QRCBN: 62-1031-2790-712
(viii + 125 halaman)
14,8 x 21 cm
i
Diterbitkan oleh
PENERBIT N.ID
Penulis bertanggung jawab atas hak cipta dan isi diluar tanggung
jawab penerbit maupun pencetaakan.
ii
KETENTUAN PIDANA PASAL 113 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
iii
Kata Pengantar
Penulis
iv
Daftar Isi
Broken .................................................................................................. 1
v
My Soulmate Is My Idol? ................................................................ 81
vi
Broken
Penulis: Linda puspita sari
2
masih berusaha untuk merekatkan kembali kepingan yang telah
hancur ini.
Aku tak mau kehilangan orang-orang yang aku kasihi
bahkan aku sangat takut mengecewakannya, punggung ini terasa
berat menanggung beban dan harapan orang-orang terdekatku,
tolong lah bilang kepadanya kalau ekspektasi mereka terlalu tinggi
aku kewalahan memenuhinya, maaf ya ayah, ibu kemarin raport
ku tak sesuai ekspektasi, maaf ya ayah, ibu nilaiku turun dan itu
pasti memuat kalian kecewa, aku tak ingin ini terjadi tapi usaha ku
sudah sekuat tenaga untuk membanggakan kalian, maaf aku tidak
bisa seperti dulu yang selalu rangking pertama, tolong jangan
marah ayah, jangan marah ibu aku hanya perlu dukungan bukan
pukulan, aku janji akan berusaha lagi sekuat tenaga untuk
membanggakan kalian, anak kecilmu masih sangat lelah bu maaf
ya jikalau raga ku ini tak dapat membalas kerja kerasmu dengan
nilai yang baik, ayah dan ibuku kalian perlu tahu bahwa aku
mencintai kalian disetiap dunia dan kehidupan bukan berarti
dengan ini aku tidak lagi mencintai kalian tapi sungguh cinta itu
nyata adanya dan tidak akan terhapuskan oleh banyaknya rasa
kecewa.
Diary ini tentang aku bahwa benar rintik hujan tak dapat
menghapuskan lara bahkan indahnya bianglala tak dapat
menyembuhkan hati yang terluka, mereka juga tak salah jika
bilang hal terkecil dalam hidup itu lah sumber bahagia namun
bagaimana jika titik bahagia itu sendiri yang enggan mendekat?
Bersama bahagia yang pergi itu setelahnya yang tercipta
hanyalah kebahagian palsu, senyum tipis itu tak setulus duhulu,
tapi dairy kamu tahu bahwa perjuangan hidup itu tak kan berhenti
aku harus membangun semua ini dalam hidupku,
membanguncinta, keluarga dan tentunya mewujudkan bahagianya
lagi, haro demi hari sebenarnya bnyak sekali mimpi yang terkubur
bahkan curahan hati yang tak pernah tersampaikan kepada tuan
nya tapi ya ini lah hidup banyak sekali pelajaran berharga tentang
cara bersabar dan menjadikan diri semakin dewasa, dari sini aku
3
mengerti bahwa dewasa bukan soal usia dan umur tetapi tentang
bagaimana kesiapan kita menjalankan ujian hidup dan melewati
dengan penuh kesabaran.
Kasih sayang yang mungkin sulit didapat tapi aku tak
pernah menyerah untuk mendapat kan kasih tuhan karena ia sang
maha pengasih dan penyayang, ada tuhan hidup pasti nyaman dan
itulah prinsp hidup yang sering aku pegang, pelajaran hidup yang
ia berikan sungguh luar biasa berharga bagaimana menjadikan diri
ini dewasa, pelajaran ikhlas dan pengendalian emosi yang
mungkin jika taka da masalah hidup tak akan bisa untuk dipelajari
karena tidak ada mapel di sekolah yang bisa mengajari tentang ini.
Tangis dan tawa adalah hiasan utama dalam kehidupan ini
sebagai pelengkap setiap kejadian, pandangan orang dan segala
macam cemoohan juga merupakan jalan menjadi sosok terkuat
versi hisup kita masing-masing dan agar kita selalu bisa
mengambil hikmah dari semua itu, bahwa cinta itu abadi, cinta itu
muni dari hati dan itulan sumber bahagia yang nyata walaupun
terkadang cinta itu tak bisa menghantarkan kita menuju bahagia
yang tulus, diaryku kamu jadi saksi dari setiap perjalanan yang
telah ku lalui kamu menjadi tempat pelampiasan amarah dan
kesal, terimakasih ya diary.
***
Bionarasi
6
di duga tengah mengantuk. Mbok Yem meninggal dunia di
tempat, dan pemilik mobil box tersebut bertanggung jawab
dengan menanggung semua biaya pemakaman.
Setelah selesai jenazah Mbok Yem di shalatkan, para warga
berbondong untuk mengangkat keranda jenazah ke tempat
peristirahatkan terakhir. Semua rangkaian acara berjalan dengan
lancar, begitu pula dengan acara tahlil yang dilaksanakan setelah
isha’ di rumah Mbok Yem, “Yasiin ….” Suara warga ketika
membacakan surat yasin dan tahlil terdengar.
Pembacaan doa dan tahlil pada malam pertama selesai,
walau malam ini cuaca tak begitu mendukung karena gerimis
datang, aku nekat harus kembali ke rumah karena besok aku harus
ke sekolah dan menjalani aktivitas ku seperti biasa. Membantu
persiapan untuk tahlil menguras habis tenagaku, mataku terasa
sangat berat karena kantukku telah tiba, aku segera meninggalkan
rumah Mbok Yem dan berjalan untuk pulang.
Aku inisiatif untuk pulang terlebih dahulu, karena kedua
orangtuaku harus menginap di rumah Mbok Yem, seluruh anggota
keluarga yang dekat maupun yang jauh tengah berkumpul. Selama
ini Mbok Yem tinggal sendirian karena delapan tahun lalu
suaminya sudah dipanggil terlebih dahulu oleh sang pencipta,
beliau dinyatakan mati karena didiagnosis memiliki riwayat sakit
jantung, sehingga kedua orangtuaku lah yang merasa bertanggung
jawab untuk menemui mereka.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku memaksa tubuh lelah
ini untuk berjalan pulang. Aku memilih pulang lewat belakang
rumah Mbok Yem, karena memang tak ada jalan lain lagi untuk
menuju ke rumahku.
Jalan yang kulewati ini sangat gelap, bermodalkan senter
yang tak terlalu terang tapi cukup untuk menerangi jalan, aku
memberanikan diri untuk melewati perjalanan yang terasa
menyeramkan ini.
Pepohonan bambu di pekarangan ini sangat lebat, cahaya
minim membuat suasana yang disiang hari biasa saja menjadi
7
terasa begitu menyeramkan saat malam seperti ini. Aku terus
berjalan dengan sesekali mengangkat kakiku untuk menghindari
pohon bambu yang roboh menghalangi jalan.
Tak terasa aku sudah berada di sawah, tempat biasanya
Mbok Yem bekerja, waktu masih kecil aku sering bermain di sini
sambil membantu Mbok Yem bekerja, tentu aku lebih banyak
main daripada membantu. Aku bermain dengan anak-anak petani
yang ikut orang tuanya bekerja, sama seperti ku.
Saat ini suasananya begitu hening, hanya terdengar aliran air
dari sungai kecil yang biasanya dipakai untuk mengairi sawah, dan
juga suara daun-daun padi yang tertiup angin.
Tiba-tiba grimis berubah menjadi rintikan air yang deras,
akupun mulai mempercepat lajuku, aku ingat jika disini ada
pondok gubuk tempat para petani beristirahat dan memakan bekal
mereka, dan benar saja aku melihat pondok itu tak jauh dari
tempatku sekarang berdiri, kemudian aku berlari menuju pondok
tersebut dengan tangan kanan yang melindungi kepalaku dari
derasnya hujan, dan tangan kiriku yang masih setia memegangi
senter.
Aku duduk dialas yang terbuat dari bambu, kuputuskan
untuk berteduh di pondok gubuk yang sudah tua ini, kusandarkan
punggungku pada tiang gubuk yang terbuat dari bambu sambil
menghela napas.
Kuedarkan pandanganku untuk melihat derasnya hujan
sejauh mata memandang, suara binatang malam terdengar sayup-
sayup bersamaan dengan suara rintikan air hujan.
Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul delapan malam,
hari sudah sangat malam untuk ukuran anak perempuan sepertiku
berada ditengah sawah seperti ini sendirian, aku sedikit menyesal
tak mendengarkan orangtuaku untuk menginap saja di rumah
Mbok Yem.
Bisa dibilang aku ini anak yang kelewat berani, karena tak
hanya sekali aku pulang malam melewati sawah ini seorang diri,
8
tapi tak semalam ini, karena biasanya sebelum isya’ aku sudah
sampai di rumah.
Entah kenapa semakin lama suasana disini terasa begitu
menyeramkan, udara juga terasa begitu dingin, tengkukku sedikit
merinding, kemudian aku mendengar suara yang begitu kukenali.
“Mulih nduk, wis bengi, ora apik.” (Pulang nak, sudah malam, gak
bagus.) Terdengar begitu lirih, aku sangat yakin jika itu adalah
suara Mbok Yem, tapi bagaimana bisa.
Jantungku berdegup dengan kencang, aku memberanikan
diri menoleh kebelakang memastikan sumber suara tersebut, dan
benar saja, terlihat sosok Mbok Yem yang berdiri lesu sambil
menunduk kearahku, sontak saja tubuhku tiba-tiba mematung,
kakiku tak bisa kugerakkan, inginku berteriak tapi mulutku seolah
terkunci, dan mataku seolah tak bisa kupalingkan dari sosok
tersebut.
Mbok Yem mendekat kearahku, aku semakin lemas, dan
hanya pasrah. Inginku berdo’a meminta pertolongan, tapi
melihatnya yang semakin dekat kearahku, seolah membuat
pikiranku kosong, dalam hati kubaca doa apa saja yang kutahu,
dari doa makan, mau masuk kamar mandi, bahkan doa setelah
adzan berkumandang, harap-harap sosok itu segera hilang.
Tak ingat setelah itu apa yang terjadi, aku hanya
mengejamkan mataku, aku mendengar suara seseorang
perempuan dan laki-laki yang asing ditelingaku, aku juga
merasakan ada yang menepuk pundakku berkali-kali.
Aku membuka mataku perlahan, kulihat suasana gelap tadi
berubah menjadi terang, kulihat banyak orang asing yang ada di
depanku mengenakan topi khas yang biasa digunakan ke sawah,
bisa kutebak mereka adalah para petani di sawah ini. “Kenapa bisa
tidur di sini nak?” tanya salah satu dari mereka.
Aku masih syok dan bingung, berusaha mencerna apa yang
sebenarnya terjadi. “Jadi saya ketiduran di sini?" lirihku dengan
suara serak. “Astaga Nak, kamu tidak papa?” tanya salah seorang
9
dari mereka lagi, aku hanya diam dan mengangguk tak tahu harus
menjawab apa.
Kemudian kedua orangtuaku datang menerobos keramaian
saat itu, raut cemas terlihat diwajah mereka ketika melihat akulah
yang dikerumuni para petani itu. Tak ada yang mengabari mereka
perihal kondisiku, hanya saja mereka berjalan pulang dan
melewati jalan yang sama denganku.
Tanpa berkata apapun Ayahku menarikku pelan dan
berinisiatif untuk menggendongku, tapi kutolak karena aku masih
bisa berjalan sendiri. Ayahku memilih diam dulu sampai
semuanya tenang, baru ia akan meminta penjelasan dariku tentang
apa yang sebenarnya terjadi.
Sungguh, kejadian malam itu masih tergambar jelas
diingatanku sampai sekarang, kemarin adalah pengalaman
pertamaku melihat sosok yang sudah tiada memperlihatkan
wujudnya di hadapanku, dan sosok itu adalah nenekku sendiri,
Mbok Yem, orang yang sangat kusayangi. Sejak malam itu aku
berusaha untuk kedepannya, agar senantiasa berdoa untuknya
disetiap shalatku.
SELESAI.
Malang, 16 November 2022
***
Bionarasi
10
Coretan Tinta
Penulis: Neng Rismayanti
POV Bella
11
"Bella, Bel, Bella." Samar-samar ibu memanggilku.
"Iya Bu,” sahutku sambil menutup buku diaryku terus
mengusap air mata yang sedari tadi menetes tanpa kusadari. "
Kamu ngapain aja di sana hah?”
"Enggak Bu ini lagi cari angin aja," ucapku tersenyum.
"Kamu gak liat ini udah malam, kamu belum masak lihat
kakak kamu kelaparan kalau Kaka kamu sakit gimana hah, anak
gadis jam segini belum masak mau jadi apa kamu!” bentak ibu.
"Iya Bu," ratapku.
"Masuk." Aku mencoba mengusap dada sesak sungguh
sesak bahkan sedikitpun ibu tak bertanya keadaan ku gimana
apakah aku baik baik saja.
Padahal udah biasa tapi rasanya kek baru pertama kali, aku
gak tahu harus gimana harus apa rasanya sakit banget, apa yang
kulakukan selalu saja salah di mata orang lain. Biarkan aku
tenggelam, biarkan aku tertidur tanpa bangun, hanya ingin
merasakan ketenangan yang sebenarnya.
12
"Iya semuanya, kamu kalau laper beli roti aja di jalan."
"Iya Bu, yaudah aku berangkat dulu ya assalamualaikum,"
helaku sambil mengecup tangan ibu.
Karena percuma saja kalau mau protes atau gimana pun juga
ibu tidak akan mau mendengarkan protesanku yang bagi beliau
aku hanyalah beban untuknya. Tapi mau gimana pun juga ibu
tetaplah ibuku, sosok yang bertaruh nyawa untuk melahirkanku
meskipun aku menjadi anak yang tak diinginkan.
"Waalaikumsalam," ucapnya.
Dengan langkah yang lesu aku pun berangkat sekolah tanpa
sarapan terlebih dahulu, aku berjalan kaki ke sekolah karena
berhubung jarak sekolah yang tidak terlalu jauh, lumayan juga
uang nya aku tabung sedikit demi sedikit.
POV author
Dengan tergesa-gesa akhirnya Bella sampai di sekolah
dengan keringat yang bercucuran membanjiri wajahnya yang
cantik tanpa jerawat sedikit pun.
"Assalamualaikum," ucapnya sambil melangkah masuk ke
dalam kelas.
'Huh untung gk kesiangan' batinnya.
"Waalaikumsalam." Mahkluk di dalam kelas serempak.
"Eh anak pungut udah nyampe, gimana kakinya aman
hahahha," sindir seorang perempuan yang paling depan dan di
ikuti gelak tawa temannya yang lainnya.
"Iya nih pasti cape ya ututu kacian, anak pungut," timpal
teman yang satu ya lagi.
Ya, mereka adalah AUREL ANASTASIA and the gank,
mereka adalah alasan hari terburuk dalam hidup Bella di mana
mereka selalu mencaci, memaki, menyindir, bahkan mereka juga
pernah ada dalam kasus pembulyan di sekolah.
Tapi namanya orang kaya mereka memakai uang untuk
menutupi kasus yang mereka buat di sekolah.
Bella adalah Bella yang sudah kebal dengan cacian bahkan
sudah tidak peduli dengan hidupnya.
13
Bella pun tak menggubris akan hal itu dia pun melangkah
menuju bangkunya sendiri mendudukkan bokongnya.
Lelah itu yang ingin dia ucapakan saat ini tapi hanya
memendamnya saja lalu Bella mulai membuka buku kecil itu lagi,
menggenggam pena dan mulai mencoret coretnya mengutarakan
apa yang ingin dia sampaikan.
"Brak." Sebuah gebrakan cukup keras menggebrak meja
Bella.
Bella pun kaget akan hal itu.
"Heh anak pungut, kerjain pr matematika gue dong,
cepetan," titahnya sambil melempar buku ke muka Bella, tak lain
tak bukan seperti biasa itu adalah Aurel.
Tapi Bella tak menggubris akan hal itu dia malah
mengambil earphone dan mulai memasangkan di kedua
telinganya.
Aurel mulai geram dengan tingkah Bella dia mulai menarik
earphone Bella.
"Heh bego loe mulai berani sama gw hah!" bentaknya.
"Loe siapa? Loe pejabat kah? Atau loe presiden? Yang
apapun harus gw turuti," cicit Bella dengan muka yang datar tanpa
ekspresi.
"Oh loe sekarang berani melawan gw ya hah, loe gak tahu
siapa gw," bentaknya dengan wajah yang menyeramkan yang bisa
membuat semua orang tertunduk takut, tapi tidak dengan Bella,
Bella bukan orang yang lemah Bella tidak takut dengan hal itu.
"Gw tahu siapa loe seseorang pencaci seseorang yang suka
memaki seseorang yang suka merendahkan orang lain, gw
ngomong benarkan," ucap bella sambil melirik ke arah Aurel
sengit, jujur Bella mulai terpancing.
Bella tidak akan mengalah lagi cukup dengan dunia ini dia
sudah lelah, bukankah seseorang seperti sosok Aurel tidak boleh
di biarkan, persetan dengan apapun nantinya apapun akhir nya
Bella sudah tidak peduli, Bella akan menjadi penegaknya.
Plakkk!
14
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus bella sebelah
kanan, akhirnya si empu Aurel mulai bermain tangan dengannya.
"Loe berani sama gw lo bukan siapa-siapa, loe anak miskin
yang gk punya apa-apa kek gw, lo gak level sama gw, dan lo
berani melawan gw, gw ni orang kaya gak kek lo, cuihhh miskin."
Aurel dengan nada mengejek.
"Gw bukan siapa-siapa, gw bukan orang kaya, gw emang
miskin, tapi gw masih punya rasa menghargai orang lain, gw tahu
cara memperlakukan orang lain dan lo gak punya itu kan," decih
Bella dengan muka datarnya.
“Loe-”
"Heh diem semuanya jangan berisik guru matematika udah
mau otw kesini!" teriak Nathan sang ketua kelas.
Tak lama kemudian guru cantik dengan kacamata
bertengger di matanya pun datang namanya Bu Vina guru
matematika.
"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak."
"Waalaikumsalam, pagi juga buk." Serentak
"Aurel kamu ngapain di sana cepat duduk, di kursi kamu,"
titah Bu vina.
" Iya Bu, awas ya lo," sinis Aurel.
"Oke anak-anak silahkan kedepan kan buku pr kalian yang
sudah ibu kasih Minggu kemaren."
Mereka mulai mengumpulkan bukunya ke depan, terkecuali
Aurel and the gank.
"Aurel, mana buku pr-nya."
Mati gue, mana belum ngerjain, batinnya.
"Aurel."
" Eh iya bu."
"Mana buku pr kamu, Sindi sama Laras juga mana ko gak
pada di.kumpulin"
"Emm itu Bu, emm anu Bu itu."
"Itu Bu ketinggalan," sahut Laras.
"Nah iya Bu, saya juga," timpal Aurel.
15
"Saya juga Bu," timpal lagi Sindi.
"Ko bisa barengan ketinggalnnya." Heran Bu Vina.
"Emm itu Bu kan kita ngerjainnya bareng di rumah saya Bu nah
buku kita ketinggalan di ruang tamu saya Bu karena buru-buru Bu
hehe."
"Nah iya Bu gitu," ucap Laras dan sindi serentak.
"Hadeh, yaudah deh kali ini saya maaf kan tapi lain kali
awas jangan sampe ketinggalan lagi," nasehat Bu Vina diangguki
ketiganya.
Pelajaran pun di mulai dengan bersemangat, meskipun ada
yang tidak semangat.
'all lessons of SMK Brawijaya have been finished, see you
again with enthusiasm'
Bel pulang di SMK Bramawijaya pun terdengar, anak anak
mulai berhamburan keluar, tapi tidak dengan anak yang biasa di
panggil Bella, dia masih anteng dan betah duduk di kursinya, Bella
mulai memasang earphone di kedua telinganya seperti biasa dia
sudah malas Mendengar kan kebisingan dunia, Bella mulai
menelungkupkan kepalanya.
