MANUSIA
Pemahaman diri yang benar sebagai manusia ditengah kehidupan ini amatlah penting.
Ada banyak manfaat yang didapat dengan memiliki pemahaman yang benar. Salah satunya
adalah untuk mendasari sikap dan perilaku manusia dalam menjalani kehidupannya ditengah
keluarga dan masyarakat. Pemahaman diri yang benar sebagai manusia dapat bermanfaat pula
terhadap suatu kesadaran pada suatu tujuan yang dicanangkan dalam hidupnya. Pencarian arti
atau makna hidup manusia terjadi dalam suatu proses yang panjang melalui suatu perjuangan
hidup manusia yang penuh liku dan resiko.
Ada yang memahami bahwa hidup sebagai manusia adalah suatu tugas. Ungkapan ini
dapat dimengerti dengan pelbagai tafsiran. Misalnya hidup bukanlah suatu kebetulan belaka,
hidup bukanlah hasil penentuan pihak lain, hidup bukanlah “takdir” atau barang jadi yang
diterimakan saja melainkan sebaliknya “bahan mentah” yang harus diolah dan diusahakan
supaya jadi. Namun ada pula yang memahami hidup itu sebagai beban yang teramat serius,
penuh resiko dan sulit dilaksanakan, sehingga senantiasa dipikirkan betul, dan sebagainya.
Pencarian makna hidup manusia tidak akan pernah berhasil apabila manusia itu sendiri tidak
sampai kepada pemahaman tentang Allah sebagai pencipta, pemberi dan pemelihara segala
kehidupan di alam semesta ini. Disinilah peranan agama dirasa sangat penting untuk
membantu manusia menemukan jawaban-jawaban atas pencarian makna hidup itu.
Dalam bab ini kita akan mendalami materi sekitar manusia, asal usul manusia
menurut pandangan yang berkembang, pandangan Kitab Suci tentang asal usul manusia, dan
martabat manusia sebagai citra Allah yang harus dijaga dan dipelihara.
Problematika teori evolusi makro Darwin dari sudut pandang ajaran iman Gereja
Katolik, yaitu sebagai berikut :
Kita percaya bahwa jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah, dari
yang tadinya tidak ada menjadi ada. Jiwa ini dihembuskan kedalam embrio
manusia yang terbentuk dari hubungan suami istri. Jadi jiwa manusia bukan
berasal dari produk evolusi. Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus
Pius XII menolak ide teori evolusi total manusia dari kera (primate). Dalam
Humani Generis 36, Paus Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal
usul tubuh manusia, masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi,
namun yang harus dipegang adalah semua jiwa manusia adalah diciptakan
langsung oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu
sendiri, masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja
disimpulkan bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari primate, sebagai
sesuatu yang definitif.
Jadi ide teori evolusi total ini sama sekali bukan hipotesa bagi orang
Katolik. Namun demikian, para ilmuwan dapat terus menyelidiki hipotesa bahwa
tubuh manusia dapat diambil dari kehidupan yang sudah ada. Tetapi prinsip yang
harus dipegang bahwa semua manusia diturunkan dari satu pasang manusia
(monogenism), bukan dari banyak evolusi paralel (polygenism) seperti pada
hipotesa tertentu, sebab semua manusia diturunkan dari Adam dan Hawa. Dan hal
ini sesuai dengan konsep “dosa asal” yang diturunkan oleh manusia pertama.
Mengenai penciptaan tubuh manusia dari materi yang sudah ada sebenarnya tidak
bertentangan dengan sabda Tuhan yang menciptakan tubuh Adam dari tanah/
debu, yang kemudian dihembusi oleh kehidupan, yang menjadi jiwa manusia.
Namun hal ini tidak bertentangan dengan penciptaan manusia seturut gambaran
Allah, sebab yang dimaksudkan di sini adalah manusia sebagai mahluk rohani
yang berakal dan memiliki kehendak bebas.
Jadi orang diperbolehkan untuk berpikir bahwa kemungkinan tubuh kera dapat
berkembang mendekati tubuh manusia dan pada titik tertentu (di tengah jalan),
Tuhan menghembusi jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu yang kemudian
terus berevolusi (evolusi mikro) sampai menjadi manusia yang kita ketahui
sekarang. St. Thomas Aquinas, menegaskan bahwa teori yang menyebutkan
bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera (evolusi makro), harus kita tolak.
