Anda di halaman 1dari 7

Benteng yang Terlampau Kokoh

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : AU, abal, gaje, typos menyebar di segala penjuru, OOC, membosankan,
membingungkan, dan alur tak tentu arah.

Rated T

Genre : Romance, Hurt/comfort

Chara : KakaSaku

A/N : Cerita dari Sakura PoV. Don't like, don't read! Segera tekan tombol back, jangan memaksa,
author tak bertanggungjawab atas kejadian yang akan menimpa Anda setelah membaca fic gaje ini.
Aku sama sekali tidak berniat membuat sesuatu yang mengandung SARA dan semoga fict ini juga
bebas dari SARA. Terinspirasi dari fict "Different" milik Kak Chooteisha Yori. Silahkan Read and
Review yah... #bungkuk-bungkuk sambil maksa reader. :D

R&R yah... ^_^

Sore ini masih sama dengan sore kemarin. Tak ada hal yang membedakannya. Sang surya akan
segera beristirahat ke ufuk barat. Mulai tergantikan oleh sang bulan yang akan menemani sang
penghuni jagat raya untuk menghabiskan setengah dari dua puluh empat jam dalam sehari dengan
keadaan yang gelap. Jika tak ada awan hitam yang menggumpal, dapat dipastikan sang bulan akan
didampingi oleh sang bintang untuk menyaksikan peristiwa proses berubahnya uap air menjadi
butiran embun yang akan bergelayut manja di ranting-ranting pohon keesokan paginya. Begitu juga
dengan rasa sesak ini, masih setia menggelayuti hati ini. Rasa sesak ini masih tetap sama. Dan
mungkin, tak akan pernah berubah. Hati ini masih tetap berusaha untuk berdamai dengan keadaan.
Hati ini masih tetap berusaha untuk melupakan masa lalu –lebih tepatnya.

Menikmati suasana sore menjelang malam dengan ditemani secangkir hot lemon tea di balkon rumah
adalah kegiatan favoritku. Secangkir hot lemon tea  selalu setia menemaniku di setiap soreku. Seakan
tahu bahwa sang penikmatnya selalu membutuhkan kawan, kawan dalam berdamai dengan takdir.
Angin sore berhembus membelai wajahku. Segar, itulah yang kurasakan. Kupejamkan mataku
sejenak untuk lebih menikmati betapa sejuknya belaian angin sore. Kembali kubuka mataku.
Kemudian, sedikit kuseruput hot lemon tea yang berada di hadapanku. Kubasahi tenggorokanku yang
mulai mengering. Seketika rasa hangat menjalari tenggorokanku. Nikmat sekaligus segar.

Kukenang kembali awal pertemuan kita. Pertemuan yang tak pernah sengaja direncanakan.
Pertemuan yang tak pernah terpikirkan dalam otakku akan menjadi sebuah bumerang yang siap
menikamku.

Flashback.
Tepat satu tahun yang lalu, aku mendatangi sebuah IT vendors and consultants¸ bermaksud untuk
memesan sebuah software yang dibutuhkan oleh kantor tempatku bekerja. Langsung saja aku menuju
ke bagian receptionist dan berkata bahwa aku telah mempunyai janji dengan Kakashi Hatake –
seorang systems analysts yang bekerja pada IT vendors tersebut. Dua hari sebelumnya, aku memang
sudah membuat janji dengan Kakashi. Seorang teman baikku –Ino– merekomendasikan
seorang systems analysts yang bernama Kakashi Hatake.

"Kujamin Sakura, kau tidak akan menyesal membayar mahal seorang Hatake-san untuk
menyelesaikan sebuah software yang kau butuhkan." Seperti itulah kira-kira perkataan Ino ketika
memberikanku jawaban.

Sang receptionist pun segera menghubungi orang yang bernama Kakashi Hatake tersebut. Dan tak
menunggu lama, sang receptionist pun menuntunku menuju ruang kerja Kakashi. Di ruangan itulah
aku pertama kali bertemu dengannya.

End of flashback.