Tapi tidak lama kemudian suara teman nya memanggil
"Bel loe gak pulang," ucapnya menatap iba sang empu.
Dia Nayra, teman bella satu-satunya yang peduli
dengannya.
Bella mulai mendongakkan kepalanya mencari sumber
suara, "Enggak nanti aja loe aja duluan."
"Mau gw temenin," timpalnya.
"Enggak loe aja duluan gw gak papa bentar lagi ko gw
pulang, kasian abang loe udah nungguin." Senyum Bella.
"Yaudah deh gw duluan ya, hati-hati loh kelasnya serem
kalau gak ada orang."
"Haha gak ada apa-apa ko lo tenang aja, kan hantunya ada di
depan gw udah mau pulang," cengir Bella.
"Ih bell, gw bukan hantunya," delik Nayra.
16
"Hahah iya deh gw cmn bercanda, jan cemberut dong nanti
cantiknya berkurang."
"Bodo ah, gw pulang dulu bye Bell," ucap Nayra
melambaikan tangannya.
"Bye mau hati-hati," balas Bella.
Bella menatap punggung temannya yang mulai menghilang
di balik pintu.
"Huuh," helanya.
Bella mulai membuka buku kecil itu lagi yang selalu menjadi
teman hidupnya belahan jiwanya.
Dear diary.
17
Bionarasi
18
Dari Sudut Pandang Angin
Penulis: Netta Undra Kirana
19
logikanya. Ia selalu mengimplementasikan prinsip hidupnya pada
hal apapun yang ia lakukan.
Aku, hanya anginnya. Aku hanya pereda amarahnya di
taman malam jika ia lelah dengan hidupnya. Aku hanya pereda
emosinya, bukan pemeluk emosinya. Jika aku bisa memeluk
raganya sekarang juga, pasti ku peluk jiwa-jiwa lelahnya. Aku
tahu, banyak tuntutan seperti meteor yang jatuh hingga
membentuk telaga di dalam hatinya. Aku tahu kemarahan mu itu
tak tertampung hingga telaga itu menyebabkan bencana alam
dengan membuang literan air ke pemukiman warga. Maka, jika
matahari menyakitimu, air pun melukaimu, biarkan angin mu ini
yang memeluk sanubarimu. Esok akan lebih indah, Kak.
Dear Diary...
Hari sudah petang. Kala itu aku berpapasan di parkiran
sekolah dengan kak Saka. Ia menyapaku dengan nada tegasnya,
“Ratu!”
Nada bicara yang tegas dengan suara berat cukup
mengingatkanku pada sosok ayahku. Suaranya mirip ayahku
ketika sedang memarahiku. Aku menoleh terbata-bata, seperti
anak ayam yang akan diterkam burung elang.
“Udah bisa ngendarain motornya? Sok banget.”
Kak Saka itu laki-laki berprestasi, tapi hidupnya penuh
dengan drama keluar masuk ruang BK. Ia termasuk murid nakal,
sebutlah dia preman sekolah. Dia sering meremehkan ketua
organisasi hingga berakhir bertengkar. Tak hanya itu, dia juga
sering dengan sengaja mencari keributan dengan adik kelasnya,
jadi jika dia meremehkan aku adalah hal yang biasa.
“B–bisa lah,” jawabku terbata. Padahal ini adalah
pertanyaan yang normal, namun kenapa aku sangat salting ditanya
begini?
“Pulang sana, anak cewek jam segini kok baru mau pulang.
Buat apaan ikut organisasi gitu-gitu sampai pulang malam. Gak
20
guna!” tegasnya. Tampan dan arogan, itu yang menunjukkan sifat
Kak Saka sore ini.
“Enggak apa-apa kok pulang malam gini, lagian mama papa
aku enggak akan marah,” jawabku pelan. Kak Saka sempat
mengernyitkan dahinya, lalu memutar bola matanya pelan.
Laki-laki dengan tinggi 185 cm itu menyamakan tingginya
denganku. Ia menundukkan kepalanya dan menatapku, “Gue yang
marah!”
Aku langsung terdiam, merasa bingung dan sedikit baper.
Posisi Kak Saka begitu dekat dan aku cukup merasa
dikhawatirkan olehnya. Aku sedikit memundurkan kepalaku,
kemudian tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuk leherku
pertanda gugup. Ini adalah pertama kalinya kak Saka sedekat ini
denganku. Ternyata dia bisa perhatian dengan adik kelasnya.
Setelah drama pertengkaran dengan Kak Saka, aku pun
pulang ke rumah dengan motor kesayanganku. Menikmati semilir
angin yang membawaku pulang ke “rumah”. Serasa hari ini begitu
menyenangkan setelah bertemu pangeran tampan berwujud Kak
Saka.
Aku harap setelah ini raga kita bertemu lagi. Kak Saka
menyapaku seperti biasanya, dengan nada tegas dan kasarnya
seperti ia menyapa orang lain. Preman sekolah berwujud laki-laki
pintar sepertinya memang patut dapat yang lebih baik dariku, tapi
apa salahnya jika aku sempat dekat dengan preman itu di detik-
detik kelulusannya.
Dear Diary...
Aku adalah angin berbungkus pesan, kabarnya kau terluka
terlalu dalam. Cukup terhenyuk, aku ingin mendekapmu sangat
kuat. Aku yakin kau tak sekuat itu untuk menghadapi arus listrik
ini sendirian. Cukup aku yang harus terluka, kau jangan. Cukup
bahuku yang harus tergores, kau jangan. Dan cukup bahu kecilku
ini yang menopang berisiknya kepalamu, kau cukup bersandar.
21
Aku tidak sepenuh ikhlas memberikan bahuku. Maka
bayarlah perihnya bahuku dengan senyuman manismu dan suara
tawamu yang menandakan kau baik-baik saja jika didekatku.
Naasnya nasibku, aku terjebak dalam rayuan mautmu. ¼ kisah
hidupku telah kau isi. Aku memang anginmu, tapi aku tak mampu
jika aku juga harus melawan badai petir yang ingin
menyambarmu. Naasnya nasibku.
Kau bisa jadi pelaut yang berlayar di tengah ombak
samudra. Aku yang akan menggerakanmu hingga ke tepian pulau
yang kau inginkan. Walau dengan usaha besarku ini yang akan
membawamu ke pulau impianmu. Sakitku melawan petir sudah
biasa. Harus kuminta kepada siapa untuk membantuku? Haruskah
aku meminta tolong pelaut tak kasat mata untuk menggenggam
dan menautkan jari jemarinya di jariku yang penuh luka ini? Atau
haruskah aku mengantarmu sendirian saja?
Nasibku kalah dengan takdir yang sudah kurancang. Aku
terlalu lelah untuk mengantarmu hingga ke pelabuhan impianmu.
Aku sakit di tengah jalan, bahuku semakin terluka, kak. Padahal,
selangkah lagi aku mengantarmu hingga ke penghujung pulau,
tapi petir itu terlalu hebat melawanku. Tenggelam sudah jiwaku
dalam lautan biru, tak sampai ke pesisir pantai itu. Sang pelaut tak
kasat mata itu tak berhasil kutemukan, yang kutemukan hanyalah
kegagalan.
Bagaimana mahirnya cara engkau berenang ke tepian? Apa
karena pelabuhanmu itu terlalu indah hingga kau tak tahu jika aku
sempat mati. Aku tau, kau tidak. Kak, jika setelah derasnya ombak
dan besarnya arus listrik dari petir yang mengalir ini cukup
menyakitimu, pergilah ke pinggir taman yang memiliki danau
didalamnya. Aku disana, aku yang bersedia menghapus
tangisanmu lewat angin yang berhembus.
Dear Diary...
Untuk Kak Saka, teruslah berlayar hingga terlihat jelas
pelabuhan di matamu. Tempat kita bertemu kemarin adalah
22
tempat yang akan selalu kukenang. Pulau kecil kemarin cukup
menyenangkan. Aku turut bahagia jika kau bisa menemukan
pelabuhanmu. Sampai sini saja perjalanan kita, tak perlu
dilanjutkan. Lebam, luka, perih di ragaku mampu menutup
perjalanan ini.
Magetan, 28 November 2022
***
Bionarasi
23
Diary Mimpiku
Penulis: Fhya Syarifah
24
“Impian itu hanya untuk manusia, kamu itu bukan manusia.
Jangankan untuk menggapai mimpi, untuk makan saja susahnya
Nauzubillah.”
Perkataan Tessy tidak sepenuhnya salah, terkadang keluarga
kami memang sedikit kesusahan dalam hal pangan. Bahkan hanya
untuk sesuap nasi perhari.
“Ibu, Dika lapar. Kenapa nasinya belum matang dari tadi.”
Aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar suara rengekan
Dika dari dapur. “Sabar ya sayang, sebentar lagi nasinya matang
kok.” Terdengar suara Ibuku yang menenangkannya dengan
begitu lembut. Aku bangkit dan pergi menuju dapur. “Ada apa Bu,
kok wajah Dika cemberut gitu?” Dika menatapku, “Dika lapar
kak, tapi kata Ibu nasinya belum matang. Padahal sudah lama
sekali.” Aku menatap ibuku. Dia menyuruhku membawa Dika ke
kamarnya, aku bisa tahu karena Isyarat matanya.
“Ya sudah, Dika ke kamar dulu yuk. Kakak punya cerita
baru, sambil nunggu nasinya matang, gimana kalo Dika dengar
cerita kakak.” Dika bersorak gembira ketika mendengar kata '
CERITA’ dia sangat menyukainya. Aku pun membawa Dika ke
kamarnya, meninggalkan Ibu sendirian di dapur.
***
Dika tertidur ketika mendengarkan dongeng lama yang
aku ceritakan. Aku menyelimutinya dan bangkit dari ranjang
tempat tidurnya, kemudian bergegas pergi menuju dapur untuk
menggantikan Ibu yang sepertinya sudah kelelahan karena
pekerjaannya tadi siang. Namun, aku mendengar suara tangisan.
Tangisan itu berasal dari dapur, aku bergegas menuju dapur.
Sesampainya disana, aku langsung menghampiri Ibu yang sedang
terduduk lemas sambil menangis.
“Ibu kenapa?” Ibuku tidak menjawab dan terus menangis,
aku bisa merasakan kesakitan yang ibu rasakan. Aku
meninggalkannya sejenak, dan bergegas menuju panci yang masih
terletak di atas tungku yang berisikan kayu. Aku membukanya,
dugaanku benar. Panci itu bukan berisi nasi, melainkan hanya
25
sekedar bongkahan kayu-kayu kecil yang begitu keras. Aku
menitikkan air mataku. Pasti Ibu melakukan ini untuk
menenangkan Dika yang terus merengek ingin makan, hari ini dia
pasti tidak dapat pelanggan. Itu sebabnya dia tidak bisa membeli
beras hari ini. Aku kembali menghampiri Ibuku yang masih
menangis kesakitan.
“Tidak apa-apa Bu, Dika sudah tertidur. Semoga hasil
panen ayah bisa laku terjual.” Aku berusaha menenangkan Ibuku.
Ayahku belum pulang, hari ini waktunya panen sayuran. Dia
sedang berusaha keras menujual hasil panennya ke pasar.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara pintu terbuka dengan
diiringi ucapan salam dari Ayahku yang baru saja pulang. Ibuku
mengusap air matanya, dia tidak ingin terlihat rapuh di depan
suaminya yang juga sama-sama berjuang demi anaknya.
“Waalaikumsalam.” Aku dan Ibu segera menghampiri Ayahku
yang terlihat sangat kelelahan karena bekerja seharian. “Maaf Bu,
Ayah tidak bisa membawakan kalian makanan hari ini. Hasil
panen Ayah tidak terjual sama sekali.” Ibuku terlihat sedih, namun
dia tetap berusaha tegar. “Tidak apa-apa, Dika dan Zahra juga
sudah makan.” Ibuku tentu saja berbohong, dia tidak ingin
membuat suaminya yang sedang kelelahan merasa sedih. Karena
nyatanya, aku dan Dika belum makan sama sekali. “Syukurlah
kalau begitu, Ayah lega.” Ayahku tersenyum menatap kami. Aku
dan Ibu berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depannya.
Dreeet!
Ponselku bergetar, aku meminta izin kepada Ayah dan Ibu
untuk kembali ke kamar. Mereka mengangguk paham.
***
Jantungku berdegup kencang ketika menerima sebuah
pesan yang sudah lama aku tunggu. Pesan mengenai pengumuman
Event menulis cerpen yang aku ikuti bulan lalu. Untuk bisa
mengikuti Event ini, aku rela menghabiskan uang tabunganku
yang jumlahnya sudah mencapai seratus ribu rupiah. Mungkin
26
bagi mereka, uang dengan nominal itu tidak berharga sama sekali.
Tapi bagi kami, uang itu cukup besar untuk dihamburkan, apalagi
pada sesuatu yang tidak bisa dipastikan seperti Event ini. Jika
kalah, tidak ada jaminan uang bisa di kembalikan. Awalnya aku
sempat ragu untuk membayar uang pendaftaran sebesar seratus
ribu untuk bisa mengikuti Event Cerpen ini. Namun, Reward dari
Event ini sangat memompa semangatku untuk ikut.
Tanpa berlama-lama, aku segera membuka isi pesannya.
Namun, bukan isi pesan seperti ini yang aku tunggu selama
sebulan Penuh ini.
+62890***
Terima kasih sudah mengikuti Event Cerpen tema MIMPI
DAN HARAPAN. Terima kasih atas hantaran karya terbaiknya.
Dan mohon maaf karena naskah anda belum bisa masuk menjadi
kategori juara. Semangat terus berkarya. Salam Literasi.
Aku merasa penantianku selama ini sia-sia. Namun aku
tidak bisa berbuat apa-apa, menang atau kalah adalah resiko
sebuah permainan. Aku meletakkan ponselku dan meraih buku
diary mimpiku yang masih terbuka. Aku membuka halaman
lainnya, mencoba mencari sesuatu yang bisa membangkitkan
kembali semangat menulisku. Aku menemukannya, ini tulisan
yang aku buat tiga hari lalu.
12 November 2022
27
Tetapi dia tidak jadi melakukan bunuh diri
Usia 31 tahun: Berhasil mempublikasikan buku pertamanya.
walaupun pada awalnya, naskahnya di tolak dimana-mana.
Usia 35 tahun: Dinobatkan sebagai auther of the year
Usia 42 tahun: Berhasil menjual 11 juta buku terbitan
terbaru dalam waktu kurang dari 24 jam
+62890***
Sebelumnya kami mohon maaf karena sudah salah
menginformasikan.
Selamat, anda adalah pemenang pertama dari Event Cerpen
tema MIMPI DAN HARAPAN yang kami selenggarakan bulan
lalu. Seperti yang sudah tertulis di Banner Event. Sebagai juara
pertama, anda berhak mendapatkan uang senilai Rp.
10.000,000,00. Beserta piala dan reward menarik lainnya. Hadiah
akan sampai paling lambat 3 hari dari sekarang.
Selamat Atas kemenangannya, dan mohon maaf atas
kesalahan yang sempat kami lakukan.
Salam literasi.
28
membelikan Dika makanan.’ Aku terus bersorak di dalam hatiku.
Aku tidak menghiraukan tatapan mereka yang keheranan.
Bionarasi
29
Diary, Ingatan Hitamku
Penulis: Nadia Azizah Putri
31
“Begitu ya? Perkenalkan aku Emi. Kira-kira kenapa kau
mengalami amnesia? Apa yang terjadi?” tanyaku tak sabaran.
“Halo, perkenalkan aku Sabrina. Satu tahun yang lalu aku
mengalami kecelakaan sehingga kepalaku terbentur dengan keras.
Pada akhirnya aku tertimpa penyakit amnesia. Lupa segalanya.
Tidak ada yang bisa kuingat selain cafe ini.”
Tidak salah jika cafe ini yang diingatnya, karena memang
dulu aku menyukai tempat ini kerena ajakan Sabrina. Tapi setelah
mendengar namaku, dia tetap tidak mengalami sesuatu.
“Aku turut bersedih.” Aku tersenyum getir. Sabrina balas
mengangguk. Rasanya canggung sekali. Padahal dulu-dulunya
kami sedekat nadi. Tapi sekarang ...?
Aku tidak ingin mengatakan bahwa dulu kami adalah
sepasang sahabat yang sangat dekat. Rasanya kurang tepat sekali
membicarakannya sekarang. Mungkin lain kali, jika kami
memang ditakdirkan untuk bertemu kembali.
Sabrina kembali sibuk membolak-balik, membaca halaman
ini dan itu berulang kali di buku hijau yang penuh corat-coret itu.
Sepertinya aku datang disaat yang tidak tepat.
Aku tatapi buku itu, buku diarynya. Aku dan Sabrina dulu
gemar menulis kenangan-kenangan yang menurut kami tak pantas
untuk dilupakan. Tidak kusangka diary itu masih ada. Padahal aku
sudah melenyapkannya.
“Buku diary?” tanyaku setelah berselang beberapa menit.
Sabrina mengangguk tanpa melihat ke arahku. “Aku sedang
mencoba-coba untuk mengingat segala kenangan ini. Rasanya
kepalaku ingin pecah begitu saja. Tapi aku tak ingin melupakan
yang menurutku berharga. Yang tertulis di sini pastilah sesuatu
yang berharga.”
Kalimat akhir Sabrina menikam jantungku sekali lagi. Aku
terdiam seribu bahasa, teringat sosok lelaki kekar yang wajahnya
sekarang entah seperti apa. Dalam kepalaku, hanya tampak raga
dan wajah yang tertutup tinta hitam.
32
“Aku ingin mengingat kebahagiaan aku dengan keluargaku,
dengan temanku dan seluruh masa kecilku. Aku hanya sanggup
membaca dua halaman pertama. Untuk bagian belakang, terasa
sakit sekali untuk mengingatnya. Tapi aku harus tetap
mengingatnya, karena itu hal yang sangat berharga. Meski
pembuluh darah di otakku akan meledak, tidak masalah asalkan
aku ingat semuanya,” lanjut Sabrina.
Kegigihan Sabrina terpancar dari kalimat terakhirnya, aku
sama sekali tidak mengerti perasaanya. Karena kami benar-benar
bertolak belakang.
Pantas saja saat aku meyebut namaku, Sabrina hanya
mengangguk biasa. Dia belum sampai membaca diarynya hingga
ke belakang. Tentulah namaku berada di bagian tengah bukunya.
Aku hadir dalam masa-masa remajanya.
Menanggapi Sabrina, aku hanya mengangguk. Sekarang
perasaanku berkecamuk hebat. Keluarga? Masa kecil? “Tapi aku
harus tetap mengingatnya, karena itu hal sangat berharga. Meski
pembuluh darah di otakku akan meledak, tidak masalah asalkan
aku ingat semuanya.” Sekarang kalimatnya itu tergiang-giang di
kepala.
Merasakan sakit yang hebat, aku segera pamit tanpa sempat
menyeduh kopi yang juga belum sempat aku pesan.
***
Dalam perjalanan, tak terasa lagi indahnya nuansa sore yang
begitu aku rindukan. Tak lagi aku nikmati bagaimana angin senja
memainkan helai demi helai rambut hitamku. Sekarang kepalaku
sedang beranak-pinak. Kalimat terakhir Sabrina itu bak peluru
hebat yang menghujam dadaku ini. Rasanya sakit, begitu sakit.
Bagaimana tidak? Aku yang mati-matian membunuh
ingatan tentang Ayahku dari ingatanku, sedangkan di depanku ada
orang yang berjuang untuk mengingat segala tentangnya yang
secara tidak sengaja diambil dari memorinya. Jika dia tahu aku
dengan sengaja membunuh ingatanku sendiri, maka aku yakin dia
akan membenciku seumur hidupnya. Karena pastilah menurutnya
33
tindakanku menghina perjuangannya dalam mengumpulkan
kepingan-kepingan waktu yang telah memudar.
Kalimat Sabrina itu membuat raga Ayah tampil dalam
ingatanku. Hanya raga tanpa wajah. Sejenak rasa rindu terbesit
dalam sepinya hati kecilku. Mataku serasa panas, tenggorokan
serasa tercekat. Perlahan bulir air mata itu jatuh dan dengan
cekatan aku menyekanya. Menangis di tengah jalan adalah
tindakan mencari malu.
