Anda di halaman 1dari 404

unsent letters

unsent
a Novel By Elcessa

Tentang Raffa—dan rasa sesal yang memenuhi benaknya tanpa

letters

unsent letters

pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent
Letters a novel by
Elcessa

Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters
©Elcessa
57.17.1.0038

Penyunting: Septi Ws

Perancang sampul: Aqsho


Hak cipta dilindungi undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo, anggota Ikapi, Jakarta 2017

ISBN: 978-602-375-962-0
Dicetak pada Juni 2017
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan,
fotokopi, mikrofilm, VCD, CD-Rom, dan rekaman suara) tanpa izin penulis dan penerbit.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).

Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta

pustaka-indo.blogspot.com
Ucapan
Terima Kasih
Sebelumnya aku belum pernah menulis teeniction yang
benar-benar selesai dari awal sampai akhir. Biasanya aku hanya
bisa menulis beberapa chapter tetapi setelahnya cerita tersebut
terbengkalai karena ide cerita itu datang dalam bentuk fragmen
tanpa pernah menjadi utuh. Unsent Letters terasa berbeda.
Kisah Rafa, Kejora, dan Noah datang seutuhnya—dari prolog
hingga epilog. Adegan demi adegannya pun mampu kutuliskan
serapi mungkin meski sempat beberapa kali stuck dan ada
beberapa adegan ditulis ulang.
Awalnya kisah ini kutulis untuk diriku sendiri, sekadar
untuk menyalurkan hobi. Aku tidak menyangka kalau kisah
yang tadinya menghuni situs oranye itu bisa menjelma menjadi
sebuah kisah utuh di halaman buku. Untuk itu, aku ingin
mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang memiliki
peran penting dalam perjalanan Unsent Letters:
Pertama-tama, terima kasih kepada Allah SWT atas nikmat
dan kesempatan yang telah diberikan-Nya padaku. I’m very glad
He let me do the things that I love.
Untuk Mama, Ayah, dan Ai, thank you for the endless support
and for believing in me.

pustaka-indo.blogspot.com
Untuk Moureta Lingkar Maharani dan Suelsa Haya, thank
you for proving me that family doesn’t always mean they’re bonded
by blood. You’ve been there since day one. I owe you guys a lot.
Untuk Rifka Azzahra, terima kasih atas kritik dan sarannya
yang sangat menampar, tapi membantu. Terima kasih juga udah
rela direpotin selama ini. Sukses selalu!
Untuk Kak Christa Bella, Yolana Ivanka, dan Sashi Kirana,
terima kasih karena selalu rela digangguin, ditanya-tanya, dan
selalu ngeladenin ocehanku yang sebenarnya nggak penting. It’s
been nice knowing you, thank you.
Untuk Aulia Nanda, Anita Faridah, Romdoni Gozali, Ghea
Grahmaulidya, dan semua teman-temannya di Firelies terima
kasih banyak karena sudah repot-repot membuat lagu dan music
video untuk soundtracknya Unsent Letters. It means a lot.
Untuk Mbak Septi dan semua pihak Grasindo, terima kasih
banyak atas kesempatan dan kepercayaannya.
Untuk anak-anak asuh Kakak Elsa di grup LINE
Unpredictable! Terima kasih banyak sudah berbagi cerita,
ketawa bareng dan membuat notiication saya jebol. You guys
rock!
Dan terakhir, untuk semua teman-temanku baik di kampus
maupun di Wattpad yang selalu memberi dukungan, untuk
semua orang yang menyempatkan diri membaca kisah Rafa
dan Kejora, maaf karena nama kalian nggak bisa kusebutkan
satu per satu, tapi terima kasih banyak karena telah meluangkan
waktu!
Semoga kalian menikmati kisah Rafa dan Kejora
sebagaimana aku menikmati proses penulisannya!

Elsa.

pustaka-indo.blogspot.com
Prolog
Day 15: Dubai—Jakarta
26 Juli.

“To all the passangers, here’s your captain speaking, in a few


minutes we will touch down in Soekarno Hatta International
Airport. It’s now 15.40 in Jakarta since Jakarta is 3 hours ahead of
Dubai. he weather’s perfectly bright. Please be seated and fasten
your seatbelt.”
Di antara suara statis dari kokpit yang memberitahukan
bahwa pesawat yang ia tumpangi akan segera mendarat, seorang
gadis dengan rambut hitam lurus yang duduk di bangku nomor
delapan masih terlihat sibuk menenggelamkan diri dalam buku
tebal di pangkuannya, seakan tidak mendengar ocehan sang
pilot yang berkumandang lewat pengeras suara.
Namanya Kejora. Gadis sederhana yang meminjam nama
bintang yang paling terang. Matanya bulat dan hitam, segelap
malam. Hidungnya mancung dengan ujung yang runcing,
sedangkan bibirnya mungil, seperti bibir anak kecil. Tidak
ada yang istimewa dari sosok gadis yang menyandang nama
perhiasan langit itu. Namun, ada sesuatu yang membedakan
Kejora dengan puluhan penumpang lain yang duduk di dalam
pesawat; tujuan dan ke mana ia akan pulang.

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Arakan awan putih yang bergelung di langit senja dan


sinar mentari sore yang menembus masuk lewat sela jendela
menyita perhatian gadis itu. Ia mengalihkan pandangan ke
arah cakrawala selagi menghela napas berat. Jari-jarinya yang
panjang dan lentik perlahan menyentuh kaca jendela dingin di
sisinya, seakan ingin menyentuh gumpalan awan yang menari
bebas dan ikut terbang bersama. Jauh dari tempat ia sekarang
berada. Jauh dari realitas.
Tanpa Kejora sadari, perlahan ia meraih sesuatu dari dalam
tasnya. Tumpukan surat warna-warni, diikat rapi menggunakan
tali berwarna cokelat muda yang terbuat dari serat tanaman.
Gadis itu menyandarkan kepala, bibirnya kembali menghela
napas berat.
“Letters?” tanya suara yang berasal dari sisi kanan Kejora.
Ia menoleh sedikit, mendapati seorang laki-laki paruh baya
menatap surat dalam genggamannya. Kejora tersenyum tipis.
“Are those sent to you or are you sending them of?” tanya
laki-laki itu lagi saat mendapati Kejora tersenyum kecil. Manik
matanya memancarkan rasa penasaran yang besar. “Well, I can
read it from your face. To tell you the truth, I’m a good mind reader.
So I’m asumming you’re sending them of.” Laki-laki itu diam
sejenak, kerutan di keningnya terlihat semakin jelas. “Why you
haven’t send them yet?”
Kali ini Kejora menoleh, merasa tidak nyaman dengan laki-
laki asing yang tiba-tiba saja mampu menebak setengah kisah
hidupnya meski ia yakin hanya kebetulan semata. “Some things
are better left unsaid,” balas Kejora singkat.
Tawa renyah meluncur dari sisi Kejora. “Benarkah?” Laki-
laki di sebelahnya menaikkan alis seraya menyeringai, seakan
jawaban yang baru saja Kejora lontarkan merupakan hal paling

2
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

konyol yang pernah ia dengar. “Trust me, young lady, saya sudah
banyak makan asam garam untuk bilang kalau pernyataan itu
sepenuhnya salah.”
Kali ini ekspresi laki-laki di sebelahnya berubah serius.
Sorot matanya melembut saat ia menatap Kejora seraya berbisik
sendu, “When the time comes, you’ll see how much you regret not
saying the things that you wanted to say to someone that means the
whole world to you. Trust me, I know.”
Kejora memilih untuk bungkam, menutup mulutnya rapat-
rapat. Dieratkannya genggaman pada tumpukan surat yang
telah menemaninya selama belasan hari terakhir. Helaan napas
meluncur dari bibir gadis itu. Berat dan menyakitkan. Seakan
ada luka yang kembali terbuka dan perihnya kian terasa setiap
kali udara memenuhi paru-parunya.
Perlahan tapi pasti, Kejora menutup mata, membiarkan
realitas meluruh selagi potongan gambar yang berasal dari
masa lalu mengelilinginya, meredam deru mesin pesawat.
Menghantarkannya ke satu masa ketika semua begitu mudah.
Begitu sederhana.
Dan sekali lagi, sosok yang menjadi alasan di balik puluhan
surat tak terkirim di pangkuannya, sosok yang selama ini selalu
menghantui bayangnya sejak masa putih abu-abu berakhir,
kembali hadir. Menorehkan luka baru tiap imajinya muncul,
meski hanya dalam wujud memori.

3
pustaka-indo.blogspot.com
Membuka
Luka Lama
Day 1: Jakarta—Dubai
10 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang kehadirannya hilang timbul seperti bintang di langit malam).

Tepat di sebelahku, awan berarak tenang. Sinar matahari


keemasan menembus sela butiran air yang membentuk
gumpalan putih di langit biru. Deru mesin bersahutan dengan
alunan musik bertempo lambat yang berasal dari pengeras suara.
Samar-samar aku bahkan bisa mencium aroma panganan khas
yang biasa dihidangkan saat pesawat mengudara, bercampur
dengan parfum loral milikku.
Detik ini, detik ketika aku mengguratkan pena di atas
kertas, aku berada puluhan ribu kaki jauhnya di atas bumi.
Barisan rumah, hutan hijau, dan samudera yang membentang
luas tertutupi hamparan awan putih yang indah, mahakarya
Sang Pencipta. Puluhan ribu kaki jauhnya di atas permukaan
tanah, dan sayangnya, satu-satunya hal yang berputar di
pikiranku adalah kamu.
Jadi, halo, Rafa.

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Tahunan tanpa kehadiran satu sama lain, kamu apa kabar?


Aku dengar sekarang kamu sedang sibuk kuliah musik. Aku juga
dengar kalau band-mu baru saja merilis album kelima. Baguslah
kalau begitu. Semakin lama, kamu semakin dekat dengan
impianmu. Hal-hal yang dulunya kamu anggap hanya sekadar
fantasi anak laki-laki delapan belas tahun, kini perlahan mulai
terwujud, kan?
Aku juga sama di sini, berusaha mewujudkan mimpi-
mimpiku. Aku baru saja menyelesaikan studiku di London.
Rasanya begitu puas saat namaku dipanggil pada acara gradution
minggu lalu. Terlebih lagi, aku berhasil menyelesaikan studiku
dengan baik dan membuat kedua orangtuaku bangga. Perlahan-
lahan, semua yang dulunya kuanggap mustahil mulai mewujud
ke permukaan.
Omong-omong, Ayah memberiku jatah liburan keliling
Eropa sebagai hadiah kelulusan. Keliling Eropa, Rafa, kita
selalu memimpikan hal itu dulu. Kamu sering kali berkata kalau
suatu saat nanti kamu akan menjadi penyanyi terkenal dan
bersama band milikmu, kamu akan mengadakan konser keliling
dunia. Kamu juga berkata kalau kamu akan turut mengajakku.
Bersama, kita akan mewujudkan semua impian kita. Satu demi
satu. Tetapi, sepertinya kenyataan berkata lain, kan, Raf?
Buktinya aku sekarang berada di sini, di dalam pesawat
yang mengantarkanku langung dari Indonesia menuju Dubai.
Sementara kamu? Aku bahkan tidak tahu kamu di mana. Apa
kamu di Jakarta bersama keluargamu? Atau touring bersama
teman-teman band-mu?
Kenyataan berjalan jauh dari apa yang kita prediksi.
Dulu kita masih terlalu polos untuk mengenal dunia. Kita
berdua mengira selama kita saling menggenggam, tak ada yang

5
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tak bisa kita hadapi. Tak ada mimpi yang tak mungkin. Kita
berdua mengira apa yang kita punya cukup kuat, cukup kokoh
untuk melawan arus yang menerjang. Tetapi, kita berdua salah,
kan, Raf? Kehancuran itu justru pada akhirnya berasal dari diri
kita sendiri.
Kalau sedang sendirian di malam hari, aku sering berpikir,
mempertanyakan pada bintang yang sinarnya mulai meredup
di langit, kenapa semuanya hancur di saat kita semakin dekat
dengan mimpi? Kenapa semuanya harus berakhir di saat aku
mengira kita akan memiliki satu sama lain selamanya?
Seakan kerlip bintang memberiku ilham, aku pun sadar
bahwa waktu itu kita sedang diuji. Dunia ingin melihat seberapa
jauh sepasang anak adam mampu menumbuhkan akar yang
kokoh untuk kehidupan. Dunia ingin tahu, apakah akar itu
akan terlepas begitu saja karena badai dan hujan? Mungkin
butuh waktu bertahun, hingga akhirnya dunia tetap mendapat
jawaban yang diinginkannya.
Kita kalah, Raf.
Akar milik kita tidak menancap cukup dalam di tanah.
Angin, badai, dan hujan lebat menarik lepas semuanya. Pada
akhirnya, semua yang telah kita bangun bertahun-tahun hilang
sia-sia. Satu-satunya yang tersisa hanyalah lubang yang cukup
dalam. Cukup untuk membuatku berduka berbulan lamanya,
sementara kamu menghilang entah kemana.
Cerita yang kita punya, Rafa, mungkin butuh waktu
bertahun untuk menjabarkannya. Namun, hari ini, aku telah
berjanji pada diriku sendiri untuk sesaat melemparkan diri
kembali ke masa lalu. Sebentar saja, aku janji. Aku ingin kembali,
tanpa beban, tanpa tuntutan, tanpa penyesalan.

6
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku ingin mengenang, Raf, memutar kembali semua


memori yang pernah kita bagi bersama. Menghanyutkan diriku
dalam setiap derai tawa dan tetes air mata yang pernah kita
cipta.
Aku ingin mengenang, Raf, apa-apa yang pernah kita
punya, dan apa yang sekarang ini hanya bisa terkubur dalam
kardus usang, tempat kita menyimpan mimpi-mimpi kita.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

7
pustaka-indo.blogspot.com
Sepenggal Lagu
Masa Kecil
Day 1: Jakarta—Dubai
10 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang selalu membawa gitar penuh stiker lusuh ke mana pun ia
pergi)

Aku baru sadar kalau penerbangan Jakarta–Dubai ternyata


memakan waktu cukup lama. Tadinya aku sudah memutuskan
untuk berhenti menulis dan tidur sejenak. Namun, ada suara-
suara asing yang berbisik di pikiranku, menyuruhku untuk
kembali mengabadikan kenangan tentang kita di dalam
lembaran surat.
Tahu tidak, Raf, aku bahkan bisa membayangkan
kehadiranmu di sini. Dengan punggung yang disandarkan, mata
terpejam, dan jari yang bertaut pada senar gitar. Mengalunkan
melodi-melodi indah yang selalu berhasil mengguratkan senyum
di bibirku. Tetapi, lagi-lagi aku terlalu banyak bermimpi. Kamu
tidak ada di sini. Bahkan, sudah sejak lama pergi.
Mau tak mau, suasana ini membuatku kembali memutar
memori tentang kita—tepatnya saat kali pertama bertemu

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

denganmu—dan aku akan kembali menuliskannya di surat ini,


sehingga apa yang sempat kita miliki tidak akan hilang begitu
saja ditelan waktu.
Aku masih ingat hari itu; Juli, tahun ajaran baru, hari
pertamaku jadi murid SMA.
Aku datang ke sekolah sendirian dalam balutan seragam
SMP yang roknya sudah pendek karena tinggiku bertambah
selama liburan yang cukup panjang. Rambutku dikuncir dua
dengan pita warna-warni. Bet nama besar selebar pinggang
yang terbuat dari kertas manila berwarna merah muda ikut
memeriahkan penampilanku hari itu. Berbagai gambar abstrak
dengan warna cerah menghias bet tersebut, bersanding dengan
huruf balok yang membentuk kata Kejora.
Hari itu seharusnya aku datang bersama Noah—sahabatku
sejak kecil—tetapi, sialnya Noah terserang cacar sehingga dia
tidak dapat menghadiri masa orientasi. Bahkan, mungkin Noah
tidak akan masuk di minggu pertama sekolah, meninggalkanku
sendirian di lembah antah berantah yang tidak familiar ini.
Tak terhitung sudah berapa kali aku menarik ujung rokku
dengan tidak nyaman saat para senior menyuruh kami berbaris
di bawah teriknya matahari. Tak henti-hentinya mereka
meneriakkan berbagai macam peraturan beserta sanksi yang
akan dikenakan jika kami melakukan pelanggaran. Sesekali
mereka akan menghampiri satu-dua murid, bertanya dengan
nada galak yang dibuat-buat, membuat murid baru takut
setengah mati.
Tidak seperti kamu, aku bukanlah tipe orang yang bisa
dengan mudahnya maju dan membela apa yang kuanggap
benar. Aku, ya, cuma aku. Lucillia Kejora yang lebih memilih
menjadi kasatmata daripada pusat perhatian. Lalu, apa yang

9
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

bisa kamu harapkan dari gadis biasa sepertiku? Meski aku tidak
menyukai perbuatan para senior, toh aku lebih memilih untuk
menunduk dan diam.
Hari itu aku mati-matian menutupi tubuhku yang kurus
dan tidak terlalu tinggi dari mata para senior, berharap sosokku
cukup kasatmata sehingga mereka tak akan mengerjaiku. Kalau
perlu, aku ingin mereka tidak menyadari kehadiranku sekalian.
Tetapi, sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berada di pihakku
karena para senior malah dengan senang hati menunjukku.
Memintaku untuk melakukan hal-hal konyol di depan semua
orang.
Tentu saja aku menolak mentah-mentah. Kamu yang
paling tahu, Raf, aku benci dipermalukan di depan umum. Aku
benci jadi tertawaan orang banyak. Namun, hari itu para senior
bertingkah seakan merekalah yang berkuasa. Mereka berteriak
di depan wajahku, mengataiku tidak sopan dan belagu. Pada
akhirnya, aku hanya bisa pasrah saat mereka menggiringku ke
halaman belakang sekolah, tempat matahari bersinar sangat
terik, dan menyuruhku untuk berdiri di sana sampai acara hari
itu usai sebagai hukuman.
Aku menundukkan kepala dalam-dalam, berharap topi
ala petani yang kukenakan cukup untuk menghalau sinar sang
surya yang membakar kulit. Tetapi, sepertinya usahaku sia-sia
saja karena aku bisa merasakan keringat yang mengalir deras
dari pelipis. Bahkan, wajahku mulai memerah.
Aku menggerutu, merutuki para senior yang bertingkah
semena-mena, dan menendang kerikil-kerikil di sekitarku
dengan penuh emosi. Namun, gerutuan dan seluruh sumpah
serapahku mendadak lenyap begitu saja saat telingaku
menangkap nada-nada asing yang mengalun tak jauh dariku.

10
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Cepat-cepat aku mengangkat kepala dan mendapati siluet anak


laki-laki yang berada di bawah pohon. Sosok itu tampak bersinar
saat terkena terpaan cahaya matahari. Kamu.
Kamu duduk di sebuah bangku kecil, berjarak hanya
beberapa meter dariku, sibuk memejamkan mata dengan
earphone yang hanya dipasang di telinga kanan. Seakan sinar
matahari yang menembus sela dedaunan tak mengganggumu
sama sekali.
Jemarimu bertaut di antara senar gitar, memainkan lagu
yang tak kukenal. Samar-samar aku bisa mendengar kamu
menghela napas sebelum membuka mata dan mengalihkan
pandangan langsung ke arahku.
Cepat-cepat aku menunduk, tak ingin kamu menangkap
basah aku yang sedari tadi mengamati. Namun, sayangnya aku
kalah cepat karena meski aku telah mengalihkan pandangan
darimu dan berpura-pura fokus pada kerikil di bawah kaki,
aku bisa merasakan kamu menatapku lekat. Seakan kamu
mengamati setiap inci wajahku dari jarak yang terbentang di
antara kita.
Dalam hati, aku memohon pada Tuhan agar kamu cepat-
cepat mengalihkan pandanganmu dariku. Bukan. Bukan karena
kamu seorang senior dan aku takut padamu, melainkan karena
sorot matamu begitu tajam, mengintimidasi, tetapi hangat
di saat yang bersamaan. Ratusan emosi terpancar di sana—
aku menyesali kebodohanku sendiri karena tidak mampu
membacanya. Belum lagi kesan yang terpancar dari keseluruhan
penampilanmu—seragam yang tidak dimasukkan, rambut
acak-acakan, bibir yang tidak mengulas senyum. Kamu jauh
dari kesan murid baik-baik waktu itu. Namun, seperti magnet,

11
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kamu membuatku terpaku selama beberapa saat. Terpaku


dalam kesan yang menghanyutkan itu.
Baru setelah kamu mengalihkan pandangan dariku,
tubuhku yang tadinya sempat menegang kembali relaks. Aku
mengembuskan napas lega dan menyelipkan helaian rambutku
yang terlepas dari ikatan. Dari sudut mata, aku bisa melihat
kamu kembali memejamkan mata, sibuk menautkan jemari di
antara senar gitar.
Beberapa saat kemudian, melodi asing yang sempat
kudengar berganti dengan alunan nada yang terasa familier di
telinga. Detik berikutnya, aku bisa mendengar sebuah suara.
Serak, sedikit berat, tapi lembut di saat yang bersamaan,
menyanyikan satu lagu yang kukenal benar. Lagu yang bertahun
lalu selalu dinyanyikan Ayah untuk mengiringiku tidur. Lagu
masa kecilku.

Ku pandang langit penuh bintang bertaburan


Berkelap-kelip seumpama intan berlian
Tampak sebuah lebih terang cahayanya
Itulah bintangku, bintang Kejora
yang indah selalu.

Ragu-ragu aku mengalihkan pandangan ke arahmu setelah


kamu menyelesaikan lagu itu dan mendapati kamu balas
menatapku. Alis kananmu terangkat, bibirmu membentuk
garis tipis. Samar-samar aku bisa melihat lengkungan di sudut
bibirmu. Sedikit saja. Mungkin hanya sepersekian mili. Namun,
itu cukup untuk melunturkan kesan dingin yang awalnya
kudapat darimu.

12
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Bintang Kejora, kan?” tanyamu waktu itu, membuatku


mengernyit bingung.
“Apa?”
“Nama lo.” Kamu berhenti sebentar, memberiku waktu
untuk mencerna ucapanmu. “Bintang Kejora?”
Aku mengerjapkan mata, mulai mengerti maksud
pertanyaanmu. Aku tersenyum, meski sedikit canggung. “Nggak
ada bintangnya. Kejora aja.”
“Kejora aja?” tanyamu sekali lagi, terlihat memastikan.
Kuanggukkan kepala dengan mantap. “Ya.”
Kamu ikut mengangguk selama beberapa saat sebelum
berdeham, “Oke, deh. Kejora aja.”
Cepat-cepat aku menambahkan saat aku mengira kamu
salah mengerti ucapanku. “Maksud gue—eh, maksudnya
nama saya Kejora, Kak. Nggak ada aja-nya ataupun bintang-
nya.” Dalam hati aku merutuki diri sendiri karena hampir
lupa memanggi kamu dengan sapaan ‘Kak’ sebagai wujud rasa
hormat, berhubung senioritas yang terlampau tinggi di sekolah
kita.
“Nggak usah formal gitu kali sama gue,” balasmu langsung,
seakan bisa membaca pikiranku. “Kayak lagi ditilang polisi aja.”
Aku hanya bisa meringis sembari menggoyangkan kaki
dengan gugup. Aku memang pemalu, Raf, tetapi belum pernah
aku merasa segugup itu sebelumnya. Kamu membuatku
merasa seakan aku ingin berlari ke kamar kecil terdekat,
melihat pantulan diriku di cermin, dan memastikan kalau
pemampilanku baik-baik saja. Untuk kali pertama aku merasa
takut. Takut kalau diriku yang berdiri tak jauh darimu tidak
cukup baik.

13
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Kejora, ya,” gumammu pelan setelah rasanya lama sekali.


Kamu lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mengalihkan
pandangan tepat ke manik mataku. “It’s a star. You’re the star I
wish upon. Will you make my dreams come true?”
Selama sepersekian detik, aku hanya bisa terpaku. Apa
maksud dari ucapanmu itu? Kenapa sorot di wajahmu begitu
serius? Terlebih lagi, kenapa hanya dengan mendengar kalimat
sederhana yang kamu ucapkan pipiku memanas?
Namun, hipotesis aneh yang hendak muncul di pikiranku
langsung buyar saat kamu melemparkan seringai bandel ke
arahku dan terkekeh pelan. “Norak, nggak? Nama lo bikin gue
jadi terinspirasi bikin lirik. Pas banget soalnya gue emang lagi
nulis lagu.”
Saat itu, yang kali pertama terlintas di pikiranku adalah,
kenapa aku tidak menyadari kemungkinan kalau kamu seorang
vokalis band? Kepribadianmu yang santai dan cenderung
blakblakan, tangan yang hampir tak pernah lepas dari senar
gitar, serta suara khas yang kamu miliki saat menyanyikan
sepenggal lagu masa kecilku. Seharusnya, aku menyadari
kemungkinan itu sejak awal.
Sepertinya, aku terlalu lama diam karena detik berikutnya
kamu kembali buka suara. “Lo bisa nyanyi?” tanyamu waktu
itu, membuatku ingin tertawa karena jawaban yang hendak
kulontarkan.
“Kalau nyanyi suara gue kayak tikus kejepit,” balasku tanpa
bisa ditahan.
Kamu mendengus, tetapi senyum tipis terukir di bibirmu.
“Ayolah, gue yakin nggak seburuk itu.”
Aku memilih untuk keras kepala dan mengangkat bahu.
“Gue serius.”

14
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Satu lagu,” desakmu waktu itu. “Satu lagu aja dan gue janji
nggak akan pernah minta lo untuk nyanyi lagi seumur hidup lo.”
“Enggak, deh,” tolakku, masih berkeras pada pendirianku.
Tentunya aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri di
hadapanmu pada perjumpaan pertama kita.
Selama beberapa saat kamu mengamatiku dalam diam.
Dari sinar matamu, aku tahu kalau kamu sedang merencanakan
sesuatu. Dugaanku terbukti benar karena detik berikutnya kamu
mengatakan satu kalimat yang sukses membuatku terdiam.
“Gue senior lo,” ucapmu dengan nada tegas. “Gue juga
berhak kasih lo hukuman. Kalau lo nggak mau, gue bisa aduin
ke kakak pembina lo, supaya dihukum. Tahun lalu ada yang
diceburin ke kali belakang, biar lo tau aja, sih.” Senyum penuh
percaya diri terukir di bibirmu, seakan kamu tahu sejak awal
kamu pasti akan memenangkan perdebatan itu.
Bukan, Raf, pada akhirnya aku menyerah bukan karena
ancaman yang keluar dari bibirmu, melainkan karena sesuatu
yang kamu releksikan hari itu. Seakan kamu tidak peduli meski
suaraku akan terdengar sangat menyedihkan nantinya karena
kamu akan tetap menghargainya. Menghargai usaha yang
kulakukan untuk menyanyikan lagu itu.
Detik ketika kamu menatapku seraya mengulas senyum
lembut, aku yakin aku bukan diriku lagi. Kamu telah
mengendalikanku, bahkan tanpa kamu sadari. Seakan tidak
mempedulikan fakta kalau suaraku pas-pasan, dari bibirku
meluncur potongan lagu “I Wouldn’t Mind” milik He Is We.
Pelan tapi pasti. Semuanya berjalan begitu cepat, aku bahkan
tak memercayai apa yang baru saja aku lakukan. Fokusku saat
itu hanyalah kamu. Aku ingin tahu, reaksi macam apa yang

15
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

akan kamu berikan setelah mendengar suaraku? Tertawakah?


Atau malah mengeluarkan komentar pedas?
Semua prediksiku terbukti salah saat aku mendapati kamu
meraih gitar, mengambil langkah lebar ke arahku, dan berhenti
tepat dua langkah di hadapanku. Ekspresimu tak terbaca sama
sekali, membuatku menggigit bibir dengan gugup.
“Kejora,” panggilmu setelah rasanya lama sekali.
Aku menghela napas pasrah sebelum membalas, “Kan gue
udah bilang, gue benar-benar nggak bisa nyanyi.”
Kamu menyipitkan mata ke arahku selagi aku melirikmu
takut-takut. Aku sudah mempersiapkan telinga untuk
mendengar komentar tidak menyenangkan darimu. Tetapi,
lagi-lagi aku harus merelakan prediksiku salah karena kalimat
berikutnya yang keluar dari bibirmu berbanding terbalik dengan
dugaanku.
“Not bad. Meskipun gue nggak tau itu lagu apa, gue harap
ini bukan yang terakhir kali gue mendengarnya. Terutama versi
lo.”
Selama beberapa saat aku hanya bisa menatapmu dengan
mulut menganga. Belum pernah aku bertemu dengan orang
tidak tertebak seperti kamu. Aku tidak bisa membaca pikiranmu
sama sekali, tebakanku selalu melenceng jauh. Mungkin itulah
alasan kenapa setelah sekian lama berlalu aku masih belum bisa
memahami kamu dan jalan pikirmu seutuhnya.
Kamu lalu tersenyum puas saat melihatku melongo waktu
itu. Aku berani bertaruh, wajahku pasti terlihat konyol setengah
mati. Namun, kutekan rasa malu yang sempat timbul untuk
membalas senyum yang kamu berikan.
Dan setelah itu, kamu melangkah pergi, meninggalkanku
sendirian di halaman belakang sekolah. Tetapi, kini aku sadar

16
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

kalau waktu itu kamu tidak benar-benar meninggalkanku


sendirian. Kamu meninggalkan rasa hangat yang membekas di
dadaku, menemaniku sampai hari itu berlalu. Bahkan, mungkin
sampai detik ini.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari


Kejora.

17
pustaka-indo.blogspot.com
Buku Cerita dan
Cokelat Panas
(Bagian I)
Day 2: Dubai—Roma
11 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang bertingkah seperti rockstar terkenal tapi meminta tambahan
ekstra marshmallow untuk cokelat panasnya)

Dini hari. Gradasi hitam dan ungu menghias langit malam


tak berbintang di luar kaca jendela. Kurapatkan selimut yang
tersampir di bahu selagi aku menulis kata demi kata di dalam
lembar merah muda ini. Hening malam, udara dingin, dan
memori tentang kita yang berputar di benakku membuatku
bergidik. Dalam hitungan jam, aku akan tiba di Roma. Kota
penuh sejarah. Destinasi pertamaku di Eropa. Dan meski aku
ribuan kilometer jauhnya dari kamu, dengan magisnya bayang-
bayangmu masih bisa menghantuiku. Mengusik sadarku.
Berbaur dengan imaji.

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Tadinya aku sedang membaca novel Paper Towns karya


John Green. Kamu masih ingat, tidak, dengan buku yang
sampulnya didominasi warna biru-putih itu? Berkisah tentang
seorang perempuan pemberani bernama Margo yang sangat
mencintai petualangan dan seorang laki-laki bernama Quentin
yang mencintai Margo sebesar perempuan itu mencintai
petualangan. Selain petualangan, Margo juga sangat menyukai
misteri. She loves mystery so much that she become one, adalah
salah satu kutipan favoritku dalam buku itu.
Kisah mereka berawal di suatu malam saat Margo mengajak
Quentin menjalankan sebuah misi. Misi yang tanpa Margo
sadari melemparkan laki-laki itu ke dalam dunia kecilnya,
membuat Quentin berjuang mati-matian untuk memahami
bagaimana seorang Margo Roth Spiegelman sebenarnya.
Namun, setelah fajar menyingsing dan misi itu berakhir, tiba-
tiba saja Margo hilang bagai ditelan Bumi. Maka, dimulailah
petualangan Quentin untuk menemukan Margo. Semua upaya
rela dilakukannya tanpa kenal lelah. Semangatnya selalu
membara setiap kali berhasil menemukan petunjuk kecil
tentang keberadaan Margo yang bagai sengaja ditinggalkan
hanya untuknya, sementara perempuan itu bertualang entah
ke mana.
Apakah kamu tahu kenapa aku menulis tentang kisah
mereka, Raf? Karena sadar atau tidak, kisah merekalah yang
membawa kita kepada satu sama lain. Ah, dan juga kecintaanmu
terhadap musik.
Hari itu, tepatnya satu minggu setelah MOS berlangsung,
aku datang ke sekolah sendirian. Cacar yang diderita Noah
ternyata cukup parah—meski saat aku menghubunginya di pagi
hari dia mengatakan kalau keadaannya sudah jauh lebih baik—

19
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

sehingga dokter mengharuskan Noah beristirahat di rumah


selama hampir dua minggu.
Dengan cepat aku melangkah menuju papan pengumuman
untuk mencari tahu di kelas mana aku ditempatkan. Embusan
napas lega meluncur dari bibirku saat aku mendapati namaku
dan Noah diletakkan dalam kolom yang sama. Jujur, aku cukup
sulit berbaur dengan orang baru, jadi aku benar-benar bersyukur
karena aku dan Noah berada di kelas yang sama. Setidaknya jika
nanti aku tidak memiliki teman akrab, aku selalu punya Noah di
sampingku.
Di kelas, kami melakukan undian untuk menentukan
teman sebangku. Aku mendapat nomor 28, yang berarti tempat
dudukku berada di bagian belakang. Tak masalah buatku.
Setidaknya, aku bisa menutupi wajah mengantukku pada
pelajaran yang membosankan nantinya. Teman sebangkuku,
dengan nomor 27, bernama Maura. Cantik, cukup tinggi,
dengan rambut yang dipotong sebahu dan kardigan khasmir
berwarna merah muda.
Kami diberi free class hari itu. Wali kelasku berkata ada
baiknya kami mengakrabkan diri satu sama lain terlebih dahulu.
Tidak ada yang spesial dengan obrolanku dan beberapa murid
perempuan lainnya. Aku lebih banyak diam selagi mereka
berceloteh tentang diskon besar-besaran di salah satu butik
ternama dan maskara keluaran terbaru yang membuat bulu
mata terlihat—mengutip kata salah satu teman sekelasku—
lebih bervolume. Aku mana tahu tentang hal seperti itu.
Aku baru saja akan bangkit dan memilih untuk menyendiri
sambil membaca buku saat mendengar salah satu teman
sekelasku yang bernama Citra mendeklarasikan diri bahwa dia
menyukai seorang senior yang selalu membawa gitar ke mana

20
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

pun ia pergi. Cepat-cepat aku kembali duduk manis, menajamkan


telinga seraya berusaha menyerap seluruh informasi. Meskipun
aku tidak tahu siapa yang Citra bicarakan, tapi entah kenapa
saat itu aku yakin kalau orang itu adalah kamu.
Kalau kupikir-pikir lagi, betapa bodohnya aku waktu
itu. Aku bahkan tidak tahu namamu dan kita hanya pernah
bertemu satu kali. Lalu, kenapa saat aku mendengar teman-
temanku berbicara tentangmu, aku langsung semangat sendiri?
Seakan-akan mengetahui sedikit lebih banyak tentangmu dapat
membuat hariku lebih baik.
Dari obrolan kecil itu, aku mengetahui namamu—Rafael
Leonardi. Rafa, begitu mereka memanggilmu. Kamu murid
kelas XI-IPA 1 yang masih menjadi misteri bagi para guru
kenapa kamu berhasil memasuki kelas yang terkenal dengan
murid-murid ambisius nan cerdas itu, sementara sosokmu
sendiri adalah cowok usil dengan nilai pas-pasan dan kerap kali
membuat masalah. Aku hanya bisa tersenyum geli saat teman-
temanku mengatakan hal itu. Toh aku sadar kalau kata usil dan
tukang buat onar memang cocok dengan seringai jail dan baju
kusut yang kujumpai di halaman belakang sekolah.
Usut punya usut, ternyata kamu tergabung dalam sebuah
band yang beranggotakan tiga orang teman sekelasmu. Kalian
cukup sering tampil di acara sekolah maupun sekedar bernyanyi
dengan honor yang tidak terlalu besar di kafe. Menurut teman-
temanku, kamu adalah tipe laki-laki yang—meskipun berwajah
memesona—harus dijauhi jika tidak ingin mendapat masalah
dan keluar dari SMA dengan hati berkeping-keping. Aku hanya
tertawa menanggapi ucapan mereka. Menganggap mereka
berlebihan soal hati yang berkeping. Jangan salahkan aku.
Waktu itu aku tidak tahu kalau di balik kepribadianmu yang

21
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

memikat, tersembunyi sisi lain yang sanggup meluluhlantakkan


perasaan seseorang.
Tak lama setelah itu, obrolan mereka kembali berganti ke
topik awal dan kali ini aku memilih untuk menyingkir, kembali
ke tempat dudukku. Menghanyutkan diriku sekali lagi dalam
petualangan Margo Roth Spiegelman. Sendirian.
Awalnya semua terasa menyenangkan. Aku asyik membaca,
tenggelam dalam dunia khayal, sampai desas-desus di
sekelilingku tak bisa kubendung lagi berisiknya. Dengan gusar
aku menurunkan buku dalam genggaman, mendapati teman-
temanku saling berbisik sambil melirik sembunyi-sembunyi ke
arah pintu. Acuh tak acuh, aku pun mengikuti arah pandang
mereka. Apa yang kudapati sontak membuatku membeku.
Pasalnya, yang berdiri di depan pintu kelasku dengan
seragam yang tidak dimasukkan, mata menyipit dan gitar
yang disandang bagai ransel itu adalah kamu. Sikapmu terlihat
santai, tapi tegas dan dingin pada saat bersamaan. Terlihat jauh
berbeda dengan anak laki-laki yang kutemui di belakang sekolah
satu minggu lalu. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini
sosokmu yang sebenarnya? Kalau begitu, bagian dirimu yang
kamu tunjukkan padaku waktu itu apa?
Meskipun kamu memancarkan kesan dingin yang
mengintimidasi, entah kenapa hal itu terlihat tepat untukmu.
Sosokmu yang berdiri di depan pintu kelasku hari itu terlihat
bersinar. Bersinar akan kesan bahaya tanpa mengurangi pesona
yang ada.
Dari balik tubuhku, aku tahu kalau teman-temanku
menahan napas. Mungkin takjub akan pesonamu? Entahlah.
Yang jelas, beberapa detik kemudian, aku mendengar derit

22
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

bangku yang bergesekan dengan lantai dan suara Citra yang


terdengar manis.
“Kak Rafa cari siapa?” tanyanya, berusaha keras agar
terdengar selembut mungkin.
Aku bisa melihat itu, Raf. Harapan. Harapan memenuhi bola
mata Citra selagi dia menatapmu. Seakan perempuan itu ingin
jawaban yang kamu lontarkan berikutnya mengindikasikan
kalau dialah yang kamu cari. Tetapi, Citra harus rela menelan
kembali rasa yang dimilikinya karena bukannya menjawab
pertanyaan Citra, kamu malah sibuk mengedarkan pandangan
ke seluruh penjuru kelas. Tak menggubrisnya sama sekali.
Entah kenapa, sosokmu yang terlihat seakan sedang
mencari sesuatu hari itu membuatku menundukkan kepala
dalam-dalam, menutupinya dengan novel yang sedang kubaca,
berharap buku usang kesayanganku mampu membuatku tak
terlihat. Bukan hanya aku, seluruh penjuru kelas pun memilih
untuk bungkam. Tak ada yang berani berkata-kata.
Setelah rasanya lama sekali, kamu akhirnya buka suara.
“Gue ....” Kamu memulai, sengaja menggantung kalimat agar
kami semua penasaran. “Gue mau cari bintang yang paling
terang di kelas ini. Bintang yang kalau nyanyi suaranya mirip
tikus kejepit.”
Aku mungkin terlihat tenang di luar, Raf. Namun, aku
sudah merutuki kamu dalam hati. Astaga, kenapa kamu harus
berkata seperti itu, sih, di depan mereka?
Namun, perkataanmu waktu itu membuatku menurunkan
buku yang kugunakan untuk menutupi wajah dan menatapmu
meski ragu, mendapati kamu balas menatap langsung ke bola
mataku. Sial, rupanya sedari tadi kamu sudah menemukanku.

23
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Ekspresimu serius, tatapanmu intens. Mau tak mau rasa takut


kembali menyusup di dadaku.
Aku tahu seisi kelas langsung mengalihkan pandangan
ke arahku begitu mereka menyadari kalau padakulah matamu
bertumpu. Perlahan, aku bangkit dari tempat dudukku dan
berjalan ke depan kelas. Tepat ke arahmu. Entah apa yang
merasukiku waktu itu, aku juga tidak mengerti. Kakiku terus
bergerak meski otakku memerintahkannya untuk berhenti.
Releksku telah mengambil alih. Perlahan tapi pasti, aku
melangkah.
“Kakak ... cari saya?” tanyaku pelan ketika aku akhirnya
berdiri di hadapanmu.
Aku ingat kamu tertawa saat mendengar pertanyaan yang
kulontarkan, seakan ucapanku adalah hal paling lucu di dunia.
Tanpa bisa kucegah, bibirku mendadak manyun setengah senti,
wujud dari rasa kesalku yang tak bisa kukeluarkan dalam kata-
kata.
Setelah tawamu berhenti, kamu mengedikkan bahu dengan
ekspresi acuh tak acuh yang dibuat-buat ke arahku. Kepalamu
ditundukkan saat menatapku yang hanya berjarak dua langkah
darimu, pengaruh perbedaan tinggi kita yang cukup jauh.
“Memangnya siapa lagi yang namanya Kejora di kelas ini?
Siapa lagi yang kalau nyanyi suaranya mirip tikus kejepit?”
tukasmu waktu itu, membuatku malu setengah mati.
Aku yakin setelah ini teman-teman sekelasku pasti akan
membuka forum diskusi tentang apa yang sebenarnya terjadi di
antara kita, dan aku berani bertaruh, hidupku tidak akan pernah
sama lagi. Namun, entah kenapa, sebagian diriku merasa tidak
keberatan sama sekali.

24
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Waktu itu aku memberanikan diri untuk menatap kamu,


Raf. Kamu mungkin tidak tahu, tapi butuh keberanian yang
sangat besar untukku. Bukan karena sorot matamu yang tajam
dan mengintimidasi, melainkan karena kamu, Rafael Leonardi,
menatapku seakan akulah satu-satunya objek yang kamu lihat
dan hal itu membuatku tak mampu berkata-kata.
Sedetik kemudian ekspresimu berubah jadi aneh. Matamu
menatap lurus ke arah label nama yang tertera di seragamku.
Otomatis aku ikut mengalihkan pandangan ke sana, takut
ada sesuatu yang salah. Kerutan samar muncul di keningmu,
seakan ada hal yang membuat bingung. Dugaanku terbukti
benar karena hal selanjutnya yang keluar dari bibirmu adalah,
“Bukannya lo bilang nama lo Kejora aja?”
Aku mengernyit, tidak mengerti. “Maksud kakak?”
Kamu mengedikkan dagu ke arah label nama yang tertera
di seragamku. “Lucillia Kejora. Itu nama lengkap lo? Kenapa
waktu itu lo bilang nama lo Kejora aja?”
Jujur, Raf, aku tidak mengerti kenapa hal itu seakan
menjadi masalah besar buatmu. Toh itu hanya masalah nama
lengkap dan nama panggilan. Tetapi, ekspresi yang terlihat
di wajahmu hari itu benar-benar menunjukkan seakan kamu
merasa tertipu. Maka, cepat-cepat aku menyusun kalimat
untuk berdalih, “Kakak kemarin nanyanya—“
“Kan udah gue bilang jangan ngomong formal di depan
gue,” potongmu. “Geli tau.”
Aku berdeham pelan, seraya berusaha menenangkan diri
sendiri karena tingkahmu yang mendadak menyebalkan. “Lo
kemarin nggak nanya nama lengkap gue,” balasku cepat. “Yang
lo tanya apa nama gue Bintang Kejora? Gue jawab Kejora aja,

25
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

nggak ada bintangnya. Lain kali teliti makanya,” sambungku


kesal.
Selama beberapa saat, seluruh penjuru ruangan terasa
sangat sunyi. Tidak ada satu orang pun yang mengeluarkan
suara. Aku bahkan bisa mendengar helaan napasku sendiri,
sementara kamu menatapku dengan sorot tak terbaca dan
bibir yang dikulum, membentuk garis tipis. Mau tak mau aku
bertanya-tanya dalam hati, apa ucapanku keterlaluan? Tidak
sopan?
Setelah rasanya berabad-abad, seulas senyum yang sangat
tipis muncul di sudut bibirmu. “hat’s the longest sentence you
ever said to me,” ucapmu pelan seraya menatapku tepat di kedua
mata.
Aku hanya bisa membeku, balas menatapmu bingung. Aku
masih belum terbiasa dengan kamu dan sikapmu yang berubah-
ubah setiap waktu. Jadi, aku memilih untuk mengatupkan bibir
rapat-rapat
“Lo suka marshmallow?” Kamu kembali buka suara, senyum
yang sangat kecil itu masih tertera di wajahmu.
“Suka,” balasku pendek meski aku tidak tahu ke mana arah
pembicaraan kita.
Senyum kecil yang sedari tadi terukir di bibirmu kontan
berganti menjadi seringai puas. Kamu lalu mengalihkan
pandangan ke arah pepohonan yang berbaris rapi di halaman
sekolah, berpura-pura fokus pada dedaunan yang melambai
terkena tiupan angin. “Pulang sekolah, tunggu gue di depan
gerbang.”
Meski aku tahu kamu pasti berusaha sangat keras agar
kalimat itu terdengar seringan mungkin, tetapi tetap saja
aku masih bisa menangkap kesan yang mencerminkan sifat

26
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

otoritermu di sana. Mungkin selama itu kamu terbiasa


memerintah? Entahlah. Yang jelas nada suaramu hari itu cukup
untuk membuatku diam dan mengangguk.
Kemudian, tanpa merasa canggung, kamu mendaratkan
tangan kananmu di puncak kepalaku, mengacak rambutku
sekilas, sebelum membalikkan tubuh dan berlalu.
Meninggalkanku dengan kondisi jantung yang serasa berhenti
berdetak dan seisi kelas yang mulai mengerubungiku. Aku hanya
bisa mematung selama beberapa saat, menatap punggungmu
yang kian menjauh, seraya menahan senyum yang hendak
muncul di bibirku.
Perlu kamu tahu, sentuhanmu tidak hanya meninggalkan
jejak panas di puncak kepalaku, Raf. Hatiku pun menghangat.
Dan sepanjang sisa hari itu kujalani dengan senyuman.

Bel pulang berbunyi tepat saat guru Fisika yang galak


mengakhiri penjelasannya. Cepat-cepat aku mengemasi barang-
barang yang berserakan di atas meja dan menguap pelan. Sedari
tadi aku memang berusaha keras untuk menahan rasa kantuk.
Setelah berpamitan singkat dengan Maura, aku melangkahkan
kaki keluar kelas, menyusuri koridor yang ramai, sendirian.
Tanpa bisa dicegah, benakku kembali memutar ucapanmu
yang sejak pagi terus mengusik. Aku ingat benar kalau kamu
memintaku untuk menunggu di depan gerbang setelah bel
pulang berbunyi. Tetapi, untuk apa? Apa kamu serius dengan
ucapanmu? Bagaimana kalau kamu hanya mengerjaiku?
Kulayangkan tanganku ke bagian belakang kepala, menggaruk

27
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tengkukku yang sebenarnya tidak gatal dengan gusar. Aku


sangat bingung, Raf. Aku bingung dengan kamu dan ucapanmu.
Perlahan tapi pasti, aku mencapai gerbang depan sekolah.
Selama beberapa saat aku menghentikan langkah dan
melemparkan pandangan ke sekeliling, mencari sosok anak
laki-laki dengan seragam yang tidak dimasukkan dengan mata
cokelat gelap dan gitar yang disandang bagai ransel. Kulirik
jam tangan yang terpasang rapi di tangan kiri. Sudah lewat
lima belas menit sejak bel berbunyi. Lantas, apa aku harus
menunggu kamu?
Perang batin sempat menyelimutiku selama beberapa saat
sampai akhirnya aku memutuskan untuk beranjak pergi. Ya.
Bukankah lebih baik bagiku untuk tidak menunggumu? Lagi
pula, kita bahkan tidak saling kenal. Kamu hanya tahu namaku
dan aku bahkan tahu namamu dari orang lain.
Aku mengembuskan napas keras-keras dan memutar tubuh,
bersiap meninggalkan gerbang. Namun, gerakanku kontan
terhenti saat mendengar suaramu dari balik punggungku.
“Bukannya gue minta lo buat nunggu, ya?”
Langsung saja aku menoleh dan mendapati kamu bersandar
di tembok tak jauh dariku. Kedua tanganmu disilangkan di
depan dada, manik matamu menatap lurus ke arahku, membuat
jantungku mulai berdebar tanpa ampun.
“Kok lo main pergi aja, sih?”
Kali ini kamu mengambil langkah lebar ke arahku, kemudian
berhenti tepat di depanku dengan bibir yang dikerucutkan.
Kamu terlihat seperti anak kecil yang kesal karena tidak jadi
dibelikan permen kesukaan. Sosokmu yang berdiri di depanku
sekarang jauh berbeda dari sosok yang tadi pagi muncul di pintu
kelas.

28
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku hanya bisa meringis. “Gue kira lo bercanda.”


“Astaga, Ra.” Kamu berdecak pelan. “Kalau soal yang begitu
mana mungkin gue bercanda,” sambungmu, terlihat sedikit
kesal.
Lagi-lagi aku meringis. Aku tidak tahu ekspresi macam apa
yang harus kumunculkan. “Sori,” gumamku pendek.
Bibirmu masih mengerucut saat menatapku, tapi sorot
matamu mulai melembut. “Ya udah, yuk. Cabut.” Kamu
mengedikkan dagu ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari
tempatku berdiri dan mulai melangkah ke sana. Sementara aku
masih di tempatku, mematung.
Maksudku, bukankah kita tidak boleh langsung memercayai
orang asing dan mau diajak pergi begitu saja? Aku mungkin
sudah bertemu denganmu sejak hari pertama orientasi, Raf,
tetapi aku tidak mengenalmu. Bagaimana bisa aku dengan
mudahnya langsung mengikutimu ke dalam mobil dan dengan
pasrah ikut pergi ke mana pun kamu mau?
Seakan baru menyadari aku tidak mengikuti langkahmu,
kamu membalikkan tubuh. Keningmu berkerut saat bertanya,
“Ra, kenapa?”
Aku menggeleng pelan, ekspresiku terlihat serbasalah.
“Nggak apa-apa, sih. Cuma ... gue kan belum kenal sama lo dan
gue juga nggak tau lo mau bawa gue ke mana. Gue—”
“Lo takut gue agen perdagangan anak di bawah umur?”
potongmu langsung. Sorot geli terpancar dari bola matamu.
Aku hanya bisa mengeluarkan cengiran lebar saat mendengar
ucapanmu. Namun, aku masih tidak berniat untuk beranjak
dari tempatku berdiri.
Kamu mengacak rambut, terlihat sedikit frustrasi. “Ya
ampun, Ra, memangnya muka gue seseram itu ya? Santai aja

29
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kali. Gue cuma pelajar biasa yang meski sering ikut remedial,
belum sefrustrasi itu buat ikut sindikat begituan,” gerutumu,
membuat tawa kecil mau tak mau meluncur dari bibirku.
“Maksud gue nggak gitu,” balasku sedikit malu seraya
menyelipkan helaian rambut di belakang telinga. “Gue cuma
was-was, apalagi sama orang asing,” terangku tanpa diminta.
Seulas senyum kecil kembali tersungging di bibirmu.
“Berani taruhan, setelah ini lo nggak akan anggap gue orang
asing lagi. Lagian gue cuma mau ajak lo minum cokelat panas
aja, kok.”
Aku kembali mengatupkan bibir rapat-rapat, memilih
untuk diam meski dalam hati menimbang-nimbang ajakanmu.
Logikaku mengatakan jika aku menerima tawaranmu berarti
aku telah kehilangan akal sehat karena kamu adalah orang asing.
Namun, aku bisa mendengar hatiku berbisik, bukankah segala
sesuatunya selalu dimulai dari rasa asing dan tidak familier?
Bukankah orang-orang yang nantinya akan menemani kita
sepanjang hidup awalnya adalah orang yang tidak kita kenal?
Seulas senyum kecil perlahan terbit di bibirku. Kamu
dan sorot matamu yang menghipnotis nyaris membuatku
mengangguk kalau saja ponselku tidak bergetar mendadak,
mengeluarkanku dari belenggu pikiran irasional yang sempat
muncul. Cepat-cepat aku merogoh saku dan mendapati sebuah
pesan singkat tertera di layar.

Noah Albert
Lucil, gue disuruh jemput lo, udah di luar gerbang. Lo ngobrol
sama siapa sih? Buruan. Laper. Mau bakmi.

30
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Seraya memasukkan ponsel ke saku, kutolehkan kepalaku


ke arah lapangan parkir di luar area sekolah. Mobil Jazz berwarna
hitam dengan kaca transparan terparkir di sana, menampakkan
sosok laki-laki dengan rambut kecokelatan yang mengarahkan
pandangan padaku. Langsung saja aku mengembalikan fokus
padamu yang terlihat masih menunggu jawaban.
“Tawaran lo menarik,” ucapku, tersenyum tipis. “Tapi,
mungkin lain kali.”
Dan dengan itu, aku memutar tubuh, berlari kecil menuju
Noah yang sudah menunggu. Meninggalkanmu sendirian di
bawah langit yang mulai menggelap dengan deru mesin dan
embusan angin sore yang bersahutan. Tanpa perlu menoleh,
aku tebak seulas senyum teka-teki perlahan muncul di bibirmu
selagi kamu menatap kepergianku. Seakan aku adalah sebuah
puzzle yang tidak berhasil kamu selesaikan. Belum, lebih
tepatnya. Dan aku pun tahu kalau kamu tidak berniat untuk
berhenti mencoba.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari


Kejora.

31
pustaka-indo.blogspot.com
Buku Cerita dan
Cokelat Panas
(Bagian II)
Day 2: Roma
11 Juli

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang bertingkah seperti rockstar tapi meminta tambahan ekstra
marshmallow untuk cokelat panasnya)

All hail to Rome and the fascinating Colleseum.


Aku sukses mendarat di Roma dengan tungkai pegal.
Ah, Roma, bagaimana aku harus menjabarkan kota yang satu
ini? Begitu menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional
Leonardo Da Vinci, aku langsung dibuat takjub. Arsitekturnya
megah dan indah. Belum lagi setelah makan siang, aku dan
rombongan tur bergerak mengitari Roma. Tujuan utama kami?
Tentu saja Colleseum yang legendaris itu. Berdiri tegak di
bawah teriknya sinar sang surya, meski sisi-sisinya sudah ada
yang hancur akibat gempa yang terjadi pada pertengahan abad
ke-5, bangunan yang menjadi saksi bisu pertumpahan darah

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

para gladiator berabad yang lalu itu masih terlihat megah.


Seperti mimpi, aku tidak bisa percaya sepenuhnya kalau sisa-
sisa kejayaan kerajaan Roma yang terbentang di depan mataku
bukanlah poster usang ataupun gambar dari internet yang biasa
kulihat. Itu nyata. Satu lagi mimpiku berhasil terwujud—untuk
melihat Colleseum secara langsung.
Oh iya, Raf, aku juga sempat mengunjungi Trevi
Fountain—sebuah kolam legendaris dengan desain superindah
yang terletak di Palazzo Poli. Patung-patung serta ukiran yang
mengelilinginya terlihat sangat detail. Aku yakin air mancur itu
akan terlihat jauh lebih indah di malam hari, tetapi sayangnya
aku tidak memiliki kesempatan melihatnya karena aku dan
rombongan tur berkunjung siang hari. Penduduk sekitar dan
tradisi yang berkembang percaya jika melemparkan koin dengan
cara membelakangi kolam, maka akan kembali lagi ke Roma
suatu hari nanti. Meski tidak memercayai legenda itu, tetap saja
aku ikut-ikutan melempar koin seraya membuat permohonan
dalam hati.
Apa kamu tahu isi dari permohonanku, Raf? Aku memohon,
entah itu pada tetesan air, entah itu pada Dewa-Dewi Romawi
yang disebut dalam legenda, entah itu pada Kota Roma
beserta seluruh keindahannya, entah itu pada ketiadaan, aku
memohon. Kubisikkan pintaku di sela hening dalam keramaian,
agar suatu saat nanti, di saat aku lebih dewasa dan bijak untuk
menerima kenyataan, aku bisa melepaskan kamu sepenuhnya.
Melepaskanmu—hidup di luar bayang-bayangmu tanpa pernah
meminta waktu untuk mengulang masa lalu.
Dan sampai saat itu datang, aku akan menunggu.

33
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Jazz milik Noah berhenti tepat di depan sebuah bangunan


sederhana dengan dominasi kayu berwarna gelap dan halaman
luas dengan plang bertuliskan “Pumpkin”. Aku meraih tasku
yang terletak di jok belakang, menyisir rambut sekilas sebelum
menoleh ke arah Noah yang menatapku dengan sorot menyesal.
“Sori ya, Lucil, gue nggak tepat janji,” ucapnya dengan
raut sedih yang dilebih-lebihkan. Aku mendengus kecil seraya
melayangkan pukulan ke bahunya. Noah memang selalu seperti
itu, Raf, lebih suka memanggilku Lucil yang pengucapannya
sama dengan “Lusil”, daripada memanggilku dengan nama
Kejora seperti yang kebanyakan orang lakukan. Nama depan lo
cantik, sayang kalau nggak digunain, kata Noah setiap kali aku
menanyakan alasannya.
“Gue ngerti, kok. Anak klub robotik mah mainnya nggak
ke toko buku,” balasku jail, membuat Noah yang gantian
melayangkan pukulan pelan ke arahku.
Tadinya Noah sepakat untuk menemaniku menghabiskan
sore di Pumpkin—satu-satunya tempat favoritku di seluruh
penjuru Jakarta selain kamar tidurku. Biasanya Noah pasti
menolak jika kuajak ke sana, tapi berhubung dia merasa
sangat bosan di rumah karena kedua orangtuanya belum
memperbolehkannya hadir ke sekolah sebelum mereka yakin
cacar yang sempat dideritanya tidak akan kembali muncul dan
menulari orang, sahabatku itu ditahan di rumah. Pumpkin
sendiri merupakan toko buku sederhana—tetapi bak surga
bagi pecinta novel iksi karena koleksinya yang superlengkap—
merangkap kafe yang menyajikkan cokelat panas dengan
taburan marshmallow terenak yang pernah kucicipi. Buku dan
cokelat panas, bukankah kombinasi yang mematikan?

34
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Namun, tiba-tiba Noah mendapat telepon yang


mengabarkan kalau klub robotik yang sejak SMP digandrunginya
akan mengadakan turnamen, dan nama Noah berhasil masuk
sebagai peserta. Aku tentu tidak bisa menyalahkannya karena
lebih memilih untuk menghabiskan akhir pekan bersama teman-
teman sesama pecinta robot. Lagi pula, aku tahu kalau Noah
tidak terlalu suka dengan novel-novel iksi. Penuh kebohongan,
katanya setiap kali aku menanyakan alasannya.
Aroma khas cokelat panas yang berbaur dengan buku
menyerbu penciumanku begitu aku melangkahkan kaki
memasuki Pumpkin. Kamu tahu tidak, Raf, apa yang membuatku
begitu menyukai tempat itu? Selain lantainya yang terbuat
dari kayu dan kerap kali menimbulkan derit saat melangkah,
aku suka dengan rasa nyaman yang ditawarkan keseluruhan
tokonya. Aku menyukai fakta kalau pengunjung bisa menikmati
minuman kesukaan mereka seraya berkeliling di antara rak-rak
tinggi penuh petualangan yang berwujud kata.
Seakan sudah menjadi kebiasaan, aku melangkah menuju
meja bernomor delapan belas yang terletak di sudut ruangan,
persis di sebelah jendela kaca besar. Itu merupakan spot
favoritku. Kuletakkan ransel yang tersampir di bahu di atas
tempat duduk sebelum menenggelamkan diri di balik rak-rak
tinggi yang terletak tak jauh dari meja—satu lagi hal yang
membuat Pumpkin begitu istimewa buatku adalah aku tidak
perlu khawatir meninggalkan barang-barang di atas meja
karena tidak ada pengunjung yang pernah kehilangan barang.
Beberapa saat kemudian, aku sudah mendapati diriku
sendiri berada di hadapan sebuah rak besar berisi puluhan
buku dari berbagai genre. Jemariku menyusuri buku-buku
bersampul plastik rapi yang berjajar di rak. Cantik. Aku selalu

35
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

suka menghabiskan waktu di toko buku. Dikelilingi ratusan—


bahkan ribuan—kisah yang tak akan pernah habis dimakan
waktu. Seseorang pernah berkata padaku, apa-apa yang
ditulis akan abadi sedang apa yang diucap akan hilang dalam
sekejap. Aku rasa hal itulah yang membuatku jatuh cinta pada
buku dan karya sastra. Dalam satu kalimat dengan untaian
kata sederhana, pembaca bisa merasakan emosi yang ingin
disalurkan oleh sang penulis. Berbagi emosi antara jiwa-jiwa
yang tak saling mengenal lewat rangkaian 26 huruf abjad,
bukankah itu hal yang menakjubkan?
Tanpa kusadari, aku meraih sebuah buku dengan sampul
yang didominasi warna cokelat yang terletak di sisi paling ujung
rak. Stoknya tinggal satu. Dari judulnya aku tahu kalau buku itu
merupakan biograi seorang tokoh ternama. Kuusap sampulnya
perlahan. Buku tentang sejarah, biograi tokoh, maupun
kumpulan resep memasak tak pernah menjadi pilihanku saat
berada di toko buku. Namun entah kenapa, hari itu, tubuhku
tergerak sendiri untuk mengambilnya.
“Buku itu bagus loh, Ra. Biograi yang sangat inspiratif dan
bisa bikin air mata bercucuran.”
Aku terlonjak kaget saat mendengar suara familier yang
berasal dari balik tubuhku. Cepat-cepat aku meletakkan buku
tersebut ke rak sebelum memutar tubuh seraya berusaha
mengatur napas. Di hadapanku, berdiri seorang laki-laki
dalam balutan kaus lengan panjang biru tua dengan gitar yang
disandang bagai ransel. Cengiran lebar menghias wajahnya.
Orang itu, kamu. Apa yang kamu lakukan di Pumpkin?
Aku berdeham pelan, berusaha menyembunyikan
kekagetan. “Oh, ya? Lo pernah baca?”

36
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Nggak.” Kamu menggeleng pelan sebelum mengarahkan


telunjuk sekilas ke kasir. “Gue dikasih tau sama mbak-mbak
yang kerja,” jawabmu polos, membuatku kontan mendengus.
“Lo ngapain di sini?” tanyaku setelah berhasil menguasai
diri.
Kamu mengacungkan bungkusan karton dengan logo
Pumpkin ke depan wajahku. “Beli komik. Lo sendiri?”
Aku mengangkat bahu. “Cari bacaan aja. Gue memang
sering ke sini kalau weekend.”
Kamu terlihat sedikit kaget saat mendengar jawabanku.
“Kalau gitu lo pasti tau kalau tempat ini sedia cokelat panas
paling enak sedunia, kan?” tanyamu hati-hati, seakan takut
jawabanku adalah tidak dan kamu siap melemparkanku ke
jurang terdekat karena tidak menyadari fakta tersebut.
Aku tertawa kecil. “Ya, gue tau.”
Senyum puas tersungging di bibirmu selama beberapa
detik sebelum berganti dengan seringai tipis. “Sebenarnya, Ra,
saat gue ngajak lo pergi di sekolah beberapa hari yang lalu, gue
mau bawa lo ke sini,” ucapmu ringan, membuatku menaikkan
alis, sedikit terkejut. Jujur, aku tidak pernah menyangka kalau
kamu akan menyukai tempat seperti Pumpkin.
Kamu lalu berdeham pelan. Manik kecokelatan milikmu
menyatu dengan senyum penuh teka-teki yang telah menjadi
ciri khasmu. Membentuk perpaduan mematikan saat kamu
mendaratkan pandangan tepat ke bola mataku seraya berkata,
“Jadi, karena ajakan pertama gue gagal, biarkan gue berusaha
buat ajak lo sekali lagi. Would you like to have a cup of hot chocolate
with me, Lucillia Kejora?”

37
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Selain dua cokelat hangat dengan marshmallow, ada


lagi pesanannya?” tanya seorang pelayan bernama Irma yang
mencatat pesanan kita waktu itu.
Aku melirik kamu yang masih fokus membaca daftar menu
sebelum mengalihkan pandangan pada Irma. “Yang satu ekstra
marshmallow ya,” tambahku.
Kamu lalu menutup buku menu di hadapanmu, melirikku
dan Irma secara bergantian dengan ragu, membuatku menaikkan
satu alis ke arahmu. “Eh,” kamu memulai, terlihat canggung,
“yang satu lagi juga ekstra marshmallow ya,” tambahmu malu-
malu, sukses membuatku dan Irma menahan tawa.
Setelah Irma berlalu, aku tersenyum geli ke arahmu.
“Seriously?”
“I was trying not to say it,” balasmu cepat. “But you make
me can’t resist that urge.” Kamu melipat tangan di depan dada,
menatapku dengan sorot kesal bercampur malu.
Aku tertawa kecil. “Bener-bener unpredictable. Seseorang
kayak lo minta tambahan marshmallow di cokelat panasnya,”
ucapku, masih belum bisa menghilangkan senyum geli di wajah.
Kali ini kamu menumpukan siku di atas meja dan
menangkupkan kepala di antara kedua telapak tangan,
menatapku lurus-lurus. “Seseorang kayak gue?” Kamu
mengernyit. “Memangnya di mata seorang Lucillia Kejora, gue
gimana sih?” tanyamu tiba-tiba, membuatku sempat terdiam
selama beberapa saat. Bingung.
Pun aku ikut menumpukan siku di atas meja, balas
menatapmu dengan senyum tipis. Pandanganmu masih
terfokus padaku, terlihat antusias mendengar jawaban yang
akan kulontarkan.

38
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Lo itu, yah, unpredictable,” balasku. “Sikap lo berubah-


ubah. Lo bikin gue bingung yang mana diri lo yang sebenarnya.”
Sepertinya, kamu tidak mengerti maksudku karena kerutan
terlihat jelas di keningmu. Maka, aku menghela napas sebelum
melanjutkan, “Pertama kali gue ketemu lo waktu orientasi, lo
kelihatan ... ramah. Meskipun gue akui, gue bisa lihat kesan
sedikit menyeramkan di diri lo. Tapi, di kelas, lo kelihatan
berbeda seratus delapan puluh derajat dari lo yang gue temui
di halaman belakang sekolah. Lo galak. Jutek. Dingin. Aura
menyeramkan lo mendominasi. Dan sekarang? Lo kembali jadi
lo yang ada di halaman belakang sekolah. Gue nggak ngerti,”
terangku panjang lebar.
Kusandarkan punggungku seraya melipat tangan di depan
dada begitu selesai mengeluarkan opini tentangmu. Kamu
sendiri bergeming di hadapanku. Seulas senyum penuh teka-
teki khas milikmu perlahan muncul di sudut bibir, membuatku
cepat-cepat memalingkan wajah. Aneh, Raf, kenapa pipiku
selalu memanas saat melihat senyum itu? Kamu mungkin tidak
tahu, dalam hati, aku selalu berharap bisa memiliki kemampuan
membaca pikiran sehingga aku bisa menebak apa yang
sebenarnya tersembunyi di balik pikiranmu tiap kali senyum
itu muncul.
“Ra,” panggilmu pelan. “Lo tau nggak kalau menurut orang
Jepang manusia itu punya beberapa versi dari dirinya sendiri?”
Kali ini ganti aku yang mengernyit. “Maksud lo?”
“Iya, jadi ada beberapa versi. Tiga di antaranya adalah versi
diri mereka saat sedang berada di depan umum. Yang kedua,
versi diri mereka saat bersama keluarga dan orang terdekat.
Nah, yang terakhir adalah versi diri mereka yang nggak pernah
mereka tunjukkan ke siapa pun. It’s the truest relection of who

39
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

they are.” Matamu seakan bersinar saat menerangkan hal itu


padaku. Seakan topik pembicaraan yang kita langsungkan
benar-benar menarik. Kilau di kedua bola matamu hari itu,
Raf, sukses membuat sesuatu di dalam dadaku terasa hangat.
Bahkan, tanpa sebab yang jelas.
Aku melemparkan cengiran lebar ke arahmu. “You don’t
seem like the type of pyscology guy.”
“Believe me, I’m not. Tapi, gue cuma mau lo tau kalau teori
yang barusan gue sampaiin berhubungan dengan pernyataan
lo mengenai diri gue yang unpredictable,” sambungmu seraya
mengangkat kedua tangan, menekuk jari telunjuk dan jari
tengah menyerupai tanda kutip saat mengucapkan kata
unpredictable.
Kuanggukkan kepala sebagai tanda mengerti. “Jadi
kesimpulannya?”
Kamu mengetukkan jari di atas meja, pandanganmu
diarahkan ke jalanan lengang di luar jendela. “Kesimpulannya,
gue yang lo lihat di sekolah adalah versi gue di depan umum.”
Kamu kemudian mengalihkan pandangan padaku. Sorot
matamu serius kali ini. “Dan apa yang lo lihat sekarang, adalah
versi gue yang jarang banget gue tunjukkan ke siapa pun.”
Selama beberapa saat aku balas menatapmu dengan ekspresi
tidak puas. Bagaimana bisa kamu bilang kalau sosokmu yang aku
lihat sekarang adalah sosok yang tidak pernah kamu tunjukkan
ke siapa pun? Kita baru saling kenal dan aku bahkan tidak akan
tahu namamu jika teman-temanku tidak membicarakanmu di
kelas. Lalu, bagaimana bisa kamu menaruh kepercayaan sebesar
itu padaku, sehingga kamu memutuskan untuk menunjukkan
sosokmu yang sebenarnya di hadapanku?

40
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Tanpa kusadari aku memutar mata. “Gue bahkan nggak


tau nama lo. Gimana bisa lo secara nggak langsung bilang kalau
gue salah satu orang terdekat lo, atau bahkan orang yang cukup
penting buat lo?”
Namun, lagi-lagi kamu malah melakukan sesuatu yang
tidak mampu kuprediksi. Seringai jail muncul di bibirmu.
“Jangan bohong, Ra. Gue yakin lo tau nama gue,” ucapmu
ringan, membuatku ingin melayangkan sepatuku ke kepalamu
detik itu juga. Gemas karena sikapmu yang tidak tertebak.
Aku kembali memutar mata. “Iya, gue tau. Tapi, bukan itu
masalahnya—“
“Kalau lo tau nama gue, kenapa dari tadi nggak panggil
gue dengan nama?” potongmu langsung. “See? Rafa’s charming
enough that it made Kejora look all over the school for his name,
right?”
Aku memutar mata tidak percaya. “You’re unbelievable,”
balasku sebelum mengembuskan napas kesal, lalu meniup poni
sambil cemberut. Kamu tertawa puas melihatku. Dan sebelum
salah satu dari kita sempat kembali buka suara, Irma datang
membawa pesanan. Selama beberapa saat yang menyelimuti kita
hanya keheningan—juga suara berisik yang kamu timbulkan
saat menyeruput cokelat panas milikmu.

Setelah dua gelas cokelat panas ekstra marshmallow, aku


mendapati diriku kembali berada di antara rak-rak tinggi penuh
buku dengan kamu di sisiku. Aku, yang sibuk membaca setiap

41
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

judul buku di hadapanku, dan kamu yang sibuk mencari sesuatu


yang aku tidak tahu apa.
Selama beberapa saat, kita berdua sibuk dengan kegiatan
masing-masing sampai tiba-tiba kamu menepuk pundakku
dan menyodorkan sebuah buku yang sudah kukenal benar.
“Buku ini katanya bagus loh, Ra,” ucapmu bangga dengan gaya
menyerupai penjual yang sedang menjajakan makanannya,
membuatku mengulum senyum.
Kuraih Paper Towns yang kamu lambaikan di depan
wajahku. “Iya, tau. Ini buku yang kemarin gue baca di kelas.”
“Oh, buku yang lo pake buat nutupin muka waktu gue
datang, ya?” tanyamu polos, membuatku ingin melayangkan
buku dalam genggamanku ke wajah coverboy-mu detik itu juga.
Sepertinya kamu menyadari arti dari pelototan ganas
yang kulemparkan padamu karena sedetik kemudian kamu
tertawa renyah. “Sori, sori, habisnya lo pake acara tutup muka
segala. Kayak gue mau ngapain aja.” Kamu lalu mengembalikan
fokusmu pada buku dalam genggamanku. “Tentang apa, sih,
ceritanya? Perang? Misteri?”
“Romance,” balasku antusias. “Tentang cowok yang jatuh
cinta setengah mati sama cewek yang tingkat kemisteriusannya
menyamai misteri itu sendiri.”
Kamu memasang ekspresi seakan kamu siap melesat
ke tempat sampah terdekat dan muntah begitu aku selesai
mengucapkan kalimat itu. Benar saja, karena detik berikutnya
yang meluncur dari bibirmu adalah, “Kedengarannya geli
banget.”
Aku mendelik galak. Sedikit kesal karena novel favoritku
dikomentari dengan semena-mena. “Ini novel favorit gue.
Bagus. Seru. Banget.”

42
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Oh, ya?“ Kamu kontan meraih buku dalam genggamanku


dan membolak-baliknya sekilas. “Alright, gue bakal beli buku
yang lo bilang bagus dan seru banget ini meskipun nggak ada
adegan berdarahnya sama sekali—dan lo harus tau, novel tanpa
adegan berdarah itu nggak gue banget—tapi, for the sake of you
and my curiousity, gue bakal baca.”
Aku mengerjap tak percaya. “Serius?”
Waktu itu, ucapanmu benar-benar membuatku kaget.
Maksudku, demi aku, kamu bilang? Kamu akan membaca
buku itu demi aku? Bahkan, Noah selalu menolak mentah-
mentah tiap kali aku menyodorkan buku bergenre romance ke
hadapannya. Tidak peduli jika itu buku favoritku sekalipun.
Mending gue baca kumpulan soal, Lucil, adalah kalimat yang dia
ucapkan tiap kali aku memaksanya.
Kamu tersenyum puas melihat reaksiku. “Tapi, dengan satu
syarat,” tambahmu, membuatku kontan mengernyit.
“Apa?”
“Setelah gue selesai baca novel ini, lo harus rela diskusi
berjam-jam sama gue tentang keseluruhan ceritanya,” tuturmu
dengan alis dinaikkan.
Waktu itu, aku berpikir, apa sulitnya menemanimu diskusi?
Toh tidak ada yang aneh dengan permintaanmu. Jadi aku
mengangguk setuju. “Nggak masalah.”
“Kalau gitu, masukkin nomor lo ke HP gue dong, Ra,”
ucapmu tiba-tiba seraya menyodorkan ponselmu ke hadapanku.
“Biar gue gampang ngehubunginnya kalau gue udah selesai,”
tambahmu ringan.
Kali ini, aku tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk tidak
memikirkan hal-hal aneh. Ge-er, mungkin merupakan kata
yang lebih tepat. Tapi, cepat-cepat kuenyahkan berbagai macam

43
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

pikiran tidak masuk akal itu dari benakku dan kuraih ponselmu
hati-hati. Kusimpan nomorku di sana dalam diam meski dalam
hati aku membaca nomor yang kuketik berkali-kali.
Setelah yakin nomor yang aku tuliskan benar, kuserahkan
ponsel itu kembali padamu. Kamu menerimanya dengan senang
hati, lalu menyelipkannya ke dalam kantung celana. “hanks,
Ra,” gumammu pelan. Aku hanya tersenyum tipis.
Sedetik kemudian sebuah ide brilian tiba-tiba saja muncul
di kepalaku. Cepat-cepat aku mengarahkan pandangan padamu.
“Tapi, gue juga punya syarat.”
Kamu menatapku, bingung. “Apa, Ra?”
“Pokoknya nggak boleh hubungin gue sama sekali, di
sekolah juga nggak boleh ngobrol, sampai lo berhasil nyelesaiin
buku itu,” tuturku, membuatmu melayangkan tangan ke kepala
dan menggaruknya gusar seketika.
“Syarat lo kok nyebelin banget, sih?” komentarmu tidak
setuju.
Aku memilih untuk memasang ekspresi datar. “Ya, terserah
aja. he deal is on you.”
Kamu terlihat berpikir keras sebelum akhirnya menghela
napas pasrah. “Deal, deh. Lo itu, bener-bener ya,” balasmu,
terdengar kesal sendiri.
Aku tertawa pelan. “Deal,” anggukku seraya mengulurkan
tangan ke arahmu, mengisyaratkan untuk menjabat tanganku.
“Meskipun gue nggak yakin lo bisa namatin buku itu.”
Kamu membalas uluran tanganku seraya tersenyum.
Senyum itu lagi. Senyum penuh teka-teki yang selalu berhasil
mengacaukan ritme detak jantungku. “Jangan anggap remeh,
Kejora,” ucapmu ringan, “gue punya motivasi.”
Aku kontan menaikkan alis. “Oh, ya? Apa?”

44
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Lo.”
Selama beberapa saat, hening menyelimuti kita. Satu-
satunya yang bisa kudengar hanyalah alunan lagu lama yang
berasal dari pengeras suara dan helaan napasku yang tak
beraturan. Ucapanmu hari itu, entah kenapa mampu membuat
jantungku seakan berhenti berdetak selama beberapa saat.
Padahal, hanya satu kata sederhana, Raf, tapi kenapa efeknya
sedahsyat itu? Aura canggung yang sempat menyelimuti kita
perlahan mulai luntur saat kamu tiba-tiba bertanya, “Lo suka
musik?”
Aku mengedikkan bahu ke arahmu. “Siapa juga yang nggak
suka musik?”
Menurutku, musik adalah pelarian. Sesuatu yang aku
cari kalau mood-ku kacau, pun sesuatu yang aku cari saat aku
sepenuhnya bahagia. Sesuatu yang mampu mengisi kekosongan
di dalam dada saat aku merasa sepi, dan sesuatu yang mampu
melengkapi momen-momen manis dalam hidupku. Setiap
cerita punya musik sendiri. Mungkin itulah kenapa sampai
detik ini, ada satu-dua lagu yang setiap kali kudengar selalu
mengingatkanku padamu. Lagu-lagu itu, mereka bercerita
tentang kita.
“Banyak,” tukasmu langsung saat mendengar jawabanku.
“Banyak orang di dunia ini yang bahkan nggak bisa meluangkan
waktu untuk mendengarkan barang satu-dua lagu setiap
harinya. Gue heran gimana caranya mereka bisa bertahan
hidup.”
Jawaban yang kamu lontarkan hari itu dan ekspresi
wajahmu saat kamu mengucapkan kata demi katanya, entah
kenapa berhasil membuatku menyimpulkan satu hal; bahwa

45
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kamu telah jatuh cinta pada musik—bukan lagi sekadar suka


seperti yang kurasakan saat mendengar lagu dari iPod.
“Lo segitu sukanya, ya, sama musik?” tanyaku tanpa bisa
ditahan.
Kamu tersenyum tipis. “Indeed, I am.”
“Kenapa?”
Tawa meluncur dari bibirmu begitu aku selesai bertanya.
Kamu lalu menatapku lurus. “Banyak orang yang nggak
menyadari, lo, gue dan semua yang sekarang ini ada di sekitar
kita adalah bagian dari musik. Itu musik, jantung lo yang
berdetak seirama dengan helaan napas lo. Itu musik, yang
mengalir di pembuluh darah lo, tapi nggak pernah cukup keras
untuk lo dengar. Dan lo bertanya kenapa gue suka musik?
Kejora, life is a constellation of rhythm.”
Untuk waktu yang cukup lama, aku hanya bisa menatapmu
dengan manik yang membesar dan mulut setengah terbuka.
Maksudku, yang berceloteh panjang lebar soal musik yang
menyatu dengan hidup itu kamu, kan? Rafael Leonardi si anak
bandel yang menurut teman-temanku hobinya cabut saat kelas
kelas berlangsung?
“Hei, kok jadi bengong, sih?”
Jentikan jarimu di hadapan wajahku menyeretku keluar
dari lamunan. Cepat-cepat aku mengerjap dan menyelipkan
helaian rambut yang jatuh ke belakang telinga. “Lo kedengaran
… beda.”
Kamu tersenyum tipis, tapi tidak menggubris ucapanku.
“Lo punya iPod, kan? Siniin iPod lo.”
“Buat apa?”
Alih-alih menjawab pertanyaanku, kamu malah
mengulurkan tangan seraya menaikkan alis. Memaksaku untuk

46
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

menyerahkan iPod meski tanpa kata-kata. Aku lalu meraih


ransel dan mencari iPod. Setelah menerima uluran iPod-ku,
kamu terlihat sibuk merogoh sakumu. Sedetik kemudian, kamu
mengeluarkan sebuah iPod berwarna hitam yang terlihat seperti
sering jatuh karena banyak goresan di sisi-sisinya. Namun, cara
kamu menunjukkannya padaku seakan iPod itu adalah benda
paling berharga yang kamu miliki di dunia. Dari sikapmu aku
bisa menebak, pastilah iPod itu adalah benda kesayanganmu.
“Nih, Ra, temen gue yang paling setia,” ucapmu bangga.
Ekspresimu benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sedang
memamerkan Tamiya kesayangannya. “Gue mau lihat koleksi
lagu lo dulu. Lo juga lihat-lihat punya gue deh, siapa tau cocok.”
Maka, aku pun mengangguk patuh dan mulai melihat-
lihat koleksi lagu di library-mu. Penyanyi yang kamu sukai
tidak familier buatku. Ada banyak sekali nama band yang tidak
kukenal. Di antara ratusan lagu, yang aku ketahui hanya lagu-
lagu milik Maroon 5 maupun he Script. Beberapa di antara
penyanyi yang memenuhi music library-mu—seperti Vampire
Weekend, Imagine Dragons, My Chemical Romance, ONE OK
ROCK, Mayday Parade, dan he 1975—aku pernah mendengar
lagu mereka sekilas di acara musik yang ditayangkan di televisi
maupun di playlist iPod Noah—meski sahabatku itu sebenarnya
lebih suka mendengarkan lagu lama. Namun, lagu semacam itu
memang bukan genre-ku.
“God, Ra.” Kamu menatapku dan layar iPod-ku bergantian
dengan sorot tak percaya, membuatku bingung sendiri.
Memangnya ada hal mengejutkan apa di sana? “Lo itu ternyata
cewek banget, ya?” ucapmu lagi sambil menggelengkan kepala.
“Boyband? Seriously?” Ekspresi terkejut itu kembali
terpasang di wajahmu. Kamu mengarahkan layar iPod-ku ke

47
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

wajahku, membuatku mencondongkan tubuh untuk melihat


apa yang sedang kamu buka. Yah, ternyata playlist berisi lagu-
lagu milik One Direction, Westlife, dan Backstreet Boys. Aku
hanya bisa tertawa pelan.
“hey sound good, actually,” balasku sekenanya.
Kamu kemudian kembali menyibukkan diri di dalam music
library-ku. Sementara aku mengalihkan pandangan keluar
jendela. Di luar sana matahari mulai bergerak ke peraduan,
sementara bintang-bintang mulai menampakkan diri meski
samar. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan. Hampir
jam enam. Kurasa tidak ada salahnya kalau aku pulang sedikit
terlambat dari biasanya.
“You are unbelievable.” Kamu akhirnya menyerahkan iPod-
ku, masih sambil geleng-geleng kepala.
Aku menatapmu dengan pandangan tidak setuju.
“Memangnya di mata lo music taste gue seaneh itu?”
“Nggak gitu.” Kamu tetawa pelan. “Cuma gue pikir selera
kita bakal mirip. Kan sekarang banyak cewek yang juga suka
lagu-lagu indie ataupun lagu rock yang banyak teriak-teriaknya.”
Kamu menghela napas sebelum menyunggingkan seulas
senyum simpul. “Tapi, ternyata lo nggak.”
Kuangkat bahuku dengan ekspresi tak acuh. “Well, kayaknya
gue lebih memilih jadi cewek mainstream yang suka lagu pop
dan nggak peduli sama genre lagu. Selama telinga gue suka, gue
denger.”
“Cool.” Kamu kembali menatapku. Kali ini terlihat sedikit
terkesan. “Kalau gitu lo nggak pernah sama sekali dengerin band
yang namanya Arctic Monkeys?” tanyamu. Aku menggeleng
cepat. Bahkan, namanya saja aku tidak pernah dengar.

48
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“God, Ra, lo harus denger.” Antusiasme kentara jelas


di nada suaramu saat kamu mengucapkan kalimat itu. Dari
bibirmu kemudian mengalir cerita tentang sebuah band yang
kamu sebut dengan nama Arctic Monkeys. Asal mereka, sejarah
karier mereka, vokalisnya yang bernama Alex Turner, lagu
favoritmu di dalam setiap album. Semuanya mengalir seperti
air dari bibirmu. Sementara aku hanya bisa bertopang dagu
menatapmu. Mati-matian aku menahan senyum lebar yang
hendak muncul di wajahku.
Aku menikmati saat-saat kamu sedang membicarakan
hal-hal yang kamu sukai. Kenapa? Karena kedua matamu akan
bersinar, Raf. It shines brightly everytime you talk about your
passion and somehow I ind it attractive. Kamu lebih terlihat
hidup, seakan nyawamu tiba-tiba bertambah dua. You look more
like yourself.
Aku tak menyela ceritamu sama sekali. Sesekali aku
menganggukkan kepala, memberi komentar pendek, melakukan
apa saja agar kamu tetap melanjutkan celotehanmu meski aku
tidak terlalu mengerti.
Setelah puas berceloteh tentang penyanyi favoritmu,
kamu mengeluarkan earphone dari saku. Dengan sigap, kamu
memasangkan satu ke telinga kananku, sementara satunya lagi
kamu kenakan untukmu sendiri. Aku hanya bisa memperhatikan
kamu yang terlihat sibuk mencari lagu dengan napas tertahan.
Hal yang baru saja kamu lakukan, Raf, mungkin merupakan
hal yang sangat sederhana. Tetapi, apa kamu tahu dampak yang
kamu timbulkan saat kulit kita tidak sengaja bersentuhan?
Aliran listrik, kupu-kupu di dalam perut, semuanya mengambil
alih tubuhku.

