayak gini.” Marlene menyilangkan tangannya di depan dada.
Dari nada suaranya, aku tahu kalau dia ikut prihatin, tetapi aku
tidak butuh rasa kasihannya. “Gue nggak akan munaik dan
bilang kalau gue nggak tertarik sama Rafa. Lo orang paling
beruntung di dunia karena punya dia di sisi lo. He’s great, he’s
charming, he’s adorable in his own way. Tapi, gue nggak mau bisa
bareng sama dia dengan cara seperti ini. Gue mau bisa dekat
sama dia karena dia memang suka sama gue dan bukannya
karena tuntutan pekerjaan.”
260
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
261
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
lagi dengan bahasa Inggris yang kelewat fasih. “But then if you
say yes, gue nggak tau apa yang bakal terjadi kedepannya.”
Meski sebagian diriku ingin melepas sepatu berhak lima
senti yang kukenakan dan melemparkannya ke kepala Marlene,
sebagian lagi masih cukup waras untuk mencerna ucapannya
dan mempertimbangkan jawaban macam apa yang sebaiknya
kuberikan. Kalau kupikir-pikir, akan sangat munaik jika aku
katakan aku rela Marlene menaruh rasa padamu. Aku tidak rela,
amat sangat tidak rela, tetapi keputusan sebenarnya tetap ada
di tanganmu, kan?
Kalau Marlene menyukaimu dan mencoba memenangkan
hatimu tetapi kamu tidak merasakan hal yang sama toh kita
malah akan semakin kuat. Lagi pula, aku tidak ingin bersikap
egois dengan melarang Marlene untuk menyukaimu. Setiap
orang berhak jatuh cinta, dengan siapa pun itu. Terlebih lagi,
aku percaya sepenuhnya padamu. Aku percaya, tiga tahun yang
kita jalani bersama tidak akan rusak semudah itu. Jadi, aku
mengangguk seraya berkata, “Gue percaya sama Rafa.”
Sampai sekarang, aku tidak tahu apakah pilihan yang
kubuat hari itu memang tepat atau aku hanyalah perempuan
bodoh yang terlalu naif untuk percaya kalau orang yang
disayangi tidak akan berpaling.
Kurang lebih lima belas menit setelah keluar dari toilet, Klana
menghampiriku yang berdiri sendirian di sudut ruangan
dengan dua gelas minuman. Disodorkannya satu padaku selagi
dia meneguk miliknya. Aku menggumamkan terima kasih dan
262
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
263
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
264
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
265
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
266
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
aku tidak datang. Seharusnya aku tidak datang. Kalimat itu terus
berputar di pikiranku.
Tanpa aku sadari, air mata yang sedari tadi kutahan
meluncur begitu saja. Tetes demi tetes mengalir di pipiku. Aku
tidak bisa menahannya lagi. Rasanya begitu sesak, Rafa. Aku
merasa kalau di matamu, aku tidak lagi seberarti dulu. Aku takut,
Rafa. Aku takut hanya aku yang berjuang mempertahankan
hubungan kita. Aku tidak mau kepercayaan yang selama ini
kuletakkan sepenuhnya padamu sia-sia.
Cepat-cepat aku membuka mata saat tanganku menyentuh
sesuatu yang lembut. Hal pertama yang kulihat adalah lembaran
tisu yang kini memenuhi telapak tanganku. “Belakangan lo
nangis terus,” ujar Klana dari balik kemudi dengan senyum
kecil.
Ucapan Klana memang tidak lucu sama sekali. Namun,
aku tertawa seraya mengusap air mataku. “Iya. Mendadak gue
ngerasa kayak hidup di dalam sinetron.”
Klana mendengus geli. “Siapa pun sutradaranya pasti jahat
banget karena udah menempatkan lo di posisi ini.”
“It wont be a good story if nobody’s hurting,” balasku pahit.
Klana diam, terlihat tidak berminat untuk membalas
ucapanku. Mungkin dia sadar kalau kalimatku memang benar?
Nyaris sepuluh menit berikutnya kami habiskan dalam
diam. Tangisku sudah reda digantikan dengan pandangan
menerawang ke arah jendela. Benakku tak henti-hentinya
mengulang apa yang baru saja terjadi. Ada satu pertanyaan yang
kian mengusikku tetapi ragu untuk kusuarakan. Maka, setelah
menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menimbang, aku
memutuskan untuk menanyakannya pada Klana.
267
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
268
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
269
pustaka-indo.blogspot.com
Hari Baik Terakhir
Day 14: Paris—London
23 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
271
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
bisa menerima fakta bahwa setelah semua yang dilalui Tom dan
Summer bersama, Summer hanya menganggap Tom sebagai
teman yang kehadirannya tak lebih dari sekadar lewat.
“Yang dirasakan Summer? Maksud kamu kenapa dia
mutusin Tom?” tanyaku, tak bisa menyembunyikan rasa kesal
yang muncul dalam nada suaraku.
“You can’t say that she’s breaking up with him, they technically
haven’t been in relationship yet,” balasmu langsung seraya
melirikku sekilas, terlihat tidak setuju. “Tapi, yah, gue rasa
Summer jenuh.”
Aku tersekat. “Jenuh?” ulangku tak percaya. “Sesederhana
itu?”
Kamu mengangguk samar sebelum mengucapkan
serentetan kata yang berhasil membuatku merasa seakan aku
dijatuhkan dari langit tertinggi. Hancur. Tepat menghantam
Bumi. “Iya. Selalu melakukan semuanya dengan orang yang
sama setiap harinya, it exhaust her. Pasti akan tiba satu masa di
mana dia ngerasa kayak, ‘whoa, there are seven billion people in
this whole universe, kenapa juga gue harus sama dia terus?’”
Kalimat yang kamu ucapkan, entah kenapa aku
menganggapnya sebagai cerminan dari apa yang sebenarnya
kamu rasakan jauh di dalam hatimu. Benarkah itu, Raf? Apa
momen ketika kamu mengucapkan semua itu, kamu telah
sampai di satu titik jenuh dengan hubungan kita? Maka, tanpa
bisa kutahan satu pertanyaan muncul dari bibirku, “Do you,
Raf?”
“Apa?” Kamu menoleh, bingung.
“Feel that way?” sambungku lagi. Namun, sorot tidak
mengerti itu masih terpampang di wajahmu. Jadi, aku
memperjelas pertanyaanku, meski pahit untukku mengucapkan
272
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
kata demi kata. “Apa saat kamu melihat aku kamu merasa, ‘whoa
there are plenty other girls in this whole universe, why on earth am
I stuck with her?’”
Kamu tidak langsung menjawab pertanyaanku waktu itu.