Kuhirup napas dalam-dalam, kupejamkan mataku, dan ku replay ulang pertemuan perdana kita.
Pertemuan yang berawal dari sebuah profesi. Kau seorang systems analysts dan aku sebagai
seorang users  yang membutuhkan keahlianmu untuk memecahkan masalahku. Cakap dalam
berkomunikasi, lugas dalam menjelaskan, dan mengerti akan kebutuhan yang dicari oleh
konsumenmu tanpa konsumenmu harus panjang lebar menceritakan detail fitur-fitur yang harus ada
pada software yang mereka butuhkan. Itulah hal pertama yang kau lakukan ketika kita bertemu.

Flashback.

"Kakashi Hatake."

"Sakura Haruno."

Yah, hanya kata singkat yang terucap dari bibir kami ketika kami berkenalan. Kata yang berisikan
nama kami masing-masing. Dan tak lupa, disertai dengan jabatan tangan. Salam perkenalan
yang standart. Dan setelah perkenalan singkat itu, Kakashi langsung bersikap profesional dengan
mengajukan berbagai macam pertanyaan kepadaku yang bersangkutan dengan software  yang
kuinginkan.

Diam-diam aku selalu memperhatikan setiap gerak yang sedang Kakashi lakukan dengan indera
penglihatku. Bibir ini terasa ingin tersenyum setiap kali aku memandang wajahnya. Postur tubuh yang
tinggi, wajah yang begitu rupawan, disertai dengan mata onyx yang berbeda warna. Tak luput dari
pandanganku, warna rambutnya yang bisa dibilang langka –silver– dengan model mencuat ke atas
seakan sedang menantang gravitasi. Dan suara bariton yang keluar dari pita suaranya, mampu
menyihirku. Jari-jarinya yang lincah menari di atas keyboard dan sesekali menyentuh
lembut touchpad laptop yang berada di hadapannya juga tak luput dari perhatianku.
Mungkin, aku terkena virus cinta pada pandangan pertama. Kisah cinta yang pada awalnya aku
anggap hanya hoak belaka. Kisah cinta yang aku percaya hanya hasil gombalan dari para pujangga.
Namun, itu semua terjadi. Yah... Mungkin, aku terkena tulah dari hal yang aku anggap mustahil
terjadi di dunia ini. Tetapi, aku tetap berusaha menyangkal rasa ini, kuharap ini hanyalah rasa yang
bertahan untuk sesaat saja.

Software pertama yang kupercayakan pada Kakashi telah diselesaikannya dengan apik. Ino tak salah
merekomendasikan. Aku sangat puas dengan hasil karyanya. Dan itu, menjadikan alasan bagiku
untuk selalu memercayainya dalam membuat pesanan software yang kubutuhkan.

Dan seiring dengan berjalannya waktu, pertemuan kami semakin hari semakin sering. Pertemuan
yang pada awalnya hanya sebatas hubungan profesi saja, kini telah menjelma menjadi hubungan
yang aku sendiri tak bisa mengartikannya. Entah pada pertemuan yang keberapa, Kakashi sengaja
mengajakku berkunjung ke apartemennya.

"Aku mebutuhkan sebuah ketenangan dalam merancang dan membangun sistem informasi dari
software yang kau pesan itu, Sakura. Software yang kau pesan kali ini, mempunyai fitur yang rumit.
Maka dari itu, bisakah pertemuan selanjutnya kita lakukan di apartemenku saja?"

Itulah kalimat –yang lebih tepatnya bisa dibilang alasan– yang Kakashi ucapkan kepadaku ketika dia
berusaha membujukku untuk berkunjung ke kediamannya. Dan aku hanya bisa menghela napas serta
mengiyakan ajakannya.

End of flashback.

Samar-samar kudengar lantunan sebuah lagu. Yang kutahu pasti, lirik lagu itu bukanlah bahasa
Jepang ataupun bahasa Inggris. Lirik lagu itu menggunakan bahasa dari salah satu negara yang
berada di ASEAN. Tepatnya, lagu itu berasal dari Indonesia. Yah... Aku memang menguasai bahasa
dari negara tersebut.