Tubuh Adam haruslah merupakan hasil dari campur tangan Tuhan untuk
mengubah materi apapun yang sudah ada dan menjadikannya layak sebagai tubuh
yang dapat menerima jiwa manusia. Campur tangan ini mungkin saja luput dari
pengamatan ilmiah, seperti yang diakui sendiri oleh Monod, saat mengatakan
bahwa asal usul hidup manusia adalah suatu teka-teki.
Tidak mungkin bahwa dalam satu tubuh dapat terdapat dua macam jiwa, yang
satu adalah rational (manusia) dan yang kedua, irrational (kera). Terdapat
perbedaan yang teramat besar, yang tidak terjembatani antara jiwa kera dan jiwa
manusia. Lagipula tubuh kera bersifat spesifik yang diadaptasikan dengan
lingkungan hidup yang tertentu. Jadi tidak mungkin bahwa tubuh manusia
merupakan hasil dari perubahan-perubahan ‘kebetulan’ dari tubuh kera.
Kemungkinan pemikiran yang lebih masuk akal yaitu jika manusia
diciptakan melalui ‘pre-existing matter’ seperti dari tubuh kera sekalipun,
terdapat campur tangan Tuhan untuk mengubah tubuh tersebut menjadi tubuh
manusia yang tidak merupakan kelanjutan dari tubuh kera tersebut. Seperti halnya
terdapat campur tangan Tuhan untuk menghembuskan jiwa manusia ke dalam
tubuh manusia itu, yang bukan merupakan kelanjutan dari jiwa kera. Inilah yang
secara ilmiah dikenal sebagai ‘lompatan genetik’, namun bedanya, ilmuwan
mengatakan pandangan itu disebabkan karena kebetulan semata, sedangkan oleh
Gereja dikatakan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh campur tangan Tuhan.
Kardinal Schonborn dalam artikel di New York Times tanggal 7 Juli 2005
menjelaskan bahwa pengamatan pada mahluk hidup yang telah menunjukkan ciri-
ciri yang final menyebabkan kita terkagum dan mengarahkan pandangan kepada
Sang Pencipta. Membicarakan bahwa alam semesta yang kompleks dan terdiri
dari mahluk-mahluk yang ciri-cirinya sudah final ini, sebagai suatu hasil
‘kebetulan’, sama saja dengan ‘menyerah’ untuk menyelidiki dunia lebih lanjut.
Ini sama saja dengan mengatakan bahwa akibat terjadi tanpa sebab. Hal ini tentu
saja seperti membuang pemikiran akal manusia yang selalu mencari solusi dari
masalah”.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa akal sehat manusia pasti dapat
memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut asal usul manusia.
Keberadaan Tuhan Pencipta dapat diketahui secara pasti melalui karya-karya
ciptaan-Nya, dengan terang akal budi manusia. Dalam Katekismus dikatakan,
“Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya.
Dunia bukan merupakan hasil dari kebutuhan apapun juga ataupun takdir yang
buta atau kebetulan.”
Dari kutipan teks kitab suci tersebut jelaslah bahwa asal-usul keberadaan manusia di
bumi ini adalah merupakan hasil penciptaan Tuhan Allah, Sang Pencipta. Dalam keseluruhan
isi teks, setelah Tuhan Allah selesai menciptakan alam semesta, bumi dan segala isinya,
barulah kemudian menciptakan manusia. Dalam Kejadian 1, Tuhan Allah menciptakan
manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah (citraNya), laki-laki dan perempuan, pada hari
keenam, yaitu hari terakhir setelah Allah menciptakan bumi dan segala isinya. Dalam
Kejadian 2, Tuhan Allah menciptakan manusia dari debu dan tanah lalu menghembuskan
nafas hidup sehingga manusia menjadi mahluk hidup. Setelah itu Tuhan menciptakan taman
eden sebagai tempat tinggal manusia. Dan selanjutnya Tuhan Allah melihat kesendirian
manusia sebagai suatu kekurangan maka Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk
manusia itu. Manusia yang diciptakan Tuhan, laki-laki dan perempuan dikaruniai oleh Tuhan
suatu kemampuan daya ketertarikan satu sama lain, sehingga digambarkan mereka berdua
berani meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan pasangannya.