49
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Sedetik kemudian, alunan lagu yang tidak pernah kudengar


sebelumnya bermain di telingaku. Kukulum bibirku perlahan,
berusaha meresapi dan menikmati lagu yang jauh berbeda
dengan apa yang selama ini kudengar. Tidak buruk. Sedikit
banyak, aku bisa paham kenapa kamu menyukainya.
“Lihat ke luar jendela, deh,” ucapmu tiba-tiba seraya
mengulum senyum saat kita berada di pertengahan lagu. Aku
menurut. Kualihkan pandangan ke arah jendela kaca berukuran
besar yang memenuhi sisi ruangan. Dan selama beberapa saat,
aku hanya bisa menganga takjub.
Percikan jingga, taburan oranye, dan pendar keemasan
menghias langit bersamaan dengan sang surya yang kembali
ke peraduan. Begitu jelas. Begitu nyata. Bagai lukisan di atas
kanvas yang bisa kusentuh. Aku tidak pernah tahu sebelumnya
bahwa di tengah kota metropolitan yang dipenuhi asap polusi
seperti Jakarta, masih ada tempat untuk bisa menyaksikan
momen terbenamnya matahari seindah ini.
Perlahan-lahan kuangkat kepalaku untuk menatapmu.
Manik cokelat gelap milikmu menyambut manik hitam legamku
hangat. Kulemparkan seulas senyum, mengisyaratkan ucapan
terima kasih. Kamu mengedikkan bahu, mengisyaratkan kalau
semua yang kamu lakukan untukku sore itu bukanlah masalah
besar.
“And they said it changes when the sun goes down. Well, they
say it changes when the sun goes down.”
Ritme napasku yang tidak beraturan. Nyanyian lembut
Alex Turner dari earphone-mu dan pandangan kita yang beradu
mewarnai senja hari itu. Menjadi pertanda bahwa sebuah
kisah baru telah dimulai. Seperti kata mereka, ketika matahari
terbenam semuanya mulai berubah. Dan senja itu, adalah senja

50
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

ketika kali pertama aku membuka hati perlahan untukmu.


Membiarkanmu melangkah masuk. Memberimu hak penuh
untuk menatanya atau memorak-porandakannya, tanpa pernah
menutup pintu keluar.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

51
pustaka-indo.blogspot.com
Gaya Tarik
Menarik Antar
Bintang
Day 3: Roma—Pisa
12 Juli

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang selalu penuh teka-teki dan tak pernah memberiku petunjuk
untuk menebaknya sama sekali.)

Pernah tidak kamu bertanya-tanya dalam hati kenapa


menara Pisa itu miring?
Waktu kecil, aku sering sekali bertanya pada Bunda dan
Ayah. Bagi Kejora kecil, posisi menara yang terlihat seperti
akan rubuh itu benar-benar aneh dan ajaib. Saking seringnya
bertanya dan mencari jawaban, aku jadi tahu berbagai macam
kisah ataupun legenda yang berkaitan dengan kemiringan
menara itu.
Namun, di antara semua legenda maupun kisah tanpa bukti
yang pernah kudengar, ada satu cerita yang masih membekas
di ingatanku sampai sekarang. Aku tidak ingat tepatnya siapa

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

yang bercerita padaku, tapi dia bilang kalau miringnya Menara


Pisa diakibatkan karena salah satu batanya telah dicuri.
Waktu kecil, aku mengiyakan saja karena toh menurutku apa
yang diucapkannya sedikit masuk akal. Suatu bangunan jika
fondasinya cacat tentu tidak akan sempurna, kan?
Meskipun pada akhirnya aku tahu kalau ternyata miringnya
menara Pisa diakibatkan struktur tanahnya tidak rata. Namun,
cerita itu masih membekas di ingatanku. Apalagi setelah aku
melihatnya secara langsung siang tadi. Sedikit banyak, menara
dan legenda itu mengingatkanku pada hubungan kita.
Mungkin awalnya kita cukup kokoh, Raf. Tujuan dan niat
kita pun satu; untuk tetap tegap dan bergerak maju. Namun,
di satu titik, entah dari mana, muncul seorang pencuri kecil
yang mengambil satu bata yang menopang fondasi kita,
mengakibatkan apa yang telah kita bangun selama bertahun-
tahun jadi rapuh dan tidak stabil.
Pada akhirnya, kita hanya perlu menunggu, entah itu
bertahun, entah dalam satu kedipan mata, untuk kehancuran
itu datang. Karena apa-apa yang sudah tidak kokoh, tidak layak
untuk dipertahankan. Termasuk hubungan kita.

Sore itu aku baru saja tiba di rumah Noah. Bunda memintaku
untuk mengantarkan sup jagung buatan beliau sekaligus
mengecek kondisi sahabatku yang satu itu. Dengan langkah
ringan, aku menyeberangi pekarangan rumah Noah. Hamparan
bunga warna-warni dan rerumputan hijau silih berganti
melewati pandangan. Kedua orangtua Noah memang suka

53
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

berkebun, jadi tidak heran kalau halaman depan rumah keluarga


mereka nyaris menyaingi toko bunga.
Begitu sampai di muka pintu, kurapikan rok bermotif loral
yang kukenakan, sebelum mengetuk pintu berkali-kali. Hening.
Tidak ada jawaban. Kulirik pintu garasi yang terbuka. Kosong.
Apa mungkin tidak ada orang?
Aku baru akan men-dial nomor Noah saat lenganku tanpa
sengaja menabrak handle pintu, membuat daunnya mengayun
dan—voila!—pintu itu terbuka lebar. Aku berdecak keras.
Sahabatku yang satu itu selalu saja seperti ini. Bagaimana bisa
dia membiarkan pintu rumahnya tidak terkunci?
Dengan langkah lebar, aku berjalan memasuki rumah
yang sudah kukenal benar itu. Aku berbelok ke kanan,
melintasi ruang tamu dan ruang keluarga, lalu menaiki tangga
yang membawaku menuju lantai dua. Tempat kamar Noah
berada. Langsung saja aku masuk dan mendapati sahabatku
itu berbaring memunggungiku. Dia terlihat sibuk membaca
buku setebal kamus yang tidak bisa kulihat judulnya. Alunan
lagu “Wherever You Will Go” milik he Calling berputar lewat
speaker kecil yang terletak di atas meja belajarnya. Dengan
gontai, kulepaskan kabel yang menghubungkan speaker dan
ponsel Noah. Ruangan itu hening seketika.
“Noah, berapa kali sih harus gue bilang sama lo? Kalau
lagi sendirian di rumah, pintu dikunci dong,” omelku seraya
berkacak pinggang, membuat sahabatku itu berdecak bahkan
tanpa menoleh, tanda bahwa dia mengenali suaraku.
Noah menutup bukunya. Dia balas menatapku dan
memasang senyum selebar mungkin. Matanya menyipit,
rambutnya yang sedikit kecokelatan jatuh menutupi dahi.
“Maain. Lupa,” balasnya ringan.

54
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku memutar mata. Cepat-cepat aku mengambil tempat


di sebelahnya dan memukul bahunya keras-keras. “Giliran
rumus matematika aja lo nggak lupa-lupa. Di mana-mana orang
lupanya masalah pelajaran. Bukannya lupa ngunci pintu. Nanti
kalau lo diculik gimana?”
Noah tertawa pelan. “Makan gue banyak. Maling juga ogah
bawa gue.”
Aku hanya bisa menghela napas berat. Dengan satu
tangan, kusingkap rambut yang menutupi keningnya, mencoba
mengukur suhu tubuhnya dengan punggung tangan.
“Lo udah balik nyebelin berarti lo udah sehat, kan?”
tanyaku, sekadar memastikan. Dari pengamatanku, suhu
tubuhnya normal dan bekas-bekas cacarnya juga sudah hilang.
Lagi pula, dia sudah sempat mengantarku ke Pumpkin kemarin.
Jadi, seharusnya dia baik-baik saja. “Masuk sekolah dong, kalau
gitu. Keenakan libur lo mentang-mentang disuruh istirahat dua
minggu.”
“Belajar kan bisa dari rumah. Lagian bulan-bulan pertama
masuk banyakan kenalan doang. Gue males,” ucap Noah tanpa
dosa, membuatku menggeleng takjub. Dia mengangkat kedua
tangan, berusaha membentuk otot di lengan atasnya dan
menatapku dengan sorot sok serius. “Lagian, masa Superman
kalah sama cacar?”
Mau tak mau, senyum kecil muncul di bibirku saat mendengar
ucapannya. Benakku kembali memutar memori belasan tahun
yang lalu. Saat-saat Noah sibuk berlari mengelilingi pekarangan
rumahku dalam balutan kostum Superman lengkap dengan
jubah merahnya. Dulu, dia sangat terobsesi dengan pahlawan
super yang satu itu. Sekarang obsesinya beralih pada buku
kumpulan soal dan ensiklopedia.

55
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Iya, Superman, iya,” balasku asal. “Ini Lois Lane bawain


sup jagung. Kesukaan lo, kan? Abisin,” tambahku seraya
mengeluarkan kotak makan dari dalam paperbag yang sedari
tadi kubawa.
Noah meraihnya dengan senang hati. Dia lalu menyibukkan
diri dengan sup jagung, sementara aku bangkit dan berjalan ke
sudut kamar, tempat CD Player Noah berada. Kuraih sebuah
kotak tipis transparan berisi CD dari dalam tasku. Tanpa izin
Noah, kumasukkan CD tersebut ke sana dan seketika lagu “Snap
Out of It” milik Arctic monkeys berputar dalam volume pelan,
mengusir senyap yang tadinya sempat menyapa.
Aku lalu mengambil tempat di atas kasur, berbaring di
sebelah Noah yang masih asik menyantap sup jagung. Dia
menyempatkan diri untuk menawariku, tapi langsung kutolak—
aku tahu kalau satu porsi saja tidak akan cukup membuatnya
kenyang. Aku lalu menenggelamkan diri dalam pikiranku—
PR Fisika yang belum kukerjakan, tugas musikalisasi puisi
pelajaran bahasa, janji antara kita yang berdasar pada novel
Paper Towns—semuanya. Tetapi, seluruh kekacauan dalam
benakku itu kontan lenyap saat satu pertanyaan meluncur dari
bibir Noah.
“Lucil, sejak kapan lo jadi suka lagu model begini?”
Selama beberapa saat, aku menatap Noah datar, berusaha
mencerna maksud dari pertanyaannya. Nyaris delapan detik
terlewati sebelum akhirnya manik hitam milikku membesar
dua kali lipat. Pasalnya, lagu yang memenuhi seluru penjuru
kamar Noah hari itu adalah lagu yang berasal dari mix-tape yang
kamu berikan padaku.
Satu hari setelah pertemuan terakhir kita di Pumpkin, aku
menemukan sebuah paperbag cokelat polos di dalam lokerku.

56
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Satu keping CD berwarna putih dengan secarik kertas post it


berukuran sedang berada di dalamnya. Tulisan yang tertera
di post-it tersebut cukup berantakan, namun aku masih bisa
membacanya.

Untuk Lucillia Kejora,


You’re life is your own constellation of rhythm. Mine, is my own.
And though our life beats in a diferent kind of rhythm, I think we
could still make a great melody
PS. Ini kompilasi lagu kesukaan gue. Gue rasa, setiap orang
butuh lagu-lagu kesukaan Rafael Leonardi dalam hidupnya
R

Bisa ditebak, sejak hari itu, kamarku penuh akan musik


dengan genre yang tak pernah kusukai sebelumnya. Aku
bahkan kerap kali membawa mix-tape tersebut saat bepergian,
menyempatkan diri untuk memutarnya di mana pun aku
berada. Kalau kamu bertanya apakah aku tergila-gila dengan
jajaran band yang lagu-lagunya kamu masukkan ke mix-tape
itu sehingga aku memutarnya setiap hari, aku akan menjawab
tidak. Alasan sebenarnya lagu-lagu itu berkumandang siang
dan malam di kamarku adalah karena dengan mendengar lagu
kesukaanmu, aku merasa dekat denganmu. Seakan-akan kamu
ada di setiap melodinya, meski kenyataannya kamu ribuan mil
jauhnya.
Tatapan intens yang dilemparkan Noah padaku membuatku
bergerak gelisah. Pun aku berdeham pelan, berusaha menutupi
rasa gugup yang tiba-tiba menyerang. “Iseng.” balasku pendek.
“Mau dengar sesuatu yang baru aja.”

57
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Noah menyipitkan mata, terlihat curiga. “Ini lo lagi nyoba


bego-begoin gue?”
Tawa yang dipaksakan kontan meluncur dari bibirku selagi
mataku melirik tas yang kuletakkan di kaki tempat tidur Noah
secara sembunyi-sembunyi. Bisa gawat kalau Noah menemukan
kotak CD tersebut di dalam tasku.
“Ha? Enggak kok,” balasku di sela tawa. “Mana mungkin
gue berani? Lo kan udah kayak FBI,” tambahku lagi.
Namun, aku melupakan fakta bahwa Noah merupakan
pengamat yang sangat baik karena detik berikutnya, manik
miliknya sudah mengikuti arah pandangku, bertumpu pada
tasku. Bisa ditebak adegan yang selanjutnya terjadi—aku
dan Noah sama-sama memelesat untuk meraih tas tersebut.
Tubuhku yang kecil dan kurus membuatku lebih leluasa
bergerak sehingga dalam hitungan detik, tas keramat itu sudah
berada di dalam pelukanku, membuatku menghela napas lega.
Noah berdecak keras, terlihat kesal karena aku berhasil
mendahuluinya. Namun seulas senyum tipis yang mencurigakan
tiba-tiba muncul di bibirnya. Aku tahu apa maksud senyum
itu, Raf. Senyum itu selalu muncul setiap kali dia berniat
menggelitikiku. Kamu mungkin tidak tahu, tetapi aku benar-
benar tidak bisa digelitiki—itu, merupakan kelemahan fatalku
yang sialnya diketahui Noah.
Tawa yang bercampur dengan teriakan nyaring kontan
meluncur dari bibirku begitu Noah melancarkan aksinya.
Langsung saja aku melepaskan genggamanku pada tas tersebut
dan memukul lengannya. Noah tentu saja menggunakan
kesempatan itu untuk meraih tasku. Dengan satu gerakan cepat,
dibalikkannya tas tersebut hingga isinya jatuh berhamburan.

58
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Ada dompet, cologne bayi, notes kecil, satu buah pulpen dan
kotak CD yang kamu berikan—lengkap bersama post it-nya.
Aku hanya bisa menggelamkan kepalaku di antara bantal
selagi Noah meraih kotak tersebut. Sahabatku itu lalu berdeham
pelan, sebelum membaca tulisan yang kamu bubuhkan di
sana keras-keras dengan bahasa Inggris yang kelewat fasih,
membuatku menenggelamkan wajah semakin dalam. “…. I think
we could still make a great melody.” Decakan keras meluncur dari
bibir Noah. “Cih, did he think someone would actually buy that
bullshit?” ucapnya malas-malasan.
Meski masih menutupi wajah dengan bantal, aku bisa
merasakan tatapannya yang lekat diarahkan padaku. Aku tahu
pasti penyebabnya; karena aku memilih untuk bungkam dan
bukannya menyetujui ucapannya. Detik berikutnya, Noah sudah
merenggut paksa bantal dalam pelukanku. Dia lalu menatapku
dengan sorot tak percaya, “Really, Lucil? Lo termakan gombal
model beginian?”
Aku hanya bisa menggaruk kepala dengan serbasalah.
“Untuk ukuran gombal, lo harus mengakui kalau itu gombalan
yang lumayan bagus.”
Noah mendelik sebal. “Ini kenapa gue nggak suka lo
kebanyakan baca novel. Lo jadi berekspektasi,” balasnya, sedikit
ketus.
Aku menaikkan alis, tanda tidak mengerti. “Maksud lo?”
“Iya, lo berekspektasi kalau semua cowok itu baik. Seakan
mereka semua prince charming yang naik kuda ngitarin halaman
rumah lo,” jawab Noah cepat. Sahabatku itu lalu meletakkan
kedua tangannya di atas bahuku, memaksaku menatapnya
lurus-lurus. “Habis ini apa? Cowok model begini, Lucil, dia
mungkin bakal ngajak lo keluar dan lo mungkin akan jawab iya.

59
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Dia akan menjanjikan lo banyak hal—bahwa dia nggak akan


pergi, dia akan selalu sayang sama lo, dan masih banyak janji-
janji kosong lainnya. Tapi nanti, ketika dia menemukan orang
yang berhasil membuat dia merasa lebih nyaman, dia bakal
pergi.”
Cepat-cepat kutepis tangan Noah yang berada di pundakku.
“Gue yakin Rafa bukan orang yang kayak gitu,” balasku kesal.
Entah kenapa, mendengar kemungkinan buruk tentangmu
membuatku emosi. Aku tidak ingin percaya kalau kamu laki-
laki seperti itu, Raf. Aku tidak ingin. “Lo nggak kenal dia, lo gak
seharusnya ngomong kayak gitu.”
Kalimatku membuat Noah tertawa hambar. Dia lalu
menaikkan satu alis dan menatapku dengan sorot yang tidak
bisa kubaca. “Memangnya lo kenal dia?” tukasnya. “Memangnya
lo udah benar-benar kenal dia?” ulangnya sekali lagi dengan
penekanan.
Belasan tahun aku berteman dengan Noah, kami memang
cukup sering berdebat. Kami memperdebatkan apa saja, mulai
dari plot cerita sinetron yang tidak masuk akal sampai dengan
isu kenegaraan yang sedang hangat. Namun, kami tidak pernah
berdebat tentang keputusanku dalam memilih teman. Selama
ini aku punya beberapa teman laki-laki dan Noah tidak terlihat
keberatan sama sekali. Tetapi, bagaimana bisa dia terlihat tidak
begitu menyukaimu bahkan sebelum kalian bertemu?
Aku sudah bersiap untuk meraih tasku dan melesat menuju
pintu keluar saat Noah menarik tanganku, memaksaku tetap
tinggal dan duduk di sebelahnya. “Iya, deh. Maaf, Lucil, gue
keterlaluan,” katanya cepat.
Aku mengangguk setuju, masih dengan tampang kesal,
membuatnya tertawa pelan. Noah lalu mengusap puncak

60
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

kepalaku sekilas. Kekhawatiran terpancar jelas di kedua


matanya saat dia melanjutkan, “Tapi lo tau kalau ucapan gue
nggak sepenuhnya salah, kan? Kemungkinan itu ada. Gue hanya
mengutarakan fakta. Just be careful with the heart of yours, okay?”
Senyum kecil mau tak mau perlahan muncul di bibirku.
Noah memang selalu seperti itu—kalimatnya sering kali pedas,
apa adanya, dan terkesan keras. Namun, sifatnya yang satu
itulah yang menjadikan dia dirinya.
“I will,” balasku, masih dengan senyum.
Kali ini seulas senyum ikut menghias wajah Noah—tulus,
jujur, dan sedikit sendu. “Jangan terlalu cepat dewasa, Lucil,”
ucapnya pelan, tangan kananya mengusap puncak kepalaku
sekali lagi. Kali ini sentuhannya terasa halus dan lambat. “Nanti
siapa yang bakal jadi Lois Lane gue kalau lo pergi?”
Pertanyaan terakhir Noah kontan membuatku tertawa
kecil. “I’ll forever be your Lois Lane. Kita berdua tau itu.”
Jawabanku membuat Noah menggelengkan kepalanya
berkali-kali. Manik biru-kehitamannya menatapku dengan
sorot yang tak bisa kubaca selagi dia bertopang dagu, “Nah,
Lucil,” mulainya. “As mush as I want it to happen, we both know
it doesn’t right.”

Noah datang ke sekolah keesokan paginya. Dalam kurun


waktu beberapa menit setelah turun dari Jazz hitam miliknya,
popularitas Noah langsung melejit bak selebritas. Setiap mata
tertuju padanya saat dia melangkahkan kaki di tengah-tengah
koridor. Senyum percaya diri tersungging di bibirnya, seakan

61
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

hal seperti itu sudah biasa—dan ya, hal seperti itu memang
sudah terjadi sejak kami berada di sekolah dasar. Sementara
aku? Aku tetap menjadi Lucillia Kejora yang kasatmata dan
harus berusaha ekstra keras untuk mengikuti langkah Noah
yang lebar.
Aku mengerti kalau bukan salah Noah jika dia terlahir
dengan tampang dan tubuh seberuntung itu. Kulitnya putih
meski kerap kali terkena pancaran sinar matahari. Dadanya
bidang dengan tubuh tinggi dan lengan yang cukup berotot.
Aku tahu benar postur itu merupakan warisan dari Om Albert,
ayah Noah yang berdarah Prancis. Sementara alis mata tebal
dan garis rahangnya yang tegas merupakan ciri khas Noah yang
berasal dari ibunya. Tak lupa pula sepasang manik berwarna
hitam-kebiruan menambah pesona yang dimiliki Noah. Laki-
laki beruntung itu bisa saja mengadu nasib di bidang entertain.
Namun, dia selalu saja menolak dan menyuruhku diam saat
usul itu terlontar dari bibirku.
Kehebohan akan kedatangan Noah masih saja berlanjut
bahkan sampai bel pulang berbunyi. Aku sendiri mengemas
barang-barangku dengan malas sambil sesekali melirik
Noah yang tempat duduknya berjarak cukup jauh dariku.
Sahabatku itu terlihat sibuk mengobrol dengan beberapa
anak laki-laki lainnya. Samar-samar aku bisa mendengar kata
‘kick-of’, ‘gawang’, serta ‘Manchester City’ yang membuatku
mengasumsikan kalau mereka sedang mengobrol tentang sepak
bola.
Sedetik kemudian Noah menoleh ke arahku. “Lo mau balik
sekarang?”
“Menurut lo?”

62
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku lalu berjalan keluar kelas terlebih dahulu, sementara


Noah yang tertinggal di belakang menyusul dengan langkah
lebar hingga akhirnya dia berhasil menyamakan langkah
denganku. Dari sudut mata, aku bisa merasakan beberapa siswi
yang berdiri di koridor melemparkan tatapan ke arah kami—ke
arah Noah lebih tepatnya.
“Udah kayak Harry Styles aja lo, dikejar-kejar cewek
banyak banget,” cetusku pada Noah saat kami melewati koridor,
menuju tempat parkir.
Noah kontan tersenyum lebar. Dia mengibaskan rambutnya
dengan dramatis, lalu mengedipkan sebelah mata. Tentu saja
aku langsung meninju bahunya keras-keras sambil tertawa geli.
Sahabatku yang satu itu, meski selalu pelit bicara dan sedikit
ketus pada orang lain tetapi terkadang dia bisa menjadi sangat
konyol saat bersamaku. Aku dan Noah masih sibuk tertawa
dan menjaili satu sama lain sampai akhirnya aku menangkap
sepasang bola mata berwarna coklat gelap yang mengawasi
kami dari jauh.
Sosok bermanik cokelat gelap itu kamu, Raf. Waktu
itu, sorot matamu terlihat dingin. Ketidaksukaan terpancar
jelas dari wajahmu. Aku menelan ludah susah payah. Setiap
langkah yang aku dan Noah ambil membawaku semakin dekat
padamu. Aku rasa Noah menyadari sikapku yang mendadak jadi
serbasalah karena kerutan samar tercetak di keningnya.
Dengan mudah, dia mengikuti arah pandangku. Dari sudut
mataku, aku bisa melihat kalau rahang Noah mengeras saat dia
mendapatimu berdiri tak jauh dari kita. Dari sorot matanya,
aku tau bahwa dia bertanya-tanya siapa kamu—meski jauh di
dalam hatinya, aku yakin dia telah menemukan jawaban.

63
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Ra,” panggilmu saat jarak kita sudah cukup dekat. Perlahan


tapi pasti, kamu melangkah hingga akhirnya berdiri tepat dua
langkah di hadapanku dan Noah. Postur tubuhmu tegak, dengan
tangan kiri yang dimasukkan ke dalam saku. “Lo ingat janji lo ke
gue nggak? Bisa gue tagih hari ini?” tanyamu tanpa basa-basi.
Perlu waktu beberapa detik bagiku untuk sadar apa yang
sedang kamu bicarakan. Ah, buku itu, Paper Towns. Maka aku
mengangguk seraya tersenyum simpul.
“Gue inget dan yah, tentu,” balasku ringan.
Namun, aku langsung menyesali ucapanku saat aku
menyadari fakta kalau Noah sedang berdiri tepat di sebelahku.
Ragu-ragu, aku melirik Noah yang kini menatapmu was-
was. Seakan kamu adalah sosok berbahaya yang berpotensi
mencelakaiku.
Aku berdeham pelan. Akan sangat aneh kalau aku tidak
mengenalkan kalian. Jadi, aku memilih untuk tersenyum kecil
dan memulai.
“Oh iya, Raf, kenalin ini Noah. Noah, ini Rafa.”
Ekspresiku benar-benar aneh saat mengatakan kalimat itu.
Semuanya terasa canggung. Tetapi, aku tahu kalau aku memang
perlu memperkenalkan kalian satu sama lain. Noah adalah
salah satu orang paling penting di dalam hidupku, sedang kamu
memiliki potensi untuk berada di jajaran yang sama dengannya.
Setidaknya kalian harus saling mengenal.
Siang itu, aku menyaksikan kalian berdua berjabat tangan.
Kamu, dengan manik cokelat gelap yang menatapnya dingin dan
genggaman tegas saat tangan kalian berjabat. Sementara Noah,
dengan bibir yang membentuk garis tipis dan sikap yang luar
biasa tenang. Meskipun begitu, aku bisa melihat tatapan penuh
selidik yang diarahkan Noah padamu. Hal ini tentu membuatku

64
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

bertanya-tanya, bagaimana sih sebenarnya sosokmu di mata


Noah? Apakah separah itu?
“Gue ajak Kejora, ya,” pamitmu sopan pada Noah. “Nggak
akan pulang malam dan nggak akan kenapa-kenapa. Janji.
Soalnya dia udah ada janji sama gue,” tambahmu lagi sewaktu
Noah tidak memberikan respons apa-apa.
Waktu itu, mendengar ucapanmu, sesuatu di dalam
diriku terasa hangat, Rafa. Kamu berjanji pada Noah untuk
menjagaku. Aku, seorang Lucillia Kejora yang tidak ada apa-
apanya sama sekali. Namun, hari itu kamu berbicara pada Noah
seolah aku ini sesuatu yang berharga. Seolah aku ini sesuatu
yang bukan diriku—seakan aku sesuatu yang jauh lebih berarti.
Aku yakin Noah juga menyadari hal tersebut karena pada
akhirnya—meski masih terlihat tidak rela—dia membiarkanmu
menuntunku menuju mobil dan meluncur menjauh.

Sore itu kita kembali mendatangi Pumpkin dan memesan


cokelat panas dengan taburan marshmallow ekstra di atasnya.
Setelah mengambil posisi nyaman, kamu lalu menatapku seraya
menyilangkan tangan di depan dada. Seulas senyum bangga
terukir di bibirmu. Kemudian, dengan satu gerakan cepat kamu
mengangkat buku Paper Towns tinggi-tinggi. Matamu penuh
dengan binar dan semangat. Mau tak mau, seulas senyum
muncul di wajahku.
“Butuh waktu beberapa hari buat gue nyelesaiinnya,”
katamu seraya menyodorkan buku itu ke arahku. “Maklumlah,
gue kan bukan tipe orang yang suka baca.”

65
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Kuraih buku tersebut dan kubalik halamannya sekilas—


sekadar ingin tahu apakah kamu tipe orang yang suka melipat
halaman buku saat membaca atau tidak. Lagi-lagi aku dibuat
terkejut olehmu saat mendapati kondisi buku itu persis seperti
baru. Tanpa lipatan dan lecet sedikit pun.
Setelah mengembalikan buku itu padamu, aku buka suara.
“Jadi, menurut lo gimana bukunya?”
Kamu terlihat menimbang selama beberapa saat. “Gue
lumayan suka. Setelah berhasil menyelesaikan buku itu gue iri
setengah mati sama Margo yang bisa careless dalam menjalani
hidup. Ya, dia bisa pergi ke mana pun yang dia mau. Dia bisa
balas perlakuan buruk orang lain ke dia secara frontal. Dia bisa
jadi dirinya sendiri di mana pun dia mau. Gue iri sama Margo.”
Aku mengangguk perlahan. Seulas senyum geli tersungging
di bibirku. “Jadi, lo iri karena lo terperangkap di sini, di dunia
nyata, nggak bisa ngelakuin apa-apa. Sementara Margo, yang
terperangkap di dunia iksi bisa lakuin semuanya?”
Believe me, Raf, aku tidak berusaha untuk terkesan
mengejek waktu itu. Aku hanya menyuarakan apa yang
terlintas di benakku saat mendengar jawabanmu. Jawaban
yang menurutku tidak rasional keluar dari bibir seorang Rafael
Leonardi.
“Iya.” Kamu mengangguk mantap. “Menurut gue nggak ada
salahnya iri sama tokoh iksi.”
Aku tahu kamu pasti akan berpegang teguh pada
pendapatmu sekeras apa pun aku menentangnya. Aku pun
tahu kamu pasti tidak akan membiarkanku memenangkan
perdebatan ini. Namun, aku menyukainya. Aku menyukai
sosok kita yang duduk berhadapan di sebuah kafe kecil di
tengah keramaian Jakarta dengan dua buah mok berisi cokelat

66
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

panas dan marshmallow—memperdebatkan jutaan hal yang


sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan sama sekali.
“Gue harap lo sadar kalau satu-satunya tempat mereka
hidup adalah di dalam pikiran pembacanya,” tukasku, tidak mau
kalah.
Tawa renyah meluncur begitu saja dari bibirmu saat kamu
mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Gue sadar dan gue masih
ngerasa nggak ada yang salah dengan hal itu. Kalau menurut lo
buku itu gimana?”
Aku menyilangkan tangan di depan dada. “Jujur, gue juga
iri sama Margo. I know that she’s lucky for having the chance to
run everywhere she want to. Tapi, gue iri sama Margo bukan
karena itu, bukan karena dia punya kebebasan yang sebagian
orang nggak punya.” Seulas senyum simpul muncul di bibirku.
“Gue iri sama dia karena dia punya sosok Q yang selalu anggap
Margo itu pahlawannya, pusat tata suryanya dia. Gue iri karena
sejauh apa pun Margo lari, sekeras apa pun Margo berusaha
menghilang, pada akhirnya Margo beruntung karena Q akan
selalu menemukannya.”
Saat itu, manik cokelat gelap milikmu yang menatap lurus
ke arahku berkilat penuh semangat. “I reject that opinion, Ms.
Kejora.” Cepat-cepat kamu mengacungkan jari telunjuk di udara.
“Menurut gue, Q terlalu naif. He’s so madly in love with Margo,
dan itu membuat dia buta. Dia nggak sadar kalau dia nggak
mengenal sosok Margo yang sebenarnya. Satu-satunya hal
yang ada di pikiran Q adalah the Margo that he thought he know.
Padahal kenyataannya, Margo jauh dari apa yang selama ini dia
bayangkan,” terangmu, membuat mataku membulat kaget.
Analisismu seratus persen benar. Aku tahu kalau sosok
Quentin memang egois karena dia mengira kalau dirinya adalah

67
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

satu-satunya orang yang paling mengerti Margo. Dia mengira


kalau dia tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan Margo,
sehingga dia tidak menyadari bahwa Margo yang sebenarnya
ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang
selama ini dia pikirkan.
“She’s unpredictable, just like you,” cetusku tanpa bisa
ditahan. Dalam hati, aku langsung merutuki diri sendiri berkali-
kali. Takut kamu tersinggung mendengar ucapanku.
Namun bukannya merasa tersinggung, kamu malah
tersenyum senang. “See? Lo mulai ngerti, kan, arah pembicaraan
kita?”
Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk
menjawab karena detik berikutnya kamu sudah sibuk
berceloteh, membuat manik cokelat gelap milikmu yang
menatapku lurus bersinar semakin terang. Kutarik napas
dalam-dalam. Ada sesuatu yang aneh di dalam dadaku saat itu.
Ada dentuman. Dentuman itu terdengar semakin keras seiring
dengan detik yang kita lewati bersama, aku bahkan takut kamu
bisa mendengarnya.
“Gue nggak bisa bilang kalau diri gue ini versi cowok dari
Margo Roth Spiegelman karena gue bukan orang yang seberani
dia. Tapi, menurut gue kami berdua punya kesamaan. Kami
berdua terlalu sering ditebak, diberi label yang bahkan bukan
diri kami sendiri, Ra. Lo ngerti, kan?”
Aku mengangguk setuju saat mendengar ucapanmu.
“Banyak orang yang nggak tau gimana diri kita sebenarnya, tapi
daripada repot-repot cari tahu, mereka lebih milih bertingkah
seakan memahami kita. Pada akhirnya, sosok yang mereka
kira adalah kita akan menampar mereka keras di masa depan,

68
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

karena kita yang sebenarnya jauh berbeda dari apa yang mereka
harapkan.”
Kamu menatapku tanpa berkedip dalam diam selama
beberapa saat, membuat suasana menjadi canggung. “Gue suka
cara lo berpikir.” Senyum samar terukir di bibirmu. “Ini pertama
kalinya gue membahas topik semacam ini sama cewek.”
Aku tertawa kecil saat mendengar ucapanmu sebelum
memutar mata. “Jangan coba labelin gue, Raf. Lo nggak kenal
diri gue yang sebenarnya,” balasku ringan.
Detik itu kamu ikut tertawa. Kamu terus tertawa hingga
yang ada di antara kita hanyalah keheningan murni. Sedari
awal, tak pernah sekali pun manik matamu meninggalkanku.
Hingga akhirnya, setelah hening yang cukup lama, aku bisa
mendengar kamu berkata dengan suara pelan.
“Gue memang nggak kenal diri lo yang sebenarnya, Kejora.”
Kamu tertawa kecil sekali lagi, entah apa yang lucu
tepatnya aku juga tidak mengerti. Namun sedetik kemudian
kamu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sebelum
kembali memfokuskan pandangan padaku. Suaramu terdengar
seperti bisikan saat melanjutkan, “ButI’d like to know you better.”

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

69
pustaka-indo.blogspot.com
Satu Langkah
Lebih Dekat
Day 4: Pisa—Venice
13 Juli

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang selalu berhasil membuatku melakukan hal-hal gila yang
bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.)

Halo, Rafa.
Sekarang tepat pukul delapan malam di Venice dan aku baru
saja tiba di hotel. Seharian aku sibuk berkeliling kota bersama
rombongan. Omong-omong, aku menemukan travel-partner
selama perjalanan ini berlangsung. Namanya Audrey. Seorang
entrepreneur yang mengaku penat dengan kepadatan Jakarta
dan butuh libur panjang. Pertama, kami pergi ke Piaza San
Marco, sebuah gedung dengan menara yang cukup tinggi. Nah,
dari puncak menara tersebut, kami bisa melihat pemandangan
Kota Venice secara keseluruhan.
Kami juga mengunjungi Bridge of Sighs atau jembatan
rintihan. Namanya memang terdengar menyeramkan, Raf.
Tetapi, jembatan itu merupakan salah satu tempat sakral dalam
hal asmara di kota ini. Tak lupa pula aku mencicipi hidangan
khas; Polenta. Bentuknya persegi panjang, berwarna keemasan

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dengan kombinasi jamur dan potongan daging. Aku bilang


pada Audrey kalau bentuknya menyerupai martabak dan dia
menghadiahiku jitakan di kepala.
Besok, aku akan meninggalkan Venice dan memulai
perjalanan menuju Swiss. Jujur, aku sedikit tidak rela
meninggalkan kota ini. Aku masih ingin berada di sini lebih
lama lagi. Duduk sendirian di balkon hotel sambil menatap
sungai jernih yang mengelilingi kota dengan secangkir cokelat
panas seraya memutar kembali kisah tentang kita yang manis,
tapi sayangnya berakhir tragis.
Berada di kota ini, setidaknya membuatku sadar akan satu
hal; bahwa semua yang terjadi kepada kita, mungkin memang
sudah seharusnya berjalan seperti itu. Mungkin, jika kita masih
bersama sekarang, kita berdua tidak bisa mencapai impian kita.
Mungkin aku tidak akan mengenakan jas putih dan menyandang
gelar dokter, sedang kamu mungkin tidak akan bisa merilis lima
album dan menjalankan tur baik di dalam maupun luar negeri.
Aku rasa memang ini yang terbaik untuk kita, Raf. Meski
sering kali yang terbaiklah yang paling membekaskan luka.

Beberapa hari setelah pertemuan kita di Pumpkin, aku ingat


berjalan sendirian di koridor, melintasi ruangan dengan papan
bertuliskan “Studio Band” di atas pintu. Dari dalam ruangan
tersebut, aku bisa mendegar suara tabuhan drum serta tawa
khas laki-laki. Lebih tepatnya, kamu.
Aku melihat sekeliling, memastikan kalau tidak ada orang
yang mengamatiku sebelum merapatkan tubuh pada pintu

71
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

ruangan tersebut, berusaha mengintip lewat celahnya. Aku


beruntung karena saat itu merupakan jam istirahat makan
siang, sehingga hampir seluruh penjuru sekolah pergi ke
kantin, tak terkecuali Noah yang selama pelajaran berlangsung
mengeluh perutnya lapar.
Meski aku telah berusaha keras untuk mengintip lewat
celah pintu maupun dari lubang kunci seperti yang kerap kali
dilakukan dalam ilm, aku tetap tidak bisa melihat apa-apa. Aku
baru saja akan berbalik dan mengambil langkah lebar untuk
menyusul Noah ke kantin saat tiba-tiba saja pintu ruangan
tersebut terbuka. Kamu berdiri di sana, dengan seragam yang
tidak dimasukkan dan gitar yang disandang. Manik cokelat
gelapmu terlihat kaget saat mendapati aku mematung tak jauh
darimu.
“Kejora?” Kamu mengerjap kaget. Samar-samar, aku bisa
melihat kedua matamu berbinar senang. “Lo ngapain di sini?”
Aku menggoyangkan kaki serbasalah saat mendengar
pertanyaanmu. “Ng, tadi gue mau ke kantin. Nggak sengaja
dengar suara lo dari dalam. Penasaran,” jawabku gugup.
Tawa kecil meluncur dari bibirmu. “Kok nggak langsung
masuk ke dalam aja, sih? Kan di dalam ada gue,” ucapmu ringan.
Seakan hal yang baru saja kamu ucapkan semudah membalikkan
telapak tangan.
“Justru karena di dalam ada lo,” balasku pelan tanpa bisa
ditahan.
“Apa?”
Cepat-cepat aku memasang cengiran lebar, berusaha
terlihat seakan aku tidak mengatakan apa-apa. “Nggak kok.”
Kamu terlihat tidak puas dengan jawabanku. Namun
akhirnya kamu memilih untuk mengangkat bahu dan

72
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tersenyum. “Kalau gitu, ayo masuk. Gue mau lo ketemu sama


temen-temen gue.”
Saat itu insting pertamaku adalah untuk langsung menolak
tawaranmu. “Buat apa, Raf? Seganlah gue.”
“Apaan sih lo, kayak baru kenal aja.” Kamu berdecak pelan
sebelum meraih pergelangan tanganku dan menarikku masuk
ke dalam ruangan itu. Seakan kamu sudah sering menemukan
murid perempuan yang mengintip kalian latihan dan dengan
ringan menuntunnya ke dalam.
Di sana aku berkenalan dengan sosok jangkung yang
bertubuh tidak terlalu kurus, tetapi tidak juga berisi. Dia
memakai kaca mata berbingkai besar dengan rambut hitam
yang ditata rapi ke atas. “Ini Klana,” katamu, menunjuk ke arah
laki-laki yang duduk di balik drum tersebut.
Klana lalu mengangkat tangan kanannya ke arahku dan
tersenyum kecil. “Senang bertemu lo, Kejora. Rafa nggak
berhenti ngomongin lo dari kemarin.”
Aku tentu saja langsung melirikmu dengan pipi
yang memanas, sementara kamu sendiri hanya tertawa
dan tidak menanggapi ucapan Klana. Selanjutnya, kamu
memperkenalkanku pada Karel. Tinggi, tidak terlalu putih,
dengan rambut hitam yang dipotong pendek dan mata bulat
ekspresif. Dia memainkan bass.
“Akhirnya ketemu juga sama si legendaris Kejora,” cetus
Karel jail, membuatku mau tak mau tersenyum kecil.
“Legendaris apanya?” balasku. “Maaf ya, ganggu kalian
latihan.”
“Jelas legendaris. Kalau setiap kali Rafa nyebut nama lo
disamakan dengan dia lagi minum obat, mungkin sekarang itu
anak udah mati overdosis.” Karel melemparkan seringai kecil

73
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

ke arahku. “Lagian lo nggak ganggu kok, lo nggak tau aja kalau


Rafa berasa kayak ketiban durian dengan adanya lo di sini. Ea,
ea. Ya, nggak Raf?” sorak Karel heboh sementara Klana memilih
untuk tersenyum geli. Menurutku, Karel sangat usil dan berisik.
Sedangkan Klana lebih pendiam dan sedikit pelit bicara.
“Oh iya, masih ada satu lagi. Namanya Adrian. Tapi dia lagi
liburan ke Hongkong, biasalah itu anak paling males sekolah,”
terangmu tanpa diminta, membuatku mengangguk dalam
diam.
Berhubung waktu istirahat sudah hampir habis, kamu lalu
menawarkan diri untuk mengantarku kembali ke kelas. Yah,
aku tidak mungkin menolak, bukan?
“Jadi, lo punya band?” tanyaku selagi kita berdua
menyusuri koridor menuju kelas. Aku merasakan banyak murid
memperhatikan kita, tetapi aku berusaha mengabaikannya.
“Ah, gue lupa lo murid baru jadi nggak tau apa-apa.” Kamu
tertawa kecil. Kamu memang tidak pernah menyinggung topik
ini setiap kali kita mengobrol, tetapi aku mengetahuinya (gosip
di hari pertama sekolah, ingat?). Namun, aku lebih suka berpura-
pura tidak tahu dan mendengar kamu menceritakannya padaku
secara langsung. “Dan untuk menjawab pertanyaan lo, iya, gue
punya band.”
“Cool, namanya apa?” tanyaku lagi.
Seulas senyum bangga langsung muncul di bibirmu,
“Constant Star.”
“Constant Star?” ulangku. Aku memang tidak mengetahui
nama band-mu sebelumnya.
“Iya, Constant Star.” Kamu mengangguk mantap. “Butuh
waktu yang cukup lama buat gue dan teman-teman gue sampai
pada akhirnya kami memilih nama itu.”

74
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Nama itu bagus, menurutku. Aku tidak tahu bagaimana


caranya sampai kamu dan teman-temanmu beride untuk
menamai band kalian dengan nama tersebut. Kamu pun
sepertinya tidak berniat untuk bercerita lebih lanjut. Maka
aku memilih untuk tidak bertanya. Dalam hati, aku mengulang
terus kata itu, constant star. Kata yang indah.
“Actually, we perform at some café sometimes,” ucapmu
bangga saat kita berdua sudah hampir sampai di depan pintu
kelasku.
Aku menatapmu, berusaha terlihat antusias meski aku
sudah mengetahui fakta tersebut. “Kalian benar-benar serius
soal band itu.”
“his may sounds silly but, itu mimpi gue, Ra.” Kamu
menggigit bibir sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Punya
band, terkenal, musik gue bisa nyenengin banyak orang. Tur
keliling dunia, pindah-pindah negara sesering mungkin. Dream
job banget nggak, sih?”
“Ya, siapa sih yang nggak mau hobinya jadi pekerjaannya?”
balasku santai.
Kamu hanya mengangkat bahu. Sorot matamu seakan
mengatakan kalau ucapanku tidak sepenuhnya benar. Semuanya
jauh lebih rumit dari itu. Namun, kamu terlihat tidak ingin
membaginya. Belum.
“Oh iya, Ra, kami bakal nampil di gig kecil-kecilan Sabtu ini.
Kalau lo lagi kosong, gue harap lo mau datang. Tiketnya nanti
gue kasih,” ujarmu saat kita berdua telah berdiri tepat di depan
pintu kelasku.
Aku tersenyum dan mengangguk mendengar tawaranmu.
Senang rasanya tahu bahwa kamu mengharapkan kehadiranku
di sana. Maka, setelah balas melempar senyum lebar ke arahku,

75
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kamu mengangkat tangan kanan sekilas dan memutar tubuh.


Dalam sekejap senyum ramahmu hilang, digantikan oleh sorot
dingin yang membuat siapa saja akan berpikir dua kali untuk
berjalan di sebelahmu saat kamu menyusuri koridor sendirian.
Namun, sikapmu tidak pernah seperti itu saat kamu sedang
bersamaku. Hal-hal kecil seperti itulah yang sejak dulu selalu
berhasil membuatku merasa berarti di matamu.

Saat aku pulang ke rumah sore harinya, Bunda dan Ayah sedang
sibuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa untuk
perjalanan bisnis mereka. Bunda dan Ayah memang selalu
seperti itu, partner dalam kerja juga partner dalam hidup.
Bunda bekerja sebagai sekretaris pribadi Ayah, sementara Ayah
sendiri memimpin sebuah perusahaan tekstil yang cukup besar.
Tidak mengherankan kalau mereka selalu pergi bersama.
“Bunda, mau ke Denpasar sama Ayah,” terang Bunda saat
aku bertanya ke mana tujuan mereka kali ini. “Makanya Bunda
minta izin sama Tante Ratih, supaya Noah sering nengokin
kamu sampai minggu depan. Ngawasin kamu. Sekalian sama
Clara, adiknya. Katanya dia kangen main boneka sama kamu,”
tambah Bunda lagi tanpa diminta sambil memasukkan baju ke
dalam koper.
Aku ingat kamu pernah bertanya padaku dulu, sedekat apa,
sih, aku dan Noah?
Sedekat ini, Raf. Sangat dekat. Tetapi, itu semua tentu saja
faktor dari pertemanan kami yang telah terjalin semenjak masa
kanak-kanak. Bahkan, Bunda dan Tante Ratih sudah saling

76
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mengenal sejak bangku kuliah. Kalau aku ditinggal sendirian


di rumah, Bunda pasti akan meminta Noah menjagaku atau
sebaliknya. Bunda sangat memercayai Noah, Raf. Maka, jadilah
Noah dan adik perempuannya yang masih berusia enam tahun
menemaniku hampir setiap waktu selagi kedua orangtuaku
pergi waktu itu. Sesekali Tante Ratih akan datang membawakan
makanan untuk kami bertiga atau sekadar mengajak kami
makan di luar. Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan
sampai hari itu tiba. Hari ketika kamu melangsungkan gig kecil-
kecilan.
Sore itu, sepulang sekolah, aku mendapati satu pesan baru
darimu.

Rafael Leonardi
Check your mailbox. Mailbox beneran ya, Ra. Kotak pos sih
bahasa indonesianya.

Aku terkekeh pelan lalu cepat-cepat berjalan ke pekarangan


rumah dan membuka kotak surat. Di dalamnya ada sebuah
amplop berukuran sedang berwarna putih. Selagi aku berjalan
masuk ke rumah, aku membuka amplop tersebut dan mendapati
selembar tiket yang kamu janjikan. Mau tak mau senyum lebar
muncul begitu saja di bibirku tanpa bisa kutahan.
“Kenapa lo senyum-senyum sendiri?” Suara Noah
mengagetkanku saat aku melintasi ruang keluarga. Laki-laki
itu sedang duduk dengan popcorn di pangkuannya, menonton
ilm bersama Clara. Pandangannya lalu mendarat pada amplop
dalam genggamanku. “Sejak kapan lo main surat-suratan?
Siniin, gue mau lihat.”

77
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Dengan patuh aku berjalan ke arah Noah dan menyodorkan


satu lembar tiket yang tadinya kugenggam. “Gue nanti malam
pergi ya?” pintaku dengan nada memelas. “Nggak lama, kok.
Gue udah janji, kan nggak enak kalau nggak gue tepatin.”
Noah menatapku dengan kedua mata yang disipitkan. Clara
yang duduk di sebelahnya juga ikut-ikutan meniru ekspresi
Noah. “Hm ....” Kali ini Noah mengusap-usap dagunya seakan
dia memiliki jenggot panjang, membuatku Clara terkikik geli.
“Ayolah? Ya? Bunda pasti nggak akan marah, kok,” bujukku
lagi.
Setelah menimbang beberapa saat, Noah akhirnya buka
suara. “Sori, Lucil, tapi kalau menurut Mas Noah sih, no.”
“Noah gue seriuuus,” rengekku, kesal sendiri dengan
tingkah Noah. Biasanya aku tidak pernah mempermasalahkan
sikap protektif Noah. Namun, saat-saat seperti itu merupakan
saat aku ingin sekali menjedutkan kepalanya ke dinding
terdekat. “Boleh, ya? Ya? Ya?”
Noah tertawa kecil sebelum bangkit dari posisinya dan
berjalan ke hadapanku. Dia menyodorkan tiket itu padaku
seraya berkata, “Lucil, gue bukannya mau sok galak dan nggak
ngasih lo keluyuran. Tapi, lo mau pergi sama siapa? Nanti siapa
yang jagain lo di sana? Gue nggak mungkin bawa Clara ke acara
begituan, plus tiketnya cuma satu.”
“Gue kan nggak minta lo ikut, Noah. Lagian di sana ada
Rafa kok,” balasku langsung tanpa berpikir dua kali.
Noah tertawa hambar. Sorot matanya berubah tajam saat
dia melanjutkan, “Lo kira gue bisa memercayakan lo sama dia?”
Dia lalu menghela napas. “Maaf, Ra, gue nggak bisa kasih izin.
Demi kebaikan lo juga.”

78
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku tidak mengerti jalan pikiran Noah saat itu. Yang


aku tahu hanyalah aku sangat kesal dengan jawaban yang dia
berikan. Demi kebaikanku, Raf? Dia bilang demi kebaikanku?
Memangnya kamu itu monster yang berniat memakanku? Lagi
pula kan aku minta izin untuk pergi ke konser dan bukannya
pesta tidak jelas. Kalau memang dia tidak menyukai kamu,
kenapa harus aku yang jadi korban dari rasa tidak sukanya?
Lalu, saat senja mulai menampakkan diri, aku memutuskan
untuk menelepon Bunda dengan harapan beliau dapat
menyetujui permintaanku dan membuat Noah berubah
pikiran. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kecewa saat Bunda
berkata, “Ikutin aja kata Noah ya, Nak. Dia tau mana yang baik
untuk kamu.”
Saat itu rasanya aku kesal setengah mati. Kenapa tidak ada
satu orang pun yang mengerti kalau permintaanku tidak sulit
untuk dikabulkan? Dengan langkah gontai, aku pergi menuju
kamar mandi dan membiarkan air dingin membasuh kepalaku.
Beruntungnya, pilihanku untuk membasuh kepala memberiku
sebuah ide cemerlang. Maka setelah selesai mandi, cepat-cepat
aku mengenakan piyama dan berjalan menuju dapur yang
terletak di seberang ruang keluarga. Noah masih menonton di
sana bersama Clara.
“Udah kali cemberutnya.” Noah melirikku yang sibuk
membuat cokelat panas di dapur.
Aku lalu berjalan ke ruang keluarga dengan tiga mok
cokelat panas. “Lo nyebelin,” ucapku seraya menyodorkan mok
padanya.
Noah mengambil mok itu dan menyeruput isinya dengan
cengiran lebar. “Tumben lo baik,” gumamnya.

79
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Lo nggak tau aja rencana gue itu apa, batinku waktu itu.
Kalau aku bisa mengeluarkan tawa jahat pastilah suasananya
sudah seperti di ilm-ilm. “Movie marathon ya? Gue yang pilih
karena lo nyebelin,” tawarku sebelum mengambil CD ilm A
Walk To Remember.
Noah benci ilm itu. Menurut Noah ilm itu membosankan
setengah mati dan selalu berhasil membuatnya tertidur di dua
puluh menit pertama. Tetapi, sepertinya Noah merasa bersalah
karena tidak memberiku izin pergi ke gig kamu, maka dia
menyetujui permintaanku untuk menonton ilm tersebut. Aku
lalu mengambil tempat di sebelah Noah dan Clara, berpura-
pura serius menonton. Sesekali aku memperhatikan Noah
yang mulai menguap. Ternyata segelas cokelat panas dan ilm
membosankan cukup untuk mengelabui seorang Noah Albert.
Tak sampai dua puluh menit kemudian, aku menemukan
Noah dan Clara sudah tertidur pulas di sofa dengan posisi saling
berpelukan. Sambil tersenyum puas, aku perlahan bangkit dan
langsung bergerak menuju kamar. Kuganti piyamaku dengan
sweter biru muda dan jeans. Tak lupa aku meraih Converse
kesayanganku untuk melengkapi penampilanku malam itu.
Setelah memastikan kalau Noah dan Clara tertidur pulas,
aku memutuskan untuk menyelinap keluar melalui jendela
kamar. Aku sempat terkikik geli saat membayangkan reaksi
Noah ketika dia terbangun nantinya. Namun, tentunya sudah
terlambat bagi sahabatku itu karena aku telah pergi.
Asal kamu tahu, Raf, aku belum pernah melakukan hal
segila itu sebelumnya. Selama belasan tahun hidupku, sosok
Lucillia Kejora selalu menjadi anak rumahan yang penurut.
Yang tak berani mengambil risiko atas hidup dan pilihannya.

80
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Yang selalu membiarkan orang lain menentukan apa yang boleh


dan tidak boleh dia lakukan.
Namun, semuanya berubah semenjak aku bertemu kamu.
Kamu membuatku menemukan sisi lain dalam diriku, sisi
lain yang bahkan tidak pernah kusadari selama ini hadir di sana.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam


saat aku tiba di kafe. Cepat-cepat kuserahkan tiket dalam
genggamanku pada salah seorang penjaga bertubuh kurus yang
berdiri di depan pintu dan melangkah masuk.
Kafe itu penuh sesak. Bau asap rokok yang bercampur
dengan keringat benar-benar menyengat. Kamu yang paling
tahu, Raf, aku benci asap rokok. Aku juga membenci setiap
orang yang mengisap benda tersebut. Tetapi, malam itu, demi
melihat penampilanmu, aku rela berdesak-desakkan di antara
puluhan pengunjung lainnya. Di kanan dan kiriku, semuanya
hanyalah lautan orang asing. Aku tidak pernah merasa nyaman
saat berada di sekitar orang yang tidak aku kenali. Namun,
malam itu aku tidak peduli. Fokusku hanya satu; kamu.
Awalnya aku mengira kalau aku sudah terlambat. Jam sudah
menunjukkan pukul sembilan dan kemungkinan besar kamu
telah selesai bernyanyi, atau lebih buruknya lagi, kamu sudah
pulang. Namun, aku bisa menghela napas lega saat perempuan
manis dengan gitar akustik yang sedari tadi bernyanyi di atas
panggung undur diri dan mengumumkan kalau band berikutnya
yang akan tampil adalah Constant Star.

81
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Di antara sorak-sorai penonton, aku bisa melihat sosokmu


dengan kaus santai berwarna putih dan jeans hitam yang
muncul dari balik panggung. Tak lupa pula diikuti oleh Klana,
Karel, dan seorang laki-laki dengan tampang blasteran yang
kuyakini adalah Adrian. Sebuah gitar penuh stiker lusuh yang
sudah menjadi ciri khasmu tak lupa melengkapi penampilanmu
malam itu.
“Malam semuanya,” sapamu hangat, membuatku tiba-tiba
saja tersenyum lebar. “Gue Rafa, ada Klana di drum, Karel di
bass, dan Adrian di gitar. Malam ini kami bakal bawain beberapa
lagu. Gue harap kalian semua enjoy.”
Tepukan yang menandakan antusiasme penonton
membuka penampilan kalian malam itu. Kulipat tanganku di
depan dada, kepalaku ikut bergoyang mengikuti alunan melodi
yang mengalir dari gitar dalam tempo lambat tersebut. Aku
tidak mengenal lagu apa yang kamu bawakan malam itu, tetapi
aku berani bertaruh, lagu itu adalah lagu ciptaaan kalian sendiri.

he ray of sunlight
get through my window,
as you sit next to the glass
glowing and shimmering.
Like a star, shining in the night sky.
Oh, darling, you always one to me.
I need you to know,
no matter how part we drifted apart
this heart will always belong to your heart.
Because darling, you always one to me.
And I don’t wanna feel this empty side,
where you used to be sleeping

82
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

when I wake up this morning.


Nothing ever seems ind without you,
so darling please stay, because
you’re always one to me.

Liriknya memang sederhana, Rafa. Tetapi, saat kamu


menyanyikan lagu itu, diiringi dengan petikan gitar merdu dan
senyum penuh teka-teki selama kamu melantunkan bait demi
baitnya, kamu berhasil memunculkan gelenyar aneh di dalam
dadaku. Rasanya hampir mirip dengan terlalu banyak memakan
gula kapas. Manis sekali, membuat jantungku berdebar jutaan
kali lebih cepat.
Aku tidak tahu tepatnya berapa lama penampilan kalian
berlangsung. Setelah menyanyikan lagu itu, kalian membawakan
beberapa lagu lain yang sedang populer. Aku menikmati setiap
detiknya, melihat kamu dengan gitar yang disampirkan dan
standing mic, semuanya terasa begitu benar.
Aku ingin kembali ke momen itu, Rafa. Momen di mana
kamu hanyalah anak laki-laki tujuh belas tahun yang sering
tampil di gig kecil demi menempuh mimpinya, sementara aku
hanyalah anak perempuan polos yang selalu mengikuti kamu
ke mana pun kamu pergi. Waktu itu semuanya terasa begitu
mudah, begitu sederhana. Tetapi, bukankah aku sangat egois
jika mengharapkan hal itu? Bagaimana kalau hal semacam itu
hanya aku saja yang mengharapkannya? Bagaimana kalau jauh
di ujung sana, kamu tidak merasakan hal yang sama denganku
sekarang?
Setelah band-mu menyelesaikan penampilan, aku berjalan
menuju toilet yang terletak di belakang panggung. Bibirku
tanpa sadar menyenandungkan lagu-lagu yang baru saja kamu

83
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

bawakan. Tubuhku terasa sangat ringan, seakan aku bisa


terbang kapan saja. Namun, langkah kaki serta nyanyian yang
mengalun dari bibirku kontan terhenti saat aku mendengar
seseorang memanggil namaku. Dengan hati-hati aku memutar
tubuh dan mendapati Karel yang berdiri dengan seringai jail di
wajahnya tak jauh dariku.
“Hai, Kak,” sapaku sambil melambaikan tangan ragu-ragu.
“Eh, Kejora lo dateng?” Karel mengerjapkan mata, terlihat
tidak percaya. ”Si Rafa pasti kesenengan nih,” ucap Karel pada
dirinya sendiri, membuatku mengernyit.
Karel lalu menuntunku menuju sebuah ruangan. Langsung
saja ia melenggang masuk dan berteriak heboh. “Raf, Rafa!
Woi, coba tebak siapa yang datang.”
Aku sendiri masih berdiri di depan pintu. Entah kenapa,
kakiku tiba-tiba terasa kaku. Kutarik napas dalam-dalam
sebelum akhirnya aku memberanikan diri untuk mengintip ke
dalam ruangan. Seulas senyum kecil otomatis muncul di bibirku
saat mendapati kamu menatapku dengan wajah kaget.
“Hai,” sapaku pendek seraya melempar senyum ke arahmu,
Karel, Klana, dan Adrian yang kalian balas dengan sorot geli,
membuatku malu sendiri.
Karel lalu berjalan ke sisiku dan menatap Adrian dengan
alis yang dinaik-turunkan. “Adrian, ini dia Kejora the legend,”
ucapnya semangat, seperti sales yang sedang mempromosikan
barang dagangan. “Lucu, kan? Lucu, ya? Lucu, dong?”
sambungnya lagi membuat seisi ruangan terkekeh pelan.
Adrian yang sedari tadi duduk di sofa di sebelahmu bangkit
dan berjalan ke arahku. Diulurkannya tangannya dengan
senyum manis, menampakkan kedua lesung pipitnya. “Gue

84
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Adrian. It’s a pleasure to meet you. Lo pasti suka baca, kan?”


tanyanya tiba-tiba.
Aku mengernyit. “Hng, iya.”
“Dan buku favorit lo Paper Towns?” tanyanya lagi,
membuatku semakin bingung.
“Kok, Kakak tau?”
Adrian memilih untuk mengabaikan pertanyaanku,
sementara kamu dan teman-temanmu sudah geleng-geleng
kepala melihat tingkahnya. “Lo pasti anak tunggal? Pengin
banget punya adik, tapi nggak kesampaian. Iya, kan?”
Kali ini aku menggeleng takjub. Bagaimana bisa dia
mengetahui semua itu? Kami kan baru kali pertama bertemu.
Namun, satu kalimat yang dia lontarkan berikutnya sukses
membuatku mendengus geli.
“Celotehan Rafa jalannya jauh, Ra, sampai ke Hongkong.”
Adrian lalu terkekeh pelan sebelum mengalihkan pandangannya
padamu. “See, Raf? Gue aja yang baru pertama kali ketemu dia
sampai hafal biodatanya. You need to stop, bro,” sambungnya,
membuatmu ikut tertawa.
Langsung saja aku melirikmu dengan sorot yang menuntut
penjelasan. Kenapa semua teman-temanmu selalu berkata
seakan-akan kamu sering membicarakanku?
“Kejora the legend minta penjelasan lho, Mas Rafa,”
ledek Karel melihat ekspresiku. “Kasih tau dong kalau setiap
hari, siang dan malam, lo nggak bisa mengenyahkan bayang-
bayangnya dari pikiran lo.”
“Najis lo,” timpal Adrian langsung.
“Geli banget, bego.” Klana bergidik, mencari posisi sejauh
mungkin dari Karel, sementara aku dan kamu hanya bisa
tertawa.

85
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Setelah berpamitan dengan ketiga temanmu, kamu lalu


membawaku keluar dari ruangan itu. Senyum lebar tak kunjung
hilang dari wajahmu selagi kita berdiri berhadapan di depan
pintu. Aku menyandarkan tubuhku di dinding, menatapmu
dengan sorot yang seolah bertanya kenapa-senyum-senyum-
sendiri? Sepertinya kamu mampu mengartikan pandanganku
dengan benar karena sedetik kemudian kamu berkata, “Gue
kira lo nggak bakal datang.”
Aku tersenyum simpul. “Lo kan udah ngundang, nggak
enaklah kalau gue nggak usahain.” Dalam hati aku tertawa
sendiri mendengar jawabanku. Aku memang membutuhkan
‘usaha’ keras agar bisa hadir malam itu.
Kamu masih menatapku dengan senyum lebar. Binar di
matamu membuatku menarik kesimpulan kalau kamu masih
tidak percaya akan kedatanganku. “Meskipun telat, lo tetap
datang,” tambahmu lagi.
“Sori.” Aku hanya bisa meringis. “Noah tadi agak bawel.”
Senyum lebarmu langsung berganti menjadi ekspresi yang
tidak bisa kubaca. “Noah temen lo yang selalu pulang bareng lo
itu, ya?” Nada suaramu masih terdengar ramah, tetapi aku bisa
menangkap ketidaksukaan di sana. Aku hanya bisa mengangguk
kecil.
Sedetik kemudian kamu kembali tersenyum. “Jadi gimana,
enjoy?”
“Banget. Gue suka sama lagu yang pertama kali lo
nyanyiin,” anggukku semangat. Mengingat penampilanmu di
atas panggung membuatku otomatis menyunggingkan senyum.
“Jujur, sangat bukan genre yang lo dengerin kalau menurut gue.
Tapi, tetap bagus,” sambungku lagi.

86
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Lo mau tau sesuatu?” tanyamu sambil menggigit bibir.


Aku tahu kalau kamu sedang menahan senyum teka-teki khas
milikmu yang hendak muncul. Kenapa ditahan, Raf? Biarkan
saja. Senyum itu … aku sangat menyukainya.
Kutarik napas dalam-dalam, berusaha menormalkan detak
jantung yang mulai tak keruan. “Apa?”
“Percaya nggak kalau gue bilang lagu itu gue tulis karena
lo?” Senyum khasmu terukir jelas saat kamu melontarkan
pertanyaan itu. Terima kasih, Rafa, jantungku sepertinya mau
lepas saja.
Aku mengerjapkan mata, kaget dengan pernyataanmu.
“Maksud lo?”
“Hari itu waktu kita berdua pertama kali ketemu di
Pumpkin. Lo duduk di samping jendela kaca, minum cokelat
panas. Gue juga nggak ngerti kenapa.” Kamu mengalihkan
pandangan entah ke mana. Ekspresi yang terpasang di wajahmu
campur aduk; senang, geli, ingin tertawa—bahagia. “I just woke
up one day and I know.”
“You know what?” tanyaku hati-hati.
“What I was never sure with anyone else.” Kamu menatapku
tepat di mata saat mengucapkan kalimat tersebut. Ingin saja
rasanya aku ambruk ke tanah. Kenapa sih, Raf, kamu harus
terlahir dengan kemampuan untuk membuat emosiku campur
aduk?
Aku mengembuskan napas keras-keras, menyilangkan
tangan di depan dada, menatapmu sambil berusaha keras
menahan senyum lebar yang hendak muncul di bibir, sementara
kamu balas tersenyum menatapku. Aku tahu kalau suara-suara
pengunjung kafe dan band entah apa yang sedang tampil di
panggung masih bisa terdengar di tempat kita berdiri. Namun,

87
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

detik ketika kita saling menatap, aku merasa seakan duniaku


berubah hening. It almost felt like the world spin around us, Rafa.
Hanya ada aku dan kamu, kita.
Namun, momen itu tidak berlangsung lama, karena detik
berikutnya aku bisa mendengar soundtrack salah satu anime
Jepang yang mengalun heboh dari ponselku. Kamu langsung
tertawa keras seraya menggeleng-gelengkan kepala. Aku
hanya bisa meringis, meraih ponselku, menggumamkan kata
‘sebentar’ tanpa suara dan berjalan menjauh untuk menjawab
panggilan tersebut.
Kutempelkan ponselku di telinga ragu-ragu, takut kalau
si penelepon langsung berteriak mengomeliku. Satu hal yang
aku tahu pasti; lagu anime heboh itu merupakan nada dering
khusus untuk Noah.
“Lo di mana?” Suara di seberang sana terdengar dingin,
membuatku menelan ludah gugup. “Lucil, lo di tempat Rafa,
kan?” tanya Noah lagi saat aku tak menjawab.
“Iya,” balasku pelan. “Maaf ya, Noah.”
Aku bisa mendengar Noah menghela napas berat sebelum
berkata, “Terserah lo aja.” dan langsung mematikan sambungan.
Kutatap layar ponselku dalam diam. his couldn’t get any worse
right?
“Siapa, Ra?”
Cepat-cepat aku berbalik saat mendengar suaramu dari
balik punggungku. Aku hanya bisa meringis. “Noah. Marah
besar dia.”
“Dia suka sama kamu,” ucapmu ringan, membuatku
ternganga.
Bukan, Raf, aku kaget bukan karena kamu mengatakan
kalau Noah menyukaiku. Aku sudah sering mendengar hal itu

88
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dari beberapa temanku, tetapi aku tidak pernah memercayainya.


Alasan dari kekagetanku adalah karena panggilan yang baru
saja kamu lontarkan, ‘kamu’.
“Kamu?” Aku menatapmu, kaget. “Sejak kapan pake aku-
kamu? Barusan juga lo-gue.”
“Sejak sekarang,” balasmu langsung dengan tampang
benar-benar polos, membuatku gemas sendiri.
Pada akhirnya aku hanya bisa menggeleng takjub dan
bergumam, “How unpredictable.”
Tawa renyah meluncur mulus dari bibirmu sebelum kamu
berkata, “Keluar yuk, Ra. Gue yakin kamu sebenarnya nggak
terlalu suka tempat ini. Kelihatan jelas di wajah kamu.”

Malam itu kita habiskan dengan duduk santai di sebuah


lapangan yang cukup luas dengan dua bungkus cheeseburger dan
berkaleng-kaleng soda di atas kap mobilmu. Kamu bercerita
tentang banyak hal. Tentang gitar pertamamu, tentang kali
pertama kamu bernyanyi di atas panggung, tetapi lebih dari
semuanya, kamu bercerita tentang impian-impianmu.
“Sebenarnya mimpi gue sederhana. Nggak muluk-muluk.”
Kamu memulai setelah menghabiskan kaleng soda kedua. Satu
hal yang aku pelajari malam itu, kamu lebih suka memanggil
dirimu sendiri dengan kata ‘gue’, tetapi memanggilku dengan
kata ‘kamu’. Terdengar aneh dan tidak biasa, memang. Tetapi,
aku tidak mempermasalahkan hal itu.
“Gue cuma mau Constant Star bisa punya album sendiri
dan dikenal orang. Gue mau musik yang gue ciptakan bisa jadi

89
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

inspirasi untuk orang banyak. Gue cuma mau berbagi, Ra. Tapi,
untuk mencapai mimpi yang sederhana itu aja susah banget.
Yah, mungkin selamanya mimpi-mimpi gue akan selalu jadi
fantasi anak laki-laki tujuh belas tahun yang buta akan dunia
nyata.”
Kamu mengucapkan kalimat itu dengan senyum tipis.
Pandanganmu diarahkan jauh ke langit tak berbintang. Helaan
napasmu berat dan teratur. Seakan apa yang baru saja kamu
ucapkan merupakan beban yang sudah lama kamu pendam,
tetapi tak berani kamu keluarkan.
Jujur, aku tidak tahu tanggapan seperti apa yang harus
kuberikan. Aku bahkan belum menemukan impianku—
mungkin ada jauh di dalam hati, tapi toh aku belum yakin.
Aku tidak bisa memahami perasaanmu seutuhnya. Maka, aku
memilih diam dan meneguk kembali soda dalam genggamanku.
Setelah hening beberapa saat, kamu menoleh dengan sorot
lembut. “Kalau kamu, apa impian kamu?” tanyamu, membuatku
tertegun.
“Nggak tau,” balasku pelan. Pandanganku jauh di awang-
awang. Mendadak aku merasa sangat bodoh. “Aku belum yakin
mau jadi apa ke depannya.”
Kamu menatapku dengan kening berkerut. “How could you
not know, Ra?”
“And how could you know, Raf?” balasku langsung.
Saat itu, aku memang belum yakin ingin jadi apa aku
kedepannya. Tetapi, setiap kali aku melihat binar di kedua
matamu saat kamu membicarakan mimpi-mimpimu, sesuatu
seolah tergerak di dalam diriku. Aku juga ingin punya mimpi,
Raf. Aku ingin memiliki sesuatu yang aku cintai setengah mati
dan berusaha sekeras apa pun untuk meraihnya. Aku ingin

90
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

punya mimpi, Rafa, aku ingin memilikinya dan membaginya


bersamamu.
Aku menghela napas berat. “Mungkin sekarang aku belum
tau pasti. But, I’d like to ind one, someday,” tambahku lagi setelah
hening yang cukup lama.
Persis setelah aku mengucapkan kalimat tersebut, kamu
meletakkan kedua tanganmu di atas pundakku, memaksaku
untuk menatapmu lurus-lurus. Senyum lebar terukir di
wajahmu saat kamu berkata, “Kalau gitu, Ra, ayo kita temukan
mimpi kamu bersama-sama.”
“A-apa?” tanyaku tak percaya dengan pendengaranku
sendiri.
Kamu mengangguk mantap, antusiasme kentara jelas di
wajahmu. “I’ll help you igure out what you wanna do in the future
and what you wanna be. And when the time comes, I’ll be there.”
Aku masih terpaku. Rasa hangat menyebar di seluruh
tubuhku. Belum pernah aku merasa sebahagia itu sebelumnya.
Kutatap manik cokelat gelap milikmu lurus-lurus, berusaha
mencari sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa di sana, tetapi
satu-satunya yang kutemukan hanyalah keteguhan. Kejujuran.
Kamu bersungguh-sungguh dengan ucapanmu.
Maka, perlahan seulas senyum lebar muncul di bibirku.
Kuanggukkan kepala tanda setuju. Kamu balas menatapku
teduh. Satu tanganmu yang tadinya bertumpu di bahuku
kini turun hingga akhirnya kamu meraih telapak tanganku
dan menggenggamnya erat. Malam itu, kita habiskan untuk
menikmati kehadiran satu sama lain dalam keheningan dengan
tangan yang saling menggenggam.

91
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Aku mengetukkan jari ke kaca mobil selagi kita berdua berada


dalam perjalanan pulang. Jam sudah menunjukkan hampir
pukul dua belas dan aku sangat yakin setibanya di rumah, Noah
akan mengomeliku panjang lebar tanpa henti meski aku telah
ratusan kali mengatakan maaf.
Kamu menyetir dalam diam, sesekali ikut
menyenandungkan lagu yang mengalun dari radio, sementara
aku menatap jalanan yang cukup lengang. Senang rasanya tidak
terjebak macet yang biasanya selalu membuatku kesal di siang
hari. Entah berapa lagu sudah terlewati sampai tiba-tiba aku
mendengar intro sebuah lagu yang aku kenal pasti. Lagu yang
menghuni playlist di iPod-ku. Lagu yang membuat kamu hanya
bisa menggelengkan kepala.
Aku sudah bersiap untuk ikut bernyanyi saat kamu
mengulurkan tangan untuk mengganti stasiun radio. “Kok
diganti?” tanyaku spontan, membuatmu menarik kembali
tanganmu.
“Gue kan nggak suka boyband, Ra,” balasmu dengan ekspresi
polos.
“Tapi kan aku suka.” Aku menaikkan sebelah alis ke arahmu,
sementara kamu tertawa pelan.
Kamu lalu menyandarkan tubuh di kursi dan tersenyum geli.
“Okay then,” ucapmu pelan. “Gue rasa gue harus membiasakan
diri dengar lagu beginian kalau mau ngajak kamu keluar lagi,
kan?”
Kali ini aku yang tertawa mendengar ucapanmu. Aku tidak
tahu apa hanya aku yang terlalu percaya diri atau ucapanmu

92
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

memang mengindikasikan kalau kamu ingin mengajakku


keluar di lain waktu. Maka, aku memilih untuk tidak menjawab
pertanyaanmu dan sibuk menyenandungkan lirik dari lagu
yang sedang mengalun dari radio.
Sekitar lima belas menit kemudian, kamu menghentikan
mobilmu tepat di depan rumahku. Dari dalam mobil, aku bisa
melihat Noah berdiri di depan pintu rumah dengan tangan yang
disilangkan di depan dada. Sorot matanya tajam, aku tahu betul
kalau dia sangat marah.
Kamu memutuskan untuk ikut turun dan mengantarku
sampai ke depan pintu meski aku sudah melarang. Aku tidak
mau Noah menyalahkanmu atas apa yang telah aku lakukan,
tetapi kamu tetap bersikeras.
“Gue mau tanggung jawab, Ra. Gara-gara gue kamu pulang
selarut ini,” katamu.
Aku hanya bisa menatap Noah serbasalah saat akhirnya
kita berdua berdiri tepat tiga langkah di hadapannya. “Maaf,”
gumamku takut-takut. Suaraku bahkan terdengar seperti tikus
yang mencicit.
Noah tidak melirikku sama sekali. Pandangannya lurus ke
arahmu. “Sori ya, Noah, gara-gara gue Kejora jadi pulang malam
banget,” ucapmu sopan. Pemandangan itu cukup aneh buatku
karena seharusnya Noah yang menyegani kamu mengingat
kamu lebih tua darinya.
Selama beberapa detik, yang ada di antara kita bertiga
hanyalah keheningan. Sampai akhirnya Noah melangkah
mendekat ke arahmu dan tanpa peringatan, sahabatku itu
melayangkan tinjunya tepat ke rahangmu, membuat kamu
oleng, tetapi tidak terjatuh.

93
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Noah! Apa-apaan sih lo!” teriakku, berusaha menarik


Noah menjauh darimu. Tetapi sahabatku itu seakan tidak peduli
dengan kehadiranku. Fokusnya terkunci padamu yang sedang
mengusap sudut bibirmu yang berdarah.
“Lo bawa pengaruh buruk buat Kejora,” geram Noah dalam
nada rendah. “Jauhin dia.”
Saat aku mendengar Noah mengatakan kalimat tersebut,
ingin rasanya aku mengambil pentungan baseball untuk
memukul kepalanya keras-keras. Bagaimana bisa dia menyuruh
kamu untuk menjauhiku, sementara dia tahu bahwa yang aku
inginkan hanyalah berada di dekatmu?
Aku menatapmu was-was, takut kamu balas memukul
Noah dan membuat keributan di rumahku. Tetapi, sepertinya
aku lupa akan sifatmu yang tak terduga karena bukannya
membalas pukulan Noah, kamu malah menatapnya dengan
senyum simpul
“Gue bisa janji untuk berubah agar gue nggak jadi pengaruh
buruk buat Kejora,” ujarmu santai, membalas tatapan Noah
seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. “Tapi,
gue nggak bisa janji untuk jauhin dia. hat’s something I’ll never
do.”
Dan dengan itu kamu berlalu, meninggalkanku, Noah, dan
sejuta kemungkinan yang menggantung di langit malam dalam
bisu.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

94
pustaka-indo.blogspot.com
Melayang
Bersama Angin
Day 5: Venice—Laussane
14 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang sisi gelapnya tak pernah mengurangi cahaya kebaikan dalam
dirinya sama sekali.)

Percaya atau tidak, travelling mampu membangkitkan


kenangan lama yang sebenarnya tak ingin kita ingat lagi.
Awalnya aku berpikir kalau pernyataan itu hanyalah omong
kosong. Maksudku, apa hubungannya jalan-jalan dengan jutaan
ingatan yang terkubur di kepalaku? Namun, setelah berhari-hari
mengitari negeri orang, aku baru menyadari betapa akuratnya
kalimat tersebut. Pasalnya, setiap benda, momen, bahkan lagu
yang tanpa sengaja kudengar selama beberapa hari terakhir
selalu mampu mengingatkanku pada orang-orang tertentu.
Contohnya saja, tumpukan nugget panas yang dijual di
pinggir jalan, tawa berat orang asing yang mirip dengan Ayah,
rasa hambar beberapa makanan yang mengingatkanku pada
masakan Bunda—tiga unsur berbeda yang mampu membuat

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

ingatanku melayang pada satu kejadian yang sama. Hari ketika


kamu pertama kali berkunjung ke rumahku.
Tadinya aku ingin membuat surat tersendiri untuk
mengisahkan pertemuan pertamamu dengan kedua
orangtuaku. Namun, aku rasa ada baiknya aku menjabarkannya
secara singkat saja. Aku tidak mau kamu mati bosan membaca
semua surat ini nantinya. Itu pun kalau aku memiliki cukup
keberanian untuk mengirimkannya.
Menyambung apa yang kuceritakan di surat sebelumnya,
kira-kira dua hari setelah Noah memukulmu tanpa alasan yang
jelas—aku sempat menolak berbicara dengannya selama dua
hari penuh karena sikapnya itu—Bunda mengundang kamu
untuk makan siang di rumah. Awalnya aku kira semuanya akan
kacau, terlebih lagi Noah tidak mau berhenti memanas-manasi
Bunda dan mengungkit fakta kalau aku kabur dari rumah untuk
pergi menonton gig Rafa-si-anak-band-yang-berantakan. Tentu
saja aku kesal setengah mati pada Noah waktu itu.
Jujur, aku tidak mengerti kenapa di awal perjumpaan
kalian, sahabatku itu sangat tidak menyukaimu. Tetapi, satu hal
yang aku senangi; kamu tidak pernah sekalipun balas bersikap
menyebalkan pada Noah. Malah kamu terlihat berusaha
menoleransi sikapnya. Mungkin karena kamu tahu betul kalau
Noah merupakan salah satu orang penting di dalam hidupku,
selain keluargaku? Entahlah. Yang jelas aku berterima kasih
untuk itu.
Tentang makan siang kita hari itu, semuanya berjalan
lancar. Bunda menanyakan banyak sekali pertanyaan dan Ayah
tak henti-hentinya melontarkan candaan. Terlebih lagi saat
kamu mengatakan kalau makanan favoritmu adalah nugget.
“Bah, enak juga punya anak macam kau. Nggak susah aku

96
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

kasih dia makan. Si Kejora sama Noah ini aneh kali lidahnya.
Sok kebarat-baratan,” omel Ayah waktu itu dengan logat khas
Sumatera-nya, membuat kita semua tertawa.
Dan meskipun Noah berkali-kali berusaha mengungkit fakta
bahwa kamu adalah anak band yang berantakan, aku bersyukur
Bunda dan Ayah seakan mampu melihat sisi baik dari dirimu.
Pada akhirnya, saat kamu pamit pulang, Bunda memberiku
pelukan hangat dan menanyaiku apakah aku menyukai kamu.
Aku hanya bisa tersenyum malu dan seakan seluruh semesta
sedang berpihak padaku, Bunda tidak keberatan dengan hal
itu. Kedua orangtuaku menyukai kamu. Bahkan, hanya dengan
sekali pertemuan.
Momen itu merupakan salah satu dari sekian banyak
momen favoritku tentang kita. Waktu itu semuanya sangat
sederhana, Raf. Hanya ada aku, perempuan kecil yang perlahan
jatuh cinta dan kamu, laki-laki pemberani yang membuatku
mampu mengambil semua risiko yang ada.
Namun, di balik semua sikap manis itu, kamu tentu
mempunyai satu sisi yang lain. Sisi yang berhasil membuatmu
mendapat predikat sebagai murid yang harus dijauhi jika ingin
lulus dengan nama baik-baik. Seperti gelap dan terang yang
selalu beriringan. Meskipun begitu, selalu ada waktu ketika aku
berharap bisa melihat sisi gelapmu sekali lagi. Karena satu hal
yang aku tahu pasti; sisi itu hanya muncul di saat kamu mencoba
melindungiku.

97
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Sore itu, aku berdiri sendiri di depan gerbang sekolah,


menunggu Noah yang sibuk di dalam ruangan kepala sekolah.
Sudah lewat satu jam setengah semenjak bel pulang berbunyi.
Mau tak mau aku berdecak kesal. Sebenarnya, bisa saja aku
pulang sendiri. Toh banyak kendaraan umum yang lewat di
depan sekolah. Namun, sahabatku yang satu itu bersikeras agar
aku menunggu. Mungkin dia tidak memercayaiku untuk pulang
sendiri? Entahlah.
Bosan. Aku pun memutuskan untuk berjalan mengitari
daerah luar sekolah. Sepi sekali. Mungkin karena kegiatan
belajar mengajar sudah usai. Sambil menyenandungkan nada
asal, aku terus melangkah hingga samar-samar aku mendengar
suara langkah kaki dari balik tubuhku. Cepat-cepat aku
menoleh, mendapati sosok laki-laki yang berusia kira-kira 20
tahun berdiri tak jauh dariku.
Ada sesuatu yang aneh dengan sosok itu. Entah itu matanya
yang memerah dan tatapannya yang terlihat kosong, atau
caranya berdiri yang mencerminkan sikap semena-mena. Yang
jelas, apa pun yang memancar dari dirinya berhasil membuatku
memutar arah dan mengambil langkah lebar menuju gerbang.
Namun, sepertinya Dewi Fortuna tidak berada di pihakku
karena sedetik kemudian, aku bisa merasakan langkahnya
kian cepat mengikutiku. Aku menunduk dalam, masih terus
melangkah, sambil sesekali melirik kanan dan kiri, berusaha
mencari pertolongan kalau-kalau dibutuhkan.
“Heh, berhenti lo!” teriak sosok itu kasar dari balik tubuhku,
membuat kakiku kontan kaku dan langkahku terhenti. Bodoh,
Kejora, ayo lari, jangan beku begini, rutukku dalam hati.
Dia menghampiriku dengan cepat dan berhenti kira-kira
dua langkah dariku. Mata liarnya menatapku lekat, seakan

98
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

berusaha mencari sesuatu yang mungkin dia kenali di wajahku.


“Lo … yang namanya Kejora?” tanyanya, masih dengan nada
kasar yang sama.
Aku mengangguk takut-takut. “Iya, Mas. Eh, Bang, maksud
saya,” jawabku serbasalah. Bagaimana bisa dia tahu namaku?
“Gue Gavin, kakak kelas lo,” terangnya tanpa diminta
dengan nada bangga dan senyum miring. “Itu juga sebelum
cowok lo yang tengil itu bikin gue di drop out dari sekolah!”
sentaknya lagi, membuat jantungku nyaris berhenti berdetak
selama beberapa detik. Kamu yang paling tahu, Raf, aku tidak
bisa dibentak.
“P-pacar saya, Bang?” tanyaku takut-takut. “Saya nggak
punya pacar, Bang. Sumpah.”
Sosok yang mengaku bernama Gavin tertawa lebar. “Jomblo
banget sih,” ejeknya. Aku nyaris tertawa kalau saja aku tidak
mengingat fakta bahwa hidupku kemungkinan berada di ujung
tanduk. “Tapi sayang, gue nggak bego. Di mana cowok lo yang
kurang ajar itu? Suruh ke sini! Biar gue habisin dia!” sambung
Gavin lagi, penuh emosi.
Aku memuntir ujung-ujung seragamku seraya menunduk
dalam. Waktu itu, aku sama sekali tidak menyangka kalau
orang yang dimaksud Gavin adalah kamu. Maksudku, kita
bahkan tidak sedekat itu di sekolah. Lalu, bagaimana bisa Gavin
berasumsi kalau hubungan kita lebih dari sekadar senior dan
junior?
“Malah diam lagi,” gerutu Gavin dengan wajah galak.
“Cepetan ngomong! Mana Rafa? Jangan pura-pura bego!”
teriaknya kasar seraya mengentakkan kaki ke arahku,
membuatku kontan mundur satu langkah, kaget setengah mati.