***
Enam belas tahun yang lalu. Begitulah kehidupannku. Aku
hidup dengan ayahku tanpa seorang ibu. Tuhan telah lebih dulu
memanggilnya kedalam pangkuan. Hidupku dengan Ayah
sangatlah susah, tapi entah kenapa aku merasakan kebahagian
yang tak tertakar hidup dalam dekapan Ayahku.
Tapi aku tak ingat betul lagi sejarah itu. Yang kuingat
hanyalah Ayahku yang mencuri sehingga dia mendekam di balik
jeruji selama kurang lebih lima tahun. Karenanya lah aku di olok-
olok teman sekelasku. Dijauhi dan dimusuhi. Bahkan mereka
bertindak semena-mena terhadapku.
Sejak saat itu aku tak peduli tentang Ayah. Aku hidup
dengan bibiku. Maka setiap malam aku berdoa agar ayah lenyap
dalam kehidupanku dan kenanganku. Agar dia tidak lagi
bersamaku.
Setelah hampir dua tahun aku berdoa tak henti-hetinya terus
begitu. Aku harap aku tidak punya ayah seperti itu. Aku berdoa
agar ayahku itu bukanlah ayahku. Aku berdoa agar tidak lagi
mengingat tentangnya dalam sejarah kehidupanku.
Dan ajaib, ketika umurku genap dua belas tahun. Aku lupa
Ayah sepenuhnya. Entah mengapa, begitu saja. Tapi satu hal yang
tak luput. Raga ayah tanpa wajah yang menjadi ingatan hitam
dalam kepalaku. Serta merta Ayah yang mencuri dan aku yang
dibully. Ingatan hitam itu tidak berani untukku sentuh agar aku tak
berlabuh mengingatnya. Dan pertemuanku dengan Sabrina telah
membuatku menyentuh ingatan hitam itu secara tidak sengaja.
34
Demi melupakan Ayah, aku menyimpan diary yang isinya
hanya ayah dan ayah di dalam kardus. Entah di mana sekarang.
Aku lenyapkan dengan paksa. Aku paksakan batin hatiku untuk
melupakannya, karena aku merasa malu mengakuinya sebagai
ayahku.
“Tapi aku harus tetap mengingatnya, karena itu hal sangat
berharga. Meski pembuluh darah di otakku akan meledak, tidak
masalah asalkan aku ingat semuanya.”
Tapi kalimat Sabrina itu telak memukul hati nuraniku.
Sesampai di rumah, aku kerahkan segala air mata yang mewakili
bagaimana tersiksanya hatiku ini.
Tapi kenapa aku menangis? Entah kenapa ada yang salah.
Ingatan hitam itu sudah tersentuh secara tidak sengaja. Raga ayah
membayang-bayang dipelupuk mataku. Tanganku serasa ingin
menggeggam, memeluk dan mendekap. Aku akui betapa rindunya
aku kepada orang yang dengan paksa aku melupakannya.
Ku buka pintu gudang, aku ambil kardus lamaku dulu. Aku
keluarkan semua isinya dan ketemu. Sebuah buku coklat lusuh.
Diaryku. Tapi sayang, lembaran demi lembaran telah lenyap
dimakan rayap. Bagaimana aku bisa mengingat Ayah jika tiada
satupun tentang dirinya?
Ku dekap erat-erat diary lusuh itu. “Ya Allah, beri aku
kesempatan untuk mengingat Ayahku kembali. Meski dia seorang
pencuri dan membuatku malu, biarlah Ya Allah. Aku sungguh
merindukannya.”
Aku menangis sejadi-jadinya, menyesal. Bagaimana
mungkin aku melupakan sosok yang begitu berharga bagiku?
Mungkin inilah balasan terhadap aku yang tidak tahu
berterimakasih. Entah bagaimana caranya untuk aku bisa melihat
Ayahku kembali. Entah dia hidup atau mati?
Setelah puas menangis, aku susun kembali barang-barang
itu ke dalam kardus kecuali buku lusuh itu. Ketika aku hendak ke
kemar membawa buku itu, berharap dalam mimpi kisah itu
35
muncul, sehelai sobekkan kertas jatuh ke lantai. Aku ambil kertas
itu dan aku balik halamannya.
“Ayahku, Pahlawanku.”
Seketika aku terpaku, pikiranku berlabuh.
***
Aku ingat di waktu itu aku di ajak Ayah berkeliling pasar.
Hanya berkeliling, tidak berbelanja. Kami tidak punya uang.
Setiba di toko asesoris, aku melihat betapa indahnya kalung degan
ukiran perak itu. Aku merengek-rengek meminta itu, aku mau itu.
Ayah sudah berusaha untuk menenangkan aku dengan berkata
‘lain kali, ya?’. Tapi aku tak mau, alhasil sampai pulang aku
merajuk. Esoknya pada pagi harinya, Ayah di tangkap dan kalung
itu sudah terikat di leherku sendiri.
***
TAMAT
Bionarasi
36
Hujan Di Malam Hari
Penulis: Delia Verliony Safarah
38
menyerminkan sebuah kekhawatiran terhadapku yang saat ini
telah menandakan raut wajah pucat karena dinginya hujan malam
ini.
“Kenapa baru bilang sekarang si, jaketku uda basah kuyup
gini.”
Aku melipat kedua tanganku di depan dada mengeluarkan
ekspresi cemburut yang sengaja kuperlihatkan di hadapanya,
namun Rayford yang saat ini berdiri di sampingku mencubit ujung
pipiku dengan rasa gemas lalu menghadirkan senyuman yang
merekah di bibirnya.
Setelah puas dengan adegan mencubit pipiku, Rayford
melangkahkan kakinya menuju sepeda motor yang saat ini
terparkir tidak jauh dari tempat kami berada, sesuai dengan yang
kudeskripsikan barusan Rayford adalah salah satu manusia yang
menyukai apa yang dinamakan dengan hujan entah siang entah
malam kurasa dia tidak akan terganggu dengan selang waktu saat
hujan turun membasahi.
Sosoknya yang jenjang membuatku masih dapat dengan
jelas melihat punggung lehernya yang menembus hujan dengan
santai seolah manusia tersebut sedang menyerahkan dirinya
kepada sang awan hujan agar dapat dibasahi dengan baik, tanpa
rasa kedinginan ia berjalan dengan santai tidak ada terlihat
gerakan berlari atau berjalan cepat langkah kakinya berjalan
dengan santai sehingga dapat dengan elas kutatap bahwa dirinya
memang sangat menikmati rintikan hujan di tubuhnya.
Rayford melambaikan tangan ke arahku yang sedang
menatapnya dari jauh, seolah ia paham jika kuperhatikan gerak
geriknya dari saat langkah pertamanya, aku tersenyum membalas
lambaian tanganya sungguh manusia sempurna yang dihadirkan
Tuhan untuk menghapuskan segala kegelisahan yang mondar
mandir seperti wahana permainan dalam kehidupanku.
“Lucunya ciptaanmu tuhan.” Kuucapkan sebuah kalimat
pengakuan tentang bagaimana Rayford tergambar dalam hidupku,
bahkan ketika kumelihatnya yang saat ini tengah menenteng jas
39
hujan pink polkadot dan tetap dengan cara berjalan santai
menembus percikan air hujan ditemani dengan gemuruh suara
gluduk saja mampu membuatku merasa lucu ketika menatapnya.
“Ini kamu pakai nanti kita nembus hujan ya, uda malem juga
nanti tambah malam tambah dingin.”
Rayford menyodorkanku sebuah jas hujan pink polkadot
yang kuketahui dia memang membelikanya utuku sebagai tanda
sayang katanya, ya walaupun alasan yang ini agak terkesan
membuat perut geli ya.
Segera kupasangkan jas hujan itu dengan tujuan
menyelimuti tubuhkan, memang hangat apalagi jika aku
mengingat bahwa jas hujan ini memang Rayford siapkan khusus
untuku. Rayford yang melihatku telah mengenakan jas hujan
dengan sempurna segera mengenggam tanganku lalu tanpa aba
aba menututku untuk mengikuti arah langkahnya menuju motor
yang terparkir di depan sana, tidak ada pilihan.
Dengan terpaksa kupinjakan sepatuku pada tanah yang
sudah sedikit becek karena tanpa henti disirami dengan butiran air
hujan yang tersimpan dalam awan hitam di atas langit kota ini.
Namun siapa sangkah hujan yang awalnya biasa saja
keberadaanya menjadi momen luar biasa yang saat ini kurasakan
dengan Rayford.
“Pelan-pelan jalanya licin jangan sampai jatuh badanmu
berat.” Semakin dia mengetahui jalanan licin semakin erat pula
tanganya mengenggam tanganku, walaupun caranya
mengingatkanku seolah mengejek namun ku tak peduli begitu saja
mampu membuatku semakin jatuh hati kepadanya.
“Jangan ngebut-ngebut, hujan kayak gini licin jalanya.”
Kali ini ganti aku yang mengingatkan nya agar berhati hati,
Kupinjakan kakiku pada pinjakan di motornya tak peduli dengan
badanya yang telah dibasahi dengan hujan, aku bahagia
bersamanya. Tertawa tanpa henti menembus dinginya angin hujan
malam itu, membicarakan beberapa hal yang mampu membuat
kami berdua merasa hangat walaupun secara sadar kami sendiri
40
mengetahui saat itu begitu dingin untuk menembus angin hujan
malam hari.
Kalau suatu hari nanti aku diberikan pertanyaan apa alasan
aku jatuh cinta pada hujan? Aku akan menjawab kamu adalah
alasan terbesarku menyukai hujan di malam hari, banyak hal yang
bikin aku kembali jatuh ke kamu sama seperti awan hitam saat itu
yang selalu menjatuhkan butiran air sebagai pelucur tugasnya
membasahi tanah di kota ini.
Untuk Rayford sebenarnya hujan memang tak selamanya
memberikan kekuatan kadang kala hujan ditemani dengan demam
setelahnya, tak mudah juga sembuh dari demam namun kenangan
hujan di malam hari yang kita rasakan akan selalu membekas
indah dan takkan ragu kukatakan, “Iya.” Saat kita dihadapi
kejadian kemarin lagu sekalipun demam akan menjadi hal yang
terjadi berikutnya
Bionarasi
41
Is This Love?
Penulis: Asiah
42
“Nggak ada, Abang cuma mau mastiin aja, kalo kamu
kuliah.”
“Ya kuliah lah, iya kali cuma gara-gara putus cinta kagak
kuliah, oh ya bang malam ini sibuk gak?” tanya Nindy.
“Nggak dik, pasti mau minta bantuan.”
“Hehe seperti biasa kau kan bestiku sekaligus senior paling
baik sedunia, aku tunggu di caffe jam 17.00 okey.”
“Oke lah, tapi jangan lupa bayarin makan,” ucap Andy
sambil ketawa.
“Aman tu bang, yang penting tugasku selesai.”
Andy dan Nindy bertemu di salah satu caffe yang ada d
Batam, Andy membantu Nindy membuat surat undangan, karena
sebentar lagi mereka akan mengadakan kegiatan organisasi, di
mana saat itu Nindy di tunjuk sebagai sekertaris. Keesokan
harinya Andy dan Nindy bertemu lagi di sekertariat bersama
kawan-kawan yang lain untuk membahas kegiatan yang akan
mereka laksanakan.
“Kuliat ibu sekertaris kita nih murung aja dari tadi, senyum
dong senyum,” ucap Hendra (salah satu anggota dalam
organsiasi).
“Biasa lagi galau dia Hen, digosting udah, diselingkuhin
udah makannya murung kek gak dikasih makan hahaa,” ucap
Andy dengan nada mengejek.
“Ejek terooss, kapok aku weh masa berturut-turut disia-
siain, hadeuh padahal kurang baik apa aku,” jawab Nindy dengan
nada lemas.
“Pacaran mulu sih, kuliah yang bener,” ucap Andy sambil
mengejek.
Nindy menjalin hubungan dengan Aldi yang juga
merupakan senior dia di organisasi selama 2 bulan, namun
sebelum menjalin hubungan dengan Aldi Nindy menjalin
hubungan dengan Anwar selama 7 tahun, hubungan itu kandas
karena tidak mendapatkan restu, Nindy juga pernah dekat dengan
seorang pilot yang bernama Kiki, mereka dekat hanya 3 minggu,
43
karena ternyata Kiki hanya menggosting Nindy. 1 bulan berlalu
setelah melewati masa galaunya, Andy dan Nindy semakin dekat,
mereka semakin akrab, sampai suatu ketika Nindy merasakan ada
yang salah dengan hatinya.
“Bestiiku, ketuaku, si tiang listrikku sini coba pakai
kacamata pink ini, keknya cocok untukmu,” ucap Nindy dengan
nada mengejek.
“Memang si keong satu ini suka kali ngejek orang, kow lah
pake cocok untuk badanmu yang melar kesamping haha,” jawab
Andy sambil tertawa dan mengejek.
“Kalian cocok kali sumpah, gak di mana-mana berantem
terus, saling ejek terus, kek kucing ama *njing,” ucap Hendra
dengan nada guyon.
“Iya kan bang, aku liat mereka emang cocok kali loh,” ucap
Lina, yang juga merupakan kawan organisasi.
“Apasih kalian, gak akan aku punya hubungan yang satu
organisasi lagi kapok aku,” jawab Nindy dengan nada tegas.
“Awas hati-hati dengan omonganmu, nanti jatuh hati sama
pak ketua kita wkwkw,” ucap Hendra.
Keesokan harinya Nindy sering tersenyum-senyum sendiri
ketika membaca chat dari Andy yang isinya saling ejek-mengejek,
Nindy bingung ada apa dengan dirinya, kenapa setiap ada pesan
yang masuk dari Andy jantungnya bergetar kencang dak dik duk,
apakah ini cinta? Ntahlah namun Nindy selalu menguatkan
dirinya, mengontrol perasaanya.
Andy dan Nindy sering menghabiskan waktu bersama
dalam kegiatan organisasi, dan perasaan itu muncul lagi ketika
Andy menatap Nindy dengan sangat lama.
“Alhamdulilah kegiatan evaluasi telah kita laksanakan,
kegiatan kita yang kemarin juga sangat lancar, terima kasih
banyak untuk rekan-rekan semua atas kerja samanya, dan saya
ucapkan terima kasih banyak untuk Pak Imam kita, Bang Andy
(Ketua Organisasi) atas arahan dan bimbinganya,” ucap Kevin
selaku ketua pelaksana kegiatan.
44
“Siap, saya juga mau mengucapkan terima kasih banyak
untuk kawan-kawan semua, izinkan saya mengucapkan sepatah
duapatah kata,” ucap Andy.
Dalam penyampaian pesan yang diucapkan oleh Andy di
hadapan kawan-kawan organisasi pandangan Andy tidak pernah
jauh dari mata Nindy, ini membuat Nindy merasakan gejolak yang
amat dasyat jantungnya tak karuan berdetak kencang, namun
Nindy tetap mengalihkan pandangannya.
“Bang elu ngerasain gak yah yang gw rasain, sumpeh ini
mengganggu banget,” ucap Nindy (berbicara dalam hati).
2 bulan berlalu Andy berhasil merubah Nindy, dulu Nindy
adalah perempuan yang tidak bisa hidup sendiri, selalu sibuk
dengan mencari kekasih, menjalin hubungan, kini Nindy berhasil
merubah mindsetnya, Nindy tak lagi menjalin hubungan dengan
siapapun, saat ini berkat dorongan dan juga nasehat, serta
motivasi-motivasi yang selalu diberikan Andy, Nindy tumbuh
menjadi perempuan yang kuat, tidak lagi sibuk memikirkan
pacaran, kini Nindy sibuk mengupgrade diri menjadi lebih baik
lagi, banyak kegiatan-kegiatan positif yang Nindy ikuti seperti
menghadiri kajian, membaca buku, mengikuti event-event lomba
cerpen, puisi dsb.
Berkat Andy juga kini Nindy selain menjadi mahasiswa
kebidanan, Nindy juga sebagai wartawan di salah satu media.
Andy adalah sosok laki-laki yang berhasil merubah hidup
Nindy, selain senior Andy juga merupakan besti terdekat Nindy,
semua masalah yang dialami Nindy, Andylah pemberi solusinya.
Namun meskipun begitu Nindy tidak ingin menghancurkan
hubungan bestinya dengan Andy, karena bagaimanapun Andy
adalah seorang ketua organisasi, Andy juga laki-laki yang paham
agama, apapun yang Nindy rasakan saat dekat dengan Andy,
Nindy selalu berusaha untuk memendamnya, menahan dan
mengkontrolnya, karena Nindy tahu Andy merupakan laki-laki
yang tidak mungkin mencinatinya/menyukainya, Andy terlalu
sempurna untuk Nindy, kedekatan Andy dan Nindy akan Nindy
45
jadikan motivasi untuk lebih semangat memperbaiki diri, dan
mengejar karir.
Nindy selalu berdoa kepada tuhan semoga Tuhan
menghilangkan perasaan gejolak yang tak karuan ini, Nindy tidak
ingin terus-terusan merasakan gejolak, terus-terusan kepikiran
Andy karna sungguh itu sangat mengganggu konsentrasi Nindy.
Perasaan yang Nindy alami cukup Nindy serahkan kepada Tuhan,
semoga Tuhan memberikan solusi yang terbaik untuk mengatasi
persoalan hati ini (If you are meant to be, Allah will strengthen
you without dating).
Bionarasi
46
Keinginan Anak Rantau
Penulis: Domami Pandu Saputra
48
Nah, beberapa bulan telah berlalu tak terasa aku sudah
banyak menghabiskan waktu ternyata di tempat rantau ku ini. Aku
mulai ke sini mulai sadar kok banyak teman-teman ku yang kerja
yang sibuk dengan tugasnya proyeknya bahkan organisasinya.
Aku mulai merenung untuk memikirkan hal tersebut. Aku juga
sempat merasa kayak iri kenapa si di saat yang lain sudah ada
laptop aku belom ada laptop jadi memang harus memiliki hp dan
hp itupun sudah dari sekitar 5 tahun yang lalu. Menurutku itu
sudah sangat ketinggalan jadi merasa pingin cepet-cepet punya
laptop supaya dapat mengerjakkan tugas seperti teman-teman
lainnya dengan leluasa dan lebih efisien tentunya. Aku amati
sekitar memang orang-orangnya sibuk semua jadi benar-benar
produktif dengan urusan dan kepentingannya masin-masing.
Berteman sebuah laptop yang baru bisa kubeli ketika
menduduki bangku kuliah dengan uang beasiswa yang
kudapatkan. Aku coba merenungi dan merefleksi hidupku di
setiap malam sebelum tidurku. Seketika, aku terbangun dan
teringat akan kata-kata yang sangat sederhana yang pernah
kudengar dari seorang guruku. Katanya, “Nak kita memang orang
kampung tapi kita mempunyai hak yang sama dengan orang yang
ada di kota sana, jadi ayo kita buktikan bahwa kita juga
mempunyai potensi kualitas diri pada diri kita.”
Dengan segala kesederhanaan, dengan segala kekurangan
aku mulai menapaki hidup ini dengan mandiri di tanah rantau ini.
Demi hidup dan masa depanku, aku harus rela meninggalkan
kampung halaman, meninggalkan ayah-ibu dan adikku. Demi
untuk mencari ilmu dan menambah wawasan dengan
bermodalkan tekad serta doa. Sempat tak teerasa bahwasanya
banyak orang atau bahkan teman- teman yang belum bisa
merasakan seperti yang kurasakan itu yang membuat saya menjadi
jarang mengeluh. Rasa syukur yang tak henti terus.
Berpijak dari kata-kata ini, aku sadar dan mulai dengan
kehidupanku yang baru. Perlahan-lahan aku mulai merubah
kebiasaanku aku mencoba mengejar semua ketertinggalanku.