Jangan merasa heran, mengapa aku bisa menguasai bahasa Indonesia, Otou-san ku berasal dari
negara merah putih tersebut. Sepuluh tahun berada di negara itu, cukup membuatku fasih berbahasa
Indonesia dan juga mengerti akan adat dan kebiasaan penduduknya. Waktu yang cukup lama berada
di negara yang terkenal dengan banyaknya budaya yang dimilikinya. Sebelum akhirnya aku
memutuskan untuk melanjutkan studiku dan berkarir ke negara asal Kaa-san dan bertemu dengan
dia. Dia yang juga menjadi alasan bagiku untuk kembali ke Indonesia. Tak ayal, beberapa lagu
berbahasa Indonesia wajib berada di daftar playlist-ku. Dan salah satu lagu yang menjadi favoritku
adalah lagu yang sedang terputar dari smartphone-ku saat ini.

Aku untuk kamu, kamu untuk aku

Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda


Tuhan memang satu, kita yang tak sama

Haruskah  aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi

Alunan lagu yang terputar dari smartphone-ku mengiringi santai soreku menjelang malam. Lirik lagu
yang begitu mendalam, tepat menohok isi hatiku. Lebih tepatnya, lagu itu mewakili isi hatiku.
Menggambarkan sepenggal peristiwa yang telah mampir ke kehidupanku.

Berbeda, itulah yang ada padaku dan Kakashi. Bahkan, karena berbeda itulah aku takut untuk
memulai semuanya. Karena perbedaan itupun, aku juga takut untuk mencari tahu lebih tentang
Kakashi. Hal yang kudapatkan ketika aku berkunjung ke kediaman Kakashi. Sebuah pengertian bahwa
aku dan Kakashi sangat berbeda.

Flashback.

"Selamat datang di rumahku, Nona Haruno." Kakashi berkata kepadaku dengan bersikap seperti
seorang maid yang sedang membukakan pintu untuk tuannya.

Dan aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. Kulangkahkan kakiku masuk ke rumah
Kakashi. Kudapati sebuah ruang tamu yang tak bisa dikatakan luas. Namun, penataan dari ruang
tamu itu sangatlah rapi dan terlihat elegan.

"Silahkan duduk, Sakura. Mau minum yang panas atau yang segar?" Kakashi berujar kepadaku di saat
aku masih mengagumi ruang tamu itu.

"Hot lemon tea." Kuberikan jawaban kepada Kakashi.

"Baiklah. Tunggu di sini sebentar ya Nona, aku akan mengambilkannya untukmu."

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman dan anggukan kepala saja.

Kususuri dengan indera penglihatanku setiap sudut ruangan yang didominasi dengan warna putih
gading ini. Mungkin, putih gading adalah warna kesukaan Kakashi. Ketika pandanganku tengah
menjelajah, tak sengaja indera penglihatku menangkap sesuatu yang berbentuk cross  sedang
bertengger manis di dinding yang menjadi batas antara ruang tamu dan ruang bagian dalam rumah
Kakashi.

Deg.

Jantungku berdetak tak normal. Seharusnya, aku mengetahuinya dari awal. Seharusnya, logikaku bisa
berjalan dengan baik. Mayoritas penduduk negara Matahari Terbit adalah berbeda keyakinan
denganku. Tak berbeda dengan mereka, Kakashi juga berbeda denganku. Seakan terdapat beban
yang berton-ton menimpuk kepalaku. Aku tersadar pada realita yang ada. Aku mendapatkan sebuah
pengertian. Pengertian bahwa aku dan Kakashi berbeda. Jalan yang kami tempuh tak akan pernah
satu arah.

"Ini hot lemon tea pesanan Nona Haruno. Silahkan diminum, Sakura. Nanti keburu dingin."

Hanya sebuah dengingan yang terdengar di telingaku. Suara Kakashi hanya samar-samar kudengar.
Aku berusaha keras untuk mengartikan semua informasi yang baru saja kudapatkan. Ya Tuhan, hati
ini terlanjur terpaut pada Kakashi. Mengapa Engkau terlambat memberikan pengertian? Hati kecilku
berucap memprotes kepada Yang Esa.