99
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Melihatku yang bungkam, Gavin kontan mencengkeram


rahangku, membuatku mengaduh dan meronta, berusaha agar
dia melepaskan tangannya dari wajahku. Namun, sia-sia saja,
tenaga Gavin jauh lebih besar dariku. “Punya mulut, kan, lo?
Dipake makanya!”
Aku hampir saja menangis saking takut dan putus asanya
saat tiba-tiba mendengar sebuah suara familier berteriak dari
balik tubuhku. “Woy, Gavin, besok pakai rok aja lo. Beraninya
kok sama cewek?”
Konsentrasi Gavin pecah. Segera dia menoleh dan
mendengus kesal saat mendapati kamu dan ketiga temanmu
yang kini tengah mengambil langkah lebar ke arah kami. Di
barisan paling depan ada kamu yang melangkah pasti dengan
gitar disandang bagai ransel, dan Adrian dengan dagu yang
diangkat tinggi-tinggi serta lengan baju yang digulung.
Sementara Karel dan Klana berjalan tepat di belakang kalian
dengan ekspresi yang sama kecutnya. Kalian terlihat seperti
pahlawan kesiangan yang kerap kali dijumpai di komik komedi.
Momen itu tentu saja kumanfaatkan untuk berusaha kabur.
Namun sialnya Gavin seakan sudah menduga hal itu karena
detik berikutnya, dia langsung meraih pergelangan tanganku
dan mencengkeramnnya erat-erat. Menahanku tetap di tempat.
“Lo diem,” bisiknya tajam padaku. “Lo cuma umpan. Nggak
nyangka gue kalau rencana gue berhasil,” tambahnya dengan
senyum sinis, membuatku bergidik ngeri.
Berulang kali aku berusaha memberi sinyal ke arahmu
dan teman-temanmu agar tidak mendekat, berusaha
memperingatkan kalian kalau semua ini hanyalah jebakan.
Namun, kalian sepertinya tidak memahami isyaratku, karena
bukannya bergerak menjauh, kalian malah semakin mendekat.

100
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Lepasin tangan Kejora atau gue patahin leher lo sekarang


juga,” ancammu dengan nada sedingin es saat kamu dan teman-
temanmu berdiri tak jauh dariku. Sosokmu hari itu, Rafa, aku
hampir tidak mengenalinya. Tatapan tajam dengan kilat penuh
amarah, rahang yang mengatup keras, aku tidak pernah melihat
kamu setegang itu sebelumnya.
Gavin tersenyum puas. Langsung saja dia menarikku ke
balik tubuhnya, menjauhkanku dari jangkauanmu dan teman-
temanmu. “Akhirnya yang ditunggu datang juga,” ucapnya.
“Gavin, Gavin,” ujar Karel yang kini tepat berada di sisi
kananmu. Dia menggeleng dengan ekspresi mengejek. “Kalau
lo segitu kangennya sama kita lo kan bisa SMS. Ya nggak,
Bos?” Senyum jenaka yang biasanya selalu terpasang di wajah
Karel kali ini berganti menjadi seringai mematikan saat dia
mengangkat dagu ke arahmu.
“Yoi,” anggukmu pada Karel sebelum menatap Gavin
dengan tampang sok polos yang terlihat tengil. “Atau LINE
sekalian, Vin. Gue rela kok ngeladenin lo perang stiker sampai
pagi.”
Aku bisa mendengar tawa tertahan yang hendak meluncur
dari bibir ketiga temanmu. Namun, mereka cepat-cepat
berdeham dan memasang ekspresi serius. Kurasa mereka
mengerti kalau situasinya benar-benar tidak kondusif.
“Gue bukan bocah kayak kalian dan lo semua harusnya tau
itu.” Gavin mendengus keras.
Jujur, Rafa, waktu itu aku benar-benar tidak tahu apa
masalahmu dengan Gavin. Namun, apa pun masalah kalian,
aku yakin itu bukanlah masalah kecil. Terlebih lagi, Gavin
mengatakan kalau dia adalah senior kita. Tetapi, kenapa aku

101
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tak pernah melihatnya sebelumnya? Lalu, jika memang benar


dia dikeluarkan, bagaimana bisa kamu menjadi penyebabnya?
Kamu berdecih saat mendengar ucapan Gavin. “Gue
mungkin memang bocah, tapi gue bukan banci yang bawa-bawa
cewek ke urusan kita.” Nada suaramu terdengar rendah dan
dingin saat kamu melanjutkan, “Jangan bawa Kejora, Gavin,
gue tau lo bukan banci.”
Senyum sinis perlahan muncul di wajah Gavin sebelum dia
memutar tubuh dan melirikku dengan bibir yang dikerucutkan.
“Kejora, bisa nggak lo bilang sama teman-teman lo ini untuk
lebih hormat sama gue? Gue masih senior mereka,” pintanya
dengan nada santai. Namun sayangnya, sorot mata Gavin tidak
seringan nada bicaranya.
“Senior kayak lo?” Adrian terdengar mengejek saat
melontarkan pertanyaan itu. “Pengecut.”
Gavin kontan mengalihkan pandangannya dariku saat
mendengar ucapan Adrian. Dia lalu menggelengkan kepalanya
seraya tertawa pelan. “Bukannya gue suka kode-kodean, tapi
gue cuma mau bilang kalau gue udah lama banget nggak mukul
orang.”
Seakan ingin membuktikan ucapannya, Gavin lalu
meregangkan jari-jarinya, menimbulkan bunyi yang cukup
keras untuk kita dengar di antara keheningan yang ada.
Aku bergidik ngeri saat kemungkinan tentang apa yang
akan terjadi berikutnya terlintas di pikiranku. Melihat kamu
dan Gavin saling pukul adalah hal yang terakhir yang kuinginkan
hari itu. Tetapi, sepertinya semesta memang sedang tidak
berada di pihakku karena aku bisa melihat tatapan mata kalian
kian menajam. Seakan kalian siap menerkam satu sama lain.

102
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu lalu menggerakkan lehermu ke kanan dan kiri.


“Kebetulan gue juga udah lama nggak mukul orang,” balasmu
santai, tersenyum tipis. “Akan sangat menyenangkan kalau lo
mau jadi orang pertama yang menerima pukulan gue setelah
sekian lama.”
Kali ini Gavin tertawa lepas. Seakan-akan hal yang baru saja
kamu katakan adalah hal paling lucu di dunia. “Santai, Rafael
Leonardi. Gue kan nggak ngapa-ngapain adik kelas lo ini. Yah,
paling gue cuma pegang tangannya doang.”
Tepat setelah Gavin mengatakan kalimatnya yang terakhir,
jari-jarinya yang sedari tadi mencengkeram lenganku perlahan
menyusup ke sela jemariku. Menggenggam tanganku erat dan
kasar. Dengan mata melotot kusentakkan tangannya. “Lepasin,
Kak,” pintaku setegas yang aku bisa. Tetapi sia-sia saja, suaraku
malah terdengar bergetar.
Aku bisa melihat kedua matamu langsung berkilat penuh
amarah saat mendapati pemandangan itu. “Lepasin Kejora. Dia
nggak tau apa-apa,” desismu tajam.
“Kalau gue lepasin lo, gue nggak dapat apa-apa dong dari
bocah di depan gue ini?” Pertanyaan itu Gavin suarakan dengan
volume yang hanya cukup untuk didengar olehku.
Aku menatap Gavin sinis dari ujung mataku. Aku benar-
benar tidak bisa menahannya. Sepertinya Gavin menyadari sorot
mataku karena lagi-lagi ia kembali mengeratkan genggamannya.
Sakit. Tanpa bisa ditahan aku mengaduh. “Sakit ....”
Matamu langsung membesar saat mendengar rintihanku.
Ekspresimu benar-benar serius saat menatap Gavin dan berkata
dengan nada mengancam yang baru pertama kali kudengar,
mengerikan. “Gavin, gue peringatkan lo jauhkan tangan kotor
lo dari Kejora—“

103
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Atau apa?” potong Gavin, tak terlihat takut sedikit pun


dengan ancamanmu. “Lo mau mukul gue? Nonjok gue sampe
biru? Terus kalau gue giniin Kejora lo bisa apa?”
Detik itu juga, Gavin langsung menarik tubuhku yang
lemas sehingga aku berdiri tepat di hadapannya. Tanpa beban,
dia melingkarkan lengannya di sekeliling tubuhku. Memelukku
dari belakang. Aku hanya bisa mematung, terlalu kaget bahkan
untuk sekadar berkedip. Dengan mudah dia menyandarkan
dagunya di bahuku. Seakan dia tahu sejak awal kalau apa yang
dilakukannya mampu membuatmu kalap dalam hitungan detik.
“Damn it.” Geramanmu adalah satu-satunya hal yang
kudengar sebelum menerjang ke arahku dan Gavin. Dengan satu
sentakan kasar, kamu menarik lepas cengkeraman Gavin pada
pergelangan tanganku dan mendorongku ke arah berlawanan—
beruntung Klana menangkapku—sementara kamu langsung
melayangkan tinju tanpa ampun ke rahang Gavin. Mantan
kakak kelas kita itu jatuh tersungkur.
Bukannya memutuskan untuk lari, Gavin malah
bangkit seraya mengusap sudut bibirnya yang sobek dengan
santai. Seakan pukulan yang baru saja kamu lemparkan tak
membuatnya gentar sama sekali. “Segini doang?” tanyanya
remeh. “Kalau cuma lo berempat, nggak ada apa-apanya.”
Awalnya aku tidak mengerti apa maksud ucapan Gavin.
Namun, sedetik kemudian, muncul belasan orang laki-laki
berwajah sangar dari balik punggungnya. Dan bisa ditebak
dengan mudah, mereka adalah teman-teman Gavin yang siap
tempur apa pun kondisinya.
Kesal, Adrian kontan meraih kerah baju yang digunakan
Gavin dan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Jadi lo main
keroyokan? Cupu!” rutuknya, membuat Gavin tertawa lebar.

104
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Dulu lo juga pakai cara kotor, kan?” balasnya sinis.


Detik itu, satu hal yang aku tahu pasti adalah bahwa kita
sudah kalah. Mereka lebih dari sepuluh orang sementara kita
hanya berlima. Ralat, empat lebih tepatnya karena kalian tidak
akan bisa mengandalkanku sama sekali. Sepertinya Adrian
menyadari posisi kita yang terpojok karena dia melirikmu dan
teman-temanmu sekilas, seakan mengatakan sesuatu lewat
isyarat mata yang kalian balas dengan anggukkan. Aku hanya
bisa bungkam, itu tadi apa?
“Oh, gitu? Jadi mau lo apa? Ribut? Ayok!” teriak Adrian
lantang, seakan dia tidak takut dengan fakta bahwa kita kalah
jumlah. Adrian lalu kembali menoleh ke arahmu dan teman-
temanmu seraya berkata, “Siap-siap, guys.”
Dari balik tubuh Gavin, teman-temannya pun telah
mengambil ancang-ancang untuk melesat ke arah kita. Aku
menelan ludah. Apa hidupku harus berakhir seperti ini? Benar-
benar memalukan.
Sentuhan hangat menyeretku keluar dari belenggu
ketakutan. Sontak saja aku menunduk dan mendapati kamu
menggenggam tanganku. Senyum lembut tersungging di
bibirmu. Seakan berusaha meyakinkanku kalau tidak ada yang
perlu kutakuti. “Tarik napas yang dalam ya, Ra,” bisikmu,
membuatku mengernyit bingung.
Namun, semua kebingungan dan pertanyaan yang tadinya
sempat memenuhi pikiranku langsung terjawab saat aku
mendengar Karel mulai menghitung mundur. “3 … 2 … 1 …
LARI!”
Semuanya berlangsung begitu cepat. Kamu langsung
menyentakan genggamanmu padaku, memaksaku untuk
berlari sekencang mungkin agar bisa menyeimbangkan langkah

105
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

denganmu. Karel, Klana, dan Adrian pun ikut melesat di sisi


kita selagi Gavin dan teman-temannya berusaha mengejar.
Hari itu, aku berlari sampai kedua tungkaiku rasanya mau
patah dan perutku lelah karena tertawa. Aku tidak tahu tepatnya
apa yang lucu, tetapi hari itu, kita berlima terus dan terus
melesat seraya tertawa. Dan di antara angin yang berembus
serta teriakan orang asing di belakang, aku mengulum senyum
seraya bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan
kamu ke dalam hidupku. Sosok laki-laki tujuh belas tahun
yang selalu siap menjadi penyelamatku dan menggenggam
tanganku di saat seluruh dunia menyudutkanku. Untuk itu, aku
bersyukur.

Setelah menghabiskan nyaris lima belas menit berlari dari


kejaran Gavin, kita berhenti di sebuah gedung bertingkat
yang ternyata merupakan Studio Band milik orangtua Karel.
Kalian melangkah menuju sebuah ruangan yang terletak di
ujung koridor lantai dua dan mengembuskan napas lega begitu
Karel membuka pintu. Kamu, Adrian, dan Karel langsung
merebahkan tubuh di atas karpet bulu yang terletak di tengah
ruangan sementara Klana bergerak menuju kulkas kecil yang
terletak di pojok dan mengeluarkan beberapa botol air mineral
dari sana, melemparkannya pada masing-masing dari kita.
Aku memilih untuk menyandarkan tubuh di sofa seraya
meneguk air banyak-banyak. Keringat mengalir deras dari
pelipisku. Napasku pun masih tidak teratur. Selama beberapa
saat, yang ada di antara kita hanyalah keheningan. Jujur, aku

106
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

ingin saja langsung menginterogasi kalian. Namun, aku rasa


kita semua terlalu lelah untuk berdebat.
“Jadi, kita mau diam-diaman terus sampai vampir dan
bangsa serigala berdamai apa gimana?” cetus Karel tiba-tiba
setelah rasanya lama sekali, membuatku mendengus geli.
Adrian mengubah posisinya menjadi duduk bersila sebelum
menatapku. “Ada beberapa alasan kenapa kami berempat
dikategorikan sebagai murid yang kalau lo mau lulus dengan
nama baik-baik, sebaiknya lo jangan dekat-dekat dengan kami.
Dan ini salah satunya.”
Tanpa bisa ditahan aku melirik Klana dengan mata yang
disipitkan. Klana benar-benar tidak terlihat seperti tipe murid
pembuat masalah. Apa yang salah dengannya?
“Jangan lihat gue, Ra.” Klana membetulkan posisi
kacamatanya. “Gue cuma cowok polos yang nggak sengaja
ketemu sama begal-begal ini.”
“Dan sialnya lo ikutan jadi begal?” tanyaku, menahan
senyum geli.
Seringai jail muncul di wajah Klana, membuatku nyaris
terbatuk. Temanmu yang satu itu, dia kan sangat jarang
menunjukkan ekpresi. “Dulu. Pas kelas satu doang,” balasnya.
Aku lalu mengalihkan pandangan ke arahmu dan menghela
napas berat. “Harusnya kamu bisa tahan emosi, Raf. Hampir aja
nyawa kita berlima melayang sia-sia,” ucapku, tak sepenuhnya
bercanda.
“Dia nyentuh kamu, Ra. Gimana bisa gue tahan emosi?”
Matamu nyaris melotot saat kamu mengucapkan kalimat itu
dengan nada nyaring. “Gue aja nggak pernah meluk kamu kayak
tadi. Masa Gavin dengan tengilnya bisa cari kesempatan dalam
kesempitan.”

107
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Kalimat terakhir yang kamu ucapkan sukses membuat


suasana di sekitar kita kembali hening. Cepat-cepat aku
menunduk, membiarkan helaian rambut jatuh menutupi
wajahku—yang aku yakin mulai memerah. Samar-samar aku
bahkan bisa mendengar tawa tertahan yang berasal dari Karel
dan Adrian.
“Sekarang gue ngerti permasalahannya,” ucap Karel dengan
tampang sok serius. “Inti permasalahannya adalah Rafa juga
mau meluk Kejora.”
“Wah, man, bener juga lo. Buset, tumben pinter.” Adrian
langsung memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat. Dengan
heboh dia menepuk pundak Karel, sementara laki-laki itu
memasang senyum bangga. “Ya udah kali, Raf, kalau memang
mau peluk, ya peluk aja.”
Kamu tertawa lepas. Ekspresimu berbanding seratus
delapan puluh derajat dengan kamu yang menghajar Gavin
sekuat tenaga beberapa saat lalu. “Ya, kali, nggak gitu juga,”
balasmu.
“Tapi, memang pengin, kan?” Kali ini Klana ikut menimpali,
membuatku malu sendiri.
“Yah, ya pengin sih,” ucapmu polos. “Tapi, belum ada timing
yang tepat, ya kan, Ra?”
“Ih, apaan sih. Ngaco,” cibirku dengan wajah sok galak.
“Jadi, sebenarnya masalah kamu sama Gavin apa?” tanyaku,
berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Masalah kami dengan Gavin, lebih tepatnya,” koreksi
Karel langsung.
Karel lalu mulai bercerita tentang awal permasalahan
kalian dan Gavin. Semuanya berawal dari Klana yang tanpa
sengaja memergoki Gavin dan teman-temannya merokok serta

108
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

melakukan transaksi narkoba di halaman belakang sekolah.


Gavin yang mengetahui hal itu tentu saja langsung mengancam
Klana agar tidak mengadukannya ke guru. Klana juga kerap kali
di-bully.
Lalu, suatu hari kamu, Adrian dan Karel mulai menyadari
kalau Gavin memperlakukan Klana dengan sangat semena-
mena. Kalian lalu berusaha mengorek informasi tentang apa
yang sebenarnya terjadi di antara Gavin dan Klana. Kisah itu
berakhir dengan Klana yang mengadukan perbuatan Gavin cs
kepada dewan guru dan adegan pukul-pukulan ala ilm action
antara kalian dan teman-teman Gavin.
“Singkat kata gue sebenarnya punya hutang budi sama
begal-begal ini,” tutur Klana sambil melirik ke arah kamu, Karel,
dan Adrian dengan senyum yang dikulum.
Kamu balas menatap Klana dengan pandangan santai-
aja-bukan-masalah-besar sebelum beralih padaku dan
menambahkan, “Itu juga alasan kenapa guru-guru bilang kami
bandel, tukang berantem. Karena memang waktu kelas satu,
kami berempat sering banget jotos-jotosan sama Gavin cs.”
Aku hanya bisa manggut-manggut. Jujur, selama ini aku
cukup heran dengan orang yang sepertinya sangat melebih-
lebihkan ‘kenakalan’ kamu dan teman-temanmu. Senang untuk
tahu kalau kalian tidak seburuk yang orang lain bicarakan.
“Oh iya, Kejora,” panggil Karel, seringai jail perlahan muncul
di wajahnya. “Lo orang pertama yang tau kisah sebenarnya
di balik masalah kami dengan Gavin. Lo seharusnya merasa
beruntung.”
Aku memutar mata. “Oh believe me, gue sangat merasa
beruntung,” jawabku sarkartis.

109
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Jadi gimana?” tanyamu dengan satu alis dinaikkan dan


manik kecokelatan yang membulat penasaran. “Kamu masih
mau dekat-dekat sama cowok yang berpotensi bikin nama baik
kamu hilang?”
Aku mengangkat bahu dan tersenyum lebar sebagai jawaban
atas pertanyaanmu. Mengisyaratkan kalau hal semacam itu
bukanlah masalah besar untukku. Dan aku memang tidak
terlalu mempermasalahkan hal itu. Karena beberapa minggu
kemudian, kita jadian.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

110
pustaka-indo.blogspot.com
Melebur Jadi Satu
Day 6: Lausanne—Glacier 3000—Zurich
15 Juli.

Untuk Rafael Leonardi


(Yang sikap manisnya selalu berhasil membuatku meleleh seperti es
krim di bawah sinar matahari.)

It’s freezing up here and I inally make it to Glacier 3000!


Wohooo!
Kalau kamu terlalu malas untuk mencari tahu apa itu
Glacier 3000, aku akan memberitahumu di sini. Glacier 3000
adalah sebuah ski resort yang diselimuti salju abadi sepanjang
tahun. Untuk bisa mencapainya kita harus menaiki cable car
dua kali hingga mencapai ketinggian kira-kira 3.210 meter.
Cable car-nya cukup besar, dengan kapasitas lebih dari 100
penumpang.
Selagi cable car tersebut bergerak ke puncak gunung, kita
akan disuguhi pemandangan serbaputih—salju yang menutupi
jurang yang membentang di bawah kaki kita. Jarak antara
tanah dan cable car tersebut cukup tinggi, Rafa, membuat rasa
takut sempat menyusup ke dadaku. Nah, dari Glacier 3000 kita
bisa melihat puncak Pegunungan Alpen dengan jelas. Terdengar
menakjubkan, bukan?

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Sejak kecil, aku sering bertanya-tanya, bagaimana sih


rasanya menyentuh salju? Sedingin apa sih salju itu? Hari
ini semua pertanyaanku terjawab. Kalau kamu kira berada di
antara hamparan salju adalah hal paling menyenangkan di
dunia, pikir lagi. Dinginnya menusuk kulit, Raf. Meski aku telah
menggunakan berlapis-lapis baju hangat, tetap saja aku tidak
bisa beradaptasi dengan mudah. Rasanya seperti dibekukan di
dalam freezer.
Aku harap kamu berada di sini sekarang, Raf. Di sampingku.
Mengenggam tanganku erat sehingga aku merasa lebih hangat.
Perjalanan yang panjang ini cukup melelahkan tanpa adanya
kamu di sampingku, tahu tidak?
Mendadak aku jadi ingat pada satu-satunya perjalanan
yang pernah kita lalui bersama. Secara teknis, kita melaluinya
beramai-ramai karena Karel, Klana, dan Adrian turut serta.
Kalau boleh jujur, itu bukanlah liburan terbaik yang pernah aku
alami. Who am I kidding? Meskipun sendirian, keliling Eropa jauh
lebih baik daripada berdesak-desakkan di feri penyeberangan
yang padat di bawah panas terik hari itu.
Namun, setiap momen yang pernah aku lalui bersama
kamu selalu memilki kenangan tersendiri. Terutama hari itu. Di
bawah langit yang mulai berganti warna menjadi jingga, diiringi
suara deburan ombak, minuman jelly rasa kelapa dan angin
yang bertiup lembut; the day you made me yours.

Aku sedang sibuk memperhatikan Bu Marta yang menerangkan


rumus Trigonometri di papan tulis saat tiba-tiba saja telingaku

112
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

menangkap suara-suara aneh dari luar kelas. Ada bunyi langkah


kaki beberapa orang dan tawa cekikikan. Sempat terlintas
di pikiranku kalau itu adalah suara Karel, tetapi cepat-cepat
kuenyahkan pikiran itu. Sangat tidak masuk akal. Mana
mungkin kamu dan teman-temanmu berada di koridor kelasku
saat jam pelajaran berlangsung?
“Kejora!” seruan nyaring yang berasal tepat dari luar kelas
membuatku sontak mengalihkan pandangan dari papan tulis
ke arah pintu yang tertutup rapat. Seluruh penjuru kelas juga
melakukan hal yang sama—meski beberapa di antara mereka
memilih untuk menatapku. Aku hanya bisa mendengus kesal,
kali ini, aku bisa memastikan itu suara Karel.
“Nanti pulang sekolah,” Adrian. Aku yakin kali ini suara
Adrian.
Ada jeda selama beberapa saat sebelum aku mendengar
Klana mengatakan, “Ditunggu Rafa!”
“Di tempat biasa ya!” Oh, astaga, kenapa kamu ikut-ikutan?
Kontan aku langsung menutup wajah begitu menyadari kalau
kalimat itu diucapkan olehmu.
Belum lagi aku berhasil mencerna apa yang baru saja
terjadi, aku bisa mendengar kalian berempat meneriakkan kata
“Mwah!” dengan genitnya sebelum berlari sekencang mungkin
menjauhi kelasku. Dengan pasrah kutempelkan wajahku ke atas
meja. Tawa memenuhi penjuru ruangan, beberapa di antara
mereka bahkan melirikku sembunyi-sembunyi.
Benar-benar memalukan.
“Kejora yang dimaksud itu kamu?” Pertanyaan Bu Marta
terdengar di antara ingar bingar suasana kelas. Aku hanya
bisa menatapnya serbasalah. Tidak cukup berani untuk
menganggukkan kepala.

113
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Ya elah, Bu,” cetus salah satu teman sekelasku. “Siapa lagi
di sekolah ini yang namanya Kejora?”
Mendengar ucapan teman sekelasku, Bu Marta langsung
menatapku dengan pandangan menyelidik. “Kamu kenal sama
anak-anak badung itu?”
Aku benar-benar menahan diriku sendiri untuk tidak
menghela napas berat. Meski aku telah mengetahui alasan
sebenarnya kenapa kamu kerap kali disebut sebagai tukang
buat onar, tetapi tetap saja aku kesal sendiri setiap mendengar
orang lain menyinggung tentang reputasimu yang satu itu.
“Aduh, Kejora, ngapain kamu dekat-dekat mereka?” ujar
Bu Marta dengan nada nyaring saat aku menganggukkan
kepala. “Mereka itu usil sekali, kalau di mata pelajaran saya
selalu saja membuat keributan. Apalagi si Karel itu! Masa dia
pernah memutar lagu dangdut waktu saya lagi mengadakan tes,
volumenya kuat sekali pula. Nggak sopan anak itu.” Aku bisa
melihat kilatan emosi di mata Bu Marta saat beliau menyebut
nama Karel. Yah, temanmu yang satu itu memang hiperaktif.
Aku tidak heran.
“Kejora kan nggak sama Karel, Bu,” sahut suara lain dari
sudut kelas. “Kejora mah sama Rafa.”
Mendengar itu, Bu Marta kontan mendengus keras. “Ah,
Rafa itu juga sama aja kayak Karel.” Bu Marta benar-benar
terlihat kesal saat menatapku. “Karel yang mutar lagu, dia yang
joget.”
Seluruh penjuru kelas langsung tertawa terbahak-bahak
saat mendengar ucapan Bu Marta, sementara aku hanya bisa
menunduk dalam dan menempelkan keningku ke permukaan
meja. Rasanya aku benar-benar malu, kesal, dan geli. Aku tidak
tahu apa yang harus kurasakan. Dari sudut mataku, aku bahkan

114
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

bisa melihat Noah yang ikut menatapku seraya menjulurkan


lidah. Cih, dasar.
Begitu bel pulang berbunyi, aku langsung melangkah
gontai menuju Studio Band dan mengempaskan tubuhku di
atas sofa dengan bibir mengerucut. Kejadian di kelas tadi sukses
membuatku mood-ku naik turun.
“Rafa, ih nyebelin.” Aku mendelik sebal saat kamu
mengambil tempat di sebelahku. Tak lupa pula aku melayangkan
pandangan maut ke arah Karel, Klana, dan Adrian yang mulai
cekikikan. “Aku kan tadi lagi pelajarannya Bu Marta, diomelin
tau.”
“Serius, Bu Marta?” Karel langsung tertawa lebar. Seakan
fakta kalau Bu Marta yang mengajar di kelasku hari itu
merupakan hal paling lucu di dunia.
Adrian lalu menatapku dengan sorot serius yang dibuat-
buat sambil mengacungkan dua jari. “Ada dua hal yang nggak
Bu Marta sukai di dunia ini.”
“Pertama, murid yang nggak buat PR,” sambung Klana datar,
pandangannya fokus pada layar ponsel dalam genggamannya.
“Kedua, kami berempat!” tambahmu dengan nada ceria.
Nyaris bangga, kalau menurutku.
Langsung saja aku mendengus keras-keras. “Dasar badung.”
Turns out, kamu dan teman-temanmu mengajakku untuk
ikut kalian ke Pulau Seribu di akhir pekan dalam rangka
mengajak adik Adrian yang datang dari Belanda berlibur. Aku
tidak pernah pergi ke sana sebelumnya—Bunda dan Ayah terlalu
sibuk untuk menemaniku sedangkan Noah membenci kapal
dan semua alat transportasi yang terapung di air. Maka, setelah
menimbang-nimbang sejenak aku rasa tidak ada salahnya jika

115
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

ikut bersama kalian. Satu-satunya yang perlu kudapatkan


hanyalah izin orangtuaku. Ya, kurasa akan menyenangkan.

Lucunya, aku tidak mengalami kesulitan berarti saat meminta


persetujuan Bunda dan Ayah. Lain halnya dengan Noah. Meski
Bunda dan Ayah telah memberikan izin sehingga sahabatku itu
tidak bisa melarangku sama sekali untuk tidak pergi, dia kerap
kali merecokiku dengan berbagai pertanyaan seperti, “Lo nggak
cewek sendiri, kan? Nanti kalau lo diapa-apain gimana?” atau
“Nggak nginap, kan? Awas aja kalau nginap, gue jemput lo ke
sana naik sampan,” dan “Lo pengin banget pergi ke sana ya?
Pengin banget pergi ke sana karena pemandangan atau karena
Rafa? Gue takut ah, ngebiarin lo pergi sama mereka. Nggak
usah pergi deh, Lucil. Pergi sama gue aja kapan-kapan”.
Aku menghentikan kegiatanku memasukkan barang
bawaan ke dalam ransel dan menatap Noah kesal. “Noah, lo itu
cerewetnya ngalah-ngalahin nyokap gue dikali tiga, tau nggak?”
“Nanti kalau lo kenapa-kenapa kan gue juga yang repot
nyariin lo,” tukas Noah seraya menyandarkan tubuhnya di
depan pintu kamarku.
Aku menghela napas berat. “Beneran? Cuma itu alasan lo?”
Mendengar pertanyaanku, Noah kontan menatapku
bingung. “Maksud lo?”
“Ini karena Rafa, kan? Lo bujuk gue buat nggak pergi
karena gue perginya bareng Rafa. Kalau gue pergi sama orang
lain, gue berani taruhan lo bakal santai aja,” balasku, tepat
sasaran. Ya, bukannya aku tidak tahu alasan sebenarnya di

116
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

balik omelan Noah. Sahabatku itu, apa yang dia lihat di dirimu
sampai-sampai sangat berat baginya untuk memercayai kamu?
Noah memasukkan tangannya ke dalam saku celana selagi
tatapannya dialihkan entah ke mana. Aku tahu tebakanku
sepenuhnya benar. “Gue kan pernah bilang, gue nggak bisa
percaya dia untuk jagain lo,” ucap Noah.
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Perlahan, aku
mengambil langkah lebar ke arah Noah dan mendaratkan
tanganku di kedua pundaknya, memaksanya menatapku lurus-
lurus meski aku sedikit berjinjit. “Noah, lo lihat gue, apa sih
yang bikin lo segitu nggak sukanya sama Rafa?”
“He’s just not right for you, Kejora.” Helaan napas mengikuti
kalimat sederhana yang Noah ucapkan. Kalimat itu membuatku
tertegun selama beberapa saat. Bagaimana bisa dia berkata kalau
kamu tidak tepat untukku? Bagaimana bisa dia menentukan hal
semacam itu? Aku mengamati Noah, berusaha memahami apa
maksud sebenarnya di balik kalimatnya dan apa arti dari sorot
matanya yang mendadak tak bisa kubaca. Namun, yang kudapat
adalah nihil. Aku tak mengerti sama sekali.
Kesal, cepat-cepat aku mengembalikan fokus pada barang-
barang dan ranselku. “Oh, ya? Terus siapa yang menurut lo
tepat buat gue?” tukasku sinis.
Noah memilih untuk bungkam. Selama sepersekian detik,
aku rasa aku sempat melihat sorot sedih di kedua matanya.
Atmosfer di antara kami terasa asing. Aku dan Noah memang
sering berdebat, tapi perdebatan semacam ini—apalagi sampai
aku mengeluarkan nada kasar—bukanlah jenis perdebatan
yang sering kami hadapi.
“Ya mana gue tau, memangnya gue biro jodoh,” gumam
Noah pelan tapi cukup untuk kudengar.

117
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Tanpa bisa kutahan, seulas senyum geli muncul di


bibirku. Cepat-cepat aku menarik zipper ranselku sebelum
menyandangnya dan melangkah hingga aku berdiri tepat di
hadapan Noah. “Gue tadinya mau marah sama lo karena lo
ngomel mulu,” akuku. “Tapi, lo pakai acara ngelawak segala.
Gagal marah kan gue?” Aku lalu tersenyum kecil, mengusap
lengan Noah. “Gue nggak tau apa dia baik buat gue dan lo juga
nggak tau soal itu. Kita sama-sama nggak tau, jadi gue harap
lo bakal biarin aja semuanya mengalir. Lagian kalau lo segitu
khawatirnya sama gue, mending sekarang lo anter gue ke
pelabuhan. Buruan, takut telat.”
Noah berdecak sebal saat mendengar ucapanku. Namun,
dengan cepat dia mengambil kunci mobil dan berjalan
menyusulku. Setelah mendengarkan petuah panjang dari Noah
dan mengitari pelabuhan sendirian selama beberapa menit, aku
menemukan kamu, Karel, Klana, dan Adrian yang tersenyum
sambil melambaikan tangan ke arahku.
“Hai, maaf telat.” Aku balas tersenyum setibanya di hadapan
kalian. Dari sudut mataku, aku bisa melihat seorang perempuan
dengan rambut panjang dan wajah yang menunjukkan dengan
jelas kalau dia tidak sepenuhnya berdarah Indonesia berdiri di
samping Adrian. Aku langsung mengambil kesimpulan kalau
itu adalah adik perempuan Adrian yang dia bicarakan kemarin.
“Oh, iya, Kejora, ini Ava,” cetus Adrian saat memergokiku
mengamati Ava. “Ava ini, Kejora.”
Ava menyunggingkan senyum lebar. Dengan semangat dia
langsung menggamit tanganku, “Pleasure’s to meet you, Kak.”
Kamu lalu mengambil tempat tepat di sebelahku sebelum
pada akhirnya menyunggingkan senyum lebar dan mengacak
rambutku seraya berkata riang. “Let the holiday begin!”

118
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Unfortunately, perjalanan kita tidak semenyenangkan


kelihatannya. Yah, maksudku tentu saja Kepulauan Seribu
merupakan tempat yang indah, terlebih lagi Pulau Tidung. Aku
tidak akan menceritakan apa yang terjadi di sana secara detail
karena toh tidak ada momen spesial yang terjadi antara aku dan
kamu selama kita berada di sana.
Begitu feri yang kita naiki menepi, Karel tanpa malu
langsung melompat ke dalam air dan berenang dengan berbagai
macam gaya. Aku juga tidak mengerti kenapa, tetapi temanmu
yang satu itu kelihatannya sangat senang melihat air. Mungkin
dia memiliki impian terpendam untuk menjadi duyung?
Entahlah. Setelah itu, kita sempat berkeliling pulau. Aku dan
Ava memilih untuk duduk di bawah pepohonan saat matahari
mulai meninggi. Panasnya benar-benar menyengat kulit, aku
yakin sepulangnya dari Pulau Tidung, kulitku pasti gelap.
Namun, sepertinya terik matahari tidak menjadi masalah
bagimu dan teman-temanmu. Sepanjang hari kamu, Karel,
Klana, dan Adrian sibuk mencoba berbagai macam permainan
yang ada. Kalian bahkan menaiki banana boat sampai berkali-
kali. Aku dan Ava cukup sekali saja menaiki benda itu. Rasanya
jantungku hampir lepas.
Lalu, setelah puas seharian bermain dan menjelajahi
pulau, kita berlima langsung bersiap-siap untuk mengejar feri
kembali ke Jakarta. Lihat, kan? Memang benar-benar tidak
ada yang spesial dengan liburan kita di pulau itu. Kamu sibuk
menghabiskan waktumu bersama ketiga temanmu, dan aku

119
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

sibuk mendengar Ava yang berceloteh tentang teman-teman


barunya di Indonesia. Semacam girl days out.
Aku hampir saja menyesali keputusanku untuk ikut
bersama kamu ke pulau itu. Tetapi, apa yang terjadi di perjalanan
pulang sukses membuatku mengubah keputusanku. Itu bukan
hari terbaik dalam hidupku, tetapi itu adalah hari terbaik dalam
perjalanan kisah kita.

Di perjalanan pulang, aku tidak bisa menahan rasa mual yang


menyerang. Berulang kali aku merutuki diriku sendiri karena
lupa membawa obat antimabuk laut yang kuminum sebelum
berangkat. Sambil bergerak-gerak gelisah, kulirik kamu yang
duduk di sebelahku seraya memejamkan mata. Tidurkah?
Entahlah aku juga tidak tahu.
Dengan hati-hati, aku perlahan bangkit dan berjalan keluar.
Embusan angin yang cukup kencang langsung menerpaku.
Kulangkahkan kaki menuju pagar pembatas yang mengelilingi
seluruh sisi feri dan kugenggam erat-erat. Kutarik napas dalam-
dalam dan kuembuskan berulang kali. Setidaknya, menghirup
udara segar membuat rasa mualku sedikit berkurang.
“Kenapa, Ra? Kok di luar?” Suara khas milikmu sukses
membuatku kaget dan membalikkan tubuh. Untung saja tadi
aku berpegangan pada pagar pembatas, kalau tidak mungkin
aku sudah terjatuh saking kagetnya.
“Cari angin, Raf,” balasku, memaksakan seulas senyum
tipis. “Mual. Tadi pagi sempat minum obat sih, tapi lupa bawa
buat pulang.”

120
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu lalu menatapku dengan pandangan itu. Sorot yang


tidak bisa kubaca sama sekali meski aku sudah berusaha sangat
keras untuk melakukannya. “Kok kamu nggak bilang? Kalau
kamu bilang kan bisa gue beliin.”
“Nggak apa-apa.” Aku menggeleng pelan. “Nggak mau
ngerepotin aja.”
“Sori ya, Ra.” Kamu mengucapkan kalimat itu dengan lirih,
membuatku bingung sendiri.
“Buat apa?” tanyaku.
Ganti kamu yang memaksakan seulas senyum tipis.
Seakan hal yang akan kamu ucapkan berikutnya benar-benar
membebani kamu. “Karena nggak sadar kalau kamu ternyata
nggak enak badan.”
Aku kontan tertawa saat mendengar ucapanmu. “Astaga,
Raf, biasa aja kali. Nggak masalah.”
Sekilas, aku bisa merasakan kalau sore itu kamu terlihat
berbeda. Seakan ada hal yang membebani pikiranmu, tetapi
ragu untuk kamu ungkapkan. Meski heran dengan sikapmu
yang tidak biasa, aku memilih untuk tidak terlalu ambil pusing.
Kualihkan pandanganku pada langit yang warnanya mulai
berubah jingga. Aku menyukai senja jauh lebih besar daripada
rasa sukaku saat melihat matahari terbit.
“Ra, jadian yuk?”
Seluruh lamunan dan teori tentang matahari terbenam
yang tadinya muncul di kepalaku langsung lenyap saat aku
mendengar tiga kata yang kamu ucapkan. Dengan wajah
yang pastinya terlihat sangat bodoh aku membalikkan
badan, mendapati kamu menatap lurus ke arahku dengan alis
dinaikkan, dan senyum penuh teka-teki yang tersungging di
bibirmu.

121
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Aku mendengus keras-keras. “Kamu itu ngajak jadian kayak


ngajak pulang bareng ya, Raf.”
Kamu tertawa. Perlahan tetapi pasti kamu melangkahkan
kaki hingga berdiri tepat di hadapanku. Senyum yang sangat
kusukai itu masih terukir di bibirmu. “Gue nggak pernah anggap
kamu hanya sekadar teman dan gue yakin kamu udah tau itu.”
Ya, aku tau. Karena jujur, Raf, aku juga tidak pernah
menganggap kamu hanya sekadar kakak kelasku. Apa yang kita
miliki, aku tidak tahu bagaimana harus menjabarkannya, tetapi
semuanya terasa spesial.
Saat kamu berdiri di hadapanku dan menatapku lekat tepat
di mata, aku yakin jantungku nyaris tidak berfungsi lagi. Sorot
matamu yang lembut dan nada bicaramu yang menyiratkan
kesungguhan cukup untuk membuat lututku lemas.
“Gue nggak bisa nembak kamu ala-ala sinetron. Booking
kolam renang hotel, fancy dinner pakai lilin di mana-mana. Uang
jajan gue aja pas-pasan, Ra, mana sanggup. Gue juga nggak bisa
beliin kamu boneka supergede sama cokelat mahal satu kotak
terus nembak kamu di tengah lapangan sekolah, gue tau kamu
benci jadi pusat perhatian. Jadi, gue cuma bisa nembak kamu di
sini, seperti ini.”
Kamu menunduk, terlihat sedikit malu. Senyum kecil
tersungging di bibirmu. “Gue tau ini waktu yang sangat nggak
tepat, di atas feri penyeberangan, sementara lo lagi nggak enak
badan. Nggak banget kan, Ra?”
“Sekarang gue memang belum punya apa-apa,” sambungmu
lagi saat mendapati aku masih bergeming. “Semua juga masih
atas nama orangtua. Tapi, gue janji bakal berusaha keras supaya
mampu jadi orang yang selalu bisa kamu andalkan suatu saat

122
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

nanti. Whatever it takes, as long as you’re happy with me, I’ll try
my best.”
Jarum jam masih terus berputar dan angin laut masih terus
berembus. Namun, saat aku menatap kedua manik cokelat gelap
milikmu, aku merasa kalau duniaku berhenti berputar.
“Kenapa aku, Raf?” tanyaku saat telah berhasil menemukan
suara. Mataku mendadak terasa panas. Hal yang baru saja
kamu ucapkan merupakan hal termanis yang pernah seseorang
ucapkan padaku selama belasan tahun hidupku. “Dari sekian
banyak murid yang ikut orientasi hari itu, kenapa aku?”
Kamu menyelipkan helaian rambutku yang jatuh menutupi
wajah ke belakang telinga sebelum menjawab, “Gue juga nggak
tau.”
Senyum itu masih terukir di wajahmu. Senyum yang selalu
berhasil membuatku jatuh dan bertekuk lutut. “Mungkin
karena kamu yang paling terang di antara mereka semua? Buat
gue, kamu selalu jadi bintang yang paling terang. Bintang yang
jaraknya dua langkah dari sang mentari. Kejora. Kamu cahaya
yang menuntun gue pulang.”
Aku benar-benar berusaha sangat keras untuk tidak
menangis hari itu. Kamu membuatku merasa seakan aku benar-
benar berarti di hidupmu. Seakan aku ini sepotong kecil puzzle
yang setelah sekian lama kamu cari, akhirnya kamu temukan.
Seakan di saat kita bersama, kamu bisa mendengar bunyi klik
yang menandakan kalau aku memang sudah seharusnya berada
di sisimu.
Melihatku yang masih bergeming, kamu meraih tanganku
dan menggenggamnya perlahan. Detik ketika kamu kembali
buka suara, adalah detik ketika hatiku melambung tinggi jauh

123
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

ke udara. “Gue sayang sama kamu, Lucillia Kejora. Jadi, apa


jawaban kamu?”
Tanpa bisa ditahan, aku langsung menghambur ke
pelukanmu. Menenggelamkan wajahku di dadamu seraya
menggumamkan kata, “Ya.” Aku bisa merasakan kedua
lenganmu yang balas memelukku dan hangat napasmu di
kulitku saat kamu menyandarkan dagumu di bahuku. “Ya,
Rafa. Aku juga sayang kamu.”

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

124
pustaka-indo.blogspot.com
Sinar
yang Menembus
Jendela
Day 6: Lausanne—Glacier 3000—Zurich
15 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang sikap manisnya selalu berhasil membuatku meleleh seperti es
krim di bawah sinar matahari.)

Halo, Rafa.
Well, surat yang kedua untuk hari ini. Entah kenapa aku
tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam
dan aku masih terjaga tanpa alasan yang jelas. Sangat tidak
masuk akal.
Omong-omong, aku sedang berada di Zurich, kalau kamu
penasaran. Malam ini aku dan rombongan tur menyempatkan
diri untuk bermalam di sini sebelum memulai perjalanan
panjang ke Amsterdam. Tidak kusangka aku hampir melalui
setengah liburanku.

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Sejauh ini, aku sangat menyukai momen ketika aku


mengunjungi Glacier 3000 siang tadi. Meskipun udara dinginnya
benar-benar menusuk dan membuatku hampir kesulitan
bernapas, aku tetap menyukai tempat itu. I’m not in the mood
to blurb about how good it feels like to be there for now. Toh, suatu
saat nanti aku berani bertaruh kamu akan mengunjungi tempat
ini juga. Entah bersama Karel, Klana, dan Adrian atau mungkin
bersama gadis berambut merah itu? Entahlah. Aku tidak tahu
dan tidak mau tahu.
Yang jelas, aku hanya bisa memberi saran agar kamu
berkunjung ke sini di saat musim dingin sedang berlangsung.
Karena jika kamu mengunjunginya di luar musim dingin, kamu
tidak akan memiliki kesempatan untuk menaiki Optional
Alpine Coaster yang merupakan roller coaster alpine tertinggi di
dunia. Kalau kamu mengunjungi Glacier 3000 bersama Karel,
pastikan dia menaiki wahana itu. Aku berani bertaruh dia akan
berteriak histeris dan wajahnya pucat pasi.
Oh, and I highlyrecommend you not to come alone without any
close friend—just like what I did. Kalau kamu bertanya kenapa,
aku hanya tidak ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan
sekarang, Raf. Sepi. It’s just me. Standing at the balcony all by my
self. Looking through the snow with my heart thudding brokenly on
my chest while wishing you were still here.

Kamu mungkin tidak pernah tahu, tetapi butuh waktu lama


bagiku sampai akhirnya memiliki cukup keberanian untuk
bercerita perihal hubungan kita pada Noah.

126
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Yah, bukan karena aku takut dia memarahiku, melainkan


karena aku takut akan bagaimana hubungan kami ke depannya.
Maksudku, kamu tentu pernah menonton ilm-ilm klise
tentang persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang
kandas karena salah satu dari mereka menemukan pasangan,
bukan? Movies often tell us that it wont work that way. Dan hal
itulah yang kukhawatirkan.
Hari itu, tepatnya Minggu malam, aku sedang berada
di rumah Noah. Om Albert mengundang Ayah dan Bunda
untuk makan malam bersama. Selagi kedua orangtua kami
mengobrol seru di ruang keluarga dengan cangkir teh yang
tak pernah kosong dan piring keramik cantik berisi kue, aku
memilih untuk duduk manis di meja belajar yang terletak di
kamar Noah sembari membaca buku berjudul 5 Menit Pintar
Biologi kepunyaan Noah. Sahabatku itu sedang asyik tenggelam
dalam seri komik Detektif Conan kesukaannya—fakta menarik
tentang Noah, meski gila belajar, dia masih menyempatkan
diri untuk membaca kisah Detektif yang satu itu—terlihat
tidak peduli dengan fakta kalau besok kami akan mengadakan
ulangan Biologi.
Aku tidak heran dengan sikap Noah. Sahabatku itu memang
terlalu pintar. Kadang aku curiga IQ-nya menyamai Einstein.
Berlebihan, aku tahu. Tetapi, sejak masih di elementary school
dulu Noah memang selalu meraih peringkat pertama. Pernah
sekali waktu kelas empat, peringkatnya turun di posisi kedua.
Aku tahu kalau dia berusaha keras untuk tidak menangis
waktu itu—being a strong little boy he is—dia tersenyum kecil
dan mengatakan kalau itu kesalahannya karena tidak belajar
lebih giat. Bisa ditebak, setelah itu Noah belajar mati-matian

127
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

sampai akhirnya dia berhasil merebut kembali posisinya. He’s so


passionate at some point.
Aku mengusap kedua mataku dan menutup buku Biologi
yang sedari tadi kubaca. Pikiranku tidak fokus. Aku merasa
kalau itu timing yang tepat untuk memberi tahu Noah tentang
kita, tetapi bagaimana cara untuk mengawalinya?
Ragu-ragu aku melirik Noah yang masih tenggelam dalam
bacaannya, samar-samar aku bisa mendengar lagu “Someday
We’ll Know” milik New Radicals yang mengalun dalam volume
pelan dari CD Player yang terletak di sudut kamarnya—lagu
lama, tipikal Noah. Kuusapkan kedua tanganku gugup, bersiap
untuk memanggil Noah dan mengatakan apa pun yang kali
pertama terlintas di kepalaku saat dia menoleh nantinya.
Tetapi, sebelum aku sempat buka suara dia sudah lebih dulu
mendahuluiku.
“You look distracted, what’s up?” Noah tidak melihatku saat
menanyakan hal itu. Manik hitam-kebiruan miliknya tetap
fokus pada komik dalam genggamannya.
Aku melirik laki-laki berambut kecokelatan yang sedang
bersandar di atas tempat tidur itu seraya menghela napas
keras-keras. “Gue jadian,” ucapku, pelan sekali—hampir
menyerupai bisikan. Saat mendapati Noah yang bergeming aku
menambahkan, “Sama Rafa.”
Komik yang sedari tadi menutupi wajah Noah langsung
diturunkan ketika aku menyelesaikan kalimatku. Sahabatku
itu melirikku sekilas—ekspresi di wajahnya benar-benar tak
terbaca—sebelum dia menggumamkan kata ‘oke’ dan kembali
fokus melanjutkan kegiatannya, membuatku hanya bisa
menganga takjub.
“Noah,” panggilku. “Serius? Respons lo cuma gitu doang?”

128
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kali ini Noah menutup komiknya. Sahabatku itu lalu


menatapku dengan satu alis dinaikkan. “Jadi, lo maunya gue
gimana? Datangin lo terus teriak-teriak supaya lo putusin dia?
Gebukin dia karena udah berani-beraninya macarin lo? Atau
ngelihat lo dengan muka kecewa dan mata berkaca-kaca sambil
megang-megang dada?”
Pertanyaan beruntun yang dilemparkan Noah membuatku
meringis. “Ya nggak gitu juga. Tapi tadinya gue pikir lo bakal
marah besar.”
Noah kemudian menatapku lekat untuk waktu yang cukup
lama. Manik hitam-kebiruan yang selama ini selalu bisa kubaca
terasa asing. “Lo bahagia?” tanya Noah.
“Ya,” jawabku pendek.
Noah tersenyum tipis. “Ya udah kalau gitu lo nggak perlu
persetujuan gue.”
Aku baru saja akan protes saat mendengar ucapannya yang
bernada inal itu, tetapi lagi-lagi dia kembali mendahuluiku.
“Setiap orang punya hak untuk menentukan kebahagiaannya
sendiri, Lucil. Gue memang sahabat lo dari kecil, tapi bukan
berarti gue punya hak untuk melarang lo mendekati apa-apa
yang bikin lo senang hanya karena gue nggak suka dengan hal
itu. Gue minta maaf kalau selama ini gue cerewet dan kekanak-
kanakan. Mungkin semua itu karena ini pertama kalinya lo dekat
sama cowok yang gue lihat berpotensi jadi lebih dari teman buat
lo. Lagian bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita nggak tau
apa memang dia benar untuk lo atau nggak? Kalau ternyata dia
memang benar buat lo, yah, itu takdir, kan?”
Aku terdiam selama beberapa saat. Perkataan Noah
memunculkan sensasi aneh di dalam dadaku. Terharu, mungkin

129
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

merupakan kata yang tepat. Maka, sambil ikut tersenyum aku


membalas, “Whoa, the Peter Pan is all grown up now.”
“Superman,” koreksi Noah langsung, tertawa pelan.
Sahabatku itu lalu menatapku serius tepat di mata. “Tapi, itu
bukan berarti gue nggak akan nendang dia sampai ke Kali
Grogol kalau dia berani bikin Lois Lane gue nangis. Gue akan
pastikan dia lebih memilih tinggal di Mars daripada di Bumi
kalau dia nyakitin lo.”
Aku mendengus mendengar perkataannya. “hanks ya,
Noah,” ucapku tulus sementara Noah hanya mengangkat bahu
acuh tak acuh. Laki-laki itu kembali meraih komiknya dan
mulai membaca. Namun, aku masih duduk bergeming di sana,
menatapnya dengan mata yang mulai memanas.
“Nggak, gue serius,” sambungku lagi seraya mengusap
sudut mataku. Detik itu adalah detik ketika aku merasa sangat
bersyukur memiliki Noah sebagai sahabat. “Serius, makasih
banget karena lo bersedia jadi sahabat gue yang meskipun rewel
dan tengil selalu bisa jagain gue dan gue andalkan.”
Noah menurunkan komiknya saat mendengar kalimat
yang kuucapkan dengan suara serak itu. Senyum hangat terukir
di wajahnya. “Lo masih Lois Lane gue kok, Lucil. Meskipun
sekarang lo mungkin udah nemu Superman-nya lo, tapi lo udah
gue anggap kayak keluarga gue sendiri. Jagain lo sampai tua
juga nggak apa-apa.”
Aku langsung mendengus geli saat mendengar kalimat
terakhir Noah yang diucapkan dengan nada jenaka. “Males
banget kalau gue harus nikah sama lo.”
“Lah? Memangnya kenapa?” Noah memasang cengiran
lebar. “Gue kan ganteng, dan selalu bisa diandalkan—seperti
yang tadi lo katakan.”

130
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Justru karena itu, lo harus cari cewek yang pantas juga


buat lo,” balasku, sepenuhnya serius dengan ucapanku.
Noah kontan mengernyit. “Jadi, lo ngerasa nggak pantas
buat gue?” Seringai jail itu masih belum hilang dari wajahnya.
“Mendadak gue ngerasa keren banget. Memangnya di mata lo
gue sehebat Pangeran Charless?”
Langsung saja aku mendengus keras dan memilih untuk
mengembalikan fokusku pada buku Biologi di atas meja belajar
Noah. “Nyesel gue muji lo, sumpah.”

Beberapa hari setelah aku memberi tahu Noah perihal kita, aku
ingat berkunjung ke rumahmu dan menemukan kejutan yang
tak pernah kuduga di sana.
Waktu itu sudah terhitung tiga bulan sejak kita bersama dan
belum pernah sekali pun aku menginjakkan kaki di rumahmu,
sementara kamu sendiri sudah seperti anggota keluarga
tambahan di keluargaku. Ya, kamu memang sering berkunjung
ke rumah—untuk sekadar menemaniku movie marathon di akhir
pekan, menemani Ayah mengobrol dan menjadi lawan beliau
bermain catur, atau mencicipi masakan Bunda dengan sukarela
saat beliau mencoba membuat resep baru. Kedua orangtuaku
menyukaimu nyaris sebesar aku menyukai kamu. Sementara
kedua orangtuamu mungkin tidak tahu kalau aku ada.
Aku tidak ingat tepatnya kenapa aku bisa berkunjung
ke rumahmu hari itu, yang jelas ketika aku melangkahkan
kaki ke ruang tamu, seorang perempuan cantik dengan
tubuh tinggi menyapaku hangat. Perempuan itu adalah Tante

131
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Dian, ibumu. Beliau terlihat lebih mirip kakakmu dari pada


orangtuamu karena wajahnya yang sangat muda. Terlebih lagi,
Tante Dian juga menyukai—nyaris terobsesi—pada drama
korea, membuatnya nyaris terlihat seperti remaja. Tante Dian
memintaku berjanji untuk menemaninya hunting DVD di lain
waktu dan tentu kusanggupi. Setelah memperkenalkanku dan
Tante Dian serta membiarkan kami mengobrol sebentar, kamu
lalu menuntunku menuju tangga.
Lantai dua rumahmu tidak terlalu besar. Dari ujung tangga
aku bisa melihat sebuah rak dengan LCD, PlayStation, tumpukan
DVD, dan karpet berwarna marun diletakkan di depan rak.
Tak jauh dari tangga, aku mendapati dua buah pintu. Yang
satu berwarna cokelat polos dan yang satunya lagi sudah tidak
terlalu jelas bagaimana bentuknya karena penuh dengan stiker-
stiker lusuh—mirip dengan stiker yang ada di gitarmu. Insting
pertamaku adalah; itu pasti kamarmu. Tetapi, sepertinya aku
melupakan sifatmu yang tidak tertebak, karena bukannya
menuntunku ke pintu yang penuh dengan stiker, kamu malah
menuntunku ke pintu yang satunya.
“I have something to show you,” ucapmu antusias dengan mata
berbinar. Kamu lalu memutar handle dan membiarkan pintunya
terbuka lebar. “Step in,” katamu. Namun, aku memilih untuk
diam. Maksudku, aku tahu kalau ada Tante Dian di bawah dan
kamu tidak mungkin melakukan hal aneh padaku. Namun, satu-
satunya kamar laki-laki yang pernah kumasuki hanyalah kamar
Noah. Aku merasa benar-benar canggung untuk melangkahkan
kakiku ke dalam. “Gue nggak ada niatan buruk ke kamu, Kejora
sayang. Gue cuma mau kamu lihat sesuatu di dalam.”
Kalimat terakhirmu membuatku mendengus geli. Jujur,
aku cukup penasaran dengan apa yang sebenarnya ingin kamu

132
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tunjukkan padaku. Maka, setelah memberanikan diri aku pun


melangkah masuk.
Surprisingly, aku tidak mendapati baju kotor yang
berserakan di mana-mana dan tempat tidur penuh kertas serta
barang-barang seperti kamar anak laki-laki pada umumnya.
Kamarmu … rapi dan teratur. Dengan lantai kayu berwarna
cokelat gelap, rak buku berukuran besar yang lucunya diisi
dengan jajaran album-album milik penyanyi yang namanya
tidak familier di telingaku—diurutkan berdasarkan warna,
action igure karakter Marvel dan beberapa pigura berisi foto
masa kecilmu. Jumlah buku di sana mungkin tidak lebih dari
sepuluh.
Tempat tidurmu terletak di tengah ruangan—menurutku
ukurannya cukup untuk dua orang. Sebuah jendela besar
yang ditutupi tirai berwarna biru gelap terletak di bagian kiri
kamar, bersebelahan dengan meja kecil yang terletak persis di
samping tempat tidur. Aku kembali menemukan sebuah LCD—
meski kali ini berukuran lebih kecil—yang diletakkan persis di
dinding yang sejajar dengan tempat tidur. Kamarmu sendiri di
cat putih, dengan tempelan poster dan potongan lirik lagu yang
menempati dinding polos di atas tempat tidurmu. Singkat kata,
kamar itu bukan seleraku, tetapi aku menyukainya.
Namun, yang mengagetkanku bukanlah fakta bahwa
kamarmu sangat bersih dan rapi untuk ukuran anak laki-laki,
melainkan karena aku mendapati windowsill yang dilapisi matras
tipis dan bantal serta boneka warna-warni khas perempuan di
sisi kanan kamarmu. Aku langsung menutup mulutku dengan
kedua tangan, berusaha menyembunyikan senyum lebar yang
mulai muncul di bibirku.

133
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Oh my …,” ucapku takjub. Perlahan tapi pasti aku berjalan


ke arah windowsill tersebut dan menyentuh boneka kelinci
berukuran kecil yang terletak di sana. “Kamu itu unpredictable
banget, ya.”
Aku rasa kamu tidak menyadari kalau kalimat yang aku
ucapkan merupakan pernyataan dan bukannya pertanyaan
karena kamu membalas, “I am what I am.”
“Bisa kasih alasan?” Kali ini aku mengalihkan pandanganku
dari boneka-boneka lucu yang ada di windowsill kamarmu dan
menatapmu dengan cengiran yang pastinya terlihat bodoh.
“Alasan kenapa kamu sampai niat banget bikin windowsill
di kamar hanya karena aku bilang aku pengin banget punya
windowsill di kamarku, tapi nggak kesampaian?”
Aku ingat beberapa bulan sebelum aku berkunjung ke
rumahmu, aku sedang menemani kamu makan siang di sebuah
food court yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Kamu bercerita
kalau orangtuamu sedang gencar-gencarnya melakukan renovasi
rumah dan bulan itu tibalah kamarmu mendapat giliran.
Saat itu aku mengatakan kalau aku jadi kamu, aku pasti akan
meminta windowsill di kamarku. Saat kamu bertanya kenapa,
aku ingat menjawab, “Karena aku pengin banget dari kecil bisa
duduk di sana, baca buku ditemani matahari terbenam. Apalagi
sambil minum cokelat panas. Pasti asyik banget. Tapi sayang
nggak pernah kesampaian.”
Aku tidak menyangka kalau kamu menganggap ucapanku
waktu itu sebagai sebuah permintaan yang harus kamu penuhi.
Kamu tersenyum tipis. “Karena gue bakal amat sangat
senang lihat kamu nongkrong di kamar gue.” Manik kecokelatan
milikmu kontan membesar saat mendapati aku menatapmu
dengan kening berkerut. Cepat-cepat kamu menambahkan,

134
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Sori, omongan gue sangat ambigu. Tapi maksud gue, it would


be great to see you sitting on my windowsill as the ray of sunlight
tracing your outlines. Itu memberi gue … inspirasi.”
“Indirectly, kamu baru aja bilang kalau aku inspirasi kamu,”
ucapku tanpa bisa ditahan.
Kamu mengangguk mantap, tawa kecil meluncur dari
bibirmu. “Yes, you are. Masa kamu nggak sadar sih?” Perlahan
kamu lalu melangkah hingga akhirnya kamu berdiri tepat
dihadapanku, “Seperti kisah Joe Jonas dan Demi Lovato di ilm
Camp Rock—“
“Kamu nonton ilm itu?” potongku heran “Itu kan ilm
cewek.”
“hat was years ago, bareng Karel, Klana, dan Adrian yang
dipaksa Ava waktu dia liburan di Indonesia,” terangmu sebelum
kembali melanjutkan apa yang ingin kamu katakan. “Tapi,
poinnya bukan itu. Kamu lihat nggak scene ketika Joe Jonas lagi
buntu, nggak punya inpirasi, benar-benar lost, terus tiba-tiba
dia ngelihat Demi Lovato lagi main piano?”
Aku mengangguk meskipun belum bisa menebak ke mana
arah pembicaraan kita waktu itu. “He’s so completely lost in the
way her ingers dancing through the melody. Dan hal yang sama
berlaku buat gue. Tiap gue lihat kamu, di sekeliling kepala
gue seakan ada pelangi. Hal-hal kecil yang kamu lakuin selalu
berhasil menggerakkan gue untuk menciptakan nada-nada atau
sekadar menulis penggalan lirik.” Kamu lalu menatapku yang
hanya bisa bergeming tepat di manik mata sebelum berkata
dengan sungguh-sungguh, “Kamu inpirasi gue, Ra. Dari awal
kita ketemu, sekarang dan gue yakin sampai nanti.”

135
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memasang


cengiran lebar. “Have someone ever told you that your lirtiness
level is too damn high?”
“Gue gombal kan cuma sama kamu.” Kamu ikut memasang
cengiran lebar sebelum kembali serius. “Tapi beneran, Ra, gue
harap kamu nggak menganggap gue cowok mesum yang pengin
banget ada cewek main di kamarnya. Gue cuma mau kamu
bisa merasakan gimana rasanya duduk sore-sore di windowsill,
baca buku sambil dengerin lagu boyband kesukaan kamu pake
earphone dan minum cokelat panas. Gue cuma mau berusaha
wujudin apa yang kamu impikan.”
Aku tidak tahu tepatnya bagaimana perasaanku setelah
mendengar ucapanmu. Satu-satunya yang kutahu; aku merasa
menjadi perempuan paling beruntung di seluruh dunia karena
memilki kamu di sisiku. Namun, sedetik kemudian aku
menyadari satu hal; aku bisa apa untuk mewujudkan impianmu?
“Dan aku bisa bantu apa untuk mewujudkan impian kamu,
Raf?” Pertanyaan itu kusuarakan dengan nada putus asa. Aku
tidak bisa bernyanyi. Aku tidak mengerti musik. Lalu, aku bisa
bantu apa?
Kamu tersenyum tipis. Jari-jarimu menyelipkan helaian
rambut yang jatuh menutupi sisi wajahku ke belakang telinga.
“Cukup dengan berada di samping gue,” jawabmu. “Jadi rumah
gue, tempat persembunyian gue saat gue ingin menghindar dari
seluruh dunia. Itu udah lebih dari cukup.”
Hari itu aku tersenyum dan mengangguk. Bertekad pada
diriku sendiri untuk selalu berusaha agar bisa menjadi seperti
apa yang kamu inginkan. Dan aku selalu menjadi rumah kamu,
Rafa. Selama bertahun-tahun. Tetapi, mungkin pada akhirnya

136
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

rumah yang kita tinggali terlalu sesak dan sempit hingga kamu
memutuskan untuk pergi. Mencari tempat lain untuk bernaung
tanpa pernah kembali.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

137
pustaka-indo.blogspot.com
Saat Semuanya
Lebih Mudah
Day 7: Zurich—Scaf hausen—Titisee—Frankfurt
16 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang tidak pernah sepenuhnya terbuka dan lebih suka menyimpan
semuanya sendiri.)

Time lies so fast when you’re having fun. It’s a common phrase
that we often ind everywhere; from a passage of a book, on some
random pages on the internet nor a song. And it’s magniicently true.
Aku rasa hal itu jugalah yang terjadi pada kita. Tahun-tahun
pertamaku sebagai murid sekolah menengah atas perlahan
namun pasti kulalui meski cukup melelahkan. Rutinitasku,
yah, pergi ke sekolah bersama Noah, menyempatkan diri untuk
menemani kamu latihan band sorenya atau untuk sekadar
menghabiskan waktu bersama, belajar dan mengerjakan tugas
di malam hari sambil mendengar celotehanmu lewat telepon,
dan terkadang di akhir pekan aku akan menemani Tante Dian
hunting DVD ataupun pergi menonton gig kamu.
Aku rasa bagian yang paling menyenangkan dari semua
rutinitas monotonku adalah saat aku pulang ke rumah di akhir

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

pekan setelah enam hari melelahkan bergelut dengan tugas,


membuka kotak posku, lalu menemukan amplop putih yang
berisi tiket untuk pergi ke gig-mu. Selalu seperti itu. Sederhana.
Kamu tidak perlu mengundangku agar aku datang ke sana.
Kamu hanya meletakkan selembar tiket di kotak posku dan
semudah itu aku tahu kalau kehadiranku diinginkan.
Aku rasa hal seperti itulah yang membuat rasa yang
kumiliki untukmu semakin kuat seiring berjalannya waktu. Dan
aku rasa hal seperti itu jugalah yang membuatku sulit untuk
melupakanmu, meskipun tahunan telah berlalu. Aku terus
berpegang pada apa yang dulu kita punya. Tawamu, candaan
yang dulu kita bagi, kehadiran satu sama lain, rasa hangat di
dadaku setiap kamu berada di sisiku—semuanya.
I think that’s the problem with memories. Waktu mungkin
hilang dan berganti, tetapi kenangan tidak. It roots in your
head. Bahkan, meski kita coba untuk lupakan, kenangan tetap
melekat. Mungkin suatu saat akan memudar tetapi tak pernah
lepas seutuhnya.
Suka atau tidak suka, satu-satunya yang harus kulakukan
sekarang adalah tetap hidup dengan kenangan itu tanpa
memohon agar kita bisa terulang.

Hari itu aku dan Maura sedang dalam perjalanan menuju


kantin saat kami berdua melintasi Studio Band dan tanpa
sengaja melihat kamu yang sedang berlatih dengan Constant
Star lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Baiklah, sebenarnya
kami mengintip dengan sengaja. Namun, bukan itu poinnya.

139
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Ada sesuatu yang berbeda denganmu hari itu. Pandanganmu


tidak fokus, gerakan tanganmu saat memetik gitar malas-
malasan, dan meski aku tidak bisa mendengar lagu yang kalian
bawakan dengan jelas, aku tahu kalau kamu beberapa kali
salah menyanyikan liriknya—aku bisa mengetahui hal itu dari
omelan Karel dan Adrian yang meminta lagunya diulang.
Sepertinya, keanehan pada dirimu itu dapat dilihat siapa
saja dengan mudah karena detik berikutnya Maura bertanya
dari balik tubuhku, “Kak Rafa kenapa, Ra? Nggak biasanya
diam aja kayak gitu, kan?”
Aku menyetujui ucapan Maura. Selama ini, setiap kali aku
menemani kamu latihan, kamu selalu menjadi orang yang paling
bersemangat di ruangan. Manik cokelat gelap milikmu akan
bersinar terang selagi jari-jarimu yang panjang menari lincah di
atas senar gitar. Kamu hampir tidak pernah menyanyikan lirik
yang salah. Maka, sikapmu hari itu cukup untuk membuatku
mengurungkan niat pergi ke kantin dan menemui kamu sebagai
gantinya.
Setelah berpamitan pada Maura dan meminta maaf karena
aku tidak jadi menemaninya ke kantin, aku mengetuk pintu
ruangan tersebut dan mendorongnya perlahan. Tabuhan drum
serta petikan gitar yang tadinya mengalun kontan terhenti,
digantikan dengan sapaan ramah yang meluncur dari bibir
teman-temanmu. Aku hanya bisa tersenyum kecil sebagai
balasan.
“Guys, mending kita lanjut latihannya besok aja, deh. Gue
laper,” ucap Karel selagi dia meletakkan bass yang digunakannya.
Klana dan Adrian mengangguk setuju. Dari sikap mereka
bertiga, aku tahu kalau lapar bukanlah masalah utama
mereka. Mereka terlihat ingin memberikan kamu waktu untuk

140
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mencerna apa yang sedang berkecamuk di dalam benakmu.


Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan, Rafa? Mau tidak
kamu membanginya denganku? Aku janji akan berusaha untuk
meringankan bebanmu.
Ketiga temanmu lalu beranjak dari posisinya masing-
masing. Sesampainya di depan pintu, Karel menyempatkan
diri untuk mengangkat satu tangan ke arahmu. “Oke, bro,
kita cabut ya,” ucapnya ringan sebelum menoleh ke arahku,
menatapku dengan sorot serius yang dibuat-buat. “Ra, hati-hati
lo berduaan, orang ketiganya setan loh.”
Aku hanya bisa mendengus geli saat mendengar ucapannya.
Di suasana seperti itu pun temanmu yang satu itu masih
bisa-bisanya bercanda. Dari sudut mataku, aku bisa melihat
sudut bibirmu sedikit tertarik ke atas. Mungkin kamu juga
menganggap ucapan Karel lucu? Entahlah. Yang jelas, hari itu,
aku tiba-tiba saja berharap bisa memiliki selera humor Karel.
Kalau kamu bertanya kenapa, jawabannya sederhana; karena
aku juga ingin membuat kamu tertawa, Raf.
Ketiga temanmu lalu menghilang di balik pintu, menyisakan
aku dan kamu yang terperangkap di tengah keheningan.
Perlahan, aku melangkah ke arah sofa tempat kamu duduk
dengan kepala yang sedikit ditundukkan. Pandanganmu
diarahkan pada pick gitar yang terdapat dalam genggamanmu,
tetapi aku tahu kalau pikiranmu jauh berada di tempat lain.
“Are you okay, Raf?” tanyaku saat aku sudah berada di
sisimu. Bodoh, Kejora, rutukku pada diri sendiri, semua orang
yang punya mata juga bisa melihat kalau dia nggak baik-baik aja.
Meski wajahmu yang murung dan nada suaramu yang tidak
biasa sudah bisa menyadarkan siapa pun kalau kamu memang

141
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tidak baik-baik saja, kamu memilih untuk mengangguk dan


tersenyum kecil. Mengingkari fakta yang sudah jelas adanya.
“Kamu kelihatan kayak lagi banyak pikiran,” tambahku,
berusaha memancingmu agar jujur padaku. “Kamu yakin kamu
nggak apa-apa?
Lagi-lagi senyum yang dipaksakan itu muncul di bibirmu.
“Gue baik-baik aja, Kejora. Cuma hal sepele, kok. Everything’s
under control.”
Kalimat terakhir yang kamu ucapkan kontan membuatku
menatapmu dengan sorot tidak puas. Kamu mungkin bisa
mengatakan kalau kamu baik-baik saja. Tetapi, aku mengenal
kamu. Aku tau hal-hal kecil yang kamu lakukan. Kamu
mungkin bisa membohongi orang lain, tetapi kamu tidak bisa
membohongiku. “Berarti kamu punya masalah, tapi kamu
berusaha untuk membuat semuanya terkendali. Gitu?” Aku
tahu aku terdengar sok tahu saat menanyakan hal itu, tetapi
aku tak bisa menahannya.
Kamu lagi-lagi menggeleng, membuatku semakin
penasaran. “Kamu dimarahin guru?”
“Nggak,” balasmu pendek.
“Dibikin kesal sama Gavin?” Untuk kali ketiga kamu
menggeleng. Manik kecokelatan milikmu masih menolak untuk
membalas tatapanku. Tanpa bisa ditahan aku kembali bertanya
dengan nada sedikit mendesak. “Jadi, kenapa?”
Kali ini kamu mengangkat kepala. Sorot matamu tajam dan
emosi yang berkelebat di sana tak bisa kubaca. “Kamu bisa diam
dulu nggak? Jangan banyak tanya, gue pusing,” ucapmu ketus,
nyaris menyerupai bentakan, menurutku.
Aku hanya bisa menahan napas kaget dan cepat-
cepat menunduk. Dari sudut mata, aku bisa melihat kamu

142
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

menenggelamkan wajah di kedua telapak tangan seraya


menghela napas berat. Aku hanya ingin tahu apa yang
sebenarnya membebani pikiranmu, Raf. Aku ingin membantu
kamu meringankannya. Namun, ternyata hadirku hanya menjadi
gangguan bagimu. Daripada tetap berada di hadapanmu dan
membuat mood-mu semakin buruk, lebih baik aku menyingkir
saja, kan?
“O-oke,” ucapku gugup. Jantungku masih berdetak
diambang batas normal, belum pulih dari rasa kaget akan nada
kasar yang baru pertama kali kamu gunakan padaku. Aku,
perlahan bangkit, bersiap melangkah ke luar ruangan. “Kalau
gitu, aku balik ya.”
Namun, belum sempat aku mencapai pintu, aku bisa
mendengar suaramu yang terdengar parau dari balik tubuhku.
“God, Ra, maaf.”
Meski ragu, aku berbalik, mendapati kamu menatapku
dengan sorot kacau. Rasa bersalah kentara jelas di nada
suaramu saat kamu melanjutkan, “Gue nggak bermaksud untuk
terdengar kasar ataupun ngebentak kamu. Tapi … gue lagi
pusing, oke? Gue belum pengin cerita. Nggak apa-apa, ya?”
Aku menatapmu lekat selama beberapa saat. Ingin saja aku
mengacuhkanmu dan menghilang di balik pintu. Maksudku,
aku tahu kalau mood-mu sedang tidak baik, tetapi itu bukan
berarti kamu bisa membentakku sesuka hatimu, kan? Kutarik
napas dalam-dalam. Tidak, aku tidak boleh seperti itu. Kamu
sudah memiliki masalahmu sendiri, aku tidak ingin menambah
bebanmu.
Maka, setelah berhasil mengendalikan diri sendiri, aku
tersenyum kecil. “Aku cuma mau bantu kamu, Raf,” akuku.
“Tapi, kalau memang nggak ada yang bisa aku lakukan sekarang,

143
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kalau kamu memang lagi pengin sendiri, ya, nggak apa-apa,”


tambahku lagi.
Ratusan emosi tak terbaca yang tadinya berkelebat di
manik cokelat gelap milikmu perlahan meredup, digantikan
dengan sorot teduh saat kamu balas menatapku lurus-lurus.
Seulas senyum simpul perlahan muncul di bibirmu. “Actually,
there’s something you can do.”
Dengan satu gerakan cepat, kamu lalu beranjak dari sofa dan
mengambil langkah lebar ke arahku. Aku bahkan belum sempat
mencerna kalimat yang kamu ucapkan. Namun, dalam hitungan
detik, kamu sudah berdiri di hadapanku. Satu tanganmu
melingkari pinggangku, menarikku mendekat, sementara yang
satunya lagi merengkuhku erat, menenggelamkanku dalam
pelukan yang tidak kuduga sama sekali.
Kamu lalu menyandarkan kepala di pundakku. Aku bahkan
bisa merasakan helaan napasmu yang berat dan hangat saat
kamu berbisik pelan di telingaku, “Sebentar aja, Kejora. Gue
butuh tempat persembunyian gue. Lagian nggak ada yang lihat
kok.”
Aku tentu saja mendengus saat mendengar kalimat terakhir
yang kamu ucapkan. Meski begitu, aku balas memelukmu erat,
mengusap punggungmu perlahan, berusaha membagi seluruh
kekuatan yang aku miliki jika memang diperlukan. Aku hanya
ingin kamu baik-baik saja, Rafa.
“WOI YANG DI DALEM, ORANG KETIGANYA SETAN,
JANGAN LUPA.”
Teriakan nyaring Karel yang berasal dari luar ruangan
kontan membuat kita saling melepaskan diri. Sial, ternyata
ketiga temanmu tidak benar-benar pergi ke kantin. Aku hanya
bisa menggigit bibir kuat-kuat untuk menahan tawa. Seluruh

144
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

adegan itu terasa lucu, tetapi entah kenapa, aku tidak memiliki
cukup keberanian untuk menatapmu. Mungkin karena ini
pertama kalinya kamu memelukku selagi kita berada di
lingkungan sekolah? Entahlah.
Saat aku akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat
kepala, kamu masih berdiri di hadapanku. Jari-jarimu yang
panjang perlahan meraih tanganku, mengusap punggungnya
perlahan. Dengan seulas senyum yang benar-benar manis kamu
lalu berkata, “hanks, Kejora.”

Sepulang sekolah, saat kamu sudah lebih tenang, kamu bercerita


padaku tentang Om Tio—papamu.
“Gue berantem sama Papa.” Kalimat itu kamu ucapkan
tanpa beban. Seakan kamu sudah mengucapkan hal itu jutaan
kali dan terbiasa dengan fakta kalau kamu dan papamu sering
bertengkar. “Berantem kecil-kecilan, sih. Tapi, tetap aja bikin
mood gue berantakan.”
Aku pernah bertemu dengan Om Tio beberapa kali
saat mengunjungi rumahmu. Om Tio—meskipun kaku—
merupakan orang yang cukup menyenangkan. Matanya tajam
dan terkadang gesturnya dingin, persis seperti kamu. Meskipun
begitu, Om Tio selalu terlihat hangat dan ramah setiap kali
Tante Dian berada di sampingnya. Aku menyukai pemandangan
itu. Samar-samar mengingatkanku akan kita.
Usut punya usut, ternyata yang menjadi penyebab
pertengkaranmu dengan beliau adalah mimpimu. Kamu
memang tidak pernah bercerita secara langsung padaku perihal

145
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Om Tio yang tidak menyukai hobi bermusikmu, tapi aku


mengetahuinya. Aku tahu kalau Om Tio menganggap mimpi
yang satu itu tidak jelas dan amat sangat tidak menjanjikan.
Baginya, popularitas adalah hal yang sementara dan menurut
Om Tio kamu tidak perlu hal seperti itu dalam hidupmu.
Selain itu, Ujian Nasional yang semakin dekat serta hasil
try out-mu yang tidak mengalami peningkatan membuat guru-
guru kerap kali mengomel. Aku tidak heran kalau kamu merasa
tertekan. Aku tidak ingat tepatnya bagaimana, tetapi hari itu,
aku menawarkan diri untuk membantumu belajar. Setidaknya,
aku bisa mengajari kamu materi tahun pertama, kan? Maka,
jadilah kamu berkunjung ke rumahku sepulang sekolah.
Jazz hitam milik Noah menyambut kita setibanya kita di
rumah. Hal seperti itu wajar buatku. Bukan hal yang janggal jika
Noah malah pulang ke rumahku dan bukannya ke rumahnya di
saat sekolah sudah berakhir. Kedua orangtua Noah amat sangat
sibuk, sedangkan Clara yang mewarisi gen anak-anak ambisius
sibuk mengikuti berbagai macam les tambahan—piano,
menggambar, dan lain sebagainya—hingga sore hari. Jadi,
daripada menyendiri seperti ‘remaja labil yang kesepian’—
begitu kata Noah—dia memilih untuk menghabiskan waktu di
rumahku.
Benar saja, begitu aku memasuki ruang keluarga, aku
bisa melihat Noah yang menenggelamkan diri di sofa. Satu
tangannya menggenggam remot TV, mengganti-ganti channel,
terlihat tidak terlalu memedulikan kehadiran kita.
“Permisi, Ndoro. Numpang lewat, ya,” katamu sengaja saat
kita berdua melintasi Noah dengan aksen Jawa kelewat kental.
Aku hanya bisa mendengus geli.
Noah sendiri terlihat kaget. “Rafa? Ngapain lo?”

146
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu memasang cengiran lebar. “Mau menuntut ilmu


sama Bu Kejora,” jawabmu kelewat ceria dengan jempol yang
diacungkan. “Duluan ya, Ndoro.”
Tanpa beban, kamu berjalan mendahuluiku dan menuju
kamarku—seakan hal itu sudah pernah kamu lakukan jutaan
kali. Ya, kamu memang cukup sering melakukannya mengingat
statusmu sebagai anggota keluarga tidak tetap di rumahku.
Namun, tetap saja, pemandangan semacam itu terkadang
masih membuatku takjub. Maksudku, hei, di kamarku sekarang
ada Rafael Leonardi sang vokalis Constant Star! Mungkin hal
semacam itu belum menarik perhatian banyak orang waktu itu.
Namun, bisa kamu bayangkan jika aku meneriakkan hal itu di
depan umum sekarang? Aku rasa akan ada setumpuk fangirl
yang akan menghabisiku, menghunjam rumahku dengan batu
kerikil.
Aku mengikuti langkahmu lambat-lambat. Jujur, aku
sedikit lelah. Tetapi, binar di kedua matamu saat mendengar
usulanku di mobil sukses membuatku mengesampingkan rasa
letih. Kamu prioritasku, Rafa. Selalu seperti itu. Meski aku
sering kali menjadi angka terakhir untukmu.
Setelah meletakkan ransel di atas meja belajar, aku
menyibukkan diri memilah-milih buku latihan soal yang
kumiliki. “Jadi, kamu nggak ngertinya di bagian mana, Raf?”
“Gue sangat bego di bagian awal kelas sepuluh. Vektor,
GLBB, katrol, dan sebagainya. Entah kenapa meskipun gue
udah berusaha buat ngerti, tetap aja gue bingung,” terangmu
membuatku seketika membeku.
“Yah, Rafa, kamu kok nggak bilang kalau pelajaran yang
kamu nggak bisa itu Fisika?” Aku menatapmu, pasrah.
Kamu terlihat bingung melihat raut wajahku. “Kenapa?”

147
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Aku … juga nggak terlalu ngerti Fisika,” kataku putus


asa. Jujur, aku merasa sangat bersalah karena telah berjanji
untuk mengajarimu tetapi kenyataannya aku juga tidak terlalu
mengerti pelajaran itu. Sedetik kemudian, terlintas ide di
pikiranku. “Tapi Noah bisa!” cetusku ceria. Dengan antusiasme
yang berlebihan, aku meraih tanganmu dan menarikmu keluar
dari kamar, langsung menuju ruang keluarga. Noah masih di
sana, duduk manis dengan manik yang difokuskan pada layar.
“Noah bantuin gue sama Rafa, dong. Mau belajar Fisika,
nggak ngerti,” pintaku.
Noah terlihat tidak tertarik sama sekali. “Harusnya gue
minta ajarin sama lo, Raf.” Dia mengedikkan dagu ke arahmu
dengan ekspresi menyebalkan. “Lo kan senior gue sama Kejora.”
Kamu memasang cengiran lebar, terlihat tidak terganggu
sama sekali dengan komentar Noah yang pedas. “Apa yang bisa
lo harapkan dari anak band bandel kayak gue?”
Cepat-cepat aku mengambil alih keadaan. “Mau, ya?”
pintaku lagi pada Noah.
Noah menatapku lekat selama sesaat dengan senyum lebar
di wajahnya sebelum berkata dengan nada manis, “Nggak.”
“Ih!” Kuentakkan kakiku dengan kesal. Sahabatku yang
satu itu memang bisa jadi sangat menyebalkan sewaktu-waktu.
“Mau, dong? Nanti gue traktir di McD, ya?”
“Iya, nanti Kejora traktir lo di McD,” timpalmu cepat saat
mendengarku menyebutkan nama restoran cepat saji kesukaan
semua orang itu. “Tapi delivery, ya. Jangan pergi berduaan,
nanti gue cemburu,” tambahmu lagi, membuatku menginjak
kakimu keras-keras.
“Apaan sih, ih,” desisku malu. Selama beberapa detik, aku
dan kamu kemudian bergeming. Kamu menaikkan satu alis ke

148
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

arahku dan hanya dengan gestur itu, aku tahu kalau apa yang
sedang berputar dalam benak kita sama. “Noah,” panggilku
sekali lagi, membuatnya menoleh malas-malasan.
“Pleaseeeee,” ucapku dan kamu berbarengan dengan nada
manis, membuat Noah kesal setengah mati, tapi akhirnya
mengangguk.