49
Setelah aku sendiri, baru aku sadari, ternyata hidup ini tidak terlalu
sulit, apabila kita menikmati hidup apa adanya. Namun memang
sering kali kita manusia sering larut dalam kesedihan dalam
kekhawatiran akan masa yang akan datang. Padahal itu semua
telah ditetapkan oleh Allah dan kita hanya perlu menjalaninya
dengan penuh usaha kerja keras disertai doa.
Mimpiku adalah aku bisa membangun desaku mengejar
ketertinggalan desaku dari sebuah teknologi yang semakin
menggila di dunia saat ini. Kuberharap banyak doa restu yang
kudapatkan supaya semuanya dalam keridhaannya. Kuserahkan
semua hasil pada Allah aku hanya ingin memberikan yang terbaik.
Segala usaha kuserahkan, mengingat juga bahwa aku adalah
seorang anak beastudi maka dari itu akan dituntut banyak dalam
melakukan kegiatan maupun kontribusi di kampus. Memang
terasa Lelah berat banyak kerjaan tanggungan, akan tetapi dari
semuanya itu aku bisa merasakan dampaknya nantinya
kedepannya menjadi lebih tau karena juga mendapatkan banyak
pengalaman baru.
Membuat mereka tersenyum bangga itu membuat hati aku
merasa bahagia tiada tara.
Sekian, terima kasih.
Bionarasi
50
Lika-Liku Pejuanganku
Penulis: Dandi Rasyid
52
tidak perlu menunggu lama. Setelah dari polsek, lalu aku pergi ke
KUA untuk mendapatkan tanda tangan dan legalisir dari kepala
KUA. Di KUA aku sangat kagok sekali, karena aku baru pernah
ke KUA tersebut, untungnya petugas di sana sangat ramah
sehingga aku sangat terbantu dengan keramahan dari petugas-
petugasnya, serta pelayanannya cepat sehingga tidak perlu
menunggu lama untuk mendapatkan tanda tangan dan legalisir
dari kepala KUA. Setelah dari KUA, aku langsung ke kantor
kecamatan untuk meminta tanda tangan dari camat. Tetapi, pada
saat itu, camatnya sedang tidak ada di kantornya sehingga harus
kembali lagi ke kecamatan di esok hari. Bukannya langsung
pulang ke rumah, aku duduk terlebih dahulu di pelataran kantor
kecamatan karena udaranya sejuk dan aku juga sangat lelah
sehingga aku rehat sejenak untuk melepas sedikit rasa lelahku.
Karena rasa lelahku sudah mulai berkurang dan cuaca sudah mulai
panas, aku langsung bergegas untuk pulang ke rumah.
Di hari ketiga, di mana aku harus bangun lebih pagi karena
aku harus pergi ke puskesmas untuk cek kesehatan. Pukul 6 pagi,
aku langsung bergegas pergi ke puskesmas untuk mengambil
nomor antrian. Sesampainya di puskesmas, aku langsung
mengambil nomor antrian dan menunggu giliran untuk cek
kesehatan. Di puskesmas, aku menunggu sekitar 2 jam dan
kemudian aku di panggil untuk di cek kesehatannya. Pengecekan
tersebut meliputi pengecekan tekanan darah, berat badan, tinggi
badan, buta warna, dan kebersihan gigi. Setelah aku selesai di cek
kesehatannya, aku langsung pergi ke kantor kecamatan untuk
meminta tanda tangan camat beserta legalisirnya. Sesampainya di
kecamatan, aku langsung bertemu camatnya dan meminta tanda
tangannya beserta legalisirnya, karena sebagai syarat untuk
melengkapi berkas pendaftaran bintara polri. Tidak perlu
memakan waktu yang lama, aku dengan cepat mendapatkan tanda
tangan camat beserta legalisirnya karena pada saat itu kondisinya
tidak mengantri. Pada saat itu, berkas-berkas sudah lengkap
semua, sehingga aku dengan percaya dirinya untuk segera
53
bergegas ke polres. Sesampainya di polres, aku langsung
melakukan registrasi data-data pribadi, tetapi pada saat registrasi
ternyata masih ada kesalahan format penulisan sehingga aku harus
memperbaiki format tersebut dan harus kembali lagi ke polres di
esok hari. Akhirnya, aku langsung pulang ke rumah dan langsung
memperbaiki kesalahan format penulisan tersebut.
Di hari ke empat, pukul 8 pagi, aku langsung berangkat ke
polres lagi untuk mengajukan perbaikan format penulisan, supaya
registrasinya dapat berhasil. Akhirnya semua berkas-berkas aku
diterima dan aku mendapatkan kartu peserta untuk nantinya
dipakai pada saat melaksanakan tes ujian seleksi bintara polri.
Dengan penuh kegembiraan, aku pun pulang ke rumah untuk
belajar mempersiapkan tes ujian bintara polri.
Tiba sudah hari di mana aku harus melakukan tes ujian
masuk bintara polri. Aku meminta restu dari kedua orang tua dan
selalu berdoa kepada Allah Subhanahu Wataala. Di tes tahap
pertama, aku lulus karena tinggi badan aku mencukupi dan berkas-
berkas ku sudah lengkap. Di tes tahap kedua, yaitu tahapan cek
kesehatan seluruh badan yang di laksanakan di Polda dan aku pun
juga lulus di tes tahap kedua ini karena kondisi fisik yang prima.
Kemudian, di tes tahap ketiga, yaitu tes psikologi. Di tes psikologi
ini, aku gagal. Harapan dan impian ku menjadi seorang anggota
polisi menjadi sirna. Di saat itu perasaan kacau dan aku sangat
kecewa dengan diri aku, karena aku tidak bisa lulus di tes itu.
Akupun malu terhadap orangtua dan seluruh keluarga ku, karena
aku tidak lulus tes tersebut. Di rumah, aku hanya bisa mengurung
diri di kamar seharian, karena rasa kecewa terhadap diri sendiri
dan malu terhadap orang tua serta keluarga. Sampai akhirnya
ibuku datang menghampiriku di kamar dan memberikan semangat
serta rasa bangga kepadaku karena aku sudah bisa berjuang hingga
sejauh itu. Karena dorongan semangat dari ibuku, pikiranku
menjadi terbuka lagi dan aku menjadi semangat lagi.
Pada saat itu, aku mencari informasi-informasi tentang
pendaftaran perkuliahan, tetapi perguruan tinggi negeri sudah
54
pada tutup pendaftaran. Aku hampir putus asa karena kalau kuliah
di universitas swasta pasti akan mengeluarkan biaya yang banyak,
sedangkan aku tidak ingin membebankan orangtua aku karena
biaya kuliah yang banyak. Dengan terus berdoa dan mencari
informasi-informasi, akhirnya aku menemukan informasi
pendaftaran kuliah swasta dengan beasiswa 100%. Tanpa pikir
panjang, aku langsung mendaftarkan diri, melengkapi data diri
dan melengkapi persyaratan yang dibutuhkan untuk beasiswa dan
pendaftaran kuliah tersebut. Akhirnya, dengan rahmat Allah
Subhanahu Wataala., aku bisa lulus pendaftaran dan mendapatkan
beasiswa 100%. Sampai saat ini, aku masih kuliah di kampus
swasta tersebut yang bernama STT Terpadu Nurul Fikri, dengan
beasiswa 100%. Intinya, dengan doa, niat, dan usaha pasti Allah
subhanahu wataala., akan memberikan yang terbaik.
Bionarasi
55
Masa Kecilku
Penulis: Muhammad Matin Ikromi
57
kegiatan, entah takdhim pada guru, orang tua, maka keberkahan
akan didapat. Mungin pekerjaan yang kamu dapat bisa mudah tak
dipersulit, mungkin dapat mengajarkan ilmu yang kamu dapat dari
gurumu, dengan penuh keikhlasan tanpa berharap suatu apapun.
Begitu perhatianya pada murid itulah sifat guruku yang
menginspirasiku agar terus menuntut ilmu terutama ilmu agama.
Ketika beliau wafat saat aku masih duduk dibangku
MA/SMA saat masih kelas dua, dari situ mulai sedih dalam
benakku. “Tak terasa begitu cepat.” Hanya bisa mendoakan,
mengingat kenangan indah saat diajar mengaji oleh guruku. Pada
saat itu, yang diajarkan ialah kitab imrithi terkait tentang nahwu.
Kesukaanku pada ilmu nahwu membuatku makin ingin mahir dan
memahami arti beberapa makna dalam sebuah kitab, dari waktu
ke waktu aku semakin giat dalam menuntut ilmu namun sayang,
pembulian pasti ada entah dari teman, tetangga, bahkan saudara.
Hal itu tak membuatku patah semangat untuk mengejar suatu
mimpi.
Setelah lulus dari Ma Riyad saya melanjutkan studi ke stain
Kudus tak mudah bagiku untuk melanjutkan ke stain Kudus
terlebih banyak rintangan yang harus dihadapi terlebih tantangan
intern yakni ketidak dukungan Ayah dalam pemilihan jurusan
putranya terlebih putarannya mengambil jurusan pendidikan
bahasa Arab. Hal inilah yang membuat sang Ayah tak begitu
setuju kok kamu pilih bahasa Arab kan sulit belum lagi
gramtikanya. Hal inilah yang membuat aku semangat tuk
membuktikan bahwa aku juga bisa menguasai bahasa Arab. Itulah
yang membuat aku semangat dalam belajar bahasa Arab terlebih
lagi belajar gramtika Arab yakni ilmu nahwu dan saraf. Akhirnya
kumencari guru nahwu yang tak jauh dari kampusku beberapa hari
baru kutemukan guru nahwu. Setelah menemukan guru nahwu
kulangsung mulai tekad yang kuat tuk belajar ilmu nahwu.
Berbagai persyaratan pun kuterima harus membeli kamus
Almunawwir, membeli kitab Fathul qarib, dan lain sebagainya.
Semua sarat telah kujalani akhirnya guruku mau mengajariku ilmu
58
nahwu. Dengan sabar pak hilal mengajariku ilmu nahwu dan saraf
setiap habis magrib sampai salat isyak sudah selesai. Ndak usah
lama- lama katanya. belajar harus bertahap dari satu fase pemula
ke tingkat menengah ketingkat ula begitu seterusnya paparnya. Ku
hanya bisa mengangguk.
Tibalah saatnya masuk awal kuliah yakni masa orientasi dan
masa di mana saling mengenal satu dengan yang lain. Hal ini yang
menjadi kegembiraan tersendiri bagi mahasiswa terlebih lagi
belum mengenal tugas dan lain sebagainya. Hal ini sering diisi
dengan santai ndak terlalu beban kan masih maba.
Waktu terus berlalu saatnya aku mengenal teman-temanku
dari teman sekelas lintas kelas bahkan satpam pun kenal juga.
Mungkin saking seringnya ngobrol kali ya? Bisa jadi kan aku
sering ngobrol juga sama lintas jurusan biar apa biar banyak
relasi.Terdengar biasa aja namun penuh banyak manfaat semisal
ndak bisa ngerjain sola kan bisa bertanya karena nasehat guru saya
malu bertanya sesat dijalan hehe.
Tak terasa dah masuk semester 3 begitu cepat rupanya.
Awal percintaan dengan Badriyah pun makin hari makin begitu
harmonis saja, walaupun lagi pedekate tak terasa pedekate dah
berjalan dua pekan,tak terasa dah lama juga. Kelamaan pedekate
akhirnya memutuskan untuk menyatakan cinta padanya Bads saya
mencintaimu? Sudikah kamu menerima aku? Sepontan tak
langsung dijawab entah mengapa mungkin dah ditembak kali ya?
atau mungkin aku diterima? Kepedean pun melanda setiap
menatap wajahnya seindah bidadari senyumannya semanis madu.
Pokoknya kalo namanya cinta selalu terkenang juga. Akhirnya
pun dijawab dengan sebuah kata yang buat aku kaget seribu
bahasa maaf ya aku dah ditembak orang mungkin lain kali.
Inginku teriak pada siapa? Inginku marah pada siapa?
Kebingungan mulai melanda? Makanpun tak nafsu? Itulah yang
buat aku tak semangat dulu. Akhirnya temenku yang namanya
wahid pun menasehati dia adalah sahabatku dia selalu
menasehatiku jika aku lagi sedih kayak gini nasehat siwahid kalo
59
jodoh pasti bertemu. Singkat namun mengena. Ya maklumlah dia
dikelas itulah yang paling seniaor juga. Hal inilah yang menjadi
andalan kelas kalo mau sering sama dia saja. Sebab dia
pengalamanya banyak. Maklumlah usianya dah tua bentar lagi
nikah.
Semester lima hari itu adalah hari di mana si Wahid
melangsungkan pernikahannya sama Mbak Zey Kayae mereka
sama jodohnya yang cewek cantik yang cowok ganteng keduanya
kayaknya pasangan yang romantis belum lulus aja udah berpikir
tentang nikah maklumlah usianya udah tua. Di fase ini aku balikan
lagi ama bariyah entah kenapa dia yang ngajakin balikan lagi ya
aku terima gitu mungkin dia masih sayang padaku hehe. Awal
memasuki semester aku putus lagi kayak cinta monyet tahu? Si
Lina temenku selalu mengkhawatirkanku, “Kok kamu mau sih
Rafael balikan sama Badriyah kan dia cuma melampiaskan
kamu?”
“Gimana ya Lin namanya sayang apa apa harus
dipertahankan.”
“Iya apa tidak kalo dah sayang mau seribu orang menasehati
nggak bakal berarti sebab kamu dah sayang susah untuk
ditinggalkan.”
Aku jadi inget perkataan di anime Naruto perkataan Uciha
Ttaci, “Kalo kamu menyayangi siap-siap disakiti.”
Ternyata Badriyah diam-diam selingkuh denganku itulah
yang dikhawatirkan Lina selama ini terkadang aku ingin menangis
tapi tak bisa, terkadang aku ingin melupakannya pun tak bisa?
Entah mengapa? Begitu sulit lupakan dia karna dia baik. Dasar
bucin loh Rafael kamu harusnya dewasa dah saatnya kamu harus
mengambil sikap kamu harus bisa move on gitu adakalanya jika
membuat kita bersama adakalanya membuat kita berpisah setelah
berpisah kamu harus dewasa. Lupakan semua yang ada walaupun
itu sulit, jangan mengingat tentangnya, jadikan pelajaran
untukmu, ambil hikmahnya dari kisah percintaanmu jadikan novel
kalo perlu. Masih ada wanita diujung sana yang mau menerima
60
kamu apa adanya kamu harus percaya itu. Tibalah saatnya air mata
menetes tak kuasa menahan sedih yang mendalam. Lalu si Faiq
menghampiriku, “Sudah tak usah bersedih kawan mungkin belum
jodohnya.”
Bionarasi
61
Masa Yang Tiada Batas
Penulis: Iza Fatihasari
63
bergerombol di atas langit. Dia merasakan “dejavu” akan suasana
ini.
“Kamu ke mana saja sih? Aku kangen,” lirihnya.
***
Pulang dari sekolahan, Aneisha menyempatkan diri untuk
mengisi bensin motornya.
Dia menghentikan motornya di pom mini dekat sekolah.
Saat hendak membayar uang bensin, Aneisha salfok akan orang
yang ada di depannya, iya kang bensinnya.
“Loh, kamu?” ujar Aneisha dengan wajah tidak percaya.
“Iya? Kenapa ya?” tanya kang bensinnya tadi dengan
senyuman.
“Berubah jadi tukang bensin-kah, pulang dari pondok?”
tanya gadis di depannya dengan mengira-ngira.
“Kamu siapa ya.” Terpampang jelas senyum miring yang
terlukis di bibirnya.
Mata Aneisha melotot mendengar kalimat yang diucapkan
makhluk di depannya. “Hmm, ini duit bensinnya, makasih.”
Aneisha segera memberikan uang kertas dua puluh ribu, dan
bergegas meninggalkan pom mini itu.
“Anei kan? Udah gede ya sekarang,” lirih seseorang yang
dari tadi tersenyum, sambil terus melihat ke arah motor beat itu
melintas.
Aneisha mengemudikan motornya dengan memikirkan
yang tadi. Sekelebat bayangan masa lalu terlukis di otaknya.
Kang bensin tadi adalah seseorang yang pernah mengisi
harinya di masa lalu. Mereka berpisah saat beranjak menjadi anak
SMP. Aneisha harus menempuh pendidikannya di Sekolah
Negeri. Dan dia, melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren.
Sungguh, kenangan 5 tahun yang lalu sangat membekas di
hatinya. Dia merindukan orang itu. Dia menginginkan orang itu.
***
Hujan deras mengguyur malam ini, hawa sejuk merasuk ke
dalam tubuh.
64
Sudah lama Aneisha merenungkan diri di dekat jendela.
Jikalau ditanya apakah dirinya kedinginan? Jawabannya tentu
saja.
Dirinya sangat merindukan orang itu.
“Kenapa tadi harus langsung kabur sih?” keselnya.
“Harusnya aku berbincang dulu dengan dia. Harusnya aku
bilang kalau aku merindukannya.”
“Arghhh! Kangen!” teriaknya dengan frustrasi.
“Hiks! Pengin ketemu lagi.”
***
Di hari sabtu, Aneisha baru saja menginjakkan kaki dari
rumahnya. Hari sabtu adalah hari libur untuk anak seusianya. Dan
hari ini dia berniat akan mengunjungi perpustakaan kota yang ada
di pusat kotanya.
Sesampainya di perpustakaan, Aneisha bergegas masuk ke
dalam bangunan itu untuk melihat-lihat properti yang ada di
dalamnya. Setelah puas melihat penampakan di situ, Aneisha
mulai mencari buku yang mendasari dia pergi ke perpustakaan ini.
Saat akan mengambil salah satu buku, tanpa sengaja
tangannya menyenggol tangan seorang cowok berbaju abu-abu.
Saling pandang lalu membuang muka.
“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap seorang cowok
dihadapannya.
“Iya tidak apa. Aku juga minta maaf,” ujar Aneisha sambil
senyum tipis.
“Boleh ngomong sesuatu?” tanya Aneisha dengan pelan.
“Tentu. Silahkan,” timpalnya.
“Agak nanti saja deh, aku mau nyari buku dulu. Gak apa
kan?”
“Oke.”
“Nyari buku apa? Biar saya bantu,” tanya cowok yang tadi
ditemuinya.
“Buku novel bahasa daerah.” Aneisha menjawab lalu
berjalan menjauh untuk mencari buku yang ia butuhkan.
65
“Ini bukan?” Sambil menyerahkan buku novel berjudul
bahasa daerah.
“Iya bener. Aaaa ... thank you yah,” heboh Aneisha dengan
perasaan senang. Buku yang ia incar, akhirnya ia dapatkan.
“Makasih banyak,” sambungnya.
“Iya, sama-sama.”
Setelah mendapatkan apa yang Aneisha cari, mereka keluar
dari bangunan yang berisikan buku-buku itu, dan menuju ke
sebuah kedai.
***
“Beneran nih kangennya?” tanya Dzaka memastikan.
Cowok yang tadi, kemarin, dan yang ada di masa lalunya
ialah Dzaka.
“Ihh ... beneran, kangen banget cuy,” teriak Aneisha dengan
nada kesal.
“Hahaha... Iya, sih. Saya juga kangen.”
Setelah dari perpustakaan tadi, mereka pergi ke kedai untuk
berbincang dan tak sekedar mengganjal perut. Dan Aneisha mulai
membuka percakapannya dengan mengungkapkan rasa yang telah
lama dipendamnya, kerinduan.
“Aelah, masa sih kangen juga?” tanya gadis bermuka judes
di depannya.
“Iya. Lima tahun yang lalu? Argh, ini bukanlah waktu yang
singkat Anei. Dan dalam waktu yang tak singkat itu, hanya ada
kata rindu untukmu.”
“Astagfirullah, kalimatmu gak bermutu,” sindir Aneisha
sambil bergidik.
“Beneran, suer.” Setelah mengatakan hal itu, Dzaka tertawa
renyah.
“Dih, pakboi.”
“Bukanlah. Calon kyai ini,” candanya sambil menaik
turunkan alis.
Aneisha yang menyaksikan hal itu tentu sudah bergidik
ngeri. Masa lalunya kini memang tidak banyak berubah.