Kamu memilih untuk menatapku lekat dengan pandangan itu,
pandangan yang tak pernah bisa kubaca jelas. Ada luka dan
rasa bersalah di sana. Namun, aku juga menemukan kejujuran
dan rasa hangat. Puluhan emosi yang kontradiktif satu dengan
lainnya, menyulitkanku untuk menerjemahkan maknanya,
membuatku menyerah pada ketidaktahuan.
Setelah rasanya lama sekali, kamu akhirnya buka suara.
“Nggak, Ra,” balasmu lirih. “Belum, gue rasa.”
Aku selalu ingin kembali ke momen itu, memutar haluan
dan mengakhiri semuanya tepat di sana. Setidaknya jika aku
melakukan hal itu, aku tidak akan kehilangan lebih banyak
waktu dan tenaga untuk mempertahankan orang yang tidak
ingin dipertahankan. Karena, Rafa, berjuang sendirian adalah
hal yang jauh lebih buruk dari patah hati.
273
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
274
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
275
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
“Tes apa, Ra?” Kali ini Tante Dian ikut bertanya, terlihat
antusias. “Memangnya kamu mau lanjut di mana? Anak
perempuan jangan jauh-jauh, ah. Bahaya, banyak orang jahat.”
Om Tio mengangguk, menyetujui ucapan Tante Dian,
sementara aku hanya bisa memasang cengiran serbasalah. “Tes
beasiswa, Tan. Mudah-mudahan kalau lulus aku lanjut di UCL.”
Selama beberapa saat, baik Tante Dian maupun Om Tio
menutup mulut rapat-rapat. Mungkin kaget dengan jawabanku?
Entahlah, aku tidak terlalu peduli lagi. Satu-satunya yang
terpatri di pikiranku hanyalah permintaan Noah agar aku
mengutamakan cita-citaku, mengejar apa yang aku inginkan,
sama seperti kamu mengejar mimpi-mimpimu.
“UCL? Inggris?” tanya Om Tio, memecah keheningan. Aku
mengangguk samar. “Semangat terus, Kejora. Om yakin kamu
pasti bisa. Orangtua kamu pasti sangat bangga dengan kamu.”
Perkataan Om Tio, entah kenapa membuatku rasa haru
mendadak menyusup ke dadaku. Aku senang, setidaknya selain
keluargaku, masih ada orang lain yang mendukung cita-citaku.
“Makasih, Om,” balasku pelan. “Tapi, aku kan belum tentu
keterima.”
“Setidaknya kan kamu berani mencoba,” sambung Tante
Dian hangat. “Oh iya, Ra, kamu udah cerita ke Rafa soal ini?”
Aku kontan membeku saat mendengar pertanyaan itu. he
last time I told you about studying abroad, you asked me to stay,
tetapi, Rafa, kenapa aku malah merasa kalau kehadiranku
sudah tak kamu perlukan lagi? Kenapa kamu memintaku untuk
tinggal, tetapi tak mengusahakan apa pun agar aku tidak pergi?
“Belum, Tan.” Aku tersenyum tipis. Air muka Tante Dian
kontan berubah aneh saat mendengar jawabanku, maka cepat-
cepat aku menambahkan, “Tapi, aku pasti cerita secepatnya
276
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
sama Rafa. Jadi, aku minta tolong Om dan Tante jangan cerita
apa-apa dulu ke Rafa.”
Mendengar permintaan yang kulontarkan, kedua
orangtuamu saling pandang, bertukar isyarat. Aku bisa
menebak dengan mudah apa yang ada di dalam pikiran mereka,
“Hubungan macam apa yang didasari dengan ketidakterbukaan
antara satu sama lain?” Jujur, I wonder about it too. Hubungan
macam apa yang sebenarnya sedang kita pertahankan waktu
itu, Raf? Apakah kita benar-benar sedang mempertahankan
rasa yang kita punya untuk satu sama lain, ataukah kita berdua
hanya terlalu naif untuk mengakhiri semuanya? Aku tidak
tahu, Raf, dan aku rasa aku terlalu takut untuk menemukan
jawabannya.
Merasa kalau suasana mulai canggung, aku berusaha
untuk mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, Rafa
kuliahnya gimana, Tan?” tanyaku antusias. Sudah lama sekali
sejak kali terakhir kamu bercerita tentang kehidupan kuliahmu.
Tak heran kalau aku penasaran. “Kemarin sempat cuti ya? Mau
sampai kapan?” sambungku lagi.
Ada yang aneh dengan raut wajah kedua orangtuamu saat
mendengar pertanyaanku. Mereka menatapku seakan aku
adalah manusia purba yang baru keluar dari gua setelah tertidur
selama ratusan tahun dan baru saja menyadari kalau Bumi
berbentuk bulat. Hal itu tentu membuat perasaan tidak enak
mendadak muncul di dalam diriku. Apa yang aku lewatkan,
Rafa?
“Loh, Ra, Rafa nggak cerita sama kamu?” Tante Dian balas
bertanya, membuatku menggeleng pelan.
“Cerita apa, Tan?”
277
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
278
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
279
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
280
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
281
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
dalam hitungan detik. Tapi, ini yang gue pilih, Ra. Dan gue harap
kamu bisa mengerti kalau gue nggak punya maksud sedikit pun
untuk mengecewakan kamu.”
Waktu itu, aku hanya bisa balas menatapmu dengan
ratusan emosi yang menyergap dalam satu momen yang sama.
Jadi itu alasannya? Alasan kenapa kamu tidak memberitahuku
kalau kamu sudah tidak kuliah lagi adalah… karena kamu takut
mengecewakanku?
“Kamu ngomong apa sih, Raf?” Aku menggeleng tanpa
sadar, tak bisa memercayai dugaanmu yang satu itu. “You’re good
in your own way dan aku nggak peduli jalan mana yang kamu
pilih asalkan itu sesuai dengan apa yang kamu mau. Selama
pilihan yang kamu ambil membuat kamu senang, aku akan
selalu dukung kamu. Kamu nggak perlu ragu soal itu. Yang itu,
aku bisa janji.”
Kamu menatapku lekat, berusaha mencari sesuatu di balik
manik hitam legam milikku. Namun, satu-satunya yang dapat
kamu temukan di sana hanyalah kejujuran. Maka perlahan,
kamu meraih tangan kananku dan menggenggamnya lembut.
“Gue beruntung punya kamu,” ucapmu pelan seraya tersenyum,
membuat sesuatu di dalam diriku meledak-ledak layaknya
kembang api.
Kubalas genggaman tanganmu lebih erat. “Kita sama-sama
beruntung.”
Kita berdua lalu tertawa pelan. Menertawakan betapa
menggelikannnya percakapan yang terjadi di antara kita.