Dalam waktu singkat, kita bertiga sudah duduk di di kamarku


dengan buku-buku soal berserakan. Noah duduk bersila
di hadapan kita. Kacamata dengan frame hitam sederhana
bertengger di batang hidungnya.
“Seorang siswa melakukan percobaan dengan mengamati
perjalanan seekor semut—“
“Kok jadi bahas semut, sih? Gue kan mau belajar Fisika,”
potongmu saat Noah sedang membacakan salah satu soal.
Noah kontan melempar tatapan setajam laser ke arahmu,
membuatmu cepat-cepat menambahkan. “Oke, oke, maaf.”
Sahabatku itu berdeham pelan. Dia lalu membetulkan
posisi kacamatanya dan kembali fokus pada soal. “Sampai di
mana tadi? Oh, semut. Semut yang bergerak lurus beraturan
pada lantai. Mula-mula semut bergerak ke Timur sejauh 5
meter kemudian ke Utara 3 meter, ke barat 1 meter, kemudian
berhenti. Perpindahan yang dilakukan semut tersebut adalah?”
Hening yang cukup canggung—atau mencekam—
menyelimuti kita seusai Noah membacakan soal tersebut. “Kok
pada diam?” tanya Noah. Ekspresinya terlihat benar-benat

149
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

terpukul saat dia menatapmu, “Rafa? Ini pelajaran kelas satu.


Masa vektor dasar aja lo lupa?”
“Kan gue udah bilang gue sangat bego Fisika.” Kamu
mengangkat bahu, terlihat tidak peduli, membuat Noah sekali
lagi menghunjamkan tatapan setajam lasernya padamu.
Langsung saja kamu mencari pembelaan, “Lagian ngapain juga
kurang kerjaan pakai ngitungin perpindahan semut segala?
Kayak nggak ada kerjaan lain aja. Cuci mobil kek, nyapu kek,
apa kek.”
“Mau lulus UN nggak lo?” Satu pertanyaan bernada tegas
yang meluncur dari bibir Noah sukses membungkam omelanmu.
Kamu mengusap tengkuk, serbasalah. “Gila, mau lah.”
“Ya udah, jangan banyak ngomel kayak nenek-nenek
rempong,” tukas Noah tanpa dosa. Membuatku nyaris tertawa
geli kalau saja dia tidak memanggilku beberapa detik kemudian.
“Kejora? Jangan bilang lo lupa juga.”
Aku hanya bisa meringis, sesekali mengetukkan pensil
yang kugenggam seraya bergumam, “Eh, anu … gue .…”
“Ini benar-benar vektor dasar, astaga.” Noah terlihat
frustrasi. Mungkin daya pikirnya yang menyerupai Einstein
tidak tahan melihat orang-orang yang menganut prinsip hafal-
hari-ini-lupa-besok seperti kita.
Setelah beberapa kali menarik dan mengembuskan napas,
Noah akhirnya kembali buka suara. “Oke. Konsentrasi, ya.
Soalnya ini gampang banget.”
Aku dan kamu mengangguk semangat. Kita lalu meraih
buku tulis masing-masing dan mulai mengikuti langkah-langkah
untuk menyelesaikan soal yang didiktekan Noah. “Pertama,
lo baca ulang soalnya. Bayangin kira-kira semut bergeraknya
membentuk bangun datar apa. Nah, kalau menurut lo susah

150
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

buat membayangkannya, lo bisa ambil kertas dan lo gambar.


Coba gambar. Bisa, kan?”
Aku sedang menggurat garis di bukuku dengan teliti saat
mendengar suaramu, “Kok kayak segitiga ya bentuknya?”
Pun aku ikut mengamati garis yang kugambar dan
mengangguk meskipun dengan alis bertaut. “Iya, Raf. Kayak
segitiga.”
“Emang segitiga, pinter.” Noah memutar matanya gemas.
“Ya udah, kan katanya perpindahan berarti lo hanya perlu itu
jarak dari titik awal ke titik akhir di mana dia berhenti. Pakai
Phytagoras.”
Aku dan kamu hanya bisa ber-oh ria saat mendengar
penjelasan Noah. Jujur, aku merasa sedikit kecewa pada diriku
sendiri karena melupakan materi yang dulu sempat kupahami
dengan mudahnya. Setidaknya, kegiatan belajar bersama yang
kita lakukan itu berdampak sangat baik untukku dan otakku
ke depannya. Dan kegiatan belajar bersama itu terus berlanjut.
Hari demi hari sampai pada akhirnya kamu berterima kasih
pada Noah di hari kelulusanmu.
Kamu menjabat tangannya dengan senyum lebar dan
mengucapkan kata “terima kasih” tiada henti pada Noah karena
telah mengajari kamu dengan sabar. Aku menyaksikan kalian
tertawa bersama seperti teman akrab untuk kali pertama hari
itu. Kita bertiga bahkan sempat berfoto bersama. Kamu dengan
toga berwarna gelap sementara aku dan Noah dengan seragam
SMA yang disetrika rapi.
Foto itu masih kusimpan di dalam jurnal kecil yang
selalu kubawa ke mana-mana sampai saat ini. Terkadang
saat melihatnya, aku sering tersenyum sendiri. Sangat
membahagiakan untukku melihat kedua orang yang paling

151
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

aku sayangi—selain keluargaku—berdiri di sisiku dan tertawa


bersamaku hari itu. Aku sempat berharap kalau kamu dan
Noah akan selalu berada di sampingku selamanya. Untuk
mendampingiku, menuntunku agar bisa menjadi sosok yang
lebih baik lagi.
Namun, bukankah itu namanya egois?
Harusnya sejak awal aku sadar, tidak semua orang yang aku
sayangi akan terus berada di sisiku selamanya. Pada akhirnya,
aku harus memilih satu di antara kalian. Suka atau tidak suka,
saat waktunya tiba, hanya satu yang akan tinggal.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

152
pustaka-indo.blogspot.com
Hari Kelulusan
Day 8: Frankfurt—Cologne—Amsterdam
17 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang meski baru mengenalku dalam kurun waktu yang tidak lama,
selalu menempatkanku dalam rencana masa depannya.)

Amsterdam, here I come!


Baiklah, maafkan semangat liburanku yang berlebihan.
Tetapi, tidak ada salahnya, kan, kalau aku bersorak-sorak senang
terlebih dahulu sebelum kembali menggurat kisah tentang
kita yang dulunya amat sangat manis tetapi kini hanya bisa
menempati sudut terdalam di relung hati bersama kenangan
sendu masa lalu lainnya?
Kalau dulu ada seorang peramal atau robot masa depan
yang datang dan menghampiriku lalu mengatakan kalau apa
yang aku punya denganmu hanyalah sementara, aku pasti akan
tertawa tepat di wajahnya dan mengatakan kalau perkataannya
itu merupakan lelucon yang cukup lucu untuk dilontarkan di
bulan April. Shame on me, life is all about the impossible.
Namun, yah, semuanya sudah berlalu. Daripada mengawali
suratku dengan ratapan serta penyesalan yang tak berujung,
lebih baik aku memberitahumu di mana aku sekarang. Aku

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

sedang berada di dalam bus yang membawaku langsung menuju


Amsterdam melalui Cologne. Kata Audrey, kami akan berhenti
sebentar di Kota Cologne untuk berfoto di Cologne Cathedral
sebelum melanjutkan perjalanan.
Baiklah, cukup bercerita tentang aku dan liburanku. Mari
kita kembali fokus pada tujuan utamaku menulis surat ini; untuk
kembali bercerita tentang aku, kamu, dan momen yang pernah
kita lewati bersama—yang aku harap dapat meringankan
langkahku untuk melepaskan.
Dan aku rasa, setelah cukup lama mengulur-ngulur waktu,
aku akan mulai masuk ke bagian inti kisah kita. Hari ketika
semua keretakan dan perbedaan tanpa kita sadari dimulai; hari
kelulusanmu.

Malam itu aku sedang marathon Grey’s Anatomy sendirian di


dalam kamar saat aku mendengar suara kerikil yang dilemparkan
ke jendela. Meski sedikit tidak rela, aku mengalihkan pandangan
dari Dokter Shepherd di layar kaca dan menyeret langkah ke
jendela. Kusibakkan tirai yang menutup kaca dan mendapati
kamu dengan cengiran lebar.
Awalnya aku sempat bingung, kenapa kamu tidak masuk
dari pintu saja? Tetapi, lalu aku sadar kalau hal semacam ini
bukan kali pertama kamu lakukan. Beberapa minggu yang lalu
kamu juga pernah masuk lewat jendela kamarku meski kamu
telah bertemu dan meminta izin dengan Bunda dan Ayah
terlebih dahulu. “Biar lebih dramatis” adalah jawabanmu setiap
kali aku bertanya kenapa kamu melakukan hal itu.

154
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Kenapa malam-malam ke sini?” tanyaku setelah kita


berdua duduk di atas tempar tidur.
“Makan yuk,” ajakmu ringan, membuat kerutan di keningku
semakin jelas. “Gue pengin banget makan mi rebus pedes yang
ada level-levelnya itu.”
Aku tahu tempat makan mi rebus itu. Persis di ujung jalan
perumahanku. Tenda kecil dengan kursi plastik dan meja kayu
sederhana. Meski hanya menjual mi rebus, tempat itu selalu
ramai pengunjung, malah semakin malam semakin penuh. Aku
pernah menemani ayah makan di sana beberapa kali. Jadi, aku
mengangguk kecil ke arahmu.
Setelah berpamitan pada Bunda dan Ayah, kita berdua
melangkah ringan menuju tempat makan yang sedang kamu
idam-idamkan itu. Satu mangkuk mi rebus pedas level 3 dan
satu mi rebus tidak pedas menjadi pilihan kita hari itu. Aku
tidak terlalu suka makanan pedas dan kamu tahu itu. Selagi
menunggu pesanan datang, aku mengedarkan pandangan dan
tersenyum sendiri melihat suasana ramai yang terkesan hangat
di sekitar kita. Meskipun tempat itu sangat sederhana, tetapi
aku suka berada di sana. Melihat para pengunjung dengan
muka merah menahan pedas tertawa dan mengobrol, terlihat
puas walaupun hanya ditemani semangkuk mi.
Saat mendapati kamu melambaikan tangan ke beberapa
pengunjung lain, aku menatapmu penasaran. “Jadi, kamu sering
ke sini?”
Kamu mengangkat bahu. “Hanya kalau lagi banyak pikiran.”
“Berarti kamu lagi banyak pikiran?” tanyaku lagi sementara
kamu memasang seulas senyum tipis. Aku merutuki diriku
sendiri dalam hati. Harusnya aku tahu ada sesuatu yang tidak
beres malam itu. Tidak mungkin kamu berkunjung ke rumahku

155
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

nyaris tengah malam jika tidak ada hal yang mengganggumu.


“Apa yang membebani kamu, Raf?”
Kamu menatapku teduh, berusaha meyakinkanku kalau
hal apa pun yang mengganggu pikiran kamu bukanlah masalah
besar. “Gue nggak tau tepatnya apa. Gue rasa ini cuma efek ke-
parno-an gue yang berlebihan.”
“Tentang apa?” Bukannya tenang, aku malah semakin
penasaran. Lalu, aku teringat akan satu fakta yang seharusnya
telah kusadari sejak awal. Cepat-cepat aku menambahkan,
“Tentang graduation besok? Kamu nervous itu namanya. Wajar,
kok.”
“Jujur, gue takut hidup gue ke depannya akan gimana.”
Kamu memulai. Dari sorot matamu, aku tahu kalau yang kamu
rasakan bukanlah sekadar rasa gugup. “Oke, gue besok bakal
wisuda. Lulus, lempar-lempar topi kayak di ilm. Terus apa?
Setelah itu kehidupan gue gimana?”
Aku hanya bisa membeku saat mendengar pertanyaan yang
kamu lontarkan. Selalu ada saat ketika aku tidak bisa mengerti
kamu dan isi kepalamu. Momen itu adalah salah satunya. Jujur,
aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Selama belasan tahun
hidup, yang ada di dalam pikiran Lucillia Kejora versi SMA adalah
rutinitas monoton yang mencakup; lahir, sekolah, kuliah, kerja.
Aku tidak pernah benar-benar memikirkan semuanya secara
detail sampai kamu menanyakan hal itu.
Pada akhirnya, aku hanya bisa mengusap kedua tanganmu
yang berada di atas meja, berharap dapat memberikanmu
sedikit rasa hangat yang menenangkan. “You worry to much,
Raf,” gumamku pelan.

156
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu menatapku selama beberapa saat sebelum


mengangguk kecil. “Ya, gue memang berlebihan malam ini.
Mungkin kamu benar, ini namanya nervous.”
Jauh di dalam hati, aku tahu kalau kamu tidak sepenuhnya
menyetujui ucapanku. Ada sesuatu yang masih mengganggu
pikiranmu, tetapi enggan kamu bagi. Tetapi, aku tidak ingin
mendesakmu. Aku tidak ingin membuat perasaanmu semakin
kacau. Jadi, kutelan rasa kecewaku bulat-bulat dan kupaksakan
seulas senyum di wajahku. “Semuanya bakal baik-baik aja.”
Kamu tidak membalas ucapanku karena detik berikutnya
pesanan kita datang. Andi meletakkan dua mangkuk mi rebus
dengan asap mengepul di hadapan kita. Kita berdua lalu sibuk
dengan makanan masing-masing. Aku menyeruput kuah pelan-
pelan dan menghela napas lega saat rasa hangatnya menyebar di
perutku, sementara kamu sesekali mendesis dan mengibaskan
tangan di depan wajah yang memerah.
Setelah belasan menit berlalu kamu akhirnya mengalihkan
pandangan dari mangkuk yang isinya sudah tandas dan
menepuk perut dengan tampang puas. Kamu kemudian
menyeruput teh banyak-banyak sebelum buka suara, “Oh iya,
Kejora, gue memutuskan untuk turutin kemauan Papa.” Aku
mengangkat muka, menatapmu tidak percaya. “Papa daftarin
gue di salah satu Universitas Swasta dengan akreditasi yang
lumayan di Jakarta. Fakultas Ekonomi. Unbelievable, kan?”
“Kamu .…” Aku berusaha untuk mengatakan sesuatu,
tetapi tidak ada kata yang keluar. Pada akhirnya, aku hanya bisa
bertanya, “Kenapa?”
Kamu mengangkat bahu, seakan hal yang sedang kita
bicarakan bukanlah permasalahan serius. “Karena setelah
gue pikir-pikir omongan Papa ada benarnya. Bermusik itu

157
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

bisa jadi pekerjaan sampingan—meskipun dalam kasus ini


bermusik adalah passion utama gue. Dan kalaupun ke depannya
gue merasa nggak sanggup menjalani hari-hari gue sebagai
mahasiswa ekonomi, gue bakal lebih fokus sama Constant
Star. Gue bakal tunjukkin ke Papa kalau gue bisa menjadikan
Constant Star sebagai pekerjaan utama. Gue masih bisa bikin
Papa bangga meskipun gue nggak kuliah di jurusan yang Papa
inginkan.”
Lagi-lagi aku hanya bisa termangu mendengar
penjelasanmu. “Itu … kamu udah memikirkan semuanya
dengan matang, ya?”
Kamu menaikkan sebelah alis. “Gimana menurut kamu?”
“Menurut aku?” ulangku bingung. Maksudku, hal yang
sedang kita bicarakan waktu itu adalah masa depanmu. Ada hak
apa aku ikut campur di dalamnya? “Itu kan masa depan kamu,
Raf. Kamu nggak perlu minta pendapatku. Lakukan aja apa
yang menurut kamu benar,” sambungku.
“Kok gitu, sih?” Alismu bertaut tidak setuju. “Di masa
depan gue kan ada kamu, Ra. Makanya gue tanya pendapat
kamu. Ke depannya, meskipun kita udah pisah sekolah dan gue
bukan anak SMA lagi, kita kan tetap bareng.”
Aku tahu seharusnya aku merasa senang dengan ucapanmu
karena kamu ikut memberiku andil dalam menentukan masa
depanmu. Tetapi, yang kurasakan malam itu malah perasaan
bersalah. “Aku kadang merasa … bodoh? Nggak seperti kamu,
aku belum tau mau jadi apa ke depannya.”
Dan hal itu memang benar adanya. Mimpi yang aku punya
saat itu belum cukup kuat untuk kubagi karena adanya pun
masih kuragukan. Terkadang aku merasa sedih karena kamu
selalu membagi mimpi-mimpimu denganku, sementara aku

158
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tidak bisa membagi apa pun denganmu. Seharusnya, waktu itu


aku sadar, kalau yang penting bukanlah membagi mimpi itu,
melainkan selalu berada di sana sampai mimpi itu terwujud.
Kamu mendengus keras saat mendengar jawabanku.
“Kamu ngomong apa, sih. We’re all just kids, trying to igure out
how our life will be. I think that’s enough for now.”

One High selalu terlihat lebih menarik saat Graduation Day.


Aulanya yang luas dihiasi pita dan mejanya dilapisi kain
berwarna broken white yang ditata sedemikian rupa. Karangan
bunga cantik diletakkan di setiap meja, memberikan kesan
meriah, formal, tetapi tetap hangat di saat yang bersamaan.
Sejak pagi, orangtua murid sudah ramai memenuhi aula.
Senyum lebar yang tak bisa disembunyikan terpasang di bibir
mereka. Bagaimana tidak bahagia? Anak mereka telah berhasil
menyelesaikan dua belas tahun masa sekolahnya.
Ada satu hal yang membedakan Graduation Day di One High
dengan yang dilaksanakan di sekolah lain. Di One High, yang
diundang untuk menyaksikan acara itu bukan hanya orangtua
murid saja. Para adik kelas juga diperbolehkan untuk masuk ke
ruangan selama acara berlangsung. Di bagian belakang aula,
disusun bangku-bangku dengan warna biru yang menandakan
kalau bangku itu khusus untuk adik kelas. Meskipun ada
tempat duduk, beberapa di antara kami lebih suka berdiri agar
bisa melihat suasana di atas panggung dengan jelas.
Hari itu, aku dipilih oleh pihak sekolah bersama dengan
enam orang lainnya—termasuk Noah—untuk menjadi

159
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

penyambut tamu. Tugasku tidaklah sulit. Aku hanya perlu


berdiri di depan pintu, mengucapkan kata-kata manis yang
berhubungan dengan acara kelulusan dan menyematkan sebuah
pin berbentuk bunga di baju mereka. Aku bertemu dengan Om
Tio dan Tante Dian hari itu. Tante Dian terlihat sangat cantik
dalam balutan kebaya dan senyum lebar tak pernah luntur dari
wajahnya.
Aku dan Noah berdiri di belakang aula selama acara
berlangsung. Noah mungkin tidak pernah mengatakannya,
tetapi aku tahu dia merasa senang ikut andil dalam membantumu
belajar. Terbukti, saat pengumuman nilai berlangsung, senyum
tertahan muncul di bibirnya saat dia mendengar namamu.
Om Tio terlihat sangat bangga saat namamu disebutkan
dengan rata-rata nilai delapan. Ternyata, les tambahan sepulang
sekolah dan belajar bersama Noah membuahkan hasil yang
signiikan. Nyaris di semua mata pelajaran kamu mendapat
nilai delapan ke atas—kecuali Biologi kamu mendapat nilai
tujuh dan sembilan untuk Bahasa Inggris. Kalau Bahasa Inggris
aku tidak heran. Itu sepertinya merupakan satu-satunya yang
kamu bisa tanpa perlu belajar.
Setelah serangkaian pidato yang membosankan, pembawa
acara akhirnya mengumumkan bahwa acara inti akan segera
dimulai. Satu per satu nama wisudawan dan wisudawati
dipanggil ke atas panggung, membentuk barisan bertingkat.
Murid perempuan berdiri di barisan terdepan dengan tangan
saling menggenggam, menatap lurus ke depan dengan senyum
tipis.
Sedetik kemudian, intro lagu Auld Lang Syne mengalun
dengan indah di seluruh penjuru ruangan. Dengan kompak,
semua peserta wisuda menyanyikan bait demi baitnya perlahan.

160
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Tak terkecuali kamu. Dari jarak sejauh itu, aku bisa melihat
matamu mulai memerah—sama seperti teman-temanmu dan
semua orang yang ada di atas panggung. Perasaan haru pun
tak luput menyusup ke dada kami, para penonton yang ada di
dalam ruangan. Bahkan, sudut mataku terasa basah.
Setelah lagu itu berakhir, hening menyelimuti aula selama
beberapa saat. Seharusnya, setelah kalian menyanyikan Auld
Lang Syne, kalian semua turun dari atas panggung. Namun,
bukannya turun, kalian malah meraih tangan satu sama lain
dan menggenggamnya semakin erat, lalu tersenyum ke arah
penonton. Aku menyipitkan mata saat menyadari sesuatu yang
janggal. Klana, Karel, dan Adrian menghilang dari barisan.
Ke mana teman-temanmu pergi? Jangan sampai kalian
merencanakan sesuatu untuk mengacaukan hari bersejarah itu.
Beberapa detik kemudian, lampu tiba-tiba saja padam. Dan
di sela-sela keterkejutan penonton, aku bisa mendengar kamu
menyanyikan bait pertama dari lagu “Team” milik Lorde dengan
suara khasmu yang membuat hatiku seketika berdesir.
Wait ‘till announced
We’ve not yet lost all our graces
Perlahan, lampu mulai hidup kembali. Dan kini tidak hanya
kamu, tetapi semua orang yang ada di atas panggung ikut
bernyanyi.
he hound will stay in chains
Look upon Your Greatness and she’ll send the call out
Beat yang berasal dari drum pun ikut bergabung kali ini.
Langsung saja aku melirik panggung kecil yang terletak di sudut
ruangan, tempat alat-alat musik diletakkan dan mendapati
Karel, Klana, serta Adrian sudah ambil posisi. Sebenarnya, aku
ingin tertawa melihat Klana. Temanmu yang satu itu terlihat

161
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kesulitan harus bermain drum dengan toga yang panjangnya


melewati lutut. Namun dari ekspresinya, aku tahu kalau dia
tak keberatan sama sekali. Buktinya, seulas senyum manis yang
jarang sekali muncul terukir di bibirnya.
We live in cities you never see on screen
Not very pretty but we sure know how to run things
Living in ruins of a palace within my dreams
And you know, we’re on each others team
Siang itu, aku ada di sana. Menyaksikan kalian—
kamu, teman-temanmu, seluruh anak kelas dua belas yang
melangsungkan wisuda—bernyanyi dan merangkul satu sama
lain erat. Beberapa di antara kalian bahkan tidak kuat lagi
untuk membendung tangisan dan terisak di atas panggung.
Kaki kalian melangkah seirama ke kanan dan ke kiri. Seakan
penampilan kalian hari itu bukanlah spontanitas, melainkan
sesuatu yang sudah direncanakan sejak lama.
Dan saat lagu itu berakhir, kamu langsung melompat turun
dari atas panggung—tak memedulikan teman-temanmu yang
berpelukan dan berlari ke arahku. Aku tidak punya waktu untuk
mencerna apa yang terjadi karena saat kamu akhirnya tiba di
hadapanku, kamu langsung merengkuhku, memelukku erat-
erat. Di antara pelukan itu, aku bisa merasakan senyum lebar
di wajahmu saat kamu berkata, “I made it, Ra. One step closer to
our dreams.”
Mau tak mau aku ikut tersenyum dan balas memelukmu.
Menenggelamkan wajahku di sana tanpa memedulikan orang-
orang melihat ke arah kita sambil tersenyum geli. Waktu itu
rasanya memang hanya satu langkah lagi, Raf. Semuanya
begitu dekat. Seakan kita bisa meraih segalanya. Tetapi, kini

162
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

semua beribu langkah jauhnya. Dan mimpi-mimpi itu terpaksa


harus kita kubur jauh di bawah langkah kaki kita yang kian
berlawanan arah.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

163
pustaka-indo.blogspot.com
Bulan
dan Langkah Kaki
Day 8: Frankfurt—Cologne—Amsterdam
17 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang sisi melankolisnya selalu berhasil membuatku terenyuh.)

Halo, Rafa.
Kamu masih ingat tidak dengan adiksiku pada malam
ketika purnama bersinar terang di langit? Kalau sudah seperti
itu, kamu tahu, kan, kalau aku pasti lebih memilih untuk
menghabiskan malamku di halaman belakang rumah sendirian,
hanya ditemani playlist sendu di iPod-ku, menatap langit malam
semalaman. Setidaknya satu kali dalam sebulan, sudah menjadi
rutinitasku.
Kali ini pun tak berbeda. Purnama kembali bersinar terang
di langit malam Amsterdam. Aku duduk di kursi yang terletak
di balkon, ditemani satu gelas panjang berisi soda yang tak
kusentuh dan lagu-lagu dari playlist di iPod-ku yang kuberi
nama “dance, its moonlight”. Kalau diperhatikan, nama playlist
itu seakan menginterpretasikan lagu di dalamnya berisi musik

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

yang membuatku menggoyangkan tubuh di bawah terangnya


sinar bulan sepanjang malam. Benar, bukan?
Nyatanya, playlist itu berisi lagu-lagu bernada sendu yang
membuatku ingin mengantukkan kepala ke dinding. Karena
lagu dalam playlist itu berputar dengan disertai berputarnya
memori dalam kepalaku. Membawaku terlempar ke dalam
suatu malam ketika bulan bersinar sangat terang, menemani
dua muda-mudi berhati rapuh yang terlalu naif untuk percaya
kalau apa yang mereka punya selamanya tidak akan pernah
berubah.

Satu minggu setelah acara kelulusan, sekolah kita mengadakan


prom night. Mungkin bagi sebagian besar orang, prom night
merupakan ajang untuk memamerkan kecantikan serta unjuk
kebolehan terhadap satu sama lain. Bagi segelintir lainnya, prom
night merupakan acara sekolah yang hanya membuang-buang
uang dan tidak berguna. Namun, bagi murid kelas sepuluh dan
sebelas di sekolah kita, prom night merupakan salah satu ajang
penyiksaan batin yang sadis.
Pasalnya, prom night diperuntukkan khusus bagi mereka
yang baru saja menyelesaikan tahun-tahun SMA-nya. Yang
berarti, kami tidak diperbolehkan untuk menghadiri acara
tersebut. Kenapa kukatakan benar-benar menyiksa? Karena
beberapa di antara kami ingin berada di sana, menyaksikan
orang-orang yang sempat mewarnai hari kami dalam balutan
tuxedo dan rambut yang ditata rapi dengan senyum menawan
untuk kali terakhir. Karena beberapa di antara kami mungkin

165
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang-


orang itu lagi.
Tak terkecuali aku.
Malam itu aku hanya bisa duduk di atas tempat tidur
dalam balutan Pj’s sambil sesekali melirik keluar jendela. Bulan
bersinar terang di atas sana, purnama. Kulirik jam dinding di
kamarku dengan malas. Kamu pasti masih sibuk dengan prom
night. Siapa juga yang tidak menyukai prom night? Ada banyak
perempuan cantik dalam potongan gaun pendek yang terlihat
elegan berjalan ke sana kemari. Kue-kue manis serta soda yang
tiada henti. Live music dengan volume keras, ruangan yang telah
didekorasi sedemikian rupa. Semuanya terlalu sempurna untuk
dilewatkan, bukan?
Aku menghela napas keras-keras sebelum memilih untuk
menarik selimut sampai menutupi kepala dan memejamkan
mata. Memikirkan semua tentang prom night membuatku
merasa resah dan kesal sendiri. Aku bahkan tidak tahu kenapa.
Oke, baiklah, sebagian diriku tau apa penyebabnya. Mungkin
fakta bahwa aku tidak bisa berada di sana bersamamu untuk
melihatmu dalam setelan jas rapi dan berdansa denganmu
yang membuatku seperti ini. Aku memejamkan mata erat-erat,
berusaha keras untuk melemparkan diriku ke alam mimpi.
Namun, malam itu, tebakanku melenceng seratus delapan
puluh derajat karena beberapa saat setelah aku merebahkan
diri di tempat tidur, aku bisa mendengar intro lagu “Do I Wanna
Know” milik Arctic Monkeys mengalun dari arah meja belajar.
Cepat-cepat aku meraih ponselku yang terletak di sana dan
mengernyit heran selama beberapa detik saat menatap layar
sebelum mengangkat telepon darimu.
“Selamat malam, Kejora,” sapamu dengan nada jenaka.

166
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku berdeham pelan, berusaha menyembunyikan


senyuman di nada suaraku. “Malam, anak kuliahan,” balasku.
“Calon anak kuliah, lebih tepatnya,” koreksimu yang
membuatku mendengus, sementara kamu terkekeh pelan. “Ra,
calon anak kuliahan ini mau tau, apa kamu bisa lihat ke jendela
sebentar?”
Pertanyaanmu waktu itu tiba-tiba saja membuat jantungku
berdegup lebih cepat. Segera aku menyingkap selimut yang
menutupi tubuh, lalu dengan tergesa berlari kearah jendela.
Selama beberapa saat, aku terpaku.
Pasalnya di sanalah kamu berada, dengan ponsel
yang ditempelkan ke telinga, dan senyum penuh teka-teki
kesukaanku. Rambutmu ditata dengan gel mengikuti gaya
berantakan yang sedang modis. Jas hitam santai yang kamu
kenakan kancingnya dibiarkan terbuka, menampakkan kaus
putih polos di dalamnya. Tanpa pikir panjang aku langsung
memelesat keluar kamar dan berlari menuju halaman belakang,
tempat kamu berada.
Tawa kontan meluncur dari bibirmu saat aku akhirnya
berdiri tepat dua langkah di hadapanmu. Aku tentu saja
mengernyit, memangnya apa yang lucu? Namun, sedetik
kemudian, seakan sel-sel di otakku baru saja tersambung, aku
langsung menyadari apa yang kamu tertawakan. Aku hanya
bisa meringis pelan, “Aku berantakan banget, ya? Kontras sama
kamu yang pakai jas segala.”
Kali ini kamu tertawa lebar. Jemarimu menyelipkan
rambutku ke belakang telinga. “Kamu mau pake daster
kedodoran juga gue tetap suka, kok,” balasmu dengan nada jail,
membuatku mencubit pinggangmu gemas, sementara kamu
tertawa makin keras.

167
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Malam itu kita akhirnya duduk di taman belakang rumahku


dengan dua gelas cokelat panas ekstra marshmallow buatanku.
Menatap bulan di langit malam serta bintang-bintang yang
selalu setia menemaninya. Raut wajahmu terlihat tenang.
Pandanganmu fokus ke langit dan di bawah cahaya bulan, manik
cokelat gelapmu terlihat bersinar. Senyum penuh teka-teki yang
merupakan ciri khasmu kembali muncul. Mau tak mau aku
bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuatmu datang ke
rumahku? Bukankah seharusnya kamu ada di prom night?
“Raf,” panggilku, membuatmu menoleh. “kok kamu di
sini?”
“Habisnya di sana gak ada kamu. Bosen,” balasmu ringan.
Aku mendengus geli, memilih untuk tidak menanggapi
perkataanmu. Pandanganku ikut kuarahkan ke langit malam,
menghitung bintang-bintang di atas sana dalam hati.
“Eh, Ra, lihat deh.” Kamu menunjuk satu bintang di sebelah
barat dengan kening berkerut. “Bintang yang itu kenapa
sendirian, ya? Apa dia gak sama teman-temannya?” tanyamu
polos seakan pertanyaan yang baru saja kamu lontarkan
terdengar wajar untuk ditanyakan.
“Mana aku tahu,” balasku. “Setidaknya meskipun dia
sendiri, dia tetap bersinar terang.”
Ekspresi polos dan rasa ingin tahu yang tadinya memenuhi
matamu perlahan surut, digantikan oleh tatapan sendu saat
mata kita beradu. Aku mengernyit heran, memangnya ada yang
salah dengan ucapanku?
“Apa nanti kita bisa seperti bintang itu, Ra?” Pertanyaan
itu kamu suarakan dengan lirih, membuatku tertegun selama
beberapa saat.

168
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Sebagian diriku tahu benar apa maksud dari pertanyaanmu.


Namun, sisi egoisku menolak untuk mengakuinya. “Maksud
kamu?”
Kamu melemparkan seulas senyum tipis ke arahku sebelum
kembali mengalihkan pandangan ke langit malam. “Kalau suatu
saat kita nggak bisa bareng lagi, entah karena apa pun itu, gue
mau kamu bisa jadi seperti bintang itu, Kejora,” ucapmu hati-
hati. “Tetap jadi Lucillia Kejora yang bersinar. Independen.
Bisa berdiri sendiri tanpa perlu selalu didampingi. Jangan
biarkan hal buruk apa pun yang terjadi pada kita memengaruhi
kehidupan kamu,” sambungmu lagi.
Aku mengerjap berkali-kali. Tiba-tiba, mataku terasa panas.
Ucapanmu bukan saja membuat air mataku ingin mengalir,
tetapi juga membuat sesuatu di dalam dadaku berdenyut
nyeri. “Kamu ngomong apa sih,” balasku kesal. Memikirkan
kemungkinan kalau suatu hari nanti namaku dan namamu tidak
akan pernah disebut berdampingan lagi membuatku mual.
Melihatku reaksiku kamu lalu bangkit dan berdiri tepat
di hadapanku. Manik cokelat gelapmu menatapku lembut.
Kamu lalu mengulurkan tangan kananmu ke depan wajahku,
membuatku balas menatapmu dengan bingung. Kamu lalu
tersenyum manis sebelum mengatakan satu kalimat yang tidak
pernah kuduga sama sekali.
“Ra, may I have this dance?”
Selama beberapa detik aku hanya bisa membeku. Rasa
haru menyusup di dadaku, menyadari fakta bahwa kamu lebih
memilih di sini, bersamaku. Mengajak anak perempuan tujuh
belas tahun dalam balutan piyama kebesaran dengan rambut
awut-awutan berdansa dibandingkan berada di prom night,
berdansa dengan perempuan cantik dalam balutan gaun elegan.

169
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“I can’t dance,” ucapku waktu itu seraya menerima uluran


tanganmu.
Kamu tertawa renyah. “Just follow me.”
Malam itu aku mengenggam tanganmu erat, sementara
lenganmu memeluk pinggangku. Langkah kaki kita beriringan
di dalam keheningan malam. Satu-satunya yang bisa kurasakan
hanyalah rasa hangat yang memancar dari tubuhmu. Tiba-tiba
saja kamu menyenandungkan satu lagu yang aku kenal benar.
Lagu yang bukan merupakan genre-mu sama sekali, melainkan
genre-ku. Seringai jail langsung tercetak di bibirku. “Night
changes?” tanyaku yang kamu balas dengan anggukan.
“Lagu favorit kamu dari album Four milik One Direction,”
katamu. Kaki kita masih terus melangkah. “Awalnya gue bingung
kenapa kamu siang malam selalu dengar lagu itu. Sekarang gue
ngerti kenapa.”
Aku memilih untuk menggigit bibir keras-keras, menunggu
kamu melanjutkan ucapanmu. Helaan napasmu terdengar jelas
dan berat sebelum kembali buka suara. “Cepat banget, kan, Ra?”
sambungmu, membuat mataku kembali memanas. “Gue, kamu,
dan saat ini, semuanya bisa hilang dalam satu kedipan mata.”
“Kamu mendingan diam, deh,” tukasku tanpa bisa ditahan.
“Aku jadi mau nangis,” tambahku lagi. Ucapanku memang benar
adanya karena sekarang pandanganku kian kabur, tertutupi
oleh butiran air mata yang mendesak jatuh.
Kamu malah menanggapi ucapanku dengan tawa pelan,
sementara aku berusaha mati-matian agar air mataku tidak
meluncur. Tetapi, sepertinya sejak awal niatmu adalah
membuatku menangis, karena detik berikutnya aku bisa
mendengar kamu menyanyikan lagu kesukaanku itu di
telingaku.

170
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

We’re only getting older baby


And I’ve been thinking about you lately
Does it ever drive you crazy
Just how fast the night changes
Everything that you ever dreamed of
Disappearing when you wake up
But there’s nothing to be afraid of
Even when the night changes
It will never change me and you
Tepat di sana. Satu isakan meluncur dari bibirku.
“Mungkin gue jarang banget bilang ini sama kamu, Ra,”
ucapmu waktu itu, dari nada bicara dan sorot matamu aku tahu
kalau emosimu telah mengambil alih. “Tapi, gue mau kamu tau
kalau gue sayang banget sama kamu. Kalau gue bisa memilih,
gue mau menghentikan waktu detik ini juga. Supaya gue tetep
bisa berada di sini, sama kamu, lebih lama lagi.”
Suaramu terdengar serak. Kamu lalu menyandarkan kepala
di pundakku, kaki kita berhenti melangkah. “Kalau kamu tanya
kenapa, alasannya adalah karena gue takut, Ra. Gue nggak
pernah takut sama apa pun sebelumnya, tapi gue takut sama
ketidakpastian. Karena nggak akan ada yang tau apa yang bakal
terjadi ke depannya. Satu, dua, tiga menit lagi, nggak ada satu
orang pun yang bisa menebak. Dan gue nggak mau apa yang
kita punya ini hanya sementara.”
Kali ini air mataku mengalir tanpa bisa ditahan. Deras,
tanpa ampun. Aku tidak tahu apa yang membuatku merasa
sangat sedih. Mungkin sisi melankolismu yang baru pertama
kali kamu tunjukkan di depanku? Atau mungkin karena mulai
semester depan aku tidak akan pernah melihat kamu lagi dalam
balutan seragam sekolah berlalu-lalang di koridor? Tetapi,

171
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

satu hal yang aku tahu pasti; aku menangis menyadari betapa
akuratnya ucapanmu.
Semua yang terjadi di antara kita terasa sangat cepat,
Rafa. Dan meski aku memohon pada alam semesta untuk
menghentikan waktu tepat di momen itu, meski hanya sesaat,
toh seluruh dunia akan terus berputar. Mengabaikanku dan
deraian air mataku seakan permohonanku hanyalah angin lalu.
Aku juga takut, Raf.
Aku sangat takut karena seiring malam berganti, maka
semakin cepat waktu yang kita miliki berakhir. Aku takut suatu
saat nanti akan terbangun di pagi hari dan menyadari bahwa
waktu kita telah habis. Karena meski semua yang kita punya
terasa sangat manis dan indah, jauh di dalam hati, aku tahu
kalau hal itu tidak akan berjalan selamanya.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

172
pustaka-indo.blogspot.com
Menggenggam Mimpi
Day 9: Amsterdam
18 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang selalu meletakkan mimpinya di atas segalanya.)

So here’s the thing with Amsterdam; penganan dengan rasa


menakjubkan bisa kita dapati dengan mudah di tepi jalan
maupun di sudut kota. Kafe kecil di pinggir kanal merupakan
tempat yang cocok untuk menghabiskan sore dengan ditemani
secangkir kopi hitam pekat dan stroopwafel yang manis. Oh, dan
jangan pernah meremehkan camilan dengan nama “patat”. Yah,
namanya memang terdengar aneh dan sedikit menggelikan,
tetapi aku bersumpah itu merupakan makanan paling enak
yang pernah kucicipi.
Patat mirip kentang goreng yang biasa kita temukan
di restoran cepat saji. Hanya saja patat lebih besar dan
berisi. Apalagi kalau dimakan dengan saus khasnya ataupun
mayonnaise. Astaga, jika aku tinggal di Amsterdam, aku yakin
saat aku menginjakkan kaki di atas timbangan, timbangannya
akan rubuh.
Oke, maaf, bicaraku melantur sekarang. Ini jam tiga pagi
dan aku berada di dalam kamar hotel dengan botol-botol berisi

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

susu rasa vanila. Sure, I do ramble on this letter right now but I’m
not drunk. I don’t drink, to be exact.
Orang bilang susu dapat membantumu agar tidur lebih
baik. Tetapi, kenapa yang terjadi padaku malah sebaliknya,
Raf? Buktinya, meskipun sekarang ini aku sedang meminum
botol ketiga dari aku masih terjaga sepenuhnya. Heck, bahkan
aku terjaga sambil menulis surat dengan lancar. Yah, tulisanku
memang sedikit berantakan malam ini. Padahal, biasanya
surat-surat yang aku tulis untukmu selalu rapi dan kusimpan di
dalam amplop warna-warni yang cantik. Setiap menyelesaikan
satu surat, biasanya aku akan meletakkannya di sudut terdalam
koperku agar tidak tercecer.
Jujur, Raf, aku belum tahu apa yang ingin kulakukan
dengan surat-surat ini sebenarnya. Apa harus aku berikan
padamu? Tetapi, bagaimana kalau saat kamu membacanya kamu
malah menganggapku sebagai perempuan menyedihkan yang
sampai sekarang masih belum bisa melupakanmu? Bagaimana
kalau kamu sudah memiliki penggantiku sekarang? Atau lebih
buruknya lagi, bagaimana kalau kamu sudah menikah?
Oke, baiklah, aku tahu kalau dua kemungkinan terakhir
yang kusebutkan sedikit tidak mungkin. Tabloid dan berita-
berita di internet memang mengatakan kalau kamu masih
sendiri. Tetapi, siapa yang tahu kebenarannya? Aku sudah cukup
lama bersama kamu untuk tahu kalau semua yang ditampilkan
di media sosial bisa jadi hanya sebuah setting. Public igure
seperti kamu, kehidupannya terlalu rumit dan penuh kepura-
puraan.
Aku jadi ingat hari itu. Hari yang aku yakin pasti kamu
nobatkan sebagai hari terbaik dalam hidupmu, tetapi justru
sebaliknya untukku. Kalau bisa aku ingin menghilangkan hari

174
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

itu dari kalender dan kalau kamu bertanya kenapa jawabannya


hanya satu; karena jika hari itu tidak ada mungkin kita masih
bersama sekarang. Atau mungkin tidak? Entahlah. Aku tidak
tahu apakah berakhirnya hubungan kita memang kesalahan
kita, atau takdir yang telah digariskan. Apa karena kita berdua
terlalu egois, atau memang karena kita tidak ditakdirkan untuk
berada di dalam kisah yang sama.
Omong-omong Raf, sebentar lagi liburanku akan berakhir.
Setelah Amsterdam, aku akan mengunjungi Paris, lalu London,
kemudian Dubai, dan akhirnya Jakarta. Sebentar lagi, aku akan
kembali ke dunia nyata. Kembali menjadi Lucillia Kejora versi
dewasa yang selama ini selalu bisa mengendalikan emosinya
dan menutupi apa yang sebenarnya dia rasakan. Menjadi
seseorang yang sebenarnya bukan diriku sendiri. Berpura-pura
itu melelahkan, kamu tahu? Oh, tentu saja kamu tahu. Kamu
paling ahli dalam hal itu.
Namun, tetap saja di penghujung hari, saat kita semua
sedang sendiri tanpa seorang pun di sisi kita, topeng yang telah
kita gunakan seharian penuh perlahan terlepas. Menampakkan
jiwa-jiwa kecil ketakutan yang terperangkap di dalam tubuh
orang dewasa, tidak siap untuk menghadapi dunia nyata.

Setelah resmi menyelesaikan SMA, hari-hari kamu diwarnai


dengan proses daftar ulang perkuliahan dan segala macam
hal merepotkan lainnya. Waktu luangmu sepenuhnya kamu
gunakan untuk fokus pada Constant Star. Aku tidak tahu apa
tepatnya yang waktu itu sedang kamu dan teman-temanmu

175
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

rencanakan, tetapi kalian terlihat sangat sibuk. Yah, kalau


beruntung, sesekali kamu akan datang ke sekolah untuk
menjemputku di sore hari.
Hari itu pun tak berbeda. Begitu bel pulang berbunyi, kamu
mengirimiku pesan, mengabarkan kalau kamu sudah berada di
depan gerbang. Maka, setelah pamit pada Noah—yang hanya
dibalas sahabatku itu dengan marah-marah tidak jelas—aku
berlari kecil ke arah gerbang dan mendapati kamu sedang
mengobrol dengan Pak Sugir, satpam sekolah kita, dalam
balutan kemeja kotak-kotak dan jeans yang lengannya digulung
sampai siku.
Aku tidak langsung mendekat ke arahmu waktu itu. Selama
beberapa saat, aku mengamati kamu yang sibuk berceloteh
dengan senyum lebar dan tawa yang sesekali muncul. Sesuatu
di dalam relung hatiku menghangat. Setelah menyelesaikan
SMA, aku bisa melihat ada sesuatu yang berubah dari dirimu.
Kamu terlihat lebih … bebas. Seakan selama ini ada beban
yang tersangkut di pundakmu tetapi akhirnya berhasil kamu
lepaskan. Senyum kamu hari itu, Raffa, aku harap aku bisa
melihatnya sekali lagi.
Beberapa saat kemudian, kamu menoleh dan tersenyum
manis saat manik cokelat gelap milikmu bertabrakan denganku.
Aku balas tersenyum sebelum melangkah menuju mobilmu dan
mengambil tempat di kursi penumpang. Kamu masuk beberapa
saat kemudian, menyalakan mesin, dan perlahan kita bergerak
menjauhi sekolah.
Senyum lebar masih terpasang di wajahmu. Sesekali kamu
ikut menyenandungkan lagu-lagu top forties yang mengalun dari
radio, padahal aku tahu pasti kalau kamu tidak terlalu menyukai
lagu semacam itu. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk

176
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tidak menoleh ke arahmu dengan kening berkerut. Kamu


terlihat … sangat bahagia hari itu. Aneh.
“Raf,” panggilku, mulai takut dengan senyum lebar yang
tidak kunjung hilang dari wajahmu. “Senyum-senyum sendiri,
kenapa?”
Kamu menggigit bibir, menahan agar senyummu tidak
semakin lebar. “Masa sih?”
“Iya.” Aku cepat-cepat mengangguk. “Kamu kenapa? Habis
dapat dua milyar?”
Tawa kecil meluncur dari bibirmu. Kamu melirikku sekilas,
masih sambil tersenyum, lalu meraih tangan kananku dan
menggenggamnya erat-erat, membuat kerutan di keningku
malah semakin banyak. Nyaris dua tahun aku bersama kamu,
tidak pernah sekalipun kamu bertingkah seaneh ini.
Saat kita berdua akhirnya tiba di rumahku, memilih untuk
turun dan masuk ke kamarku, menghidupkan televisi seraya
mengambil tempat di atas kasur. Kebetulan rumah sedang
kosong hari itu, Bunda dan Ayah kerja, sedangkan Noah
memilih untuk menyendiri di rumahnya. Saat aku memasuki
kamar, kamu sudah sibuk melihat tumpukan DVD milikku yang
berbaris rapi di dalam lemari.
“500 Days dong, Raf,” ucapku.
Kamu lalu mengangguk dan meraih DVD ilm kesukaanku
itu sebelum memasukkannya ke player. Kerutan di keningku
langsung bertambah banyak. Biasanya kamu selalu menolak
kalau aku mengajakmu untuk menonton ilm itu. Membosankan,
katamu. Tetapi, hari itu kamu suka rela menerima ajakanku.
Cukup aneh, kan?
Kukesampingkan semua rasa curigaku dan cepat-cepat
bergegas menuju kamar mandi untuk mengganti seragamku

177
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

dengan kaus dan celana tidur. Aku lalu ikut mengambil tempat
di sebelahmu, menatap layar televisi dengan serius. Filmnya
baru saja dimulai—Tom sedang memecahkan piring di counter
dapur. Selama ilm berlangsung, yang menyelimuti kita
hanyalah helaan napas yang teratur. Aku melirikmu sesekali,
mendapati kamu yang balas melirikku dengan seulas senyum
kecil di sudut bibirmu. Ada sesuatu yang salah padamu hari itu,
aku yakin.
“Gue nggak pernah ngerti sama jalan pikirannya Summer,”
katamu tiba-tiba, membuatku menoleh. “Seenak jidatnya aja dia
bilang kalau dia sama Tom cuma teman, padahal semua orang
juga tau kalau teman nggak kayak gitu,” sambungmu kesal.
Aku tertawa pelan. “Namanya juga ilm, Raf. Suka-suka
sutradaranya lah.”
“Tapi, dia egois banget, Ra.” Kamu terlihat tidak setuju
dengan ucapanku. “Dia ngelakuin apa yang dia mau tanpa
memedulikan perasaan orang lain. Gue kesel, pengin gue jedutin
ke tembok,” tambahmu membuat tawaku semakin keras.
Aku lalu menoleh ke arahmu sambil tersenyum kecil saat
tawaku sudah surut. “Raf, daripada kamu marah-marah nggak
jelas karena ilm, mending kamu cerita deh kenapa kamu
senyum-senyum kayak orang gila gitu.”
Seringai lebar langsung muncul di wajahmu. “Ah, itu,”
gumammu pelan. Perlahan kamu lalu meraih sesuatu dari saku
celana dan mengacungkan sebuah amplop yang terlihat sedikit
kusut di depan wajahku.
Langsung saja aku meraih amplop itu dan menatap kamu
dengan mata membesar. “Kamu dapat dua milyar beneran?”

178
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu tertawa, mengusap puncak kepalaku lembut


sebelum berkata, “Pengin sih dapat dua milyar, Ra. Tapi, ini
lebih berharga dari dua milyar.”
Cepat-cepat aku membuka amplop yang kamu berikan.
Ada sebuah kertas yang dilipat seperti model surat resmi di
dalamnya. Aku baru saja akan meluruskan kertasnya saat
mataku menangkap logo yang tertera di kop surat, membuatku
seketika membeku. Dengan rahang yang kaku aku perlahan
menoleh ke arahmu. “Raf, ini .…”
Kamu lalu mengangguk dan mengisyaratkanku untuk
lanjut membaca. Kedua mataku langsung men-scan isi surat
itu dan tanpa bisa ditahan rasa haru menyusup ke dadaku.
Bahkan, pelupuk mataku terasa basah. Pasalnya, surat yang
baru saja aku baca memiliki logo perusahaan rekaman nomor
satu di Indonesia dan isi surat itu mengatakan kalau Constant
Star mendapatkan tawaran untuk mencicipi dapur rekaman.
Bagaimana bisa aku tidak ingin menangis detik itu juga?
Selama beberapa saat aku hanya bisa menatap kamu dengan
telapak tangan menutupi mulut. Aku tahu kalau di dunia ini ada
jutaan bahkan milyaran kata, tetapi aku tidak bisa menemukan
kata yang tepat untuk kuucapkan padamu. Ini lebih dari
sekadar “Selamat ya, Raf, kamu ditawari rekaman”. Ini mimpi
kamu. Mimpi kamu yang dulunya kamu anggap mustahil, tetapi
akhirnya terwujud.
Pada akhirnya aku hanya bisa berkata dengan suara yang
sedikit serak, “You made it, Raf.”
Kamu mengembuskan napas keras-keras. Ekspresimu
campur aduk. Senang, lega, bahagia. “It’s too early to say I made
it.” Kamu lalu meraih tanganku dan menggenggamnya perlahan.

179
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Ibu jarimu mengusap punggung tanganku, menyebarkan rasa


hangat ke seluruh pembulu darahku. “But sure, I will make it.”
“Ta-tapi, gimana bisa?” tanyaku sedikit terbata. Aku masih
terlalu kaget untuk mencerna isi surat itu.
Genggamanmu di tanganku semakin erat, sepertinya
dimaksudkan untuk membantu menghilangkan rasa gugupku.
“Kamu ingat nggak dua minggu yang lalu gue cerita Constant
Star bakal main di gig yang cukup penting?” tanyamu, aku
mengangguk. Waktu itu aku tidak bisa hadir karena terlalu sibuk
belajar untuk ulangan. “Ternyata, Ra, waktu itu ada orang dari
label nonton. Selesai manggung, dia ngasih kartu namanya ke
gue dan ngusulin supaya Constant Star bikin demo,” tambahmu.
Aku hanya bisa manggut-manggut. Perlahan semua
kesibukanmu terlihat masuk akal. “Ah, jadi belakangan ini
kalian sibuk ngerjain demo itu?”
“Iya.” Kamu mengangguk dengan semangat. “Begitu selesai,
kami langsung serahin ke label dan tiba-tiba aja kemarin surat
ini sampai di Studio Band-nya Karel.”
Aku hanya bisa menatap kamu dan surat dalam
genggamanku secara bergantian. Aku belum pernah merasakan
pengalaman seperti yang kamu rasakan waktu itu. Aku belum
pernah benar-benar menginginkan sesuatu dan berhasil
mendapatkannya. Jadi, aku hanya bisa menerka-nerka. “Kamu
pasti bahagia banget ya, Raf?”
Kamu memejamkan kedua mata, lalu tersenyum kecil.
Ekpresimu terlihat damai. “Bahagia banget sampai nggak tau
mau gimana mendeskripsikannya.”
“Kamu tau nggak lagu apa yang kami kirim ke label, Ra?”
tanyamu tiba-tiba saat aku baru saja ingin ikut memejamkan
mata. Aku langsung menggeleng.

180
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Salah satunya ada One to Me,” katamu, membuatku


melongo kaget. “Lagu yang gue nyanyiin di gig pertama Constant
Star yang kamu hadirin. Lagu yang gue tulis karena kamu.”
“Serius?” tanyaku tidak percaya. Maksudku, lagu itu bagus.
Tentu saja. Tapi, aku tidak mengira dari sekian banyak lagu
yang kalian ciptakan kalian akan memilih lagu itu.
Kamu lalu membuka mata perlahan, menoleh ke arahku
dan memasang seringai jail. “You’re my lucky strike. You know
that, right?”
Aku hanya bisa mendengus geli dan bergumam, “I know.”

Satu minggu setelahnya, aku mendapati diriku berada di dalam


mobil yang membawaku menuju ke Label. Beberapa hari yang
lalu, kamu memintaku ikut bersamamu dan personel Constant
Star lainnya untuk menghadap Label. Awalnya aku menolak,
tentu saja. Maksudku, aku kan tidak punya kepentingan apa-
apa di sana. Tetapi, kamu tidak henti-hentinya merengek dan
memintaku untuk menemani—meski tanpa alasan yang jelas.
Pada akhirnya, aku menyetujui ajakanmu. Berhubung aku juga
penasaran akan apa yang kalian lakukan nantinya
Setibanya di tujuan, kamu dan teman-temanmu langsung
disambut oleh seorang laki-laki dengan perut yang buncit
dalam balutan kemeja biru tua, sementara aku memilih untuk
berjalan lambat-lambat cukup jauh di belakang kalian. Laki-
laki itu menepuk punggungmu seraya tertawa lebar, terlihat
mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa mendengarnya.
Belakangan aku tahu kalau nama laki-laki itu Joe.

181
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Setelah basa-basi selama beberapa saat, kamu dan teman-


temanmu memperkenalkanku pada Joe sebagai Lucillia Kejora
tanpa embel-embel apa pun. Tidak ada kalimat ‘pacar Rafa’
ataupun hal lainnya, membuat Joe mengernyit heran tetapi
tidak bertanya apa-apa. Mungkin dia bingung apa gunanya
aku ada di sana. Aku sendiri hanya bisa tersenyum kecil dan
menjabat tangannya.
Joe lalu menjelaskan padamu dan teman-temanmu tentang
apa yang akan kalian lakukan hari itu; mengurus kontrak,
keliling label dan sebagainya. Aku jujur tidak terlalu mengerti,
maka aku memilih untuk duduk di ruang tunggu yang telah
disediakan, sementara kamu dan teman-temanmu menghilang
di balik pintu besar yang menuju entah ke mana bersama Joe.
Cukup lama aku berada di sana sendirian, ditemani novel
fantasi tebal dan earphone yang hanya kupasang di telinga
kanan dengan volume pelan. Samar-samar aku bisa mendengar
suaramu diiringi dengan tabuhan drum dan petikan gitar dari
balik pintu. Mungkin kalian sedang test vocal? Entahlah.
Fokusku pada buku di pangkuanku teralihkan saat
mendengar langkah kaki yang menuju ke arahku. Awalnya aku
mengira kalau itu kamu dan teman-temanmu. Namun, dugaanku
salah karena aku malah mendapati seorang perempuan dengan
crop tea dan ripped jeans yang kini mengambil tempat di
hadapanku. Aku tertegun selama beberapa saat. Ada sesuatu
yang terasa familier dengan perempuan itu. Rambut merahnya
yang jatuh dengan lambut di atas bahu, sorot matanya yang
tajam, aku yakin aku pernah melihatnya sebelumnya. Tetapi, di
mana?
Sepertinya, perempuan itu sadar kalau aku mengamatinya
karena sedetik kemudian dia tersenyum tipis ke arahku seraya

182
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mengulurkan tangan. “Hai, gue Marlene,” sapanya dengan suara


serak yang mengingatkanku pada Bonnie Tyler, penyanyi lama
kesukaan Bunda. “Lo?”
Aku membalas uluran tangannya. “Kejora.”
Marlene lalu ber-oh pendek dan menolehkan kepalanya
ke arah pintu yang kamu dan teman-temanmu masuki tadi.
Kepalanya bergoyang ke kanan dan ke kiri, senada dengan
irama yang kalian mainkan, terlihat menikmati.
“Lo kenal mereka?” tanyanya padaku seraya mengedikkan
dagu ke arah pintu.
Aku mengangguk. “Ya, mereka senior gue di sekolah. Baru
aja lulus.”
“Damn, they sound good.” Marlene berdecak keras. Dari
ekspresinya, aku tahu kalau dia berusaha menahan senyum lebar
yang hendak muncul di bibirnya. Aku tidak menyalahkannya,
lagu-lagu kalian memang selalu membuat siapa pun yang
mendengarnya ingin tersenyum. “Sebelumnya mereka main di
mana?” tanya Marlene lagi.
“Kafe. Di gig kecil dan sebagainya,” jawabku singkat.
Marlene terlihat senang saat mendengar jawabanku.
“hanks lord mereka akhirnya rekaman. Materi mereka keren,
gue berani taruhan debutnya bakal meledak di Indonesia,”
ocehnya sementara aku hanya bisa mengangguk dan
menggumamkan kalimat, “Gue harap begitu.” Aku tidak terlalu
mengerti dengan dunia musik jadi aku memilih untuk tidak
berkomentar banyak. Mana aku tahu menahu tentang “materi”
yang baik itu bagaimana.
Suara pintu yang dibuka membuatku dan Marlene sontak
menoleh dan mendapati kamu, Karel, Klana, dan Adrian berjalan
keluar ruangan. Joe mengikuti kalian dari belakang, terlihat

183
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

mengatakan sesuatu yang kalian balas dengan anggukan. Kamu


lalu melirikku sekilas dengan sorot yang seakan berkata “Maaf
lama”, yang kubalas dengan senyum menenangkan.
Sepertinya Marlene menangkap gestur yang kita lakukan
karena selama beberapa saat aku bisa merasakan tatapannya
padaku, lekat, membuatku menunduk dalam. “Kejora,”
panggilnya pelan. “Do you, by any chance, have a thing with one
of them?”
“Pardon?” ucapku tanpa bisa ditahan. Aku bukannya tidak
mendengar pertanyaan Marlene, tetapi apa yang dia tanyakan
benar-benar terasa aneh. Memangnya ada yang salah kalau
aku “have a thing” dengan salah satu di antara kalian? Apa
urusannya?
“Well, I suppose—“
Marlene baru saja akan membalas ucapanku, tetapi Joe
terlebih dahulu memotongnya dengan teriakan melengking.
“Marlene!” Dia lalu mengambil langkah lebar ke arah Marlene
dan merangkul perempuan berambut merah itu akrab, menepuk-
nepuk pundaknya dengan seringai. “Kok nggak bilang-bilang
mau datang? Kapan lo balik dari Australia?”
Marlene tidak menggubris ucapan Joe. Perempuan itu
memilih untuk mengibas rambut merahnya dan menepuk-
nepuk perut Joe, “Hello, dear Uncle. Makin cakep aja lo.”
“Dasar, keponakan gila,” rutuk Joe, berusaha menyingkirkan
tangan Marlene yang menepuk perutnya seakan perut Joe
adalah drum. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat adegan itu.
Sedetik kemudian Joe mengalihkan pandangannya padamu
dan teman-temanmu. “Oh iya, Rafa, Karel, Klana, Adrian,
ini Marlene. Keponakan gue sekaligus salah satu penyanyi
andalan di bawah label rekaman ini. Marlene baru aja kembali

184
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dari Australia, kalau rajin nonton infotainment kalian pasti tau


Marlene sering konser di luar negeri. Mungkin selama dia di
sini kalian bisa belajar banyak dari dia.”
Aku tertegun saat mendengar ucapan Joe. Pantas saja aku
merasa kalau wajah Marlene familier. Ternyata, setelah kuingat-
ingat lagi, aku memang pernah beberapa kali melihatnya di
televisi. Noah juga pernah menunjukkan music video single
pertamanya dulu. Belakangan Marlene memang sedang
naik daun, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Sydney,
Melbourne, Perth, dan kota-kota besar lainnya yang terdapat
di Negeri Kangguru itu. Menurut salah satu berita infotainment
yang pernah aku tonton, Marlene memang memiliki darah
campuran Australia.
Marlene memasang senyum manis dan melambaikan
tangan ke arahmu dan teman-temanmu. “Hai, gue Marlene,”
sapanya ramah. “I kinda hear you guys from here and you sound
really good, actually,” tambahnya dengan bahasa Inggris yang
kelewat fasih.
“hanks,” jawab Adrian, laki-laki itu terlihat sangat senang
mendengar pujian yang dilontarkan Marlene. “Dibanding lo,
kami belum ada apa-apanya, kali.”
“Aw, how cute.” Marlene tersenyum geli. Dia lalu
menyilangkan tangannya di depan dada sebelum mulai
mengeluarkan opininya tentang kamu dan teman-temanmu.
“Kalian punya sesuatu yang bikin pendengar addicted sama
musik yang kalian bawain. And that’s a good start. Bener, kan,
Joe?”
Joe mengangguk cepat. “Iya. Gue sih yakin nggak butuh
waktu lama sampai kalian bisa jadi seperti Marlene. Apalagi label
rekaman ini punya kerja sama yang kuat sama label rekaman di

185
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Sydney. Jadi, chance kalian buat go international seperti Marlene


pasti besar.”
Aku hanya bisa diam. Maksudku, pembicaraan semacam itu
benar-benar di luar daya pikirku. Selama ini opiniku pada dunia
musik hanyalah; boyband sebenarnya juga memiliki suara yang
tak kalah bagus dengan penyanyi solo dan John Mayer adalah
penyanyi dewa. Jadi, tidak mengherankan kalau mendengar
pembicaraan kalian membuat kepalaku berdenyut nyeri.
“Ra, are you okay?” tanyamu tiba-tiba. Aku cepat-cepat
mengangkat kepala, kaget mendapati kamu yang telah berdiri
tepat di sebelahku, menatapku dengan sorot khawatir.
Aku tersenyum tipis. “Fine, pusing sedikit, sih.”
Seakan baru menyadari kehadiranku, semua orang yang
ada di ruangan itu lalu berhenti mengobrol dan mengalihkan
pandangan padaku. Membuatku salah tingkah. Terlebih lagi
saat Joe buka suara dengan pandangan bertanya, “Oh iya, ini
tadi .…”
“Kejora,” sambungmu cepat. Tetapi sayangnya Joe masih
menatapku dengan sorot itu. Sorot yang seakan berkata, “Oke,
dia Kejora. Tapi, dia siapa?”. Saat menyadari maksud tatapan
Joe, kamu cepat-cepat menambahkan. “Pacar gue. Kenapa?”
Joe diam selama beberapa saat. Dari sudut mataku, aku
tahu kalau dia dan Marlene saling lirik, mengatakan sesuatu
lewat isyarat mata. “Kalian buru-buru nggak? Kalau nggak,
gimana kalau kita ngobrol dulu di ruangan gue? Ada beberapa
hal yang harus kita bicarakan,” ucap Joe akhirnya, membuat
kamu dan teman-temanmu mengernyit.
“Tentang apa, Jo?” tanya Karel, mewakili kita semua.
Joe lalu tersenyum tipis. Kalau boleh jujur, senyumnya
menimbulkan perasaan tidak enak di dalam dadaku. Dia lalu

186
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

melirikku sekilas sebelum mengalihkan pandangan pada Karel,


Klana, dan Adrian. “Maaf kalau kesannya menyinggung urusan
pribadi, tapi selain Rafa, siapa lagi di antara kalian yang udah
punya pasangan?”

Aku tidak tahu tepatnya apa yang kalian bicarakan hari itu.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Joe langsung menggiring
kalian ke ruangannya. Kali ini, Marlene ikut bersama kalian.
Aku hanya bisa pasrah memainkan ponsel, berusaha menerka
apa yang kalian rundingkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya dalam hati, memangnya apa yang salah kalau
para personel Constant Star punya pasangan?
Setelah nyaris empat puluh lima menit berlalu, kamu
dan teman-temanmu akhirnya keluar dari ruangan. Joe dan
Marlene berjalan di belakang kalian, mengobrol serius dengan
volume pelan. Ekspresi kalian berempat tidak bisa kubaca. Mau
tak mau satu hal terlintas di benakku; ada sesuatu yang salah.
“Semuanya baik-baik aja?” tanyaku pelan saat kamu
akhirnya berdiri di hadapanku.
Kamu menatapku lekat untuk waktu yang cukup lama.
Aku tidak tahu tepatnya apa yang kamu pikirkan karena meski
aku telah berulang kali mencoba untuk memahami, aku selalu
saja gagal. Pada akhirnya, kamu mengangguk pelan, meraih
tanganku dan bergumam, “Ya, semuanya baik-baik aja.”
Namun, kilatan di matamu mengatakan sebaliknya.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

187
pustaka-indo.blogspot.com
Patahan Pertama
Day 10: Amsterdam—Brussesls—Paris
19 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang selalu berhasil membuatku memaafkannya, seburuk apa pun
pertengkaran yang kita miliki.)

Tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang perjalananku


hari ini. Setelah memutuskan kalau kami sudah cukup lama
berada di Amsterdam, aku dan rombongan langsung bergerak
menuju Paris. Teknisnya, aku masih harus singgah di Brussels
sebelum menginjakkan kaki ke kota penuh cahaya itu. Namun,
tidak masalah, toh aku menikmati setiap menitnya.
Setibanya di Paris nanti, aku akan meninggalkan
rombongan dan pergi bersama salah satu sepupu Noah yang
kini sedang duduk di bangku kuliah. Sejak awal memang
rencananya seperti itu. Aku hanya ikut rombongan sepuluh
hari pertama, lalu sisanya akan kujalani sendiri. Omong-omong
tentang sepupu Noah, namanya Elaine. Tinggi, kurus, dengan
rambut sebahu berwarna pirang. Aku memang belum pernah
bertemu dengannya secara langsung, tetapi kami cukup sering
berkomunikasi lewat media sosial.

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Oh iya, Raf, aku sudah memikirkan tentang apa yang akan


kulakukan pada surat-surat ini setelah liburanku berakhir. Aku
memutuskan kalau lebih baik menyimpannya untuk diriku
sendiri. Memang sia-sia, tetapi sejak kali pertama surat ini
kutulis, tujuanku adalah untuk mengenang dan bukannya untuk
mendapatkan kamu kembali. Lagi pula, setibanya di Indonesia
nanti, aku punya kehidupan baru yang harus kujalani. Aku tidak
bisa bertingkah seperti anak remaja dalam urusan menjalin
hubungan karena aku telah menyetujui permintaan Ayah dan
Bunda. See? Kalaupun sejak awal niatku kembali mendapatkan
kamu, semuanya toh sudah terlambat. Masa depanku telah
dirancang dengan apik dan tidak ada satu orang pun—bahkan
diriku sendiri—mampu menentangnya.
Oh iya, tentang apa yang terjadi di suratku sebelumnya,
aku rasa hari itu adalah hari ketika hubungan kita perlahan-
lahan mulai retak.
Bermula dari retakan kecil yang tak kita sadari sampai
perlahan muncul lubang yang cukup besar untuk menimbulkan
rasa tidak nyaman. Lama-kelamaan rasa tidak nyaman itu
berubah menjadi rasa sakit dan rasa sakit itu bertahan sampai
pada akhirnya kita berdua cukup berani mengambil tindakan
untuk hubungan kita yang—mengutip kata yang kamu ucapkan
pada pertengkaran terakhir kita—berantakan.
Awalnya kita berdua bersikap bodoh, tentu saja. Mengira
kalau mempertahankan hubungan yang penuh dengan kepura-
puraan lebih baik daripada mengakhirinya. Tetapi, toh itu
semua hanya masalah waktu. Pada akhirnya kita berdua sama-
sama lelah dan memutuskan untuk saling melepaskan.

189
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Seharusnya aku tahu ada yang salah dengan hari itu. Pasalnya
saat aku terbangun, aku bisa merasakan sesuatu yang janggal
dengan suasana rumahku. Biasanya di akhir pekan suara berisik
dari arah dapur menandakan kalau Bunda sedang membuat
sarapan dan Ayah yang menyenandungkan lagu-lagu dalam
bahasa Batak sambil mencuci mobil selalu mewarnai pagiku.
Namun, hari itu berbeda. Suasananya hening. Bahkan, aku
bisa mendengar bunyi jam berdetik. Maka, setelah mencuci
muka, aku memutuskan untuk keluar dari kamar seraya
berjinjit. Waktu itu masih pukul enam pagi. Hawa dingin sisa
subuh masih terasa. Aku memeluk diri sendiri dan melangkah
perlahan. Entah kenapa, aku merasa seakan sedang bermain di
dalam ilm horor. Seakan-akan jika aku tidak waspada akan ada
roh jahat yang menyeretku paksa ke dunianya.
Aku memanggil Bunda dan Ayah beberapa kali, tetapi
nihil. Tidak ada sahutan. Pun aku memberanikan diri untuk
mengecek kamar mereka. Kosong. Seprai dan selimutnya telah
dirapikan, membuat rasa curigaku semakin besar. Setelah
menimbang sejenak, aku memutuskan untuk berpikir positif
dan menyimpulkan kalau mungkin Bunda dan Ayah sedang
pergi mencari sarapan dan tidak tega membangunkanku yang
tertidur pulas.
Dengan langkah ringan, aku kembali menuju kamar,
bersiap melanjutkan tidur. Tetapi, baru setengah jalan, aku bisa
mendengar suara tawa tertahan dari halaman belakang. Cepat-
cepat aku memutar arah, bergegas menuju ke sumber suara
meski sebenarnya aku sedikit takut—maksudku, bagaimana
kalau itu ternyata … makhluk halus?
Namun, semua hipotesis aneh yang sempat muncul di
kepalaku buyar saat mendapati Ayah, Bunda, Om Albert, Tante

190
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Ratih, dan Noah yang sedang mengobrol dengan volume pelan.


Di sekitar mereka ada balon berbagai warna dan tumpukan
kado. Tak lupa pula sebuah kotak besar yang aku yakin berisi
kue ulang tahun.
Selama beberapa saat aku terpaku, siapa yang berulang
tahun? Kemudian, aku langsung menepuk jidat saat satu fakta
yang seharusnya sudah kusadari sejak bangun tidur terlintas di
pikiranku; itu hari ulang tahunku.
Maka, setelah berusaha keras untuk tidak tertawa karena
kebodohanku sendiri, aku pun berdeham pelan. Awalnya
tidak ada satu pun di antara Bunda, Ayah, Noah dan kedua
orangtuanya yang menyadari kehadiranku. Mereka masih
mengobrol dalam volume pelan. Aku lalu melangkah mendekat
perlahan, “Lagi ngobrolin apa?” tanyaku dengan nada manis.
Setelah mengucapkan kalimat itu, seluruh pasang mata
yang ada di halaman belakang langsung menatapku kaget,
sementara aku mulai tertawa geli. Bunda dan Ayah hanya bisa
meringis sementara Noah meniup terompet dan mengucapkan
selamat ulang tahun dengan raut serbasalah. Aku tidak bisa
menghentikan tawa. Sisi jahatku merasa senang karena telah
berhasil menggagalkan kejutan ulang tahunku hari itu.
Setelah pulih dari rasa kaget, Bunda, Ayah, Om Albert,
Tante Ratih, dan Noah mulai menyanyikan lagu selamat ulang
tahun seraya bertepuk tangan dengan heboh. Maka dimulailah
ritual yang biasa dilakukan orang-orang saat merayakan ulang
tahun; tiup lilin, potong kue, dan mencoreng wajah satu sama
lain dengan krim. Setelah ritual itu berakhir, aku bergegas
menuju kamar untuk mengecek ponsel, berharap menemukan
pesan darimu yang mengucapkan selamat ulang tahun.

191
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Waktu itu kamu sedang berada di Bandung bersama


personel Constant Star lainnya, sibuk mengurus segala sesuatu
yang menyangkut debut dan album kalian nanti. Belakangan
kita memang jarang bertemu. Kali terakhir kita menghabiskan
hari bersama adalah saat kamu baru menyelesaikan satu
minggu penuh penyiksaan MOS. Setelah sibuk berceloteh kamu
langsung tidur seperti beruang yang sedang hibernasi.
Jujur, aku tidak mengerti bagaimana nasib perkuliahanmu.
Setahuku, kamu hanya akan datang ke kampus jika Constant
Star tidak ada jadwal. Meski sempat menentang kegiatan
bermusikmu mati-matian, Om Tio terlihat tidak terlalu
keberatan. Mungkin karena sekarang Constant Star sudah
berada di bawah label dan bukannya tampil di gig tidak jelas.
Meskipun Om Tio tidak pernah mengatakannya, tetapi kita
berdua tahu kalau beliau bangga padamu.
Sesampainya di kamar, aku langsung meraih ponsel.
Rasanya sedikit kecewa saat mengetahui tidak ada notiikasi
yang menyangkut namamu di sana. Sambil mengembuskan
napas keras-keras aku men-dial nomormu.
“Halo?” ucapmu setelah deringan ketiga.
Seulas senyum perlahan tersungging di bibirku. “Pagi,
Rafa,” sapaku kelewat ceria.
“Pagi, Ra.” Suaramu terdengar serak dan datar, tetapi aku
memutuskan untuk tidak terlalu mempermasalahkannya.
Mungkin kamu baru bangun tidur?
“Kamu lagi di mana? Sibuk?” tanyaku, berbasa-basi
sebentar. Dalam hati aku merutuki kamu, masa kamu tidak
ingat ulang tahunku, sih?
Helaan napas berat terdengar dari seberang sambungan.
“Gitu deh, masih di studio.”

192
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Oh, gitu.” Aku mengangguk kecil meski tahu kamu tidak


bisa melihatnya. Aku lalu menggigit bibir perlahan sebelum
berkata ragu-ragu, “Kamu nggak pengin bilang sesuatu gitu ke
aku?”
“Bilang apa?” Kamu balas bertanya.
“Tebak deh, coba ingat-ingat.”
Selama beberapa saat kamu tidak membalas ucapanku,
membuatku menyimpulkan kalau kamu sedang berpikir keras
untuk menerka apa yang kumaksud. Jadi, aku cepat-cepat
memotong saat kamu baru saja memulai, “Ra, gue—“
“Aku kasih clue, ya,” ucapku cepat, masih dengan nada ceria
yang sama. “Coba lihat tanggal dan sambung kalimat ini; hari
ini adalah hari ketika Kejora—“
Belum sempat lagi aku menyelesaikan kalimatku, kali ini
gantian kamu yang memotong. “Ra, ngobrolnya bisa nanti,
nggak?”
Aku mengerjap kaget. “Eh?”
Untuk kali kedua kamu menghela napas. Nada bicaramu
terdengar ketus saat kamu melanjutkan, “Gue lagi sibuk banget,
nggak ada waktu untuk main tebak-tebakan. Bisa nanti, kan?”
“O-oke,” balasku sekenanya, berusaha keras menutupi
rasa kecewa dalam suaraku. “Take care,” gumamku akhirnya,
sementara kamu langsung mematikan sambungan tanpa repot-
repot membalas ucapanku.
Selama beberapa saat aku tertegun menatap ponsel dalam
genggamanku. Yang tadi itu … itu kamu, kan? Tetapi, kenapa
terdengar sangat berbeda? Kamu tidak pernah bicara sekasar
itu sebelumnya dan sesibuk apa pun kamu, kamu pasti selalu
meluangkan waktu untukku. Mau tidak mau, jantungku
berdetak lebih cepat, tetapi bukannya menyebarkan euforia

193
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

seperti biasa, kali ini detaknya menyebarkan nyeri ke seluruh


pembuluh darah. Sakit untuk tahu kalau kamu, satu-satunya
orang yang kuharapkan mengucapkan selamat ulang tahun,
malah memperlakukanku seperti itu.
“Lucil, hei, Birthday Girl, sarapan yuk.” Kalimat yang Noah
ucapkan dengan nada ceria sukses menyeretku keluar dari
lamunan. Cepat-cepat aku memaksakan seulas senyum lebar
untuk menutupi rasa kecewa. Namun, bukan Noah namanya
kalau tidak bisa membaca perasaanku dengan jelas. Aku tahu
Noah ingin bertanya apakah semuanya baik-baik saja, jadi
sebelum dia sempat melontarkan pertanyaan itu dan membuat
suasana hatiku semakin buruk, cepat-cepat aku memasang
seulas senyum yang menyiratkan kalau aku tidak apa-apa.
Sarapan pagi hari itu berjalan lancar dan menyenangkan.
Aku menyibukkan diri dengan memasukkan berbagai macam
makanan yang tersedia di atas meja, berusaha menghindari
obrolan sebisa mungkin. Kalau sedang kesal, sering kali
omonganku tidak enak didengar. Beruntungnya aku, selama
sarapan berlangsung, kedua orangtuaku dan Noah-lah yang
mendominasi pembicaraan.
Setelah menyelesaikan sarapan, kami pindah ke halaman
belakang untuk sekadar duduk-duduk sambil minum teh.
Awalnya semua terasa nyaman dan aman untukku sampai Om
Albert menoleh ke arahku dan mengangkat satu topik yang
cukup sensitif.
“Kejora, sudah tahu mau kuliah di mana?” tanya Om Albert
dengan sorot penasaran. “Kan kalian sudah kelas tiga, harus
dipikirkan mulai dari sekarang.”
Aku hanya bisa meringis. Tidak tahu harus mengatakan
apa untuk membalas ucapan beliau. “Iya, Om. Masih ragu, nih.”

194
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kali ini Tante Ratih ikut menoleh ke arahku. Dia melirik


Bunda sekilas, seakan sedang mengatakan sesuatu lewat
isyarat mata, sebelum buka suara. “Tante menemukan program
beasiswa yang cocok untuk kamu lho, Ra,” katanya antusias.
“Kuliahnya di Inggris. Kamu masih berminat ambil kedokteran,
kan? Teman Tante saranin di UCL. Itu universitas peringkat
keempat terbaik dunia. Tertarik, nggak?”
Rentetan pertanyaan yang dilontarkan Tante Ratih sukses
membuat kepalaku berdenyut. Aku benci topik itu, tapi tidak
mungkin aku menyuruh Tante Ratih untuk diam. Tidak sopan
namanya. Jadi, sebagai gantinya aku memaksakan seulas
senyum tipis. “Susah dong, Tan, masuknya. Kejora kan nggak
pintar-pintar amat.”
“Bohong,” sambar Noah langsung, membuatku otomatis
melayangkan tatapan tajam ke arahnya. “Gue lihat score IELTS
lo di atas 6,5 minggu lalu. Dan jangan berani-beraninya lo
nutupin TOEFL lo yang setinggi dewa itu,” tambah Noah tanpa
ragu, terlihat tidak peduli dengan ancaman yang kulemparkan.
Perlahan aku menggigit bibir. “Eh, itu .…”
“Apa yang bikin kamu ragu, Ra?” tanya bunda tenang, sorot
matanya hangat saat menatapku. “Kalau masalah pelajaran,
Noah bisa bantu kamu belajar. Bunda juga bisa carikan bimbel
yang bagus untuk kamu. Lagi pula, di kelas kamu juga selalu
masuk tiga besar. Bunda yakin kamu bisa.”
Aku bergerak-gerak gelisah. Terlebih lagi saat Tante Ratih
menambahkan, “Tante bakal titip formulirnya sama Bunda.
Nanti jadwal tes, persyaratan, dan teknisnya bakal Tante
kabarin. Pikirin matang-matang, Ra. Kesempatan seperti ini
nggak datang dua kali lho.”

195
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Pada akhirnya, aku hanya bisa menelan ludah dan


mengangguk pasrah. Kemudian, dengan lihai aku mengalihkan
pembicaraan dari topik perkuliahan yang membuatku mual
menjadi surprise ulang tahunku yang gagal. Tidak ada yang
terlihat curiga dengan pergantian topik yang tiba-tiba itu.
Kecuali Noah, tentu saja. Dari sorot matanya, aku tahu kalau
baginya pembicaraan itu belum berakhir.

Dugaanku tentang Noah seratus persen benar. Setelah


mengobrol di halaman belakang sampai bibirku rasanya
mendadak tebal, Bunda dan Tante Ratih memintaku dan Noah
untuk mencuci piring bekas sarapan. Kami menurut saja, tahu
kalau orangtua kami ingin membicarakan hal yang tidak boleh
kami dengar. Sialnya, Noah beranggapan kalau berada di antara
piring kotor dan busa sabun merupakan waktu yang tepat
untuk berbicara tentang masa depanku.
“Lo yakin lo nggak minat ambil program beasiswa itu?”
tanya Noah tiba-tiba.
Aku menatapnya cukup lama, lalu mengembuskan napas
berat. “Gue … gue nggak tau apa gue masih orang yang sama
seperti dulu. Gue nggak yakin apa gue masih pengin jadi dokter
dan kuliah ke luar negeri. Lo tau itu semua hanya omongan gue
waktu kita masih kecil.”
Omonganku tidak sepenuhnya bohong. Waktu kecil, aku
selalu beranggapan kalau menjadi dokter sama hebatnya dengan
menjadi pesulap, karena dokter bisa mengetahui penyakit
apa yang diderita pasiennya hanya dengan menempelkan

196
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

stetoskop di dada. Setidaknya, begitu menurut Lucillia Kejora


versi anak-anak. Seiring dengan bertambahnya usia, aku sadar
kalau semuanya tidak sesederhana itu. Butuh kerja keras dan
perjalanan yang panjang agar bisa menyandang gelar itu dan
aku tidak yakin apakah aku mampu. Itu juga sebabnya kenapa
aku tidak pernah menyinggung apa pun tentang cita-cita masa
kecilku itu padamu.
Dan tentang kuliah ke luar negeri, aku selalu memimpikan
hal itu sejak kecil. Siapa juga yang tidak ingin memulai hidup
baru di belahan dunia lain? Memikirkannya saja membuatku
semangat sendiri. Tetapi, seiring berjalannya waktu, aku mulai
meragukan seluruh impian dan cita-citaku. Satu-satunya
yang ada di dalam benakku adalah; aku punya kamu. Meski
pemikiran itu salah besar, tetapi bagiku lebih dari cukup. Dasar,
Kejora bodoh.
Noah memutar mata saat mendengar jawabanku.
“Bohongin aja gue terus. Memangnya kita baru kenal kemarin,
apa?”
“Gue serius, Noah,” balasku langsung, berusaha keras
meyakinkannya meski aku tahu sia-sia. “Gue nggak tau apa
impian gue masih sama.”
Noah menyilangkan tangan di depan dada, senyum
penuh kemenangan muncul di sudut bibirnya sebelum dia
mengatakan hal yang sukses membuatku beku. “Kalau gitu
kenapa lo masih suka nonton Grey’s Anatomy dan drama Korea
yang menceritakan tentang kehidupan rumah sakit? Kenapa
lo masih amat sangat suka pelajaran Biologi? Dan kenapa gue
masih menemukan buku-buku kesehatan punya sepupu lo di
bawah tempat tidur? Dan jangan coba-coba mengelak dengan

197
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

bilang lo nggak mau kuliah di luar negeri karena history Google


di laptop lo adalah tentang universitas yang ada di Inggris.”
Aku mengerjap tak percaya. Sahabatku yang satu itu benar-
benar hebat dalam menganalisis sesuatu. “Lo sadar nggak sih lo
berbakat jadi agen FBI?” gumamku tanpa sadar.
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Lucil.” Tawa renyah
meluncur dari bibir Noah sebelum ekspresinya kembali serius.
“Ini karena Rafa, kan? Lo ragu karena lo nggak mau pisah dari
dia, kan?”
Pertanyaan Noah menghantamku tepat di titik lemahku.
Cepat-cepat aku memalingkan muka, menghindari tatapannya.
“Nggak segampang itu Noah,” balasku ketus.
“Kalau gitu biar gue bikin jadi mudah buat lo,” sambar Noah
langsung. “Lo lihat Rafa. Dia memperjuangkan cita-citanya,
mengambil semua kesempatan yang dia punya. Lo kapan mau
mulai memperjuangkan cita-cita lo? Selama ini gue memang
diam, Lucil. Gue nunggu kapan lo mau bergerak untuk meraih
impian lo. Nyatanya lo diam aja seakan impian itu nggak ada.”
Lagi dan lagi, kata-kata yang keluar dari bibir Noah selalu
berhasil membuatku merasa tertampar. Rasanya memalukan,
Raf. “Impian gue sama Rafa … itu sangat bertolak belakang.
Lo ngerti, kan?” mulaiku ragu-ragu, berharap Noah mengerti
maksudku.
“Ya, terus?” balas Noah tidak sabar. “Lo ngerasa impian
dia lebih penting dari impian lo? Lo mau diam aja ngikutin
dia dan semua keinginannya tanpa punya pendirian? Lo nyia-
nyiain hidup lo demi dia? Itu hal paling bodoh yang pernah gue
dengar.”