66
“Iya deh, pak kyai.”
“Mas santri aja manggilnya!” perintah Dzaka kepada
Aneisha.
“Gak sudi.” Aneisha mengalihkan perhatiannya dengan
mengecek handphone. Arghh, ia salah tingkah dengan gombalan
cowok di depannya.
“Gimana dengan sekolahmu?”
“Baik aja sih. Kamu sendiri gimana mondoknya?”
“Baik juga. Cuman kemarin kangen orang rumah dan izin
pulang, sekalian ketemu kamu,” ucapnya sambil tersenyum.
Aneisha menatap tepat pada bola mata cowok dihadapanya.
Yang ditatap melakukan hal serupa. Mereka bertatap-tatapan
cukup lama.
“Jujur deh, lima tahun itu bukan hal yang singkat. Kamu pas
mau berangkat ke pondok juga nggak pamitan sama aku. Dan
sekarang, kamu kembali dengan sifatmu yang dulu. Argh! Please,
jangan berubah.” Aneisha berucap dengan nada tulus, entah apa
yang ada dihatinya. Yang jelas, ia tidak mau kehilangan orang
yang kini ada dihadapannya.
“Saya minta maaf deh, waktu itu benaran nggak ada waktu
untuk sekedar pamitan dengan kamu Nei.”
“Aneisa, bukan Nei.”
“Iya, deh iya. Aneishaku.”
Setelah Dzaka mengatakan hal tersebut, hanya ada
keheningan yang tercipta.
Cukup lama mereka saling diam dalam keadaan canggung.
Sampai suara Aneisha melepas suasana canggung tersebut.
“Gimana dengan hafalan Al-Quran mu?”
“Alhamdulillah, udah hafal beberapa juz. Gimana dengan
kamu?”
“Wow, keren ya. Kalau aku sih, masih mentok kayak yang
dulu. Itu pun kadang ada yang lupa.”
“Coba deh, hafalan surah Al-Insyiqoq,” tantang Dzaka
dengan senyum miring andalannya.
67
“Hmm boleh, kalau ada yang salah benerin ya.”
“Oke, siap.”
Aneisha mulai melantunkan surah Al-Insyiqoq. Ada
beberapa ayat yang salah, dan Dzaka membenarkannya.
“Aamiin.”
“Gitu aja ada yang lupa,” ejak seorang pemuda
dihadapannya.
“Halah, ya namanya juga manusia. Wajar dong!”
Tiba-tiba Aneisha teringat sesuatu. Lantas ia berucap
“Kamu ingat kejadian waktu kita setoran Al-Insyiqoq?”
Diam, lalu dia hanya tersenyum penuh arti sambil
menggelengkan kepala.
“Kenapa emang? Mau nuntut pertanggung jawaban?” tanya
Dzaka sambil menahan tawa.
“Arghhh! Nggak nyangka aku dulu sepolos itu.” Aneisha
berucap sambil menutup mukanya dengan kedua tangan. Saat
mengingat kenangan itu, sungguh dirinya merasa sangat amat
malu.
“Tanggung jawab kamu Dzak!”
“Siap. Nanti lulus SMA, aku lamar.”
Kalimat itu adalah hal unik terakhir yang Aneisha dengar
dari mulut seorang pemuda yang mengisi hatinya.
***
Satu tahun berlalu....
“Mungkin benar kata umma, masa lalu itu cuman untuk
dikenang, bukan untuk dijadikan masa depan.”
“Sekarang, aku udah sadar. Kalau sebaik-baiknya tempat
untuk menaruh harapan itu hanya kepada Tuhan. Bukan kepada
sesama manusia seperti kamu Dzak.”
“Dzaka, Aneisha benci kamu.”
***
Aneisha menutup buku diary yang ia pegang. Sudah cukup
baginya menyelami kenangan yang ia goreskan kepada buku
diarynya.
68
“Dulu aku suka kamu, tapi itu dulu. Sekarang masih.”
-curhatan nurani.
Bionarasi
69
Memilih Pergi
Penulis: Sridevi
71
Aku pergi karena aku sadar diri, sangat banyak kurangku
sungguh aku tidak pantas dekat dengamu. Tidak adil rasasanya
bagimu mendapatkan orang sepertiku. Sakit sekali rasanya
terpaksa meninggalkan orang yang kusayang karena
kekuranganku sendiri. Kau tau sesakit apa hatiku saat aku terpaksa
mengatakan aku harus pergi, kita sudahi saja cukup sampai disini.
Tak bisa kutahan air mata ini agar tidak menangis. Tapi tidak bisa
sesak rasanya dadaku menahan sakit yang kurasa aku tidak tau
haru bagaimana lagi
Aku tidak pernah peduli apa yang orang katakan tentangku
tapi aku tidak akan pernah tahan mendengar orang berkata buruk
tentangmu, jadi biarlah aku yang kelihatan jahat dimata manusia
karena yang paling penting bagiku cukup Allah sja yang tau apa
tujuanku dan yang apa yang sebenarnya ada dihatiku, maafkan aku
harus pergi darimu, maafkan aku telah membuatmu kecewa lagi,
maaf aku hanya bisa membuatmu pusing padahal aku tau kamu
juga sedang tidak baik-baik saja. Maaf aku terlalu egois karena
hanya memikirkan perasaanku tanpa tau perasaanmu dan tanpa
bertanya ap maumu, maaf aku tidak bisa menjelaskan semuanya
tidak tau mengapa mulut ini seakan terkunci dada ini rasanya
sesak sekali saat aku melihat wajahmu saat kamu menghubungiku
aku hanya bisa diam dan melihat wajahmu rasanya rindu sekali
ingin sekali bisa bercanda seperti dulu.
Rasanya ingin ku melihat senyum manismu yang kini mulai
memudar maafkan aku, rasanya ingin ku bilang aku rinduu,
rasanya ingin kujelaskan semuanya yang membuatmu kecewa
padaku, ingin kujelasan alasan aku pergi meninggalkanmu, tapi
mengapa ini sangat berat seolah olah mulutku dikunci, kau tau aku
selalu menyayangimu tk ada alasan untuku membencimu karena
kau terlalu sempurna untuku yang banyak kekurangan sehingga
aku memilih mundur dan mencoba untuk ikhlas. Aku ingin
melihatmu bahagia dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku,
aku tau banyak yang lebih baik mengantri untuk bersamamu aku
72
ingin mundur biar orang yang lebih baik dariku bisa masuk
kehatimu.
Aku piker ini akan mudah untuk ikhlas kehilanganmu demi
kebahagiaanmu, rasanya berat sekali menahan rindu dan berat
sekali menahan jari ini untuk tak menghubungimu aku hampir gila
menangis setiap malam saat menginggatmu setiap melihat story
mu aku menjadi semakin rindu, aku pergi hanya ingi melihatmu
bahagia meski bukan denganku aku tau ini akan berat untukmu
tapi aku tau kamu kuat kamu pasti bisa melewati ini satu pintaku
maafkanlah aku jangan membenciku karena aku tidak akan
sangup bila kamu membenciku aku tidak pernah perduli jika orang
membenciku tapi asalkan jangan kamu, saat ku rindu hanya
airmata yang bisa keluar saat ku berdoa ya Tuhan jaga dia,
lancarkan urusanya, beri dia kesehatan bukakanlah pintu maaf
dihatinya untuku jangan sampai dia membenciku, aku sangat
menyayanginya sungguh aku tidak akan mampu melihat dia
terluka karenaku.
Setelah ku kirimkan pesan kita sampai disini saja pada saat
ini aku menuliskan setiap katanya di iringi tetesan air mata, pada
saat itu aku masih dimobil dalam perjalanan pualng. Tapi setelah
kau balas pesanku jujur aku kecewa, aku langsung menangis kuat
saat membacanya isi pesanmu yang sangat menyakitkan kau
bilang aneh lah kamu ni, bingungg saya,suka sukamu aja lah,
lanjutkan, saya nggak mau pusing lah.
Pada saat itu aku menjadi tau ternyata aku tidak ada artinya
dimatamu,ternyata selama ini aku hanya membuatmu pusing.
Ternyata kau tidak perduli sedikitpun tentang perasaanku kau
hanya memikirkan dirimu sendiri. Kau tau pada saat itu aku
sanggat membutuhkanmu aku sanggat lemah dan tidak tau mau
berbuat apa aku ingin kau ada disisiku agar aku kuat menghadapi
cobaan itu, tapi nyatanya kau memilih untuk pergi
Sebenarnya aku berharap kau tetap memilih bersama
denganku setelah tau kekuranganku, teman temanku dulu berkata
katakan saja sama dia pasti bisa menerima, pada saat itu aku pikir
73
tidak mungkin kamu mau menerima aku, boleh tidak aku egois
sebentar saja, aku ingin tetap seperti ini merasa dicintai dan
disayang sebentar saja. Nanti setelah siap aku akan katakana
semuanya. Sekarang aku sudah siap menghadapi kenyataanya.
Tapi tak apa setidaknya aku menjadi tau tidak ada yang paling
mencintaiku selain keluargaku. Mereka yang tidak pernah
meninggalkanku disaat aku jatuh, sedih dan menderita. Hanya
keluargaku yang tida meninggalkanku setelah tau semua
kekuranganku mereka yang mendampingiku dan selalu memberi
kekuatan untuku.
Setidaknya aku mendapat pelajaran hikayat kebangkitan
cinta sejati tentang seorang perempuan yang dibuang dan
dijatuhkan tetap memilih bangkit. Kemudian dia jatuh lagi, tapi ia
memilih untuk terus bangkit lagi walaupun berkali kali jatuh. Saya
memilih untuk terus hidup, bangkit dari kesedihan. Kejatuhan
bukanlah awal dari kesedihanku, sebaliknya awal dari
kebangkitanku.
Terimakasih karena pernah membuat aku bahagia, kau
membuat hidupku yang tadinya abu-abu menjadi penuh dengan
warna. Setidaknya aku pernah merasakan cinta walau hanya
sebentar saja, Aku tidak akan membencimu atau memblokir
kontakmu kau akan tetap boleh melihat hari hariku melelui story
ku, kita pernah berjanji walaupun kita berpisah kita tidak boleh
musuhan dan memblokir kontak. Kamu tenang saja aku akan
menepati janjiku, Sekarang pergilah dengan tenang aku ikhlas.
Tapi satu pintaku jangan datang lagi sungguh aku tak kan
sanggup, ketika kau memilih untuk pergi tolong jangan pernah
untuk kembali lagi.
74
Memilih Pergi
By Sridevi
Bionarasi
D or!
Madina yang sedang duduk di kursi taman dibuat kaget
saat tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang
dan membuat buku yang Madina baca terjatuh.
"Astaga nggak capek lo Din jadi kutu buku," ucap Ulfa
sambil mengambil buku Madina yang jatuh dan kemudian duduk
disebelah madina.
"Kebiasaan lo lama-lama bikin gue jantungan Ul" ucap
Madina kesal.
Melihat Madina yang memasang wajah kesal tapi terlihat
menggemaskan membuat Ulfa mencubit pipi Madina, "Iya-iya
gue minta maaf," ucap Ulfa dengan kekehan ringan yang
memperlihatkan gigi gingsulnya.
Karena Madina tidak merubah ekspresinya akhirnya Ulfa
memberikan minuman favorit sahabatnya itu.
"Nih buat lo biar ga cepet tua karena marah mulu." Tangan
Ulfa terulur untuk memberikan minuman ke Madina. Melihat Ulfa
yang memberikan minuman favoritnya itupun langsung ia rebut
dan merubah ekspresinya menjadi senyum dengan mata yang
meyipit.
"Din pulang kuliah nonton bioskop yuk kita nonton film nih
gue udah beli tiketnya," lanjut Ulfa sambil menunjukkan tiga tiket
yang sudah dia beli.
"Ulfa, Madina!" teriak gadis berkacamata dengan
melambaikan tangannya yang membuat Ulfa dan Madina Mecari
ke sumber suara.
"Huftt pusing banget gue pelajaran hari ini, ga bisa nahan
ngantuk lagi dikelas soalnya semalem bantu bunda bikin pesenan
kue dan bikin gue begadang sampe jam 2 malem," keluh Halda
76
yang sudah menghampiri kedua sahabatnya di kursi taman dan
menyenderkan kepalanya di bahu Madina.
"Nah pas kan gue ada tiket nonton jadi fiks nanti habis
pulang kuliah kita nonton ya," ucap Ulfa dengan semangat karena
dirinya juga benar-benar pusing dengan pelajarannya terlebih ada
film yang sangat dia suka jadi mungkin itu bisa membantu otaknya
yang hampir lemah.
"Sorry, tapi gue-"
"TEGAHHH LO SAMA GUE DIN KECEWA GUE SAMA
LO GUE UDAH BELI TIKET DEMI KITA NONTON
BERTIGAH," omel Ulfa sambil memukul dadanya sendiri dengan
tangannya seakan-akan menghayati peran agar Madina tidak
menolak.
"Ayolah Din please," rengek Ulfa dan Halda sambil
menggenggam tangan Madina dan menggoyang-goyangkan
seperti anak kecil yang minta mainan. karena Madina tak kunjung
menjawab akhirnya kedua sahabatnya memasang wajah melas
dihadapan Madina yang membuat Madina tidak bisa menahan
tawanya.
Madina tersenyum manis, "Oke, karena Ulfa udah beli tiket
jadi gue nggak nolak," ucapnya sambil merangkul pundak kedua
sahabatnya.
Akhirnya hari ini mereka bisa bersenang-senang setelah
beberapa Minggu hari-harinya dipadati oleh tugas karena memang
mereka bertiga berbeda prodi pelajaran walupun di fakultas yang
sama. Setelah selesai menonton karena waktu masih menunjukkan
pukul 19.00 WIB akhirnya mereka memutuskan untuk jalan-jalan
dan mereka berhenti untuk memesan makanan dan minuman di
sebuah cafe outdoor dengan suasana yang mendukung ditemani
purnama yang bersinar.
"Eh gue punya sesuatu buat kalian sebenarnya gue udah beli
lama tapi karena kita sama-sama sibuk gue lupa mau ngasih ini ke
kalian dan untungnya pas berangkat tadi gue inget," ucap Madina
77
yang mengeluarkan gelang liontin sesuai huruf inisial nama
mereka.
"Tapi punya gue liontinnya hilang, pas gue lagi mandi baru
sadar kalo liontinnya hilang," lanjut Madina kecewa yang
menunjukkan gelang di depan kedua sahabatnya.
"Lo kayaknya emang ahli ngilangin barang deh Din waktu
itu lo bilang handphone lo hilang terus motor lo juga hilang," ucap
Halda dengan kekehan ringan.
"Ngawur lo, itu musibah ga mungkin gue ngilangin barang-
barang berharga gue," jawab Madina yang tidak terima.
"Lo beli gelang murahan Din?" ucap Ulfa yang menatap
gelang sambil mengunyah makanannya.
Mendengar ucapan Ulfa itu membuat Halda menepuk pelan
punggung tangan Ulfa, "Apasih lo Ul, liat deh gelangnya lucu
banget apalagi ada nama gue yang cantik ini," puji Halda setelah
menyebutkan nama dirinya cantik, lebih tepatnya memuji dirinya
sendiri.
"Tapi tangan gue gatel pakek gelang murah˗”
Halda langsung memasukkan makanan ke mulut Ulfa,
"Udah deh kalo lo ga mau mending buat gue aja kan inisialnya
sama kaya nama adek gue."
"Ga ini punya gue," ucap Ulfa yang merebut gelangnya dari
tangan Halda dan langsung memakai ke tangannya.
Melihat tingkah Ulfa membuat Hilda dan Madina saling
menatap dan menggelengkan kepala, "Membanggongkan," ucap
Halda dan Madina bersamaan.
"Permisi mbak boleh minta tolong fotoin kita sebentar?" u
cap Madina sopan kepada pelayan yang lewat di samping meja
makan mereka.
"Boleh mbak," jawab pelayan itu dengan senyum ramah.
"Makasih mbak," ucap Madina yang meyudahi fotonya.
Pelayan tersebut mengembalikan handphone Madina sambil
tersenyum manis, "Sama-sama mbak."
78
"Sekarang gantian kita foto pamer gelang kita yang cute ini,"
ajak Ulfa yang tangannya sudah memposisikan di tengah meja
makan mereka dan mengambil beberapa foto tangan yang
memperlihatkan gelang mereka bertiga.
Tak terasa halda dan Ulfa sudah di pemakaman sejak 20
menit dan waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB tapi Ulfa
dan Halda masih terus menatap nisan di hadapan mereka dengan
air mata yang tidak mampu dibendung lagi. Sudah 2 minggu yang
lalu Madina meninggalkan mereka karena kecelakaan mobil.
Mengingat kebersamaan mereka dari kelas 1 SMK sampai kuliah
begitu banyak memori yang tersimpan, rasa bahagia, sedih mereka
lalui bersama.Ulfa menatap lekat-lekat gelang yang Madina
berikan karena tidak menyangka kalau gelang ini menjadi
pemberian terakhir Madina untuk kedua sahabatnya dan sekarang
kehadiran Madina tidak akan pernah lagi ada dan tidak tergantikan
"Gue kangen lo Din, Madina si kutu buku yang cantik,
periang, dan pinter nyembunyiin masalah lo dari kita dan setiap
kita mau bantu lo selalu jawab takut ngerepotin, gue sayang sama
lo tapi ternyata Allah lebih sayang sama lo," ucap Halda dengan
mengusap nisan yang tertulis nama Madina.
"Makasih ya Din karena kehadiran lo kita bisa berubah jadi
lebih baik lagi karena lo nggak bosen untuk selalu ngingetin kita
untuk pakek hijab dan nggak ninggalin sholat 5 waktu semoga kita
bertiga bisa kumpul lagi di surganya Allah ya Din," ucap Ulfa
yang menatap sendu nisan Madina.
Rintikan hujan mengalih perhatian mereka berdua Ulfa
mendekati Halda dan mengelus lembut pundak Halda. Tersirat
keduanya dengan tatapan sedih menatap dalam-dalam nisan
dihadapannya.
"Kalo gitu kita pamit dulu ya Din dan kalo bisa nanti malem
mampir ke mimpi gue ya," ucap Halda sambil menghapus air
matanya.
79
Kemudian Ulfa dan Halda beranjak pergi dan berdiri
meninggalkan tempat pemakaman. Mereka saling bergandengan
tangan dengan gelang yang masih bertaut di lengan mereka.
Bionarasi
80
My Soulmate Is My Idol?
Penulis: Liya Insan
82
Aku bertanya pada Kalam darimana dia mendapat nomorku
dan dia memberitahuku bahwa dia mendapat nomorku dari
Faizan. Faizan? Apa alasan Faizan memberikan nomorku pada
Kalam?
Tapi pertanyaanku itu akhirnya terjawab. Kalam
menjelaskan padaku bahwa Faizan tertarik untuk berteman
denganku. Sebuah fakta yang membuatku terkejut bercampur
senang dan rasa tidak percaya. Kalam juga bertanya padaku
apakah aku bersedia berteman dengan Faizan. Dan sudah tentu
kujawab bahwa aku bersedia berteman dengan Faizan. Siapa
orang didunia ini yang tidak senang bisa berteman dengan
idolanya?
Kalam mengirimiku nomor Faizan dan memintaku untuk
chat Faizan terlebih dahulu. Hei! Kenapa harus aku dulu yang
membuka interaksi? Pikirku. Bukannya bisa saja dia yang lebih
dulu membuka interaksi?
“Hi! I’m Nur. Your fans from Indonesia. Owner of
@faizankhan.fanpage account. Save my contact.” Itu chat
pertamaku pada Faizan. Setelah dua hari berlalu Faizan baru
membalas pesanku. “Helo. Yes. I’m Faizan. I’m busy, its that’s
why I can reply your message today,” balasnya. “Its okay no
problem,” balasku kemudian. “From who you know my contact?”
tanya Faizan. “From Kalam. He send your contact for me. He text
me that you want to know me,” balasku. “Ooh, yeah that’s right.”