Memang menggelikan, Raf, tetapi hal itu setidaknya membuatku
merasa senang—mengingat banyaknya pertengkaran yang
belakangan kita lalui.
282
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
283
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
284
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
285
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
286
pustaka-indo.blogspot.com
Bintang
yang Meredup
Day 15: London
24 Juli.
London, at last.
It’s a been a while since the last time I breath in the fresh air
out of London. Kali terakhir aku berada di kota penuh cerita ini
adalah untuk menghadiri acara kelulusanku. Tidak banyak yang
berubah dari kota ini. Udaranya masih sama—campuran antara
aroma khas musim semi dan ish and chips dari kedai di ujung
jalan. Cuacanya masih sama—hangat meski sesekali angin
dingin menerpa kulit, menembus mantel yang kukenakan.
Secara keseluruhan, tidak ada yang berubah. his city stays the
same. Funny isn’t it? It almost felt like I never leave.
Kamu mau tahu apa yang aneh? It’s weird that I feel
empty. Duduk sendiri di sudut kafe dengan tumpukan kertas
surat warna-warni dan pulpen yang tintanya hampir habis,
aku merasa kosong, Raf. Seakan seseorang menarik paksa
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
288
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
But tell me, how do you stop loving someone who give you so much
to remember?
Tahun-tahun yang kita jalani bersama, bukanlah waktu
yang singkat. Setiap derai tawa dan tetes air mata yang pernah
kita bagi bersama bukan hanya sekedar angin lalu buatku.
Kamu adalah bagian dari sejarahku, Raf. Sejarah yang tak ingin
kutinggalkan di masa lalu; tetapi ingin kubawa terus ke masa
depan. Namun, waktu dan takdir memang selalu bersilangan.
Mungkin pada satu titik, kita memang pernah dipertemukan,
dibuat jatuh cinta sedalam-dalamnya pada satu sama lain,
tetapi pertemuan hanyalah sekadar pertemuan. Kini aku dan
kamu berada di belahan bumi yang berbeda, dengan perasaan
yang berbeda pula.
Beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk
mengunjungi lat lamaku untuk menemui teman-temanku
yang tinggal di bangunan yang sama. Aku tidak masuk, tentu
saja, karena lat yang dulunya milikku itu kini sudah ditempati
oleh orang lain. Namun, aku menyempatkan diri untuk berdiri
di depan pintunya selama beberapa saat. Kuamati setiap
detailnya. Setiap perubahan kecil yang bisa kukenali. Aku sadar
kini penghuni baru telah mengganti handle pintu yang dulunya
berkarat menjadi mengilap. Bel kecil yang dulu bertengger
di sudut pintu kini sudah menghilang. Goresan samar tinta
pulpen yang menoreh dinding sekitarnya pun kini sudah tidak
lagi terlihat.
Selama beberapa saat aku terpaku mengamati semua
perubahan itu. Mungkin penghuni yang baru sangatlah
perfeksionis. Mungkin penghuni yang baru benci dengan suara
nyaring bel kecil kesukaanku. Atau mungkin dia hanya ingin
menghapus jejak-jejak keberadaanku sebagai pemilik lama lat
289
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
290
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
291
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
292
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
293
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
294
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
295
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
296
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
297
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
298
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
299
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
300
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
301
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
302
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
303
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
304
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
305
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
306
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Rafael Leonardi
Gue berengsek. Gue bodoh. Gue salah. Gue minta maaf.
307
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
308
pustaka-indo.blogspot.com
Gerhana Total
Day 16: London
25 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Kamu tahu tidak, Raf, it feels like every single thing around
me changes and I’m stuck on a moment that I don’t even know exist.
Kini aku memang bukanlah Kejora yang dulu lagi—tinggiku
bertambah, rambutku memanjang, dan sedikit banyak orang
mampu menemukan perubahan pada wajahku. Namun, pada
saat yang bersamaan, aku merasa seakan sosokku ini tak ada
bedanya dengan Lucillia Kejora yang kamu temui tahunan yang
lalu. Kejora yang naif, Kejora yang selalu mendukung kamu
dan berada di belakangmu apa pun yang terjadi—Kejora yang
menyayangi kamu sepenuh hati. Rasanya aku seperti membeku
di masa lalu, sementara kamu sudah bergerak jauh ke depan,
meninggalkanku sendirian di belakang dengan jejak kaki dan
kenangan yang mulai memudar.
Apa yang harus kulakukan sekarang, Rafa?
Dalam waktu kurang dari 24 jam aku akan tiba di Indonesia,
kembali ke pelukan realitas, suka atau tidak suka. Lalu, apa yang
harus kulakukan dengan kepingan masa lalu yang bertabrakan
di dalam benakku? Apa yang harus kulakukan dengan harapan-
harapan kosong akan kembalinya kamu yang selama ini masih
tertata rapi dalam hatiku? Lebih dari semuanya, apa yang harus
kulakukan dengan surat-surat ini, Raf?
Haruskah jujur yang telah kutumpahkan hilang begitu
saja tanpa pernah tersampaikan. Atau, haruskah aku memberi
semua surat bernada sendu ini padamu agar kamu tahu apa yang
selama ini sebenarnya aku rasakan? Namun, setelah kupikir-
pikir lagi toh untuk apa? Masa-masa yang mengatasnakaman
kita telah terlalu lama berlalu. Tak ada kesempatan untuk
mengulangnya. Sia-sia saja. Toh tak akan ada perbedaan yang
berarti jika kamu tahu.
310
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
311
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Siang itu, aku baru saja keluar dari gedung tempat tes beasiswa
berlangsung saat mendapati Noah berdiri tak jauh dari pintu
masuk. Kedua tangannya disilangkan di depan dada, sementara
matanya disipitkan—mungkin mentari yang bersinar
terlalu terang membuatnya silau. Dengan langkah kecil aku
menghampirinya.
“Hai,” sapaku, berusaha terdengar sekasual mungkin.
Semenjak insiden tangis-menangis yang terjadi di mobil Noah,
aku memang merasa sedikit canggung saat berada di dekatnya.
Lebih tepatnya, aku takut Noah mengangkat kembali topik itu
secara mendadak di sela obrolan kami.
Noah tidak membalas sapaanku. Sebagai gantinya, dia
meraih papan ujian dan kotak pensil dalam genggamanku,
kemudian mengisyaratkanku untuk mengikuti langkahnya ke
mobil. “Gimana? Bisa, nggak? Soalnya susah? Ada yang nggak
lo isi atau lo tembakin aja semuanya?”
Aku tertawa pelan. “Satu-satu kali nanyanya,” cibirku,
membuatku Noah menghadiahiku pelototan galak yang hanya
kubalas dengan juluran lidah. “Hm, soalnya susah, sih. Gue
jawab semua, soalnya nggak ada sistem minus. Doain ajalah.