198
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku menatap Noah tajam setelah dia mengucapkan


kalimat itu. Noah benar, tentu saja. Namun, tetap saja aku kesal
mendengar ucapannya.
“Oke, gue keterlaluan. Maaf,” kata Noah langsung saat
menyadari tatapanku. Suaranya perlahan melembut saat dia
melanjutkan, “Gue cuma nggak pengin lo mengorbankan apa
yang sebenarnya lo mau demi dia. Kalau dia emang sayang sama
lo, dia pasti support lo. Nggak ada yang perlu lo khawatirkan.
Go talk to him. Gue yakin lo nggak pernah cerita kalau ini yang
sebenarnya lo mau.”
Ya, Noah lagi-lagi benar. Tidak pernah sekali pun aku
menyinggung tentang apa yang ingin aku lakukan di masa
depan saat kita sedang mengobrol. Selama ini, setiap berada di
hadapanmu, aku selalu menjadi Lucillia Kejora yang abu-abu.
Kalau kamu bertanya-tanya kenapa aku melakukan hal itu aku
bisa memberi kamu satu jawaban singkat; aku takut.
Takut kalau ternyata bukan itu yang sebenarnya aku mau.
Takut terdengar seperti perempuan ambisius yang sangat
ingin meninggalkan Indonesia. Takut dengan kemungkinan
gagal. Namun, lebih dari semuanya, aku takut kamu tidak
mendukungku. Jadi, aku memilih diam. Menyimpan semuanya
untuk diriku sendiri. Bahkan, sampai hari ini.
“Lo sendiri?” Aku menoleh ke arah Noah, berusaha
mengalihkan pembicaraan. “Lo nggak ada niatan mau ke luar
negeri?”
Noah memasang cengiran lebar. “Dari kecil lo kan tau,
gue cuma pengin pakai jaket kuning,” jawabnya mantap. “Papa
lagi cari informasi tentang program beasiswa prestasi di UI.
Kalaupun memang gue nggak bisa lewat jalur itu, masih ada tes.
I’ll ind a way.”

199
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Aku tersenyum mendengar ucapan Noah. Senang rasanya


melihat sahabatku tetap berpegang pada cita-citanya meski
tahun silih berganti. Tanpa sadar aku mulai berandai, bagaimana
kalau aku berhasil melewati tes beasiswa itu dan terbang ke
Inggris?
“If I go—“
“When,” potong Noah langsung. “Gue yakin kewarasan
lo bakal muncul suatu saat nanti dan lo memutuskan untuk
mengejar cita-cita lo,” sambungnya, membuatku tertawa.
“Alright, when I go … lo masih sahabat gue, kan?” tanyaku
hati-hati. “Gue masih bisa telepon lo jam berapa pun dan
ngerusuhin hidup lo, kan?”
Noah mengangguk. “Sure.”
“Lo bakal datang, kan? Jenguk gue pas liburan supaya gue
nggak sendirian kayak cewek labil kesepian?” tanyaku lagi.
Noah tersenyum lebar sebelum mengacak rambutku
dengan tangannya yang basah. “Iya, Lucil. Tapi, janji satu hal
sama gue. Janji kalau lo bakal benar-benar memikirkan hal ini.
Kalaupun Rafa nggak setuju, gue harap lo tetap memikirkannya
matang-matang. It’s a big opportunity. Banyak orang yang mau
tukar tempat sama lo.” Noah berhenti sebentar, memberiku
jeda untuk mencerna kalimatnya sebelum melanjutkan,
“Jangan pernah merasa kalau hidup lo berpusat di dia, Lucil.
Lo bintangnya. Bukan dia. Jangan letakkan kebahagiaan orang
lain di atas kebahagiaan lo,” sambungnya sungguh-sungguh.
Aku mendengus. “Lo ngomong seakan gue pasti dapetin
beasiswa itu.”
“You will. Gue percaya sama lo,” balas Noah ringan, seakan
menjawab soal tes untuk mendapatkan beasiswa di Inggris sama

200
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. “Taruhan tes


IELTS berikutnya skor lo bakal di atas tujuh.”
“Dan taruhan, nilai Ujian Nasional lo bakal paling tinggi
satu angkatan,” tambahku sambil mengangkat bahu. Dengan
otak Noah yang seencer air kelapa, aku tahu hal itu akan sangat
mudah untuknya.
Kami berdua menatap satu sama lain dengan senyum
lembar. Sama sekali tidak menduga kalau di masa depan, kami
sama-sama memenangkan taruhan yang kami buat.

Noah mengajakku untuk merayakan ulang tahun di luar


rumah hari itu. Sepertinya, sahabatku itu tahu kalau kamu—
yang notabene telah menjalin hubunganku selama nyaris
dua setengah tahun—dengan cerdasnya melupakan hari
ulang tahunku. Dari pengamatanku, Noah terlihat berusaha
keras menyenangkanku. Terbukti saat dia memintaku untuk
membuka bagasi mobilnya tanpa alasan, aku menemukan satu
buket bunga mawar berwarna merah muda lembut, beberapa
kotak cokelat kesukaanku, dan paperbag cantik yang sepertinya
berisi hadiah.
Turns out, aku mendapatkan buku Harry Potter seri
pertama yang membuatku sukses melompat kegirangan.
Mungkin kamu bingung apa yang sangat spesial dari buku
Harry Potter seri pertama yang Noah berikan padaku. Nah,
biar kuberi tahu. Selain seri pertama buku itu juga merupakan
cetakan pertama. Cetakan pertama, Raf. Bisa kamu bayangkan
bagaimana sulitnya untuk menemukannya? Saking senangnya,

201
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

aku sempat memotret hadiah yang diberikan Noah dan mem-


posting-nya ke media sosial. Jangan salahkan aku, oke? Waktu
itu aku tidak tahu kalau keputusanku untuk melakukan hal itu
adalah hal yang buruk.
“Gue heran kenapa lo masih sendiri,” cetusku saat kami
berdua sedang melaju ke tempat yang Noah sebut ‘rahasia’.
“Berani taruhan, kalau lo nggak sok dingin dan memperlakukan
cewek lain seperti lo memperlakukan gue, mereka pasti bakal
klepek-klepek sama lo.”
Noah tertawa saat mendengar ucapanku. “Nggak yakin gue,
Lucil. Gue memperlakukan lo kayak gini aja lo tetap nggak mau
sama gue,” balasnya ringan, membuatku melayangkan tinju ke
pundaknya sambil tertawa.
Lagu “Do I Wanna Know” milik Arctic Monkeys
menghentikan tawa kami. Segera aku meraih ponselku dan
menggigit bibir saat melihat nama kamu tertera di layar. Great.
Apa ini artinya kamu berhasil mengingat ulang tahunku dan
memutuskan untuk meminta maaf?
Aku mengisyaratkan Noah untuk diam sebelum mengangkat
telepon. Sialnya belum sempat lagi aku mengucapkan halo kamu
sudah lebih dulu menerorku dengan rentetan pertanyaan, “Di
mana? Sama siapa?”
Nada suaramu terdengar aneh. Aku bisa menangkap kesan
protektif di sana. Bukan jenis protektif yang hangat, anehnya.
Hal itu tentu membuatku mengernyit, “Di jalan, Raf, sama
Noah. Kenapa?”
“Oh. Seru?” tanyamu lagi, sarkartis. “Lebih seru dari jalan
sama gue ya sampe fotonya lo post ke mana-mana.”
Aku tertegun selama beberapa detik, tidak yakin dengan
pendengaranku sendiri. Ini kamu, kan? Orang yang sedang

202
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

berbicara di seberang sambungan itu memang kamu, kan?


Tetapi, kenapa terdengar jauh berbeda? “Kamu kenapa, sih?”
Aku balas bertanya. “Biasanya aku jalan sama Noah juga kamu
nggak pernah marah.”
“Gitu? Mentang-mentang gue nggak pernah marah terus lo
keterusan jalan sama dia? Sekalian aja lo jadian di belakang gue.
Kan, dia naksir lo tuh,” balasmu ketus.
Ini bukan kamu. Aku bersumpah demi buku Harry Potter
langka seri pertama yang baru saja Noah berikan padaku, kamu
tidak pernah berbicara padaku dengan nada seperti itu. Dan
kamu baru saja memanggilku apa? Lo? Selama ini kamu selalu
memanggilku dengan kata ‘kamu’. Apa yang salah denganmu,
Raf?
“Apaan sih kamu,” gumamku, berusaha keras untuk tidak
merasa kesal.
“Lo yang apaan. Baru ditinggal sebentar udah ganjen,”
tukasmu langsung, membuat tengkuk dan wajahku memanas.
“Kenapa? Karena tadi pagi gue nggak ngeladenin telepon lo?
Terus lo marah? Ngambek? Cari perhatian?”
Aku memilih untuk diam, menarik napas dalam-dalam
sebelum mengembuskannya perlahan. Berkali-kali aku
mengucapkan berbagai macam mantra penenang di dalam
hati agar tidak ikut tersulut emosi. Sialnya kamu menganggap
diamku sebagai hal negatif karena detik berikutnya kamu
kembali buka suara, terdengar lebih jengkel dari sebelumnya.
“Kok diam? Nggak bisa jawab?”
Kita tidak pernah berada di dalam situasi seperti itu
sebelumnya—pertengkaran serius yang dibarengi dengan
kalimat kasar dan nada ketus. Jadi, aku cukup bingung apa
yang harus kulakukan dan apa yang harus aku ucapkan. Pada

203
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

akhirnya aku memutuskan untuk mengalah dan memulai


dengan lembut, “Bukan gitu, Raf—“
“Alah, bukan gitu gimana?” sambarmu langsung. “Senang
deh ya, jalan bareng dikasih bunga—“
“Ini nggak seperti yang kamu lihat,” potongku, tidak mau
kalah.
“Nyatanya gue nggak bisa lihat apa-apa mengingat kita
jauhan sekarang,” tandasmu langsung. “Gimana bisa gue percaya
kalau lo nggak ngapa-ngapain sama Noah? Not to mention the
lowers and all those pretty little gift.”
Kamu tahu tidak seberapa kesalnya aku saat mendengar
kalimat yang kamu ucapkan waktu itu? Kamu, Rafael Leonardi,
orang yang selama ini aku anggap amat sangat mengerti kalau
aku dan Noah hanya sekadar bersahabat, menuduhku yang
tidak-tidak? How impressive.
“Memangnya kapan aku pernah nutupin sesuatu dari kamu
sampai bikin kamu nggak percaya sama aku?” Aku tidak bisa
mencegah nada suaraku yang mulai meninggi. “Yang ada kamu
sok rahasia-rahasiaan dari aku.”
“Oh, jadi salah gue?” Suaramu terdengar nyaring di
telingaku, membuat jantungku berdetak tidak karuan. “Lo
nggak percaya sama gue?”
“Aku kan nggak bisa lihat apa-apa,” balasku ketus, mengutip
kalimat yang kamu ucapkan sebelumnya. “Gimana bisa aku
percaya kalau kamu nggak ngapa-ngapain sama Marlene? Not
to mention that she’s coming with you when she absolutely has no
business there.”
Kamu tidak bisa sepenuhnya menyalahkanku karena
ikut marah hari itu. Aku sudah memendam rasa kesalku
selama berbulan-bulan tanpa pernah menunjukkannya.

204
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu memancingku hari itu, dengan hubunganku dan Noah


sebagai umpan. Maka, jangan salahkan aku saat ikut melempar
umpan—hubunganmu dengan Marlene. Sanget aneh untukku
saat tahu kalau Marlene ikut bersama kalian ke Bandung meski
aku yakin dia tidak memiliki urusan apa-apa di sana.
“Jangan bawa-bawa Marlene, Kejora. Dia nggak ada
hubungannya sama masalah kita,” ucapmu dingin, membuatku
memutar mata tanpa bisa ditahan.
“Belain aja dia terus. Bagusan dia juga, kan.”
Dengusan keras terdengar dari seberang sambungan.
“Nggak usah ngaco deh, Ra. Lo nggak ngerti apa-apa.”
“Memang aku nggak ngerti apa-apa,” balasku setengah
berteriak. “Gimana bisa aku ngerti kalau kamu nggak berniat
sama sekali buat kasih tau aku apa yang sebenarnya kamu
sembunyiin!” Maafkan aku karena berteriak di telinga kamu,
tapi kamu, Rafael Leonardi, membuatku ingin melayangkan
penggorengan ke wajah coverboy-mu itu.
Kamu membalas ucapanku dengan tawa hambar. “Haduh,
dasar cewek, ya. Pinter banget ngalihin pembicaraan. Memutar
balikkan fakta. Nggak pernah mau disalahkan.”
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menghela napas
berat. Mendadak aku merasa terlalu lelah untuk melanjutkan
perdebatan sia-sia kita. “Aku nggak ngerti ya sama kamu, Raf.
Ngehubungin tiba-tiba terus marah-marah nggak jelas.”
“Gue juga nggak ngerti sama lo.” Kamu kembali mendengus.
Aku bahkan bisa membayangkan kamu menggelengkan kepala
di seberang sana. “Yang bisa ngertiin lo kan memang cuma
Noah.”
Kalimat terakhir yang kamu ucapkan sukses membuat
darahku mendidih. Sebelum mematikan sambungan dengan

205
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

nada paling dingin yang aku punya, aku berkata, “Terserah


kamu deh, Raf. Setidaknya Noah ingat ulang tahunku. Nggak
kayak kamu.”

Sisa hari itu kujalani dengan ponsel mati dan menyibukkan


diri membangun istana pasir di pinggir pantai. Noah, sebagai
sahabat yang sangat kooperatif, memutuskan untuk berpura-
pura tidak mendengar pertengkaran kita dan menghindari topik
tentang kamu sebisa mungkin. Sebenarnya, sia-sia saja karena
meski kami tidak membahas apa pun yang berkaitan denganmu,
aku tetap tidak bisa berhenti memikirkan pertengkaran kita.
Pertengkaran kita hari itu merupakan yang pertama
kalinya. Sebelumnya, kita memang sering berdebat tentang
banyak hal tetapi kita tidak pernah benar-benar bertengkar
dan memendam rasa kesal satu sama lain—bahkan sampai
memutuskan untuk saling tidak berkomunikasi. Tentunya
wajar jika aku memikirkan hal itu seharian.
Setelah matahari terbenam, Noah mengantarku pulang.
Sebelum benar-benar pergi, sahabatku itu sempat memintaku
untuk mengecek e-mail setibanya aku di kamar nanti. Saat aku
bertanya kenapa, Noah hanya mengulas senyum dan bergegas
meninggalkanku.
Maka, sesampainya di kamar, aku duduk dengan laptop di
pangkuan. Sembari menunggu log-in, aku menimang ponselku,
berusaha memutuskan apakah lebih baik menghidupkannya
untuk mencari tahu apa kamu mencoba menghubungiku
atau malah sama sekali tidak peduli. Terlalu takut dengan

206
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

kemungkinan kedua, kuputuskan untuk meletakkannya jauh-


jauh dalam keadaan mati. Ha, Lucillia Kejora memang seorang
penakut.
Setelah menunggu selama beberapa saat, barisan penuh
e-mail memenuhi layar laptopku. Awalnya aku mencari nama
Noah, tetapi betapa terkejutnya aku saat mendapati namamu di
dalam kotak masuk. Mau tidak mau sebuah pertanyaan terlintas
di benakku; apa jangan-jangan kamu meminta bantuan Noah
agar aku mengecek e-mail karena ponselku mati seharian?
Saat membuka e-mail tersebut aku mendapati sebuah
video dengan durasi lima menit di sana. Penasaran, aku pun
memutarnya. Sosok kamu yang sedang duduk bersila di lantai
seketika memenuhi layar laptopku. Kamu mengatur posisi
kamera selama beberapa saat sebelum menghela napas dan
menatap lurus ke arahku dengan senyum lemah.
“Hai, Ra,” sapamu pelan. “Gue tau kamu pasti enek banget
lihat muka gue sekarang. Tapi, tolong jangan matiin dulu
videonya. Gue mau ngomong sama kamu dari tadi siang, tapi
kamu nggak bisa dihubungi. Salah gue, sih, sebenarnya. Gue
tau.”
Aku menggigit bibir, berusaha menahan senyum kecil yang
hendak muncul. Meski masih merasa kesal dengan sikapmu
yang kelewat kasar, melihat video itu dan mengetahui kalau
setidaknya kamu menyesal membuatku merasa sedikit lebih
baik.
“Maain gue karena udah marah-marah sama kamu. Gue
cuma … gue bahkan nggak tau gue kenapa. Gue benci diri gue
sendiri karena udah bikin hari ini jadi hari ulang tahun paling
buruk dalam hidup kamu. Dengan bodohnya gue lupa hari ulang
tahun pacar gue sendiri. Malu-maluin banget, kan?”

207
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Ya, Raf, sangat memalukan memang. Tetapi, kamu bisa


bernapas lega karena toh itu bukan hari ulang tahun paling
buruk dalam hidupku. Well, tadinya iya. Namun, setelah melihat
video yang kamu kirimkan, aku berubah pikiran.
“Jujur, gue belum beli kado apa-apa buat kamu. Maain
gue, urusan rekaman, persiapan debut, semuanya, benar-benar
menyita perhatian. Jadi, sebagai gantinya gue bikinin video
ini. Gue harap kamu suka lagu ini dan … selamat ulang tahun,
Lucillia Kejora.”
Lagu? Aku kontan mengernyit saat mendengar ucapanmu.
Terlebih saat kamu tiba-tiba meraih gitar penuh stiker lusuh
milikmu yang sudah kukenal benar. Kamu lalu melemparkan
seringai kecil ke arah kamera sebelum jemarimu mulai
menari di antara senarnya, melantunkan melodi indah
yang berhasil membuatku memaafkanmu dalam sekejap.

Hey there Kejora


Don’t you worry about the distance
I’m right there if you get lonely
Give this song another listen
Close your eyes
Listen to my voice, It’s my disguise
I’m by your side
Oh, it’s what you do to me
Oh, it’s what you do to me

Aku tahu lagu itu. “Hey here Delillah” milik Plain White
T’s dan bukannya Hey here Kejora. Sangat kreatif, Rafa.

208
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Hey there Kejora


I know times are getting hard
But just believe me, girl
Someday I’ll pay the bills with this guitar
We’ll have it good
We’ll have the life we know we would
My word is good
Oh, it’s what you do to me
Oh, it’s what you do to me

Setelah lagu “Hey here Delillah” versimu itu berakhir,


kamu meletakkan gitar di lantai dan menatap ke arah kamera
dengan serius.
“Ra,” mulaimu pelan, membuat jantungku seketika berdetak
di ambang batas normal, takut dengan apa yang akan kamu
ucapkan. “Gue tau kalau kamu pasti merasa ada sesuatu yang
salah belakangan ini. Seakan gue nutupin sesuatu dari kamu.
Gue minta maaf karena gue nggak bisa cerita. Belum, lebih
tepatnya. Gue mau banget cerita, Ra, tapi gue rasa waktunya
belum tepat. Ini bakal sulit dan gue nggak mau mempersulit
keadaan kita.”
Ambigu. Semua yang kamu ucapkan terdengar sangat
membingungkan di telingaku.
Kamu lalu memaksakan seulas senyum tipis, bertolak
belakang dengan sorot matamu yang menatapku sendu dari
layar. “Kamu berhak kesal atau marah sama gue sekarang. Tapi,
satu hal yang gue minta; tolong percaya sama gue. Gue mohon
jangan dengerin omongan orang lain, apa pun itu. Tetap percaya
sama gue. Gue akan berusaha untuk membuat semuanya—
kita—baik-baik aja.”

209
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Setelah mengatakan kalimat itu, kamu tersenyum lembut


dan melambaikan tangan ke arah kamera. Sedetik kemudian
layar laptopku berubah gelap. Langsung saja aku meraih
ponsel, menghidupkannya dan men-dial nomormu. Pikiranku
berkecamuk. Emosiku campur aduk.
Janji, katamu. Kamu berjanji agar semuanya—kita—baik-
baik saja. Waktu itu, kalimat semacam itu memang sangat
sempurna untuk diucapkan setelah mengalami pertengkaran
dengan orang yang kita sayang. Tetapi, kita sama-sama tahu
kan, Raf? Janji dibuat untuk dilanggar.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora

210
pustaka-indo.blogspot.com
Bertahan
Day 11: Paris
20 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang lebih suka bertingkah seakan semuanya baik-baik saja
daripada memberitahuku apa yang salah.)

Sekarang tepat pukul delapan malam di Paris dan aku baru


saja menyelesaikan makan malamku. Dinner ala Prancis yang
sukses membuat perutku membuncit—seporsi foie gras lengkap
dengan crème brule sebagai penutup. Semua tentang liburan
ini terlalu sempurna. Terlebih lagi aku berhasil mendapatkan
kamar dengan view yang langsung menghadap ke arah Menara
Eifel. Monumen legendaris itu bersinar di bawah terpaan
cahaya bulan. Cantik sekali.
Setibanya di Paris sore tadi, aku dan Elaine hanya berjalan-
jalan sebentar di sekitar Sungai Seine. Menurut salah satu
tour guide yang aku baca, naik kapal layar di Sungai Seine
merupakan salah satu tujuan populer wisatawan. Elaine juga
memberitahuku kalau beberapa kapal layar yang ada di sungai
Seine menawarkan sistem menu hidangan siang dan malam.
Tadinya aku dan Elaine sempat berpikir untuk makan malam

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

di sana. Tetapi, harga yang dipasang ternyata cukup mahal, jadi


kami mengurungkan niat.
Ada banyak sekali tempat yang ingin aku kunjungi di Paris.
Salah satunya adalah Musee du Louvre atau yang lebih dikenal
dengan Museum Louvre. Aku memang tidak terlalu mengerti
soal seni tapi, hei, siapa yang akan membuang kesempatan
untuk melihat si Legendaris Mona Lisa dari dekat? Selain
Museum Louvre ada satu tempat lagi yang sangat ingin aku
kunjungi. Disneyland Paris. Kekanak-kanakan memang, tetapi
siapa juga yang tidak ingin ke sana?
Sejujurnya masih banyak tempat yang ingin kukunjungi
seperti Place de la Concorde, alun-alun kota yang kerap kali
menjadi setting lokasi ilm—di antaranya Star Trek dan he
Devils Wears Prada. Juga Jembatan Archeveche yang dipenuhi
gembok cinta warna-warni—hampir mirip seperti yang berada
di Namsan Tower, Korea, kalau menurutku. Mungkin aku akan
berada sedikit lebih lama di Paris. Kota ini membuatku jatuh
cinta, bahkan sejak kali pertama aku menginjakkan kaki.
Omong-omong, beberapa hari yang lalu aku sempat melihat
jadwal tur Constant Star di media sosial. Aku tidak tahu apakah
yang aku baca sepenuhnya benar. Tetapi, jika memang benar,
maka aku ingin mengucapkan selamat karena mulai tahun
depan kalian akan melangsungkan European League Tour.
Konser keliling Eropa, Rafa. Satu dari jutaan mimpimu yang
kembali menjadi kenyataan. Apa kamu bahagia, Raf? Apa kamu
benar-benar bahagia?
Astaga, Kejora bodoh. Bagaimana bisa aku menanyakan
hal konyol seperti itu? Tentu saja kamu bahagia. Seharusnya
aku tidak perlu meragukannya. Tetapi, tetap saja sebagian dari
diriku ingin mengetahui apakah ada kemungkinan, meskipun

212
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

hanya sekecil butiran pasir, kalau kamu tidak merasa benar-


benar bahagia?
Bukannya aku tidak ingin kamu hidup tenang, Raf. Tidak
sama sekali. Aku hanya merasa semua ini tidak adil. Aku benci
fakta kalau hanya aku yang merasa tidak sepenuhnya bahagia
di sini. Meski aku berhasil menyelesaikan studiku di London
dengan nilai terbaik, liburan ke Eropa, dikelilingi oleh orang-
orang yang aku sayang, tetapi aku merasa kalau semua ini tidak
terasa lengkap. Ada sesuatu yang hilang dan aku tahu pasti
kalau itu kamu.
Pada akhirnya, bagian terburuk dari kisahku bukanlah
perpisahan kita, melainkan kenyataan bahwa setelah semua
yang kita lewati bersama kamu baik-baik saja tanpa aku,
sementara aku sendiri di sini menahan rindu. Kamu bahkan tak
peduli.

Seakan karakter Tick Tock sang pencuri waktu dalam ilm Spy
Kids mewujud ke dunia nyata, hari-hari yang kita lewati ke
depannya berjalan sangat cepat—mimpi kamu berubah jadi
kenyataaan, panggung sederhana di kafe berganti menjadi
pentas dengan lampu sorot yang menyilaukan mata, honor pas-
pasan yang dulu kamu terima kini terbayar berkali-kali lipat.
Nyaris semuanya berubah.
Single pertama kalian telah diluncurkan. Autumn Fall,
ditulis oleh Klana, yang menceritakan tentang seseorang yang
dipertemukan kembali dengan masa lalunya oleh takdir. Aku
menyukai lagu itu. Petikan gitar dan suaramu yang lembut

213
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

membuatku merasa damai setiap kali aku mendengarnya.


Beruntung bagi kalian, bukan aku saja yang merasakan hal
itu. Seluruh penjuru One High pun tergila-gila dengan single
pertama kalian. Berbagai stasiun radio di Indonesia memutar
lagu itu nyaris setiap hari. Singkat kata, debut pertama kalian
sukses besar.
Waktu itu, peluncuran single pertama kalian dilangsungkan
di salah satu konser Marlene. Perempuan berambut merah
itu rupanya sedang menjalankan tur nasional di Indonesia.
Jadilah single pertama sekaligus penampilan perdana kalian
dilangsungkan di konser puncak Marlene yang diadakan di
Jakarta. Pihak label berharap, kemunculan kalian di sana bisa
menarik perhatian fan Marlene dan khalayak ramai. Seratus
poin untuk label, karena semua berjalan sesuai dengan yang
mereka harapkan.
Aku tidak datang ke peluncuran single kalian waktu itu.
Meski aku mengatakan kalau aku tidak bisa hadir karena
One High sedang gencar-gencarnya melangsungkan try out,
alasan sebenarnya adalah karena aku tidak ingin melihatmu
dan Marlene berdiri berdampingan di atas panggung. Well,
sebenarnya ada Karel, Klana, dan Adrian juga. Namun tetap
saja, biasanya vokalislah yang menjadi pusat perhatian.
Berhubung kamu adalah vokalis Constant Star, sedangkan
Marlene merupakan penyanyi solo, aku yakin kalian berdua
pasti bergandengan dan membungkuk ke arah penonton saat
konser itu berakhir.
Aku benci membayangkan adegan itu. Sebut aku posesif,
aku tidak peduli. Marlene memang cantik dan berbakat. Aku
bahkan menyukai beberapa lagunya—sepulangnya dari label
waktu itu aku langsung mencari album Marlene di Youtube.

214
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Tetapi, ada sesuatu yang tidak kusukai dari binar matanya


saat menatapmu. Kalau aku berjiwa psyco, pastilah sudah
kucolok matanya dengan telunjukku. Dia beruntung aku masih
menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.
Oh iya, seiring dengan menanjaknya popularitas Constant
Star, semakin sedikit waktu yang kita miliki untuk bertemu.
Kamu tidak bisa lagi menyelinap ke kamarku di malam hari lalu
mengajakku makan mi rebus di depan perumahan. Jadwalmu
sudah terorganisir dengan rapi dan padat. Untuk bertemu saja
terkadang kita harus merencanakannya sejak jauh hari.
Seperti hari itu. Kita berdua berada di Pumpkin, kamu
sibuk berceloteh tentang albummu yang akan diluncurkan
dalam waktu dekat dan perasaanmu saat bernyanyi di konser
Marlene dalam rangka debut Constant Star. Matamu berbinar
dan beberapa kali kamu nyaris berteriak saking senangnya.
Aku mungkin tersenyum dan terlihat mendengarkan. Namun,
sejujurnya ada hal lain yang mengganggu pikiranku dan aku
menyalahkan Noah karena itu.
“Rafa?” panggilku pelan saat kamu sedang menyesap
cokelat panas milikmu.
Kamu menatapku dengan alis dinaikkan dari balik cangkir
sebelum meletakkannya kembali ke atas meja. “Kenapa, Ra?”
Aku menggigit bibir ragu. Pembicaraan tentang cita-cita
dan masa depan yang aku langsungkan bersama Noah di hari
ulang tahunku memenuhi pikiran. Maksudku, Noah memintaku
untuk membicarakannya denganmu, kan? Tetapi, bagaimana
kalau kamu tidak setuju dan menganggap itu gagasan yang
buruk?
Aku tahu itu masa depanku dan kamu sebenarnya tidak
memilki hak untuk mengaturnya. Tetapi, kamu meletakkanku

215
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

di dalam rencana masa depanmu. Kamu memberitahuku,


meminta saran dan persetujuanku. Akan sangat tidak adil kalau
aku tidak melakukan hal yang sama.
“Menurut kamu,” aku memulai perlahan, berusaha
menghindari kontak mata. “Dua orang dengan profesi yang
bertolak belakang, apa mungkin bisa sama-sama?”
Air mukamu yang tadinya santai mendadak berubah keras
selama beberapa saat. Kamu mengetukkan jari di badan cangkir
seraya menatapku lurus-lurus. “Kok tanya gitu? Memangnya
kamu mau ambil jurusan apa?”
“Bukan aku, Raf,” jawabku cepat. Melihat reaksimu
membuatku memutuskan kalau sebaiknya aku tidak
memberitahumu dulu. Aku belum bisa menebak bagaimana
tanggapanmu selanjutnya. Sekarang saja kamu sudah memasang
ekspresi tak terbaca itu, membuat perasaanku semakin tidak
enak saja. “Maura. Maura kemarin curhat, katanya dia mau
ambil kedokteran. Tapi, pacarnya dia sukanya seni gitu. Melukis.
Bertolak belakang banget, kan?”
Dalam hati aku meminta maaf berulang kali pada Maura
karena telah meminjam namanya dengan semena-mena dan
mengarang kisah percintaannya yang sebenarnya tidak ada.
Waktu itu, aku menggunakan cerita itu sebagai perumpamaan
hubungan kita. Aku sebagai Maura sementara kamu sebagai
pacar Maura yang suka melukis. Menyanyi dan melukis sama-
sama seni, kan? Jadi, menurutku tidak berbeda terlalu jauh.
Kamu hanya manggut-manggut tidak jelas saat mendengar
ucapanku. “Iya juga, sih.”
Kutumpukan siku di atas meja, berusaha memasang
ekspresi sepolos mungkin. “Menurut kamu gimana?”

216
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Menurut gue?” Kamu memiringkan kepala, menatap ke


luar jendela kaca di samping kita, terlihat berpikir keras. “Kalau
menurut gue bakal susah. Oke, kata orang perbedaan yang
menyatukan. Tapi, itu kan teorinya. Toh, di dunia nyata, banyak
orang yang malah berantem karena perbedaan.”
Aku terdiam mendengar jawabanmu. Sebenarnya, aku
sudah menduga kalau komentar yang akan keluar dari bibirmu
tidaklah positif, tetapi tetap saja rasanya sakit. Some of us know
what’s going to happen, we just never ready for the pain.
Sepertinya, sorot kecewa yang muncul di wajahku terlalu
kentara karena kamu cepat-cepat menambahkan, “Sebenarnya
tergantung cara menyikapinya sih, Ra. Kalau mereka saling
sayang dan merasa cukup kuat untuk mempertahakan satu
sama lain pasti bakal adem-adem aja.”
Aku menatapmu yang melempar senyum ke arahku dengan
alis dinaikkan. Kamu mungkin berpikir kalau aku tidak ingin
mengatakan hal negatif pada Maura, maka dari itu kamu
menambahkan kalimat menenangkan. Tetapi, aku ingin tahu
apa yang sebenarnya kamu pikirkan tentang hal itu, jadi aku
kembali bertanya, “Tapi?”
Kamu menghela napas berat. “Tapi, kalau pendapat jujur
gue, kayaknya kemungkinan buat bertahan itu sedikit,” ucapmu,
membuat hatiku mencelos. “Kamu bayangin aja mahasiswa
kedokteran belajarnya gimana. Gila-gilaan tau, Ra. Senior gue
ada yang sampe turun berat badannya, ada yang hidupnya cuma
sama buku doang. Bahkan, ada sepupu gue yang sampe nggak
sempet pacaran. Sibuk banget. Kalau udah kayak gitu mau
gimana? Apalagi cowoknya Maura doyannya seni. Jauh banget.
Susah untuk mengerti rutinitas dan memahami bidang yang
ditekuni satu sama lain. Mungkin gue terdengar sangat rasis

217
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

atau apalah, tapi gue nggak yakin kalau udah kayak gitu bisa
dipertahankan.”
Susah payah aku menelan ludah setelah mendengar kalimat
yang kamu lontarkan. “Oh, gitu, ya,” tuturku pelan. Rasa
nyeri di dadaku semakin menjadi-jadi saat pikiranku kembali
mengulang kalimat yang kamu ucapkan. Kemungkinan untuk
bertahan itu sedikit, katamu. Apa hal itu berlaku juga pada
kita, Raf? Apa kalau aku mengejar cita-citaku maka aku akan
kehilangan kamu?
“Kamu sendiri udah ada rencana mau ambil jurusan apa?”
Pertanyaan yang kamu lontarkan mengeluarkanku dari
lamunan. Langsung saja aku mengerjap beberapa kali dan
memasang senyum tipis. “Belum, masih bingung,” balasku
pendek. Dalam hati, aku menimbang-nimbang haruskah aku
mencoba untuk memberitahu kamu tentang keinginanku
untuk kuliah ke luar negeri? Tetapi, bagaimana kalau lagi-lagi
responsmu membuatku kecewa?
Setelah menarik napas berulang kali, aku mengangkat dagu
dan menatapmu lurus sebelum memulai dengan hati-hati. “Ayah
sama Bunda … selalu berharap aku bisa kuliah di luar negeri.”
Aku juga ingin, Raf. Kalimat itu menggantung di ujung lidahku.
Kamu balas menatapku untuk waktu yang cukup lama.
Terlihat mencari sesuatu di bola mataku. “Jadi, kamu mau
pergi?” tanyamu datar, membuatku kembali menelan ludah
dengan perasaan tidak enak.
“Aku belum tau,” gumamku pelan.
Meski pada akhirnya kamu memilih untuk mengulas
senyum, aku tahu kalau kamu tidak sepenuhnya senang dengan
ucapanku. “Keren sih ke luar negeri.” Kamu memasang cengiran

218
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

lebar, mungkin untuk menutupi ketidaksukaanmu? Entahlah.


“Jauh nggak, Ra? Singapura? Australia?”
Aku menghela napas sebelum menjawab. “Eropa, Raf.
Mereka mau aku kuliah di Eropa.”
“Buset, Ra, itu jauh banget.” Manik cokelat gelap milikmu
kontan melebar saat mendengar jawabanku. Berkali-kali kamu
mengerjapkan mata, terlalu kaget untuk mencerna apa yang
baru saja aku ucapkan. “Entar kalau gue kangen sama kamu
gimana?” tanyamu dengan bibir yang dimajukan, membuatku
mendengus geli.
“Apaan sih, Raf. Kan belum tentu aku mau pergi juga.”
Aku memang belum memutuskan apakah aku benar-
benar ingin pergi waktu itu, tetapi toh aku sudah mengambil
formulir beasiswa yang ditawarkan Tante Ratih dari Bunda dan
mengisinya. Dalam waktu dekat aku bahkan berencana untuk
mendaftarkan diri di salah satu bimbingan belajar terbaik
di Jakarta. Singkatnya, satu-satunya hal yang aku butuhkan
hanyalah persetujuanmu.
Selama beberapa saat kita hanyut dalam pikiran kita
masing-masing. Suara berisik pengunjung Pumpkin dan lagu
lama yang diputar melalui speaker menyelimuti kita. Kuraih
cokelat panas milikku dan kuteguk perlahan, berusaha mencari
kehangatan karena tiba-tiba saja kedua telapak tanganku terasa
dingin. Mungkin aku telalu gugup? Ya, mungkin.
“Gue pasti bakal terdengar sangat egois,” katamu tiba-tiba,
memecah keheningan di antara kita. “Tapi, boleh nggak gue
minta sesuatu dari kamu?”
Perlahan aku meletakkan cangkir dalam genggamanku
ke atas meja. “Mau minta apa?” tanyaku, meski jauh di dalam
lubuk hati, aku bisa menebak apa yang kamu inginkan.

219
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya dari


seberang meja. “Jangan pergi, Ra. Tetap di sini, di samping gue,”
ucapmu lembut seraya menatap lurus ke arahku. Sorot matamu
terlihat lelah, lingkaran hitam di sekitar matamu nampak jelas.
“Rasanya udah dekat banget, Ra. Semua impian gue udah di
depan mata tapi kalau kamu pergi… “ Kamu menghela napas
berat lalu mengusap wajah dengan tangan yang bebas. Kamu…
terlihat kacau.
“Gue bukan orang yang percaya sama yang namanya long
distance relationship,” sambungmu lagi, kali ini terlihat lebih
serius. “Bukannya kalau kamu pergi gue mau minta putus.
Nggak sama sekali. Tapi kamu tau kan, Ra, sesayang-sayangnya
dua orang dalam satu hubungan, kalau di antara mereka
jarak terbentang luas, lama-kelamaan mereka juga pasti bakal
menjauh. Seakan ada hukum alamnya.”
Aku tidak bisa membantah apa yang kamu ucapkan
karena aku tahu itu sepenuhnya benar. Maka, aku memilih
untuk mengangguk dan menelan bulat-bulat perasaan entah
apa yang menyusup ke dadaku. “Aku ngerti, kok,” gumamku,
memaksakan seulas senyum kecil. “Kadang kita memang butuh
orang itu untuk berada tepat di samping kita, bukannya hanya
lewat chat.”
Kamu balas tersenyum, terlihat lega mendengar jawabanku.
“Maka dari itu, Ra, bisa gue minta hal itu dari kamu? I just don’t
know what to do with my life without you.”
Kalimat terakhir yang kamu ucapkan sukses membuat
hatiku kembali menghangat. Perasaan kecewa yang tadinya
sempat memenuhiku perlahan berganti dengan rasa aman.
Kamu membutuhkanku. Itu satu hal yang aku tahu pasti. Detik
itu aku merasa kalau aku telah memiliki semua yang aku

220
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

inginkan. Kamu. Lalu, kenapa aku dengan bodohnya hampir


mempertaruhkan hubungan kita?
Pada akhirnya aku mengangguk, balas menggenggam
tanganmu erat dan berkata, “Aku bakal selalu di sini, Raf.
Selama kamu juga menginginkan hal yang sama.”

Dua cangkir cokelat panas, kemudian kita berdua berjalan


berdampingan keluar dari Pumpkin. Aku menutup mulut,
berusaha menahan tawa yang hendak meluncur karena
lelucon tidak masuk akal yang kamu lontarkan sementara
kamu mengulangi lelucon itu sekali lagi, membuatku tidak
mampu menahan tawa dan mencubit pinggangmu keras-keras.
Karena tidak terlalu memperhatikan jalan, tanpa sengaja kamu
bertabrakan dengan seorang perempuan yang kebetulan sedang
berjalan sambil melihat layar ponsel.
“Eh, sori-sori.” Kamu kontan berhenti melangkah dan
menatap perempuan itu khawatir. “Lo nggak apa-apa kan?”
Perempuan berambut cokelat gelap di hadapan kita
tersenyum kecil. “Nggak apa-apa kok,” jawabnya, membuatmu
ikut tersenyum. Sedetik kemudian, perempuan tadi terlihat
seakan baru saja menyadari sesuatu. Dikerjapkannya matanya
berulang kali. “Lo … Rafael, kan? Vokalis Constant Star?”
tanyanya hati-hati.
Meski terlihat geli dengan ekspresi perempuan itu, kamu
mengangguk, membuat perempuan itu langsung salah tingkah.
“Gila, gue suka banget single kalian. Nggak bisa berhenti muter
lagu itu di earphone.”

221
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Senyum lebar langsung muncul di bibirmu. “Makasih


banyak .… ”
“Erika,” balas Erika cepat saat mendapati kamu yang
terlihat bingung ingin memanggilnya apa.
“Ah, iya, makasih banyak, Erika.” Kamu mengangguk,
masih sambil tersenyum. “Seneng tau kalau lo suka.”
Erika mengangkat bahu. “No big deal.” Dia lalu menimang
ponselnya ragu-ragu sebelum bertanya, “ Eh, boleh … foto
bareng nggak?”
Kamu melirikku sekilas, seakan tidak percaya dengan apa
yang baru saja diucapkan Erika. Berani bertaruh kalau waktu
itu hanya ada kita berdua kamu pasti akan langsung histeris,
‘Gila, Ra! Dia minta foto bareng sama gue! Berarti Constant Star
udah mulai dikenal orang dong?’ Tetapi, demi menjaga citra di
depan Erika, kamu mengangguk dengan tenang.
Aku lalu menerima ponsel yang Erika sodorkan dan
memotret kalian beberapa kali. Aku memang tidak terlalu pandai
dalam urusan mengambil gambar, tetapi menurutku hasilnya
cukup bagus. Setelah puas berfoto, Erika lalu mengambil
kembali ponselnya sambil tersenyum semringah.
“Makasih, ya. Sukses terus buat lo dan Constant Star,” kata
Erika riang. Kamu mengangguk dan meraih tanganku, bersiap
untuk melangkah. Namun, mendadak Erika kembali buka
suara, “Oh iya, ini siapanya lo? Pacar? Bukannya lo lagi dekat
sama Marlene ya?”
Langkah kita kontan terhenti. Kamu menatap Erika
dengan sorot itu. Sorot yang tidak pernah bisa aku baca. Sorot
yang menyiratkan puluhan emosi yang tidak bisa aku mengerti.
Aku tersenyum muram. Pertanyaan yang dilontarkan Erika
bukanlah pertanyaan sulit. Jawabannya hanyalah iya atau

222
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tidak. Sebelumnya, kamu tidak pernah ragu untuk memberi


tahu orang lain tentang kita. Bahkan, kamu memberi tahu Joe
dengan lantang saat kita berada di Label. Lalu, kenapa sekarang
kamu malah bungkam dan terlihat serbasalah?
“E-eh, ini—” Kamu berusaha memulai. Namun, aku sudah
terlanjur kecewa dengan sikapmu yang tak beralasan itu. Maka
aku cepat-cepat memotong.
“Sepupu,” tukasku seraya menatapmu lekat. Aku yakin
kilatan emosi terlihat jelas di kedua manik mataku yang hampir
berair. “Gue sepupunya Rafa.”

Sepanjang perjalanan pulang kita tidak mengeluarkan sepatah


kata pun. Yang menyelimuti kita hanyalah helaan napas beratmu
dan deru mesin mobil yang samar-samar terdengar. Aku
mengalihkan pandangan ke luar jendela. Padahal, masalahnya
sangat sepele, tetapi kenapa aku merasa sangat kecewa?
Cahaya merah yang berpendar di lampu lalu lintas membuat
kamu menghentikan mobil. Dari sudut mata, aku tahu kalau
kamu sedang mengamatiku. Terbukti, karena detik berikutnya
kamu buka suara, “Ra, tadi itu—”
“Raf, tolong,” potongku langsung. “Apa kamu benar-benar
mau bicarain itu sekarang?”
Lagi-lagi kamu menghela napas berat. “Kejora, dengerin
dulu—”
“Nggak, Raf, kamu yang dengerin,” potongku lagi.
Mendadak aku merasa sangat lelah dengan semua yang terjadi
di antara kita. “Kalau kamu memang mau membicarakan hal itu

223
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

sekarang, kamu harus kasih tau aku semuanya. Tanpa ada yang
disembunyiin lagi. Apa kamu siap?” tanyaku. Suaraku bergetar,
akibat menahan emosi yang bergejolak.
Di hari ulang tahunku, kamu berjanji agar semuanya
baik-baik saja. Kamu memintaku untuk mengabaikan orang
lain dan hanya memercayaimu. Tetapi, kamu tidak pernah
memberitahuku alasannya. Kamu tidak pernah memberitahuku
tentang apa yang bisa membuat hubungan kita tidak baik-baik
saja. Kamu tidak pernah memberitahuku tentang apa yang
kamu dan Joe bicarakan. Kamu tidak pernah memberitahuku
hal sepenting apa yang membuatmu sampai melupakan ulang
tahunku dan mengomel tidak jelas karena aku pergi dengan
Noah. Kamu juga tidak pernah memberitahuku ada hubungan
apa antara Marlene dan Constant Star—kenapa dia selalu ikut
ke mana pun kalian pergi.
Lalu, apa aku pernah bertanya, Rafa? Sekalipun aku tidak
pernah bertanya karena aku menghargai kamu dan privasimu.
Aku percaya padamu. Tetapi, semua yang terjadi hari itu terasa
janggal dan aku benar-benar tidak bisa menahannya lagi.
“Semuanya nggak sesederhana itu, Ra,” balasmu seraya
menggeleng ke arahku, membuat emosi di dalam dadaku
semakin memuncak.
“hen I don’t want this conversation for now.” Aku mengangkat
telunjuk, mengisyaratkanmu untuk diam. “Aku nggak maksa
kamu untuk kasih tau aku apa yang Joe bicarakan hari itu
selama ini. Aku diam karena aku tau kamu pasti punya alasan
kenapa kamu nggak langsung cerita sama aku. Aku nunggu,
Raf. Tapi, mau sampai kapan? Sampai kapan aku harus nunggu
kamu buat terbuka sama aku?”

224
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu menatapku lekat, menyelipkan helaian rambutku


yang jatuh ke belakang telinga dan berkata dengan nada berat.
“Gue nggak mau kamu terluka.”
Aku mendengus keras saat mendengar kamu mengucapkan
kalimat itu. hat’s the biggest bullshit I’ve ever heard. Aku tidak
tahu tepatnya sejak kapan kamu mulai gemar menggunakan
kata-kata klise semacam itu. Yang jelas, mendengar kalimat itu
dari bibirmu membuatku kesal setengah mati.
“Dengan kamu nutupin semuanya dari aku, tanpa kamu
sadari, kamu udah bikin aku terluka,” balasku ketus.
Kali ini kamu menggeleng pelan. Seulas senyum lemah
tersungging di bibirmu. “Gue takut kamu nggak siap dengarnya.”
“Aku yang nggak siap dengarnya atau kamu yang nggak
siap kasih tau?” tandasku langsung. Aku benar-benar lelah,
Raf. Memangnya sesulit itu untuk memberi tahu apa yang
sebenarnya kamu sembunyikan?
“Ra—” Kamu coba memulai, terdengar sama lelahnya.
Tetapi, lagi-lagi aku memotong.
“Lagian memang apa sih, Raf?” tanyaku frustrasi.
“Kemungkinan paling buruknya juga cuma Label nggak kasih
izin kita bareng, kan? Aku sadar kok akan kemungkinan itu.
Banyak agency yang takut penggemar artisnya berkurang
kalau orang-orang tau si artis punya pacar. Kalau memang itu
masalahnya, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu sampai
segitunya.”
Kamu menatapku nanar untuk waktu yang cukup lama,
sementara aku balas menatapmu dengan sorot memohon—
memohon agar kamu mengakhiri semua yang kamu tutupi dan
memberitahuku apa yang salah.

225
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Pada akhirnya, klakson mobil dan lampu yang berganti


hijau membuatmu mengalihkan pandangan dariku dan
menghela napas berat. Samar-samar, di antara deru mesin mobil
yang kian melaju, aku bisa mendengar kamu bergumam, “Gue
harap masalahnya sesederhana itu, Ra. Gue harap semuanya
sesederhana itu.”

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

226
pustaka-indo.blogspot.com
Akar Permasalahan
Day 12: Paris
21 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang seharusnya sadar kalau aku bersedia memikul beban yang ia
tanggung bersama-sama.)

Semenjak perpisahan kita, aku belum pernah tertawa


lepas seharian sampai perutku sakit. Tetapi, aku rasa hari ini
merupakan pengecualian. Setelah menghabiskan satu hari
penuh bermain di Disnyeland bersama Elaine dan beberapa
sepupu Noah yang menggemaskan, punggungku seakan mau
patah. Benar-benar melelahkan meskipun di satu sisi amat
sangat menyenangkan. Ralat, fun doesn’t begin to cover it.
Aku kira aku tidak perlu menceritakan secara detail
tentang apa yang aku lakukan di Disneyland, kan? Maksudku,
itu Disneyland. Dari namanya saja kamu pasti sudah bisa
menebak apa yang aku lakukan di sana. Selain mencoba nyaris
semua wahana yang ada, berfoto dengan karakter-karakter
Disney dan mencicipi berbagai macam kudapan, apa lagi yang
bisa kulakukan?
Oke, baiklah, sepertinya akan lebih baik kalau aku berhenti
menulis hal yang tidak jelas seperti ini. Hari ini aku terlalu lelah

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

untuk berbasa-basi di pembuka suratku. Jadi, aku rasa ada


baiknya kalau aku langsung saja bercerita tentang kelanjutan
kisah kita.
Di surat sebelumnya aku menulis tentang apa? Oh, ya,
tentang kamu dan rahasia memuakkan yang tidak ingin kamu
bagi denganku. Well, suratku kali ini juga masih menceritakan
topik yang sama. Kamu dan rahasiamu. Rahasia. Rahasia.
Rahasia.
Selalu seperti itu, kan, Raf? Bagimu, semuanya selalu
menjadi rahasia kecil antara kamu dan dirimu. Seharusnya,
waktu itu kamu sadar, bagaimana bisa hubungan kita bertahan
jika kita tidak saling terbuka? Aku tidak bisa membaca
pikiranmu, begitu pula denganmu. Lalu, kenapa kamu
bertingkah seakan aku mampu memahamimu dan situasimu
tanpa kamu mengucapkan sepatah kata pun?
Aku rasa pada akhirnya kita hanya harus mengakui fakta
menyakitkan bahwa meski kita telah melewati nyaris tiga tahun
bersama, kita tidak pernah benar-benar memahami satu sama
lain sepenuhnya.
Sekali pun tidak pernah.

Pagi itu aku sedang berada di dalam kelas, menyibukkan diri


dengan mengulang materi pelajaran kelas satu bersama Maura
berhubung Ujian Nasional yang semakin dekat. Kami berdua
sedang berdiskusi saat Citra tiba-tiba datang ke mejaku dan
melemparkan sebuah majalah dengan halaman terbuka.
Langsung saja aku menatapnya dengan pandangan tidak suka.

228
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Sejak kenaikan kelas, Citra yang awalnya kukenal sebagai


gadis manis yang sedikit centil bertransformasi menjadi gadis
menyebalkan yang merasa kalau tidak ada orang yang lebih
baik darinya. Ke mana pun dia melangkah, di belakangnya pasti
akan selalu ada dua sahabat setianya yang sama menyebalkan.
Aku sendiri tidak tahu apa yang membuatnya jadi seperti itu.
Tidak tahu dan tidak mau tahu lebih tepatnya.
“Eh, Ra,” panggil Citra polos, mengabaikan sorot kesal yang
kulemparkan padanya. “Lo sama Kak Rafa udah bubar, ya?”
Aku hanya bisa mengerjap berkali-kali, berusaha mencerna
pertanyaannya. Aku tahu kalau semenjak kita resmi bersama,
Citra memang tidak terlalu menyukaiku. Mungkin karena
akulah yang bersama kamu dan bukannya dia. Tetapi, aku tidak
menyangka kalau pertanyaan semacam itu akan keluar dari
bibirnya. Punya hak apa dia?
“Yah, gue cuma tanya, sih. Habisnya artikel di majalah bilang
kalau Rafa sekarang lagi dekat sama Marlene,” sambungnya
seraya mengedikkan dagu ke arah majalah yang terbuka lebar di
hadapanku. “Artis Pendatang Baru Rafael Leonardi Tertangkap
Kamera Bergandengan Tangan Dengan Marlene”, merupakan
headline dari artikel tersebut. Aku hanya bisa menelan ludah.
Melihatku yang mematung, Maura berinisiatif untuk
mengambil alih pembicaraan. “Yaelah, Cit, namanya juga artikel
gosip. Percaya banget, sih.”
Citra hanya memutar mata, mengacuhkan ucapan Maura
dan kembali melontarkan rentetan pertanyaan padaku. “Gue
serius, Ra, lo masih sama Kak Rafa nggak, sih? Kata artikel
ini juga band-nya Kak Rafa bakal bikin duet sama Marlene
di album perdana Constant Star. Lo udah tau belum? Gila ya,
pasti keren banget. Apalagi Marlene itu sekarang lagi happening

229
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

banget. Go international lagi.” Citra lalu memiringkan kepalanya,


menatapku dengan sorot kasihan yang terlihat palsu. “Lo nggak
ngerasa takut … kalah saing atau gimana gitu?”
“Cit, apaan sih pertanyaan lo,” tukas Maura ketus,
sementara aku hanya bisa bungkam. Maksudku, bagaimana aku
harus membalas ucapan Citra, Raf? Aku bahkan tidak tahu kalau
Constant Star sedang merencanakan duet dengan Marlene. Ada
berapa banyak hal yang sebenarnya kamu tutupi dariku?
“Gue tanya sama Kejora, bukan sama lo.” Citra memutar
mata. “Memangnya Kejora nggak punya mulut buat jawab
sendiri?”
Aku ingin sekali melemparkan sepatu yang kukenakan
ke arah Citra detik itu juga. Namun, mendadak aku merasa
terlalu lemas. Rasa sesak memenuhi dada. Seluruh tubuhku
terasa panas. Citra masih berdiri di sana, menatapku dengan
pandangan menyelidik, menungguku mengucapkan sesuatu.
Maka, setelah menarik napas berulang kali, aku memutuskan
untuk mengangkat kepala dan membalas tatapannya. Jujur,
aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada Citra. Kita
memang masih bersama, tetapi bagaimana kalau kamu ataupun
manajemen memang tidak ingin publik tahu tentang hal itu?
Apalagi setelah kejadian di Pumpkin beberapa minggu lalu.
Sebelum aku sempat buka suara, tiba-tiba saja Noah muncul
entah dari mana, dia mengambil majalah yang terletak manis
di atas mejaku, menggulungnya, sebelum melemparkannya
langsung ke arah tempat sampah. Masuk dengan mulus. Noah
lalu menatap Citra dengan tangan yang disilangkan di depan
dada, “Hubungan Kejora sama Rafa sama sekali bukan urusan
lo,” ucapnya dingin. “Mending lo balik ke bangku lo dan isi otak

230
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

lo dengan hal-hal yang berguna. Bukannya ngurusin hidup


orang lain. Memang ya, stupid mind discuss people.”
Citra mengentakkan kakinya kesal tetapi memilih
untuk memutar tubuh dan berjalan kembali ke bangkunya.
Sepertinya, perempuan itu sadar kalau dia tidak akan menang
berdebat dengan Noah. Aku melemparkan seulas senyum yang
menyiratkan terima kasih kepada Noah, sementara sahabatku
itu mengangkat bahu acuh tak acuh dan kembali ke bangkunya,
menenggelamkan diri dalam buku tebal yang tidak bisa kulihat
judulnya.
Dan meskipun Maura telah berulang kali memintaku untuk
menganggap perkataan Citra sebagai angin lalu, nyatanya hal
itu terus berputar di pikiranku selama pelajaran berlangsung.

Tepukan keras di pundakku sukses membuatku menggeleng


cepat dan mengangkat kepala, mendapati Noah yang menatapku
dengan sorot khawatir. Aku tersenyum kecil ke arahnya sebelum
menunduk, memfokuskan kedua mataku pada buku latihan
soal yang terbuka di hadapanku.
Sepulang sekolah, aku dan Noah memutuskan untuk
belajar bersama di rumahku. Kami cukup sering melakukan
itu. Kalau dulu hampir setiap hari sepulang sekolah aku selalu
menghabiskan waktu bersamamu, sekarang hampir seluruh
waktu kuhabiskan bersama Noah. Mau bagaimana lagi? Kamu
sibuk dengan urusan band-mu dan kami sibuk dengan Ujian
Nasional yang sudah di depan mata.

231
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Lucil,” panggil Noah pelan. Aku bergumam tidak jelas,


pandanganku masih fokus pada halaman penuh soal selagi
tanganku mencoret lembar jawaban. “Lo nggak mau cerita sama
gue?”
Pertanyaan yang Noah lontarkan sukses membuat pensil
dalam genggamanku berhenti bergerak. Nada suaranya benar-
benar lembut, membuat mataku mendadak terasa panas. Ingin
sekali aku menceritakan semua yang menggangguku pada
Noah, tetapi aku tidak ingin Noah menganggapmu sebagai
tokoh antagonis di dalam kisah kita, Raf. Jadi, aku memilih
untuk bertingkah seakan semuanya baik-baik saja.
“Cerita apa?” tanyaku tanpa menoleh. “Nggak ada yang bisa
gue ceritain juga.”
Noah mendegus. “Pura-pura bego, entar bego beneran tau
rasa.”
Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak tertawa. “Aduh,
yang lagi PMS. Galak banget dari tadi pagi,” ledekku.
“Sialan lo, Lucil. Enak aja.” Noah ikut tertawa. Namun,
sedetik kemudian tawanya mendadak berhenti. Dia lalu
menatapku dengan sorot lembut yang mengingatkanku pada
tatapan yang biasa Bunda lemparkan ke arahku saat berusaha
membuatku bercerita padanya. “Tapi serius, Lucil, lo nggak mau
cerita sama gue?”
Aku menghela napas berat. Belum waktunya, batinku waktu
itu. Lagi pula, masalah yang kita hadapi sebenarnya tidak terlalu
besar—oke, mungkin cukup besar. Tetapi, aku merasa kalau aku
hanya perlu bertemu denganmu dan membicarakan semuanya
baik-baik. Setelah itu kita akan kembali menjadi Kejora dan
Rafa yang hidup di negeri dongeng. Sesederhana itu, kan?

232
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Gue nggak apa-apa. Semuanya aman-aman aja, kok. Gue


cuma perlu ketemu sama Rafa,” balasku, tersenyum simpul.
“Gue rasa gue perlu ketemu dia sekarang. Lo mau anterin gue
nggak?”
Noah kontan mengernyit saat mendengar pertanyaanku.
“Bukannya lo sendiri yang bilang dia lagi sibuk, ya?” Dia
menggaruk kepalanya yang aku yakin sebenarnya tidak gatal.
“Kalau lo ada masalah sama dia omongin aja lewat telepon.”
“Boro-boro telepon,” keluhku. “SMS aja jarang dibalas.”
Ucapanku memang benar adanya karena belakangan
intesitas komunikasi kita semakin menurun. Kalau dulu hampir
setiap malam kamu selalu menghubungiku, sekarang mendapati
kamu mengirimiku pesan sekali saja sehari rasanya sudah
sangat beruntung. Jujur, aku kecewa dengan perubahanmu.
Namun, aku memilih untuk diam dan berusaha mengerti kamu
karena tahu kalau membesarkan nama Constant Star adalah
impianmu. Tetapi, itu bukan berarti kamu bisa semena-mena
mengabaikanku, kan, Raf?
Kira-kira empat puluh lima menit kemudian, aku sudah
berada di dalam mobil yang mengantarkanku menuju salah
satu stasiun TV ternama di tengah kemacetan Kota Jakarta. Di
sampingku, Noah duduk dengan pandangan yang difokuskan
pada jalanan padat di hadapan kami. Sesekali dia ikut
menyenandungkan lagu-lagu lama yang berasal dari iPod-nya.
Aku sendiri lebih banyak diam, menimang-nimang ponselku
seraya melirik layarnya sesekali, menunggu balasan.

233
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Klana Deva
Gue udah bilang sama Mbak Siska kalau lo mau datang. Nanti
dia bakal nungguin lo di depan pintu masuk, sekalian nanti dia yang
bakal antar ke studio.
Aku menghela napas pelan setelah membaca balasan
dari Klana. Sebelum memutuskan untuk pergi menemuimu,
aku sempat meneleponmu beberapa kali, untuk menanyakan
posisimu sehingga aku tahu ke mana harus pergi. Namun,
kamu tidak menjawab satu pun panggilanku. Aku tidak
menyalahkanmu, mungkin kamu memang sedang sibuk.
Sebagai gantinya, aku mengirimkan pesan singkat pada Klana—
menanyakan di mana kalian berada dan apa yang sedang kalian
lakukan.
Turns out, kamu dan teman-temanmu sedang berada
di stasiun TV untuk menghadiri salah satu acara talkshow.
Aku memberi tahu Klana kalau ada hal penting yang ingin
aku bicarakan langsung padamu. Temanmu yang satu itu
menyuruhku untuk langsung saja menyusul karena acara
talkshow tersebut terbuka untuk umum. Tak lupa dia menyuruh
Mbak Siska—asisten kalian—untuk menunggu kedatanganku
agar aku tidak tersesat.
Semua itu aku dan Klana rencanakan tanpa
sepengetahuanmu. Kalau kamu bertanya kenapa, jawabanku
sederhana; karena aku ingin memberi kejutan untukmu.
Maksudku, kita sudah cukup lama tidak bertemu, seharusnya
kamu merasa senang, kan, kalau aku tiba-tiba muncul di
hadapanmu? Meski begitu, ada sesuatu yang mengusik dadaku.
Pasalnya, jauh di dalam hatiku, aku tahu kalau kedatanganku ke
sana bukanlah sepenuhnya untuk sekadar berbasa-basi karena

234
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

aku rindu—melainkan untuk mencari jawaban dari pertanyaan-


pertanyaan yang selama ini selalu menghantuiku.
“Anyone who doesn’t take truth seriously in small matters can’t
be trusted in large one either.” Kalimat itu diucapkan Noah keras-
keras di antara hening yang menyelimuti kami, mengeluarkanku
dari lamunanku secara paksa. “Kata Einstein kayak gitu.”
Aku menoleh, bingung. “Apa?”
“Iya, Enstein pernah bilang, orang-orang yang nggak jujur
sama lo tentang hal-hal kecil, nggak layak lo percayain, apa lagi
buat hal-hal besar,” terang Noah, membuatku semakin bingung.
Maksudku, kenapa dia tiba-tiba membahas Einstein dan quotes-
nya yang menyinggung masalah kejujuran? Sepertinya, Noah
bisa melihat dengan jelas kerutan di keningku karena detik
berikutnya dia melanjutkan tanpa menoleh, “Gue nggak mau
menerapkan kalimat itu ke lo, Lucil. Jadi gue akan bertanya
sekali lagi, apa lo baik-baik aja?”
Aku menelan ludah. Rasa bersalah mendadak menyergapku.
Kutarik napas dalam-dalam, berusaha memenuhi paru-paruku
dengan udara sebanyak mungkin, berharap rasa itu hilang
seiring dengan udara yang kuembuskan. Namun nyatanya, rasa
bersalah itu tetap bertahan di dadaku. “Kenapa gue harus nggak
baik-baik aja?” aku balas bertanya saat sudah bisa menguasai
diri sendiri. “Lo terlalu banyak mengkhawatirkan yang nggak
perlu.”
“Artikel di majalah yang lo baca tadi pagi, lo yakin bukan
itu yang buat lo pengin ketemu Rafa sekarang? Gosip-gosip
yang ada di TV, berita-berita di media sosial tentang Rafa dan
Marlene, lo yakin lo baik-baik aja dengan itu?” tukas Noah,
membuatku menelan ludah.

235
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Selalu ada saat ketika aku benci dengan kenyataan bahwa


Noah memahamiku luar dalam. Dia tahu apa yang kurasakan
tanpa harus kuberi tahu. Dia tahu titik lemahku—kalimat apa
yang harus diucapkan dan topik apa yang harus diangkat untuk
menamparku. Bagaimana bisa aku menutupi perihal kita jika
dia terus-menerus menanyaiku apakah aku baik-baik saja?
Kali ini aku memaksakan seulas senyum lebar, berusaha
meyakinkan Noah kalau tidak ada yang perlu dia khawatirkan.
“I’m ine, Noah. Trust me,” balasku lembut. “Lagian itu kan cuma
gosip. Kita berdua tau kalau gosip nggak selamanya benar. Gue
percaya Rafa. Gue tau dia nggak akan melakukan hal yang
menyakiti gue.”
Seakan alam bawah sadarku menolak, kalimat terakhir itu
meluncur dari bibirku dengan suara bergetar. Benarkah itu,
Raf? Apakah kalimat itu masih layak kupercayai? Lalu, kalau
kamu memang tidak akan melakukan hal yang membuatku sakit
hati, kenapa kamu tidak jujur padaku? Apa kamu menganggap
ketidakjujuranmu itu tidak melukaiku?
Sisa perjalanan itu aku dan Noah lewati dalam diam.
Benakku tak henti merangkai kata demi kata menjadi
pertanyaan. Apa yang terjadi, Rafa? Apa yang sebenarnya
kamu tutupi? Kenapa seluruh semesta seakan berkonspirasi
untuk membuatku tidak memercayai kamu? Puluhan, bahkan
ratusan pertanyaan tak henti berputar di kepalaku perihal kita.
Pertanyaan itu mungkin ada dan jelas, Rafa, tetapi apakah
jawabannya hadir untuk melengkapi? Satu yang aku tahu
pasti, tidak semua pertanyaan memiliki jawaban—lalu apakah
pertanyaanku akan bernasib sama?
Jazz hitam milik Noah berhenti tepat di depan pintu masuk
gedung bertingkat yang menjadi tempat kalian melangsungkan

236
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

talkshow hari itu. Aku melemparkan seulas senyum kecil


padanya, mengucapkan terima kasih, dan bergegas menarik
handle pintu. Dalam hitungan detik, aku sudah berada di
luar. Langit terlihat mendung, udara dingin menyapu kulit,
membuatku mengusap lengan, berusaha mencari kehangatan.
Aku baru saja akan mengambil langkah lebar memunggungi
Noah saat mendengarnya memanggil namaku. Cepat-cepat
aku menoleh, mendapati manik hitam-kebiruan miliknya
menatapku lekat melalui kaca yang diturunkan. Sahabatku itu
tersenyum tipis. Kalimat selanjutnya yang dia ucapkan sukses
membuatku membeku, “Lucil, gue tau kalau di saat lo berada
dalam suatu hubungan, lo punya kewajiban untuk memercayai
pasangan lo. Tapi, itu bukan berarti lo harus menutup mata dan
telinga lo dari hal-hal yang terjadi di sekeliling lo. Jangan biarkan
perasaan lo membodohi lo. Buka mata lo, Lucillia Kejora. Gue
tau lo bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya
ada di imajinasi lo aja.”
Noah tidak menungguku membalas ucapannya. Secepat
kalimat itu mengalir, secepat itu pula dia menghilang. Dalam
hitungan detik, Jazz hitam yang tadinya berada tepat di
depanku bergerak menjauh. Meninggalkanku sendirian di
bawah naungan langit senja bersama untaian kata yang kuharap
bisa kuhapuskan dari ingatanku selamanya.

“Mbak Kejora, kan? Ayo, mari ikut saya.”


Aku mengangguk dan mengambil langkah lebar di belakang
Siska, selagi dia menuntunku menuju salah satu studio yang

237
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

terdapat di stasiun TV itu. Langkahku yang cepat senada dengan


irama detak jantungku. Berkali-kali aku menarik napas dan
mengembuskannya, berharap hal yang kulakukan itu mampu
membuatku lebih relaks. Namun, nyatanya tak membuahkan
hasil sama sekali.
Setelah menunjukkan free pass yang dikalungkan di leherku
pada beberapa orang yang menjaga pintu studio, aku masuk
melalui bagian belakang ruangan, mengambil tempat di barisan
belakang dengan posisi paling pinggir—tepat di sebelahku ada
tangga menurun yang langsung menuju ke panggung. Acara
talkshow itu sudah berlangsung, aku tidak tahu tepanya sudah
berapa lama sejak acaranya dimulai, tetapi saat aku masuk ke
ruangan itu, kamu dan teman-temanmu sedang duduk santai
seraya tertawa pelan. Mungkin menertawakan lelucon yang
dilontarkan pembawa acara? Entahlah.
Aku lalu mendengarkan pertanyaan yang dilontarkan pada
kalian dengan teliti—kebanyakan bertanya seputar awal mula
Constant Star terbentuk dan perasaan kalian setelah single
pertama kalian sukses besar. Setelah nyaris 20 menit bergulat
dalam pertanyaan demi pertanyaan, sang pembawa acara
lalu berkata bahwa mereka akan mengundang satu bintang
tamu lagi untuk memeriahkan acara sore itu. Aku tentu saja
mengernyit heran—kukira satu-satunya bintang tamu hari
itu adalah kalian. Kerutan di keningku kontan bertambah
banyak saat personel Constant Star yang lain tanpa di komando
berjalan meninggalkan panggung, menyisakan kamu yang
duduk sendirian di atas sofa. Ke mana teman-temanmu pergi?
Lebih tepatnya, kenapa mereka harus pergi?

238
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Langsung saja kita undang bintang tamu kita berikutnya.


Ada yang penasaran, nggak? Wah, Rafa pasti penasaran banget
sama yang satu ini. Ya, silakan masuk, selamat datang Marlene!”
Kalimat yang diucapkan pembawa acara dengan nada ceria
dan riuh sorakan dan tepuk tangan penonton seakan meredam
detak jantungku yang kini kian cepat. Napasku memburu,
rasa panas menjalar ke sekujur tubuhku. Apa lagi ini, Rafa?
Tujuanku datang adalah untuk mencari jawaban—jawaban yang
kuinginkan. Tetapi, kenapa semesta seakan menertawakanku
dengan melemparkan jawaban yang paling tidak aku inginkan
tepat ke depan mataku?
Diiringi tepukan meriah penonton, Marlene melangkah
memasuki panggung. Terusan hitam santai yang dibalut jaket
kulit dengan warna senada melengkapi penampilannya hari
itu. Dia melambaikan tangan sekilas ke arah penonton sebelum
mengambil tempat tepat di sebelahmu. Kamu sendiri terlihat
tidak terkejut dengan kehadirannya—malah aku bisa melihat
matamu berbinar senang meski samar, seakan kamu sudah
berekspektasi bahwa dia akan datang. Benarkah itu, Rafa?
Kalau memang iya, kenapa kamu mengharapkan kehadirannya?
Kenapa tidak mengharapkan hadirku saja?
Pembawa acara itu sempat berbasa-basi selama beberapa
saat—menanyakan kabar Marlene dan apa kesibukannya
belakangan. Aku baru saja akan bangkit dan memilih untuk
menunggu kamu di luar saat satu pertanyaan yang meluncur
dari bibir sang pembawa acara membuat tubuhku kaku seketika.
“Jadi, saya mau bertanya, nih, sama Marlene. Pertanyaan
ini mewakili masyarakat Indonesia, sepertinya. Sebenarnya,
kamu sama Rafa ada hubungan apa, sih?”

239
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Pertanyaan itu sederhana. Amat sangat sederhana. Hanya


tiga kalimat. Namun, dampaknya sangat luar biasa untukku.
Jantungku yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali
berpacu. Rasa panas itu pun kembali menyebar. Dengan gusar
aku menunggu jawaban seperti apa yang akan diberikan
Marlene.
Perempuan berambut merah itu tertawa renyah saat
mendengar pertanyaan sang pembawa acara. Dia lalu melirikmu
sekilas sebelum menyunggingkan senyum dan menjawab, “I
can’t quite answer that, I guess. Coba tanya Rafa, deh.”
Kali ini ganti kamu yang tertawa. “Kok jadi tanya gue,
sih?” Kamu lalu mengubah posisi dudukmu—condong ke arah
Marlene—sebelum menatapnya lurus dengan alis dinaikkan
dan senyum yang dikulum. “Lo-nya dong yang gimana, Lane.”
“Lane?” potong sang pembawa acara langsung, terlihat
bingung dengan panggilan yang kamu ucapkan pada Marlene.
“Ah, iya,” angguk Marlene. Senyum itu masih terpasang
rapi di wajahnya—senang, malu-malu, seperti orang yang
sedang jatuh cinta. “Rafa bilang kalau manggil gue Marlene
kepanjangan. Jadi, dia singkat jadi Lane.”
Setelah Marlena mengucapkan kalimat itu, sorakan keras
kembali terdengar dari sekelilingku. Hampir seluruh penonton
yang hadir tersenyum-senyum sendiri. Mungkin mereka
menganggap kamu dan Marlene merupakan pasangan serasi
yang menggemaskan? Entahlah, Rafa. Satu-satunya yang
kurasakan hari itu hanyalah rasa mual. Aku tidak bisa tersenyum
seperti mereka. Aku tidak bisa menganggap semuanya hanya
lelucon dan ikut tertawa. Perasaan itu, Rafa, aku benci.
“Pakai acara panggilan khusus segala, ya,” sambung sang
pembawa acara dengan senyum jail setelah sorak-sorai di

240
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

sekelilingku reda. Dia lalu menyilangkan tangan di depan dada,


mengarahkan tatapannya lurus-lurus pada kamu dan Marlene
bergantian sebelum menanyakan pertanyaan yang membuat
duniaku seakan berhenti berputar. “Jadi, sebenarnya kalian
sama-sama suka tapi belum jadian, atau mungkin sudah jadian?”
Hening menyelimuti seluruh penjuru studio selama
beberapa saat. Keheningan itu, Rafa, benar-benar mencekam
bagiku. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri.
Keras dan cepat. Dari jarak yang terbentang di antara kita,
kutatap wajahmu lekat-lekat, berusaha mencari perubahan
sekecil apa pun agar aku bisa menebak apa yang sebenarnya
kamu rasakan. Apakah kamu akan kesal, Rafa, karena semesta
seakan memasangkan kamu dengan orang yang tidak kamu
sayang? Atau mungkin kamu merasa senang?
Namun sepertinya aku tidak perlu repot-repot membaca
raut wajahmu dengan teliti karena sedetik kemudian, kamu
menoleh ke arah Marlene, menatapnya lurus selagi senyum
penuh teka-teki kesukaanku yang sudah lama tak aku lihat
muncul di bibirmu. Marlene balas menatapmu, senyum yang
terpasang di bibirnya terlihat sama denganmu.
Apa maksud semua itu, Rafa? Kenapa di saat kalian berdua
saling tatap, kalian seakan mampu berbicara lewat mata tanpa
memerlukan kata? Sejak kapan perempuan berambut merah itu
mampu melakukan hal itu, Raf? Bukannya hanya aku saja yang
kamu beri kesempatan untuk melakukan hal itu? Bukannya
hanya aku saja yang kamu beri celah cukup lebar untuk belajar
memahami kamu? Kalau memang hanya aku, kenapa dia bisa
melakukannya, Rafa?
Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak
bangkit dan berusaha melangkah ke arahmu perlahan. Posisi

241
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

dudukku yang terletak di barisan paling belakang membuat


pergerakanku tidak mencolok. Mendadak aku merasa mual.
Kemungkinan akan jawaban yang kalian lontarkan berkecamuk
dalam benakku. Aku tahu kalau aku tidak seharusnya menyela
di tengah-tengah talkshow seperti itu, tetapi meski logikaku
berteriak, aku tetap tidak bisa menghentikan langkah. Kakiku
terus bergerak maju seiring detik yang terus berjalan.
Tepat saat kamu baru saja akan menjawab, aku merasakan
seseorang menutup mulutku dan menarikku dari belakang.
Aku sudah bersiap untuk berteriak dan menggigit tangannya
saat mendengar suara familier tepat di telingaku. “Ini gue,
Adrian,” bisiknya pelan. “Maaf gue nutup mulut lo, tapi lo nggak
seharusnya di sini, Kejora.”

Aku hanya bisa pasrah saat Adrian membawaku memasuki


sebuah ruangan bertuliskan “Constant Star” di pintunya.
Ruangan itu tidak terlalu besar, tetapi cukup lapang untuk
kalian berempat. Ada sofa-sofa empuk yang diatur sedemikian
rupa, meja rias, dan juga kulkas kecil di sudut ruangan. Aku
mendapati Klana dan Karel di sana, duduk tenang di sofa,
terlihat sibuk dengan ponsel masing-masing. Pun aku ikut
mengambil tempat di sebelah mereka.
Yang kali pertama menyadari kehadiranku adalah Karel.
Dia mengerjapkan kedua matanya berulang kali seakan
tidak memercayai kehadiranku. “Kejora? Kok lo bisa di sini?”
tanyanya kaget, membuat Klana yang duduk tepat di sebelahnya
mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

242
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku tersenyum tipis. “Gue mau ketemu Rafa, Kak.”


“Nggak, bukan gitu.” Kali ini Karel menggeleng. “Maksud
gue kenapa lo tiba-tiba bisa ada di sini? Lo nggak mungkin bisa
masuk tanpa izin ke studio.”
Aku menelan ludah gugup saat mendengar pertanyaan
Karel. Maksudku, apakah aku harus memberitahunya kalau
Klana membantuku? Tetapi, bagaimana kalau teman-temanmu
yang lain malah kesal dengan sikapnya itu? “O-oh, itu .…”
“Gue yang suruh Kejora datang ke sini,” potong Klana
langsung, membuatku mengembuskan napas lega. “Dia bilang
dia perlu ngomong sesuatu yang penting sama Rafa, tapi Rafa
nggak bisa dihubungin. Gue kasih tau aja kalau kita lagi ada di
sini.”
Karel dan Adrian mengangguk samar. Selama di perjalanan
menuju ruangan, Adrian memang tidak bertanya apa-apa
padaku. Dia hanya melangkah dalam diam, sesekali tersenyum
tetapi tak pernah menyinggung topik tentang bagaimana aku
bisa berada di dalam studio dan bagaimana aku hampir saja
menyela acara talkshow itu jika dia tidak menghentikanku.
Aku ingin bertanya padanya; aku ingin tahu apa yang dia
lakukan di sana dan bagaimana dia bisa menghentikanku tepat
pada waktunya. Namun, aku memilih untuk menyimpan rasa
penasaran itu dalam hati.
Hening yang terasa janggal memenuhi ruangan. Ketiga
temanmu itu terlihat enggan mengobrol denganku. Seakan jika
mereka buka suara, kata-kata yang salah mungkin meluncur
dari bibir mereka. Aku sendiri masih terlalu bingung untuk
memproses semuanya. Bayangan tentang kamu, Marlene, dan
sang pembawa acara di studio belum sepenuhnya hilang dari
benakku. Mendadak rasa mual kembali menyergap. Ragu-ragu

243
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

aku melemparkan pandangan ke arah Karel, Klana, dan Adrian


bergantian. “Kak,” panggilku pelan. “Yang tadi di studio itu …
apa? Rafa dan Marlene. Aku nggak ngerti.”
Ketiga temanmu saling bertukar pandang, membuat
perasaanku semakin tidak enak. “Kita nggak bisa jawab
pertanyaan lo, Ra.” Karel tersenyum tipis. Ekspresinya yang
selalu jenaka terlihat sendu. “Lebih tepatnya kita nggak punya
hak. Jawabannya harus lo dengar dari Rafa sendiri,” tambahnya,
membuatku mengangguk kaku.
Karel lalu kembali fokus pada ponselnya, sementara Adrian
merebahkan tubuh di sofa yang terletak di seberang kami.
Aku hanya bisa menghela napas berat. Mendadak aku merasa
kalau kedatanganku hari itu tidak akan berjalan sesuai dengan
keinginanku.
Tepukan pelan di bahuku menyeretku keluar dari lamunan.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan mendapati Klana
mengambil tempat di sebelahku seraya menyodorkan satu botol
minuman isotonik. “Nih, lo pucat,” ujarnya datar.
Aku menerima minuman itu dari Klana dan menggumamkan
kata terima kasih. Samar-samar, aku bisa mendengar Klana
menghela napas berat, seakan apa yang terjadi tidak hanya
membebaniku, tetapi membebaninya juga.
“Gue senang lo datang hari ini.” Klana tersenyum tipis.
“Seharusnya lo tau semuanya lebih awal, tapi lebih baik tau
sekarang dari pada nggak tau sama sekali.” Aku baru saja akan
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi Klana cepat-
cepat menambahkan, “Seperti yang Karel bilang, kami nggak
bisa cerita apa-apa. Lebih baik lo tau semuanya dari Rafa.”
Sepanjang aku mengenal Klana, mungkin itu termasuk
kalimat terpanjang yang pernah dia ucapkan padaku. Sayangnya,

244
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

kalimat itu pula yang membuat rasa mualku semakin menjadi-


jadi. Aku memutuskan untuk tetap diam, sesekali meneguk
minuman yang Klana berikan seraya menatap pintu dengan
resah. Kapan kamu akan datang? Ada banyak hal yang harus
kamu jelaskan.
Tak sampai lima belas menit kemudian, pintu ruangan
mengayun terbuka, menampakkan kamu dan Marlene yang
sedang tertawa. Entah karena apa tepatnya, aku juga tidak
tahu. Yang jelas, begitu pandangan kita bertabrakan, tawamu
langsung surut digantikan oleh sorot kaget. Kamu mengatakan
sesuatu pada Marlene yang tidak cukup keras untuk kudengar,
membuat perempuan berambut merah itu ikut menatapku dan
tersenyum kecil sebelum berbalik, sementara kamu masuk ke
ruangan.
“Kejora? Kok kamu bisa ada di sini?” tanyamu, sorot kaget
itu masih terlihat jelas di kedua matamu.
Aku memaksakan seulas senyum tipis. Adegan di pintu tadi
cukup untuk menimbulkan rasa nyeri tak tertahankan di dalam
dada. Aku memilih untuk diam, tak menjawab pertanyaanmu.
Lagi pula, jawaban seperti apa yang harus kuberikan?
Kamu mengambil tempat di sofa yang berseberangan
denganku dan kembali buka suara saat menyadari aku tidak
menjawab pertanyaanmu. “Udah lama datangnya?” tanyamu
lagi, jelas sekali sedang berbasa-basi.
“Cukup lama untuk nonton setengah talkshow kamu,”
balasku. Aku tidak bermaksud untuk terdengar ketus, tetapi
begitulah nada yang keluar. Kamu tidak bisa menyalahkanku
karena aku berhak merasa kesal.
Meski menyerupai bisikan, aku bisa mendengar kamu
merutuki dirimu. Mendadak ruangan itu terasa pengap dan

245
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

panas. Seakan ada terlalu banyak emosi yang berkumpul di sana.


Maka, setelah memantapkan hati, aku menyapukan pandangan
ke arahmu dan ketiga temanmu. “Yang tadi itu … apa?”
Secara serentak, Karel, Klana dan Adrian mengalihkan
pandangan ke arahmu, membuatku ikut melakukan hal yang
sama, sementara kamu menenggelamkan wajah di antara
telapak tangan. Terlihat tertekan dengan sikap kami.
“Bro, it’s been months,” mulai Adrian. “Kalau gue diminta
memilih waktu yang tepat, mungkin sekarang waktunya buat
lo cerita ke Kejora.”
“Easier said than done,” tukasmu langsung pada Adrian. “Lo
nggak ada di posisi gue, Yan. Lo nggak tau gimana susahnya.”
Adrian mendengus keras, terlihat jengkel dengan sikapmu.
“Raf, gue kenal lo udah lama. Lo memang teman gue, tapi kali
ini, gue benar-benar nggak setuju dengan sikap lo. Ini nggak
adil buat dia, lo tau nggak?” ucapnya tegas, membuatmu
mengangkat kepala dan menatapnya nyalang.
“Lagian apa susahnya sih lo keluarin kalimat pertama yang
terlintas di kepala lo?” tambah Karel, terlihat sama kesalnya
dengan Adrian. “Sampai kapan lo mau membuat kami semua
menyimpan ini dari Kejora cuma karena lo nggak siap buat
ngomong?”
Kali ini, kepalamu yang sempat ditundukkan terangkat.
Sorot matamu tajam dan nada bicaramu dinaikkan satu oktaf.
“Kok lo semua jadi nyalahin gue, sih?” Kamu menatap Karel
dan Adrian bergantian. “Lo kira posisi gue ini enak? Lo kira gue
minta untuk berada di situasi ini? Nggak ada satu orang pun di
antara lo semua yang tau rasanya—“
“Memangnya lo tau rasanya gimana jadi Kejora?” tukas
Klana tajam, membuat seluruh pasang mata yang ada di ruangan

246
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

menatapnya kaget. “Lo kira enak ada di posisi dia? Nggak tau
apa-apa, nggak tau mana yang mau dipercaya, serbasalah. Lo
kira dia minta untuk berada di situasi itu?” tambah Klana lagi,
tatapannya yang dingin dan menusuk diarahkan tepat padamu.
Meski jauh di dalam hatimu aku yakin kalau kamu
menyetujui ucapan Klana, kamu tetap memilih untuk keras
kepala dan memutar mata. “Ya, tapi kan—”
“Joe minta supaya di depan media Rafa terlihat seakan
dia punya hubungan dengan Marlene,” potong Klana langsung
seraya menatapmu lekat tepat di manik mata, membuat
jantungku berhenti berdetak selama beberapa saat. Temanmu
itu lalu mengalihkan pandangannya padaku dan melanjutkan,
“Pihak Label minta agar lo nggak muncul ke publik sebagai
pacar Rafa. Sebagai gantinya, Rafa di-setting seakan dia dekat
dengan Marlene. Mereka nggak diminta pacaran pura-pura atau
bahkan pacaran secara nyata. Mereka hanya diminta untuk
terlihat dekat dengan satu sama lain di hadapan publik agar
publik mengasumsikan kalau—“
“Rafa pacaran sama Marlene,” lanjut Karel sambil
tersenyum miris.
Klana mengangguk singkat. “Semuanya untuk menaikkan
popularitas. Sejauh ini respons fan Marlene dan khalayak ramai
positif. Penjualan single juga meningkat. Bahkan, banyak banget
orang yang menganggap mereka lucu dan menjodoh-jodohkan
di media sosial.” Klana lalu menoleh ke arahmu dan menatapmu
tepat di manik mata saat dia bertanya, “Ini nggak lebih dari
sekadar bisnis, ya kan, Raf?”
Aku ikut mengalihkan pandangan ke arahmu. Berusaha
menangkap manik cokelat gelap milikmu untuk mencari tahu
emosi macam apa yang tertulis di sana. Namun, kamu memilih

247
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

untuk menunduk dalam, menghindari tatapan kami semua.