Balas Faizan. Dan interaksipun berakhir sampai situ. Mimpi apa
aku sampai bisa berinteraksi dengan idola melalui whatsapp?
Aku adalah seseorang dengan rasa penasaran yang cukup
tinggi. Aku iseng membuat postingan di story whatsapp ku. Aku
memposting fotoku dengan katingku sekaligus pembinaku di
organisasi BEM, namanya kak Fathan. Aku memposting dengan
caption “On the way to success.” Aku penasaran apakah dengan
memposting story tersebut Faizan juga akan melihatnya?
Diluar dugaanku, bukan hanya melihat saja, tapi Faizan pun
membalas storyku. “Great! What major did you pick?" balas
83
Faizan. “Accounting. And how about you?” balasku. Dan apa
kamu tahu apa balasan Faizan setelahnya?
“Math. Because i loved math. I didn't feel like continuing
my work as an actor. But, i don’t know later,” balasnya panjang.
“Why?” tanyaku pada Faizan. “I don’t know why,” balasnya. Dan
aku tidak ingin bertanya lebih banyak karena itu privasi apalagi
posisiku yang hanya fansnya. Interaksipun berakhir. Selama
kurang lebih tiga bulan tidak ada interaksi apapun antara aku dan
Faizan. Kami berdua hanya sebatas penonton story.
Aku adalah tipe orang yang suka memposting foto bersama
dengan teman-teman,kerabat, siapapun. Ada masa dimana saat
aku posting fotoku dan foto adikku laki-laki yang baru pulang dari
Kalimantan di story whatsapp dengan caption “Finally we can
meet”. Faizan mengomentari postinganku itu dengan kalimat,
“Congratss! And when we can meet?” Kalimat yang sulit kubalas.
“Soon,” balasku. “Soon? Why don't we make an appointment?”
balasnya kemudian. “Hum, when and where?” balasku. Benarkah
jika Faizan mau bertemu denganku? Satu, dua, tiga, ... lima menit
kemudian baru dia kembali membalas. "After I finished my study,"
balasnya. “Yes, i also should finished my study, first,” balasku.
“Would your boyfriend be mad if you met me?" tanyanya tiba-tiba.
Boyfriend? Aku tidak punya pacar, malah itu sudah menjadi
prinsip. Aku tidak ingin pacaran, tapi ingin langsung menikah.
“No, i don’t have boyfriend,” balasku atas chatnya. “In your
story?” tanyanya lagi. “Oh, that's my little brother,” jelasku
padanya. Kemudian Faizan hanya membaca pesanku.
Cerita random lainnya adalah ketika aku menanyakan rumus
matematika pada Faizan. Memang benar notabenenya aku anak
akuntansi, tapi bukan artinya setiap anak akuntansi pintar dalam
matematika. Aku bertanya pada Faizan mengenai rumus dan cara
menghitung fungsi invers. Tak tanggung-tanggung bukan hanya
menjawab rumus dan cara menghitungnya, dia memintaku
memfoto soal tersebut dan tujuh menit kemudian dia mengirimiku
foto yang berisi jawaban dari soal itu. "You don't explain how to
84
do it. I don't understand," balasku. “Call me, I will explain to
you,” balasnya. Dan, ya, itu pertama kalinya kami melakukan
video call. Terima kasih soal matematika.
Dari cerita random tentang matematika, aku menjadi lebih
sering menanyakan banyak hal tentang matematika pada Faizan.
Di video call dia bilang bahwa tidak masalah jika aku bertanya
padanya. Menurutnya matematika menyenangkan, dia
menambahkan bahwa aku bisa menelpon dia jika butuh bantuan
dalam mengerjakan soal matematika. Dan tak jarang, ketika
urusan matematika sudah selesai aku dan Faizan malah membahas
banyak hal. Dan dari situlah aku mulai akrab dengan Faizan. Kami
jadi sering melakukan video call di waktu-waktu luang entah itu
di rumah atau tidak.
Ibuku ikut nimbrung saat aku video call dengan Faizan, ibu
penasaran dengan siapa aku berbicara. Akupun memperkenalkan
ibuku pada Faizan diikuti Faizan yang memperkenalkan ibunya
padaku. Hingga lama-kelamaan keluarga kami semakin kenal.
Kami juga sering membahas kebiasaan masing-masing,
menceritakan pengalaman, budaya, bahkan adat-istiadat.
Tak terasa kuliahku selama 3,5 tahun selesai. Dan wisuda
dengan ipk yang cukup baik. Alhamdulillah juga, sudah mendapat
pekerjaan sebagai akuntan di sebuah perusahaan. Perlu diketahui,
bahwa aku kuliah sambil bekerja sebagai penulis dan blogger.
Pekerjaan sederhana yang cukup membantu membiayai kuliahku
sendiri. Aku sering diundang menjadi pemateri sebuah seminar,
atau acara-acara kesenian yang diadakan sebuah komunitas
dikotaku. Alhamdulillah, aku bisa membuat orangtuaku bahagia.
Lagi-lagi postingan wisudaku mendapat komentar dari
Faizan. “Congratulation Nur! Happy graduation! I like you.”
Komentarnya membuatku tercengang. Aku menceritakan hal
tersebut pada Ibu, dan Ibu memintaku menanyakan pada Faizan
apa maksud pesan itu. “I admire you. And maybe now the feeling
is more than just awe. I feel connected when I talk with you,” balas
85
Faizan. Dan apa yang harus kulakukan selanjutnya? Aku sudah
membuat anak orang menyukaiku.
Aku kembali meminta solusi pada Ibu, Ibu memintaku agar
membalas pesannya dengan kalimat, “Jika memang benar kau
menyukaiku, datang ke Indonesia, temui orang tuaku,” Dalam
bahasa Inggris.
Tiga bulan Faizan tidak pernah menghubungiku lagi. Dia
hanya menjadi penonton storyku. Aku berpikir bahwa dia tidak
berani menemui kedua orang tua dan kupikir perasaannya tidak
sungguh-sungguh.
“Hey! How are you? Did you get hired at that company?”
pesan dari Faizan tiba-tiba setelah sekian lama. “I’m fine, yes. I’m
accountant today,” balasku. "Could you give me your home
address?" Alamat? Untuk apa? Menemui kedua orang tuaku?
Akhirnya akupun memberikan alamat rumahku secara lengkap
pada Faizan. “Please save your money. I got a film project. I will
meet your parents before the shooting activity begins. Wait
another two months,” jelas Faizan. Aku hanya membalas
pesannya. Saat di rumah, aku menceritakannya pada Ayah dan
Ibu. “Biarkan kalau dia mau menemuimu. Mungkin saja memang
dia jodohmu, kami juga nggak bisa menghalangi,” ucap Ayah.
Dan saat itu aku dalam posisi ragu yang sulit dijelaskan.
Belum sampai dua bulan, benar Faizan datang ke negaraku.
Kami bertemu di bandara. Dan sangat sulit dijelaskan bagaimana
rasanya ketika akhirnya kami dapat bertemu.
Untuk pertama kalinya Faizan bertemu dan menghadap
kedua orang tuaku. Banyaknya perbedaan sangat terasa, terutama
bahasa yang berbeda. Aku menjadi translator pada interaksi
mereka. Hanya seminggu Faizan menginap di rumahku. “I'm
simple, this is how I am,” kataku dihadapan Faizan. Faizan
tampaknya paham apa yang kurasakan saat itu. "I've discussed
everything with my parents, all family. According to custom, as
well as the customs of our family. They are fine with it,” ucap
Faizan.
86
Sampai pada masa di mana dia kembali pulang kenegaranya.
Aku mengantarnya sampai bandara. Di pertemuan terakhir itu,
Faizan berpesan agar aku segera mengurus dokumen begitupun
dirinya. Dia berkata akan datang kembali kenegaraku bersama
keluarganya. Kedua keluarga berdiskusi secara online untuk
menetapkan hari akad.
Satu minggu sebelum hari akad, Faizan datang bersama
keluarganya. Membantu persiapan acara ijab kabul. Ya, acara
pernikahan hanya berlangsung sederhana. Itupun sesuai
permintaan kedua keluarga. Selesai acara pernikahan di Indonesia,
aku dibawa ke India, untuk memgurus dokumen.
Saat ini, saat duduk disampingnya pun aku masih tidak
percaya. Nur adalah istri dari idolanya sendiri semasa remaja?
Bionarasi
87
Pecahan Gelas
Penulis: Silva Arikhusna
89
mulut yang berdarah. Seisi sekolah langsung gempar. Anak pak
lurah di pukuli!
Di kantor Baron di panggil sebagai saksi, ia tahu betul
temannya Darrel tidak bersalah. Dan Anala si biang kerok sekolah
yang memulai duluan, tapi ia terkejut dengan kebijakan kepala
sekolah.
Anala di skors selama seminggu sementara Darrel di skors
selama tiga minggu. what? Kenapa hukuman Darrel justru lebih
berat dari si tukang rundung ini? Saat Baron menanyakan itu, tidak
boleh memukul wanita katanya. Anala bangun berlalu sambil
melirik sinis ke ara Darrel. Entah apa masalah dia, mengganggu
urusan orang menyenangkan mungkin bagi dia.
Darrel menghembuskan napas saat hendak pulang ke rumah,
apa yang akan terjadi kalau bapaknya tau dia di skors? Bapak yang
keras itu, pasti akan memukul habis dirinya karena di kira
membuat ulah di sekolah tanpa tau cerita yang sebenarnya.
Kalaupun tahu apa pedulinya memang? Hati Darrel berdebar-
debar.
Keesokan harinya saat seharusnya ia berangkat ke sekolah
tapi malah mengurung diri di kamar, ibu dan bapaknya
memanggilnya dari luar kamar.
"Rel! Gak mau sekolah kamu? Cepetan mandi sama sarapan
biar gak telat! Udah jam berapa ini!" teriak bapaknya keras sambil
menikmati sepiring gorengan dan teh hangat di sofa depan kamar
Darrel.
Pelan Darrel membuka pintu, lalu duduk di sebelah
bapaknya. Ia berniat berbicara, tak berharap bapaknya mengerti
yang penting bapaknya tau. menghadapi konsekuensinya biarlah
jadi urusan nanti.
"Pak, Darrel mau ngomong. Tapi bapak jangan marah ya.
" ujar nya pelan-pelan.
"Apa?"
"Darrel di skors pak tiga minggu. Jadi darrel gak berangkat
sekolah dulu."
90
"Hah? Kenapa? Buat ulah kamu?"
Darrel menggelengkan kepalanya kemudian menceritakan
kejadian semalam kepada bapaknya, di luar pikiran Darrel
ternyata bapaknya langsung membelanya.
"Apa? Kok bisa kayak gini. Mentang-mentang anak lurah
kok mau seenaknya sama anakku. Darrel ayo ke sekolah biar
bapak ngomong sama kepsekmu!"
Awalnya Darrel biasa saja dengan keputusan ayahnya untuk
pergi ke sekolah tanpa tau kalau akhirnya dia akan semenyesal ini.
Di sekolah bapaknya ngamuk-ngamuk di kantor kepsek
sampai jadi tontonan guru-guru, meminta Darrel untuk berhenti di
hukum dan memberikan hukuman yang lebih berat kepada si
Anala.
“Tapi rahang Anala sampai retak akibat pukulan anak
bapak, di sini yang jadi korban itu Anala pak," ujar pak kepsek
beralasan, wajahnya menunjukkan rasa sungkan kepada bapak
Darrel.
Lama tak ada kejelasan akhirnya Darrel dan bapaknya
memilih pulang. Tiga minggu Berlalu, sudah saatnya Darrel
berangkat kembali ke sekolah. Tak di sangka ia akan di bully
habis-habisan oleh seluruh warga sekolah.
"Dasar beraninya sama cewek!"
"Sekarang aja udah mukulin cewek apalagi ntar kalau udah
nikah, pasti KDRT."
"Huuuu ... dikit-dikit ngadu ke bapaknya huuuu."
Guru-guru pun tak kalah, saat di kelas ia selalu yang di suruh
maju ke depan dan di suruh mengerjakan soal di papan tulis. Saat
tidak bisa mengerjakan maka guru dan teman-temannya akan
memandangnya dengan sinis lalu berbisik mencacinya. Saat-saat
itu sekolah bagaikan neraka baginya. Baron tak berani
membelanya karena takut di keroyok oleh warga sekolah.
Hingga seminggu kemudian, ia di panggil ke ruang kepsek.
Pak kepsek memberitahunya kalau ia di keluarkan dari sekolah.
Saat itu dunianya terasa berhenti berputar. Ia tak mampu
91
menahanya, ia menangis, meraung-raung di depan meja kepala
sekolah menjadikan kepala sekolah merasa tak enak hati di
buatnya.
Baron mengabarinya lewat chat whatsapp, bahwa ayah
Anala yang meminta kepsek untuk mengeluarkannya atau ia akan
berhenti memberikan dana pada yayasan tempat ia sekolah. Belum
hilang rasa sedihnya ia di kurung di kamar mandi dan terjadilah
kisah di awal paragraf tadi.
Pulang ke rumah Darrel mengabari bapaknya, sang bapak
yang biasanya keras kini hanya memeluknya dan tidak
mengatakan apapun. Ia sadar bahwa tak ada yang bisa ia lakukan.
Pindah sekolah di kelas dua SMK sangatlah sulit, hampir tak
ada sekolah yang mau menerima murid baru di pertengahan tahun
seperti itu. Ia sudah di tolak oleh 5 sekolah dan di sinilah ia berdiri
sekarang. Di sebuah pesantren tahfidz yang gratis tanpa biaya
apapun menjadi harapan terakhirnya.
Ternyata ia di terima untuk sekolah di sana. Awal ia masuk
ke dalam asrama ia menjadi sosok pendiam, ia tak berani dekat
dengan siapapun untuk mencari aman. Beberapa bulan berturut-
turut bayangan wajah Anala yang berdarah dan senyuman sinisnya
menerornya dalam mimpi. Butuh dua tahun untuk lupa atas
masalalu yang membuatnya trauma.
Waktu telah berlalu, kini dia memiliki kehidupan baru
dengan teman-teman santrinya yang peduli padanya namun tak
pernah mengusik privasinya. Saat bayangan pahitnya ketidak
adilan masa lalu muncul ia akan menangkan diri dengan menulis
dan membaca alquran hingga lukanya sembuh dengan sendirinya.
Kini Darrel telah sembuh, ia tak lagi terluka dengan
kenangan masa lalunya. Hidupnya kini lebih baik dengan merajut
harapan-harapan baru dan menciptakan mimpi-mimpi baru untuk
dia raih.
Suatu hari Anala datang ke toko Darrel yang menjual
kerajinan. Darrel sudah tak sakit hati lagi dengannya, ia sudah
berdamai dengan masa lalunya. Ia tersenyum sementara Anala
92
wajahnya langsung merasa malu. Dengan mata berkaca-kaca ia
berbicara dengan suara yang serak.
"Aku minta maaf," ucapnya tertahan oleh air mata. Darrel
hanya diam, ia ingat hidupnya banyak berubah karena wanita ini.
Kalau ia masih di SMK mungkin ia akan bekerja di kantor yang
bergaji tinggi namun lihatlah ia sekarang hanya pemilik toko kecil.
Anala semakin terisak-isak, ia menangkupkan kedua
tangannya, "Aku minta maaf," ucapnya lagi. Kemudian lari pergi
menjauh.
Sementara Darrel hanya membatin dalam hati, "Gelas yang
telah pecah, tidak akan bisa di perbaiki.” Rupanya hatinya tetap
sakit ketika melihat wajah wanita itu di hadapannya.
Dirinya mungkin telah berdamai dan memaafkan tapi rasa
sakit itu tetap tak akan terlupakan. Ia sudah sembuh, hanya saja
sudah tak mau lagi berurusan.
06 November 2022
Bionarasi
93
Sepasang Merpati Muda
Penulis: Regina Eka Meylani
95
"Jam 10 aku jemput, kita berdua saja ya. Aku ingin
menceritakan sesuatu hal," balas Lukman.
Jantungku berdenyut kencang. Sungguh tak biasanya kamu
mengajakku main berdua saja. Aku berusaha berpikir biasa untuk
kesekian kalinya.
"Okedeh," balasku singkat.
**
Keesokan harinya aku bangun lebih awal dan
mempersiapkan segalanya. Tak biasanya juga aku ribet persiapan
hanya karena ingin pergi main. Jam 10 pas tidak lebih atau kurang
kamu sudah siap di depan rumahku dan langsung saja meluncur
ke Taman Sari Jogja. Seperti orang pada umumnya ketika
mengunjungi destinasi wisata. Hal yang paling umum adalah
mengabadikan momen-momennya.
Tiba waktunya kamu memulai percakapan yang menjadi
salah satu sejarah kisahku. Kata demi kata yang kau ucap di
bibirmu itu masing terngiang di telingaku sampai sekarang. Benar,
jikalau hal itu diingat buliran air mataku sering menetes.
"Re, kamu tahu aku menyembunyikan rasa ini cukup lama.
Namun, kamu sering mengatakan sesuatu hal yang kita lakukan
pasti akan ada konsekuensinya. Pada kesempatan inilah aku ingin
mengungkapkan semua isi hatiku, tapi aku sudah memikirkan
semua konsekuensinya," kata Lukman memulai pembicaraan.
Jantungku berdetak kencang melebihi semalam ketika kamu
mengajakku main. Ini beda, sungguh beda.
"Re, ketika kita mengikuti PKD di organisasi, sejak saat
itulah rasa itu datang atau sejak saat itulah aku sadar kalau aku
menyukaimu. Pada akhirnya aku berpikir untuk mengenalmu
lebih dalam lagi. Dan pada kesempatan ini aku, kamu, dan Tuhan
yang menjadi saksinya. Aku ingin berkata jujur kalau aku
menyukaimu dan aku memiliki rasa yang lebih dari teman
terhadapmu," sambung Lukman dengan suara sedikit bergetar.
"Mungkin aku bukanlah laki-laki yang bisa dikatakan
tampan, tapi benar melalui hati yang begitu dalam dan sudah aku
96
pikirkan secara matang. Aku memilihmu menjadi teman. Teman
yang akan mendengar keluh kesahku, teman yang akan
membantuku, dan teman yang selalu ada buatku. Dan pada
saatnya nanti aku ingin kamu jadi teman hidupku Re," lanjut
Lukman dengan mata berkaca.
Sungguh aku menilaimu saat itu benar-benar tulus dari
hatimu yang dalam. Aku seketika teridam dan bingung. Aku pun
memilih mengalihkan pembicaraan.
"Lukman lihatlah pohon itu kenapa tumbuh digenting?"
tanyaku basa basi.
"Mungkin itu tanaman liar," balas Lukman dengan helaan
napas.
"Kok bisa ya?" jawabku masih berusaha membuat Lukman
teralih dalam topik pembicaraan.
"Re, aku sudah mempersiapkan konsekuensinya dan aku
tidak harus mendengar kata iya atau kata tidak dari mulutmu itu,"
balas Lukman.
"Eh, La itu kenapa bentuk atap yang sebelah sana kok beda
seperti yang ada di Magelang?" balasku kekeh mengalihkan
pembicaraan.
"Sudahlah Re, kamu dari tadi mengalihkan pembicaraan
terus. Berikan aku waktu berbicara serius padamu. Nanti akan aku
jawab semua pertanyaanmu itu, tapi tolong jawab perasaanku dulu
Re," balas Lukman dengan sedikit kecewa.
Aku menghela napas dalam-dalam.
"Baiklah Lukman, terima kasih sudah berkata jujur padaku.
Lukman kenapa kamu menyukaiku?" tanyaku polos.
"Re kalau manusia mampu mengatur perasaannya dan
mencegahnya agar tidak terjadi. Aku juga tidak mau menyukaimu,
tapi ini datang begitu saja. Aku nyaman denganmu Re. Apa kamu
ragu denganku?" terang Lukman.
"Tidak seperti itu, aku hanya terkejut saja Lukman. Baik
Lukman, aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ada dalam
97
hatiku. Mungkin, aku belum bisa menjawab perasaanku ini.