Gue mau optimis, tapi takut kecewa jadi, yah, doain yang terbaik
aja,” terangku panjang lebar membuat Noah manggut-manggut.
“Diplomatis,” komentar Noah pendek begitu kami berdua
sudah berada di dalam mobil.
Aku hanya mengangkat bahu. “Kalau memang rezeki gue
buat tinggal di negara yang sama bareng Harry Styles, mudah-
mudahan ada jalan,” tambahku seraya menyeringai ke arah
Noah, sementara sahabatku itu memutar mata—Noah selalu
memutar mata setiap kali aku menyebutkan salah satu nama
312
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
313
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
314
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
315
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
liga sepak bola tingkat nasional. “Kalau kata Harry Styles sih,
‘you light up my world like nobody else’, gitu.”
Kali ini aku ganti aku yang tertawa. “Lah, jadi ngefan sama
One Direction juga sekarang?”
“Dih,” Noah bergidik ngeri saat mendengar ucapanku.
“Amit-amit.”
“Lucil, hidupin TV ya, kalau nggak salah hari ini ada Finding
Nemo di channel 8. Buruan. Gue mau ke toilet dulu,” suruh
Noah begitu kami menginjakkan kaki di ruang tamu rumahku.
Aku mengernyit heran seraya meletakkan bungkusan
makanan cepat saji yang tadi sempat kami beli di meja yang
terletak di depan TV, sebelum mencari remote di sela-sela bantal
yang memenuhi sofa. “Finding Nemo? Kan lo udah sering
nonton.”
“Biarin. Gue kan mau keep swimming. Just keep swimming,
just keep swimming.” Noah berjoget heboh seraya menekuk
tangannya dengan gaya aneh yang mungkin dimaksudkan agar
menyerupai sirip—tetapi sejujurnya lebih mirip gaya chicken
dance—seraya memelesat ke kamar mandi. Aku hanya bisa
menggeleng melihat tingkah sahabatku itu. Jauh di dalam hati
aku tahu apa penyebab Noah bertingkah konyol hari ini; dia
ingin aku tersenyum dan melupakan semua masalahku. But
isn’t it too impossible to happen?
Jariku yang menekan tombol untuk mengganti channel
kontan berhenti saat melihat nama kamu di headline sebuah
acara gosip. Langsung saja aku mengambil tempat seraya
316
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
317
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
318
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
319
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
320
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
321
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Klana Deva
We’re upstairs. Di tempat yang sama seperti biasa. Nggak perlu
khawatir, cuma ada gue, Karel, Adrian, dan Rafa. I’ll be waiting.
322
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
323
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
324
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
325
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
326
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
327
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Sama lelahnya denganku. Tetapi, apa boleh buat kan, Rafa? Kita
tidak bisa berputar di dalam lingkaran yang sama selamanya.
Cukup lama aku menunggu kamu buka suara, menunggu
kamu memperjelas semuanya. Tetapi, nyatanya apa yang
kudapat? Kekosongan. Hening. Kamu terlalu pengecut untuk
memilih. Pada akhirnya, aku hanya bisa menggeleng tak percaya
sebelum bergegas berjalan ke arah pintu. “You know, Raf, I know
that you always wanted to be a lot of things. But I don’t think that
being with me, is one of the thing that you wanna be.”
Aku sudah menarik handle pintu saat mendengar kamu
memanggil namaku. “Kejora, tunggu.” Kutolehkan kepalaku,
menunggu kalimat macam apa yang akan kamu ucapkan.
Apakah kamu akan memintaku untuk bertahan, Raf? Apakah
aku masih cukup berarti di matamu? Namun, semua sisa
harapanku harus kukubur paksa saat mendengar kamu berkata,
“Look, Ra, I think we should take a break.”
“Apa?”
“his is too much for us, lo ngerasa nggak sih?” tanyamu
seraya mengangkat kedua tangan.
Aku mengerjap tak percaya. “Jadi, maksud kamu kita
udahan aja?” Bukannya aku tidak memperkirakan hal itu akan
terjadi. Hanya saja … aku kira masih ada harapan untuk kita,
Raf. Tetapi, kurasa lagi-lagi aku terlalu naif, kan? “Lebih baik
begitu, Raf?”
“Gue nggak bilang putus, Ra—damn it!—gue bilang break,
oke?” tukasmu lagi dengan nada yang dinaikkan satu oktaf.
“Gue pikir akan lebih baik kalau kita berhenti menemui satu
sama lain untuk beberapa saat sampai keadaan tenang dan
kita bisa mulai semuanya dari awal karena gue yakin kita sama-
328
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
329
pustaka-indo.blogspot.com
Suatu Hari Nanti
Day 17: Dubai—Jakarta
26 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
pergi? Believe me, there’s nothing you can do to blow the pain away.
Despite all the efort that you do, it won’t stop hurting.
Maafkan aku yang sukses memulai surat ini dengan sangat
pesimis dan menyedihkan. Banyak orang yang mengatakan
kalau berada ribuan kaki jauhnya di atas tanah merupakan
tempat yang paling baik untuk berpikir. Mereka berkata kalau
pada saat kita mengudara, saat kita berada di antara gumpalan
awan putih dan langit biru yang jernih, di sana pulalah pikiran
terbuka lebar. Semua yang tadinya abu-abu akan perlahan
menjelma menjadi hitam dan putih.
Anehnya, bukannya semakin jernih, di dalam pesawat yang
membawaku langsung dari Dubai menuju Indonesia ini, alam
bawah sadarku malah memutar salah satu adegan dari ilm 500
Days of Summer tanpa alasan yang jelas sejak pesawat pertama
kali lepas landas. Di dalam adegan itu, Tom yang telah tertampar
kenyataan kalau Summer akan menikah berbaring di atas kasur
seraya mematikan alarmnya yang berbunyi nyaring. Berulang
kali. Berhari-hari. Hidupnya bagaikan mati. Tanpa arah, tanpa
tujuan. Hingga pada satu titik dia memutuskan untuk bangkit
dan memulai semuanya dari awal.
Sedikit banyak Tom mengingatkanku pada diriku sendiri
sepeninggal kamu. Awalnya memang berat—sangat berat,
malah. Sulit bagiku untuk melihat ponsel tanpa berharap
namamu akan muncul memenuhi layar. Sulit bagiku untuk
melihat buku-buku yang berjajar rapi di kamarku tanpa
teringat dengan kebiasaanku membaca di windowsill kamarmu
selagi kamu sibuk dengan kegiatan musikmu. Sulit bagiku
untuk menyeruput cokelat panas dengan marshmallow yang
memenuhi permukaannya tanpa teringat canda yang kita bagi
331
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
tiap kali kita bersama. Terlebih lagi, Raf, sulit bagiku untuk
melihat bayanganku sendiri tanpa melihat kamu di sisinya.