Dari pandangan Kitab Kejadian 1 dan 2 kiranya cukup untuk memberikan gambaran
tentang asal-usul, hakekat dan tujuan hidup manusia. Asal-usul hidup manusia sangat jelas
dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Allah sebagai citra-Nya, laki-laki dan
perempuan. Bahkan jika mencermati keseluruhan teks Kejadian 1 dan 2, cukup jelas bahwa
manusia diciptakan Tuhan secara berbeda dengan penciptaan Tuhan terhadap hal-hal lain
seperti adanya sinar, air, daratan, tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan. Perbedaan terletak
pada soal bahan dalam penciptaan, yaitu bahwa semuanya diciptakan Allah tanpa bahan dan
cukup dengan bersabda. Sedangkan jika penciptaan manusia, Allah tidak hanya
menggunakan sabdaNya saja melainkan menggunakan bahan yaitu berupa debu dan tanah
dan kemudian menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya. Juga dalam hal ini, pada
Kejadian 2 nampak bahwa manusia perempuan diciptakan dalam tahapan waktu yang
berbeda dengan manusia laki-laki. Kemudian setelah manusia, laki-laki dan perempuan
selesai diciptakan, mereka ditempatkan di suatu taman yang indah untuk menjadi tempat
tinggalnya. Mereka juga diberi tugas yaitu untuk menaklukan, memanfaatkan dan
memelihara bumi serta segala isinya, bahkan Allah memberikan beberapa aturan main dalam
hidup manusia.
Berdasarkan analisa teks tersebut maka dapat dijelaskan bahwa hakekat dan tujuan
hidup manusia adalah manusia diciptakan Allah, karena cintakasihNya kepada manusia.
Karena kasihNya kepada manusia maka Tuhan menciptakan manusia seturut gambar dan
rupa Allah sendiri dan menempatkan manusia dalam suatu tempat tinggal yang indah, yaitu
taman Eden. Allah berkehendak agar hidup manusia bahagia bersama Allah di taman Eden.
Allah juga mempercayai manusia agar manusia menjadi tuan atas segala ciptaan Allah
lainnya, dan memberi suatu tugas yaitu untuk menaklukkan, memanfaatkan dan
menguasainya. Jadi jelaslah bahwa tujuan hidup manusia berdasarkan pandangan kitab suci
tersebut adalah agar hidup manusia berbahagia. Dan jika kita hubungkan kejatuhan manusia
ke dalam dosa (bdk. Kej 3) semakin jelaslah bahwa kebahagiaan hidup manusia itu hanya
terdapat jika manusia hidup bersama dengan Allah, karena Allahlah yang menjadi sumber
kebahagiaan itu sendiri.
B. Martabat Manusia
1. Manusia Imago Dei
Gambaran yang paling tepat mengenai siapakah manusia di hadapan Allah secara
iman Kristiani terdapat dalam Kitab Mazmur 8:2-10 yaitu;
“Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi! KeagunganMu yang
mengatasi langit dinyanyikan. Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kau
letakkan dasar kekuatan karena lawanMu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau
mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah
memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan
tanganMu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya; kambing domba dan lembu
sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di
laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu
di seluruh bumi!”
Dalam teks tersebut diatas semakin menjadi jelas bahwa martabat manusia
menurut pandangan Kitab Suci adalah luhur dan suci. Hal ini karena manusia
diciptakan Allah dengan dasar cinta kasih Allah yang sangat besar kepada manusia.
Tuhan Allah mengaruniakan kepada manusia akal dan hikmat kebijaksanaan, bahkan
manusia dianugerahi mahkota kemuliaan menjadi tuan atas segala mahluk ciptaan
Tuhan lainnya. Maka sudah sepatutnyalah seperti ungkapan sang pemazmur, “Ya
Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi!” yang artinya bahwa
seluruh kemuliaan martabat luhur manusia adalah demi kemuliaan Tuhan sendiri.