Bolehkan aku minta waktu untuk berpikir?" jawabku.
"Tentu saja Re, aku paham. Tidak apa-apa Re," kata
Lukman lesu.
"Sebelumnya aku juga ingin bertanya sedikit kepadamu.
Lukman kita kan dalam organisasi yang sama. Aku tidak mau
kalau organisasi itu dibuat ajang untuk mencari pasangan.
Sungguh, aku gak mau kalau namaku terlukis hal buruk Lukman.
Apakah kamu bisa berkonsisten dan berperilaku profesional
ketika berada di dalam organisasi dan di luar organisasi?" tanyaku.
"Ya, tentunya Re dan itu sudah menjadi keharusan. Lantas
apa yang membuatmu harus berpikir lagi Re?" tanya Lukman
penasaran.
"Entahlah, aku masih perlu berpikir. Satu hal lagi Lukman
jika kita berjalan bersama mengikat sebuah hubungan. Seketika di
tengah jalan kita tak ditakdirkan bersama. Apa kamu akan
membenciku? Karena jujur saja kamu adalah teman ternyaman
untuk meluapkan cerita," balasku dengan nada serius.
"Tidak. Tidak sekalipun aku akan membencimu. Mungkin
kita tidak akan sering berkabar, tapi aku tak akan membencimu.
Satu hal Re, aku tak akan membiarkan hubungan itu terputus,"
jawab Lukman meyakinkanku.
Aku hanya diam.
"Berapa hari PR itu akan kau jawab Re?" tanya Lukman
dengan jailnya.
"Secepatnya,” kataku dengan senyuman.
Yah, itu salah satu kisah yang paling mengesankan
98ersama Kamu. Di mana aku punya trauma yang mengecutkan
hati, tapi dengan penuh pertimbangan, aku berani membuka hati.
Aku menjawab PR yang kamu berikan itu tiga hari setelahnya,
walaupun balasanku hanya dari pesan singkat hal itu tak menjadi
persoalan serius untukmu. Sejak saat itu, aku dan kamu berjalan
98ersama mengikat sebuah hubungan bahkan sampai hari ini.
Magelang, 24 Januari 2022
98
Bionarasi
99
Serpihan Kertas
Penulis: Fera Kustianingsih
dengan alam batinku yang kosong dan hampa. Tak pernah jelas
bahkan tak nampak yang di belakang sana, masa laluku ... ah ...
aku tak mengingat semua, sebagian, atau bahkan sedikit saja. Aku
hanya tahu bahwa aku telah menikah 3 tahun dengan suamiku.
Tinggal di sebuah perumahan milik pabrik teh di tepian bukit.
Rumah tanggaku baik-baik saja. Cenderung datar, kami
tak pernah berselisih faham atau bahkan bertengkar. Suamiku tak
pernah menuntut apapun padaku. Kami menjalankan aktivitas
yang sangat dan hampir sama di setiap harinya. Pagi hari suamiku
berangkat ke pabrik, kami sarapan bersama. Selebihnya, aku
mengerjakan pekerjaan rumah, nonton tv, dan menikmati kopi di
teras rumah di sore harinya sambil menunggu suamiku pulang.
Aku jarang berkomunikasi dengan suamiku. Dia bukan
tipe orang jahat, mungkin dia hanya yang terlalu tertutup. Tapi dia
juga bukan tipe suami yang ramah, yang bisa bercanda dengan
istri dan orang sekitarnya. Aku tak pernah tau siapa diriku, apalagi
latar belakang suamiku. Pernah dulu aku bertanya tentang siapa
diriku. Apakah aku mempunyai keluarga atau siapa orang tuaku.
Itupun tak pernah aku tanyakan secara langsung kepadanya.
Aku sampaikan pertanyaanku satu-persatu setiap hari
lewat secarik kertas kecil yang aku letakkan di atas meja kerjanya.
Satu persatu dia akan menjawab pertanyaanku dengan menulis
jawabannya di balik kertas yang aku tuliskan pertanyaanku, dan
secara tidak langsung itu menjadikan kebiasaan bagi kami dalam
berkomunikasi, aneh memang.
100
Setiap saat usai membaca, jawaban dari suamiku kusimpan
baik-baik, ku kumpulkan, kususun rapi hingga menyerupai buku
kecil. Ku baca setiap hari catatan itu hingga muncul sebuah
memori baru di otakku, yang mengatakan bahwa aku sudah tak
memiliki siapa-siapa lagi. Kedua orang tuaku sudah meninggal
dalam sebuah tragedi kebakaran demikianpun bayiku. Semua tak
bisa diselamatkan, kedua orang tuaku, bayiku, harta kami, rumah,
foto kami, dan juga memoriku. Usai kebakaran hanya aku dan
suamiku yang selamat. Tapi setelah pingsan beberapa hari dengan
luka benturan di kepala menjadikan aku amnesia dan suamiku
mendapat luka bakar hebat di wajahnya demi menyelamatkan aku,
hingga menimbukan bekas yang mengerikan. Usai kebakaran itu,
kami memutuskan umtuk pindah ke desa di tepian bukit ini demi
utuk kesembuhanku dan menghindari keramaian dan rasa takut
sebagian orang karena luka bakar di wajah suamiku. Setelah itu,
aku tidak pernah lagi bertanya akan masa laluku atau
menyinggungnya, karena takut pertanyaanku akan semakin
menggores luka di hati suamiku.
Tapi hari ini aku menyimpan pertanyaan besar di hatiku
hingga aku gelisah dan tak sanggup rasanya menunggu waktu
sore, waktu kepulangan suamiku. Dadaku bergemuruh, jutaan
kalimat pertanyaan yang butuh pembenaran. Semua ini berawal
dari tadi pagi desa kami kedatangan penyuluh pertanian beserta
rombongan. Sebenarnya ini sudah sering terjadi di desa kami, tapi
ada yang tidak sama dengan kunjungan kali ini.
Pagi ini saat aku sedang menyapu halaman rumah,
rombongan penyuluh lewat di jalan depan rumahku. Aku
tersenyum menyambut kedatangan mereka. Usai membalas
senyumanku, mereka berlalu. Tapi di rombongan paling akhir,
seorang perempuan yang kira-kira seumuran denganku tiba-tiba
berlari ke arahku, memelukku sambil menanngis
“Raisa ... Raisa ... kamu ke mana saja? Aku kangen kamu,
kami mencarimu bertahun-tahun, aku kira kamu tidak selamat tapi
ternyata baru hari ini Tuhan menjawab doaku dengan
101
mempertemukanku denganmu di sini.” Perempuan itu masih
memelukku sambil menangis.
Aku hanya diam. Diam karena tidak tahu siapa dia dan aku
harus berkata apa. Melihatku diam saja, kemudian dia melepaskan
pelukannya.
“Raisa ... kamu baik-baik saja?”
“Kamu siapa?” gumamku sambil menatapnya.
“Raisa ...,” pekiknya
“Aku Ami, sahabatmu. Jangan katakan kalau kau tak
mengingatku?”
Akupun menggeleng. Dia pun terkejut sambil menutup
mulutnya.
Setelah itu, kami berbicara panjang lebar, banyak yang dia
ucapkan dan tunjukkan bahwa apa yang dia ucapkan adalah benar.
Akupun menceritakan apa yang aku tahu tentang diriku dan masa
laluku yang aku ketahui dari suamiku, dan juga menujukkan
catatan kecil yang telah kususun rapi bukti perbincanganku
dengan suamiku.
“Kamu harus pulang Raisa, ini semua tidak benar, dia yang
kau sebut sebagai suami adalah orang lain, dia bukan suamimu.
Suami, anak, dan keluargamu sedang menantimu, ayo pulanglah
bersamaku.”
Aku hanya diam, aku bingung karena semua ini begitu tiba-
tiba dan mengejutkan. Aku dan Ami terdiam cukup lama, aku tak
tahu harus bagaimana sekarang semuanya terasa begitu asing, aku
tak tahu siapa yang harus aku percaya.
“Kamu pulanglah dulu Ami, tinggalkan saja alamat dan
nomor telfon, aku akan bicara dengan suamiku, kalau memang
semua ini benar aku harus mendapatkan pengakuan darinya.”
“Tapi Raisa ….”
“Percayalah aku akan baik-baik saja”
Dan akhirnya pun Ami pulang setelah menuliskan alamat
dan nomor telfon diatas secarik kertas.
102
Aku masih merasa tidak tenang, waktu terasa sangat
lambat hingga akhirnya kudengar suara deru motor di depan
rumahku. Suamiku sudah pulang, aku berlari ke depan, dia tampak
terkejut karena tidak biasanya aku menyambutnya saat pulang dari
bekerja.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Mandi, makan, dan beristirahatlah, ada
yang ingin aku bicarakan.”
“Tentang apa?”
“Nanti saja.”
“Kalau sangat penting bicaralah sekarang.”
Tanpa bicara aku menyodorkan alamat yang telah aku salin
dari tulisan Ami.
“Bisakah kau mengantarku ke alamat ini?”
Dia membaca dan bisa kulihat ada raut terkejut di
wajahnya.
“Dari mana kau mendapatkan alamat ini?”
“Itu tidaklah penting, kalau bisa sesegera mungkin aku ingin
kau mengantarku ke sana.”
“Untuk apa?
“Untuk mengetahui siapa sebenarnya aku dan seperti apa
masa laluku.”
“Tidakkah cukup semua yang aku katakan padamu, apakah
kau tidak percaya pada semua kata-kata ku?”
“Justru karena aku percaya padamu aku ingin kau sendiri
yang mengantarku.” Dia terdiam.
“Lantas jika kau menemukan kebenaran yang berbeda apa
yang akan kau lakukan? Kau akan semakin frustasi dan kalut, aku
hanya tak ingin kau semakin terluka.”
“Kebenaran yang mana maksudmu? Kebenaran bahwa
orang tuaku masih hidup? Kebenaran bahwa aku masih memiliki
keluarga, anak, dan juga suami?”
“Apa maksudmu? Dari mana kau mendapat kan semua
informasi yang tidak benar itu.”
103
“Kalau memang semua informasi itu tidak benar, lalu yang
mana yang benar? Kebenaran bahwa semua masa laluku telah
hangus terbakar hingga tak tersisa, kebenaran bahwa kau adalah
suamiku.” Aku meringis mendekatinya.
“Baiklah jika kau benar adalah suamiku, aku ingin
mendapatkan hakku sebagai seorang istri, hak yang selama ini
selalu kau abaikan.”
Aku pun mendekatinya, ketika aku semakin mendekat dia
mundur beberapa langkah.
“Bukankah sudah kubilang bahwa aku sakit. Aku tidak bisa
memenuhi kewajibanku.”
“Omong kosong, aku tahu semua itu hanyalah omong
kosong, aku tak peduli jika memang apa yang kau katakan adalah
benar maka kau tidak akan takut untuk mengantarkanku kesana
atau benar adanya bahwa apa yang kau katakan padaku semua itu
hanya palsu, dan kau bukanlah suamiku, kau hanya menganggap
ku sebagai sebuah boneka pajangan yang kau kagumi tanpa cinta.”
Dia hanya diam, kemudian aku masuk kamar dan
mengambil tas kecil yang didalamnya sudah ada alamat dari Ami
temanku. Melihatku keluar kamar sambil membawa tas kecil dia
menahanku.
“Mau kemana kau?”
“Kalau memang kau tak mau mengantarku untuk
mengetahui kebenarannya, aku akan pergi sendiri, lepaskan
tanganku.”
“Sampai kapanpun aku tak akan pernah membiarkanmu
pergi.”
“Atas dasar apa kau menahanku?”
“Atas dasar aku mencintaimu.”
“Ini bukan cinta tapi obsesi.”
“Apapun itu menurutmu, aku tak akan membiarkanmu
pergi.”
Kemudian dia menyeretku masuk ke dalam kamar dan
menguncinya dari luar. Aku berusaha berontak dan melepaskan
104
diri, tapi usahaku sia-sia, aku terkurung dalam kamar ini.
Kudengar ketukan palu di jendela luar, mungkin dia memasang
palang kayu di jendela untuk memastikan bahwa aku tak akan bisa
keluar dari sini. Aku teringat kata-kata Ami bahwa orang yang ku
sebut sebagai suami adalah psikopat. Aku menangis dan
menyesali kenapa aku tidak menuruti kata-kata Ami untuk pergi
dengannya. Sekarang aku tak tahu harus bagaimana, pada siapa
aku harus meminta pertolongan. Untuk saat ini aku hanya pasrah
dan menunggu keajaiban.
TAMAT.
Malang, 24 November 2022
Bionarasi
105
Something Special In World
Penulis: Olivia Mecca Indra
H AY DIARY ....
Diary adalah rumah bagiku, suatu tempat di hidupku
yang tidak pernah tergantikan posisinya oleh siapapun, sedekat
apapun aku dengan seseorang tetap saja aku akan kembali dengan
sebuah buku kecil yang selalu setia menunggu dan mengamati
semua cerita harianku. Meskipun dia tidak pernah menjawab
apapun setidaknya dia mau menampung semua isi hatiku dan tidak
membocorkannya dengan siapapun.
Setiap aku pergi kemanapun dan pulang dari manapun aku
selalu bercerita pada buku kecil berwarna merah dengan list warna
gold dan covernya adalah foto dengan seribu kenangan yang
mungkin tidak akan pernah bisa kembali lagi ataupun bisa kembali
itu adalah kebesaran Tuhan.
Aku ingin menceritakan sedikit kehidupan disini dan
semoga memotivasi dan sedikit berbagi kenangan dan
pengalaman yang aku alami dengan kalian.
.......................................................ENJOYING..............................
107
Bukannya tidak bersyukur tapi dua ratus ribu perhari
dikala itu sangat susah bagiku, jajan yang seharusnya perhari
50.000 sekarang berubah drastis menjadi 15.000 dan aku pergi
sekolah berjalan kaki padahal dulu aku selalu naik motor atau
diantar memakai mobil, hal ini sangat asing bagiku ada rasa tidak
terima didalam hatiku, Dunia tidak adil, pintaku dalam hati, tapi
dengan keadaan yang semua serba ada aku kurang dekat dengan
Tuhan, hampir saja aku melupakannya.
Aku didaftarkan disalah satu SMP SWASTA di Jakarta.
“Murid baru” adalah suatu yang sangat tidak kusukai, aku kesal
dengan posisi murid baru akan merasa asing, harus beradaptasi
dengan lingkungan dan orang orang disekitar,teman baru, guru
baru, dan yang pastinya tidak memiliki circle. Tapi tidak
membutuhkan waktu yang lama untukku memiliki teman hanya
perlu cukup humble dan mengerti keadaan sekitar aku sudah bisa
memiliki teman baru tapi tetap saja berbeda.
“Aku kangen kalian … Caca, Dila, Indah ....”
Aku memasuki perkarangan sekolah baruku, memulai
lembaran baru,bertemu orang orang baru.
Aku memakai seragam berwarna putih dengan jas
berwarna hitam berlambangkan SMP ***, rok berwarna merah
dengan motif kotak kotak, dengan rambut digerai memakai bando
berwarna ungu membuatku sedikit percaya diri. Seorang anak
perempuan yang sepertinya seusiaku memanggilku dan
mengantarkanku ke kelasku, katanya dia sudah menungguku
sedari tadi, dia tahu namaku dari guru yang menyuruhnya
membantuku menemukan kelas baruku.
Hari hari kulalui dengan santai dan aku memiliki circle lagi,
circle baru yang mengajariku apa itu hidup, kesederhanaan, anak-
anak yang tidak dibesarkan oleh kasih sayang, dengan
mengajarkanku hidup tak selalunya tentang uang tetapi hal
sederhana. Terkadang aku bertanya mengapa di kehidupan harus
ada circle seperti ini beruntungnya aku selalu menjadi circle yang
populer tapi bukan berarti aku semena-mena dengan circle yang
108
tidak terlalu menonjol aku tidak pernah membully, itu adalah hal
yang sangat memalukan bagiku. Semenjak ekonomi keluargaku
menurun hidupku mulai tidak seimbang dan sedikit tidak teratur,
aku sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa rumah kontrakan
yang aku tempati sangat kecil bahkan tidak ada kamar lebih cocok
disebut kos kosan, karna rumahnya juga berdempetan dan berada
di gang kecil.
Tiap pulang sekolah aku dan circle-ku selalu main ke
warnet dulu mencari hiburan lalu disaat malamnya aku keluar
untuk mengikuti balap motor, bukan aku bergaya atau mau
menjadi bagian dari mereka, “Aku butuh uang.” Aku meminjam
motor temanku yang satu circle denganku dan baiknya dia tidak
meminta uang imbalan karena kami sudah seperti abang beradik,
terkadang orang mengira kami berpacaran, jujur senakal apapun
aku tidak pernah menyentuh kata pacaran disatu sisi aku juga
masih ingat aturan agama kala itu.
Dikelas 3 SMP aku mulai merubah sikapku yang kekanak
kanakan, aku mulai memperbaiki solatku, kalian tau apa yang
membuatku berubah?
Di ujung gang ada sebuh TPA tempatku mengaji saat itu
usiaku masih 14 tahun dan pengalaman hidup yang membuatku
dewasa. Sebulan menngaji kami kedatangan pengajar baru yang
sedang magang di TPA kami, mereka dari sekolah tinggi
madrasah setingkat dengan universitas lainnya tapi sekolah tinggi
madrasah ini lebih mempelajari ilmu agama islam.
Kami pun berkenalan tanpa jabat tangan, aku mendapat giliran
yang terakhir untuk memperkenalkan diri, disaat aku
memperkenalkan diri ada satu orang diantara mereka yang selalu
memerhatikanku lalu menunduk disaat aku menyadarinya, disaat
itu aku anggap adalah hal biasa tapi entah mengapa perasaanku
tidak bisa berbohong ada yang aneh rasaku.
Akhirnya aku pun mengetahui ketiga nama mereka RIZKI,
MUSTOFA, dan yang terakhir adalah AUFAR itulah seseorang
yang memerhatikanku tadi. Hari-hari kulalui dengan semangat
109
yang entah darimana datangnya, aku selalu menantikan waktu
ngaji waktu dimana aku bisa melihat DIA.
Aku memanggilnya Kak Aufar, dia selalu menyuruhku
mengaji dengannya jadi dialah guru pembimbingku bila temenku
yang lain secara bergantian memilih guru pembimbing maka aku
selalu ditarik oleh Kak Aufar dan entah kenapa aku tidak ingin
menolaknya, aku mulai mempelajari agama secara mendalam
dengannya, dia selalu menasehatiku dan memberi tahu semua
aturan perempuan dalam islam, “Karena perempuan itu istimewa
dia adalah berlian yang harus dijaga.” Jawaban itu yang selalu
keluar dari mulutnya disaat aku bertanya mengapa harus seperti
ini dan itu ...
Perlahan aku dibuat kagum olehnya, dan waktu berjalan tak
terasa minggu depan adalah saat kelulusanku tiba hari dimana aku
akan meninggalkan JAKARTA. Alhamdulillah perlahan hidupku
mulai stabil, tapi satu hal yang buat aku sedikit tidak bersemangat,
aku harus meninggalkan kota yang membuatku bertemu
dengannya. Tapi aku janji suatu hari aku akan kembali.
Aku memasuki salah satu SMKN di kota TANJUNG
PINANG, KEPRI. Ya, aku kembali lagi ke KEPRI, walaupun
berbeda kota tapi setidaknya dekat dengan BATAM. Sesekali aku
menyebrangi lautan menaiki kapal ferry untuk menuju ke Batam
menuju sahabat-sahabatku. Tanpa kusadari ternyata waktu bisa
merubah keadaan, dan pendewasaan bisa merubah persahabatan.
Awalnya kami masih seperti dulu, bahagia, melepaskan
rindu yang sudah dua tahun kami pendam sejak lulus SMP kami
semua berpencar, aku pindah saat kelas 2 ke JAKARTA, Caca
pindah ke MEDAN, tinggalah Indah dengan Fadila di BATAM.
Masa-masa SMK adalah masa yang tidak pernah aku lupakan.