I was such a mess. A huge one.But you see, eventually I woke up.
Seperti Tom yang memutuskan kalau dia sudah terlalu lama
larut dalam kesedihan, aku pun bangkit dari keterpurukan,
berusaha kembali menata hidup. Aku terbang sejauh mungkin
ke Benua Eropa, memulai hidup baru dengan suasana baru dan
jarak sejauh mungkin dari kamu.
Awalnya aku berpikir, tidak mungkin aku bisa kembali
menjadi aku yang dulu tanpa kehadiranmu, sementara kamulah
yang melengkapi separuh aku. Namun, lama-kelamaan, setelah
menjalaninya suka atau tidak suka, aku sadar kalau aku mungkin
memang tidak akan pernah bisa kembali menjadi aku yang
dulu—melainkan menjadi aku yang baru. Aku tanpa kamu.
hen here I am now, sitting miserably while writing down
all the feelings that burden me for far too long. Eventually, I grow
stronger. Mungkin aku memang belum bisa melupakan kamu
sepenuhnya. Aku tahu itu dan aku sadar betul. Namun, satu hal
yang bisa kubanggakan dari diriku saat ini adalah aku mampu
untuk terus bergerak maju meski luka yang kamu torehkan
padaku tak akan pernah benar-benar sembuh.
If there’s one thing I learn from all the heartache, it’s the fact
that you can mess with someone’s life. You can tore them until they
are nothing but pieces. You may make them sufer but that doesn’t
mean you stop them from moving forward.
Selama tekad itu masih ada, orang-orang yang patah hati
tidak akan pernah benar-benar mau membiarkan diri mereka
jatuh terpuruk di lubang gelap. Mereka pasti akan bangkit
untuk membuktikan kalau mereka mampu. Mereka masih bisa
332
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
333
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
334
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
335
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
336
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
337
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
338
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
“Gue sayang sama dia, tapi gue sadar kalau gue cuma seorang
pengecut yang hanya berani menyayangi dia dari jauh.”
“Terus?” tanyaku penasaran.
Noah tersenyum ke arahku. Senyum itu. Aku tidak tahu
artinya apa. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. “Ending-
nya gue merelakan dia sama orang lain. Udah, gitu aja,” jawabnya
ringan. Seakan fakta kalau kisah cintanya yang bertepuk sebelah
tangan itu bukan masalah besar.
“Kok lo bodoh banget, sih?” cetusku langsung, tanpa bisa
ditahan. “Maksud gue, kenapa nggak lo perjuangin? Kalau lo
sayang, seharusnya lo bertindak. Bukan cuma mendem doang.”
Noah menatapku dengan senyum dikulum. Tangan
kanannya kembali terangkat untuk mengusap puncak kepalaku.
“Lucil, Lucil, nggak semuanya perlu ditunjukkan detik itu
juga,” balasnya sambil tersenyum. Sahabatku itu mengalihkan
pandangannya ke ujung cakrawala seraya melanjutkan, “Gue
percaya kalau suatu saat nanti dia bakal sadar dan melihat gue.
Mungkin sekarang dia memang sama orang lain. Tapi, biarin
dulu ajalah orang itu jagain dia. Nanti di masa depan gue tinggal
bilang, ‘makasih ya, udah jagain jodoh gue’, gitu.”
Aku hanya bisa mengamati Noah dengan mulut ternganga
selama beberapa saat. Sesederhana itu? Benarkah bagi Noah
semuanya sesederhana itu?
Aku tahu jika dua orang memang digariskan dalam satu
benang yang sama maka sebesar apa pun hambatannya mereka
akan mampu untuk selalu saling menemukan. Namun, coba
beri tahu aku bagaimana caranya untuk merelakan? Bagaimana
caranya untuk tetap tersenyum pada saat orang yang kita
sayangi menggenggam tangan seseorang yang bukan kita?
339
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
340
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
341
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
342
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
beasiswa yang gue pilih. UCL, Inggris. Gue yakin Rafa pernah
cerita ke kalian kalau gue disarankan buat kuliah ke luar negeri.
Sabtu ini, gue berangkat.”
Selama beberapa saat, Klana terlihat kehilangan kata-kata.
Dia mengerjapkan mata berulang kali, berusaha mencerna fakta
yang baru saja kuutarakan. “O-oke, tapi lo bakal datang, kan, ke
konser tunggal Constant Star?” tanyanya, berharap cemas. “Dan
jangan bilang nggak karena itu konser perdana Rafa, mimpinya
yang dia cita-citakan selama ini—mimpi kami semua. Lo tau
seberapa pentingnya itu untuk kami. Apa lo bahkan nggak
berniat datang untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal?”
Aku mengembuskan napas keras-keras. Rasa sesak itu
kembali muncul, memberatkan seluruh keputusan yang telah
kuambil. “Gue belum tau,” jawabku pada akhirnya.
Klana menggeleng tak percaya. “Dan lo nggak berniat
untuk bilang ke Rafa soal keberangkatan lo?”
Kali ini aku mengangkat kepala dan membalas tatapannya.
“Kalau dia memang masih peduli dengan gue, Kak, dia pasti
tau.”
“Heck, Kejora, none of us even know you took the test,” tukas
Klana lagi, terlihat tidak setuju denganku dan keputusanku.
“Gimana dia bisa tau kalau lo nggak bilang?”
Aku tersenyum tipis. Satu kalimat yang baru-baru ini
diucapkan Noah tetapi tak sepenuhnya kumengerti perlahan
merayap ke benakku. One way or another, aku rasa aku mulai
memahami maksudnya. Maka, dengan sisa kekuatan yang ada,
kulemparkan senyum paling tulus yang kupunya ke arah Klana
seraya berkata, “Someday he’ll know.”
343
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Satu yang mungkin tidak pernah kamu tahu; hari itu, aku
datang. Aku ada di sana, berdesak-desakan dengan ratusan
orang lainnya untuk menyaksikan konser tunggal pertamamu
dan teman-temanmu. Aku mungkin tidak berada di sana cukup
lama sampai konser itu berakhir, tetapi aku bisa mengamati
setiap detail yang ada di wajahmu dan teman-temanmu,
mengamati sorot lelah dan kantung mata yang kian menebal
di bawah matamu, menatap senyummu yang hangatnya tak
lagi seperti dulu, menikmati alunan melodi yang meluncur dari
bibirmu untuk kali terakhir sebelum aku benar-benar pergi.