"Terima kasih." Aku berusaha keras untuk terlihat biasa saja.

Kakashi menghidupan laptop-nya. Menampilkan desain software  yang telah ia buat. Kemudian


menjelaskan detail cara kerja dari software  tersebut. Namun sayang, otakku tak mampu bekerja
dengan baik mencerna setiap informasi yang ditangkap oleh indera pendengarku. Pandanganku hanya
tertuju pada semua gerakan tubuh Kakashi. Netraku memandang kosong raga yang tengah
mengajakku berbicara. Memandang raga yang tak akan pernah bisa aku dapatkan terasa sangat
menyakitkan.

Sesampainya aku di rumah, segera kuambil ambil air untuk berwudhu. Menyerahkan diri kepada yang
Esa. Meminta pertolongan kepada Dia. Kudapatkan sebuah pemahaman bahwa aku harus segera
mengakhirinya sebelum semuanya dimulai. Semuanya akan jauh lebih mudah kulakukan jika aku
berada jauh dari Kakashi.

Beberapa minggu kemudian, kuputuskan untuk mengajukan surat pengunduran diri dari tempatku
bekerja. Kuputuskan untuk mengakhiri semuanya. Akan jauh lebih mudah melupakan Kakashi jika aku
berada di negeri asal Otou-san.

Aku melihat sorot mata yang meredup ketika kusampaikan kepada Kakashi, bahwa aku harus
meninggalkan Jepang. Kakashi memelukku begitu erat. Seakan sangat takut kehilanganku. Tapi aku
tak bisa berbuat apa-apa. Ini jalan yang terbaik untukku.

"Maafkan aku, Kakashi." Ucapku lirih. "Aku harus kembali di tempatku. Ternyata, bukan di sini
tempatku."

"Tak ada yang perlu meminta maaf, Sakura."

End of flashback.

Tak terasa, sang mentari telah sepenuhnya tergantikan oleh sang bulan. Angin sore yang semula
terasa segar telah sepenuhnya tergantikan oleh angin malam yang menusuk kulitku. Ternyata
lumayan lama, waktu yang kugunakan untuk memutar ulang peristiwa yang pernah singgah di
hidupku. Peristiwa yang sampai sekarang masih sulit untuk kulupakan. Walaupun pada kenyataannya,
aku telah berada jauh darinya.
Aku takut jika aku memulainya, aku tak kan sanggup untuk mengakhirinya. Pasti akan terasa sangat
sakit ketika semuanya akan berakhir. Maka dari itu, biarkan semuanya seperti ini. Biarkan aku
mengagumimu dari sini. Tanpa aku memberitahumu rasa ini. Tanpa kau mengetahui rasa ini.

Kau dan aku memang ditakdirkan untuk berbeda. Benteng perbedaan di antara kita begitu kokoh.
Hingga kau dan aku, tak akan mungkin bisa untuk meruntuhkannya. Hingga kau dan aku, tak akan
mungkin bisa bersatu menembus benteng perbedaan itu.

Aku... Aku yang pengecut. Aku yang hanya bisa mengagumimu dari jauh. Aku yang hanya bisa
membicarakanmu dalam hati kecilku. Aku yang hanya bisa berusaha untuk menghilangkan rasa ini.
Aku yang hanya bisa bertanya-tanya perasaan apa ini. Aku yang hanya bisa menerka-nerka perasaan
ini. Dan aku, yang hanya bisa meratapi perbedaan kita setelah aku tahu perasaan ini.

Terlalu banyak kumengkhayalkan dirimu. Jika saja kita tidak berbeda, jika saja benteng itu tak terlalu
kokoh untuk ditembus, jika saja kepercayaanku membolehkan umatnya untuk bersatu dengan yang
tidak satu kepercayaan dengan umatnya, tetapi pada kenyataannya, secara tegas kepercayaanku
melarang umatnya bersatu dengan yang tidak satu kepercayaan dengan umatnya. Yah... Itu semua
hanyalah kata-kata jika saja atau seandainya yang bisa kukhayalkan.