Pada suatu saat di penghujung kelulusan SMK kami berempat
bertengkar hebat yang dipicu oleh keadaan, lingkungan dan
pasangan masing-masing. Indah memiliki pacar tapi dia tidak
pernah mengasingkan persahabatan, Fadila pun begitu status
broken home yang dialaminya membuatnya sedikit sensitif
110
bahkan dengan pacarnya sendiri pun dia sering overthinking atau
berpikir sesuatu secara berlebihan. Wajar, kami maklum dengan
keadaanya.
Kami sering bertengkar tapi selalunya berbaikan kembali,
entah mengapa pertengkaran malam itu yang melalui perantara
whatsapp tidak mengembalikan persahabatan kami lagi, aku tidak
menyangka harus secepat itu berakhir. Aku ingin bilang, “Aku
rindu kita yang dulu, aku rindu kita sama-sama melewati hal-hal
konyol di kehidupan kita, sungguh mengingat kenangan yang kita
bina dari awal SMP dan berakhir seperti meneteskan beribu air
mataku yang entah kapan mereda, setiap kubuka kembali
lembaran foto-foto kita terasa hati ini seperti tersayat, perih
bagaikan luka irisan yang tidak pernah mengering.
Tapi aku sudah mengikhlaskan semuanya, aku masih
berkontak baik dengan Indah dan Caca, tapi Fadila terakhir aku
berkontak dengannya disaat dia menangis karena pasangannya
dan aku menghiburnya untuk pergi berbelanja di mall,
keesokannya disaat aku kembali ke TANJUNGPINANG, entah
mengapa dia tidak pernah mambalas pesanku lagi, tidak
mengangkat telfonku, bahkan sedikit kabar saja tidak dia berikan
padaku, “Mungkin dia sudah memiliki kehidupan dan lingkungan
yang baru dan melupakan kami yang menjadi masa lalunya.”
Saat ini hidupku alhamdulillah dengan perlahan, mungkin
Allah sedang mengangkat derajatku dan ini juga ujian bagiku,
apakah aku masi istiqomah di jalannya atau malah tersesat
kembali karena dunia, setiap perjalananku mempelajari ilmu
agama aku selalu teringat akan “DIA” aku sangat ingin
memantaskan diri untuknya, aku tidak tau dan tidak mengerti apa
itu cinta tapi setidaknya aku tau aku menyukai, di sisi lain karena
perbedaan umur yang cukup jauh aku tidak terlalu berharap akan
menjadi pendampingnya, mama selalu mengatakan, ”Tidak ada
yang tidak mungkin, bisa saja dia mendoakanmu diam-diam.” Kak
Aufar selalu memerhatikanku disaat ngaji terkesan cuek tapi dia
selalu mengamati segala hal tentangku, mungkin itulah sikap laki
111
laki dalam islam jika menyukai perempuan yang belum menjadi
muhrimnya.
Dia aku berusia 15 tahun kurang dia sudah berusia 22
tahun, apalagi saat ini aku sudah berusia 18 tahun berati dia
sudah memasuki usia 26 tahun mungkin saja dia sudah
menemukan jodohnya apa mungkin masih ada laki-laki yang rela
menunggu tanpa kabar, tanpa kepastian dan menunggu hanya
dengan rasa suka pada perempuan berusia 15 tahun yang masih
SMP, imposibble, pintaku dalam hati.
Entah mengapa seolah-olah dunia menjawab, sekarang aku
sudah bekerja sebagai drafter gambar material pesawat, sambil
kuliah aku mengambil jurusan teknik informatika. Pada suatu saat
aku istirahat dan membuka aplikasi instagram, aku melihat
seorang laki-laki bernama AUFARRADITYA lewat dan
bodohnya aku tidak mengikutinya, aku membiarkannya lewat
begitu saja karena saat itu aku malu untuk mengikutinya duluan.
Sesal? Pasti ada, tapi apapun itu jika memang takdir dan jodohku
adalah dia aku ingin meminta pada TUHAN.
“Ya Allah kembalikan apa yang seharusnya menjadi
milikku dan berilah aku jawaban jika hal yang aku harapkan itu
bukan takdirku atau jodohku, aku mencintai salah satu hambamu
... aamiinn.”
Bionarasi
112
whatsapp: 089528701785
Username wattpad: @me? (2 karya: VEY & DIARY TODAY)
113
Surat Wasiat Isabella
Penulis: Keyla DE Lamona
115
Akhirnya Isabella memutuskan untuk mencari teman, yaitu
aku. Dan anehnya kami bisa berteman dekat. Aku dengan cepat
bisa beradaptasi dengan Isabella. Kami ternyata punya banyak
kesamaan. Diantaranya adalah fakta bahwa kami adalah orang
yang memiliki lingkup pergaulan yang kecil. Aku memang orang
yang kaku, tapi Isabella ternyata berbeda. Dia sebenarnya adalah
seorang yang periang, tapi dia memilih untuk menjauh dari orang-
orang. Dia takut keberadaannya yang rapuh akan menyakiti hati
seseorang jika dia tiba-tiba menghilang. Tapi kenapa dia mau
berteman denganku?
Satu hari di akhir pekan. Isabella mendapatkan izin untuk
berjalan-jalan ke luar rumah sakit karena kondisinya cukup stabil.
Isabella pun mengajakku untuk pergi bermain ke sebuah area
wahana permainan. Katanya dia sering ke sini ketika masih sehat
dulu bersama orang tuanya.
“Sudah lama aku merindukan suasana keramaian ini.
Rasanya nostalgia. Terima kasih sudah mau menemaniku, Risa,”
katanya.
“Bukankah lebih baik jika kamu kemari bersama orang
tuamu lagi? Mereka pasti juga merindukan saat-saat bisa bermain
sepuasnya denganmu, kan?” saranku.
“Sejak kecil aku terus menghabiskan waktu bersama orang
tuaku. Di mana hanya ada mereka berdualah aku bisa merasa tidak
sendirian. Aku sangat bersyukur atas semua kasih sayang yang
mereka berikan untukku. Tapi sekarang aku adalah seorang
remaja. Aku pun juga ingin bermain dan berpergian bersama
temanku.”
Isabella menarik tanganku dan membawaku berkeliling
dengan tertawa riang. Sesaat aku merasakan sensasi senang dan
bersemangat yang membuatku lupa bahwa gadis di depanku ini
sedang sakit. Dan hatiku pun mulai berharap bahwa waktu-waktu
bermain bersamanya seperti ini tidak akan pernah berakhir.
Setelah makan dan menaiki beberapa wahana, Isabella
mengajakku ke sebuah bilik foto. Katanya dia pernah melihat
116
orang lain yang mengabadikan kebersamaan mereka di sini dan
ingin mencobanya bersamaku. Aku tidak pernah mencoba bilik
foto. Terlebih bahkan aku tidak terlalu suka berfoto. Entah karena
kami berdua yang masih asing dengan benda ini atau memang
benda ini yang berfungsi kurang baik, jadi hasil foto yang kami
dapatkan juga tidak cukup bagus.
“Ini buruk sekali,” kataku ketika melihat hasil cetakan dari
bilik foto itu.
“Kalau begitu mau mengulangnya sekali lagi?” tanya
Isabella.
Aku sebenarnya cukup enggan, tapi aku tidak punya kuasa
untuk menolak permintaaan Isabella. Jadi kami pun kembali
masuk ke bilik itu. Hasil cetakannya kali ini lumayan. Tapi
Isabella malah merengut kesal.
“Aku tidak suka. Risa tidak tersenyum sedikit pun!”
ucapnya menggerutu.
“Aku kan memang jarang tersenyum,” kataku.
“Tapi aku tidak mau. Aku lebih suka Risa yang tersenyum.”
“Memangnya aku pernah tersenyum?”
Dengan segala hormat, akhirnya kami kembali memasuki
bilik foto itu untuk yang ketiga kalinya. Di putaran ketiga ini,
sepertinya aku mulai menikmati dan merasa santai ketika kilatan
kamera itu mengedip. Isabella mengambil cetakan foto yang
keluar dari sebuah rongga yang terdapat pada bilik foto itu. Dia
tersenyum memandangi foto-foto itu.
“Isabella, aku juga mau lihat hasilnya fotonya,” pintaku.
Tapi dia enggan memperlihatkannya dan segera menyimpan
semua hasil foto tadi ke tas mininya. Lalu aku pun mengantar
Isabella kembali ke rumah sakit ketika hari sudah menjelang sore.
Beberapa hari kemudian, aku menjenguk Isabella di rumah
sakit. Ruang rawat inapnya sedikit gelap karena tirainya sengaja
ditutup. Ketika aku masuk, dia seperti sedang menempel dan
menulis sesuatu di sebuah buku. Ketika aku mencoba mengintip,
dia langsung menutup buku itu.
117
“Buku apa itu?” tanyaku.
“Ini adalah diaryku. Aku sedang menulis semua kenangan
tentang diriku di buku ini. Nanti aku ingin kamu membacanya
ketika waktunya tiba.”
“Bukankah diary itu bukan untuk dibaca orang lain? Itu kan
berisi tentang perasaan pribadimu yang tidak bisa kamu
sampaikan.”
“Karena tidak bisa aku sampaikan makanya aku menulisnya
di sebuah buku.”
“Ada apa? Pesan apa yang tidak bisa kamu sampaikan
kepadaku? Apakah kesehatanmu memburuk. Hey beri tahu aku!”
desakku.
“Memangnya sejak kapan kesehatanku tidak buruk?”
ucapnya masih dengan senyum mengejek. Sungguh aku tidak suka
dipermainkan seperti ini.
“Risa …,” panggilnya lembut. “Terima kasih sudah mau
menjadi temanku, ya.” Dia tersenyum padaku. Senyum yang amat
cerah seakan-akan ruangan yang gelap ini pun jadi terang
dibuatnya.
Keesokan harinya, Isabella pergi. Dia akhirnya sembuh dari
segala penderitaannya. Raganya tidak lagi merasa sakit. Dan
jiwanya sudah bebas terbang ke tempat yang teramat jauh.
Masih dengan pakaian serba hitam, aku merebahkan diriku
ke kasur kamarku. Begitu hampa. Rasanya setengah bagian dari
diriku menghilang entah kemana. Aku bangun dan duduk di lantai.
Aku pun menggapai buku diary sepeninggalan Isabella dan
membuka lembarannya satu per satu.
Sepertinya Isabella sudah memiliki buku ini semenjak kecil.
Isi halaman awal buku ini dipenuhi oleh cerita masa kecilnya yang
ditulis dengan tulisan layaknya anak yang baru belajar menulis. Di
halaman yang kesekian, Isabella mengatakan jika dia baru saja
divonis mengidap kanker darah. Itu tulisannya dari 9 tahun yang
lalu. Cerita bermain bersama orang tua pun mulai tergantikan
dengan cerita-cerita keseharian di rumah sakit. Pada awalnya
118
halaman-halaman diary itu masih penuh dengan semangat, tapi
perlahan tulisan di buku itu semakin sedikit dan pada akhirnya
beberapa halamannya sengaja dikosongkan. Dia pasti sudah lelah
di kala itu.
Aku terus membalik sampai akhirnya aku menemukan
sebuah cerita tentangku. Tidak sering dia menulis tentangku, tapi
dalam setiap ceritanya dia mengambarkan sebuah kebahagiaan
sederhana yang amat berharga bagi dirinya. Dan di halaman-
halaman terakhir, tertempel semua foto-foto yang kami ambil di
bilik foto. Foto-foto itu tertempel cantik dengan hiasan yang
dibuat dari pensil warna oleh Isabella. Di halaman yang
diistimewakan, Isabella menempel foto ketiga yang tidak sempat
aku lihat. Di foto itu, aku tersenyum lembut ketika Isabella
memelukku. Ternyata aku pernah tersenyum seperti ini.
Aku kembali membalik. Dan aku temukan pesan yang tidak
bisa Isabella sampaikan padaku.
Dear Risa,
Ketika kamu membaca buku ini, berarti aku sudah tidak ada
lagi di dunia. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak bisa
menyampaikan pesan ini langsung, kan? Ya tentu saja karena aku
sudah meninggal. Hahahahaa…
Sebenarnya aku sudah bertekat untuk tidak berteman
dengan siapa pun agar tidak ada yang akan tersakiti ketika aku
pergi nanti, tapi malah aku berteman akrab denganmu. Kamu pasti
bertanya-tanya kenapa aku melakukan itu, kan? Karena bagiku
sepertinya kamu tidak akan menangis jika aku menghilang. Kamu
adalah orang yang sangat cuek tapi sangat perhatian. Tidak jarang
aku tersinggung karena sifatmu itu, tapi karena aku baik hati jadi
aku maafkan.
Tapi sungguh Risa… aku bersyukur dapat menikmati hari-
hari terakhirku bersamamu. Aku pasti sangat egois karena sudah
membuatmu kerepotan karena aku. Maafkan aku… dan terima
kasih banyak. Terima kasih atas segalanya. Aku sangat berterima
119
kasih. Aku menulis ini sambil menahan air mataku dan tertawa,
oleh karena itu kamu juga jangan sampai menangis ketika
membaca surat ini, ya!
Bionarasi
120
Your Deary
Penulis: Bintang Evirs
121
dilakukannya hanya menulis selain membantu ibunya berjualan
Mie Ayam.
Ya kalian benar, dia tunawicara, orang yang berkebutuhan
khusus, itu juga alasan kenapa dia seorang pemdiam dan sering
menulis karena memang itu yang hanya bisa dia lakukan tidak ada
hal yang lain, karena suka menulis dan membaca jadi dia menjadi
salah satu murid berprestasi dalam bidang akademik yang sangat
membanggakan sekolah.
Walaupun kebanyakan jasanya tidak di anggap oleh pihak
sekolah dan semua orang karena keterbatasannya dalam berbicara,
tapi itu tidak semuanya ada juga yang terkesan dan salut atas
kinerja otaknya yang mampu diluar batas, salah satunya Starla
perempuan cantik yang kagum dengan kepintarannya Restu, jauh
terbalik dengan dirinya yang malahan tidak pintar dalam
akademik, dia sempurna tidak kekurangan apapun dalam
hidupnya tapi masih kalah dengan Restu yang tunawicara.
Itu benar-benar menampar seorang Starla Avexia.
Sebenarnya Starla kenal Restu sudah lama, namun karena
keterbatasan Restu yang tidak bisa berbicara mangkanya Starla
bergerak mundur dan memilih menjauh, namun saat Starla lupa
tak membawa uang saat berbelanja dikantin, Restu berbaik hati
untuk membayarkan tanpa adanya timpal balik, dari situ Starla
memutuskan untum mendekati Restu.
Walaupun diawal dia memang agak susah dalam
berkomunikasi dan jarang ditanggapi oleh Restu, tapi dia tidak
menyerah bahkan malah terkesan dengan cara dia berusaha belajar
bahasa isyarat dengan benar, walaupun diawal dia agak
ditertawakan oleh Restu karena bahasa isyaratnya yang buruk.
Tawa indah yang seharusnya membuat Starla kesal namun
malah sebaliknya, Starla terpukau dengan tawa yang indah tanpa
suara milik Pangeran Restu Atmaja.
Dan Starla mampu menguasai bahasa isyarat atas bantuan
dari Restu sendiri, ya cowok itu membantu Starla untuk
mempelajari bahasa isyarat dengan benar, selama itu mereka
122
semakin dekat dan saling nyaman satu sama lain tanpa melihat
kekurangan keduanya, apalagi Restu yang juga nyaman dengan
Starla karena pribadi gadis itu yang baik.
Sampai akhirnya mereka berdua memutuskan untuk
menjalin hubungan kasih yang indah, dan ternyata tidak seburuk
itu dan malah terkesan sangat nyaman, walaupun diawal mereka
mendapat gunjingan dari semua orang terutama Starla, gadis
cantik yang sempurna tapi malah berpasangan dengan seorang
tunawicara, seperti kisah dalam Disney, berita itu benar-benar
menggemparkan satu sekolah.
Tapi lagi-lagi Starla tak peduli, baginya berpacaran dengan
orang seperti Restu amatlah istimewa begitupun sebaliknya.
Tapi itu tak bertahan lama, karena sekarang kebahagiaan
milik Starla hilang dalam sekejap, kekasihnya atau Pangeran
Restu Atmaja ditemukan dalam keadaan kritis dan tragis dipinggir
jalan yang membuat dia harus menjalan perawatan intensif
dirumah sakit, yang sialnya lagi cowok itu dinyatakan koma
setelah kekurangan banyak darah.
Tak ada yang bisa dilakukan Starla kecuali datang ke rumah
sakit hanya untuk melihat wajah dingin tanpa ekspresi yang ia
rindukan senyumanya.
Oh satu lagi, yang bisa dilakukan oleh gadis itu yaitu dengan
datang ke rumah cowok itu dan membaca dearynya dikamar Restu
sendiri, deary yang tertulis rapi penuh dengan kenangan hanya itu
yang bisa dilakukan, membaca deary yang satu lemari penuh
dengan bermacam-macam sampul, sampul yang indah dan sesuai
dengan isinya seperti deary yang bersampul bunga mawar
dihalaman ketujuh denga judul.
'Waktu Pertama Kali'
"Hari itu tanggal 27 januari, untuk pertama kalinya ada
seorang wanita yang datang padaku dengan bahasa isyaratnya
yang buruk, saat itu aku tertawa karena dia benar-benar lucu, apa
kamu tau deary? Dia orang pertama yang ingin berteman
denganku tanpa melihat kekuranganku. Dan aku suka itu."
123
Senyum milik Starla terbit saat itu juga, tertanyata Restu
menulis semua tentangnya, lagi tangannya memgambil buku lain
dengan sampul hati, dihalaman kedua.
'Starla Avexia'
"Sayang, aku cuman mau bilang terima kasih telah menjadi
kekasihku, satu hal yang tidak aku sangka akan terjadi padaku,
yaitu jatuh hati pada gadis nakal sepertimu tapi sayangnya aku
suka kamu, terima kasih telah mengisi hatiku dengan nama yang
indah, Starla Avexia."
Dengan hanya tulisan ini saja Starla tau manisnya cowok itu
seperti apa, memujinya lewat tulisan dikertas yang tercoret indah
dan tak pernah disangka olehnya.
Satu buku tak sengaja terjatuh, sampul bewarna hitam
dengan gambar hati yang terbela oleh pisau, gadis itu
mengambilnya dan membaca halaman pertama.
"Ada apa ini? Kenapa saya merasakan hal aneh, mimpi
buruk yang saya sendiri tidak ingin menjadi kenyataan, Tuhan
saya mencintai dia tolong jangan ambil dia, jangan biarkan dia
sedih atau meninggalkan saya Tuhan, karena saya tidak mau
kehilangan dia."
Starla tak mengerti maksudnya, dia siapa? Itu pertanyaan
besar baginya, dirinya atau Ibunya Restu? Tangannya kembali
membuka deary itu yang hanya dua halaman yang ada tulisannya,
dihalaman kedua itu aneh! Karena ada bercak darah yang menetes
secara abstrak disana.
"Jadi ini jawabannya? Tuhan, hari itu saya untuk pertama
kalinya mencintai seseorang dengan sepenuh hati yang tidak utuh,
saya rela menaruh nyawa deminya, seperti hari ini yang penuh
dengan jawaban kecewa, saya tidak kuat Tuhan, tolong biarkan
mata saya terpejam untuk sesaat."
Tulisan tangan Restu yang tidak dimengerti, itu deary milik
Restu yang tak pernah ia tulis, tapi sekarang ada dua tulisan yang
membuat dia bingung, apa lagi buku itu terdapat darah dan
ditemukan di TKP saat Restu sudah tidak lagi sadar.
124
Buku terakhir yang disentuh Restu, yaitu Deary hati yang
terbelah pisau dengan tulisan penuh dengan misteri.
Seharusnya buku itu tidak pernah ditulis oleh Restu, ada apa
dengannya? Kenapa harus menulis pada Deary larangan yang
harusnya tersimpan rapat dalam kotak kayu lawas.
Tidak harus tersentuh oleh tangan manusia seperti Pangeran
Restu Atmaja.
—Selesai—
Bionarasi
125