Kamu tahu apa yang membuatku beranjak di tengah-
tengah konser, Raf? Aku memutuskan untuk pergi begitu
saja saat kamu selesai menyanyikan satu lagu yang kini tak
bisa kudengar tanpa memikirkan kamu—lagu yang kamu
deklarasikan untukku.
Saat itu kamu tersenyum ke arah penonton, senyum tipis,
senyum yang tidak mencapi kedua matamu. Senyum yang
menyiratkan sendu. “Gimana sejauh ini? Have fun, nggak?”
tanyamu yang dibalas para penonton dengan teriakan histeris
sementara kamu tertawa kecil. ”Lagu selanjutnya yang bakal gue
bawain bukan lagu gue. Ini bukan lagu baru yang lagi hits, tapi
belakangan gue gak bisa berhenti dengarin lagu ini. It reminds
me of something—someone, that I used to have.”
Aku tentu saja tertegun saat mendengar kalimat demi
kalimat yang meluncur di bibirmu. Jantungku mulai berdegup
tak beraturan. Denyutnya menyiksaku, Raf. Karena di antara
setiap denyut itu, terselip harapan, rasa cemas, dan sejuta
angan tentang kita yang sia-sia.
“Kalau kalian tau lagunya, nyanyi bareng, ya.” Kamu menarik
napas dalam-dalam sebelum menyapukan pandanganmu ke
344
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
345
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
kala langit temaram. Bagiku, sosok itu selalu kamu, Raf, sosok
yang membuatku merasa hidup jauh lebih mudah asalkan kamu
ada di sampingku.
Kamu, Rafa, adalah salah satu dari sekian banyak hal
di muka bumi ini yang kehadirannya terasa penting. Seakan
tanpamu bintang tak lagi bersinar, mentari tak lagi hangat,
planet tak lagi mengorbit, dan aku, aku hanyalah perempuan
kecil tanpa alas kaki yang menapak tak bertujuan di Bumi,
melangkah setengah hati.
346
pustaka-indo.blogspot.com
Kembali Pulang
Jakarta, 31 Juli.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
348
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
Rafael Leonardi
You okay there, Ra?
349
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Lucillia Kejora
All good.
Rafael Leonardi
Senang rasanya untuk tau lo baik-baik aja. Jaga diri, Kejora.
Selamanya lo akan selalu jadi bintang yang jaraknya dua langkah
dari sang mentari buat gue.
hat’s it, Raf. Detik itu juga dinding pertahanan yang aku
bangun bata demi bata secara perlahan setelah perpisahan
kita runtuh begitu saja. Aku menangis tersedu-sedu, tak
memedulikan air mataku mengenai kertas-kertas di sekitarku.
Satu hal yang aku tahu pasti adalah; aku merindukanmu. Aku
rindu dengan sosok perempuan naif dan anak laki-laki dengan
jutaan mimpi yang selama ini selalu berdiri berdampingan,
menguatkan satu sama lain. Aku rindu dengan kebahagiaan
yang dulu selalu menyelimuti mereka meski mereka tahu kalau
apa yang akan mereka hadapi ke depannya tidaklah mudah.
Apa yang salah, Rafa?
Aku tahu seharusnya kamulah yang kusalahkan habis-
habisan karena toh aku sudah berjuang semampuku untuk
mempertahankan kita. Namun, setelah tahunan terlewati, sisi
naif itu tak pernah benar-benar hilang dari diriku. Aku memilih
350
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
351
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
352
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
353
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
354
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
355
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
356
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
dan kembali padamu. Namun, aku menyadari satu hal; jika aku
melakukan itu, berarti aku kembali mengalah, Raf, dan aku
sudah terlalu letih untuk menjalani hidup dengan meletakkan
kepentinganmu di atas kepentinganku. Jadi, aku berbalik arah
dan melangkah menjauh.
“Jakarta! How’s it going?” Suara serak khas milikmu kontan
membuyarkan lamunanku. Langsung saja aku memfokuskan
pandangan ke atas panggung. “Gue Rafa, ada Klana di drum,
Karel di bass, dan Adrian di gitar.”
Aku nyaris menangis saat mendengar kamu mengucapkan
kalimat itu. Kalimat itu sama persis dengan kalimat yang
kamu ucapkan di gig pertama Constant Star yang aku hadiri.
Seharusnya aku sadar, kalau datang ke konser kalian hanya
akan membangkitkan jutaan kenangan yang telah susah payah
aku kubur dalam-dalam.
“It’s been an incredible years for us,” ucapmu lagi, kali
ini sambil membetulkan posisi standing mic di hadapanmu.
“Kadang sewaktu gue bangun pagi gue masih nggak percaya
kalau ini hidup gue sekarang. Constant Star nggak akan bisa
sejauh ini tanpa dukungan kalian. We will never ind the right
words to describe how grateful we are for having you, guys. hank
you.”
Riuh sorakan penonton kembali terdengar. Bahkan, anak
remaja yang berdiri di sebelahku berteriak seakan yang berdiri
di atas panggung itu adalah Harry Styles. Teriakannya nyaring
sekali. Berani bertaruh, aku satu-satunya orang yang berdiri
dengan tenang di seluruh penjuru ruangan ini. Itu juga kalau
tenang bisa dideinisikan dengan jantung berdetak keras dan
air mata yang hampir tumpah.
357
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
358
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
“Lagu ini punya makna yang cukup dalam buat gue.” Aku
membeku saat mendengar kalimat yang kamu ucapkan. Apa itu
berarti kamu menulis sendiri lagu itu?
Dari layar, aku bisa melihat sorot lelah yang memancar dari
kedua matamu saat kamu berkata, “his song reminds me of the
summer breeze and how the warm wind caress her skin. his song
reminds me of high school and how good it feels like to hold her hand.
his song reminds me of starry sky and how the moon smile as it
watches us.” Keheningan menyelimuti seluruh penjuru ruangan
saat kamu menghentikan ucapanmu. Samar-samar aku bisa
melihat senyum muram muncul di bibirmu.
“his song reminds me of distance and how hard it is to control
our ego. his song reminds me of slamming doors and broken
promises. But mostly,” Kamu menarik napas dalam-dalam
sebelum menghembuskannya dengan berat. “his song …
reminds me of her and my lousy decision to let her go. It’s called And
I Know.”
Intro dengan petikan gitar yang sendu langsung memenuhi
penjuru ruangan. Mataku mendadak terasa panas. Apa arti
semua kalimat yang kamu ucapkan tadi, Raf? Apakah kamu
menujukan semua kalimat itu untukku? Apakah masih ada
kemungkinan, meskipun hanya seujung kuku, kalau kamu
masih merasakan hal yang sama denganku?
359
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
360
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
361
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
“Apa?”