Demikian juga gambaran asal-usul dan hakekat serta tujuan hidup manusia
terdapat juga dalam Kitab Yesus Bin Sirakh 17:1-11 yaitu;
“Manusia diciptakan Tuhan dari tanah, dan kesana akan dikembalikan juga. Ia
menganugerahkan kepadanya sejumlah hari dan jangka, dan memberinya kuasa atas segala
sesuatunya di bumi. Kepadanya dikenakan kekuatan yang serupa dengan kekuatan Tuhan
sendiri dan menurut gambar Allah dijadikanNya. Didalam segala mahluk yang hidup Tuhan
menaruh ketakutan kepada manusia, agar manusia merajai binatang dan unggas. Lidah,
mata dan telinga dibentukNya, dan manusia diberiNya hati untuk berfikir. Tuhan memenuhi
manusia dengan pengetahuan yang arif, dan menunjukkan kepadanya apa yang baik dan apa
yang jahat. Ia menanamkan mataNya sendiri di dalam hati manusia untuk menyatakan
kepadanya keagungan pekerjaan Tuhan. Maka manusia mesti memuji nama Tuhan yang
kudus untuk mewartakan pekerjaanNya yang agung. Tuhan telah mengaruniai manusia
pengetahuan lagi dengan memberi mereka hukum kehidupan menjadi milik pusaka.”
Ajaran iman resmi Gereja Katolik tentang manusia diuraikan dalam Gaudium et Spes
artikel 12 yang berbunyi, “Kaum beriman maupun tak beriman hampir sependapat,
bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat
dan puncaknya”.
Apakah manusia itu? Di masa silam dan sekarang pun ia mengemukakan
banyak pandangan tentang dirinya, pendapat-pendapat yang beraneka pun juga
bertentangan: seringkali ia menyanjung-nyanjung dirinya sebagai tolok ukur yang
mutlak atau merendahkan diri hingga putus asa; maka ia serba bimbing dan gelisah.
Gereja ikut merasakan kesulitan-kesulitan itu secara mendalam. Diterangi oleh Allah
yang mewahyukan Diri, Gereja mampu menjawab kesukaran-kesukaran itu untuk
melukiskan keadaan manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan-
kelemahannya, sehingga serta merta martabat dan panggilannya dapat dikenali dengan
cermat.
Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar
Allah”, manusia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia
ditetapkan sebagai tuan atas semua mahluk di dunia ini (Kej 1:26; Keb 2:23), untuk
menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:3-10).
“Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga
Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti
Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya
berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah
kakinya” (Mzm 8:5-7). Allah tidak menciptakan manusia seorang diri, sebab sejak
awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1:27). Rukun hidup mereka
merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang
terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak
dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Maka, Allah melihat “segala
sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej 1:31).
Penilaian martabat manusia tidak bisa terpisah dari kenyataan bahwa ia
diciptakan oleh Allah. Hal itu berarti luhurnya martabat manusia diakui, dihormati
dan dijunjung tinggi karena iman akan Allah, maka kepercayaan bahwa Allah itu
Sang Pencipta sekaligus mengandung kepercayaan bahwa Allah menjadikan manusia
sebagai mahluk yang mulia dan bermartabat luhur. Dalam iman kristiani, martabat
manusia baru dikenal sebenarnya di dalam Yesus, Putra sulung di antara banyak
saudara. Kebenaran tentang manusia hanya dikenal didalam Yesus Kristus. Karena
martabat luhur manusia hanya diakui dalam iman akan Allah sebagai Sang Pencipta
dan dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal.
Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat manusia. Tujuan hidup
manusia itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di luar segala
perhitungan manusia bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri. Tujuan hidup
manusia pada dasarnya bersifat transendental (bersifat ilahi dan mengatasi segala-
galanya), yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan dalam segala-
galanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal (lih. Yoh 17:1-3; 1
Yoh 3:2; 1 Kor 2:9). Tujuan hidup manusia masing-masing adalah persatuan dengan
hidup Allah Tritunggal untuk selama-lamanya.
Pandangan Katolik seperti tersebut di atas berbeda dengan Yahudi dan Islam
yaitu bahwa martabat luhur manusia dilihat dari segi tujuan hidup menjadi jelas
(mendapatkan makna definitif) dalam diri Yesus Kristus (lih. GS. 22). Tujuan hidup
manusia mengandaikan juga tugas-tugas hidup yang mesti dijalankan oleh manusia,
yaitu “memperkembangkan martabatnya”. Apa artinya? Tugas hidup itu adalah
mencapai kesempurnaan dalam panggilan hidup sebagai anak-anak Allah. Hal ini
berarti berkembang dalam Yesus Kristus, mengejar persamaan dengan martabat
Yesus Kristus.