Anda di halaman 1dari 6

Putri Wahyu illahi Dwi Rahariyoso S.s,.M.

Hum

(I1B118009) Kritik Sastra

Sastra Indonesia

1. Karya Puisi

Joko Pinurbo

Kamus Kecil

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia


yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
gembira, sedangkan pemulung
tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
menjadikan kau merasa aman.
Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku
ke sebuah paragraf yang menguarkan
bau tubuhmu. Malam merangkai kita
menjadi kalimat majemuk bertingkat
yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku
anak kalimat. Ketika induk kalimat bilang pulang,
anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk
ke dalam palung. Ruang penuh raung.
Segala kenang tertidur dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah
menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap
tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.
(2014)
Relevansi Kata dan Estetika Penulisan

Membaca puisi dari Joko Pinurbo yang berjudul "Kamus Kecil" membuat saya
merasa sangat terpukau dengan pilihan diksi yang di gunakan. Puisi Joko Pinurbo dikenal
sebagai puisi yang mbeling namun juga spontan, sederhana dan mengandung kebenaran, juga
pemilihan diksi yang digunakan jika dari luar kelihatan sederhana namun memiliki hubungan
makna antar kata yang mendalam, juga cara pandang khusus yang tampak pada segi
pengemasan puisi ini mulai dari hubungan dari masing-masing kata yang berbeda namun
memiliki kaitan maknanya. Penggunaan kata yang dipakai terkesan seperti perpaduan antara
narasi, humor, dan ironi yang mengandung refleksi dari kehidupan sehari-hari. Dan juga
keunikan-keunikan kata yang di temukan baik itu dari segi fonologi dan semantik juga dari
segi linguistik (diksi) dan majas.

Namun estetika penulisan dan tanda bacanya belum begitu rapi, dimana hal ini juga
mempengaruhi suatu karya sastra. Suatu karya sastra yang berkualitas tidak hanya bermakna
dan memiliki diksi yang indah namun juga memperhatikan estetika penulisan baik itu tanda
bacanya. Si penulis di sini banyak menggabungkan kalimat sehingga terkesan menjadi narasi
yang terlalu panjang.

Mari kita kupas satu-persatu tiap-tiap bait dalam puisinya.

Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia


yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu

Dari bait awal si penulis menganalogikan bahwa Bahasa Indonesia itu pintar dan
lucu. Bait ini seperti cerminan dari pikiran penulis tentang Bahasa Indonesia yang
beranekaragam, lucu dan memiliki perbedaan pengucapan dari tiap katanya. Walau kadang
rumit dan membingungkan. Seperti pengucapan dalam bahasa Indonesia yang berbeda
contohnya kata baku ‘praktek’ dan tidak baku ‘praktik’. Tapi terlepas dari semua itu si
penulis juga memberitahu bahwa Bahasa Indonesia juga mengajari nya cara mengarang
ilmu. Konteks yang dimaksud jika di telaah bisa saja menyangkut orang-orang berjasa dalam
hidup si penulis yang mengajarinya banyak hal.
Selanjutnya pada bait kedua ini,

sehingga saya tahu


bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
gembira, sedangkan pemulung
tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
menjadikan kau merasa aman.

Bait ini seharusnya menggunakan huruf kapital di awal kalimatnya, dimana


penggunaan huruf kapital pada awal larik-larik puisi bisa mengesankan bahwa kalimat itu
penting atau berdiri sendiri. Namun penggunaan tanda titik koma tiap larik dengan maksud
penulis tanda ini digunakan untuk memisahkan bagian-bagian atau kalimat-kalimat yang
bernilai setara. Itu benar-benar menakjubkan.

Dalam bait kedua ini juga ada penggunaan majas dari si penulis. Di bait ini banyak
terjadi pengulangan kata di awal kalimat (Anafora) yakni pada kata ‘Bahwa’. Lalu juga ada
kata-kata yang memiliki bunyi yang mirip juga hubungan makna yang erat seperti kisah dan
kasih, ingin dan angan, lalu ibu dan iba. Ada pula hubungan keharusan atau bersyarat dimana
hal ini maksudnya untuk gagah harus gigih, sama halnya dengan bintang dan banting, untuk
disebut bintang harus menjadi orang yang tahan banting. Juga untuk hal-hal baik yang di
kerjakan pasti akan berbiak. Dalam bait kedua ini juga ada hubungan yang berlawanan
makna nya, yaitu kata marah yang berlawanan dengan ramah, juga kata Tuhan yang
berlawanan dengan hantu.