Helaan napas berat meluncur dari bibirmu. Satu hal yang aku
tahu pasti; kamu tidak menjawab pertanyaan Klana.
“Itu juga alasan kenapa lo nggak bisa muncul ke publik
sebagai pacarnya Rafa,” tambah Adrian dengan nada inal
Aku masih duduk dalam diam, berusaha memproses semua
informasi yang baru saja kudapatkan. Baiklah, aku beruntung
karena setidaknya Label maupun manajemen tidak meminta
kamu untuk menjalin hubungan yang nyata dengan Marlene.
Tetapi, Rafa, meski semuanya hanya rekayasa, rasa sakit di
dalam dada ini benar adanya. Rasa itu menyiksaku dengan
setiap tarikan napas yang aku ambil. Aku tidak mungkin hidup
dengan rasa sakit ini setiap hari, kan?
“Tapi,” mulaiku lemah, “kenapa harus Rafa? Kenapa nggak
salah satu dari kalian?” tanyaku pelan seraya menatap Karel,
Klana, dan Adrian bergantian.
“Gue akan sangat senang menggantikan posisi Rafa agar
lo nggak berada di posisi ini, Ra. Tapi Rafa vokalisnya, bukan
gue. Vokalis sering kali menjadi pusat perhatian dan tentu aja,
karena Joe nunjuknya Rafa. Bukan gue, bukan Klana, bukan
Karel,” terang Adrian,
Aku menelan ludah susah payah. “O-oke. Tapi, sampai
kapan?”
“Belum tau.” Kali ini kamu buka suara. Ratusan emosi
terpancar di kedua matamu saat pandangan kita beradu. “Gue
… gue harap ini berakhir secepatnya.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Detik itu juga, aku
merasa kalau ada baiknya aku tidak pernah tahu apa yang
sebenarnya kamu sembunyikan. Memang, aku pasti akan
penasaran setengah mati, tetapi setidaknya rasa penasaran jauh

248
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

lebih baik daripada rasa sesak yang memenuhi dada setiap kali
aku menatapmu.
“We’re hiding now, aren’t we?” Pertanyaan itu kusuarakan
dengan serak. Mataku terasa panas. Mati-matian aku berusaha
agar air mata tidak mengalir.
Kamu memilih untuk berpaling. “Kinda.”
Satu isakan meluncur dari bibirku saat mendengar
jawabanmu. “Rafa,” panggilku, susah payah mencegah agar
tangisku tidak pecah. “Terus aku harus gimana?” tanyaku
parau. “Aku harus jawab apa kalau orang-orang tanya tentang
kita? Apa yang harus aku bilang sama Bunda? Di sekolah,
mereka semua datangin aku, mereka tahu tentang kita. Mereka
tanya apa kita udah berakhir dan apa kamu sekarang bersama
Marlene. Mereka … aku ....”
Tangis yang sedari tadi berusaha kubendung mendadak
pecah begitu saja. Aku menutup mulut dengan kedua telapak
tangan, berusaha meredam isakan yang meluncur dari bibirku
sementara air mata mengalir deras. Hari itu, Rafa, adalah kali
pertama aku menangis karena kamu. Sayangnya, bukannya
menangis karena bahagia, aku malah menangis sebagai luapan
dari semua rasa sakit yang kamu berikan padaku.
Kamu hanya bisa terduduk kaku. Pandanganmu lurus
ke arahku. Bibirmu membentuk garis tipis. Sorot matamu
terlihat putus asa. Setelah menit demi menit berlalu, kamu lalu
menghela napas berat, berjalan ke arah pintu dan membukanya
lebar. Meninggalkanku di dalam dengan suara bantingan dan
tangis yang semakin keras.
Adrian dan Karel langsung mengambil tempat di
sisiku, mengusap punggungku dan membisikkan kata-kata
penenang yang sejujurnya tidak membantu sama sekali. Dari

249
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

seberang ruangan, aku bisa merasakan Klana menatapku


lekat. Ragu-ragu, aku membalas tatapannya. Ada sesuatu di
manik matanya, kilatan yang membuatku merasa seakan dia
memahami situasiku. Memaklumi kesedihanku tanpa merasa
simpati. Dia mengerti. Jadi, aku menatapnya dengan sorot yang
mengucapkan terima kasih.

Setelah menghabiskan nyaris satu jam menangisi hatiku


sendiri, aku memutuskan untuk pulang. Kamu dan teman-
temanmu masih harus berada di sana sampai malam hari, entah
mengurus apa. Lagi pula, aku merasa keberadaanku di sana
tidak ada gunanya. Kamu bahkan terlihat tidak terlalu senang
dengan kedatanganku. Kejora bodoh. Apa yang sebenarnya
kuharapkan?
Kucengkeram tali tasku erat-erat selagi berjalan ke luar
ruangan, menyusuri koridor lantai empat yang sisi-sisinya
adalah balkon. Kembali aku memutar adegan saat kamu
meninggalkanku yang sedang menangis dengan pintu dibanting.
Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak bertanya-
tanya, kenapa kamu melakukan itu, Rafa? Apakah pertanyaan
yang kuajukan terlalu berat untuk kamu jawab? Atau, apakah
keberadaanku malah membuat kamu tertekan?
Langkahku mendadak terhenti saat melihat siluetmu sedang
berdiri di balkon, menatap lurus ke langit, entah memikirkan
apa. Selama beberapa saat, aku mengamati punggungmu yang
tertimpa cahaya matahari. Ingin rasanya aku berlari ke arahmu
dan memelukmu erat. Mencari rasa hangat dan aman yang

250
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

selama ini selalu aku temukan. Namun kenyataannya, aku tidak


cukup berani untuk melakukan itu. Entah sejak kapan, aku
merasa seakan ada sekat tipis yang membatasi kita.
Pada akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah berdiri tiga
langkah darimu dan berkata serak. “A-aku mau pulang.”
Kamu membalikkan tubuh ragu-ragu saat mendengar
suaraku. Mungkin kaget dengan kemunculanku yang tiba-tiba?
Entahlah.
“Oke,” balasmu pendek.
Kamu kembali mengalihkan pandangan pada langit,
mengacuhkanku yang masih berdiri di balik punggungmu.
Untuk waktu cukup lama, aku kembali termenung seraya
menatap punggungmu. Aku sakit di sini, Rafa. Aku kecewa.
Aku merasa diperlakukan tidak adil tetapi aku menyayangi
kamu, Raf. Aku masih menyayangi kamu dan aku tidak ingin
kehilangan kamu. Aku tidak ingin kehilangan kita.
Aku tahu kalau selama ini hubungan kita terlalu sempurna.
Aku, kamu dan saat-saat bahagia yang selalu kita lewati
tanpa masalah berarti. Mungkin inilah saatnya hubungan
kita diuji. Lika-liku itu pasti ada dan kini giliran kita untuk
menghadapinya. Aku tidak ingin kalah, Raf. Aku masih percaya
selama kita saling menggenggam, kita bisa meraih segalanya.
“Rafa,” panggilku pelan. Kamu menoleh meski terlihat
enggan. Kupaksakan seulas senyum kecil sebelum aku berkata,
“Setelah aku pikir-pikir, aku nggak apa-apa. Aku … bisa kok
tetap berada di dalam hubungan ini meski posisiku nggak enak.
Nggak masalah buatku untuk sembunyi dari publik. Tapi, satu
yang aku sesali, Raf,” Senyum kecil itu tanpa kusadari berubah
sendu, “Kenapa kamu nggak terbuka aja sama aku? Kamu tahu,

251
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kan, kamu selalu bisa cerita apa aja sama aku? Aku bakal selalu
di pihak kamu dan mendukung kamu.”
Kedua manik cokelat gelap milikmu menatapku dengan
sorot tak terbaca yang telah kukenal benar. Aku selalu benci
saat aku tidak bisa memahami isi pikiranmu, tetapi aku
masih ingin mencoba, Raf. Aku ingin lebih mengerti kamu,
memahami kamu, menjadi tempatmu bersandar saat seluruh
dunia membuatmu kecewa. Aku tidak ingin menyerah meski
sikapmu melukaiku.
“Aku ... mau mempertahankan hubungan kita,” ucapku
setegas yang aku bisa. “Aku nggak mau apa yang udah kita bangun
bertahun-tahun rusak karena hal sepele kayak gini. Tapi, kamu
tau kan, Raf, aku nggak bisa mempertahankannya sendiri. Aku
butuh bantuan kamu.” Kali ini nada suaraku melembut. Ragu-
ragu, aku mengulurkan tangan untuk mengusap lenganmu.
“Meskipun aku sedih dan kecewa dengan sikap kamu, tapi aku
tetap ingin percaya pada kita. Aku harap kamu juga melakukan
hal yang sama.”
Perlahan kubalikkan tubuh selagi aku mengembuskan
napas berat. Aku telah mengatakan bagianku. Setidaknya,
aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Tanpa menunggu
balasanmu, aku segera mengambil langkah lebar, berusaha
menciptakan jarak yang cukup jauh sehingga aku tidak perlu
mendengar bagianmu. Takut kalau apa yang kamu ucapkan
malah membuatku semakin kecewa.
Namun, belum sempat lagi aku mencapai tangga, aku
bisa mendengarmu memanggilku meski pelan dengan suara
bergetar. Aku menghentikan langkah tanpa menoleh. Aku tidak
mau membalikkan tubuh hanya untuk mendapati kamu dan
sorot tak terbaca itu di sana, Rafa. Aku tidak mau.

252
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Gue minta maaf.”


Hanya tiga kata. Tiga kata yang kamu suarakan dengan lirih
dan berat tetapi bagiku tiga kata itu sudah lebih dari cukup. Tiga
kata itu melambangkan kepedulianmu padaku dan perasaanku.
Tiga kata itu melambangkan rasa sesal dan kecewamu atas
sikapmu padaku. Tiga kata itu jauh lebih berarti dari semua
kata-kata manis yang pernah terucap dari bibirmu.
Maka, setelah menguatkan diri agar tidak langsung
berbalik dan menghambur ke arahmu, aku menggangguk
pelan. Mengisyaratkan kalau aku memaafkanmu meski tanpa
suara dan melanjutkan langkahku yang sempat terhenti,
meninggalkanmu sendirian di belakang dengan pikiran yang
tak akan pernah kumengerti.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

253
pustaka-indo.blogspot.com
Salah Siapa
Day 13: Paris
22 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang sangat beruntung karena memiliki orang-orang baik yang
menyayanginya di sisinya.)

It’s 4 o’clock in the morning and I’m wide awake. Seharusnya


aku masih tidur sekarang, mengingat betapa melelahkannya
hariku kemarin. Namun, sebuah mimpi tentang masa lalu
menyentakkanku dari tidur. It wasn’t like some kind of scary
nightmare. It was worse than that. Mimpi itu, bercerita tentang
kita.
Masih jelas di ingatanku momen ketika kamu tiba-tiba
muncul dengan wajah penuh lebam di jendela kamarku malam
itu. Aku nyaris tidak percaya kalau sosok itu adalah kamu.
Namun, sorot hangat yang terpancar dari kedua matamu
berhasil membuatku cepat-cepat membuka jendela dan
mempersilakanmu masuk.
“Gue nggak apa-apa, Kejora,” ucapmu ringan saat aku sibuk
mencari kotak P3K dengan panik. Waktu itu kamu terluka,
Rafa, tetapi kenapa bukannya meringis kesakitan, kamu malah
tersenyum tenang? Dari mana semua luka itu berasal? Siapa

pustaka-indo.blogspot.com
yang kamu lindungi? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Raf?
Kenapa meski telah ribuan kali mencoba, aku tetap tidak bisa
mengerti kamu sepenuhnya?
“Gue tidur di sini ya, malam ini,” pintamu seraya
menggenggam tanganku lembut, mengusap punggungnya
seperti yang selalu kamu lakukan. Berusaha menenangkanku.
“Gue janji nggak akan ngapa-ngapain. Numpang tidur doang.
Janji.”
Melihat kamu yang menatapku lekat dengan sorot
penuh harap dan wajah lebam, aku tidak punya pilihan selain
mengangguk dan balas menggenggam tanganmu. Aku tahu
Ayah pasti akan marah besar jika beliau tahu kamu menginap
di kamarku. Namun, malam itu, aku seakan kehilangan akal
sehat. Satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah; aku rela
melakukan apa saja asal kamu baik-baik saja.
Tak lama setelah itu, kamu menghilang di balik pintu
kamar mandi untuk membersihkan luka, sementara aku
terduduk lemas di ujung kasur. Suara-suara di kepalaku tak
henti mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi padamu.
Ingin saja aku mendesakmu, Raf, memaksamu sampai kamu
menceritakan apa sebenarnya yang menyebabkan luka lebam di
wajahmu. Aku ingin tahu yang sebenarnya, Raf, bukan hanya
mendengar omong kosong seperti ‘Gue nggak apa-apa’.
Saat kita berdua akhirnya berbaring di tempat tidur, kamu
menyuarakan satu pertanyaan denga pelan. “Ra, gue boleh
peluk kamu nggak?”
Aku mengangguk samar. Ratusan emosi meledak di dalam
dadaku. Seharusnya aku merasa senang. Namun, entah kenapa,
luapan perasaan yang menghuniku seakan membawa ombak

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kesedihan. Dadaku sesak, Raf. Kapan kali terakhir kita sedekat


ini?
Menit demi menit berlalu dalam keheningan. Rasanya
sudah lama sekali, tapi entah kenapa kantuk belum juga
menjemputku, menyiksaku dengan setiap detiknya. Aku tidak
tahu tepatnya kapan atau jam berapa saat tiba-tiba saja aku
mendengar kamu berkata lirih, nyaris menyerupai bisikan,
“Kita jauh banget sekarang, Ra. Gue nggak tau ini salah siapa.”
Aku hanya bisa menangis dalam diam, menggigit bibirku
keras-keras agar isakan yang tertahan di tenggorokanku tak
meluncur keluar. Bagi sebagian orang, mungkin apa yang baru
saja kuceritakan terdengar manis, kan?
Namun, bagaimana kalau aku tambahkan kalimat ini;
penyebab semua luka dan lebam yang ada di diri Rafael
Leonardi malam itu adalah karena dia melindungi Marlene.
It doesn’t sound so romantic anymore, does it? hat’s why I
called it nightmare.

Menjelang penghujung semester terakhirku di SMA, kamu


mengadakan peluncuran album perdana di ballroom hotel yang
terletak di bilangan Jakarta Pusat. Setelah kedatanganku ke
stasiun TV, kita sempat bertemu sekitar dua-tiga kali, selebihnya
kita berkomunikasi lewat ponsel—itu pun jarang. Kamu sibuk
setengah mati dengan persiapan peluncuran album, sementara
aku hampir gila mengerjakan soal latihan untuk tes beasiswa ke
London.

256
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku tahu kamu memang memintaku untuk tidak


mengambil beasiswa itu, tetapi kalimat yang Noah ucapkan di
hari ulang tahunku seakan membuka mataku. Aku memang
menyayangi kamu dan akan selalu mendukung kamu, Raf,
tetapi aku tidak bisa mengorbankan mimpiku hanya untuk
menyenangkan egomu semata. So I decided to take the chance.
Lagi pula, kemungkinan aku diterima juga 50:50, kan?
Sore itu, aku datang bersama Tante Dian. Sepanjang
perjalanan, beliau tak henti-hentinya berceloteh tentang segala
hal—semuanya, kecuali yang menyangkut aku dan kamu. Aku
tahu Tante Dian pasti bingung setengah mati dengan apa yang
sebenarnya terjadi pada kita. Terlebih lagi hari itu aku datang
dengan kedok sebagai adik sepupumu, tetapi Tante Dian
memilih untuk tidak bertanya. Mungkin beliau takut menyakiti
perasaanku? Entahlah.
Para tamu dan undangan telah memenuhi ruangan
ketika kami tiba di sana. Aku menghabiskan nyaris sepuluh
menit sampai akhirnya berhasil menemukanmu di antara
kerumunan. Dengan balutan jas hitam rapi dan dasi biru
tua, kamu mengobrol dengan beberapa pria yang sepertinya
berasal dari pihak Label. Tepat di sebelahmu, dalam balutan
gaun hitam panjang yang kontras dengan rambut merahnya,
berdirilah Marlene. Tangannya menggenggam lenganmu erat.
Kalian terlihat seperti Pangeran William dan Kate Middleton.
Pasangan serasi yang terkenal.
Satu hal yang langsung terlintas di pikiranku saat melihat
adegan itu adalah; di mana toiletnya? Aku mau muntah. But
eventually, I kept that to my self. Susah payah aku berdiri tegak
di sisi Tante Dian, menyunggingkan senyum terbaikku pada
setiap orang yang lewat. Aku tidak ingin menunjukkan sisi

257
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

lemahku di depanmu dan Marlene—terutama Marlene. Selama


acara berlangsung, aku tidak bisa fokus. Yang bisa kulakukan
hanyalah mengekor kamu ke mana pun kamu melangkah
dengan pandangan. Aku rasa Tante Dian menyadari gelagatku
yang serbasalah karena akhirnya Tante Dian memberanikan
diri untuk bertanya. “Kejora,” panggilnya dengan nada keibuan.
“Kamu nggak apa-apa?”
Mendengar pertanyaan Tante Dian, cepat-cepat aku
mengedip berulang kali, mencegah mataku agar tidak memanas.
“Rafa udah cerita kok, Tan.” Aku tersenyum kecil. “Semuanya
untuk urusan bisnis. Aku nggak masalah.”  Heck, bahkan aku
terdengar ragu saat mengucapkan kalimat itu.
Tante Dian terlihat tidak terima dengan jawabanku. “Tapi,
tetap aja itu nggak adil. Kamu yakin semua ini baik-baik aja
untuk kamu?”
Aku tidak tahu tepatnya karena apa. Mungkin karena
tatapan lekat yang beliau arahkan padaku, atau karena
kepedulian yang terpancar jelas dari bahasa tubuhnya, yang
jelas, melihat Tante Dian membuatku ingin menangis dan
menumpahkan semua keluh kesalku padanya. “A-aku,” ucapku
pelan, terdengar parau. “Aku permisi ke toilet dulu,” sambungku
pada akhirnya sebelum memutar tubuh dan melesat ke arah
toilet.
Mati-matian aku menahan air mata agar tidak jatuh.
Bodoh. Rasanya semakin ke sini, aku menjadi semakin cengeng.
Aku benci diriku yang seperti ini. Lemah. Tak berdaya hanya
karena masalah perasaan. Tetapi, apa yang bisa kamu harapkan
dari anak perempuan yang belum genap delapan belas tahun?
Sosokku waktu itu terlalu rapuh. Terlalu polos. Terlalu takut
dengan kemungkinan akan perpisahan kita.

258
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku menatap pantulan wajahku yang terlihat kusut di kaca.


Kubasuh wajahku berkali-kali dengan air dingin yang mengalir
deras dari keran, berharap dengan setiap tetesnya, kesedihanku
dapat luntur. Namun sepertinya hari itu merupakan hari
sialku karena belum selesai lagi aku mengeringkan wajah, aku
mendapati Marlene memasuki toilet.
Selama beberapa saat, dia berdiri di pintu, terlihat ragu
berada di dalam satu ruangan yang sama denganku. Namun,
sepertinya kehadiranku tidak mengganggunya sama sekali
karena detik berikutnya Marlene melangkah masuk dan berdiri
tepat di sebelahku, sibuk membasuh tangannya dengan air.
Cepat-cepat aku membuang sisa tisu di dalam genggaman
dan memutar tubuh, bersiap untuk mengambil jarak sejauh
mungkin dari perempuan yang dijuluki alam bawah sadarku
he Red Evil Queen. Namun, satu kalimat yang terlontar dari
bibirnya membuatku langkahku terhenti.
“Lo ... segitu bencinya sama gue?” tanya Marlene pelan,
pandangannya diarahkan lurus pada pantulan diriku di cermin.
Aku mengernyit. Pura-pura tidak mendengar ucapannya
karena jujur, aku tidak tahu bagaimana harus membalasnya.
“Apa?”
“It’s written on your face. I can see it clearly.” Marlene tertawa
kecil.
Aku memilih untuk keras kepala dan bertingkah seakan
aku tidak mengerti ucapannya. “Gue nggak ngerti lo ngomong
apa.”
“hat’s ine. Kalau gue jadi lo, gue juga pasti akan merasakan
hal yang sama,” ucap Marlene seraya berbalik. Kali ini kami
berhadapan, manik matanya menatap langsung ke milikku.
“Punya pacar dan pacar lo di-setting supaya satu Indonesia

259
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

mengira dia pacaran sama cewek lain, siapa juga yang nggak
akan kesal sama cewek itu?”
Pertanyaan yang Marlene ucapkan sukses membuatku
membatalkan niat untuk berpura-pura bodoh. “Meskipun gue
kesal, toh gue nggak bisa ngapa-ngapain,” balasku, berusaha
terdengar santai tetapi gagal total. Aku terdengar seperti ibu
kos yang rewel karena belum mendapat uang sewa. “Ini dunia
kalian. Dunia kalian yang sampai kapan pun nggak akan pernah
gue mengerti.”
“hen I’m right, you hate me,” tukas Marlene langsung. Sudut
bibirnya terangkat, membentuk senyum.
Aku menghela napas berat. “Gue nggak benci sama lo,
Marlene.” Kalimatnya mendadak membuatku merasa seakan
aku adalah tokoh antagonis di dalam kisahku sendiri. “Gue
cuma ... belum bisa menerima semuanya,” sambungku pelan,
putus asa. Bodoh, Kejora, kenapa aku malah terlihat lemah di
depan rivalku sendiri?
“Kejora, terkadang industri musik nggak seperti yang lo
bayangin. Kalau boleh jujur, gue juga nggak mau kejadiannya
kayak gini.” Marlene menyilangkan tangannya di depan dada.
Dari nada suaranya, aku tahu kalau dia ikut prihatin, tetapi aku
tidak butuh rasa kasihannya. “Gue nggak akan munaik dan
bilang kalau gue nggak tertarik sama Rafa.  Lo orang paling
beruntung di dunia karena punya dia di sisi lo. He’s great, he’s
charming, he’s adorable in his own way. Tapi, gue nggak mau bisa
bareng sama dia dengan cara seperti ini. Gue mau bisa dekat
sama dia karena dia memang suka sama gue dan bukannya
karena tuntutan pekerjaan.”

260
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Tiga kalimat terakhir yang Marlene ucapkan sukses


membuat jantungku berhenti berdetak selama sepersekian
detik. Dadaku sesak, napasku berat. Did she really just ...?
Selama beberapa saat, aku dan Marlene sama-sama
bungkam. Mungkin dia memberiku waktu untuk mencerna
ucapannya? Entahlah. Yang jelas, keheningan itu akhirnya
runtuh saat aku berkata, “Lo suka sama Rafa.”
Kalimat itu pernyataan, bukan pertanyaan. Namun,
Marlene tetap mengangguk. “Tapi dia sayang lo,” tukasnya
langsung. “Mungkin dia nggak menunjukkannya sebanyak
dulu, tapi satu hal yang gue tau pasti, dia sayang lo. Banget.”
Aku tidak akan membohongi diriku sendiri dengan
berkata kalau aku tidak merasakan sepercik kebahagiaan saat
mendengar dari mulut Marlene bahwa kamu menyayangiku
karena  toh  aku merasa senang. Tetapi, rasa senang itu tidak
cukup besar untuk menutupi kegelisahan di dalam hatiku. “Gue
nggak mau berharap banyak untuk saat ini,” balasku pelan.
Untuk kali kedua keheningan menyelimuti kami. Diam-
diam aku mengamati Marlene yang terlihat sedang memikirkan
sesuatu dari pantulan kaca. Dugaanku sepenuhnya benar
karena sedetik kemudian, dia mengatakan satu kalimat yang
sukses membuatku mengernyit, “Let’s get this on, shall we?”
Marlene mengangkat sebelah alis sebelum melanjutkan dengan
mudahnya, sementara aku hanya bisa menganga. “Karena gue
nggak mau jadi  tokoh antagonis  di dalam kisah lo, gue mau
minta izin lebih dulu. Boleh gue suka sama Rafa?”
Demi matahari, bintang dan semua planet yang ada di tata
surya, bagaimana bisa dia mengatakan hal itu?
“If you say no, then I’m done. I’m not going to try to win him. It
will be just pure business relationship between us,” tambah Marlene

261
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

lagi dengan bahasa Inggris yang kelewat fasih. “But then if you
say yes, gue nggak tau apa yang bakal terjadi kedepannya.”
Meski sebagian diriku ingin melepas sepatu berhak lima
senti yang kukenakan dan melemparkannya ke kepala Marlene,
sebagian lagi masih cukup waras untuk mencerna ucapannya
dan mempertimbangkan jawaban macam apa yang sebaiknya
kuberikan. Kalau kupikir-pikir, akan sangat munaik jika aku
katakan aku rela Marlene menaruh rasa padamu. Aku tidak rela,
amat sangat tidak rela, tetapi keputusan sebenarnya tetap ada
di tanganmu, kan?
Kalau Marlene menyukaimu dan mencoba memenangkan
hatimu tetapi kamu tidak merasakan hal yang sama toh kita
malah akan semakin kuat. Lagi pula, aku tidak ingin bersikap
egois dengan melarang Marlene untuk menyukaimu. Setiap
orang berhak jatuh cinta, dengan siapa pun itu. Terlebih lagi,
aku percaya sepenuhnya padamu. Aku percaya, tiga tahun yang
kita jalani bersama tidak akan rusak semudah itu. Jadi, aku
mengangguk seraya berkata, “Gue percaya sama Rafa.”
Sampai sekarang, aku tidak tahu apakah pilihan yang
kubuat hari itu memang tepat atau aku hanyalah perempuan
bodoh yang terlalu naif untuk percaya kalau orang yang
disayangi tidak akan berpaling.

Kurang lebih lima belas menit setelah keluar dari toilet, Klana
menghampiriku yang berdiri sendirian di sudut ruangan
dengan dua gelas minuman. Disodorkannya satu padaku selagi
dia meneguk miliknya. Aku menggumamkan terima kasih dan

262
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

menerima ulurannya, meneguk minuman manis yang terasa


seperti raspberry itu.
“Acaranya ngebosenin, kan?” tanya Klana seraya
membenarkan letak kacamatanya. “Apalagi kalau lo cuma
berdiri di pojok ruangan kayak kamera CCTV,” tambahnya,
membuatku tertawa kecil.
Ya, acaranya memang membosankan. Aku setuju dengan
Klana dalam hal itu. Namun mungkin akan berbeda ceritanya
kalau akulah yang berdiri di sisimu dan bukannya Marlene.
Berani taruhan, aku pasti tidak akan menganggap acara itu
membosankan sama sekali.
Melihatku yang diam dengan pandangan menerawang,
Klana mendengus geli. Sedetik kemudian, dia menyodorkan
lengannya tepat ke wajahku. “Ayo, jalan,” ucapnya santai.
“Mending gue kenalin lo sama teman-teman gue, daripada lo
sendirian di sini.”
Aku mengerjap kaget. “Nggak apa-apa, nih?” tanyaku, ragu
menyambut uluran tangannya. “Label, manajemen, atau apalah
nggak akan marah?”
Klana mengangkat bahu acuh tak acuh. “Siapa juga yang
peduli?”
Tawa renyah meluncur dari bibirku selagi aku menyambut
uluran tangan Klana. Aku kagum dengan temanmu yang satu
itu karena tidak memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap
Label. Sedikit banyak, aku berharap kamu bisa seperti dia.
Nyaris dua puluh menit aku berkeliling bersama Klana. Dia
memperkenalkanku pada orangtuanya, Luna—kakaknya dan
teman-teman sepermainannya. Mereka semua ramah padaku,
tak jarang beberapa di antara mereka bertanya aku ini siapa.
Aku dan Klana akan tertawa dan ujung-ujungnya menjawab

263
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kalau aku adalah sepupumu dengan nada jenaka.  It becomes


an inside joke for us. Namun, sepertinya aku lupa kalau hari itu
adalah hari sialku karena tak lama setelah itu, saat aku dan
Klana berhenti untuk mengambil kue-kue kecil yang tersedia di
sudut ruangan, kamu datang dan menarikku menjauh darinya
dengan kasar.
“Rafa, kenapa?” tanyaku, berusaha mengimbangi
langkahmu yang lebar. Kamu tidak menjawab. Malah kamu
mengeratkan cengkramanmu di pergelangan tanganku,
membuatku mengaduh. “Aduh, sakit. Kamu kenapa, sih?”
Setelah kita berdua cukup jauh dari para tamu undangan,
kamu melepas cengkeramanmu dan menatapku dengan emosi
yang kentara. “Klana memang teman gue, Kejora, tapi itu bukan
berarti lo bisa dekat-dekat sama dia di belakang gue,” katamu
tajam, membuatku terkesiap.
“Maksud kamu apa, sih?” Aku balas menatapmu, tidak
mengerti dengan sikapmu. “Aku cuma ngobrol sama dia.”
Kamu mendengus keras. “Cuma ngobrol?” tanyamu sinis.
“Gue nggak buta, kali. Cuma ngobrol, nggak pake gandeng-
gandengan segala. Cuma ngobrol, lo nggak perlu nempelin dia.
Cuma ngobrol—”
“Lo cemburu, Raf?” potong suara dari balik tubuhmu.
Kita berdua cepat-cepat menoleh, mendapati Klana yang
mengarahkan pandangan lurus ke arahmu dengan wajah datar.
Dalam hati aku merutuki temanmu yang satu itu. Situasi sedang
tidak kondusif kenapa dia malah ikut-ikutan?
“Apa sih, Na.” Kamu memutar mata ke arahnya. “Nggak
usah ikut-ikutan. Ini masalah gue.”
Sorot datar Klana berubah sengit. “Iya, memang, ini
masalah lo. Masalah lo sama ego lo yang besarnya kelewatan.”

264
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Melihat sikap kalian yang menunjukkan tanda-tanda akan


adanya pertengkaran, aku mencoba menengahi. “Raf, Kak
Klana, kalian—”
“Kok lo jadi nyolot? Mau lo apa sih?” Kamu langsung
memotong ucapanku. Bahkan, sepertinya kamu tidak
memedulikan kehadiranku sama sekali karena kini kedua manik
cokelat gelap milikmu difokuskan pada Klana. “Gue perhatiin
dari kemarin lo sensi banget kalau udah nyangkut Kejora. Lo
naksir sama dia?”
Aku mengira Klana akan mengalah, menghentikan
pertengkaran kekanak-kanakannya denganmu. Namun,
dugaanku salah besar karena dia malah mengangkat dagu
tinggi-tinggi dan mengatakan satu kalimat yang sukses
membuat kepalaku berdenyut. “Kalau iya, kenapa?”
Dalam satu kedipan mata, tanganmu yang tadinya terkepal
di sisi tubuh kini mencengkeram kerah baju Klana. Aku nyaris
terpekik kalau saja aku tidak mengingat fakta kita sedang
berada di acara peluncuran albummu.
Klana tersenyum miring, terlihat tidak terpengaruh sama
sekali dengan sikapmu yang mengintimidasi. “Lo itu aneh, deh,
Raf. Lo nggak berusaha mempertahankan hubungan lo dan
Kejora, tapi lo marah di saat ada orang lain yang deketin dia. Lo
nahan dia, tapi nggak memberikan dia alasan untuk bertahan.
Bego banget, kan?”
Kalimat yang Klana ucapkan sepertinya merupakan
tamparan telak bagimu karena kamu langsung mengangkat
tinju tinggi-tinggi. Kalau aku tidak menahan tanganmu, aku
yakin pipi Klana sudah lebam waku itu. “Raf, Rafa, udah,”
ucapku putus asa seraya menahan tanganmu yang terangkat.
“Banyak orang, Raf, banyak reporter.”

265
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Selama beberapa detik, tinjumu menggantung di udara.


Aku masih memegang tanganmu, mengucapkan kata-kata
penenang agar emosimu tidak mengambil alih. Pada akhirnya,
kamu menurunkan tinju seraya menyentak lenganmu dari
genggamanku. “Lepas, Ra,” ucapmu kasar. Aku masih bertahan,
takut kamu memukul Klana begitu aku melepaskan peganganku.
“Gue bilang lepas,” ulangmu lagi, setengah membentak,
membuat nyaliku ciut seketika.
Kamu lalu menatapku dan Klana bergantian. Puluhan
emosi berkelebat di manik matamu. Aku bisa membaca satu
di antaranya; amarah. “Mending lo balik, deh,” ucapmu lagi,
terlihat enggan dengan kehadiranku. “Gue butuh waktu buat
berpikir.”
Rasanya seperti ditampar saat menyadari fakta bahwa
kamu tidak ingin melihatku di hari besarmu. Rasanya sakit
untuk tahu kalau keberadaanku bukannya membuat kamu
senang malah membuat kamu muak. Aku salah apa, Rafa?
Aku hanya berkeliling dengan Klana, sementara kamu? Sudah
berapa kali wartawan meliput kamu dan Marlene sedang jalan
bersama? Only God knows what both of you have done.
Kejadian berikutnya berlangsung seperti di ilm-ilm;
Klana menawarkan diri untuk mengantarku pulang, temanmu
yang satu itu meminta izin untuk undur diri dari acara dengan
alasan entah apa dan mencarikan pamit pada Tante Dian. Kami
lalu keluar dari pintu belakang, turun melalui tangga darurat,
menghindari wartawan yang mungkin kami temui selama
perjalanan pulang sebisa mungkin.
Sesampainya di lapangan parkir, aku langsung mengambil
langkah lebar menuju mobil Klana. Kusandarkan tubuh di jok
selagi menutup mata dan menghela napas berat.  Seharusnya

266
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

aku tidak datang. Seharusnya aku tidak datang. Kalimat itu terus
berputar di pikiranku.
Tanpa aku sadari, air mata yang sedari tadi kutahan
meluncur begitu saja. Tetes demi tetes mengalir di pipiku. Aku
tidak bisa menahannya lagi. Rasanya begitu sesak, Rafa. Aku
merasa kalau di matamu, aku tidak lagi seberarti dulu. Aku takut,
Rafa. Aku takut hanya aku yang berjuang mempertahankan
hubungan kita. Aku tidak mau kepercayaan yang selama ini
kuletakkan sepenuhnya padamu sia-sia.
Cepat-cepat aku membuka mata saat tanganku menyentuh
sesuatu yang lembut. Hal pertama yang kulihat adalah lembaran
tisu yang kini memenuhi telapak tanganku. “Belakangan lo
nangis terus,” ujar Klana dari balik kemudi dengan senyum
kecil.
Ucapan Klana memang tidak lucu sama sekali. Namun,
aku tertawa seraya mengusap air mataku. “Iya. Mendadak gue
ngerasa kayak hidup di dalam sinetron.”
Klana mendengus geli. “Siapa pun sutradaranya pasti jahat
banget karena udah menempatkan lo di posisi ini.”
“It wont be a good story if nobody’s hurting,” balasku pahit.
Klana diam, terlihat tidak berminat untuk membalas
ucapanku. Mungkin dia sadar kalau kalimatku memang benar?
Nyaris sepuluh menit berikutnya kami habiskan dalam
diam. Tangisku sudah reda digantikan dengan pandangan
menerawang ke arah jendela. Benakku tak henti-hentinya
mengulang apa yang baru saja terjadi. Ada satu pertanyaan yang
kian mengusikku tetapi ragu untuk kusuarakan. Maka, setelah
menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menimbang, aku
memutuskan untuk menanyakannya pada Klana.

267
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Kak, kenapa lo melakukan itu?” tanyaku serius pada laki-


laki yang menatap lurus ke arah jalan di sebelahku. “Kenapa lo
belain gue dan balas marah ke Rafa? Kenapa lo ... peduli sama
gue?”
Awalnya Klana diam, terlihat berpikir jawaban apa yang
sebaiknya dia berikan. Namun, beberapa saat kemudian dia
buka suara, “Sebelumnya gue mau minta maaf karena tiba-tiba
mengucapkan kalimat yang mengindikasikan kalau gue suka
sama lo tadi. Gue memang suka sama lo, tapi ya, sebagai teman,”
balasnya dengan senyum simpul. Aku mengangguk kecil. Klana
tidak perlu menjelaskan hal itu padaku, toh aku tahu dia
mengatakan kalimat itu hanya untuk melihat reaksimu.
“Rafa sahabat kami, Ra. Tapi, meskipun dia sahabat kami,
gue, Karel, dan Adrian nggak suka lihat cara dia memperlakukan
lo sekarang. Rafa yang kami kenal bukan orang yang seperti
itu. Adrian dan Karel udah berusaha ngomong sama Rafa
berkali-kali, tapi ya, gagal. Makanya gue rasa sekarang giliran
gue,” sambungnya lagi, tersenyum tipis.
Aku ikut tersenyum. “Rafa beruntung punya teman-teman
seperti kalian di sisinya.”
Klana menggeleng cepat. “Dia beruntung karena punya lo
yang tetap tinggal meski dia mengacuhkan lo,” koreksinya. “Lo
mengingatkan gue sama seseorang.”
Kalimat terakhir Klana ucapkan sukses membuatku
penasaran. “Pacar lo, Kak?”
“Bukan,” tukas Klana langsung. Dari sudut mataku, aku
bisa melihat pipinya memerah. “Hanya seseorang dari masa lalu
yang tiba-tiba terlintas di pikiran gue.”

268
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku mengangguk tanda mengerti. “Ah, masa lalu,” ucapku


pelan. “Masa lalu selalu punya caranya sendiri untuk kembali,
kan?”
Waktu itu Klana memilih untuk menatapku sekilas sebelum
kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan, menyetir
tanpa kata-kata. Namun, dari sorot matanya saat manik kami
beradu, aku tahu kalau dia menyetujui ucapanku.
Sedikit banyak momen itu mengingatkanku pada masa kini.
Kalimat itu memang sepenuhnya benar—masa lalu memang
selalu memiliki cara tersendiri untuk kembali.
Dan kali ini masa laluku kembali dalam wujud tumpukan
surat.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

269
pustaka-indo.blogspot.com
Hari Baik Terakhir
Day 14: Paris—London
23 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang mungkin tidak pernah tahu bahwa tawanya adalah sumber
kekuatanku.)

Kali ini aku sedang melaju melintasi bumi Eropa. Duduk


diam dalam kereta api yang membawaku langsung menuju
London. Ya, London, lalu Dubai dan terakhir, Jakarta.
Dalam hitungan hari, liburanku akan berakhir. Rangkaian
perjalanan keliling Eropa seraya memutar ulang memori
tentang kita ini sebentar lagi akan usai. Aku akan kembali ke
Indonesia, menjalani rutinitasku, mengabdi pada masyarakat,
menyingkirkan kertas surat warna-warni yang selama ini selalu
menemani hariku menjadi lembar untuk menulis resep obat.
Tidak ada lagi untaian kata yang bersanding dengan
namamu. Tidak ada lagi lirik sendu yang mengingatkanku
padamu. Memori tentang kita, aku memutuskan untuk
menguburnya dalam-dalam seperti hari yang lalu.
Kamu mungkin tidak sadar, but we make a better strangers
than anyone ever did. Untuk dua orang yang pernah menjalin
kisah, berbagi tawa dan menyiratkan luka, kita benar-benar

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mahir bertingkah seakan dunia tak pernah mempertemukan


kita. Seakan kita tak lebih dari dua orang yang tidak saling
kenal. Padahal nyatanya, kamu merupakan pemeran utama
di dalam kisahku dan meski aku mungkin tak seberarti itu
untukmu, setidaknya namaku pernah memenuhi beberapa
lembar halaman bukumu.
Aku jadi ingat satu hari bertahun-tahun silam, saat kita
sedang menuju ke sebuah acara yang sudah tak bisa kuingat lagi
apa. Kamu duduk di balik kemudi. Manik cokelat gelapmu fokus
pada jalan di depan. Bibirmu membentuk garis tipis yang tegas,
menyiratkan kegelisahan dan rasa muram. Sementara aku? Aku
hanya bisa duduk diam, menunduk seraya bertanya pilu dalam
hati, ke mana perginya kehangatan dan rasa aman yang dulunya
selalu kudapat saat aku bersamamu? Kenapa saat aku berada
tepat di sampingmu kali itu, aku malah merasa seakan aku
sedang bersama orang asing?
Waktu itu, satu-satunya suara yang ada di antara kita
hanyalah celotehan ceria penyiar radio yang terdengar
menjengkelkan di telingaku, mengulas daftar ilm-ilm
percintaan yang wajib ditonton. Awalnya kita berdua memilih
diam, sibuk menenggelamkan diri dalam pikiran masing-
masing sampai sang penyiar radio menyebutkan satu judul ilm
yang kita kenal benar; 500 Days of Summer.
“Ra,” panggilmu pelan, membuatku menoleh meski ragu.
“Gue rasa, setelah berkali-kali nonton ilm itu, gue bisa mengerti
apa yang dirasakan Summer.”
Kalimat yang kamu ucapkan tentu membuatku mengernyit
bingung. Film itu, bahkan sampai detik ini, aku masih tidak
bisa mengerti alasan di balik perlakuan Summer pada Tom dan
meski aku menyukai ilm itu setengah mati, aku tetap tidak

271
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

bisa menerima fakta bahwa setelah semua yang dilalui Tom dan
Summer bersama, Summer hanya menganggap Tom sebagai
teman yang kehadirannya tak lebih dari sekadar lewat.
“Yang dirasakan Summer? Maksud kamu kenapa dia
mutusin Tom?” tanyaku, tak bisa menyembunyikan rasa kesal
yang muncul dalam nada suaraku.
“You can’t say that she’s breaking up with him, they technically
haven’t been in relationship yet,” balasmu langsung seraya
melirikku sekilas, terlihat tidak setuju. “Tapi, yah, gue rasa
Summer jenuh.”
Aku tersekat. “Jenuh?” ulangku tak percaya. “Sesederhana
itu?”
Kamu mengangguk samar sebelum mengucapkan
serentetan kata yang berhasil membuatku merasa seakan aku
dijatuhkan dari langit tertinggi. Hancur. Tepat menghantam
Bumi. “Iya. Selalu melakukan semuanya dengan orang yang
sama setiap harinya, it exhaust her. Pasti akan tiba satu masa di
mana dia ngerasa kayak, ‘whoa, there are seven billion people in
this whole universe, kenapa juga gue harus sama dia terus?’”
Kalimat yang kamu ucapkan, entah kenapa aku
menganggapnya sebagai cerminan dari apa yang sebenarnya
kamu rasakan jauh di dalam hatimu. Benarkah itu, Raf? Apa
momen ketika kamu mengucapkan semua itu, kamu telah
sampai di satu titik jenuh dengan hubungan kita? Maka, tanpa
bisa kutahan satu pertanyaan muncul dari bibirku, “Do you,
Raf?”
“Apa?” Kamu menoleh, bingung.
“Feel that way?” sambungku lagi. Namun, sorot tidak
mengerti itu masih terpampang di wajahmu. Jadi, aku
memperjelas pertanyaanku, meski pahit untukku mengucapkan

272
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

kata demi kata. “Apa saat kamu melihat aku kamu merasa, ‘whoa
there are plenty other girls in this whole universe, why on earth am
I stuck with her?’”
Kamu tidak langsung menjawab pertanyaanku waktu itu.
Kamu memilih untuk menatapku lekat dengan pandangan itu,
pandangan yang tak pernah bisa kubaca jelas. Ada luka dan
rasa bersalah di sana. Namun, aku juga menemukan kejujuran
dan rasa hangat. Puluhan emosi yang kontradiktif satu dengan
lainnya, menyulitkanku untuk menerjemahkan maknanya,
membuatku menyerah pada ketidaktahuan.
Setelah rasanya lama sekali, kamu akhirnya buka suara.
“Nggak, Ra,” balasmu lirih. “Belum, gue rasa.”
Aku selalu ingin kembali ke momen itu, memutar haluan
dan mengakhiri semuanya tepat di sana. Setidaknya jika aku
melakukan hal itu, aku tidak akan kehilangan lebih banyak
waktu dan tenaga untuk mempertahankan orang yang tidak
ingin dipertahankan. Karena, Rafa, berjuang sendirian adalah
hal yang jauh lebih buruk dari patah hati.

Aku ingat suasana riuh sekolah yang tingkat kebisingannya


menyaingi stasiun di waktu ramai ketika Ujian Nasional
berakhir. Kertas dan buku pelajaran berserakan di mana-mana.
Murid-murid berlarian di sepanjang koridor dengan tawa lebar.
Bahkan, aku bisa mendapati papan ujian yang telah patah
menjadi dua tergeletak di lantai. Ya, aku tidak heran. Mungkin
itu cara teman-temanku mengeskpresikan betapa bahagianya
mereka karena telah berhasil menyelesaikan tiga tahun SMA
yang melelahkan.

273
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Aku sendiri memilih untuk mengambil jarak yang cukup


jauh dari keramaian, tidak tertarik dengan murid lain yang
mulai mengeluarkan spidol warna-warni dari dalam tas mereka,
berusaha mencoret seragam satu sama lain. Tidak. Hal seperti
itu, sangat bukan aku. Sebut aku kuno, aku tidak peduli.
Menurutku, akan lebih baik kalau seragam yang tadinya kita
pakai sehari-hari, kita sumbangkan pada orang lain yang lebih
membutuhkan. Lagi pula, bukankah dengan melakukan hal itu,
kita termasuk orang-orang yang bersyukur?
Sebenarnya, hari itu kamu berjanji akan menjeputku untuk
merayakan usainya rangkaian Ujian Nasional. Kita bahkan
sudah merencanakannya sejak jauh-jauh hari, tetapi entah
kenapa, ponselmu malah tidak bisa dihubungi. Berkali-kali aku
mencoba men-dial nomormu, tetapi yang kudengar hanyalah
suara statis operator yang mengatakan kalau nomor yang kutuju
sedang tidak aktif. Maka, setelah menimbang selama beberapa
saat, aku memutuskan untuk meminta Noah mengantarku
ke rumahmu dengan alasan kamu ketiduran sehingga lupa
menjemputku.
“Lo nggak bohong kan, Lucil?” tanya Noah penuh selidik
saat mobil yang kami naiki berhenti tepat di depan rumahmu.
“Ini bukan cara lo buat menjaga imej Rafa di depan gue, kan?”
Aku tidak heran dengan sikap curiga Noah. Sahabatku
yang satu itu memang kerap kali curiga saat aku pulang
dengan mata sembab dan mood berantakan setelah bertengkar
denganmu, tetapi aku menutupi semua itu dari Noah. Aku
tidak ingin dia membenci kamu, Rafa, karena, meski kamu
telah melukaiku berkali-kali, aku tidak ingin orang-orang di
sekitarku memandang buruk kamu. Cukup aku yang tahu. Yang
lain biarlah melihat apa yang mereka mau.

274
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Nggak, lah. Ngapain juga?” balasku langsung, berusaha


terdengar semeyakinkan mungkin. “Rafa ketiduran, jadi gue
samperin,” sambungku lagi, membuat Noah mengangguk meski
masih terlihat tidak percaya sepenuhnya denganku.
Setelah memastikan kalau Noah benar-benar pergi dan
tidak menungguku (ada kemungkinan dia melakukan hal itu,
serius), aku pun melangkahkan kaki memasuki rumahmu.
Tanpa kuduga, ternyata Om Tio dan Tante Dian sedang
bersantai di ruang tamu dengan dua cangkir teh dan obrolan
hangat, membuatku merasa bersalah karena telah mengganggu
waktu pribadi mereka.
“Rafa ada, Tan?” tanyaku saat aku sudah duduk di hadapan
kedua orangtuamu.
Tante Dian menggeleng kecil. “Wah, Rafanya nggak ada di
rumah, Ra. Udah kamu coba telepon?”
“Udah, Tan. Tapi ponselnya mati,” jawabku sekenanya,
membuatku dihadiahi tatapan bingung oleh Tante Dian.
Pada akhirnya, Tante Dian membuatkanku segelas teh
hangat, memintaku untuk tinggal dan mengobrol. Aku menurut
saja. Lagi pula, rasanya sudah lama sekali semenjak kali terakhir
aku menghabiskan waktu di rumahmu.
“Jadi, kamu rencananya mau lanjut di mana, Ra?” tanya Om
Tio di sela obrolan kami, membuatku sedikit kaget meski sudah
menduga pertanyaan itu akan terlontar cepat atau lambat. “Ada
rencana mau ke luar Jakarta? Atau ke luar negeri?”
Aku tersenyum kecil, berusaha menutupi rasa gugup yang
tiba-tiba menyerangku. “Ya, begitulah, Om. Nanti mau ikut tes,
lihat hasilnya dulu.”

275
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Tes apa, Ra?” Kali ini Tante Dian ikut bertanya, terlihat
antusias. “Memangnya kamu mau lanjut di mana? Anak
perempuan jangan jauh-jauh, ah. Bahaya, banyak orang jahat.”
Om Tio mengangguk, menyetujui ucapan Tante Dian,
sementara aku hanya bisa memasang cengiran serbasalah. “Tes
beasiswa, Tan. Mudah-mudahan kalau lulus aku lanjut di UCL.”
Selama beberapa saat, baik Tante Dian maupun Om Tio
menutup mulut rapat-rapat. Mungkin kaget dengan jawabanku?
Entahlah, aku tidak terlalu peduli lagi. Satu-satunya yang
terpatri di pikiranku hanyalah permintaan Noah agar aku
mengutamakan cita-citaku, mengejar apa yang aku inginkan,
sama seperti kamu mengejar mimpi-mimpimu.
“UCL? Inggris?” tanya Om Tio, memecah keheningan. Aku
mengangguk samar. “Semangat terus, Kejora. Om yakin kamu
pasti bisa. Orangtua kamu pasti sangat bangga dengan kamu.”
Perkataan Om Tio, entah kenapa membuatku rasa haru
mendadak menyusup ke dadaku. Aku senang, setidaknya selain
keluargaku, masih ada orang lain yang mendukung cita-citaku.
“Makasih, Om,” balasku pelan. “Tapi, aku kan belum tentu
keterima.”
“Setidaknya kan kamu berani mencoba,” sambung Tante
Dian hangat. “Oh iya, Ra, kamu udah cerita ke Rafa soal ini?”
Aku kontan membeku saat mendengar pertanyaan itu. he
last time I told you about studying abroad, you asked me to stay,
tetapi, Rafa, kenapa aku malah merasa kalau kehadiranku
sudah tak kamu perlukan lagi? Kenapa kamu memintaku untuk
tinggal, tetapi tak mengusahakan apa pun agar aku tidak pergi?
“Belum, Tan.” Aku tersenyum tipis. Air muka Tante Dian
kontan berubah aneh saat mendengar jawabanku, maka cepat-
cepat aku menambahkan, “Tapi, aku pasti cerita secepatnya

276
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

sama Rafa. Jadi, aku minta tolong Om dan Tante jangan cerita
apa-apa dulu ke Rafa.”
Mendengar permintaan yang kulontarkan, kedua
orangtuamu saling pandang, bertukar isyarat. Aku bisa
menebak dengan mudah apa yang ada di dalam pikiran mereka,
“Hubungan macam apa yang didasari dengan ketidakterbukaan
antara satu sama lain?” Jujur, I wonder about it too. Hubungan
macam apa yang sebenarnya sedang kita pertahankan waktu
itu, Raf? Apakah kita benar-benar sedang mempertahankan
rasa yang kita punya untuk satu sama lain, ataukah kita berdua
hanya terlalu naif untuk mengakhiri semuanya? Aku tidak
tahu, Raf, dan aku rasa aku terlalu takut untuk menemukan
jawabannya.
Merasa kalau suasana mulai canggung, aku berusaha
untuk mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, Rafa
kuliahnya gimana, Tan?” tanyaku antusias. Sudah lama sekali
sejak kali terakhir kamu bercerita tentang kehidupan kuliahmu.
Tak heran kalau aku penasaran. “Kemarin sempat cuti ya? Mau
sampai kapan?” sambungku lagi.
Ada yang aneh dengan raut wajah kedua orangtuamu saat
mendengar pertanyaanku. Mereka menatapku seakan aku
adalah manusia purba yang baru keluar dari gua setelah tertidur
selama ratusan tahun dan baru saja menyadari kalau Bumi
berbentuk bulat. Hal itu tentu membuat perasaan tidak enak
mendadak muncul di dalam diriku. Apa yang aku lewatkan,
Rafa?
“Loh, Ra, Rafa nggak cerita sama kamu?” Tante Dian balas
bertanya, membuatku menggeleng pelan.
“Cerita apa, Tan?”

277
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Tante Dian menggeleng samar, raut wajahnya tak dapat


kubaca saat dia menjawab, “Rafa kan udah drop out dari
kampus.”

Aku menghabiskan sisa hariku dengan berbaring di atas tempat


tidur seraya melempar tangkap rubik dalam genggamanku.
Mengamati langit-langit kamar hingga pantulan sinar mentari
yang menyusup masuk lewat jendela mulai meredup. Kamu
drop out, Rafa? Yang benar saja? Aku tidak kesal karena kamu
memilih untuk meninggalkan kuliah demi fokus pada Constant
Star. Toh aku tahu sejak awal kamu memang tidak punya niat
untuk melanjutkan pendidikan di bidang apa pun selain musik.
Yang membuatku kecewa adalah fakta bahwa kamu tidak
memberitahuku soal itu.
Aku ada di sana malam itu, Raf, di bawah tenda usang,
berselimut udara dingin, menemanimu menyantap semangkuk
mi rebus saat kamu mengatakan kalau kamu memutuskan
untuk mengikuti kemauan Om Tio dengan mengambil jurusan
yang beliau pilih. Kamu meminta pendapatku waktu itu,
membuatku bingung karena aku merasa kalau pendapatku
tidak dibutuhkan dalam menentukan masa depanmu. Tetapi,
kamu malah berkata, “Di masa depan gue kan ada kamu, Ra.
Makanya gue tanya pendapat kamu.”
We’re in the future now, Raf. Masa depan yang dulu kamu
bicarakan kini telah membentang, tetapi kenapa di saat masa
depan itu datang, kamu seakan sudah tidak meletakkanku

278
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

lagi di masa depanmu yang berikutnya? Apakah kamu ingin


menyudahi kehadiranku sampai di sini saja?
Di tengah-tengah semua pikiran yang menyesakkan itu, aku
bisa mendengar bel pintu berbunyi. Cepat-cepat aku bangkit dan
menggumamkan kata “sebentar” malas-malasan, berhubung
waktu itu aku hanya sendiri di rumah. Betapa terkejutnya aku
saat mendapati kamu berdiri di depan pintu dalam balutan
sweter biru muda dan senyum lebar yang membuat matamu
menyipit. Senyum itu, sudah berapa lama aku tidak melihatnya?
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku tanpa bisa ditahan. Rasa
kaget, senang dan kesal menyatu di dalam batinku, membuatku
bingung akan ekspresi apa yang harus kutampakkan.
Namun, bukannya menjawab pertanyaanku, kamu malah
mengacak-acak rambutku, membuatku bersungut kesal karena
rambutku yang kusut semakin berantakan. “Oh, jadi ini yang
baru selesai UN? Yang katanya mau jadi anak kuliah? Kok kecil
sih?” celotehmu jail.
“Dih, datang-datang nyebelin,” tukasku.
Kamu tertawa lebar, mengacak rambutku sekali lagi
sebelum berkata dengan senyum kecil yang dikulum. “Tapi
serius, congrats ya, Lucillila Kejora. Akhirnya, kamu berhasil
keluar dari tempat jelmaan neraka yang satu itu.” Kamu lalu
mengeluarkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang yang
dibungkus kertas kado dan mengulurkannya ke arahku. “Nih,
buat kamu.”
Aku menerima kotak itu dengan bingung. “Apa ini, Raf?”
“Buka aja,” balasmu cepat dengan senyum jail.
Tanpa curiga, aku membuka kotak yang kamu berikan.
Betapa terkejutnya aku saat mendapati kalau ternyata isinya
adalah satu kotak pulpen standard berwarna hitam. “Astaga,

279
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

niat banget, ya, beliin pulpen selusin?” komentarku geli. Bisa-


bisanya kamu mendapatkan ide seperti itu.
Kamu menaik-turunkan alis seraya memasang cengiran
lebar. “Stok buat kuliah, supaya kamu nggak capek beli entar.
Perhatian, kan, gue?”
Aku hanya bisa mendengus dan tertawa. Lalu, tanpa
dikomando, kamu langsung berjalan memasuki kamarku,
merebahkan diri di atas karpet, terlihat tidak keberatan dengan
buku pelajaran yang belum sempat kubereskan di sekitarnya.
Selama beberapa saat aku mengamati kamu yang sibuk
memejamkan mata dalam diam. Melihat kamu hari itu, Raf,
jujur aku merasa senang. Namun, satu yang tak bisa kupungkiri,
batinku berteriak, memintaku untuk menyuarakan apa yang
sejak tadi mengganjal dalam dadaku.
Jadi, tanpa bisa ditahan satu pertanyaan meluncur dari
bibirku. “Rafa, kuliah kamu gimana?”
Kamu membuka mata perlahan. Sekilas, aku bisa
menangkap sorot kaget di manik kecokelatan milikmu. Mungkin
kamu tidak menduga aku akan menanyakan hal itu?
“Seru,” jawabmu seraya tersenyum kecil. “Dosennya nggak
galak. Tugasnya juga nggak banyak. Gue lumayan bisa ngikutin,
sih.”
Bohong. Aku tahu jelas kamu berbohong. Tetapi kenapa,
Raf? “O-oh, gitu?”
“Iya.” Kamu mengangguk, berusaha meyakinkanku.
“Memangnya kenapa, Ra?”
Kuembuskan napas keras-keras. “Aku tadi ke rumah. Aku
denger dari Mama, katanya kamu drop out.” Raut wajahmu
yang tadinya cerah kontan meredup saat mendengar ucapanku.

280
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu lalu mengalihkan pandangan dariku, berusaha menjauhi


tatapan mataku. “Kenapa bohong, Raf?”
Kamu mengubah posisimu menjadi duduk bersila, tetapi
masih terlihat enggan untuk menjawab pertanyaanku. Maka
dengan hati-hati aku mengambil tempat di hadapanmu,
menyentuh punggung tanganmu perlahan seraya berkata, “Aku
gak mempermasalahkan pilihan kamu, Rafa,” tuturku pelan.
“Tapi, dengan kamu nggak memberi tahu aku, aku ngerasa kayak
kehadiranku nggak diperlukan. Seakan aku nggak penting. Aku
merasa jadi orang paling bodoh di dunia karena nggak tau kalau
kamu udah drop out.”
Kamu mengusap wajah dengan satu tangan, terlihat merasa
bersalah. “God, Ra, gue nggak bermaksud bikin kamu ngerasa
kayak gitu.”
“Jadi kenapa, Rafa?” tanyaku lagi. “Kenapa kamu nggak
cerita?”
Selama beberapa saat kamu menunduk, menghindari
tatapanku dalam keheningan sampai akhirnya kamu buka suara
meski terdengar samar. “Gue … gue takut aja bikin kamu malu.”
Manik mataku kontan melebar saat mendengar jawabanmu.
“Raf, kamu—“
“Nggak, Ra, denger dulu penjelasan gue.” Kamu cepat-cepat
memotong ucapanku. Kepalamu yang tadinya ditundukkan kini
tegak. Pandanganmu diarahkan langsung ke bola mataku.
“Gue bukan Noah yang pintar, yang sekali baca langsung
masuk ke kepala. Yang punya purpose jelas dalam hidupnya.
Yang siap bikin kamu bangga kapan aja. Gue, ya, cuma gue,
Ra. Rafael Leonardi yang cinta setengah mati dengan musik
dan berharap bisa menjalani sisa hidupnya dengan bernyanyi.
Gue tau kerjaan gue sekarang temporary. Ketenaran bisa hilang

281
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

dalam hitungan detik. Tapi, ini yang gue pilih, Ra. Dan gue harap
kamu bisa mengerti kalau gue nggak punya maksud sedikit pun
untuk mengecewakan kamu.”
Waktu itu, aku hanya bisa balas menatapmu dengan
ratusan emosi yang menyergap dalam satu momen yang sama.
Jadi itu alasannya? Alasan kenapa kamu tidak memberitahuku
kalau kamu sudah tidak kuliah lagi adalah… karena kamu takut
mengecewakanku?
“Kamu ngomong apa sih, Raf?” Aku menggeleng tanpa
sadar, tak bisa memercayai dugaanmu yang satu itu. “You’re good
in your own way dan aku nggak peduli jalan mana yang kamu
pilih asalkan itu sesuai dengan apa yang kamu mau. Selama
pilihan yang kamu ambil membuat kamu senang, aku akan
selalu dukung kamu. Kamu nggak perlu ragu soal itu. Yang itu,
aku bisa janji.”
Kamu menatapku lekat, berusaha mencari sesuatu di balik
manik hitam legam milikku. Namun, satu-satunya yang dapat
kamu temukan di sana hanyalah kejujuran. Maka perlahan,
kamu meraih tangan kananku dan menggenggamnya lembut.
“Gue beruntung punya kamu,” ucapmu pelan seraya tersenyum,
membuat sesuatu di dalam diriku meledak-ledak layaknya
kembang api.
Kubalas genggaman tanganmu lebih erat. “Kita sama-sama
beruntung.”
Kita berdua lalu tertawa pelan. Menertawakan betapa
menggelikannnya percakapan yang terjadi di antara kita.
Memang menggelikan, Raf, tetapi hal itu setidaknya membuatku
merasa senang—mengingat banyaknya pertengkaran yang
belakangan kita lalui.

282
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Jadi, mau pergi, nggak?” tanyamu setelah tawa kita reda.


“Ngerayain selesai UN, kan kemarin gue janji.”
Jujur, aku sedikit kaget kamu masih mengingat janji itu.
“Ke mana?”
Kamu memasang seringai jail andalanmu. “Rahasia. You
will like it.”
Merayakan ujian nasional dengan pergi ke satu tempat
yang bahkan aku tidak tahu apa bukan ide buruk, kan? Jadi
aku mengangguk dan bergegas menuju kamar mandi. “Oke, aku
ganti baju dulu.”

Jakarta cukup lengang malam itu. Lampu jalan berkelap-kelip,


senada dengan bintang yang bersinar terang di langit. Aku
duduk tepat di sampingmu yang sibuk menatap jalan dari balik
kemudi sambil mengulum senyum. Malam itu, semuanya terasa
berbeda. Seakan aku kembali menemukan sosokmu yang selama
ini aku cari. Sosokmu yang selama ini aku rindukan. Tidak ada
Rafael Leonardi yang pemarah. Tidak ada Rafael Leonardi
yang hadirnya terasa asing, dan lebih baiknya lagi, tidak pernah
sekalipun nama Marlene terucap dalam pembicaraan kita.
“Kamu ingat nggak waktu pertama kali kita ketemu?”
tanyamu tiba-tiba, membuatku menoleh dengan wajah merah
padam. “Waktu gue minta kamu nyanyi dan kamu bilang suara
kamu kayak tikus kejepit?”
Aku melayangkan pukulan ke bahumu sebelum menutup
wajah dengan kedua telapak tangan dan berdecak kesal. “Astaga,
Rafa, nggak usah diingat-ingat lagi.”

283
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Bukannya berhenti meledekku, kamu malah tertawa lebar.


“Kenapa?” Kamu menaikkan alis, memasang tampang polos
yang membuatku gemas sendiri. “It’s like the prelude of our story.
Kita nggak akan bisa sampai di sini tanpa momen itu.”
“True.” Aku mengangguk. Ucapanmu memang ada
benarnya, tetapi tetap saja, momen itu bukanlah hal yang
senang kuputar ulang, mengingat suaraku yang menyedihkan.
“Tapi, itu juga merupakan momen paling memalukan dalam
sejarah hidupku. Nyanyi di depan orang asing dengan suara pas-
pasan. I’ll never do that ever again.”
Kamu menoleh ke arahku, kali ini ekspresimu terlihat
serius. “Percaya sama gue, kamu nggak terdengar seburuk
itu.” Aku balas menatapmu, berusaha mencari tahu apakah
kamu sedang bercanda atau berkata jujur. Selama beberapa
saat kita hanya saling tatap satu sama lain sampai akhirnya
kamu menambahkan dengan senyum jail, “Yah, agak pitchy sih
cuma—”
Aku sudah tidak memedulikan ucapanmu lagi karena detik
berikutnya aku sibuk melayangkan cubitan tanpa ampun ke
lenganmu, membuatmu mengaduh di sela tawa keras.
“Tapi serius, Ra, takdir kita lucu banget, ya?” tuturmu lagi
saat tawamu reda. “Mungkin sebelum dipertemukan di satu
sekolah yang sama, kita udah pernah ketemu sebelumnya.
Entah itu di Pumpkin, entah itu di mal, entah itu di tengah
keramaian, atau bahkan mungkin di kehidupan sebelumnya—
and both of us never recognize each other.”
Aku tersenyum kecil. Ya, kemungkinan kecil seperti itu
pasti ada. “Tapi, sekarang kita di sini kan, Raf? Kita ketemu,
kita merasa cocok, well, we’re here,” balasku hangat.

284
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Ya, kamu benar.” Kamu mengangguk, kali ini ikut


tersenyum. “Tapi, kamu nggak tau, kan, seberapa besar
keberanian yang gue butuhkan untuk membawa hubungan
kita sampai ke titik ini. Kamu kira gue nggak gemetar waktu
pertama kali ngajak kamu jalan?”
Kalimat yang kamu lontarkan membuatku tertawa.
Ternyata bukan hanya aku yang pernah merasa gugup. “Dan
kamu kira aku nggak merasa seakan aku nggak ada bagus-
bagusnya untuk kamu saat kita pertama kali ketemu?”
“Dan kamu nggak tau kalau gue sempet minder setengah
mati sama Noah karena dia kelihatan kayak cowok yang
menjelma dari halaman buku,” tambahmu lagi, membuatku
tertawa.
“Dan kamu nggak tau kalau demi pergi ke gig kamu aku
kabur dari rumah lewat jendela kamar.”
Kamu melirikku dengan sorot geli saat mendengar
pengakuanku. “Dan kamu nggak tau kalau waktu nembak
kamu, kalau aja kamu nolak, gue sempat mikir mau lompat aja
dari feri, berenang sama ikan. Nggak mau naik sampai kamu
ganti jawaban.”
Kontan aku tertawa keras, antara takjub dan tak percaya.
“Serius?”
Kamu mengangkat bahu santai. “We do weird things when
we fall in love.”
“Agree.” Untuk yang satu itu, aku memang tak bisa
membantahnya.
“Termasuk nyanyi di depan orang asing meskipun suaranya
kayak tikus kejepit.”
Bisa ditebak, hal berikutnya yang terjadi adalah aku kembali
melayangkan cubitan dan pukulan ke arahmu, sementara kamu

285
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tertawa keras sembari berusaha menyeimbangkan kemudi.


We laugh way to hard that night. Kita tertawa sampai perutku
sakit dan air mataku hampir jatuh. Rasanya mirip saat aku kali
pertama mengenal kamu. Rasa hangat itu, detak jantung yang
tak beraturan, perasaan seakan aku ingin membekukan waktu.
Namun, lebih dari semuanya, aku merasa seakan kembali
bertemu dengan kamu yang sesungguhnya. Anak laki-laki dalam
balutan seragam SMA yang berteriak di depan pintu kelasku
bersama tiga orang temannya. Anak laki-laki yang berjanji
untuk melakukan apa saja asal aku bahagia bersamanya. Anak
laki-laki yang duduk di halaman belakang sekolah dengan gitar
penuh stiker lusuh dan menyanyikan lagu masa kecil. Sosokmu
yang membuatku menyerah pada rasa yang memenuhi hatiku.
Akan tetapi, satu yang aku lewatkan malam itu. Seharusnya
aku sadar, tawa yang terlalu keras, rasa yang terlalu besar,
harapan yang terlalu tinggi—semuanya memiliki akhir yang
tak bahagia. Tinggal menghitung mundur sampai bom waktu
meledak di hadapan kita. Menyisakan puing-puing kenangan
yang meski kucoba susun selama bertahun-tahun, selamanya
akan tetap menjadi abu.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari


Kejora.

286
pustaka-indo.blogspot.com
Bintang
yang Meredup
Day 15: London
24 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang sampai detik ini masih membuatku bertanya dalam hati,
sebenarnya seberapa berartikah aku di matanya?)

London, at last.
It’s a been a while since the last time I breath in the fresh air
out of London. Kali terakhir aku berada di kota penuh cerita ini
adalah untuk menghadiri acara kelulusanku. Tidak banyak yang
berubah dari kota ini. Udaranya masih sama—campuran antara
aroma khas musim semi dan ish and chips dari kedai di ujung
jalan. Cuacanya masih sama—hangat meski sesekali angin
dingin menerpa kulit, menembus mantel yang kukenakan.
Secara keseluruhan, tidak ada yang berubah. his city stays the
same. Funny isn’t it? It almost felt like I never leave.
Kamu mau tahu apa yang aneh? It’s weird that I feel
empty. Duduk sendiri di sudut kafe dengan tumpukan kertas
surat warna-warni dan pulpen yang tintanya hampir habis,
aku merasa kosong, Raf. Seakan seseorang menarik paksa

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

sesuatu yang dulunya menghuni satu tempat di dalam rongga


dadaku, menyisakan lubang tak kasatmata yang menganga,
mengirimkan rasa sesak ke seluruh tubuh tiap kali aku menarik
napas. Aneh, Raf, bagaimana bisa rasa kosong malah begitu
menyesakkan?
Aku tidak seharusnya merasakan hal ini, kamu tahu. Ini
penghujung liburanku. Seharusnya, aku bersenang-senang,
berkeliling London layaknya turis, mencicipi setiap streetfood
yang kutemui dan membeli kaus putih bertuliskan “I Love
London” dengan motif bendera Inggris untuk dibagikan pada
sanak saudaraku di Tanah Air. Namun, entah kenapa aku
malah meringkuk di sudut kafe yang lokasinya tak jauh dari
lat lamaku, menyesap secangkir kopi hangat, seraya menulis
suratku yang kesembilan belas. Tidak bisa dipercaya aku sudah
menulis sembilan belas surat menyedihkan yang berisi ratapan
tentang betapa aku merindukan kamu dan masa lalu kita. How
pathetic, Kejora, how pathetic.
You see, Raf, all these things about us, all the memories that
we shared together for years, it won’t stop bothering me. Aku ingin
marah, Rafa. Aku ingin berteriak. Semuanya benar-benar
tidak adil. Kenapa hanya aku yang terus-menerus mengenang
tentang kita? Kenapa hanya aku yang terus-menerus peduli
denganmu dan kehidupanmu?? Kenapa hanya aku yang merasa
terbebani oleh perasaan ini, Rafa? Kenapa kamu baik-baik saja,
sementara aku tidak?
Aku ingin lari, Raf. Aku ingin pergi ke suatu tempat di
mana tidak ada satu hal pun yang mampu mengingatkanku
padamu. Aku ingin, satu kali saja dalam hidupku, bisa lepas dari
bayang-bayangmu. Aku ingin melupakan kamu seutuhnya, Raf.

288
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

But tell me, how do you stop loving someone who give you so much
to remember?
Tahun-tahun yang kita jalani bersama, bukanlah waktu
yang singkat. Setiap derai tawa dan tetes air mata yang pernah
kita bagi bersama bukan hanya sekedar angin lalu buatku.
Kamu adalah bagian dari sejarahku, Raf. Sejarah yang tak ingin
kutinggalkan di masa lalu; tetapi ingin kubawa terus ke masa
depan. Namun, waktu dan takdir memang selalu bersilangan.
Mungkin pada satu titik, kita memang pernah dipertemukan,
dibuat jatuh cinta sedalam-dalamnya pada satu sama lain,
tetapi pertemuan hanyalah sekadar pertemuan. Kini aku dan
kamu berada di belahan bumi yang berbeda, dengan perasaan
yang berbeda pula.
Beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk
mengunjungi lat lamaku untuk menemui teman-temanku
yang tinggal di bangunan yang sama. Aku tidak masuk, tentu
saja, karena lat yang dulunya milikku itu kini sudah ditempati
oleh orang lain. Namun, aku menyempatkan diri untuk berdiri
di depan pintunya selama beberapa saat. Kuamati setiap
detailnya. Setiap perubahan kecil yang bisa kukenali. Aku sadar
kini penghuni baru telah mengganti handle pintu yang dulunya
berkarat menjadi mengilap. Bel kecil yang dulu bertengger
di sudut pintu kini sudah menghilang. Goresan samar tinta
pulpen yang menoreh dinding sekitarnya pun kini sudah tidak
lagi terlihat.
Selama beberapa saat aku terpaku mengamati semua
perubahan itu. Mungkin penghuni yang baru sangatlah
perfeksionis. Mungkin penghuni yang baru benci dengan suara
nyaring bel kecil kesukaanku. Atau mungkin dia hanya ingin
menghapus jejak-jejak keberadaanku sebagai pemilik lama lat

289
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tersebut. Entah kenapa, hal itu membuatku sadar akan satu


hal; bahwa hampir setiap hal yang ada di muka bumi dapat
digantikan.
And sadly, just like every little things on earth, people can be
replace too.
Seberarti apa pun seseorang di mata orang lain, seerat apa
pun hubungan mereka, sebanyak apa pun kata “aku tidak akan
pernah pergi” terucap, tidak menutup kemungkinan bahwa
posisi orang tersebut dapat digantikan.
People can be replace, and I guess that’s why you leave.

Embusan angin dingin menyapa kulit begitu aku keluar dari


pintu penumpang. Kurapatkan kardigan tipis yang kukenakan
seraya melemparkan pandangan pada hamparan laut yang
berkilau di bawah terpaan cahaya bulan. Senyum samar terukir
di bibirku menyadari bahwa tempat rahasiamu ternyata adalah
sebuah pantai di daerah Ancol. Aku tidak pernah tahu kamu
suka pergi ke tempat seperti ini sebelumnya.
“Surprise, nggak?” tanyamu ketika berdiri tepat di
sebelahku. Satu tanganmu dimasukkan ke dalam saku celana,
sementara yang satunya lagi merangkul pundakku.
Aku mengangguk kecil. “Ya. Sejak kapan kamu suka main
ke pantai? Biasanya juga mendem di Studio Karel. ”
“I just thought that it will be nice to bring you here for dinner,”
balasmu sambil tersenyum lebar—nyaris terlihat bangga malah.
Yah, aku tidak heran, ini kali pertama kamu membawaku ke
tempat seperti ini. Biasanya kita hanya menghabiskan waktu di

290
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

sudut Pumpkin, kafe kecil, ataupun di rumahku. Jadi, aku bisa


memaklumi senyum penuh kemenangan yang tersungging di
bibirmu. Kamu sudah memiliki penghasilan sendiri dan kamu
pantas berbangga untuk itu.
“It’s nice,” timpalku. “Aku juga nggak pernah ke sini
sebelumnya.”
Kamu menoleh ke arahku dengan satu alis yang dinaikkan.
Mungkin terkejut dengan jawabanku? Entahlah. Seharusnya
kamu tahu, aku memang lebih suka mengurung diri di dalam
rumah daripada pergi ke tempat-tempat baru.
“Kamu bikin gue ngerasa kalau gue menjadi yang pertama
dalam banyak hal di hidup kamu, deh, Ra,” ucapmu tiba-tiba
dengan tampang polos. Namun, sedetik kemudian kamu
mengerucutkan bibir seperti anak kecil dan berujar dengan
suara nyaring yang dibuat-buat. “Jangan bikin gue geer, dong,
Ra.”
Aku mendengus geli. “Hih, nyebelin.”
Kita berjalan beriringan menuju ke salah satu meja yang
terletak tak jauh dari bibir pantai. Malam itu tidak ada kata
lain yang mampu mendeskripsikan apa yang aku rasakan
selain kata ‘overwhelming’. Kamu, senyum magis milikmu, dan
semua perilaku manis yang kamu tunjukkan malam itu cukup
untuk membuatku menutup mata dan telinga akan semua
kemungkinan buruk yang mampu terjadi di antara kita.
“Aku baru tau kamu bisa manis banget kayak gini,” ucapku
setelah kita berdua duduk berhadapan. Selama ini, sikapmu
padaku memang selalu manis—yah, meski setelah kamu lulus
SMA ucapanmu kerap membuatku sakit hati—tetapi malam itu,
ada sesuatu yang terasa berbeda. Sikap manismu berlebihan.
Rasanya mirip seperti terlalu banyak mengonsumsi gula hanya

291
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

untuk sakit perut, terlalu banyak tertawa hanya untuk dibuat


menangis. Ada yang janggal, Raf, tetapi aku berusaha keras
mengenyahkan perasaan itu.
“Ada banyak sisi dalam diri gue yang belum kamu temui,
Ra,” balasmu dengan seringai jail. Aku hanya bisa tersenyum
kecil. Untuk yang satu itu, aku tidak menyangkalnya. Ada
banyak sisi dalam dirimu yang belum kutemui dan tak mampu
kupahami. Andai saja kamu tahu seberapa menyiksanya hal itu
buatku, Raf.
“Kamu mau pesen apa, Ra?” Pertanyaan yang kamu
lontarkan sukses menyeretku keluar dari lamunan. Cepat-cepat
aku mengalihkan fokus pada daftar menu yang kini sudah
terletak di hadapanku. Kubalik halamannya satu-satu, berusaha
memutuskan apa yang harus kupilih meski aku tidak terlalu
lapar.
Di tengah kegiatan kita, tiba-tiba saja ponselmu berdering.
Ada sesuatu yang tidak biasa di raut wajahmu saat kamu
menatap layar ponsel dalam genggaman—gelisah, serbasalah,
dan canggung. Kuturunkan buku menu yang menutupi
wajahku sehingga aku bertopang dagu, memperhatikan kamu
yang perlahan menempelkan ponsel ke telinga dengan ragu-
ragu. Kamu berbicara dengan suara yang amat pelan, nyaris
menyerupai bisikan. Wajahmu kian memucat dengan setiap
kata yang meluncur dari bibir sang penelepon, membuatku
khawatir setengah mati. Apa yang salah, Rafa? Apa ada hal
buruk yang terjadi?
“Siapa, Raf?” tanyaku spontan begitu kamu menutup
telepon.
Kamu bergerak-gerak gelisah, menatap apa pun selain
kedua mataku. Raut wajahmu penuh dengan kepanikan—

292
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tetapi anehnya, sekilas aku bisa menjumpai rasa bersalah di


sana. “Gue,” ucapmu dengan suara bergetar, “gue harus pergi.”
Aku kontan membeku saat mendengar kalimat yang kamu
lontarkan. “Tapi, kita kan baru sampai, Raf,” cegahku tanpa bisa
ditahan, merasa tidak rela malam sempurnaku harus berakhir
secara paksa. “Memangnya ada apa, Rafa? Ada masalah? Mama
kamu telepon? Papa kamu? Atau ada masalah dengan Label?”
Rentetan pertanyaan yang kulontarkan hanya kamu balas
dengan diam. Selama beberapa saat hening menyelimuti kita,
baik aku maupun kamu memilih untuk menutup mulut rapat-
rapat. Aku punya alasan dengan diamku, Raf. Aku menunggu
kamu menjawab pertanyaanku. Sedangkan kamu? Kamu tidak
punya alasan untuk duduk diam dan menghindari tatapanku.
Apa kamu tahu seberapa terlukanya aku dengan sikapmu?
Seakan sikapmu belum cukup melukai, kamu menyebutkan
satu kalimat dengan lirih yang sukses membuat jantungku
berhenti berdegup selama sepersekian detik. “It’s Lane—
Marlene, I mean,” ucapmu pelan tetapi menusuk. “She needs me.
Right now. I have to go.”
Saat itu satu-satunya yang ingin kulakukan adalah tertawa
keras, menertawai kebodohanku sendiri karena sempat mengira
kalau nama perempuan berambut merah itu tak akan meluncur
dari bibirmu malam itu. Menertawai kebodohanku sendiri
karena sempat mengira kalau malam itu akan menjadi malam
sempurna kita setelah sekian lama bergelut dalam pertengkaran
tak berujung. Menertawai kebodohanku sendiri karena sempat
mengira kalau sampai detik itu, aku masih menjadi prioritasmu.
Pada akhirnya, aku hanya anak perempuan bodoh yang terlalu
banyak berharap, kan, Raf?

293
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Aku tidak bisa mencegah air mata untuk tidak memenuhi


pelupuk mata. Kukepalkan tanganku erat-erat. Tidak, tidak,
aku tidak boleh menangis. Setidaknya, tidak di hadapanmu.
Aku sudah terlalu sering terlihat lemah di depan kamu, Raf.
Aku tidak ingin menjadi Kejora yang rapuh. Aku tidak ingin
bergantung padamu lebih jauh lagi. Namun, sekeras apa pun
aku mencoba, hatiku tetap saja tidak bisa menoleransi rasa
sakit yang kamu timbulkan padaku.
Pada akhirnya, aku hanya bisa menatapmu nanar. “Lalu,
aku harus apa, Raf?” Bahkan aku terdengar sangat menyedihkan
saat menyuarakan pertanyaan itu. “Aku harus apa? Aku juga
butuh kamu,” sambungku, membuatmu memalingkan wajah.
Hening, hening, dan hening. Tidak ada kata yang berani
kamu ucapkan. Tidak ada jawaban yang berani kamu lontarkan.
Satu-satunya yang berani kamu berikan hanyalah keheningan
mutlak. Perlahan kamu bangkit dari duduk, masih menghindari
tatapanku, berniat untuk menjauh. Namun, aku cepat-cepat
bergerak ke sisimu, menarik lengan swetermu, berusaha
menahanmu agar tidak pergi, agar setidaknya kamu memberiku
jawaban meski pahit.
“Raf, aku mohon,” pintaku lirih. “It sometimes feels like you’re
not you. Kamu yang sekarang berdiri di depanku ini, aku nggak
tau kamu siapa. Can we just go back to the day when everything’s
ine?” tanyaku, lelah terpancar jelas dari bola mataku saat
pandangan kita beradu.
Aku lelah, Raf. here I said it. Aku lelah bertingkah seakan
kita baik-baik saja. Aku lelah bertingkah seakan hubungan
yang kita jalani ini adalah hubungan yang wajar. Aku lelah
bersembunyi, Raf. Aku ingin berhenti merasakan semua perih
yang mengalir di pembuluh darahku. Tetapi, bagaimana bisa,

294
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Raf? Bagaimana bisa aku berhenti merasakan semua itu jika


hatiku tidak siap untuk melepasmu?
Kamu menatapku lekat setelah aku mengucapkan rentetan
kata yang melambangkan perasaanku. Sepasang manik cokelat
gelap milikmu terlihat kalut. Kamu yang ada di hadapanku
saat itu … aku hampir tidak mengenalinya. Sorot matamu liar.
Berbagai macam emosi yang tidak aku mengerti terukir disana.
Cukup lama kita menatap satu sama lain dalam diam. Desau
angin dan udara dingin menjadi saksi bisu dipertaruhkannya
hubungan kita. Apa kamu tahu kalau dengan setiap tarikan
napasku aku memohon agar kamu tidak pergi? Aku memohon,
Raf, aku tidak mau kamu meninggalkanku untuk gadis berambut
merah itu. Dia bukan seseorang yang memiliki arti lebih dalam
hidupmu. Dia hanya orang asing yang berniat masuk. Sementara
aku? Aku adalah orang yang telah mendampingi kamu sejak
bertahun lalu. Tidakkah itu berarti sesuatu untukmu?
Namun sepertinya semua yang telah kita lalui bersama
memang tidak cukup berarti untukmu. Karena detik berikutnya,
kamu mengerjapkan mata dan mengatakan satu kalimat yang
sukses membuat hatiku pecah berkeping-keping. “Semuanya
udah nggak sama lagi, Kejora. Jangan berharap semuanya—
kita—bisa seperti dulu lagi,” ucapmu tegas. “Ada seseorang
yang lebih membutuhkan gue daripada kamu untuk saat ini.”
Dan dengan itu, kamu berbalik arah, mengambil puluhan
langkah menjauh. Meninggalkanku sendirian dengan bahu
bergetar dan isakan yang mulai meluncur tanpa ampun bersama
embusan angin, membelah keheningan malam.