Karel terlihat benar-benar terkejut saat mendengar
jawabanku. Aku menghela napas pelan dan memasang seulas
senyum kecil. “Gue cuma mau nonton konsernya aja kok.” Aku
mengangkat bahu, menandakan kalau hal itu bukan masalah
besar sebelum berkata dengan nada lebih serius. “Tolong jangan
kasi tau Rafa gue datang ya, Kak.”
“Kenapa, Ra?” tanya Karel lagi, masih sama kagetnya.
Aku tersenyum miris. “Karena itu akan lebih mudah buat
kami berdua.”
Karel mendengus keras saat mendengar ucapanku. Heck,
kalau aku jadi Karel aku juga pasti akan melakukan hal yang
sama. Kalimat tadi benar-benar terdengar memalukan, seperti
dialog picisan di FTV remaja. “Berakhirnya kalian adalah hal
yang masih Rafa sayangkan sampai saat ini.” Karel menatapku
nanar. “Apa lo nggak mau beri dia kesempatan?”
“Gue mau banget, Kak.” Aku meremas tali ransel dalam
genggamanku erat-erat. Berusaha mencegah agar suaraku tidak
pecah dan air mataku tidak meluncur. “Tapi udah telat.”
“Maksud lo?” tanya Karel lagi, terlihat tidak mengerti.
Aku hanya tersenyum, melepaskan rangkulannya, dan
bergumam, “You’ll see. Sampai jumpa, Kak Karel.” Setelah
melambai sekilas, aku langsung mengambil langkah sejauh
mungkin darinya.
Aku tahu kalau Karel pasti akan langsung memberi tahu
kamu akan kedatanganku. Tetapi, apa yang aku harapkan? It’s
not like you’re going to send me text and asking me where’ve I been.
Jadi, aku memilih untuk menyetir pulang, menyempatkan diri
untuk singgah di Pumpkin sebelum kembali ke rumah dan
menatap tumpukan surat di dasar koperku dengan putus asa.
362
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
363
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
364
pustaka-indo.blogspot.com
Epilog
Jakarta, 23 Agustus.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
366
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
367
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
368
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
369
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
370
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
371
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
“Awalnya gue kira gue nggak perlu memberi tahu lo kalau gue
dan Kejora akan menikah. Toh ini semua salah lo. Salah lo
karena mutusin dia gitu aja demi cewek rocker yang rambutnya
merah—“
“Marlene.” Gue menyebutkan nama cewek rocker berambut
merah yang Noah maksud. “Namanya Marlene.”
“Ya, Marlene atau siapa pun namanya.” Dia mengangkat
bahu, terlihat tidak peduli. “Lo selalu ninggalin Kejora demi
cewek itu. Setelah baca surat Kejora, gue tau kalau lo hanya
ingin melindungi Marlene. Lo bela-belain ninggalin Kejora di
tengah dinner karena Marlene lagi ada masalah. Lo bela-belain
muka lo biru ditonjok sama pacarnya Marlene karena lo nggak
suka lihat cewek dipukulin. Tapi, apa lo tau, Raf, lo nggak bisa
melindungi dua orang dalam waktu yang sama,” tukas Noah
panjang lebar, membuat dada gue seakan dihantam balok kayu
dari ketinggian 10 meter.
Semua yang diucapkan Noah benar. Waktu itu gue terlalu
percaya diri. Sok pahlawan. Gue nggak berpikir panjang. Gue
malu sama kamu, Ra. Gue malu sama diri gue sendiri. Kenapa
keputusan yang gue ambil hanya bisa menyakiti orang-orang
yang gue sayang?
“Ya udah sih, bro, lo mau nikah sama dia aja udah cukup
menampar gue. Nggak usah tambah ditampar dong dengan
kata-kata lo itu,” keluh gue seraya menghela napas.
Noah terlihat bergerak tidak nyaman. Mungkin dia merasa
bersalah karena sadar apa yang gue katakan benar. “Sepulangnya
Kejora dari Eropa kemarin, gue sadar ada yang beda dari dia.
Kalau gue lagi ngomong sama dia, seakan tubuhnya di depan
gue tapi pikirannya di tempat lain,” tambahnya lagi.
372
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
373
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
374
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
375
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
376
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
377
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Malam itu gue kacau. Mata gue merah dan napas gue
tersengal. Berulang kali gue mengatakan kalau gue sangat
menyayangi kamu dan betapa gue menyesal atas hal bodoh
yang telah gue lakukan terhadap kamu pada Karel, Klana, dan
Adrian. Mereka bertiga diam. Memilih untuk menatap kopi
dalam genggaman yang mulai dingin diterpa udara malam,
sementara gue masih berceloteh nggak jelas. Rasanya hampir
mirip seperti kebanyakan minum alkohol, tapi satu yang kamu
tahu pasti; gue nggak pernah minum.
Pada akhirnya, setelah berulang kali mengatakan hal yang
sama untuk waktu yang cukup lama, Karel memotong gue. “Lo
nggak sayang sama Kejora,” ucapnya tegas. Matanya menatap
gue tanpa ragu, membuat darah gue seketika mendidih.
“Apa maksud lo, Rel?” Gue bertanya dengan ketus, benar-
benar nggak setuju dengan ucapannya. Bagaimana bisa Karel
mengatakan kalau gue nggak menyayangi kamu, sementara
berakhirnya hubungan kita adalah alasan hidup gue benar-
benar miserable selama ini?
“You didn’t love her,” ulangnya sekali lagi sambil menatap
gue lekat—kali ini menggunakan bahasa Inggris dengan aksen
Australia yang kental, efek keberadaan kami yang cukup lama di
sana. “Because you don’t destroy the person that you love.”
Meskipun belakangan gue akhirnya tahu kalau Karel
mengutip ucapan Dokter Torres dari serial Grey’s Anatomy,
tetap aja waktu itu rasanya kayak gue ditampar babon lima kali.
Gue hanya bisa diam kayak orang bodoh, sementara hati gue
berdenyut nyeri. Gue mau membalas ucapan Karel, mengatakan
kalau apa yang dia ucapkan nggak masuk akal sama sekali, tapi
jauh di dalam hati gue, gue tahu kalau Karel benar.
378
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
379
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
Dari anak laki-laki tujuh belas tahun dengan gitar penuh stiker,
pecinta marshmallow sejati, manusia nyebelin dengan labirin di
kepalanya, vokalis band paling ganteng, dan orang yang selamanya
akan menganggap kamu bintang penuntun arah kesayangannya,
Rafa.
380
pustaka-indo.blogspot.com
Bonus Chapter
Jakarta, hari ini.
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
382
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
383
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
384
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
385
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
hal yang nggak perlu kita ketahui. Everything will reveal itself as
the time goes by.”