Dalam bait , Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira

Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila.

Kebanyakan orang berpikir bahwa penulisan ‘l’ pada kata ‘pelnah’’, ‘melasa’ dan
‘gembila’ merupakan kesalahan penulisan (typo) tapi itu adalah kesengajaan, dapat
dikategorikan humor namun memiliki makna yang dalam. Mengingatkan saya pada cara
bicara orang cadel dalam pengucapan huruf ‘r’. Refleksi batin pada jiwa dalam bait ini
disampaikan penulis dengan sangat baik.

bait, bahwa orang putus asa suka memanggil asu;


Untuk masyarakat umum penggunaan kata asu bisa terbilang kasar karena ini bisa
dikategorikan makian dan juga berarti anjing. Tapi bait ini berisi sebuah hubungan bahwa
orang yang mengumpat itu hanya orang-orang yang berputus asa. Sebuah bait yang jika di
maknai secara positif akan berisi motivasi.

Komposisi puisi ini juga sudah terbilang lengkap karena adanya unsur-unsur nilai,
unsur-unsur sosial juga unsur-unsur religius. Unsur religius sangat tergambar pada bait,

bahwa amin yang terbuat dari iman


menjadikan kau merasa aman

bait ini bermakna bahwa segala rasa syukur yang didasari oleh Tuhan maka akan
menumbuhkan rasa aman dan tentram dalam jiwa.

Lalu untuk bait terakhir, Bahasa Indonesiaku yang gundah membawaku


ke sebuah paragraf yang menguarkan
bau tubuhmu. Malam merangkai kita
menjadi kalimat majemuk bertingkat
yang hangat di mana kau induk kalimat dan aku
anak kalimat. Ketika induk kalimat bilang pulang,
anak kalimat paham bahwa pulang adalah masuk
ke dalam palung. Ruang penuh raung.
Segala kenang tertidur dalam kening.
Ketika akhirnya matamu mati, kita sudah
menjadi kalimat tunggal yang ingin tetap
tinggal dan berharap tak ada yang bakal tanggal.

Pada bait terakhir penulis menggunakan metafora untuk menyiratkan kisah-kisah dari
refleksi kehidupannya. Banyak analogi yang memiliki hubungan tiap kata, hingga diakhir
menegaskan bahwa si penulis berharap tak ada yang bakal tanggal, tak ada yang bakal
hilang ketika ia berada di suatu tempat atau mendapat sesuatu yang penting untuknya.
Tempat dia untuk pulang. Berisi sebuah pengharapan yang begitu besar dari si penulis.

Jadi puisi Kamus Kecil ini memiliki ciri khas yang sama dengan karya-karya Joko
Pinurbo sebelumnya namun dalam karya ini permainan diksi sederhananya begitu sesuai
dengan kehidupan sehari-hari, serta refleksi dan makna dari setiap bait. Dan juga puisi ini
dikemas oleh penulis dengan sangat menarik minat pembaca untuk membaca dan juga untuk
membedahnya. Terlebih lagi dengan judul yang sederhana dan dapat diterima dengan mudah
oleh setiap pembaca juga tampilan bentuk tubuh puisi yang tergolong unik dengan
menggunakan tanda baca titik koma di tiap akhiran bait kedua yang berguna untuk
menyertarakan makna antar bait, juga penggunaan majas anafora di bait kedua yang juga
menarik minat pembaca, dan belum meratanya penggunaan huruf kapital di awal bait kedua
dan untuk penggunaan tanda titik di bait satu sehingga kurang rapi.

Dengan pemilihan diksi-diksi tiap bait yang di pilih sedemikian rupa hingga selaras,
indah dan juga bermakna dalam tiap bait yang juga membuat puisi ini mudah dipahami meski
beberapa juga ada yang menggunakan makna tersirat.

Anda mungkin juga menyukai