295
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Setelah kamu meninggalkanku demi Marlene malam itu, aku


memilih untuk berjalan sendirian menyusuri trotoar dengan
heels yang dijinjing dan wajah sembab karena terlalu banyak
menangis. Udara malam menusuk kulitku, kerikil-kerikil kecil
yang kasar menggores telapak kakiku, tetapi aku tidak peduli.
Toh sedingin apa pun udara malam dan seperih apa pun luka
karena goresan kerikil tidak akan bisa menandingi rasa sakit
yang menjalar di dalam hatiku.
Setelah bertahun-tahun kita bersama, Raf, untuk kali
pertama sebuah pertanyaan yang selama ini tak pernah
terlintas di pikiranku perlahan muncul. Seberapa berartikah
aku di matamu?
Selama ini tanpa ragu aku berani menarik kesimpulan kalau
bagimu keberadaanku sama pentingnya seperti keberadaanmu
bagiku. Namun, apa semua hanya angan-anganku saja, Raf?
Apa itu semua hanya hal-hal yang ingin kupercayai, padahal
kenyataannya berbanding seratus delapan puluh derajat?
Apakah aku setidakberarti itu di matamu sehingga kamu
bergegas pergi hanya karena satu telepon dari Marlene? Perlu
kamu ingat, Rafa, bukan Marlene yang selama ini selalu berada
di sisimu. Bukan Marlene tempat kamu mengadu ketika kamu
bertengkar dengan Om Tio karena beliau tidak menyetujui
impianmu. Bukan Marlene tempatmu menumpahkan segala
keluh kesalmu tentang dunia. Bukan Marlene yang berada di
sisimu saat kamu kali pertama mendapat pemberitahuan kalau
Constant Star akan dikontrak. Bukan Marlene, Rafa, tapi aku.
Lalu, kenapa kamu bertingkah seolah-olah orang itu adalah
Marlene?
Kuhapus air mata yang kembali meluncur di pipi. Aku
ingin saja menelepon Noah, memintanya menjemputku, dan

296
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mencurahkan semua rasa sakitku padanya, tetapi aku tidak


mau setelah Noah mengantarku pulang, dia pergi mencarimu
dan menghajar kamu habis-habisan. Terlebih lagi, aku tidak siap
jika harus mendengar komentar getir yang akan diucapkannya
saat aku bercerita. Maka, aku memutuskan untuk menyimpan
ponselku dan berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa.
Berpura-pura itu menyakitkan, Raf, tetapi hanya itu satu-
satunya yang bisa kulakukan untuk bertahan.
Suara klakson mobil dari balik tubuhku sukses membuatku
berjengit kaget. Meski tak acuh, kutolehkan kepalaku ke
belakang dan selama sepersekian detik, aku yakin wajahku
memucat. Mobil itu berhenti tepat di sebelahku. Sang
pengemudi menurunkan kacanya cukup rendah sehingga aku
bisa melihat siapa dia di antara gelapnya malam. Kontan aku
menelan ludah gugup.
“Naik,” ucap Noah datar. Seakan dia sudah sering
mendapatiku berjalan sendirian dengan heels dijinjing dan
wajah sembab di tengah malam. “Gue anter lo pulang.”
Awalnya aku ragu. Jika aku naik, aku berani bertaruh akan
terbongkar semua sisi gelap tentang hubungan kita yang tak
pernah kuceritakan pada sahabatku itu sebelumnya. Namun,
akan lebih janggal lagi, kan, jika aku menolak tumpangan
Noah sementara kondisiku sudah sangat menyedihkan? Maka,
dengan langkah yang diseret aku bergerak ke pintu penumpang,
mengambil tempat di sisi Noah.
Sahabatku itu menatap penampilanku dari ujung kepala
hingga ke kaki tanpa kata. Dari sorot matanya, aku tahu ada
puluhan bahkan ratusan pertanyaan yang ingin dilontarkannya.
Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri dengan
segala kemungkinan pertanyaan yang ada. Namun, dugaanku

297
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

melenceng jauh saat aku mendapati Noah mengembalikan


fokusnya ke jalanan di depan.
Aku menghela napas berat. Selama beberapa saat, sisi
bodoh dalam diriku masih berharap kalau orang yang berada di
sebelahku malam itu adalah kamu, Raf, bukan Noah. Aku masih
berharap bahwa setelah kamu meninggalkanku sendirian, kamu
menyesal dan memutuskan untuk kembali, meminta maaf atas
sikapmu padaku. Tetapi, lagi-lagi semuanya hanya imajinasiku,
kan? Akhirnya aku menyadari satu hal; aku tidak seberarti itu
untukmu.
“Rafa,” mulai Noah tiba-tiba, menyeretku keluar dari
lamunan. Dia melirikku sekilas sebelum melanjutkan, “Dia
masih bocah kayak dulu, kan?”
Aku terkesiap mendengar pertanyaan Noah. Tidak tahu
harus menjawab apa. Satu kalimat yang salah bisa membawa
pembicaraan kami ke titik sensitif hubungan kita dan aku tidak
yakin apakah aku siap untuk menumpahkan semuanya pada
Noah.
Sepertinya, Noah bisa membaca ekspresiku dengan mudah
karena sahabatku itu kemudian melanjutkan, “Gue hanya
menduga. Lo nggak mungkin jalan kaki sendirian sambil
mewek kalau bukan gara-gara sikap dia yang masih kayak anak
kecil.” Kalimat yang Noah lontarkan bagaikan tamparan keras
di wajahku. Dulu, aku mengira kalau sampai kapan pun kamu
tidak akan pernah membuatku menangis, tetapi lihat sekarang,
Raf, I’m wasting my tears on you. Again.
Aku masih memilih untuk diam. Takut kalau aku angkat
bicara, suaraku terdengar parau dan lemah. Noah menyentuh
lenganku perlahan, membuatku menoleh ke arahnya meski
sejujurnya aku tidak ingin. “Lo nggak mau cerita sama gue?”

298
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

tanya Noah hati-hati dengan sorot amat lembut, seakan


sahabatku itu takut aku akan pecah dengan setiap kata yang dia
ucapkan.
Tawa hambar meluncur dari bibirku, bersamaan dengan
setetes air mata yang perlahan turun. Cepat-cepat kuusap butir
bening yang mengalir di pipi. Tidak, tidak. Aku tidak boleh
menangis. Aku tidak mau menangisi kamu. Tidak lagi. “Nggak
ada yang bisa gue ceritain,” balasku dengan senyum yang
dipaksakan, membuat Noah kontan mendengus kesal.
“Nggak ada yang bisa lo ceritain atau terlalu banyak sampai
lo nggak tau mau mulai dari mana?” Pertanyaan yang dilontarkan
Noah dengan nada gusar sukses membuatku membeku. Noah
benar, Raf. Aku ingin mencurahkan semuanya pada Noah,
tetapi dari mana harus kumulai? Ada terlalu banyak, Raf, saat
aku menangisi hatiku sendiri tanpa ada satu orang pun tahu.
“Lo bisa diam dan anggap gue sebagai orang asing atau
sopir taksi sekalian buat malam ini,” mulai Noah perlahan tanpa
melihatku. “Atau lo bisa mulai melihat gue sebagai sahabat yang
udah nemenin lo selama belasan tahun dan berhenti bertingkah
seolah lo baik-baik aja.”
Lagi dan lagi, aku merasa ditampar berkali-kali setiap
mendengar kalimat yang Noah ucapkan. Kugigit bibirku keras-
keras, rasa sesak di dadaku semakin membuncah, air mataku
nyaris tak bisa kutahan lagi. “Nangis aja, Lucil,” pinta Noah
lembut, membuat satu isakan lepas dari bibirku tanpa bisa
kucegah. “Nangis kalau lo memang pengin nangis. Itu bakal
membuat lo merasa lebih baik.”
Dengan itu, isakan demi isakan meluncur dari bibirku. Air
mataku mengalir deras. Sesaknya tiada tara. Kutangkupkan
telapak tanganku di wajah, berusaha menghalau rintihan pilu

299
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

yang meluncur dari bibirku. Memori-memori menyakitkan


tentangmu berkelebat di benak, menimbulkan perih yang
semakin menjadi-jadi.
Di sela-sela tangisku, kuucapkan satu fakta yang harusnya
telah kusadari sejak awal. “Lo tau.” Seharusnya aku sadar sejak
awal, bahwa tanpa aku perlu bercerita, Noah pasti menyadari
kejanggalan dalam hubungan kita. “Sejak awal lo tau kalau gue
dan Rafa—“
“Gue tau,” potong Noah langsung, membuatku bersyukur
tidak perlu melanjutkan kalimatku karena jujur aku tidak tahu
bagaimana harus mendeskripsikan hubungan kita. “Gue tau.
Tapi lo gak terlihat pengen cerita. Gak masalah buat gue, tinggal
masalah waktu sampai lo mau terbuka.”
Perlahan, aku menoleh ke arah Noah seraya menggigit
bibir. Sahabatku itu tersenyum sekilas. Entah kenapa saat aku
menatap matanya, rasa bersalah menyerangku bertubi-tubi.
Noah sahabatku. Dia memahamiku bahkan jauh lebih baik
daripada aku memahami diriku sendiri. Lalu kenapa aku malah
merahasiakan semuanya darinya?
“Gue sahabat lo, Lucil,” tutur Noah lagi, seakan
mengingatkanku akan fakta tersebut. “We grow up next to each
other. Hanya dengan melihat mata lo juga gue tau apa yang lo
rasakan. You’re bad at hiding things, tapi gue nggak mau maksa.
Itu masalah lo dan Rafa. Gue nggak punya hak untuk ikut
campur di dalam hubungan kalian. Tapi satu hal, Lucil, di saat
lo nangis kayak gini karena dia, a part of me dies inside.”
Kupejamkan mataku erat-erat. Andai saja, andai saja waktu
itu aku jatuh cinta pada Noah dan bukannya denganmu, hidupku
pasti jauh lebih mudah. Aku tak akan menangis sendirian di
tengah malam karena aku tahu Noah tidak akan membiarkanku

300
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

menangis. Andai saja, Raf, kita tidak pernah dipertemukan,


apakah semuanya akan berbeda?
“Maaf, Noah,” ucapku pelan. “Maaf karena gue nggak cerita
semuanya lebih awal. Maaf.”
Noah menggeleng seraya tersenyum kecil. Terlihat tidak
keberatan. “Malam ini lo bisa cerita apa aja ke gue. Gue akan
mencoba objektif. Jujur, Lucil. Itu apa yang lo, gue, dan Rafa
paling butuhkan untuk saat ini.”
Dengan itu semuanya mengalir seperti air dari bibirku.
Apa-apa yang pernah kita punya. Semua yang berawal manis
tetapi sekarang berubah tragis. Momen ketika aku kali pertama
menyadari kamu berubah, momen ketika Marlene muncul, aku
ceritakan semuanya pada Noah tanpa ragu. Aku tidak pernah
merasa sebebas itu sebelumnya. Selama ini semua keluh kesah
dan rintihanku selalu tertahan di ujung lidah. Kini tidak lagi.
Kali ini aku memutuskan untuk berbagi.
Saat aku selesai bercerita, aku baru menyadari kalau pipiku
sudah basah akan air mata. Tidak kusangka aku menangis
kembali. Noah menyodorkan sekotak tisu ke arahku, cepat-
cepat aku mengambil beberapa lembar, berusaha menghapus
jejak-jejak air mata yang mengalir. Sayangnya, semakin aku
berusaha menghapusnya, semakin deras air mataku meluncur.
Dasar, Kejora bodoh. Untuk apa menangisi orang yang bahkan
tidak peduli denganmu? Sia-sia saja.
“Lo sayang banget sama Rafa.”
Aku tahu kalau kalimat yang diucapkan Noah merupakan
pernyataan dan bukannya pertanyaan. Namun, aku tetap
mengangguk pelan dan menjawab, “Ya.”

301
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Dia beruntung punya lo di sisinya, Lucil.” Noah tersenyum


simpul. “Dia beruntung ada cewek sebaik lo yang sabar sama
sikapnya yang kayak anak umur lima tahun itu.”
Tawa kecil meluncur dari bibirku saat mendengar kalimat
terakhir yang diucapkan Noah. Berlebihan memang bagi
sahabatku itu untuk menyamakan kamu dengan anak berumur
lima tahun. Namun, aku setuju—sikapmu memang bisa
berubah kekanak-kanakan sewaktu-waktu, dan itu bukan jenis
kekanak-kanakan yang aku suka.
“Lo mau pendapat jujur gue?” tanya Noah tiba-tiba,
membuat tawaku kontan terhenti.
Aku menatapnya nanar sebelum memberanikan diri untuk
mengangguk. Entah kenapa aku merasa kalau apa yang akan
kudengar selanjutnya dari bibir Noah memiliki kemungkinan
besar untuk menorehkan luka di hatiku.
“Rafa itu emotionally unstable dan semua orang yang
mengamati sikapnya juga pasti tau.” Aku tersenyum getir.
Emotionally unstable. Mereka menyebut kamu begitu, sementara
aku bersikeras menyebut kamu unpredictable. Ada jurang
perbedaan yang besar di antara dua sifat itu, Raf. Kurasa selama
ini aku telah salah memahami kamu. “Sekarang dia bisa senyum
sana-sini kayak orang gila dan detik berikutnya dia bisa nangis
kejer tanpa alasan yang jelas. Itu Rafa yang para senior kenal
sebelum lo datang.”
Noah mengembuskan nafas berat. Jemarinya
mencengkeram kemudi erat-erat seakan sulit baginya untuk
berbicara padaku tentang hal ini. “Tapi, semenjak dia bertemu
lo, banyak orang melihat perubahan dalam dirinya. Dia
mungkin nggak menampakkan emosinya secara jelas seperti
dulu, dia belajar untuk menyembunyikannya rapi-rapi. Itu

302
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

alasan kenapa lo selama ini menganggap tingkahnya nggak


terduga dan emosinya nggak bisa dibaca.” Sekilas aku bisa
menangkap senyum sedih di bibir Noah. “Dia membangun
dinding di sekelilingnya, Lucil. Dan gue nggak yakin kalau dia
akan membiarkan siapa pun—termasuk lo—untuk masuk
cukup jauh ke dalam.”
Aku tertegun. Noah benar. Selama ini aku selalu merasa
seakan ada penghalang dalam hubungan kita. Seakan ada
sekat transparan yang membatasi aku dan kamu. Kamu bisa
mengontrol duniaku, membaca semua isi pikiranku, tetapi
tidak denganku. Aku hanya bisa menatap kamu dari jauh
seraya berusaha memahami apa yang sebenarnya ada di dalam
benakmu. Noah benar; setelah tahunan terlewati kamu bahkan
tidak membiarkanku masuk sepenuhnya ke dalam duniamu.
“Waktu dia masih jadi senior kita, gue bisa melihat kalau
dia sayang banget sama lo.” Noah tertawa kecil. Entah apa yang
lucu tepatnya, aku pun tidak mengerti. “Nyaris tergila-gila kalau
menurut gue. Ngelihatin lo yang lagi jalan bareng teman-teman
lo dari depan kelas, senyam-senyum nggak jelas. Waktu itu gue
bahkan berpikir kalau suatu saat nanti gue akan menerima
undangan pernikahan kalian.”
Aku tersenyum pahit. “Rafa bilang semuanya udah nggak
sama lagi. Rafa bilang gue nggak bisa berharap kalau kami bisa
seperti dulu lagi. Apa yang salah, Noah?”
Noah menatapku lama. Ekspresinya seakan mengatakan
kalau jawaban dari pertanyaanku sudah sangat jelas. Pada
akhirnya, dia kembali menghela napas berat. “Seperti kata
salah satu quote galau yang gue temukan di internet, ‘everything
that starts bitter ends sweet and everything that starts sweet ends

303
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

bitter’. Apa lo nggak pernah mikir kalau semua yang lo punya


dengan Rafa selama ini terlalu sempurna?”
Lagi-lagi Noah benar. “Gue .…”
“Nggak ada yang bisa bertahan selamanya, Lucil. Sebagai
orang asing yang mengantar lo pulang, sebagai teman sekelas
yang selalu jadi pengamat setia, dan sebagai orang yang
peduli akan kebahagiaan lo, gue minta lo untuk melepaskan
dia,” sambung Noah langsung, membuatku terkesiap. Dia
menatapku sekilas dengan senyum tipis. Rasa bersalah terlukis
jelas di kedua matanya. “Bukannya gue meragukan hubungan
kalian, tapi setelah mendengar cerita lo, gue rasa lo harus
mempersiapkan kemungkinan terburuk.”
“Ke-kenapa?” tanyaku terbata-bata.
Senyum itu lagi. Senyum yang menyiratkan kalau dia ikut
sedih dan prihatin atas apa yang terjadi padaku. Nada suara
Noah benar-benar lembut saat dia menjawab pertanyaanku,
tetapi aku merasa seakan baru saja dijatuhkan dari puncak
gedung tertinggi saat mendengarnya. “Karena gue nggak yakin
hubungan kalian akan terus bertahan kalau cuma lo yang
berusaha memperjuangkannya.”
Aku ingin berteriak, Rafa. Aku ingin marah pada Noah
karena kalimatnya benar-benar menyakitiku. Fakta itu, sudah
kusadari sejak lama, tetapi kenapa terasa berkali lipat sakitnya
saat meluncur dari bibir orang lain?”
“Bagaimana bisa lo minta gue untuk melepaskan dia,
Noah?” tanyaku nyaring, keputusasaan terdengar jelas dalam
nada suaraku. “Bagaimana bisa lo melepaskan seseorang di saat
seluruh hidup lo seakan berputar di dia? Kehilangan dia sama
aja kayak kehilangan dunia lo. Lo nggak akan tau mau bergerak
ke mana, lo nggak akan tau ke mana harus pulang, lo—“

304
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Rentetan kalimat yang kuucapkan kontan berhenti saat


aku merasakan kedua tangan Noah menggenggam lembut
telapak tanganku yang bergetar. Entah sejak kapan, mobil yang
kunaiki telah berhenti, terparkir di tepi jalan. Manik hitam-
kebiruan sahabatku itu menatapku lurus-lurus, berusaha
menenangkanku, membagi kekuatannya denganku. Tangisku
kembali pecah. Kenapa bukan kamu, Raf? Kenapa bukan kamu
yang duduk di sisiku hari itu, menggenggam tanganku, dan
menenangkanku? Kenapa malah kamu yang menjadi sumber
rasa sakitku?
“Lucil, jangan pernah takut kehilangan,” mulai Noah
pelan. Diangkatnya wajahku yang menunduk dengan ibu jari
dan diusapnya air mataku yang tak henti mengalir. “Takut
kehilangan hanya untuk orang-orang yang merasa kalau di luar
sana nggak akan ada orang lain yang mampu menyayangi dia.
Jangan pernah takut kehilangan, karena semua yang hilang
pasti akan menemukan jalannya untuk kembali kalau itu
memang ditakdirkan buat lo.”
Kalimat yang Noah ucapkan memunculkan sepercik rasa
hangat di dalam dadaku malam itu. Benarkah itu, Raf? Benarkah
aku tidak perlu takut kehilangan kamu? Benarkah kalau satu-
satunya yang harus kulakukan adalah percaya pada takdir—jika
kamu memang untukku maka kita akan kembali seperti dulu?
Maka, setelah berhasil menguasai diriku sendiri, aku
mengangguk samar, membuat Noah tersenyum kecil dan
melepaskan genggamannya padaku. Dia kembali menginjak
pedal gas selagi satu tangannya menekan tombol radio. Aku
menyandarkan tubuh dan menghela napas berat saat intro
sebuah lagu yang belakangan menghuni playlist di iPod-ku
berputar.

305
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Kupejamkan mata perlahan. Ketika lagu ini berakhir dan


aku membuka mata, Rafa, mungkinkah kebahagiaan yang dulu
menyelimuti kita kembali hadir untuk menghentikan tangis
dan membalut luka di hati?

And when it gets hard


I get a little stronger now
I get a little braver now
When everyones perfect, can we start over again?

Sisa perjalanan ke rumahku kami habiskan dalam diam. Noah


memilih untuk fokus pada jalanan di hadapannya, sementara
aku tenggelam di dalam pikiranku sendiri. Benarkah itu, Raf?
Haruskah aku mengikuti saran Noah untuk melepaskanmu?
Namun, kalaupun aku melakukan hal itu, apakah aku siap, Raf?
Apakah aku cukup kuat untuk menjalani hariku tanpa adanya
kamu lagi di sisiku?
Mobil Noah perlahan berhenti di depan rumahku. Namun,
satu hal yang membuatku dan Noah kaget setengah mati
sebelum kami turun adalah kami mendapati mobilmu terparkir
manis tak jauh dari rumahku. Kamu sendiri bersandar di pintu
penumpang, pandanganmu lurus ke arahku dan Noah. Mau tak
mau helaan napas berat meluncur dari bibirku. “Gue nggak mau
ketemu dia, Noah,” gumamku parau. “Gue nggak siap untuk
dengar semua penjelasannya yang irasional. Gue nggak mau.”
Noah mengusap puncak kepalaku perlahan. “Nggak apa-
apa. Lo masuk aja, biar gue yang ngomong sama dia.”

306
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Jujur, aku sedikit takut saat Noah mengatakan kalau dia


yang akan menghadapi kamu. Namun, malam itu aku sudah
terlalu lelah untuk menolak. Mungkin ada baiknya kalau
kamu berbicara dengan Noah. Mungkin sahabatku itu mampu
meluruskan jalan pikiranmu yang berbelit bagai benang kusut.
Maka, setelah pamit pada Noah, secepat kilat aku melangkah
masuk. Dari jendela kamar kuamati siluetmu dan Noah yang
berdiri berhadapan. Entah apa yang kalian bicarakan. Kamu
menunduk, sementara Noah terlihat mengatakan sesuatu.
Kutarik napas dalam-dalam. Sesak, Rafa. Rasanya sesak
sekali. Kenapa kamu harus meninggalkanku demi perempuan
berambut merah itu? Apakah mungkin hubungan kalian
bukanlah pura-pura? Apakah mungkin kamu menyukainya
secara nyata?
Setelah rasanya lama sekali, kuputuskan untuk berbaring
di tempat tidur dan memejamkan mata. Namun, dering ponsel
dan satu pesan yang tiba-tiba muncul di layar membuatku
membuka mata. Cepat-cepat kulihat layar ponsel.

Rafael Leonardi
Gue berengsek. Gue bodoh. Gue salah. Gue minta maaf.

Waktu itu aku tersenyum pahit menatap pesan yang


kamu kirim. Ya, Rafa, kamu memang keterlaluan karena telah
meninggalkanku sendirian di tengah gelapnya malam. Ya,
Rafa, kamu memang bodoh karena meletakkan Marlene di atas
daftar prioritasmu dan, ya, Raf, kamu memang salah. Semua
yang kamu lakukan malam itu adalah kesalahan besar. Tetapi,
setidaknya kamu tidak lupa untuk meminta maaf.

307
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Orang bilang, di saat kita sangat menyayangi seseorang,


kita akan menjadi buta, dan aku rasa hal itulah yang terjadi
karena setelah kamu meninggalkanku begitu saja, setelah kamu
membuatku menangis tersedu-sedu, setelah kamu kembali
menorehkan luka di hatiku, aku masih dengan mudahnya
memaafkan kamu. Aku masih berharap kalau saat aku bangun
keesokan paginya, semuanya akan kembali seperti semula. Aku
dan kamu—kita. Kembali menjadi kita yang hidup di negeri
dongeng tanpa ada akhir yang tak bahagia.
Akan tetapi, lagi-lagi aku terlalu buta untuk melihat jam
yang detiknya semakin cepat, waktu kita telah habis.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

308
pustaka-indo.blogspot.com
Gerhana Total
Day 16: London
25 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang langkah, keputusan, dan jalan pikirnya selamanya akan tetap
menjadi labirin tak berujung untukku.)

Di antara remangnya sinar mentari yang masih malu


menyambut pagi, aku duduk sendiri di tengah puluhan baris
kursi kosong dengan pena dan selembar kertas putih yang
ujung-ujungnya sudah terlipat—kembali menulis surat seperti
sebelumnya. Heathrow International Airport terlihat sepi pagi
ini. Hanya ada segelintir penumpang yang menunggu datangnya
pesawat untuk mengantarkan mereka menembus lorong waktu
entah ke mana.
Kalau boleh jujur, aku benci berada di ruang tunggu. Tidak,
tidak, lebih tepatnya lagi, aku benci bandara. Kalau kamu
bertanya kenapa, aku bisa menjawabnya dengan mudah; ada
aroma perpisahan yang begitu kental di sana. Orang-orang
datang dan pergi, kenangan silih berganti. Namun, meski waktu
memaksa jutaan hal untuk berakhir, memori tidak pernah
benar-benar pergi.

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Kamu tahu tidak, Raf, it feels like every single thing around
me changes and I’m stuck on a moment that I don’t even know exist.
Kini aku memang bukanlah Kejora yang dulu lagi—tinggiku
bertambah, rambutku memanjang, dan sedikit banyak orang
mampu menemukan perubahan pada wajahku. Namun, pada
saat yang bersamaan, aku merasa seakan sosokku ini tak ada
bedanya dengan Lucillia Kejora yang kamu temui tahunan yang
lalu. Kejora yang naif, Kejora yang selalu mendukung kamu
dan berada di belakangmu apa pun yang terjadi—Kejora yang
menyayangi kamu sepenuh hati. Rasanya aku seperti membeku
di masa lalu, sementara kamu sudah bergerak jauh ke depan,
meninggalkanku sendirian di belakang dengan jejak kaki dan
kenangan yang mulai memudar.
Apa yang harus kulakukan sekarang, Rafa?
Dalam waktu kurang dari 24 jam aku akan tiba di Indonesia,
kembali ke pelukan realitas, suka atau tidak suka. Lalu, apa yang
harus kulakukan dengan kepingan masa lalu yang bertabrakan
di dalam benakku? Apa yang harus kulakukan dengan harapan-
harapan kosong akan kembalinya kamu yang selama ini masih
tertata rapi dalam hatiku? Lebih dari semuanya, apa yang harus
kulakukan dengan surat-surat ini, Raf?
Haruskah jujur yang telah kutumpahkan hilang begitu
saja tanpa pernah tersampaikan. Atau, haruskah aku memberi
semua surat bernada sendu ini padamu agar kamu tahu apa yang
selama ini sebenarnya aku rasakan? Namun, setelah kupikir-
pikir lagi toh untuk apa? Masa-masa yang mengatasnakaman
kita telah terlalu lama berlalu. Tak ada kesempatan untuk
mengulangnya. Sia-sia saja. Toh tak akan ada perbedaan yang
berarti jika kamu tahu.

310
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Namun benarkah? Benarkah tidak akan ada perbedaan


berarti jika kamu membaca semua suratku?
Aku … aku merasa tersesat, Raf. Aku tidak ingin pulang.
Aku tidak ingin kembali ke tempat yang tidak terasa seperti
rumah, yang tidak memberiku rasa hangat dan nyaman
seperti rasa hangat dan nyaman yang dulu kamu beri saat aku
berada di sisimu. Apa yang harus kulakukan agar bahagia yang
dulu sempat singgah pada kita kembali tanpa pernah pergi
karena jujur, selepas perpisahan kita, aku merasa seperti anak
perempuan mungil yang menapak tak bertujuan di atas Bumi.
Aku tersesat, Rafa, dan aku butuh bantuan kamu untuk
menuntunku pulang.
You see, dulu, kamu selalu berkata kalau aku adalah bintang
yang paling terang. Bintang yang menjadi rumahmu untuk
pulang. Bintang yang memberi kamu inspirasi saat otakmu
buntu mencari lirik lagu. Juga bintang yang menjadi tempatmu
menumpukan harapan saat seluruh dunia membuatmu kecewa.
Tetapi kamu salah, Raf. Buatku, kamulah bintang itu. Kamulah
bintang yang menjadi tempatku kembali. Kamu bintang yang
menuntunku melewati titian kecil bertepi jurang. Kamu bintang
yang meraih tanganku dan menggenggamnya erat, membawaku
terbang ke langit malam saat seluruh dunia membuatku kecewa.
Kamulah bintang itu, Raf, bintang yang membuatku bertahan,
menguatkanku, menunjukkan jalanku.
Lalu, apa yang harus kulakukan saat kamu—satu-satunya
penunjuk arahku—hilang?
Aku butuh kamu, Raf.
Aku masih butuh kamu.

311
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Siang itu, aku baru saja keluar dari gedung tempat tes beasiswa
berlangsung saat mendapati Noah berdiri tak jauh dari pintu
masuk. Kedua tangannya disilangkan di depan dada, sementara
matanya disipitkan—mungkin mentari yang bersinar
terlalu terang membuatnya silau. Dengan langkah kecil aku
menghampirinya.
“Hai,” sapaku, berusaha terdengar sekasual mungkin.
Semenjak insiden tangis-menangis yang terjadi di mobil Noah,
aku memang merasa sedikit canggung saat berada di dekatnya.
Lebih tepatnya, aku takut Noah mengangkat kembali topik itu
secara mendadak di sela obrolan kami.
Noah tidak membalas sapaanku. Sebagai gantinya, dia
meraih papan ujian dan kotak pensil dalam genggamanku,
kemudian mengisyaratkanku untuk mengikuti langkahnya ke
mobil. “Gimana? Bisa, nggak? Soalnya susah? Ada yang nggak
lo isi atau lo tembakin aja semuanya?”
Aku tertawa pelan. “Satu-satu kali nanyanya,” cibirku,
membuatku Noah menghadiahiku pelototan galak yang hanya
kubalas dengan juluran lidah. “Hm, soalnya susah, sih. Gue
jawab semua, soalnya nggak ada sistem minus. Doain ajalah.
Gue mau optimis, tapi takut kecewa jadi, yah, doain yang terbaik
aja,” terangku panjang lebar membuat Noah manggut-manggut.
“Diplomatis,” komentar Noah pendek begitu kami berdua
sudah berada di dalam mobil.
Aku hanya mengangkat bahu. “Kalau memang rezeki gue
buat tinggal di negara yang sama bareng Harry Styles, mudah-
mudahan ada jalan,” tambahku seraya menyeringai ke arah
Noah, sementara sahabatku itu memutar mata—Noah selalu
memutar mata setiap kali aku menyebutkan salah satu nama

312
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

personel One Direction, bosan, katanya setiap kali kutanya


kenapa.
“Sekarang mau ke mana” tanya Noah, mengalihkan
pembicaraan. “Langsung pulang atau mau makan dulu?”
“Laper,” gumamku seraya menimbang-nimbang sejenak.
“Tapi, mau makan di rumah aja.”
Noah mengangguk. “Yaudah, take-a-way aja kalau gitu,”
ucapnya tanpa banyak bertanya lagi sebelum menginjak
pedal gas menuju salah satu restoran cepat saji kesukaan
kami yang menyediakan sistem drive-thru. Sementara itu,
aku menyibukkan diri dengan mengutak-atik radio. Berusaha
mencari lagu-lagu up-beat bernada ceria yang mungkin bisa
menyingkirkan atmosfer keruh yang masih menempel di mobil
Noah meski samar.
“Lucil,” panggil Noah tiba-tiba, membuat jariku berhenti
memencet tombol radio mobilnya. “Lo sama Rafa,” mulai Noah
hati-hati, membuatku kontan menelan ludah gugup, “sekarang
gimana?”
Aku menghela napas berat. Pertanyaan itu, bagaimana bisa
aku menjawabnya, Raf? Setelah insiden kamu meninggalkanku
demi Marlene malam itu—and God knows what you both did
that night—kita tidak banyak berkomunikasi. Terkadang hanya
sekali dalam sehari atau bahkan tidak sama sekali.
Kita seperti dua orang asing yang dipaksa untuk berada
di dalam kotak yang sama, sementara hati, raga, dan jiwa kita
meronta untuk dibebaskan. Namun, entah kenapa, entah
menunggu apa, kita sama-sama menolak untuk keluar dari kotak
itu meski jalan keluarnya terbuka lebar. Kalau kamu bertanya
kenapa aku masih bertahan di dalam kotak yang sempit dan
sesak itu, jawabanku hanya satu, Raf; karena aku masih ingin,

313
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

dan aku masih sayang, dan aku tidak ingin menyerah—aku


percaya kamu, Raf, meski memercayai kamu adalah hal tersulit
untukku, tetapi aku tetap memilih untuk berusaha. Once in a
lifetime, we fall in love with each other, so madly in love, and I don’t
think love will go away that easy. So I’ll just keep believing.
“Lucil, kok bengong?” Jentikkan jari Noah di depan
wajahku kontan mengeluarkanku dari lamunan. Kupaksakan
seulas senyum ke arahnya, berusaha menutupi sorot sedih yang
mungkin muncul di wajahku selagi rasa sesak menguasai dada.
“Nggak gimana-gimana,” ujarku pada akhirnya toh sia-
sia saja menutupi semuanya dari Noah. “Dia tetap jadi dia
yang biasanya—nggak terbaca dan penuh rahasia, sementara
gue masih jadi gue yang sama—Kejora yang naif dan sabar
menghadapi dia. Tadi pagi kita sempat ngobrol, dia bilang bakal
balik ke Jakarta hari ini. Libur seminggu habis itu ada job di
Sumatera. We’re trying our best, though.”
Aku tertawa pahit dalam hati saat mendengar kalimat yang
baru saja kulontarkan. We’re trying our best, atau hanya aku yang
mencoba semampuku, Raf?
Screw me. Apakah bahkan masih ada kata kita?
Noah melirikku dari sudut matanya. “Lo nggak apa-apa?”
tanyanya pelan. Rasa khawatir terpancar jelas dari manik
kebiruan miliknya. “Maksud gue, setelah semuanya, lo masih
memutuskan untuk bertahan?”
“Dia minta maaf, Noah.” Aku tersenyum pahit. “Dia tau dia
salah.”
“Kadang maaf aja nggak cukup, Lucil. Maaf nggak bisa
menyelesaikan semuanya,” tandas Noah langsung, terdengar
kesal meski aku tahu dia berusaha keras menyembunyikannya.

314
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Aku tidak menyalahkan Noah jika dia mulai merasa


terganggu dengan sikapku yang lemah. Aku tahu aku bodoh
karena terus-menerus memaafkan kamu meski kesalahan
yang kamu buat bukanlah hal yang layak untuk memperoleh
maaf. Tetapi, Raf, jika kamu berada di posisiku dan jika kamu
merasakan hal yang sama denganku, kamu akan mengerti. “Gue
hanya … berusaha memberi dia dan diri gue satu kesempatan
terakhir. Gue janji ini yang terakhir. If he screw up this time, I-I’ll
let him go.”
Noah menatapku lama dengan sorot aneh setelah aku
mengucapkan kalimat itu. “Lo menua,” ucapnya tiba-tiba,
membuatku kontan mengernyit bingung.
“Apa?”
“Ngomong lo tua banget. Gue berasa lagi ngobrol sama
akun Twitter galau,” cibirnya, membuat suasana muram yang
sempat menyelimuti kami hilang seketika. “Ini lagi kantong
mata numpuk. Awas bentar lagi kerutan muncul di mana-
mana.”
“Dih, dasar gila,” dengusku, tak kuasa menahan geli.
Noah tertawa pelan seraya menabrakkan bahunya ke
bahuku, membuatku melayangkan pukulan ke lengannya
lantaran keningku hampir saja mencium kaca karena
perbuatannya. “Habisnya lo serius banget, sih,” balas Noah
santai. “Senyum dong, Lucil. Cemberut mulu. Yang perlu lihat
senyum lo bukan cuma Rafa doang, gue juga butuh, kali.”
Meski sempat memutar mata, aku akhirnya
menyunggingkan seulas senyum paling lebar yang aku punya ke
arah Noah, membuat sahabatku itu mengacak rambutku. “Gitu
dong,” ucapnya bangga seakan anaknya baru saja memenangkan

315
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

liga sepak bola tingkat nasional. “Kalau kata Harry Styles sih,
‘you light up my world like nobody else’, gitu.”
Kali ini aku ganti aku yang tertawa. “Lah, jadi ngefan sama
One Direction juga sekarang?”
“Dih,” Noah bergidik ngeri saat mendengar ucapanku.
“Amit-amit.”

“Lucil, hidupin TV ya, kalau nggak salah hari ini ada Finding
Nemo di channel 8. Buruan. Gue mau ke toilet dulu,” suruh
Noah begitu kami menginjakkan kaki di ruang tamu rumahku.
Aku mengernyit heran seraya meletakkan bungkusan
makanan cepat saji yang tadi sempat kami beli di meja yang
terletak di depan TV, sebelum mencari remote di sela-sela bantal
yang memenuhi sofa. “Finding Nemo? Kan lo udah sering
nonton.”
“Biarin. Gue kan mau keep swimming. Just keep swimming,
just keep swimming.” Noah berjoget heboh seraya menekuk
tangannya dengan gaya aneh yang mungkin dimaksudkan agar
menyerupai sirip—tetapi sejujurnya lebih mirip gaya chicken
dance—seraya memelesat ke kamar mandi. Aku hanya bisa
menggeleng melihat tingkah sahabatku itu. Jauh di dalam hati
aku tahu apa penyebab Noah bertingkah konyol hari ini; dia
ingin aku tersenyum dan melupakan semua masalahku. But
isn’t it too impossible to happen?
Jariku yang menekan tombol untuk mengganti channel
kontan berhenti saat melihat nama kamu di headline sebuah
acara gosip. Langsung saja aku mengambil tempat seraya

316
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

membesarkan volume agar bisa mendengar jelas gosip apa pun


yang nantinya akan muncul.
Sedetik kemudian, wajahmu dan Marlene muncul di layar.
Kalian berdiri bersisian, membelakangi sebuah tembok hitam.
Mungkin di backstage setelah konser? Entahlah, aku juga tidak
tahu. Puluhan wartawan mengelilingi kalian. Perekam, ponsel,
dan blitz kamera tak henti-henti diarahkan pada kamu dan
Marlene. Aku bertopang dagu, apa lagi ini?
“Jadi, Raf, bagaimana persiapan konser tunggal Constant
Star sejauh ini? Sudah rampung atau masih ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan lagi?” tanya salah seorang
wartawan wanita yang wajahnya tak disorot oleh kamera.
Aku tahu konser itu. Konser tunggal yang akan kalian
langsungkan awal bulan depan. Salah satu mimpi kamu yang
lagi-lagi terkabul menjadi nyata.
Kamu tersenyum sopan ke arah wanita itu sebelum
menjawab, “Ah, untuk konser pertama Constant Star, gue
mohon doanya supaya semuanya lancar. Sejauh ini gue, anak-
anak, dan crew udah berusaha semaksimal mungkin agar
konsernya sukses dan bisa menghibur kalian semua. Gue
pribadi sangat excited. Gue harap kalian suka.”
“Lalu, bagaimana dengan Marlene? Apakah Marlene akan
tampil di konser Constant Star sebagaimana kalian tampil
di konser Marlene beberapa bulan lalu?” sambar salah satu
wartawan lagi begitu kamu menyelesaikan ucapan.
Kali ini kamu melirik Marlene sekilas sebelum tertawa
kecil. “Of course. Tentu aja Marlene bakal jadi salah satu pengisi
acaranya. It’s an honour for us to have such a talented singer on
our big day,” tuturmu, membuat Marlene mendengus seraya
menyikut lenganmu. Kamu menahan tangannya. Gerakan itu,

317
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Raf, gerakan tanganmu saat menahan lengannya benar-benar


halus. Lembut. Seakan kamu sudah melakukannya jutaan kali.
Seakan kalian sudah sering bercanda dan kamu tahu kalau dia
akan melakukan hal itu. Aku tidak tahu rasa apa yang membakar
dadaku saat melihat adegan itu. Apa itu cemburu? Tetapi, kalau
memang cemburu, kenapa rasanya melelahkan sekali, Raf?
“Satu pertanyaan terakhir sebelum kalian pergi,” cetus
salah seorang wartawan, membuat kamu dan Marlene langsung
menoleh ke arahnya dengan alis dinaikkan. “Selama ini kan
banyak banget gosip tentang hubungan kalian. Jadi, gimana
nih? Are you two oicially dating?”
Jeda yang cukup lama mengisi keheningan ruang tamuku.
Heningnya terlalu menyakitkan, Raf. Mendadak jantungku
seakan berdetak terlalu keras, terlalu cepat. Aku bahkan tidak
bisa membedakan keheningan dan riuh yang ditimbulkan
oleh gemuruh yang beradu di dalam diriku. Pertanyaan itu,
bagaimana kamu akan menjawabnya?
Kamu dan Marlene menatap satu sama lain selama
beberapa saat. Seakan berbicara lewat isyarat mata. Perempuan
berambut merah itu meraih lenganmu, menggenggamnya erat,
dan mengatakan satu kalimat dengan nada ceria yang sukses
membuat duniaku runtuh seketika. “We’re so glad to inform you
that we are oicially dating now.”
Sesuatu terasa pecah dalam diriku. Entah itu hati, rasa,
atau kepercayaan yang telah kubangun bertahun-tahun
padamu. Semuanya pecah berkeping, seperti gelas kaca yang
tanpa sengaja tersenggol oleh seseorang yang bahkan tak
berniat untuk menoleh ke belakang dan melihat gelas itu jatuh
dan menjadi serpihan runcing. Aku ingin berteriak. Aku ingin
menangis, tetapi tidak ada suara, tidak ada air mata, tidak

318
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

ada satu hal pun di dunia ini yang mampu menggambarkan


kesedihanku.
Tubuhku kaku, Raf. Di benakku jutaan kalimat, jutaan
perintah akan apa yang seharusnya aku lakukan silih berganti,
tetapi toh aku hanya bisa diam, meratapi lubang kosong yang
tiba-tiba muncul di rongga dada. Siapa yang harus kusalahkan
atas semua rasa sakit ini, Raf? Aku ingin menyalahkan kamu.
Namun, di satu sisi kamu pernah menjadi alasanku untuk
bahagia. Aku … aku tidak tahu, Raf. Aku tidak mengerti apa
yang harus aku lakukan.
“Gue tau Rafa memang bodoh, tapi gue nggak nyangka dia
sebodoh ini.”
Kalimat yang diucapkan Noah tiba-tiba dari balik tubuhku
dengan emosi tertahan menyeretku keluar dari belenggu
pikiranku. Cepat-cepat aku meraih remote dan mematikan TV.
Seharusnya, Noah tidak melihat itu. Cukup aku. Seharusnya,
Noah tidak perlu tahu. Cukup aku.
“Hei, Lucil.” Hangat jemari Noah yang menggenggam
tanganku melepaskanku dari lamunan yang tanpa kusadari
menjeratku. “Lo … tangan lo gemetaran.”
“Ya-ya, gue tau,” balasku parau.
Kali ini Noah mengusap kepalaku lembut, berusaha
menyalurkan ketenangan dan kekuatan padaku. Namun, aku
terlalu kacau, terlalu lemah, terlalu kalut untuk memahami
situasi, memahami apa yang dia coba lakukan. Aku merasa
… seakan kehilangan arah. “Lo, you’re gonna get through this,”
ucap Noah lagi, satu tangannya menangkup pipiku, berusaha
mengeluarkanku dari pikiranku sendiri. Namun, emosi dan rasa
yang membuncah di dalam batinku terlalu besar, Raf, aku … aku
tidak mampu menahannya lagi.

319
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Cara kamu menatapnya, cara kamu tersenyum padanya,


cara kamu menyentuh perempuan berambut merah itu, aku
bisa melihat semuanya. Semua orang yang memiliki mata juga
tahu kalau apa yang didasarkan pada kepura-puraan tidak akan
terlihat seperti itu. Kamu dan Marlene, kalian tidak lagi terlihat
seperti dua orang yang dipersatukan karena tuntutan pekerjaan.
Hari itu, kalian terlihat seperti dua orang yang bersatu karena
memang ingin bersama. Tidak ada paksaan. Tidak ada tuntutan.
Tidak pula berpura-pura.
Satu yang aku tahu pasti; sedikit banyak, rasa itu telah
muncul di dalam dadamu untuknya.
“Noah,” panggilku pelan, suaraku terdengar jauh lebih
buruk dari seseorang yang habis menangis semalaman. “Lo
sahabat gue, kan?”
Noah mengangguk meski dia terlihat tidak mengerti
kenapa aku menanyakan hal itu. Aku tersenyum kecil, membalas
genggaman tangannya erat. “Kalau lo sahabat gue, dan lo peduli
sama gue, tolong anterin gue. Ketemu Rafa. Sekarang.”
“Tapi, tapi lo nggak stabil sekarang, Kejora,” sergah Noah.
“Lo mau ketemu dia, terus apa? I’m not letting you explode like a
big-bang there. Just no.”
“So what if I explode?!” teriakku bahkan tanpa kusadari.
“Gue dan Rafa, kami adalah bom waktu dan gue, gue udah
terlalu lama berusaha mengulur agar bom itu nggak meledak.
For what? For nothing. Gue capek, Noah. Gue capek. It’s all useless
and I—“
Aku tidak pernah menyelesaikan kalimatku karena detik
berikutnya Noah menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya
yang besar dan hangat mengusap punggungku berkali-kali,
berusaha menenangkanku tanpa kata-kata. Kali ini sesak yang

320
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

teramat sangat memenuhi dadaku. Air mata yang tadinya


menolak untuk turun perlahan meluncur. Satu tetes. Dua tetes.
Terus dan terus hingga derasnya tak dapat kubendung lagi.
Aku menangis. Kutenggelamkan wajahku di bahu Noah selagi
isakan demi isakan meluncur dari bibirku.
You see, Raf, bersama kamu mungkin adalah salah satu hal
paling indah yang pernah terjadi di hidupku, tetapi perlu kamu
tahu, bahwa bersama kamu jugalah hal paling menyakitkan
dalam hidupku terukir. Dan jika aku diberi kesempatan untuk
mengulang waktu, aku tidak yakin apakah aku akan memilih
jalan yang sama—jalan aku mengenal kamu. Because, Raf, if I
didn’t know you, if us never happen, then maybe I didn’t have to
sufer so much.

Studio Band milik keluarga Karel berdiri tegak di hadapanku.


Aku tidak pernah benar-benar memperhatikan bangunan itu
sebelumnya. Temboknya yang dicat oranye, papan besar yang
bertuliskan ‘K’s Studios’ dengan ornamen bintang berwarna
kuning terang di sekitarnya, dan jendela kaca bening yang
memungkinkan pengunjung untuk melihat ke dalam. Aneh.
Aku sering kali berada di sana, di ruangan yang terletak tiga
pintu dari tangga lantai dua. Satu-satunya ruangan yang
memiliki balkon dan karpet bulu empuk tempat kamu dan
teman-temanmu berbaring setiap selesai latihan. Namun, aku
tidak pernah menyadari detail-detail itu sebelumnya.

321
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Pun aku menghela napas berat. Tempat ini, aku punya


irasat bahwa setelah hari ini aku tidak akan berkunjung ke sini
untuk waktu yang lama.

Klana Deva
We’re upstairs. Di tempat yang sama seperti biasa. Nggak perlu
khawatir, cuma ada gue, Karel, Adrian, dan Rafa. I’ll be waiting.

Kubaca sekali lagi pesan dari Klana yang tertera di


layar ponselku dan lagi-lagi menghela napas berat. Sebelum
memutuskan menemui kamu dan menanyakan semuanya
langsung padamu, aku menghubungi Klana terlebih dahulu,
memastikan kamu dan teman-temanmu berada serta menahan
kalau-kalau kamu ingin pergi.
Dengan langkah berat, aku berjalan memasuki studio,
melemparkan senyum kaku pada penjaga yang langsung
menyuruhku naik dan mengatakan kalau kalian sudah
menunggu. Aku tersenyum pahit tanpa sadar. Kamu tidak
menungguku hari itu. Kamu bahkan tidak tahu aku datang.
Saat berada tepat di depan ruangan yang biasa kalian tempati,
kutarik napas dalam-dalam. Kukeraskan pijakanku di tanah.
Tidak ada kata mundur. Apa pun yang terjadi, aku ambil
risikonya. Kita sudah terlalu lama bermain-main di dunia yang
penuh abu-abu, Raf. Aku mencari hitam dan putih sekarang.
Derit pintu yang memecah sunyi membuat seisi penjuru
ruangan menoleh ke arahku begitu aku melangkah masuk.
Klana menyelipkan senyum samar saat mata kami beradu,
sementara Karel dan Adrian menatapku dengan sorot yang
seakan berusaha mengirim kekuatan. Aku balas tersenyum
ke arah mereka. Untuk semua perhatian dan rasa peduli yang

322
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

mereka berikan padaku, aku tidak akan pernah bisa berhenti


berterima kasih.
“Kejora ....” Kamu terlihat kaget saat mendapati aku berdiri
di depan pintu. “Hei, kok kamu nggak telepon dulu? Kalau kamu
kabarin kan gue tahu kamu mau datang.”
Aku menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, aku juga nggak
akan lama.”
Kamu memilih untuk diam. Atmosfer di antara kita, aku
tidak bisa mendeskripsikannya. Namun, semuanya terasa asing.
Kaku. Penuh rasa yang tidak seharusnya ada. Sesak akan jutaan
kata yang tidak terucap. Kata-kata itu, mau sampai kapan kita
simpan dalam benak masing-masing, Raf?
“Rafa,” panggilku setelah hening yang cukup lama. “Aku
mau tanya, satu kali aja dan aku harap kamu jujur. Aku harap …
nggak ada lagi yang kita tutupi dari satu sama lain.”
Rahangmu mengeras. Jauh di dalam hatiku, aku tahu
kalau kamu telah mengetahui apa tujuanku datang dan apa
pertanyaan yang ingin kulontarkan. Tetapi, kamu yang hari itu
duduk di hadapanku, Raf, terlihat keras hati. Kamu bertahan
pada apa yang ingin kamu percayai tanpa memedulikan orang
lain. Kamu egois. Aku tidak mengenalmu hari itu. Tidak sama
sekali.
“Kamu sama Marlene,” mulaiku berat. “Itu bukan sekadar
settingan Label aja, kan, Raf? Sebagian diri kamu … punya rasa
buat dia, kan? Sekarang semuanya nyata, kan?”
Satu detik.
Dua detik.
Lima detik.
Hening.

323
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Baik aku, kamu, dan teman-temanmu, tidak ada satu orang


pun di antara kita yang berani mengeluarkan suara. Semua mata
mengarah padamu, menanti jawaban macam apa yang akan
keluar dari bibir kecilmu. Kebohongankah? Atau kejujuran?
“Apa-apaan sih, Ra?” Itu, adalah kalimat pertama yang
meluncur dari bibirmu. “Kamu datang tiba-tiba, bukannya
tanya kabar atau bilang halo malah langsung tanya hal nggak
jelas kayak gini? Kamu sebenarnya kenapa sih?”
Kuembuskan napas berat selagi aku mengeluarkan ponsel
dari kantung celana. Kusibukkan diri mengutak-atik layarnya
selama beberapa saat sebelum meletakkannya di atas meja
yang terletak tepat di hadapanmu, meninggalkanmu dengan
sebuah video dan volume penuh yang mulai berputar selagi
aku kembali berdiri di sudut ruangan, mengambil jarak sejauh
mungkin darimu.
Video itu mulai berputar. Suara kamu, desas-desus
wartawan, suara Marlene. Semuanya berbaur menjadi satu.
Kalimat demi kalimat. Tawa renyah dan helaan napas. Semua
sambung-menyambung sampai pada akhirnya aku bisa
mendengar Marlene mengucapkan satu kalimat itu. Satu kalimat
yang membuatku ingin meludah setiap kali mendengarnya.
Dia telah mengambil sesuatu yang bukan miliknya, Raf, tetapi
kenapa bukannya merasa malu, dia malah terdengar sangat
bangga akan hal itu?
“Kamu bilang kalau itu semua cuma pura-pura, Rafa.
Kalau itu semua cuma tuntutan pekerjaan. Kamu minta aku
untuk percaya sama kamu—hanya percaya sama kamu. Tapi,
gimana aku bisa melakukan hal itu kalau semua yang keluar
dari mulut kamu selama ini adalah kebohongan?” Pertanyaan
itu kusuarakan dengan lirih. Kamu pernah memintaku

324
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

untuk memercayaimu, Rafa, dan hal itulah yang kulakukan.


Kuhabiskan ratusan hari untuk memercayai orang yang tak
selayaknya memperoleh rasa percayaku. Kenyataan itu …
menghantamku tepat di dada, menimbulkan sesak yang
menyulitkanku untuk bernapas.
Kamu menatapku nyalang, bibirmu setengah terbuka,
berusaha mencari kata-kata yang tak mampu kamu temukan.
“Ra—”
Aku tidak membiarkanmu melanjutkan kalimat karena
detik berikutnya, seluruh tubuhku sudah diambil alih oleh
emosi yang mengalir di pembuluh darahku. “Apa lagi, Raf?”
potongku cepat. “Kamu mau bilang kalau aku salah paham?
Kamu mau bilang kalau aku sok tau tentang perasaan kamu?
Kamu kira kita baru kenal kemarin apa? Kamu kira setelah tiga
tahun bersama kamu, aku nggak cukup mengenal kamu untuk
tau kalau kamu punya rasa buat perempuan itu? Demi Tuhan,
Raf, jangan coba-coba kamu bilang nggak karena aku tau pasti
rasa itu ada meski hanya seujung kuku.”
Kamu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan,
menenggelamkannya di sana selama beberapa saat sebelum
berkata, “Oke, Kejora, gue minta maaf—”
Maaf, maaf, dan maaf. Itu satu-satunya hal yang terus-
menerus kamu katakan. Seakan setiap kamu mengucapkan
maaf kamu bisa mengambil kembali luka yang telah kamu
torehkan. Seakan dengan setiap kata maaf yang kamu ucap
kamu mampu menyembuhkan setiap retak dan patahan yang
menjalar di dalam diriku. Tetapi kamu salah, Rafa. Kata maaf
tidak mampu menyelesaikan semuanya. Kata maaf, tidak ada
artinya jika kamu kembali mengulangi kesalahanmu.

325
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Maka, dengan emosi yang sejak lama kupendam aku


memotong, “Harus ya, Rafa, aku tau di saat semua orang udah
tau terlebih dahulu? Harus ya, Rafa, aku tau dari media massa,
dari tayangan gosip murahan di televisi, dan bukannya dari
mulut kamu sendiri? Sesulit itu buat kamu ngomong ‘maaf, Ra,
tapi gue rasa perasaan gue udah nggak sama lagi buat kamu’
sehingga kamu merasa lebih gampang untuk bohongin aku?
Kamu pernah mikir nggak sih?!” teriakku frustrasi. Aku lelah,
Raf, jangan salahkan aku karena berteriak. Satu-satunya yang
aku butuhkan hanyalah mengeluarkan semuanya.
Kamu terlihat kaget dengan sikapku. Mungkin kamu
bertanya-tanya, ke mana Lucillia Kejora yang lemah lembut?
Entahlah, Raf, kamu adalah alasan sisi itu pergi dari diriku.
“Oke, Kejora.” Kamu mencoba menenangkanku. “Gue tau
apa yang kamu rasain. Gue ngerti kalau ini keterlaluan. Gue—“
“Kamu tau apa, Raf?” sergahku kesal. “Kamu selalu
bertingkah seperti ini. Bertahun aku selalu berada di samping
kamu, tapi kamu nggak pernah mau terbuka sama aku. Kamu
selalu menyimpan semuanya sendiri. Kamu nggak pernah sekali
pun membiarkan aku masuk ke dunia kamu.” Kali ini nada
suaraku melemah, seiring dengan tubuhku yang mendadak
lemas. “Aku capek, Raf. Kadang aku berharap bisa membaca
semua pikiran kamu. Supaya aku bisa memahami kamu, lebih
mengerti kamu, membantu kamu keluar dari hal-hal yang
membebani kamu dan membuat kamu sedih. Tapi kenyatannya
apa, Raf? Selamanya aku akan selalu jadi orang asing yang
berdiri di depan pintu kecil yang menembus ke dunia kamu, dan
meski aku mengetuknya berkali-kali, kamu nggak akan pernah
mengizinkan aku untuk melangkah lebih dalam.”

326
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kali ini kamu bangkit dari tempat dudukmu. “Kejora, lo


nggak ngerti,” ucapmu seraya mengambil langkah lebar ke
arahku, terlihat kesal denganku dan kalimat-kalimatku. “Gue
udah pernah bilang kan sama lo semuanya udah beda.”
“Damn right.” Aku memutar mata, kesal. “Kamu benar,
Raf. Semuanya memang udah nggak sama lagi. Tapi, aku masih
melihat kamu sebagai orang yang sama; anak laki-laki tujuh
belas tahun yang sangat mencintai musik dan nggak pernah
berhenti mengejar impiannya—“
“here you go again, Ra. Quit acting like you are Quentin
Jacobson and I’m Margo,” potongmu kasar. “Gue memang masih
mencintai musik dan nggak pernah berhenti mengejar impian
gue, tapi gue bukan lagi anak laki-laki tujuh belas tahun yang
sama seperti dulu. Jangan harap gue bisa seperti dulu lagi.”
Kalimat yang terakhir kamu ucapkan, nada bicara dan sorot
matamu benar-benar dingin saat kamu menatapku. Emosi yang
tadinya mulai mereda pun kian membuncah di dalam dadaku.
“Berhenti ngucapin kalimat itu karena aku udah capek
dengarnya!” teriakku lagi. “Aku tau dan aku nggak berharap
sama sekali kamu kembali jadi kamu yang dulu. Aku cuma minta
satu, Raf, make it clear. Kamu masih ada di dalam hubungan ini
atau nggak. Aku capek berjuang sendirian.”
here I said it. Kalimat yang selama beberapa bulan terakhir
menghantuiku akhirnya meluncur dengan jelas dan lugas.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat Karel, Klana, dan Adrian
melirikmu dengan air muka tegang. Namun, tidak ada satu
orang pun di antara mereka yang berani buka suara.
Kamu sendiri menatapku lekat untuk waktu yang cukup
lama. Binar di matamu meredup. Senyum yang dulunya selalu
melukis wajahmu hilang tak berjejak. Kamu terlihat lelah, Raf.

327
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Sama lelahnya denganku. Tetapi, apa boleh buat kan, Rafa? Kita
tidak bisa berputar di dalam lingkaran yang sama selamanya.
Cukup lama aku menunggu kamu buka suara, menunggu
kamu memperjelas semuanya. Tetapi, nyatanya apa yang
kudapat? Kekosongan. Hening. Kamu terlalu pengecut untuk
memilih. Pada akhirnya, aku hanya bisa menggeleng tak percaya
sebelum bergegas berjalan ke arah pintu. “You know, Raf, I know
that you always wanted to be a lot of things. But I don’t think that
being with me, is one of the thing that you wanna be.”
Aku sudah menarik handle pintu saat mendengar kamu
memanggil namaku. “Kejora, tunggu.” Kutolehkan kepalaku,
menunggu kalimat macam apa yang akan kamu ucapkan.
Apakah kamu akan memintaku untuk bertahan, Raf? Apakah
aku masih cukup berarti di matamu? Namun, semua sisa
harapanku harus kukubur paksa saat mendengar kamu berkata,
“Look, Ra, I think we should take a break.”
“Apa?”
“his is too much for us, lo ngerasa nggak sih?” tanyamu
seraya mengangkat kedua tangan.
Aku mengerjap tak percaya. “Jadi, maksud kamu kita
udahan aja?” Bukannya aku tidak memperkirakan hal itu akan
terjadi. Hanya saja … aku kira masih ada harapan untuk kita,
Raf. Tetapi, kurasa lagi-lagi aku terlalu naif, kan? “Lebih baik
begitu, Raf?”
“Gue nggak bilang putus, Ra—damn it!—gue bilang break,
oke?” tukasmu lagi dengan nada yang dinaikkan satu oktaf.
“Gue pikir akan lebih baik kalau kita berhenti menemui satu
sama lain untuk beberapa saat sampai keadaan tenang dan
kita bisa mulai semuanya dari awal karena gue yakin kita sama-

328
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

sama tahu kalau hubungan kita yang sekarang ini benar-benar


berantakan.”
Untuk waktu yang cukup lama aku menatapmu nanar
sebelum kembali menarik daun pintu dan menayakan satu
pertanyaan dengan suara serak, “Kenapa lo nggak putusin gue
aja sekalian, Raf?” Lalu, dengan sisa kekuatan yang aku punya,
kuputuskan untuk menorehkan hitam di atas abu-abu yang
tadinya menaungi kita. “I’m done.”

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

329
pustaka-indo.blogspot.com
Suatu Hari Nanti
Day 17: Dubai—Jakarta
26 Juli.

Untuk Rafael Leonardi


(Yang hari ini, besok, dan seterusnya akan selalu membuatku
bertanya-tanya kenapa; bukankah kita ditakdirkan untuk satu
sama lain?)

Ada banyak cara untuk menyembuhkan hati yang patah;


menangis semalaman sambil memeluk boneka beruang besar
ditemani setumpuk tinggi tisu, pergi ke bar terdekat dan
menenggak habis semua persediaan tequila yang mereka punya,
atau bahkan mencari orang lain sebagai pelarian. Pelampiasan.
Apa pun itu yang mampu mengurangi denyut nyeri yang
mengisi dada saat kita menarik napas.
Menurutku, tidak ada yang salah dengan semua itu. Ya,
tentu saja beberapa orang menganggap mabuk-mabukan dan
mempermainkan orang lain sebagai satu dari sekian banyak
bentuk kejahatan. But when the heart breaks, you don’t think much
of other people. It’s like the pain control you. It consume your whole
being. Satu-satunya yang ada di pikiran mereka yang hatinya
patah adalah; apa yang harus kuperbuat agar rasa sakitnya

pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

pergi? Believe me, there’s nothing you can do to blow the pain away.
Despite all the efort that you do, it won’t stop hurting.
Maafkan aku yang sukses memulai surat ini dengan sangat
pesimis dan menyedihkan. Banyak orang yang mengatakan
kalau berada ribuan kaki jauhnya di atas tanah merupakan
tempat yang paling baik untuk berpikir. Mereka berkata kalau
pada saat kita mengudara, saat kita berada di antara gumpalan
awan putih dan langit biru yang jernih, di sana pulalah pikiran
terbuka lebar. Semua yang tadinya abu-abu akan perlahan
menjelma menjadi hitam dan putih.
Anehnya, bukannya semakin jernih, di dalam pesawat yang
membawaku langsung dari Dubai menuju Indonesia ini, alam
bawah sadarku malah memutar salah satu adegan dari ilm 500
Days of Summer tanpa alasan yang jelas sejak pesawat pertama
kali lepas landas. Di dalam adegan itu, Tom yang telah tertampar
kenyataan kalau Summer akan menikah berbaring di atas kasur
seraya mematikan alarmnya yang berbunyi nyaring. Berulang
kali. Berhari-hari. Hidupnya bagaikan mati. Tanpa arah, tanpa
tujuan. Hingga pada satu titik dia memutuskan untuk bangkit
dan memulai semuanya dari awal.
Sedikit banyak Tom mengingatkanku pada diriku sendiri
sepeninggal kamu. Awalnya memang berat—sangat berat,
malah. Sulit bagiku untuk melihat ponsel tanpa berharap
namamu akan muncul memenuhi layar. Sulit bagiku untuk
melihat buku-buku yang berjajar rapi di kamarku tanpa
teringat dengan kebiasaanku membaca di windowsill kamarmu
selagi kamu sibuk dengan kegiatan musikmu. Sulit bagiku
untuk menyeruput cokelat panas dengan marshmallow yang
memenuhi permukaannya tanpa teringat canda yang kita bagi

331
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tiap kali kita bersama. Terlebih lagi, Raf, sulit bagiku untuk
melihat bayanganku sendiri tanpa melihat kamu di sisinya.
I was such a mess. A huge one.But you see, eventually I woke up.
Seperti Tom yang memutuskan kalau dia sudah terlalu lama
larut dalam kesedihan, aku pun bangkit dari keterpurukan,
berusaha kembali menata hidup. Aku terbang sejauh mungkin
ke Benua Eropa, memulai hidup baru dengan suasana baru dan
jarak sejauh mungkin dari kamu.
Awalnya aku berpikir, tidak mungkin aku bisa kembali
menjadi aku yang dulu tanpa kehadiranmu, sementara kamulah
yang melengkapi separuh aku. Namun, lama-kelamaan, setelah
menjalaninya suka atau tidak suka, aku sadar kalau aku mungkin
memang tidak akan pernah bisa kembali menjadi aku yang
dulu—melainkan menjadi aku yang baru. Aku tanpa kamu.
hen here I am now, sitting miserably while writing down
all the feelings that burden me for far too long. Eventually, I grow
stronger. Mungkin aku memang belum bisa melupakan kamu
sepenuhnya. Aku tahu itu dan aku sadar betul. Namun, satu hal
yang bisa kubanggakan dari diriku saat ini adalah aku mampu
untuk terus bergerak maju meski luka yang kamu torehkan
padaku tak akan pernah benar-benar sembuh.
If there’s one thing I learn from all the heartache, it’s the fact
that you can mess with someone’s life. You can tore them until they
are nothing but pieces. You may make them sufer but that doesn’t
mean you stop them from moving forward.
Selama tekad itu masih ada, orang-orang yang patah hati
tidak akan pernah benar-benar mau membiarkan diri mereka
jatuh terpuruk di lubang gelap. Mereka pasti akan bangkit
untuk membuktikan kalau mereka mampu. Mereka masih bisa

332
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

bertahan meski separuh hatinya dibawa pergi oleh para pencuri


hati yang tak berniat memberikannya kembali.

Beberapa minggu setelah perpisahan kita, aku mendapati


diriku sendiri berbaring di atas rerumputan basah yang
terletak di halaman belakang rumah Noah, seraya memandang
senja yang menyingsing di langit sore. Senja sore itu terasa
hangat dan familier. Mengingatkanku dengan satu senja yang
selamanya akan selalu terpatri di ingatanku. Senja ketika kamu
memintaku untuk menggenggam tanganmu dan melangkah
ke depan denganmu tanpa ragu. “Whatever it takes, as long as
you’re happy with me, I’ll try my best”. Itu satu kalimat yang dulu
meluncur mulus dari bibirmu tetapi kini hanya bisa terngiang
di telingaku. Whatever it takes, you said, tetapi kenapa kenyataan
berkata lain, Raf?
You did do whatever it takes … but not to make me happy.
“Hei, Lucil,” sapaan singkat dari Noah sukses
mengeluarkanku dari lamunan. Kulemparkan seulas senyum
tipis pada Noah yang ikut berbaring di sebelahku. Mengenyahkan
satu dari sejuta sepi yang kian menghantuiku sejak kamu pergi.
“Tumben ke sini, ada apa?” tanyanya bingung.
Alih-alih menjawab pertanyaannya, kuacungkan sebuah
amplop putih dengan ujung yang sudah mengerut. Meski terlihat
heran, Noah tidak banyak bertanya. Sahabatku itu langsung
saja meraih amplop tersebut dan mengeluarkan isinya sebelum
membaca kata demi kata yang tertera di sana. Wajahnya kian
bercahaya. Senyumnya tidak dapat disembunyikan.

333
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Goddamn it, Lucillia Kejora, you freaking made it to UK!”


teriaknya seraya mengguncang bahuku semangat. “Pardon my
language, of course, tapi lo lulus di UCL dengan beasiswa? You
should be screaming or hyperventilating or … I don’t know, anything
other than being calm, maybe?”
Kontan aku tertawa saat mendengar kalimat yang diucapkan
Noah dengan dahi berkerut itu. “Well, gue udah nari salsa tiga
jam di rumah sebelum ke sini saking senangnya,” jawabku asal.
Noah, sebagai orang yang memahamiku luar dalam, tentu saja
langsung melemparkan tatapan sengit yang menandakan kalau
dia tahu aku berbohong.
Truth be told, aku tidak merasakan apa pun saat membaca
surat itu untuk kali pertama. Aku ingat momen ketika merobek
amplopnya, membuka lipatan kertasnya, semuanya berjalan
lambat untukku. Namun saat aku membaca kata demi katanya,
satu-satunya yang kurasakan hanyalah hambar. Ya, aku tahu aku
seharusnya berteriak dan melompat sampai energiku habis. I
got accepted on the freaking UCL. Aku harusnya sangat bersyukur
karena kerja kerasku selama ini tidak sia-sia. But what am I
supposed to do, Raf? Membaca surat itu, mengingat fakta bahwa
aku akan pergi jauh—sangat jauh—membuat benakku kembali
memikirkanmu.
Aku ingin berbagi kebahagian itu dengan kamu, Raf. Aku
ingin kamu menjadi orang pertama yang tahu bahwa Lucillia
Kejora yang biasa-biasa saja, yang sama sekali tidak spesial,
kini berusaha menaiki tangga berbatu yang mungkin mampu
menempanya menjadi seseorang yang lebih baik dari sosok
sebelumnya. Aku ingin melihat senyum di wajahmu dan sorot
hangat yang terpancar dari kedua matamu saat kamu membaca
surat itu. Aku bahkan bisa merasakan hangat yang memenuhi

334
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dadaku saat kamu memelukku erat dan berkata, “I know you’ll


make it, Kejora. Another step closer to our dreams.”
But you see, all those images, it’s just an illusion.
Kamu bahkan tidak tahu aku mengikuti tes beasiswa
tersebut. Kamu bahkan tidak setuju jika aku berangkat ke
Inggris. Terlebih lagi, mimpiku bukanlah satu dari sekian
juta hal yang hadirnya kamu syukuri. Dan fakta bahwa kamu
sudah tidak ada di sisiku lagi untuk memelukku dan menjadi
tempatku berbagi, cukup membuatku perlahan meneteskan air
mata, meski tidak ada isakan yang keluar dari bibir.
Noah tentu saja kaget setengah mati saat mendapati aku
dan tangisku. Sahabatku itu kontan menyentuh pundakku
perlahan, menatap mataku dalam seakan berusaha mencari
kejujuran di balik maniknya. “Are you okay?” tanyanya hati-hati.
Banyak orang yang berkata bahwa di saat kita sedih, marah,
kecewa, di saat ada jutaan emosi menumpuk di dalam dada
dan tiba-tiba saja seseorang muncul dan bertanya apakah kita
baik-baik saja maka seluruh perasaan yang tadinya tersimpan
rapi akan melebur keluar, mewujud menjadi tetes demi tetes
air selagi rasa sakitnya mengalir. Jadi, bisa ditebak, saat Noah
mengucapkan tiga kata magis itu, aku hanya bisa menangis
semakin keras seraya memeluk lutut.
Noah mengusap punggungku lembut. Momen seperti itu
bukanlah yang pertama untuknya. Semenjak perpisahan kita,
aku cukup sering menangis tanpa sebab jika tanpa sengaja
teringat dengan kamu dan kebiasaan kecilmu. Sebut aku
cengeng, aku tidak peduli. hat’s simply how I deal with my pain
of losing you.
Saat tangisku mulai reda, kuangkat kepalaku sedikit untuk
mengusap air mata yang menggantung di pipi. Noah duduk

335
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

tepat di sampingku, merengkuhku hati-hati, seakan takut aku


pecah kalau-kalau lengannya memelukku terlalu erat. Aku
menatapnya nanar. “God, Noah, I miss him.”
Noah tersenyum tipis, masih sambil mengusap punggungku.
“I know,” balasnya pelan.
“Does it always hurt this bad?” tanyaku serak. “To love
someone and to let them go, does it always hurt this bad?”
Tawa kecil meluncur dari bibir Noah. “Try loving someone
who doesn’t love you back. It makes you sufer more,” komentarnya
dengan senyum kecil.
Kalimat yang Noah ucapkan sukses membuatku
mengatupkan bibir. Cukup lama aku duduk dalam diam,
berusaha menghilangkan sisa tangis yang kian meninggalkan
jejak di wajahku, seraya menatap lurus ke langit sore, mengamati
setiap detail yang bisa kutatap dengan mata telanjang—pendar
keunguan di ujung cakrawala, titik-titik bintang yang mulai
bersinar, gradasi kuning, biru, dan jingga yang berantakan,
semuanya. Lalu, tanpa kusadari satu buah pertanyaan meluncur
keluar dari bibirku. “Noah,” panggilku pelan. “Have you ever been
in love?”
Pertanyaan itu kusuarakan bukan tanpa alasan. Aku
mengenal Noah sejak kami berdua masih berada di taman
kanak-kanak. Aku cukup mengenalnya untuk tahu kalau setiap
kalimat yang dia ucapkan tidak pernah sekadar angin lalu. Selalu
ada makna di baliknya. Kalimat yang baru saja Noah ucapkan
padaku, aku yakin lebih dari sekadar kata-kata yang digunakan
untuk menenangkanku.
Noah menoleh ke arahku dengan alis dinaikkan. Dia terlihat
kaget, tetapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. “Tentu,”

336
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

balasnya ringan. “Setiap orang pasti pernah jatuh cinta. Paling


mentok, ya, sama orangtuanya.”
Aku mendengus. “Gue serius, Noah.”
“Gue juga serius, Lucil.” Noah tertawa pelan, sementara aku
menatapnya dengan pandangan tidak setuju. Maksudku, waktu
itu aku benar-benar sedang tidak ingin bercanda. Aku patah
hati dan omonganku kacau. Akan lebih baik kalau dia tidak
bermain-main, kan?
Melihat sorot mataku, Noah menghentikan tawanya.
Sebagai gantinya dia tersenyum tipis. “Yeah, I do.”
“Kok lo nggak pernah cerita?” tanyaku spontan seraya
berusaha menghapus jejak air mata di wajah.
Noah menggaruk kepalanya yang aku yakin sebenarnya tidak
gatal. Dia biasa melakukan itu untuk menutupi kegugupannya.
“Memangnya penting, ya?” Noah balas bertanya, nyaris seperti
menggerutu.
Aku kontan memutar mata. “Iya, dong,” anggukku mantap.
“Gue selalu cerita semuanya ke lo dan lo punya hak serta
kewajiban yang sama ke gue.”
Kali ini Noah diam. Sahabatku itu terlihat mengembuskan
napas panjang, seakan ada satu dua hal yang membebani
pikirannya, tetapi tak bisa dia ungkapkan. Mau tidak mau
sikapnya membuatku sadar akan satu hal: fakta bahwa tidak
peduli dengan siapa dan kapan, jatuh cinta boleh jadi merupakan
penyebab rasa sakit yang paling fatal di dunia.
Tanpa kusadari tawa sumbang meluncur dari bibirku.
“Noah, apa memang rasanya sesakit ini, ya?” tanyaku pahit,
membuat Noah menghadiahiku tatapan nyalang. “Jangan nyela,
gue tau lo mau ngetawain gue karena gue terdengar sangat

337
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

menyedihkan sekarang. Tapi, jangan nyela, biarin gue ngomong


meskipun nggak jelas.”
Aku mengembuskan napas berat seraya mengalihkan
pandangan ke langit sore yang sinarnya kian meredup. Aneh,
Raf, seharusnya aku merasa lega karena telah berhasil lolos dari
belenggu hubungan kita. Namun, kenapa kini semuanya terasa
hambar?
“Lo tau apa yang paling aneh dari semua ini?” tanyaku
dengan senyum miris. “Kenyataan bahwa dia yang dulunya
berhasil membuat gue amat sangat bahagia sekarang malah
menjadi penyebab rasa kosong yang menyesakkan dada.
Maksud gue, masuk akal nggak sih? Kenapa orang yang paling
kita sayang malah punya potensi paling besar untuk menyakiti?”
Selama beberapa saat, Noah mengamatiku dalam diam.
Satu tangannya mengusap kepalaku lembut, berusaha
menenangkanku, membagi kekuatan yang dia miliki denganku
meski kami sama-sama lemah saat itu. “Lo hanya perlu
menahan sakitnya sebentar, Lucil,” ujar Noah setelah rasanya
lama sekali. “Karena suatu saat nanti, akan ada seseorang yang
datang untuk membalut luka lo dan berada di sana sampai luka
itu benar-benar kering dan sembuh. Trust me.”
Tawa kecil meluncur dari bibirku. “Ternyata lo masih punya
sisi melankolis juga ya, Noah?” Aku meliriknya seraya tersenyum
geli. “Tapi serius, siapa perempuan yang berhasil ngeruntuhin
dinding lo yang sekuat beton itu?”
“Ada satu perempuan.” Noah menggigit bibirnya, terlihat
ragu. Aku bisa memahami keraguannya. Ini kali pertama
kami membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan Noah
dan perempuan yang mungkin dia suka. “Dia baik, cantik,
tapi bego banget,” sambung Noah, membuatku tertawa pelan.

338
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Gue sayang sama dia, tapi gue sadar kalau gue cuma seorang
pengecut yang hanya berani menyayangi dia dari jauh.”
“Terus?” tanyaku penasaran.
Noah tersenyum ke arahku. Senyum itu. Aku tidak tahu
artinya apa. Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. “Ending-
nya gue merelakan dia sama orang lain. Udah, gitu aja,” jawabnya
ringan. Seakan fakta kalau kisah cintanya yang bertepuk sebelah
tangan itu bukan masalah besar.
“Kok lo bodoh banget, sih?” cetusku langsung, tanpa bisa
ditahan. “Maksud gue, kenapa nggak lo perjuangin? Kalau lo
sayang, seharusnya lo bertindak. Bukan cuma mendem doang.”
Noah menatapku dengan senyum dikulum. Tangan
kanannya kembali terangkat untuk mengusap puncak kepalaku.
“Lucil, Lucil, nggak semuanya perlu ditunjukkan detik itu
juga,” balasnya sambil tersenyum. Sahabatku itu mengalihkan
pandangannya ke ujung cakrawala seraya melanjutkan, “Gue
percaya kalau suatu saat nanti dia bakal sadar dan melihat gue.
Mungkin sekarang dia memang sama orang lain. Tapi, biarin
dulu ajalah orang itu jagain dia. Nanti di masa depan gue tinggal
bilang, ‘makasih ya, udah jagain jodoh gue’, gitu.”
Aku hanya bisa mengamati Noah dengan mulut ternganga
selama beberapa saat. Sesederhana itu? Benarkah bagi Noah
semuanya sesederhana itu?
Aku tahu jika dua orang memang digariskan dalam satu
benang yang sama maka sebesar apa pun hambatannya mereka
akan mampu untuk selalu saling menemukan. Namun, coba
beri tahu aku bagaimana caranya untuk merelakan? Bagaimana
caranya untuk tetap tersenyum pada saat orang yang kita
sayangi menggenggam tangan seseorang yang bukan kita?

339
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Pada akhirnya, aku hanya bisa menyikut Noah seraya berusaha


menyusut air mata yang hampir jatuh.
“Ngaco banget,” komentarku pendek. “Gimana dia bisa tau
perasaan lo kalau lo nggak pernah bilang?”
Desau angin membawa pertanyaanku jauh terbang ke
angkasa. Untuk waktu yang cukup lama, pertanyaan itu seakan
melayang di udara, menggantung di langit, berusaha mencari
jawaban untuk dirinya sendiri. Setelah rasanya lama sekali,
seulas senyum perlahan muncul di bibir Noah. Dia menoleh
sedikit ke arahku. Senyumnya benar-benar teduh saat dia
berkata, “Someday, she’ll know.”

Malam berikutnya, saat sedang menggerutu di sebuah


minimarket karena kepalaku tanpa sengaja membentur
rak bumbu masak, aku mendapati Klana berdiri tepat di
belakangku seraya mengulum senyum geli. Mau tak mau aku
ikut tersenyum. Sudah lama sekali rasanya sejak kali terakhir
aku bertukar sapa dengan sahabatmu yang pelit bicara itu.
Maka, sesudah membeli kebutuhan masing-masing, aku dan
Klana memutuskan untuk duduk di atas kap mobilnya yang di
parkir di tengah lapangan kosong yang terletak tak jauh dari
rumahku. Kami saling bertukar cerita.
Awalnya Klana bercerita tentang kisah-kisah kalian selama
melakukan konser di berbagai kota. Berbagai adegan lucu sampai
momen ketika kalian menangis karena terharu menyadari fakta
bahwa mimpi kalian telah terwujud. Awalnya Klana memang
berusaha keras tak menyinggung soal kita, tetapi aku tahu,

340
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

cepat atau lambat, satu pertanyaan pasti akan meluncur dari


bibirnya.
“Ra,” panggil Klana seraya mengambil satu kotak Pocky
dari kantung belanjanya. Dia membukanya perlahan dan
mengunyah lambat-lambat. “Jadi, lo sama Rafa gimana?”
Aku mendengus kecil, berusaha menyembunyikan tawa
hambar yang hendak meluncur dari bibirku saat mendengar
pertanyaannya. “Nggak gimana-gimana. Semuanya udah
selesai, kan? Sesederhana itu,” balasku.
“Oke, tapi kenapa?” tanya Klana lagi, terlihat tidak mengerti
dengan keseluruhan situasi kita.
“Mungkin karena kami berdua udah nggak mampu untuk
mempertahankan apa yang telah kami bangun tiga tahun
belakangan? Mungkin karena yang berjuang hanya satu pihak?
Mungkin karena dia terlalu egois tanpa pernah memedulikan
orang lain? Gue nggak tau lagi, Kak,” balasku emosional. Dugaan
demi dugaan yang selama ini tersimpan rapi di dalam diriku
perlahan menemukan jalannya untuk naik ke permukaan.
“Kehidupan Rafa memang sulit belakangan, Ra,” tutur
Klana dengan sorot menyesal. “Industri musik ternyata nggak
seperti apa yang kami bayangkan selama ini. Mungkin Rafa
stres. Mungkin dia nggak tau apa yang dia lakukan.”
“Atau mungkin Rafa memang udah nggak menginginkan
semua ini lagi, Kak,” tukasku langsung. Aku tidak butuh Klana
untuk menenangkanku, untuk membuatku berpikir positif
tentang alasan di balik berakhirnya hubungan kita. Bagiku
alasannya sudah cukup jelas; kamu memilih Marlene. “Gue
kenal Rafa, Kak. Kita semua kenal Rafa. Tapi, Rafa yang
sekarang memang bukan Rafa yang dulu kita kenal.”

341
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Klana menggigit stick rasa cokelat dalam genggamannya.


“Semua orang pasti berubah, Ra. hat sucks to know.”
Aku memilih untuk mengatupkan mulut rapat-rapat dan
mengalihkan pandangan pada langit malam. Bintang-bintang
bersinar terang di atas sana, mengingatkanku pada satu malam
lainnya yang selamanya akan abadi dalam memoriku—malam
ketika kita berdua menari di halaman belakang rumahku tanpa
malu, di hadapan bulan yang bersinar terang dan bintang yang
menemani. Malam ketika kamu berkata kalau suatu saat nanti,
di saat sesuatu yang buruk menimpa hubungan kita, kamu
tidak ingin hal apa pun itu mengubahku. Kamu ingin aku tetap
menjadi kuat. Tetapi, tolong beri tahu aku, Raf, bagaimana
caranya menjadi kuat tanpa adanya kamu di sisiku?
“Lo tau, Ra, setelah semua yang terjadi di antara kalian,
kalau ada satu hal yang gue yakini, gue percaya kalau Rafa
masih sayang lo,” cetus Klana tiba-tiba, menyeretku keluar
dari lamunan dan menatapnya bingung. “Mungkin sekarang
dia dan egonya yang sebesar gajah itu belum sadar. Dia masih
terperangkap di dalam gelembung yang berkata, ‘lo bisa tanpa
dia’ sama seperti lo yang terperangkap di dalam kalimat ‘dia
memilih Marlene, bukan gue’. Tapi, suatu saat nanti, gue yakin
kalian berdua akan sama-sama sadar kalau kalian berdua terlalu
banyak berpikir. You both think too much when in fact you have the
chance to right all the wrong on your story.”
Senyum tipis perlahan muncul di bibirku. “Ya, mungkin,”
balasku pahit. “Tapi, saat waktunya datang, sayang semua udah
terlambat.”
Klana kontan menaikkan alis. “Maksud lo?”
Alih-alih membalas tatapannya, aku menunduk dalam.
“I’m leaving soon,” ucapku singkat. “Gue diterima di program

342
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

beasiswa yang gue pilih. UCL, Inggris. Gue yakin Rafa pernah
cerita ke kalian kalau gue disarankan buat kuliah ke luar negeri.
Sabtu ini, gue berangkat.”
Selama beberapa saat, Klana terlihat kehilangan kata-kata.
Dia mengerjapkan mata berulang kali, berusaha mencerna fakta
yang baru saja kuutarakan. “O-oke, tapi lo bakal datang, kan, ke
konser tunggal Constant Star?” tanyanya, berharap cemas. “Dan
jangan bilang nggak karena itu konser perdana Rafa, mimpinya
yang dia cita-citakan selama ini—mimpi kami semua. Lo tau
seberapa pentingnya itu untuk kami. Apa lo bahkan nggak
berniat datang untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal?”
Aku mengembuskan napas keras-keras. Rasa sesak itu
kembali muncul, memberatkan seluruh keputusan yang telah
kuambil. “Gue belum tau,” jawabku pada akhirnya.
Klana menggeleng tak percaya. “Dan lo nggak berniat
untuk bilang ke Rafa soal keberangkatan lo?”
Kali ini aku mengangkat kepala dan membalas tatapannya.
“Kalau dia memang masih peduli dengan gue, Kak, dia pasti
tau.”
“Heck, Kejora, none of us even know you took the test,” tukas
Klana lagi, terlihat tidak setuju denganku dan keputusanku.
“Gimana dia bisa tau kalau lo nggak bilang?”
Aku tersenyum tipis. Satu kalimat yang baru-baru ini
diucapkan Noah tetapi tak sepenuhnya kumengerti perlahan
merayap ke benakku. One way or another, aku rasa aku mulai
memahami maksudnya. Maka, dengan sisa kekuatan yang ada,
kulemparkan senyum paling tulus yang kupunya ke arah Klana
seraya berkata, “Someday he’ll know.”