“Oh, tolong, gue tau lo kuliah di London, tapi jangan
nginggris di depan gue dong. Amat sangat mengintimidasi,”
gurau Rafa lagi, membuat Kejora kembali tertawa.
Suara tawanya. Rafa sangat merindukan hal itu.
“Kata seseorang yang kerjaannya pindah dari satu negara ke
negara lain setiap bulan.” Kejora menggigit bibirnya, berusaha
mencegah tawanya kembali meluncur. Ucapan Rafa sebenarnya
tidak selucu itu. Tapi, entah kenapa ia bisa merasakan dorongan
kuat dari dalam dirinya untuk tertawa. Entah apa yang lucu
tepatnya. Mungkin takdir? Karena kembali mempertemukan
mereka di saat seperti ini.
Rafa ingin saja berlama-lama di sana, menatap Kejora lebih
lama lagi. Melemparkan candaan yang sebenarnya tidak terlalu
lucu agar ia bisa mendengar tawa Kejora sekali lagi. Namun,
Rafa sadar sepenuhnya hal itu hanya akan memberatkan
dirinya sendiri. Pasalnya, saat ia melangkah keluar dari ruangan
ini nantinya, semua yang terjadi di antaranya dan perempuan
itu murni tinggal kenangan.
“Gue nggak bisa lama-lama,” ucap Rafa berat. Bohong.
Ia tau benar ucapannya sepenuhnya berlawanan dengan
kenyataan. Ia punya banyak waktu. Kalau Rafa mau, Rafa bisa
menghabiskan satu harian di tempat itu. Tetapi, ia tidak bisa,
tidak boleh.
Sepertinya, Rafa semakin lihai menutupi perasaannya
sendiri karena ia bisa melihat sorot kecewa sekilas di manik mata
Kejora. Menandakan kalau ucapannya berhasil meyakinkan
perempuan itu.
386
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
387
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa
388
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
happy for you both,” tambahnya lagi, kali ini terdengar lebih
tulus.
Noah tahu benar Rafa mengerahkan seluruh tenaga yang
ia punya untuk mengucapkan dua kalimat itu. Maka, laki-laki
itu lekas membalas uluran tangan Rafa dan tersenyum lebar.
“Makasih, Raf.” Gue sangat menghargai usaha lo.
Setelah melemparkan seulas senyum terakhir pada Noah
dan Kejora, Rafa langsung membalikkan tubuh dan menjauh.
Samar-samar ia bisa mendengar Kejora menggumamkan kata
‘terima kasih’ dengan suara yang sedikit pecah. Dari sudut
matanya ia bahkan bisa melihat sorot tulus di mata Noah saat
menatap punggungnya yang kian mengecil. Namun, Rafa tidak
berbalik. Kali ini ia telah memantapkan hatinya.
Maka dengan itu, Rafael Leonardi melangkah menjauh.
Meninggalkan perasaannya, masa lalunya, dan rasa sakitnya di
belakang. Tanpa pernah menoleh lagi.
Sementara itu, Kejora masih menatap punggung Rafa
nanar. Meski tidak sesakit dulu, rasa nyeri itu masih ada di
dalam dadanya saat ia menyaksikan sosok laki-laki yang pernah
menggenggam seluruh hatinya pergi. Samar-samar ia bisa
mendengar suara Noah yang mengajaknya untuk menyambut
tamu lain. Namun, ia mematung di tempatnya. Dibukanya
amplop dalam genggamannya perlahan,
-s e l e s a i -
389
pustaka-indo.blogspot.com
Tentang Penulis
Perempuan kelahiran Medan, 2 Desember 1998 ini
memiliki nama lengkap Elsa Fakhirah Nasution. Elcessa adalah
nama pena yang ia gunakan di sebuah situs oranye bernama
Wattpad. Saat ini Elsa duduk di bangku semester empat di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Selain
menerbitkan buku, mimpinya yang lain adalah untuk menjadi
seorang psikiater.
Warna pastel, K-drama, novel bergenre romance, Tom dan
Summer dalam 500 Days of Summer, serta One Direction adalah
hal-hal kesukaannya.
pustaka-indo.blogspot.com
Wattpad
Fiction
pustaka-indo.blogspot.com
Infinity
Mayang Aeni
pustaka-indo.blogspot.com
“Lo mau jadi pacar gue?”
“Bukannya gue emang pacar lo?
Tapi makasih ya, gue suka surprise-nya.
Maaf selama ini sudah nyembunyiin hubungan kita.”
pustaka-indo.blogspot.com
Bagi Lollypop, Edgar tak lebih dari seorang cowok bengal, meski
penampilannya keren. Cowok yang ada di barisan terdepan saat
terjadi kericuhan, dan ada di barisan belakang saat guru memberikan
pelajaran di kelas.
Sementara bagi Edgar, Lollypop adalah cewek manis yang tak
pernah mengerti dunia Edgar. Gadis manis yang tak pernah lepas
dari pandangan Edgar.
Dua manusia. Dua kepribadian. Bukan rahasia lagi bagi para
siswa SMA Matahari bahwa Lollypop dan Edgar tak bisa disatukan.
Lollypop membenci Edgar yang bengal, sementara Edgar menyukai
Lollypop yang manis.
Namun, jika satu rahasia dalam hidup Edgar terkuak, akankah
Lollypop tetap membenci Edgar?
pustaka-indo.blogspot.com
Sejak awal, Diandra Andira sudah ditakdirkan untuk membenci
Reynaldi Marvellius. Bukan hanya karena mereka kerap bersaing di
bidang akademik dan popularitas, melainkan karena ada hal lain di
masa lalu yang mereka sembunyikan.
Sampai pada suatu saat, takdir menjebak Marvell dan Diandra dalam
permainan hati yang membuat keduanya berusaha mematahkan hati
lawan untuk menjadi pemenang. Namun, siapa yang menyangka,
bila ternyata permainan hati itu menguak misteri di masa lalu, serta
mengubah takdir Marvell dan Diandra?
pustaka-indo.blogspot.com
Sandi’s Style
@Sirhayani
“Lo tahu percepatan gravitasi bumi berapa?
Sembilan koma delapan meter per sekon kuadrat.
Dan gue butuh lebih dari angka itu di diri gue,
supaya elo lebih tertarik ke gue.”
pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
unsent letters
unsent
Tentang Kejora—yang rasa sedihnya ia tumpahkan dalam puluhan
lembar surat. Tiap kata yang memenuhi lembarnya setara doa, harapan,
dan rintihan yang terus meminta agar waktu dapat diputar ulang.
letters
meski waktu telah berlalu, bersama imaji seorang gadis mungil yang
unsent letters
menyandang nama bintang paling terang. Bintang yang jaraknya dua
langkah dari sang mentari.
pustaka-indo.blogspot.com