Jika saja kau mengetahui rasa ini, dan jika saja kau mempunyai rasa yang sama, apa yang akan kau
lakukan? Seperti halnya sebuah penggalan lirik lagu, pertanyaan itu hanya pantas dipertanyakan
kepada rumput yang bergoyang. Jika saja aku tak takut dengan dosa, jika saja aku tak takut dengan-
Nya, jika saja aku bisa memaksakan kehendakku untuk mengajakmu mengikutiku, pasti aku tak akan
menjadi orang pengecut dan mungkin saja kita akan bisa bersatu. Namun kenyataannya, aku adalah
orang yang sangat menjunjung tinggi demokrasi, hingga aku merasa tak pantas memaksakan
kehendakku kepadamu untuk sejalan denganku, tak adil bagimu jika kau harus sama denganku.
Begitu juga dengan diriku. Tak akan pernah bisa aku mengikutimu.

Aku memang mempunyai pilihan, kau cintaku di dunia ini, atau DIA cintaku yang abadi. Dan maafkan
aku, karena aku lebih memilih DIA –cinta abadiku yang telah memberikanku kenikmatan dalam hidup
ini.

Maafkan aku yang tak pernah berusaha untuk memulai, maafkan aku yang tak bisa memilihmu,
maafkan aku yang terlalu pengecut untuk memperjuangkannya, bahkan aku takut untuk memulainya.
Karena bagiku, benteng perbedaan kita tak kan pernah bisa untuk diruntuhkan. Karena tak akan
pernah ada kata kompromi untuk sebuah perbedaan kepercayaan. Maafkan aku, karena bagiku
perbedaan keyakinan di antara kita merupakan perbedaan yang tak bisa tertolerir, walaupun banyak
di luar sana yang mungkin bisa menolerir perbedaan keyakinan atas nama toleransi. Karena
bagiku, untukmu agamamu dan untukku agamaku.

Jika aku memaksa untuk memulainya, bagaimana kita akan bisa bersatu, sedangkan pondasi kita saja
sudah berbeda sejak awal. Dan aku yakin, Tuhan sudah mempersiapkan jodoh kita masing-masing
yang tak terhalang oleh dinding yang terlalu kokoh.

Maaf, hanya kata itu yang bisa aku ucapkan.

Maaf, karena aku lebih memilih untuk tak mengawali semuanya. Dan aku yakin, jodohmu telah
menantimu di luar sana, begitu juga dengan diriku. Karena takdir, adalah pilihan kita. Dan ini adalah
pilihanku. Selamat tinggal untuk kisahku yang tak kan pernah untuk kumulai.

Maafkan aku, Kakashi.

.
.

END

Huwa... Tema fict ku kali ini bener-bener aneh binti nggak jelas banget. Semoga fict ini
tidak mengandung SARA dan juga bukan songfict.

Sebenarnya, fict ini udah lama kutulis, tapi belum ada pairingnya. Jadi, ya harus dirombak
dari awal untuk memasukkan pairing. Hehehe...:D. Aku kok merasa fict ini gaje banget yah.
Mulai dari alur, tempat, dan juga diksi-diksiku. Terkesan terburu-buru juga. Huhuhu...
*pundung.

NB :

Systems analysts : pengertian sederhananya adalah orang yang mengerti bisnis & computing.
Pokoknya, dia orang yang sempurna. Pinter dalam segala aspek. Pinter IT, hukum, komunikasi,
ekonomi, ngerti kode etik, dan lain-lain. Pengertian gampangnya, systems analysts  inilah yang
menjadi penjembatan antara client dan programmer.

IT vendors and consultants : suatu perusahaan yang menjual hardware, software, dan layanan ke
bisnis untuk digabungkan dengan suatu Sistem Informasi.

Masih seperti sebelumnya, aku sebagai author masih


mengharapkan feedback dari reader dalam bentuk konkrit, baik berupa review, kritik,
saran, atau apa saja boleh, yang penting konkrit. Aku akan menerimanya dengan senang
hati.

Don't be silent reader! Ok...

Arigatou gozaimasu...

Sign in

Rieki Kikkawa

020313

Anda mungkin juga menyukai