343
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Satu yang mungkin tidak pernah kamu tahu; hari itu, aku
datang. Aku ada di sana, berdesak-desakan dengan ratusan
orang lainnya untuk menyaksikan konser tunggal pertamamu
dan teman-temanmu. Aku mungkin tidak berada di sana cukup
lama sampai konser itu berakhir, tetapi aku bisa mengamati
setiap detail yang ada di wajahmu dan teman-temanmu,
mengamati sorot lelah dan kantung mata yang kian menebal
di bawah matamu, menatap senyummu yang hangatnya tak
lagi seperti dulu, menikmati alunan melodi yang meluncur dari
bibirmu untuk kali terakhir sebelum aku benar-benar pergi.
Kamu tahu apa yang membuatku beranjak di tengah-
tengah konser, Raf? Aku memutuskan untuk pergi begitu
saja saat kamu selesai menyanyikan satu lagu yang kini tak
bisa kudengar tanpa memikirkan kamu—lagu yang kamu
deklarasikan untukku.
Saat itu kamu tersenyum ke arah penonton, senyum tipis,
senyum yang tidak mencapi kedua matamu. Senyum yang
menyiratkan sendu. “Gimana sejauh ini? Have fun, nggak?”
tanyamu yang dibalas para penonton dengan teriakan histeris
sementara kamu tertawa kecil. ”Lagu selanjutnya yang bakal gue
bawain bukan lagu gue. Ini bukan lagu baru yang lagi hits, tapi
belakangan gue gak bisa berhenti dengarin lagu ini. It reminds
me of something—someone, that I used to have.”
Aku tentu saja tertegun saat mendengar kalimat demi
kalimat yang meluncur di bibirmu. Jantungku mulai berdegup
tak beraturan. Denyutnya menyiksaku, Raf. Karena di antara
setiap denyut itu, terselip harapan, rasa cemas, dan sejuta
angan tentang kita yang sia-sia.
“Kalau kalian tau lagunya, nyanyi bareng, ya.” Kamu menarik
napas dalam-dalam sebelum menyapukan pandanganmu ke

344
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

seluruh penjuru ruangan dan berbisik parau, “Dan kalau lo ada


di sini, Ra, lagu ini buat lo.”
Detik selanjutnya, intro sebuah lagu yang kukenal benar
mengalun merdu—lagu yang menghuni mix-tape yang dulu
pernah kamu beri padaku, mendesak air mata yang sedari tadi
telah menggantung di pelupuk mataku untuk jatuh. Terlebih
lagi saat kamu menyanyikan refrain lagu tersebut.
But It was not your fault, but mine,
And it was your heart on the line,
I really fucked it up this time,
Didn’t I my dear?
Tanpa bisa kucegah, kontan aku berlari menuju pintu
keluar seraya menutup mulut dengan telapak tangan. Sebelum
benar-benar pergi, pandanganku sempat bertabrakan dengan
Klana, tetapi aku tidak peduli. Aku terus berlari. Jauh, jauh,
dan kian jauh menuju bandara, menangisi hatiku dan takdir
di ruang tunggu. Tanpa henti aku bertanya dalam hati; kenapa
kita harus berakhir? Kenapa akhir bahagia menjauh dari kisah
kita?
Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan aku
menemukan jawabannya. Karena selalu ada sesuatu yang
berjalan tidak sesuai dengan kemauan kita. Dan meski kita lelah
menangis, merintih, memohon agar rasa sakit yang mendera itu
diambil, Tuhan takkan mengubah jalan yang telah ditentukan-
Nya untuk kita. Alasannya sederhana; karena apa-apa yang kita
anggap baik belum tentu benar adanya. Seperti kamu. Seperti
kita.
Bagiku, kamu adalah sosok sempurna yang mampu
mengubah guntur menjadi pelangi warna-warni. Sosok penuh
canda yang mampu menghapus duka dan menerbitkan tawa di

345
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

kala langit temaram. Bagiku, sosok itu selalu kamu, Raf, sosok
yang membuatku merasa hidup jauh lebih mudah asalkan kamu
ada di sampingku.
Kamu, Rafa, adalah salah satu dari sekian banyak hal
di muka bumi ini yang kehadirannya terasa penting. Seakan
tanpamu bintang tak lagi bersinar, mentari tak lagi hangat,
planet tak lagi mengorbit, dan aku, aku hanyalah perempuan
kecil tanpa alas kaki yang menapak tak bertujuan di Bumi,
melangkah setengah hati.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

346
pustaka-indo.blogspot.com
Kembali Pulang
Jakarta, 31 Juli.

Untuk Rafael Leonardi,


(Yang setelah tahunan terlewati, bayang-bayangnya tetap tidak
bisa kuhilangkan dari hidupku.)

Jakarta. How it all begin.


Saat touchdown di Bandara Internasional Soekarno-Hatta
beberapa hari lalu, setidaknya aku menyadari satu dua hal
dalam hidupku.
Pertama, bahwa saat aku berjalan ke luar pintu kedatangan
seraya menyeret koper susah payah, aku mendapati sosok laki-
laki tampan dengan bahu bidang dan manik hitam-kebiruan yang
membuka tangannya lebar-lebar ke arahku, bersiap menerima
pelukan. Laki-laki itu Noah, bukan kamu. Kedua, bahwa saat
aku memeluk laki-laki yang mengisi puluhan tahun hidupku
tersebut, saat kedua lengannya melingkari tubuhku hingga
satu-satunya yang dapat aku hirup hanyalah kehadirannya, satu
dari sekian juta hal yang berputar di pikiranku adalah kamu.
Ini semua sangat tidak adil untuk Noah, kamu tahu?
Selama ini, setelah kepergianmu, dia satu-satunya orang
yang selalu berada di sisiku. Dialah satu-satunya orang yang
rela kuhubungi di tengah malam, jam berapa pun itu, saat

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

aku menangisi hatiku sendiri yang setengah mati merindukan


kamu, sementara kamu menghilang entah ke mana. Orang itu,
Noah, Raf. Orang yang rela memberikan semua yang dimilikinya
padaku asal aku bahagia. Bukan kamu.
Namun, kenapa aku sekarang di sini? Meringkuk di sudut
kamarku, dikelilingi amplop warna-warni berisi surat yang
aku tulis selama mengelilingi Eropa. Surat-surat itu bercerita
tentang kamu, Rafa, yang dengan tidak berperasaannya
mematahkan hatiku hingga menjadi serpihan kecil dan
bukannya tentang Noah yang selama ini dengan sabar berusaha
menyusun serpihan itu kembali.
Aku kira setelah tahunan terlewati, perasaanku untuk
kamu pun hilang seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi,
aku rasa aku masih sama saja seperti anak perempuan naif
belasan tahun lalu karena memercayai hal itu. Seharusnya aku
tahu, untuk melupakan kamu, Rafa, mungkin membutuhkan
seluruh waktuku yang tersisa.
Kalau kamu bertanya kenapa, aku bisa memberikanmu
jawaban yang sederhana; karena kamu adalah yang
pertama. Senyummu adalah senyum pertama yang berhasil
membuatku ikut tersenyum. Tatapanmu adalah tatapan
pertama yang berhasil membuat jantungku berdetak tidak
keruan. Sentuhanmu adalah sentuhan pertama yang mampu
membuat seluruh tubuhku menghangat. Karena kamu, Rafael
Leonardi, adalah orang pertama yang membuatku mengerti apa
artinya mencintai dan dicintai. Kamu membuatku merasakan
bahagianya menjadi sebuah bagian penting dari kehidupan
orang lain. Tetapi, di satu sisi kamu juga merupakan patah hati
pertamaku. Kamu orang pertama yang membuatku menangis
sepanjang malam hingga suaraku serak dan mataku bengkak.

348
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Kamu orang pertama yang membuatku merasa seakan


jantungku ditarik paksa keluar dari tubuhku hingga aku tak
sanggup lagi untuk bertahan. Kamu, Rafael Leonardi, adalah
orang pertama yang membuatku merasa seakan hidup ratusan
kali lebih sulit tanpa hadirnya kamu di sisiku.
First love, do never work. But irst love, always last forever.
Aku jadi ingat satu malam bertahun-tahun yang lalu. Saat
itu, aku sedang sibuk-sibuknya mengerjakan laporan praktikum
yang tak ada habisnya. Menjadi mahasiswi kedokteran tahun
pertama memang bukanlah hal yang mudah. Kertas-kertas
maupun buku pelajaran memenuhi tempat tidurku selagi aku
mengetik.
Di tengah kesibukanku itu, aku bisa mendengar bunyi
yang menandakan kalau aku mendapatkan sebuah pesan baru.
Dengan malas aku mencari ponselku yang tertutupi kertas di
sekeliling, dan saat aku menatap layarnya, aku yakin sekali
kalau wajahku memucat. Memang hanya empat kata, tetapi
sukses membuat jantungku berhenti berdetak.

Rafael Leonardi
You okay there, Ra?

Setelah kamu memutuskan agar kita break sejenak, setelah


berbulan-bulan kita bertingkah seakan kita tidak mengenal
satu sama lain, kamu akhirnya mengirimiku sebuah pesan? Apa
kamu tahu bagaimana perasaanku saat itu, Raf? Aku ingin saja
menelepon kamu, berteriak di telingamu betapa tidak adilnya
kamu. Bagaimana bisa setelah kamu menghilang berbulan-
bulan, di saat aku mulai berhasil menjalani hidupku lagi tanpa

349
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

terpuruk akan kenangan kita, kamu tiba-tiba hadir kembali


dalam bentuk sebuah pesan singkat?
Kutarik napas dalam-dalam dan kukuatkan diriku sendiri
saat aku mengetik balasan

Lucillia Kejora
All good.

Tak sampai satu menit kemudian, kamu membalas.

Rafael Leonardi
Senang rasanya untuk tau lo baik-baik aja. Jaga diri, Kejora.
Selamanya lo akan selalu jadi bintang yang jaraknya dua langkah
dari sang mentari buat gue.

hat’s it, Raf. Detik itu juga dinding pertahanan yang aku
bangun bata demi bata secara perlahan setelah perpisahan
kita runtuh begitu saja. Aku menangis tersedu-sedu, tak
memedulikan air mataku mengenai kertas-kertas di sekitarku.
Satu hal yang aku tahu pasti adalah; aku merindukanmu. Aku
rindu dengan sosok perempuan naif dan anak laki-laki dengan
jutaan mimpi yang selama ini selalu berdiri berdampingan,
menguatkan satu sama lain. Aku rindu dengan kebahagiaan
yang dulu selalu menyelimuti mereka meski mereka tahu kalau
apa yang akan mereka hadapi ke depannya tidaklah mudah.
Apa yang salah, Rafa?
Aku tahu seharusnya kamulah yang kusalahkan habis-
habisan karena toh aku sudah berjuang semampuku untuk
mempertahankan kita. Namun, setelah tahunan terlewati, sisi
naif itu tak pernah benar-benar hilang dari diriku. Aku memilih

350
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

untuk menyalahkan Marlene atas berakhirnya hubungan kita.


Aku memilih untuk menyalahkan perempuan berambut merah
itu dan sikapnya yang tidak profesional terhadap kamu—
berusaha mengingkari bahwa sikap itu tak akan muncul jika
aku tak pernah memberinya izin untuk menyukai kamu.
Ada satu momen yang tidak pernah kuceritakan di surat-
suratku sebelumnya. Tadinya aku berpikir aku tidak perlu
menceritakan hal ini. Namun, setelah merenung dan memutar
kembali kisah kita di dalam kepalaku semalaman, aku perlahan
sadar kalau aku memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan
Marlene. Perempuan berambut merah itu, dia juga mengalami
kesulitan dalam hidupnya dan dia menemukan kamu sebagai
pelindungnya.
Aku ingat hari itu, sore dingin di pertengahan Maret. Aku
baru saja keluar dari Pumpkin, masih menggunakan seragam
SMA lengkap karena aku belum sempat pulang ke rumah,
sendirian. Tadinya aku berniat untuk melangkah ke halte terdekat
sampai mataku menangkap sosok perempuan berambut merah
dan laki-laki dengan postur tinggi dan berisi yang berdiri di
seberang jalan. Aku menyipitkan mata, berusaha melihat lebih
jelas dua sosok yang tertutupi semak dan pepohonan tinggi itu.
Entah kenapa, aku merasa yakin kalau sosok itu Marlene. Lalu,
siapa laki-laki yang sedang bersamanya?
Cukup lama aku berdiri di sana, menyaksikan dua sosok
itu saling dorong dan berteriak. Aku tidak bisa mendengar
dengan jelas apa yang mereka permasalahkan karena jarak yang
membentang di antara kami cukup jauh. Namun, samar-samar,
aku bisa mendengar makian kasar yang meluncur dari bibir sang
laki-laki. Pada akhirnya, laki-laki dengan tato yang menutupi
lengan kanannya itu mendorong Marlene hingga perempuan

351
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

malang itu tersungkur di tanah lembab. Tanpa memedulikan


Marlene dan air matanya, laki-laki itu bergegas pergi.
Aku tidak langsung menghampiri Marlene waktu itu.
Maksudku, tentu saja aku ingin menolongnya, tetapi aku tidak
ingin ikut campur dalam urusan pribadinya. Lagi pula, bukankah
hubunganku dan Marlene tidak terlalu baik? Namun, tiba-tiba
saja benakku mengingat kamu. Bukankah kamu akan sangat
kecewa padaku jika aku mendapati Marlene dalam kesulitan
dan tidak mencoba menolongnya sama sekali? Temanmu adalah
temanku, itu prinsip yang kuanut selama ini.
Maka, setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengambil
langkah lebar ke seberang jalan. Kuulurkan satu tanganku pada
Marlene yang masih duduk menunduk di tanah. Perlahan
perempuan berambut merah itu mengangkat kepala. Senyum
yang tidak bisa kuartikan maksudnya tersungging di bibirnya
saat dia menatapku. Cepat-cepat Marlene menepis tanganku,
lalu berdiri dan mengusap matanya yang berair.
“Gue nggak butuh rasa kasihan lo,” katanya ketus. Sedikit
banyak aku bisa memahami emosinya. Marlene pasti merasa
malu aku menemukannya dalam kondisi seperti itu. Jadi, aku
hanya bisa tersenyum.
“Lo memang nggak butuh rasa kasihan gue,” balasku datar.
“Yang lo butuhkan adalah cokelat panas ektra marshmallow ala
Pumpkin.”
Bisa ditebak, tak sampai sepuluh menit kemudian, aku dan
Marlene sudah duduk berhadapan di sudut Pumpkin dengan
dua cangkir cokelat panas. Perempuan berambut merah itu
sudah terlihat lebih tenang. Dia menyibukkan diri dengan
meniup cokelat panasnya, berusaha menghindari tatapanku.

352
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Seharusnya, dia tahu usahanya sia-sia saja karena cepat atau


lambat toh aku pasti akan mulai menanyainya.
“Itu tadi pacar lo?”
Marlene menatapku dengan manik yang membesar. “It’s
none of your business,” tukasnya langsung.
Selama beberapa saat, aku memutuskan untuk bungkam
dan mengamati setiap detail pada wajah perempuan yang
kerap kali alam bawah sadarku anggap sebagai rival itu. Aku
bisa melihat kantung mata bertumpuk yang berusaha keras
ditutupinya dengan concealer, sorot lelah yang memancar dari
kedua matanya, lebam samar di pelipisnya yang tertutup helaian
rambut, dan juga luka mengering di sudut bibirnya yang aku
yakin bisa dengan mudah ditutupi oleh lipstick berwarna gelap.
Aku tidak perlu memintanya untuk mengulurkan lengan atau
menyuruhnya membuka baju untuk tahu bahwa luka ataupun
lebam seperti itu pasti bisa dengan mudah ditemukan di bagian
tubuhnya yang lain.
“Dia suka mukulin lo, kan?” tanyaku tanpa bisa ditahan.
“Your boyfriend I mean, he’s a jerk, right?”
Aku tahu tubuh Marlene menegang dari seberang meja.
Mungkin dia kaget aku berhasil menebak fakta tersebut?
Mungkin dia tidak terbiasa membagi masalah pribadinya
dengan orang lain? Entahlah.
“Kenapa lo nggak ninggalin dia? Lo layak dapat yang lebih
baik dari itu. Cowok kasar yang main tangan … itu nggak pantas
buat lo perjuangin,” tambahku kesal.
Marlene menatapku nyalang. “Lo kira gue nggak coba?”
balasnya dengan nada yang mulai meninggi. “Jadi, menurut lo
kenapa selama ini gue dekat sama Rafa? Lo kira gue dekat sama
dia cuma iseng-iseng doang? Lo kira gue suka sama dia hanya

353
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

karena dia good looking dan suaranya bagus? Cuma karena


guenya aja yang kecentilan dan pengin dekat-dekat sama cowok
lo? If that’s what you have in mind then how low do you think I am?”
Aku membeku mendengar rentetan kalimat yang
diucapkan Marlene. Apa hubungannya semua permasalahannya
dengan kamu? Lalu, tiba-tiba saja potongan gambar berputar
di kepalaku—momen saat kita kali pertama bertemu dengan
Marlene, momen saat kamu bercerita tentang Klana yang dulu
di-bully, dan seluruh adegan ketika kamu dan Marlene berada
di dalam satu frame yang sama. Satu kesimpulan mendadak
terbentuk di kepalaku.
“Selama ini … Rafa ngelindungin lo, kan?” ucapku getir.
“He knows about your boyfriend and he stand up for you. Iya, kan?”
Marlene hanya memasang senyum lebar yang dipaksakan
saat mendengar pertanyaanku. Dia memilih untuk mengangkat
cangkirnya tinggi-tinggi sebelum meneguk isinya banyak-
banyak. “hank you for the treat. You were right. I need this cup of
sweetness. Now, I gotta go.”
Lalu, semudah itu, dia bangkit dan mengambil langkah
lebar ke arah pintu keluar, meninggalkanku sendirian di sudut
Pumpkin dengan pikiran yang saling bertabrakan, dan cokelat
panas yang mulai dingin.
Memutar kembali momen itu, Rafa, membuatku sadar
akan satu hal; bahwa aku tidak bisa menyalahkan Marlene atas
berakhirnya hubungan kita. Perempuan itu punya masalahnya
sendiri—orang yang dia sayangi malah menyakitinya dan
bukan hanya melalui kata-kata tetapi melalui perbuatan juga.
Kemudian, dia bertemu kamu. Sosokmu yang sebenarnya.
Anak laki-laki delapan belas tahun yang cinta setengah mati
pada musik dan selalu berusaha memperjuangkan apa yang

354
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dianggapnya benar. Marlene mencari tempat perlindungan,


Raf, dan kamu tanpa sadar memberikannya rumah yang
hangat. Tinggal masalah waktu sampai salah satu di antara
kalian merasa terlalu nyaman untuk berpindah.
Kurasa ini salah kita berdua, Raf. Salah kita karena tidak
mau berusaha cukup keras untuk mempertahankan apa
yang kita punya. Salahmu karena meminta kita untuk tidak
bertemu dulu dan salahku karena pergi ke London tanpa
memberitahumu.
Apa kita masih bisa memperbaiki semuanya, Raf?
Screw me, kenapa aku bisa menanyakan hal itu? Bertahun-
tahun telah kita lewati tanpa kehadiran satu sama lain. Kita
telah menjadi dua individu yang berbeda. Kita bukan lagi Rafa
dan Kejora yang namanya selalu disebut berdampingan semasa
SMA. Kamu telah mempunyai kehidupanmu sendiri, begitu
pula aku. Satu-satunya hal yang seharusnya kulakukan sekarang
adalah belajar untuk melepas kamu.
Namun, bagaimana bisa aku melepaskan kamu dengan
mudahnya jika di saat aku kali pertama menginjakkan kaki di
rumah beberapa hari yang lalu, aku menemukan tumpukan
tiket konser di dalam kotak posku? Apakah kamu tahu betapa
kagetnya aku saat melihat tumpukan tiket itu? Ada yang sudah
lusuh, basah, dan mengerut. Ada juga yang terlihat masih baru,
diletakkan di dalam amplop putih dengan tanda tangan kamu
di sudutnya.
Aku menghabiskan waktu cukup lama untuk menatap
selembar tiket paling baru yang merujuk pada konser tunggal
Constant Star di Jakarta. Nyaris enam tahun sejak terakhir
kali aku melihat wajahmu secara langsung. Aku tidak akan
membohongi diriku sendiri dengan berkata aku tidak ingin

355
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

menonton kamu bernyanyi di atas panggung. Maka, setelah


mempertimbangkannya puluhan kali, aku pun memutuskan
untuk menghadiri konsermu kemarin.
Diadakan di salah satu Convention Hall berukuran besar,
aku merasa seperti anak kecil yang tersesat di antara ratusan—
atau bahkan ribuan?—penonton lainnya. Seperti yang tertera
di tiket, konser dimulai jam delapan tepat. Awalnya lampu
di seluruh ruangan mendadak padam. Lalu, beberapa detik
kemudian, diiringi lighting dan sound yang menakjubkan, kalian
muncul dari balik panggung, membuat penonton langsung
bertepuk riuh dan mengelu-elukan nama kalian.
Aku menahan napas saat mendapati kamu berdiri di atas
sana. Meskipun dari jarak yang cukup jauh, aku bisa melihat
perubahan yang terjadi di dirimu. Wajahmu masih sama, hanya
saja garis rahangmu terlihat lebih tegas dan sorot matamu lebih
tajam. Jeans hitam dan kaus abu-abu polos pas badan yang
kamu kenakan menonjolkan otot lenganmu yang sepertinya
hasil berjam-jam work out di gym. Tanpa bisa dicegah, jantungku
mulai berdetak tak keruan. Setelah tahunan kita lewati tanpa
kehadiran satu sama lain, hari itu adalah hari ketika kita kali
pertama berada di dalam satu ruangan yang sama.
Mau tidak mau pikiranku kembali terlempar ke konser
perdana yang kamu langsungkan di hari keberangkatanku. Saat
itu kamu berdiri di panggung berukuran sedang, dengan gitar
penuh stiker lusuh kesayanganmu, menyanyikan lagu “Little
Lion Man” milik Mumford and Sons dan mendeklarasikan kalau
lagu itu untukku, sementara aku hanya bisa membeku dengan
air mata yang mendesak untuk jatuh.
Waktu itu, saat melihat betapa kacaunya kamu, sempat
terlintas di pikiranku untuk membatalkan semua rencanaku

356
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dan kembali padamu. Namun, aku menyadari satu hal; jika aku
melakukan itu, berarti aku kembali mengalah, Raf, dan aku
sudah terlalu letih untuk menjalani hidup dengan meletakkan
kepentinganmu di atas kepentinganku. Jadi, aku berbalik arah
dan melangkah menjauh.
“Jakarta! How’s it going?” Suara serak khas milikmu kontan
membuyarkan lamunanku. Langsung saja aku memfokuskan
pandangan ke atas panggung. “Gue Rafa, ada Klana di drum,
Karel di bass, dan Adrian di gitar.”
Aku nyaris menangis saat mendengar kamu mengucapkan
kalimat itu. Kalimat itu sama persis dengan kalimat yang
kamu ucapkan di gig pertama Constant Star yang aku hadiri.
Seharusnya aku sadar, kalau datang ke konser kalian hanya
akan membangkitkan jutaan kenangan yang telah susah payah
aku kubur dalam-dalam.
“It’s been an incredible years for us,” ucapmu lagi, kali
ini sambil membetulkan posisi standing mic di hadapanmu.
“Kadang sewaktu gue bangun pagi gue masih nggak percaya
kalau ini hidup gue sekarang. Constant Star nggak akan bisa
sejauh ini tanpa dukungan kalian. We will never ind the right
words to describe how grateful we are for having you, guys. hank
you.”
Riuh sorakan penonton kembali terdengar. Bahkan, anak
remaja yang berdiri di sebelahku berteriak seakan yang berdiri
di atas panggung itu adalah Harry Styles. Teriakannya nyaring
sekali. Berani bertaruh, aku satu-satunya orang yang berdiri
dengan tenang di seluruh penjuru ruangan ini. Itu juga kalau
tenang bisa dideinisikan dengan jantung berdetak keras dan
air mata yang hampir tumpah.

357
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Oke, jadi lagu pertama yang bakal kita nyanyiin adalah


single pertama Constant Star, yaitu ‘Autumn Fall’.” Kamu
tersenyum, menyapukan pandangan ke seluruh penjuru
ruangan seraya mengaitkan jemari di antara senar gitar. “Lagu
ini ditulis oleh Klana, mellow abis dan terlalu galau, kan, untuk
memulai konser?” Para penonton tertawa pelan mendengar
ucapanmu. “Tapi, gue suka lagu ini—kita suka banget lagu ini.
Gue berharap kalian merasakan hal yang sama. Enjoy.”
Petikan gitar dan tabuhan drum samar-samar langsung
memenuhi pendengaranku. Barulah beberapa detik setelahnya
kamu menyanyikan bait pertama dari lagu itu dengan suara
khas milikmu yang membuat penonton langsung termangu
menatapmu dengan dreamy eyes. Bukan hanya mereka,
sejujurnya aku juga melakukan hal yang sama.
Tidak kusangka, ternyata aku benar-benar merindukan
saat-saat aku menonton gig-mu dulu. Setelah lagu ‘Autumn
Fall’, kalian menyanyikan belasan lagu lainnya. Ada lagu
yang kuhafal dan ada juga yang tidak kuketahui, tetapi secara
keseluruhan aku menyukai konser kalian. Sangat menghibur
meski aku harus menahan perih selama konser itu berlangsung.
Sebelum menyanyikan lagu terakhir, kamu berbasa-
basi sebentar pada penonton. Menanyakan apakah mereka
menikmati konsernya sejauh ini yang dibalas mereka dengan
teriakan. Kamu tertawa, berjalan ke sisi kanan panggung, dan
menatap kerumunan dengan pandangan menerawang.
“Lagu terakhir ini … adalah single terbaru Constant Star.”
Aku bisa mendengar desahan kecewa yang meluncur dari bibir
penonton. Mungkin karena mereka menyadari konser akan
segera berakhir.

358
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Lagu ini punya makna yang cukup dalam buat gue.” Aku
membeku saat mendengar kalimat yang kamu ucapkan. Apa itu
berarti kamu menulis sendiri lagu itu?
Dari layar, aku bisa melihat sorot lelah yang memancar dari
kedua matamu saat kamu berkata, “his song reminds me of the
summer breeze and how the warm wind caress her skin. his song
reminds me of high school and how good it feels like to hold her hand.
his song reminds me of starry sky and how the moon smile as it
watches us.” Keheningan menyelimuti seluruh penjuru ruangan
saat kamu menghentikan ucapanmu. Samar-samar aku bisa
melihat senyum muram muncul di bibirmu.
“his song reminds me of distance and how hard it is to control
our ego. his song reminds me of slamming doors and broken
promises. But mostly,” Kamu menarik napas dalam-dalam
sebelum menghembuskannya dengan berat. “his song …
reminds me of her and my lousy decision to let her go. It’s called And
I Know.”
Intro dengan petikan gitar yang sendu langsung memenuhi
penjuru ruangan. Mataku mendadak terasa panas. Apa arti
semua kalimat yang kamu ucapkan tadi, Raf? Apakah kamu
menujukan semua kalimat itu untukku? Apakah masih ada
kemungkinan, meskipun hanya seujung kuku, kalau kamu
masih merasakan hal yang sama denganku?

As I close my eyes I picture you smiling down at me


As I deep breath in I feel your warm surrounded me
But as I open my eyes all the things about you fade away
here’s a piece of you in every single song I sing
here’s a piece of us in each of the melody
And here lies all the things that happen between you and me

359
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

And I know that we can’t ever turn back time


And I know that not everything will last
And I know that I’ve hurt you that much
But you’re still the place I belong
You’re the one I want to come home

Air mataku langsung menetes tanpa ampun saat kamu


menyanyikan refrain dari lagi itu. Dadaku terasa sesak. Terlalu
banyak emosi yang bersarang di sana. Ada haru yang menyusup
saat tahu kalau kamu masih memikirkan kita. Namun, di satu
sisi, ada sakit yang menyiksa saat menyadari kalau semuanya
sudah terlambat.
Ya, Rafa, kita memang tidak bisa memutarbalikkan waktu
sehingga apa yang kita punya kini murni tinggal kenangan. Kita
juga sama-sama tahu kalau tidak ada satu hal pun yang akan
berjalan selamanya dan, ya, Rafa, you did hurt me that much.
Namun, kalau aku masih boleh memilih, jika keadaan kita saat
ini berbeda, aku pasti akan memilih kamu. Aku selalu memilih
kamu, Rafa, bahkan sejak hari pertama kita bertemu, saat aku
belum mengetahui namamu.
Setelah konser berakhir, aku langsung mengambil langkah
lebar menuju toilet. Mataku sembab karena terlalu banyak
menangis selama konser berlangsung. Normalnya, sehabis
menonton konser orang-orang pasti terlihat bahagia. Berbeda
denganku, aku malah terlihat seperti habis disuruh mengulang
skripsi sepuluh kali. Sambil menolehkan kepala ke kanan dan ke
kiri untuk mencari sign toilet, aku mencengkeram tali ranselku
erat-erat. Berharap tidak bertemu dengan siapa pun yang
berkaitan dengan kamu.

360
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Namun, sepertinya Dewi Fortuna tidak memihakku karena


selang beberapa detik kemudian, aku bisa mendengar suara
familier yang memanggil namaku dari belakang. Dengan berat
hati aku berbalik dan mendapati Karel menatapku seraya
mengerjapkan mata berulang kali.
Aku memaksakan seulas senyum kecil ke arahnya,
sementara dia masih terlihat takjub dengan kehadiranku. “Lo
… Kejora, kan?” tanyanya ragu-ragu, membuatku tertawa kecil.
“Kak Karel,” sapaku hangat. “Belum berubah sama sekali.”
Karel memang tidak berubah selain dengan tinggi badannya
yang bertambah dan otot lengannya yang menonjol di balik
jaket jeans yang dia kenakan.
“Lo berubah banget, Ra. Cantik,” tutur Karel. Nada
suaranya terdengar takjub. Setelah mengucapkan kalimat itu,
dia cepat-cepat menggeleng dan mengoreksi. “Maksud gue dari
dulu lo udah cantik, tapi sekarang auranya kelihatan banget,”
tambahnya dengan nada jail.
“Baru ketemu udah cari ribut ya, Kak,” balasku setengah
bercanda.
Karel hanya tertawa pelan sebelum mengambil langkah
mendekat dan merangkulku akrab. “Lo udah dari tadi di sini?
Mau ketemu Rafa? Yuk, gue anter,” ucapnya kelewat ringan,
membuat jantungku sontak berhenti berdetak selama beberapa
detik.
“E-eh, nggak, Kak,” tolakku cepat sebelum dia sempat
menuntunku untuk bertemu kamu. Aku memang datang ke
konser kamu, tetapi itu bukan berarti aku ingin menemui kamu.
Aku hanya ingin melihat kamu dari jauh. Aku ingin belajar
… untuk melepaskan apa yang memang tidak ditakdirkan
untukku.

361
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Apa?”
Karel terlihat benar-benar terkejut saat mendengar
jawabanku. Aku menghela napas pelan dan memasang seulas
senyum kecil. “Gue cuma mau nonton konsernya aja kok.” Aku
mengangkat bahu, menandakan kalau hal itu bukan masalah
besar sebelum berkata dengan nada lebih serius. “Tolong jangan
kasi tau Rafa gue datang ya, Kak.”
“Kenapa, Ra?” tanya Karel lagi, masih sama kagetnya.
Aku tersenyum miris. “Karena itu akan lebih mudah buat
kami berdua.”
Karel mendengus keras saat mendengar ucapanku. Heck,
kalau aku jadi Karel aku juga pasti akan melakukan hal yang
sama. Kalimat tadi benar-benar terdengar memalukan, seperti
dialog picisan di FTV remaja. “Berakhirnya kalian adalah hal
yang masih Rafa sayangkan sampai saat ini.” Karel menatapku
nanar. “Apa lo nggak mau beri dia kesempatan?”
“Gue mau banget, Kak.” Aku meremas tali ransel dalam
genggamanku erat-erat. Berusaha mencegah agar suaraku tidak
pecah dan air mataku tidak meluncur. “Tapi udah telat.”
“Maksud lo?” tanya Karel lagi, terlihat tidak mengerti.
Aku hanya tersenyum, melepaskan rangkulannya, dan
bergumam, “You’ll see. Sampai jumpa, Kak Karel.” Setelah
melambai sekilas, aku langsung mengambil langkah sejauh
mungkin darinya.
Aku tahu kalau Karel pasti akan langsung memberi tahu
kamu akan kedatanganku. Tetapi, apa yang aku harapkan? It’s
not like you’re going to send me text and asking me where’ve I been.
Jadi, aku memilih untuk menyetir pulang, menyempatkan diri
untuk singgah di Pumpkin sebelum kembali ke rumah dan
menatap tumpukan surat di dasar koperku dengan putus asa.

362
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Ada satu malam yang sampai saat ini masih sering


terngiang-ngiang di ingatanku. Malam ketika kamu datang ke
rumahku padahal kamu seharusnya berada di prom night. Salah
satu malam paling membahagiakan dalam hidupku.
Malam itu adalah malam ketika kamu kali pertama
mengungkit kemungkinan kalau kita tidak akan bersama
selamanya. Kamu memintaku untuk menjadi seperti bintang
terang yang menyendiri di langit malam—menjadi Lucillia
Kejora yang independen, bisa berdiri sendiri tanpa perlu
didampingi. Aku berhasil, kan, Raf? Meski sulit, tetapi aku
tetap berhasil menjadi seperti apa yang kamu inginkan.
Dua puluh dua surat ini, biarlah menjadi saksi bisu
perjalanan kisah kita. Cukup aku yang tahu bagaimana rasanya
diterbangkan setinggi langit hanya untuk dijatuhkan ke palung
bumi. Kamu tidak perlu tahu, kamu tidak perlu merasakannya.
Tak peduli sebesar apa luka yang telah kamu torehkan di
hatiku, sampai detik ini, aku tetap berharap agar kamu hidup
bahagia. Aku akan selalu berdoa agar Tuhan mengirimkanmu
seseorang yang bisa mengerti kamu. Seseorang yang mampu
menembus dinding pertahananmu dan masuk ke duniamu
seutuhnya. We all deserve that one person who will love us no
matter what, at last dan sayangnya di dalam kisahku orang itu
bukanlah kamu. Begitu pula sebaliknya.
Pada akhirnya, satu-satunya hal yang harus kulakukan
adalah memaafkan. Karena hanya dengan memaafkanlah
aku bisa perlahan melepaskan. Aku memaafkan kamu dan
semua perlakuanmu yang dulu pernah membuatku menangis
semalaman. Aku memaafkanmu, Rafa, dan aku harap kamu
juga melakukan hal yang sama.

363
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Jadi, aku rasa ini akhirnya. Aku harus belajar untuk


melupakanmu. Kamu terlalu jauh sekarang dan aku tidak bisa
hidup dengan bayang-bayangmu yang menggantung di pelupuk
mataku selamanya. Satu hal yang harus kamu ketahui sebelum
aku mengakhiri suratku adalah; rasa itu akan selalu ada untuk
kamu, Rafa.
Kisah kita, debar hangat yang dulu pernah kita bagi,
dan semua rasa nyaman serta memori pahit-manis itu akan
selamanya tersimpan rapi di sudut hatiku. Semua rasa itu
mungkin ada, tetapi rasa itu tidak membuatku ingin kembali
memulai apa yang dulu sempat kita akhiri. Memaafkanmu,
aku mampu, tetapi untuk memercayai kamu lagi … terlalu sulit
buatku.
Kini aku bukan lagi anak perempuan naif yang dulu kamu
kenal semasa SMA. Jika ada satu-dua hal yang bisa kamu ambil
dari kisah kita, kita berdua sama-sama tahu bahwa rasa sayang
saja tidak cukup untuk mempertahankan suatu hubungan.
Terlebih lagi, aku telah belajar membuka hatiku untuk
orang lain.

Dari bintang yang jaraknya dua langkah dari sang mentari,


Kejora.

364
pustaka-indo.blogspot.com
Epilog
Jakarta, 23 Agustus.

Untuk Lucillia Kejora,


(Yang sebentar lagi nama belakangnya bakal ditambah Albert, gue
mau kamu tau kalau perasaan gue belum berubah.)

Salah satu personel U2, Bono Vox, pernah berkata, “As


a rock star, I have two instincts. I want to have fun and I want to
change the world. I have a chance to do both.” dan menurut gue,
kalimat itu adalah salah satu kutipan yang sangat inspiratif.
Bintang-bintang besar di luar sana—Michael Jackson,
John Lennon, Kurt Cobain—mereka memiliki cara sendiri
untuk mengubah sudut pandang masyarakat tentang dunia
selagi mereka bersenang-senang di atas panggung melalui
popularitas yang mereka miliki. Contoh sederhananya; lagu
“Heal he World” yang dipopulerkan oleh Michael Jackson
sukses menyentuh hati para pendengar dan menyebarkan aura
perdamaian. Belum lagi, lirik serta opini yang disuarakan oleh
John Lennon maupun Kurt Cobain yang kerap kali kontroversial.
Namun, berbeda dengan para bintang yang gue sebutkan
di atas, kutipan itu memiliki makna tersendiri buat gue. Setiap
kali gue merasa pesimis dan putus asa akan Constant Star,
mengingat kutipan itu sukses membuat gue kembali berjuang,

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

nggak peduli seberapa sulit rintangan yang mengadang di


depan. Kamu harus tahu, Ra, tahun-tahun yang gue lewati
sendirian selama ini nggak mudah sama sekali.
Sulit untuk gue yang diharuskan terus berkarya—menulis
lagu cinta bodoh—pada saat kamu udah nggak ada di samping
gue lagi. Gue ingat, beberapa tahun yang lalu, Karel, Klana, dan
Adrian bahkan sempat mengusulkan agar gue konsultasi dengan
salah satu saudara Karel yang berprofesi sebagai psikiater.
Mereka menganggap gue mengalami stres berat karena gue
nggak bisa menulis lagu cinta bernada ceria. Semua lagu yang
gue cipta pasti sendu.
Kamu pasti mengerti, Ra. Bagaimana bisa gue berkarya
sementara kamu, inspirasi gue, berada jauh di benua lain?
Oke, ini bukan cara yang bagus untuk mengawali surat.
Harusnya gue menanyakan kabar kamu dulu, kan? Bukannya
langsung berceloteh nggak jelas tentang Bono Vox yang gue
yakin nggak kamu kenal.
Jadi, hai, Kejora?
It’s been years and years and years. Udah lama banget
sejak kali terakhir gue lihat kamu duduk di windowsill kamar
gue sambil baca buku iksi setebal kamus. Udah lama banget
kita nggak ngobrol di halaman belakang rumah kamu sambil
minum cokelat panas. Udah lama juga sejak kali terakhir kamu
menginjakan kaki di rumah. Mama kangen sama kamu, katanya.
Kangen dengar celotehan kamu yang nggak ada habisnya.
Kangen hunting DVD bareng kamu.
Mama bukan satu-satunya orang yang kangen sama
kamu. Karel, Klana, Adrian bahkan, Ava terkadang juga sering
menanyakan kabar kamu ke gue. Gue bisa jawab apa, Ra?
Di antara semua orang yang merindukan kamu, gue berani

366
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

taruhan gue adalah orang yang paling merana. Padahal, baru


beberapa tahun berlalu, tapi kenapa gue merasa seakan kita
nggak ketemu berabad-abad?
Gue kangen banget sama kamu, Ra.
Gue kangen ngelihat kamu duduk di windowsill kamar gue
sambil baca buku yang saking tebalnya bisa dipakai buat nimpuk
anjing tetangga. Fiksi yang nggak pernah gue mengerti.
Gue kangen ngobrol malam-malam bareng kamu sambil
minum cokelat panas pakai marshmallow yang banyak,
mengamati kamu yang sibuk meniupnya pelan-pelan, seakan
kamu takut cokelat panas itu akan membuat bibir kamu
melepuh.
Gue kangen suara ketawa kamu yang lucu, nyaring nggak
jelas, yang dulu selalu mengisi hari-hari gue.
Gue kangen mendengar kamu menyenandungkan lagu-
lagu Constant Star saat kamu berjalan tanpa kamu sadari.
Singkatnya, gue kangen kamu, Ra, dan semua hal yang ada
di diri kamu.
Ada banyak hal yang belum sempat gue ungkapkan setelah
perpisahan kita. Entah kenapa, gue nggak pernah menemukan
timing yang tepat untuk melakukannya. Waktu kita selalu
berlawanan, Ra. Pada saat gue mencari kamu untuk meluruskan
semuanya, kamu malah udah pergi jauh. Bahkan, tanpa pamit,
tanpa surat, tanpa pesan apa pun.
Gue mau kamu tahu, Ra, kalau gue nggak pernah terganggu
dengan sosok kamu yang apa adanya. Anak perempuan tujuh
belas tahun sederhana yang terobsesi pada novel iksi, boyband,
dan cokelat panas pakai banyak marshmallow.
Gue mau kamu tahu kalau selera musik kamu yang
mainstream nggak pernah jadi masalah buat gue.

367
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Gue mau kamu tahu kalau gue nggak pernah sekalipun


mempermasalahkan persahabatan kamu dan Noah. Gue tahu
kalau dia satu-satunya orang yang tepat dan bisa gue percaya
untuk menjaga kamu saat kita udah nggak bersama lagi.
Gue mau kamu tahu kalau setelah perpisahan kita, nggak
pernah sekali pun perasaan gue berubah dan berpindah untuk
orang lain. Kalau kamu bertanya-tanya bagaimana tentang
Marlene, gue rasa gue hanya terbawa momen dengan dia. Gue
bahkan nggak pernah menyukai dia secara nyata. Waktu itu, jarak
yang membentang luas di antara kita dan ketidakmengertian
kamu tentang dunia hiburan membuat gue buta. Lalu, gue
bertemu Marlene. Seperti yang udah kamu tau, gue nggak bisa
diam aja melihat dia diperlakukan dengan semena-mena oleh
pacarnya. Maka, gue menawarkan perlindungan. Lebih dari
semua itu, dia mengerti bagaimana sulitnya menjadi public
igure. Gue rasa apa yang ada di antara kami hanya rasa nyaman
dan sayang sesaat.
Gue mau kamu tahu kalau nggak pernah ada satu hari
pun gue lewati tanpa rasa penyesalan. Gue menyesal, Ra. Gue
benar-benar menyesal karena nggak mencoba lebih keras untuk
mempertahankan apa yang kita punya. Gue menyesal karena
gue-lah penyebab kamu menangis tengah malam. Gue menyesal
karena gue membiarkan sisi egois gue menyakiti kamu. Maaf
aja nggak cukup, kan?
Gue mau kamu tahu kalau gue punya kesempatan, kalau
gue bisa mengucapkan satu permintaan yang akan langsung
dikabulkan Tuhan, gue akan meminta agar gue dilemparkan
kembali ke masa lalu. Agar waktu yang kita miliki bisa diundur
kembali. Nggak masalah buat gue kalau gue nggak bisa menjadi

368
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

penyanyi terkenal seperti sekarang karena gue sadar semua ini


nggak ada artinya tanpa kamu di sisi gue.
Dan, gue mau kamu tahu kalau semua surat yang kamu
tulis untuk gue selama kamu keliling Eropa, akan selamanya
gue simpan baik-baik. Bahkan, mungkin gue baca ulang sesering
mungkin karena surat-surat itu seakan menjadi bukti apa yang
pernah kita punya nyata dan bukan hanya berada di dalam
pikiran gue aja.
Kalau kamu bingung kenapa gue bisa tau tentang surat-
surat itu, jawabannya hanya satu; Noah.
Sekitar tiga minggu yang lalu, Noah datang ke lat gue.
Jujur, gue kaget banget waktu buka pintu dan melihat dia
senyum lebar sambil ngulurin tangan ke arah gue seakan kami
berdua sahabat dekat. Padahal dulu, setiap Noah lihat gue, dia
pasti langsung sensi sendiri. Setelah gue pikir-pikir, mungkin
sebenarnya Noah masih merasakan hal yang sama. Hanya saja
sekarang dia lebih lihai menutupi perasaannya.
Gue mempersilakan Noah masuk meskipun waktu itu lat
gue berantakan banget. Maklum, gue baru aja kembali dari
Australia untuk mengurus pembuatan album baru Constant
Star dan menyusun jadwal European League Tour yang akan
kami langsungkan tahun depan.
Gue sempat basa-basi sebentar dengan Noah. Dia bilang
kalau dia mendapatkan alamat gue dari manajer gue yang
kebetulan teman golf papanya. Noah juga bercerita kalau
sebentar lagi dia akan mengambil alih jabatan papanya di
perusahaan keluarga yang mereka rintis. Singkat kata, dalam
usia muda, sahabat kamu itu sudah memiliki karier yang
cemerlang.

369
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Noah juga bertanya tentang kehidupan gue; apakah gue


masih single dan kapan rencana gue menikah. Gue cuma bisa
ketawa garing. Mau menikah sama siapa? Melupakan kamu aja
masih susah.
Setelah hening yang cukup lama karena kami berdua sama-
sama nggak tau mau ngobrolin apa, Noah menyodorkan sebuah
kotak kecil ke arah gue. Kotak biasa, bungkusnya warna cokelat.
Mirip dengan paket online shop yang sering dipesan Karel dan
Adrian.
“Ini punya Kejora,” kata Noah saat gue bertanya kenapa
dia memberi kotak itu ke gue. “Dia baru pulang liburan keliling
Eropa. Gue temuin itu di dasar kopernya. Gue rasa semuanya
buat lo.”
Meskipun heran, gue memutuskan untuk langsung
membuka kotak itu. Di dalamnya, gue menemukan banyak
amplop warna-warni dalam berbagai ukuran. “Surat?” Gue
menaikkan sebelah alis ke arah Noah, sahabat kamu itu
mengangguk kecil. Air mukanya nggak bisa gue baca sama
sekali.
“Mending lo baca, baru setelah itu kita ngomong.” Noah
nggak menggubris pertanyaan gue. “Ada teh, nggak? Cemilan?
Biar gue nggak bosan nungguin lo.” Dia lalu bangkit dan
berjalan menuju dapur, seakan lat gue yang berantakan ini
terasa familier untuknya, meninggalkan gue dengan tumpukan
surat yang waktu itu gue nggak mengerti apa.
Pelan-pelan, gue buka semuanya satu-satu. Gue baca pelan-
pelan. Gue senyum-senyum sendiri, ketawa ngakak, sampai
akhirnya gue mati-matian menahan diri supaya nggak nangis
tersedu-sedu kayak banci di hadapan Noah. Sahabat kamu
itu dengan santainya menyeruput gelas ketiga tehnya sambil

370
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

memainkan ponsel, pura-pura nggak menyadari kalau gue


sedang mengusap mata gue yang berair.
“Udah?” tanya Noah polos, membuat gue keki sendiri.
Gue mengangguk sekilas dan mengalihkan pandangan
keluar jendela, langit mulai gelap. Padahal, waktu Noah datang
tadi, gue berani bertaruh matahari masih bersinar terik.
“Kejora nggak pernah melupakan lo.” Noah mendengus
keras. Gue tahu lidahnya pasti terasa pahit saat mengucapkan
kalimat itu karena gue yang mendengarnya pun turut merasa
getir. “Setelah bertahun-tahun, rasa itu masih ada buat lo.
Benar-benar nggak bisa dipercaya.”
Sekilas gue menangkap sorot putus asa di kedua matanya,
tapi gue pura-pura nggak menyadari hal itu. Satu-satunya yang
gue lakukan adalah duduk diam. Gue nggak tahu harus berkata
apa. Gue sadar sepenuhnya kalau Noah sayang sama kamu,
sangat menyayangi kamu. Dari awal kita pertama bertemu,
saat gue melihat caranya menatap kamu, gue sadar kalau dia
menganggap kamu bukan sekadar sahabat, tapi kamu terlalu
naif untuk menyadarinya.
Noah menatap gue lurus-lurus sebelum mengatakan satu
kalimat yang sukses membuat dunia gue jungkir balik. “Nggak
lama lagi gue bakal menikah sama Kejora,” ucap Noah tegas,
seakan ingin menerangkan bahwa meskipun kamu masih
merasakan hal yang sama ke gue, kita berdua nggak punya
kesempatan sama sekali.
Gue baru saja akan membuka mulut untuk bertanya
apakah dia serius, tapi sahabat kamu yang tengil itu langsung
memotong. “Iya, gue serius. Nggak bercanda.”
Noah kemudian mengetukkan jarinya di lengan kursi,
menolak bersitatap dengan gue. Sekilas dia terlihat kacau.

371
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

“Awalnya gue kira gue nggak perlu memberi tahu lo kalau gue
dan Kejora akan menikah. Toh ini semua salah lo. Salah lo
karena mutusin dia gitu aja demi cewek rocker yang rambutnya
merah—“
“Marlene.” Gue menyebutkan nama cewek rocker berambut
merah yang Noah maksud. “Namanya Marlene.”
“Ya, Marlene atau siapa pun namanya.” Dia mengangkat
bahu, terlihat tidak peduli. “Lo selalu ninggalin Kejora demi
cewek itu. Setelah baca surat Kejora, gue tau kalau lo hanya
ingin melindungi Marlene. Lo bela-belain ninggalin Kejora di
tengah dinner karena Marlene lagi ada masalah. Lo bela-belain
muka lo biru ditonjok sama pacarnya Marlene karena lo nggak
suka lihat cewek dipukulin. Tapi, apa lo tau, Raf, lo nggak bisa
melindungi dua orang dalam waktu yang sama,” tukas Noah
panjang lebar, membuat dada gue seakan dihantam balok kayu
dari ketinggian 10 meter.
Semua yang diucapkan Noah benar. Waktu itu gue terlalu
percaya diri. Sok pahlawan. Gue nggak berpikir panjang. Gue
malu sama kamu, Ra. Gue malu sama diri gue sendiri. Kenapa
keputusan yang gue ambil hanya bisa menyakiti orang-orang
yang gue sayang?
“Ya udah sih, bro, lo mau nikah sama dia aja udah cukup
menampar gue. Nggak usah tambah ditampar dong dengan
kata-kata lo itu,” keluh gue seraya menghela napas.
Noah terlihat bergerak tidak nyaman. Mungkin dia merasa
bersalah karena sadar apa yang gue katakan benar. “Sepulangnya
Kejora dari Eropa kemarin, gue sadar ada yang beda dari dia.
Kalau gue lagi ngomong sama dia, seakan tubuhnya di depan
gue tapi pikirannya di tempat lain,” tambahnya lagi.

372
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“Jadi, lo bongkar barang-barang dia?” tanya gue sambil


mengangkat alis.
Noah langsung menggeleng, terlihat kesal dengan tuduhan
gue. “Nah, nggak seperti itu. Gue nggak sengaja melihat amplop-
amplop itu di dasar kopernya Kejora. Penasaran, gue baca
semuanya.” Senyum miris muncul di sudut bibirnya sebelum
dia berkata, “Tragis untuk tau kalau isinya tentang betapa dia
sangat menyayangi lo.”
Ada perasaan aneh yang muncul di dada gue saat mendengar
Noah mengatakan kalau kamu masih menyayangi gue. Rasanya
kayak ada ratusan emosi campur aduk, Ra. Di satu sisi gue
senang karena ternyata perasaan gue nggak bertepuk sebelah
tangan, tapi di sisi lainnya, gue sakit, Ra, karena semuanya
udah terlambat. Nggak ada lagi kesempatan untuk kita dan gue
sadar sepenuhnya kalau ini semua wujud dari kesalahan yang
gue buat bertahun-tahun silam.
“Itu tugas lo, Noah,” balas gue pada akhirnya, berusaha
menyembunyikan perih di nada suara gue. “Lo calon suaminya,
lo harus bisa bikin dia melupakan gue.” Gila, rasanya kayak
dirajam saat mengatakan kalau Noah adalah calon suami kamu.
Bukan berarti gue pernah dirajam juga, sebenarnya.
“I’m working on it, Raf.” Noah berkata mantap, tapi sedetik
kemudian dia menatap gue dengan sorot memohon, membuat
gue mendadak bingung. “Boleh gue minta satu hal ke lo?”
Gue menimbang selama beberapa saat. Akan sangat jahat
kalau gue bilang nggak, kan? “Selama gue bisa mengabulkannya,
nggak masalah,” jawab gue pada akhirnya.
“Kejora nggak tau kalau gue kasih surat ini ke lo,” Noah
menghela napas berat. Gue nyaris kasihan melihatnya. Nyaris.
“Dia kira suratnya dibuang sama Mbak yang kerja di rumah.

373
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Yang dia tau, gue mengunjungi lo untuk mengantar ini.” Noah


kemudian menyodorkan undangan pernikahan kalian ke arah
gue, membuat sekujur tubuh gue mendadak panas dingin.
Melihat undangan dengan nuansa putih itu, gue merasa seakan
ditampar bolak-balik sepuluh kali.
Susah payah gue mencerna ucapan Noah dan menyimpulkan.
“Jadi, lo mau minta tolong gue untuk nggak ngasi tau Kejora
suratnya ada sama gue?”
Noah mengangguk. “Itu satu,” katanya pelan. Selama
beberapa detik, Noah menatap gue ragu-ragu, sebelum akhirnya
melanjutkan, “Dan satu lagi gue mau minta lo, kalau bisa, jangan
datang ke pernikahan kami.”
“Memangnya kenapa?” tanya gue langsung, berusaha
terdengar sesantai mungkin. Jujur, gue nggak terlalu kaget
mendengar permintaan Noah. Maksud gue, siapa sih yang mau
mengundang mantan calon istrinya ke pernikahan mereka?
Tapi, tetap aja, sebagian kecil diri gue merasa nggak terima.
“Gue takut aja saat dia melihat lo, dia langsung kalap dan
batalin pernikahan.” Noah mengangkat bahu saat mengucapkan
kalimat itu, seakan kalimatnya umum untuk diucapkan,
membuat gue langsung mendengus keras dan memutar mata.
“Ngaco lo.”
Akan tetapi, kami berdua tahu kalau ucapan Noah saat itu
ada benarnya.
Setelah membaca surat-surat kamu, gue sadar akan satu
hal; perasaan kita berdua masih sama. Kita hanyalah dua
orang yang saling mencintai tetapi sama-sama mencoba untuk
melepaskan. Bodoh banget kan, Ra? Padahal, kalau kita mau,
kalau kita berusaha sedikit lebih keras, kalau kita berdua sama-
sama sabar, kita pasti masih bersama sekarang.

374
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Namun, lagi-lagi semuanya udah terlambat dan gue nggak


mau jadi perusak hubungan orang. Mungkin ini karma karena
gue udah memperlakukan kamu dengan buruk di masa lalu.
Atau mungkin ini memang udah jalannya. Mungkin kamu
memang sebenarnya ditakdirkan untuk bersama Noah dan
bersatunya kalian melalui perpisahan kita. Tapi, kalau memang
seperti itu takdirnya, kenapa gue merasa kalau itu benar-benar
nggak adil, Ra?
Jadi, setelah Noah pamit pulang, gue hanya bisa menatap
undangan pernikahan yang dia tinggalkan. Pikiran gue
terlempar ke masa ketika kita masih sama-sama menggunakan
seragam putih abu-abu. Duduk bareng di studio band-nya Karel.
Minum cokelat panas di kafe dekat sekolah. Dansa ala FTV di
belakang rumah kamu saat prom night. Membayangkannya
membuat gue pengin nangis, tapi sayangnya gue nggak bisa.
Berminggu-minggu gue hidup seperti zombie dengan
kantung mata berlapis. Mungkin gue akan terdengar seperti
banci, tapi gue berharap gue bisa nangis. Gue berharap rasa
entah apa yang menumpuk di dada gue ini bisa hilang seiring
dengan air mata yang mengalir. Tapi, sialnya kelenjar air mata
gue seakan nggak berfungsi karena meskipun sakit di dada gue
udah nggak tertahankan lagi, gue tetap nggak bisa menangis
setetes pun. Maka, gue memutuskan untuk mencari cara lain
untuk mengeluarkan rasa sakit gue, yaitu dengan menulis surat.
Sama seperti yang kamu lakukan.
hen here I am now, duduk sendirian di taman belakang
rumah gue sambil minum cokelat panas ekstra marshmallow
kesukaan kita. Tangan gue pegal karena udah menulis
berlembar-lembar sedari tadi, tapi nggak ada tanda-tanda gue
ingin berhenti.

375
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Kamu bisa percaya nggak, Ra? Gue duduk di taman


belakang rumah gue. Rumah gue. Rumah yang gue beli pakai
uang yang gue tabung sedikit demi sedikit dari semua kerja
keras gue. Rasanya senang banget untuk tahu kalau kerja keras
gue selama ini nggak sia-sia. Buktinya sekarang gue mampu
beli rumah sendiri, mobil sendiri, bahkan membelikan kedua
orangtua gue juga.
Untuk menjawab pertanyaan yang kamu tulis di surat
pertama kamu, gue nggak kuliah musik. Mungkin itu hanya
artikel nggak jelas yang kamu baca di internet tapi, yah, gue
nggak kuliah musik. Malahan, sekarang gue belajar mengurus
bisnis. Meskipun gue sibuk dengan urusan band, pada waktu
senggang salah satu anak buah Papa sering datang dan
mengajarkan gue dasar-dasar bisnis supaya ke depannya gue
tetap bisa handle perusahaan Papa. Gue nggak akan munaik dan
bilang kalau ketenaran Constant Star akan berjalan selamanya
karena gue tahu semua ini bisa hilang dalam sekejap. Jadi, gue
mempersiapkan diri untuk menjadi seseorang yang lebih baik
dari diri gue sekarang di masa depan.
Oh iya, Ra, Karel cerita kalau dia ketemu kamu di konser
Constant Star bulan lalu. Awalnya gue memilih untuk nggak
memercayai ucapan Karel karena gue berpikir, untuk apa juga
kamu datang? Kamu pasti benci banget sama gue selama ini,
atas semua yang udah gue lakuin ke kamu, tapi setelah gue
membaca surat terakhir yang kamu tulis, gue sadar kalau kamu
selalu seperti itu. Kamu datang, tapi nggak pernah merasa
perlu memberi tahu gue. Seperti hari itu, bertahun-tahun lalu,
konser perdana Constant Star yang merangkap dengan hari
keberangkatan kamu ke London.

376
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Yang kamu juga nggak pernah tahu adalah; hari itu


gue datang. Gue ada di sana, berdesak-desakan di Bandara
Internasional Soekarno-Hatta, mencari sosok anak perempuan
mungil yang selama ini selalu mengisi hari gue dengan sia-sia
karena ternyata pesawat kamu udah berangkat.
Gue ingat hari ketika hubungan kita berakhir, setelah kamu
mengatakan, “Kenapa lo nggak putusin gue aja sekalian, Raf?
I’m done.” dan langsung berjalan keluar ruangan, meninggalkan
gue dengan suara pintu yang dibanting, Klana menatap gue
dengan sorot yang nggak bisa gue baca dan berkata, “Lo adalah
orang paling bodoh di dunia.”
Gue balas menatapnya nyalang sebelum mengalihkan
pandangan pada Karel dan Adrian, berusaha mencari
pembelaan, tapi yang gue temukan malah sorot yang sama,
sorot yang seakan mengatakan kalau mereka menyetujui ucapan
Klana. Butuh waktu berhari-hari sampai akhirnya gue sadar
kalau gue memang bodoh. Ralat, mungkin gue memang orang
paling bodoh di dunia. Bagaimana bisa gue dengan mudahnya
melepaskan kamu begitu aja, Ra? Seakan kamu bukan bagian
penting dalam hidup gue, padahal kenyataannya kamu adalah
dunia gue.
Gue jadi ingat satu hari lainnya. Malam sunyi beberapa
bulan setelah hubungan kita berakhir. Saat gue, Karel, Klana,
dan Adrian berada di rooftop hotel yang kami tempati di
Sydney dengan ditemani kopi dalam cangkir kertas yang
rasanya sebenarnya nggak gue sukai. Gue ingat kekacauan yang
berkecamuk di benak gue malam itu setelah gue mengirim
sebuah pesan singkat ke kamu untuk menanyakan apakah
kamu baik-baik saja.
All good, you said. But it’s not all good with me, you see?

377
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Malam itu gue kacau. Mata gue merah dan napas gue
tersengal. Berulang kali gue mengatakan kalau gue sangat
menyayangi kamu dan betapa gue menyesal atas hal bodoh
yang telah gue lakukan terhadap kamu pada Karel, Klana, dan
Adrian. Mereka bertiga diam. Memilih untuk menatap kopi
dalam genggaman yang mulai dingin diterpa udara malam,
sementara gue masih berceloteh nggak jelas. Rasanya hampir
mirip seperti kebanyakan minum alkohol, tapi satu yang kamu
tahu pasti; gue nggak pernah minum.
Pada akhirnya, setelah berulang kali mengatakan hal yang
sama untuk waktu yang cukup lama, Karel memotong gue. “Lo
nggak sayang sama Kejora,” ucapnya tegas. Matanya menatap
gue tanpa ragu, membuat darah gue seketika mendidih.
“Apa maksud lo, Rel?” Gue bertanya dengan ketus, benar-
benar nggak setuju dengan ucapannya. Bagaimana bisa Karel
mengatakan kalau gue nggak menyayangi kamu, sementara
berakhirnya hubungan kita adalah alasan hidup gue benar-
benar miserable selama ini?
“You didn’t love her,” ulangnya sekali lagi sambil menatap
gue lekat—kali ini menggunakan bahasa Inggris dengan aksen
Australia yang kental, efek keberadaan kami yang cukup lama di
sana. “Because you don’t destroy the person that you love.”
Meskipun belakangan gue akhirnya tahu kalau Karel
mengutip ucapan Dokter Torres dari serial Grey’s Anatomy,
tetap aja waktu itu rasanya kayak gue ditampar babon lima kali.
Gue hanya bisa diam kayak orang bodoh, sementara hati gue
berdenyut nyeri. Gue mau membalas ucapan Karel, mengatakan
kalau apa yang dia ucapkan nggak masuk akal sama sekali, tapi
jauh di dalam hati gue, gue tahu kalau Karel benar.

378
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

So I stood in silenece, instead. Reminiscing the days when I was


yours and you were mine.
Setelah bertahun-tahun berlalu, kamu harus tahu kalau
hari paling indah di dalam hidup gue masihlah hari itu. Hari
ketika kita berdua pergi ke Pulau Tidung bareng, tapi bukannya
malah menghabiskan waktu bersama, gue malah sibuk main
sama temen-temen gue dan kamu having girls day out sama Ava.
Padahal, awalnya gue udah membayangkan berbagai macam
kegiatan norak ala FTV yang bisa kita lakukan berdua.
Gue ingat di perjalan pulang kembali ke Jakarta
gue mendapati kamu berdiri sendirian di dek, jari kamu
mencengkeram pagar pembatas erat-erat, seakan kamu takut
terjatuh. Bibir kamu pucat saat kamu mengatakan kalau kamu
nggak enak badan. Hari itu gue merasa kalau gue adalah orang
paling bodoh di dunia karena nggak menyadari itu lebih awal.
Gue juga ingat saat kamu melemparkan senyum kecil ke
arah gue, berusaha meyakinkan gue kalau kamu nggak apa-apa,
sebelum berbalik dan mengarahkan pandangan ke langit senja.
Detik itu juga gue menyadari satu hal; kamu, gue, dan momen
itu. Dengan latar matahari yang mulai terbenam, suara deburan
ombak yang menghantam sisi kapal, dan sinar matahari senja
yang menerpa siluet, membuat kamu kelihatan bercahaya.
Gue nggak pernah melihat sesuatu yang begitu sempurna
sebelumnya.
Detik itu juga satu hal terlintas di pikiran gue: damn, I love
this girl. I wonder if she ever know.
So I told you what I feel.
And lucky me, you also feel the same way.
Mungkin siapa pun yang baca surat-surat yang kamu tulis
akan langsung mengategorikan gue sebagai cowok berengsek

379
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

yang suka tebar kata-kata manis sebelum meninggalkan kamu


untuk orang lain. Gue akui, gue memang berengsek. Tapi, semua
yang pernah gue ucapkan ke kamu bukan hanya sekadar kata-
kata manis. Gue benar-benar merasakannya, Ra. Meskipun
kenyataan berjalan jauh dari apa yang dulu sering gue ucapkan,
bukan berarti semua ucapan gue hanya omong kosong.
Gue harap kamu nggak pernah menyesali kisah kita. Gue
harap suatu saat nanti, saat kita berdua lemah dan rapuh
dengan rambut yang mulai memutih, kamu akan mengenang
tentang kita sekali lagi dan tersenyum. Kamu akan tersenyum,
karena kamu tahu itu nyata dan gue pun akan melakukan hal
yang sama. Gue akan tersenyum dan bersyukur pada Tuhan
karena telah mempertemukan gue dengan kamu—penunjuk
arah anak laki-laki egois yang buta akan dunia nyata.
Dan setiap gue melihat bintang yang bersinar terang di
langit, gue akan menyelipkan doa dalam keheningan malam
agar kamu bahagia.
Karena hanya dengan melihat kamu bahagialah gue mampu
untuk perlahan melepaskan.

Dari anak laki-laki tujuh belas tahun dengan gitar penuh stiker,
pecinta marshmallow sejati, manusia nyebelin dengan labirin di
kepalanya, vokalis band paling ganteng, dan orang yang selamanya
akan menganggap kamu bintang penuntun arah kesayangannya,

Rafa.

380
pustaka-indo.blogspot.com
Bonus Chapter
Jakarta, hari ini.

Rafael Leonardi melangkahkan kakinya perlahan. Seakan


dengan setiap langkah yang ia ambil ada jangkar yang menahan
telapak kakinya di tempat, menyulitkannya untuk bergerak. Dia
merutuki dirinya sendiri dalam hati. Merutuki kebodohannya
dan jiwa pemberontak yang ternyata tak kunjung hilang dari
dalam dirinya.
“Ini lo sendiri yang mau,” ucapnya pada diri sendiri. “Lo
harus ketemu dia atau seumur hidup lo bakal nyesal,” tambahnya
lagi seraya menepuk dada berkali-kali.
Meskipun Karel, Klana, dan Adrian telah terang-terangan
mengatakan bahwa apa yang Rafa lakukan sekarang ini adalah
hal paling bodoh di dunia—ia seharusnya pulang, lalu bergelung
di dalam selimut sambil mendengarkan satu album Celine Dion
untuk meringankan patah hatinya—Rafa tetap berpegang
pada keputusannya. Ia bukan lagi anak remaja tujuh belas tahun
yang tidak mengetahui apa sebenarnya keinginannya. Hari ini,
ia tahu jelas kalau apa yang ia inginkan adalah meluruskan
semuanya.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, Rafa akhirnya
sampai di ballroom salah satu hotel bintang lima di bilangan
Jakarta Pusat. Karangan bunga warna-warni dan petugas

pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

penerima tamu dalam balutan gaun batik menyambut


kedatangannya. Rafa menarik napas dalam-dalam. Satu
langkah lagi dan semuanya akan selesai.
Samar-samar Rafa bisa mendengar lagu pop up-beat yang
sedang marak dinyanyikan oleh entah siapa dari dalam ruangan.
Mungkin wedding singer? Atau mungkin kerabat mempelai?
Entahlah. Rafa juga tidak mau tahu. Maka, setelah menuliskan
namanya di daftar tamu, Rafa langsung melangkah masuk.
Ballroom itu ternyata lebih besar dari kelihatannya.
Mungkin nyaris seperempat luas lapangan bola, kalau menurut
Rafa. Nampan-nampan berisi makanan serta minuman
tersedia di setiap sudut. Semua orang tampak tertawa riang,
membuat Rafa merasa mual. Apa hanya Rafa satu-satunya
orang di ruangan ini yang merasa seakan jantungnya direnggut
paksa dan dipijak di aspal berbatu?
Secara keseluruhan, Rafa menyukai tema pernikahan yang
santai dan tidak ribet itu. Para tamu undangan serta pihak
keluarga hanya mengenakan batik ataupun dress dengan kain
khas kebaya berhias brokat yang terlihat santai. Tidak ada make-
up tebal yang berlebihan, semuanya terlihat natural. Apalagi
dengan dominasi warna cokelat-putih yang klasik, membuat
suasananya terasa seperti di rumah.
Rafa mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru
ruangan. Dari jarak sejauh ini, ia bisa melihat sosok Noah
dengan jas putih santai yang kancingnya dibiarkan terbuka
sedang mengobrol dengan beberapa orang yang terlihat seperti
kolega kerjanya. Rafa juga tidak tahu tepatnya, tetapi menurut
bahasa tubuh Noah sepertinya tebakannya benar.

382
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

Lagi dan lagi Rafa mencari satu sosok di tengah kerumunan.


Batinnya bertanya-tanya, bagaimana rupa dia sekarang? Apakah
dia masih sosok yang sama?
Rafa kembali menghela napas berat. Ia berjalan menuju
salah satu meja yang menyediakan box besar berisi puluhan
kaleng soda dingin. Diambilnya satu dan diteguknya banyak-
banyak, tidak memedulikan sensasi terbakar yang menjalar
di tenggorokannya saat minuman itu mengalir di sana.
Meninggalkan jejak panas.
Di tengah-tengah kegiatannya itu, tanpa sengaja ia
menangkap sosok perempuan kecil dengan gaun putih sebatas
lutut yang sedang tertawa di seberang ruangan. Meskipun
jarak Rafa dan perempuan itu cukup jauh, Rafa bisa melihat
rambutnya yang dulu panjang sepunggung kini jatuh beberapa
senti di bawah bahu dan dibentuk ikal. Sebuah mahkota dari
bunga menghias puncak kepalanya. Sosok itu terlihat asing,
tetapi pada saat yang bersamaan terasa begitu familier.
Seakan terhipnotis, perlahan tetapi pasti, tanpa Rafa
sadari, ia melangkahkan kakinya menuju sosok itu. Setiap
langkah yang ia ambil memperkecil jarak di antara mereka dan
fakta itu membuat rasa hangat seketika menyusup di dada
Rafa. Setelah sekian lama, akhirnya ia diberi kesempatan
untuk bertemu dengan sosok itu sekali lagi.
Saat Rafa akhirnya berdiri tepat di belakang sosok itu,
ia menarik napas dalam-dalam. Keringat dingin membasahi
telapak tangannya. Jantungnya berdetak tidak keruan. Namun,
ia berjuang untuk menekan emosinya dalam-dalam dan
berdeham pelan.
Sosok di hadapan Rafa berbalik dengan anggun. Sisa tawa
di sudut bibirnya saat mengobrol dengan teman-temannya

383
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

seketika luntur begitu ia berhadapan dengan Rafa. Matanya


membesar berkali-kali lipat, sementara tubuhnya menegang.
Rafa nyaris melakukan hal yang sama kalau ia tidak menahan
diri sekuat tenaga.
“Hai, Kejora,” sapanya pelan, bahkan samar-samar suaranya
terdengar parau.
Tepat di hadapan Rafa berdiri sosok Lucillia Kejora yang
mengerjap tak percaya. Bibirnya membuka dan menutup,
seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada kata yang
keluar. Kejora sendiri bahkan tak yakin apakah sosok di
hadapannya ini memang nyata atau hanya sekadar wujud dari
ilusi putus asanya.
Pada akhirnya, Kejora hanya bisa bergerak-gerak gelisah.
“Ra-Rafa?” Sudah lama sekali semenjak Kejora menyebutkan
nama itu. Selain dalam surat-suratnya, ia tidak pernah
menyebutkannya secara langsung. Nama itu nyaris terasa asing
di lidahnya. “Kam—eh, lo datang.”
Rafa tahu benar kalau yang Kejora ucapkan merupakan
pernyataan dan bukanlah pertanyaan. Namun, ia tetap
mengangguk, “Iya. Gue datang.”
Selama beberapa saat, keheningan menyelimuti mereka.
Rafa sibuk mengamati setiap detail pada diri Kejora yang
sekarang. Seperti kantung matanya yang meskipun telah
dilapisi make-up tetap samar-samar terlihat. Poninya yang mulai
memanjang. Pipinya yang kian tirus dan seulas senyum lemah
yang tersungging di sudut bibirnya. Selebihnya, Kejora masih
Kejora yang sama. Kejora-nya.
Kejora sendiri seakan tersedot ke dalam kenangan yang
mereka miliki bertahun-tahun silam saat menatap manik
cokelat gelap milik Rafa. Berkali-kali ia berusaha meyakinkan

384
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

dirinya sendiri kalau sosok Rafael Leonardi dengan seulas


senyum hangat di hadapannya ini memang nyata. Kejora ingin
menyentuh wajah Rafa. Mengusap lingkaran hitam di bawah
matanya yang kian menebal. Ada banyak sekali pertanyaan yang
ingin Kejora lontarkan, tapi lagi-lagi yang ia bisa lakukan hanya
menutup mulut rapat-rapat dan menyimpan semuanya sendiri.
“Lo kelihatan beda.” Rafa memecah keheningan yang
menyelimuti mereka setelah menit demi menit terlewati dalam
diam.
Kejora tersenyum tipis. Ia mengedikkan dagu ke arah Rafa,
“Lo juga.”
“Perbedaan yang baik, lo tau,” ucap Rafa asal. Ia mengusap
tengkuknya, dalam hati ia merutuki dirinya sendiri berkali-kali.
Sejak kapan mereka jadi secanggung ini? “Jadi … Dokter Kejora.
Ada rencana ambil spesialis?”
“Anak,” balas Kejora langsung. Ia menggelengkan kepalanya
sendiri, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia
ucapkan. “Rasanya baru kemarin gue masuk SMA, dan sekarang
gue ada di sini, menyandang gelar dokter. Benar-benar nggak
bisa dipercaya.”
Tawa renyah meluncur dari bibir Rafa. “Lo nggak pernah
cerita kalau impian lo adalah jadi dokter.” Rafa benar-benar
menahan dirinya sendiri untuk tidak menyelipkan helaian
rambut Kejora yang jatuh menutupi wajah saat ia tertawa
mendengar ucapan Rafa.
“Gue bahkan nggak tau kalau ini yang gue inginkan.” Kejora
menatap Rafa dengan seulas senyum kecil di sudut bibirnya.
Perempuan itu mengangkat bahu acuh tak acuh. “Mungkin kita
memang nggak perlu tau semuanya. Mungkin memang ada hal-

385
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

hal yang nggak perlu kita ketahui. Everything will reveal itself as
the time goes by.”
“Oh, tolong, gue tau lo kuliah di London, tapi jangan
nginggris di depan gue dong. Amat sangat mengintimidasi,”
gurau Rafa lagi, membuat Kejora kembali tertawa.
Suara tawanya. Rafa sangat merindukan hal itu.
“Kata seseorang yang kerjaannya pindah dari satu negara ke
negara lain setiap bulan.” Kejora menggigit bibirnya, berusaha
mencegah tawanya kembali meluncur. Ucapan Rafa sebenarnya
tidak selucu itu. Tapi, entah kenapa ia bisa merasakan dorongan
kuat dari dalam dirinya untuk tertawa. Entah apa yang lucu
tepatnya. Mungkin takdir? Karena kembali mempertemukan
mereka di saat seperti ini.
Rafa ingin saja berlama-lama di sana, menatap Kejora lebih
lama lagi. Melemparkan candaan yang sebenarnya tidak terlalu
lucu agar ia bisa mendengar tawa Kejora sekali lagi. Namun,
Rafa sadar sepenuhnya hal itu hanya akan memberatkan
dirinya sendiri. Pasalnya, saat ia melangkah keluar dari ruangan
ini nantinya, semua yang terjadi di antaranya dan perempuan
itu murni tinggal kenangan.
“Gue nggak bisa lama-lama,” ucap Rafa berat. Bohong.
Ia tau benar ucapannya sepenuhnya berlawanan dengan
kenyataan. Ia punya banyak waktu. Kalau Rafa mau, Rafa bisa
menghabiskan satu harian di tempat itu. Tetapi, ia tidak bisa,
tidak boleh.
Sepertinya, Rafa semakin lihai menutupi perasaannya
sendiri karena ia bisa melihat sorot kecewa sekilas di manik mata
Kejora. Menandakan kalau ucapannya berhasil meyakinkan
perempuan itu.

386
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

“O-oh.” Kejora lagi-lagi menggigit bibir. Entah kenapa


dadanya terasa sesak. Seakan oksigen di dalam ruangan telah
disedot habis dan ia tidak bisa bernapas. “Oke, kalau gitu.
Nggak makan dulu? Minum? Masa lo datang nggak makan apa-
apa sih?”
Kejora tau tawarannya itu merupakan wujud dari
sisi egoisnya yang tidak ingin Rafa cepat-cepat pergi dari
hadapannya. Ia masih ingin melihat Rafa lebih lama lagi,
mendengar cerita laki-laki itu tentang konser-konsernya
selama ini, dan perjalanan yang telah dilewatinya seperti dulu.
Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya Kejora tahu pasti kalau
keinginannya itu salah. Mereka bukan lagi Kejora dan Rafa
yang namanya selalu disebutkan berdampingan semasa SMA.
Kini mereka adalah dua individu yang berbeda.
“Udah tadi,” balas Rafa sekenanya. Rafa meraih sesuatu
di dalam kantung celananya. Amplop berwarna putih polos
yang terlihat kusut karena dipaksa masuk ke saku yang sempit.
Dengan ringan ia menyodorkan amplop itu ke hadapan Kejora,
sementara Kejora hanya bisa menatap Rafa dan amplop dalam
genggamannya bergantian. “Buat lo,” tambah Rafa lagi.
Meski bingung, Kejora meraih amplop tersebut.
Permukaannya terasa sedikit kasar di bawah sentuhan
perempuan itu. Jantung Kejora mendadak berdetak lebih cepat.
Pikirannya terlempar pada surat-surat dengan amplop warna-
warni yang mendadak hilang dari dasar kopernya. “Ini … apa?”
tanyanya gamang.
“Surat.” Rafa tertawa pelan. “Kan lo bisa lihat sendiri itu
surat.”
Kejora tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak
memutar mata. “Maksud gue, kenapa tiba-tiba kasih surat?”

387
pustaka-indo.blogspot.com
Elcessa

Helaan napas berat terdengar dari bibir Rafa. Matanya


menatap Kejora lekat. “Karena ada terlalu banyak pertanyaan
yang nggak terjawab di antara kita.” Ia tersenyum tipis. “Gue
udah menemukan jawaban dari pertanyaan gue. Gue rasa
sekarang giliran lo.”
Kejora ingin membalas ucapan Rafa. Ia ingin menanyakan
apa maksud dari ucapan laki-laki itu sebenarnya. Apa dia
tahu tentang surat-surat yang Kejora tulis untuknya selama
ia mengelilingi Eropa. Namun, Kejora hanya bisa menelan
pertanyaannya bulat-bulat saat derap langkah kaki dan suara
serak khas laki-laki memotong pembicaraan mereka.
“Rafa?” Noah kini berdiri tepat di sisi Kejora. Satu
tangannya merangkul perempuan di sampingnya, protektif,
sementara manik matanya menatap Rafa dengan emosi campur
aduk yang berkelebat. “Lo datang?”
Rafa tahu kalau Noah kaget setengah mati melihat
kehadirannya, tetapi mereka bertiga tumbuh dewasa dengan
kemampuan untuk menyembunyikan perasaan yang semakin
lihai. Maka, kekagetan Noah itu bisa tertutupi dengan
mudahnya.
Rafa melemparkan seulas senyum menenangkan ke arah
Noah. “Iya. Tapi, gue udah mau pulang kok.”
Noah hanya membalas ucapan Rafa dengan anggukan
singkat. Ia tidak meminta Rafa untuk tinggal lebih lama
dan Rafa tahu jelas alasannya. Maka, setelah memantapkan
hatinya, Rafa menyodorkan telapak tangannya ke arah Noah
dan memasang seulas senyum paling tulus yang ia punya,
“Congratulations.” Harusnya nada suara Rafa terdengar serak,
tetapi yang keluar malah lebih mirip suara robot. Datar. “I’m

388
pustaka-indo.blogspot.com
Unsent Letters

happy for you both,” tambahnya lagi, kali ini terdengar lebih
tulus.
Noah tahu benar Rafa mengerahkan seluruh tenaga yang
ia punya untuk mengucapkan dua kalimat itu. Maka, laki-laki
itu lekas membalas uluran tangan Rafa dan tersenyum lebar.
“Makasih, Raf.” Gue sangat menghargai usaha lo.
Setelah melemparkan seulas senyum terakhir pada Noah
dan Kejora, Rafa langsung membalikkan tubuh dan menjauh.
Samar-samar ia bisa mendengar Kejora menggumamkan kata
‘terima kasih’ dengan suara yang sedikit pecah. Dari sudut
matanya ia bahkan bisa melihat sorot tulus di mata Noah saat
menatap punggungnya yang kian mengecil. Namun, Rafa tidak
berbalik. Kali ini ia telah memantapkan hatinya.
Maka dengan itu, Rafael Leonardi melangkah menjauh.
Meninggalkan perasaannya, masa lalunya, dan rasa sakitnya di
belakang. Tanpa pernah menoleh lagi.
Sementara itu, Kejora masih menatap punggung Rafa
nanar. Meski tidak sesakit dulu, rasa nyeri itu masih ada di
dalam dadanya saat ia menyaksikan sosok laki-laki yang pernah
menggenggam seluruh hatinya pergi. Samar-samar ia bisa
mendengar suara Noah yang mengajaknya untuk menyambut
tamu lain. Namun, ia mematung di tempatnya. Dibukanya
amplop dalam genggamannya perlahan,

Untuk Lucillia Kejora .…

-s e l e s a i -

389
pustaka-indo.blogspot.com
Tentang Penulis
Perempuan kelahiran Medan, 2 Desember 1998 ini
memiliki nama lengkap Elsa Fakhirah Nasution. Elcessa adalah
nama pena yang ia gunakan di sebuah situs oranye bernama
Wattpad. Saat ini Elsa duduk di bangku semester empat di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Selain
menerbitkan buku, mimpinya yang lain adalah untuk menjadi
seorang psikiater.
Warna pastel, K-drama, novel bergenre romance, Tom dan
Summer dalam 500 Days of Summer, serta One Direction adalah
hal-hal kesukaannya.

Find her on:


- Email: elsaacing@yahoo.com
- Instagram: elcessaa
- Wattpad: elcessa

pustaka-indo.blogspot.com
Wattpad
Fiction

pustaka-indo.blogspot.com
Infinity
Mayang Aeni

“Peran lo dalam hidup gue tuh terkesan infinity,


tanpa batas. Sometimes you could be my friend,
lover, and enemy. Gue bisa jadi siapa aja di
depan lo begitu pun lo di depan gue. Gue nggak
takut lagi untuk membuka luka-luka gue dan
mengobatinya sejak ada lo.”

pustaka-indo.blogspot.com
“Lo mau jadi pacar gue?”
“Bukannya gue emang pacar lo?
Tapi makasih ya, gue suka surprise-nya.
Maaf selama ini sudah nyembunyiin hubungan kita.”

Dunia Natasha berguncang. Natasha tidak pernah mengira bahwa


permainan UNO bisa mendatangkan musibah untuknya. Permainan
yang awalnya ia kira menyenangkan, ternyata berubah menjadi
kesengsaraan ketika ia kalah dan ditantang untuk menembak seorang
Ghaksa Andromeda, seorang bad boy keren di sekolahnya. Dunia
Natasha benar-benar jungkir balik setelah seorang Ghaksa Andromeda
masuk dalam kehidupannya.

pustaka-indo.blogspot.com
Bagi Lollypop, Edgar tak lebih dari seorang cowok bengal, meski
penampilannya keren. Cowok yang ada di barisan terdepan saat
terjadi kericuhan, dan ada di barisan belakang saat guru memberikan
pelajaran di kelas.
Sementara bagi Edgar, Lollypop adalah cewek manis yang tak
pernah mengerti dunia Edgar. Gadis manis yang tak pernah lepas
dari pandangan Edgar.
Dua manusia. Dua kepribadian. Bukan rahasia lagi bagi para
siswa SMA Matahari bahwa Lollypop dan Edgar tak bisa disatukan.
Lollypop membenci Edgar yang bengal, sementara Edgar menyukai
Lollypop yang manis.
Namun, jika satu rahasia dalam hidup Edgar terkuak, akankah
Lollypop tetap membenci Edgar?

pustaka-indo.blogspot.com
Sejak awal, Diandra Andira sudah ditakdirkan untuk membenci
Reynaldi Marvellius. Bukan hanya karena mereka kerap bersaing di
bidang akademik dan popularitas, melainkan karena ada hal lain di
masa lalu yang mereka sembunyikan.
Sampai pada suatu saat, takdir menjebak Marvell dan Diandra dalam
permainan hati yang membuat keduanya berusaha mematahkan hati
lawan untuk menjadi pemenang. Namun, siapa yang menyangka,
bila ternyata permainan hati itu menguak misteri di masa lalu, serta
mengubah takdir Marvell dan Diandra?

pustaka-indo.blogspot.com
Sandi’s Style
@Sirhayani
“Lo tahu percepatan gravitasi bumi berapa?
Sembilan koma delapan meter per sekon kuadrat.
Dan gue butuh lebih dari angka itu di diri gue,
supaya elo lebih tertarik ke gue.”

pustaka-indo.blogspot.com
pustaka-indo.blogspot.com
unsent letters

unsent
Tentang Kejora—yang rasa sedihnya ia tumpahkan dalam puluhan
lembar surat. Tiap kata yang memenuhi lembarnya setara doa, harapan,
dan rintihan yang terus meminta agar waktu dapat diputar ulang.

Tentang Raffa—dan rasa sesal yang memenuhi benaknya tanpa


pernah berani ia keluarkan. Kata pisah terus membayang di ingatannya

letters
meski waktu telah berlalu, bersama imaji seorang gadis mungil yang

unsent letters
menyandang nama bintang paling terang. Bintang yang jaraknya dua
langkah dari sang mentari.

Tentang mereka—dan sebuah kisah yang mengalir dalam tumpukan


surat. Surat-surat yang akan menguning, menjadi saksi bisu hal-hal
yang pernah mereka bagi. Mungkinkah surat itu menjadi jalan bagi
mereka untuk kembali menemukan?

pustaka-indo.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai