Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ketahanan Pangan


Sistem pangan adalah sistem sosial-ekologis, yang terbentuk dari faktor
biofisik dan sosial yang terkait melalui mekanisme umpan balik (Berkes, Colding, &
Folke, 2003; Ericksen, 2008). Ketahanan sistem pangan pada dasarnya memastikan
kecukupan dan akses pangan untuk semua orang. Kecukupan yang dimaksud adalah
kecukupan secara kuantitas dan kualitas dengan akses meliputi akses ekonomi dan
fisik (Tendall et al., 2015). Ketahanan pangan bisa tercipta saat semua orang pada
setiap saat memiliki akses fisik dan ekonomi dalam mencukupi pangan yang aman
dan bergizi dengan memenuhi kebutuhan makanan dan preferensi makanan untuk
hidup secara aktif dan sehat. Berdasarkan definisi tersebut, maka terdapat empat
dimensi terkait ketahanan pangan yang bisa diidentifikasi yaitu: ketersediaan pangan,
akses pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas pangan (Food Agricultural
Organization, 2008).
Ketersediaan pangan bergantung pada produksi tanaman pangan dan produksi
pangan ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan air suatu tempat dan suatu waktu
(Hammer et al., 2001). Adapun akses pangan menurut Hanani (2000) terdiri dari
akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi terdiri dari pendapatan yang diterima,
lowongan kerja dan harga pangan. Akses fisik berhubungan dengan infrastruktur
dalam proses distribusi dan akses sosial lebih cenderung pada pemilihan bahan
pangan rumah tangga. Dimensi pemanfaatan pangan terdiri dari dua unsur yaitu
pemanfaatan pangan yang dapat dijangkau oleh rumah tangga dan kemampuan tubuh
dalam menyerap kandungan gizi. Pemanfaatan pangan ini sangat dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain sarana penyimpanan dan pengolahan pangan rumah tangga,
adat, budaya dan tingkat pengetahuan ibu rumah tangga dalam memutuskan
pemilihan jenis pangan, ketersediaan pangan di keluarga dan kesehatan individu
dalam suatu rumah tangga (Dewan Ketahanan Pangan, 2009).
Kepadatan penduduk di suatu daerah juga berpengaruh terhadap ketahanan
pangan yang terbentuk. Di daerah yang paling marjinal dan berpenduduk padat,
rumah tangga terjebak dalam situasi Malthus yang ditandai oleh sumber daya yang
rendah, ketergantungan yang tinggi pada input eksternal, aksesibilitas yang buruk,
fragmentasi tanah yang relatif cepat serta keterbatasan keterampilan dan pendidikan
yang cenderung tidak tersentuh oleh urbanisasi (Djurfeldt, 2015).
Jadi, Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup dan
melakukan aktivitas sehari-hari. Sedangkan ketahanan pangan adalah jaminan bagi
manusia untuk hidup sehat dan bekerja secara produktif.
2.2 Perkembangan Ketahanan Pangan
Kerawanan pangan didefinisikan sebagai tidak meratanya akses pangan secara
cukup jumlah dan kualitas dan hal ini merupakan pelanggaran hak-hak dasar manusia
(United Nations Human Rights & World Health Organization, 2008). Boratyńska &
Huseynov (2016) berpendapat dalam studinya tentang kebijakan ketahanan pangan di
negara berkembang menyebut bahwa ada dua pendekatan yang dilakukan untuk

2
menganalisis konsep inovatif terkait kebijakan ketahanan pangan yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Kebijakan secara langsung melibatkan perubahan
struktural dalam harga relatif dan subsidi pangan yang ditargetkan. Sementara itu
kebijakan tidak langsung seperti perbaikan infrastruktur pertanian dan lingkungan
ekonomi secara umum serta memfasilitasi petani dengan teknologi pertanian baru
yang mampu meningkatkan produksi tanaman pangan.
Penilaian indeks ketahanan pangan terdiri dari empat aspek.
Pertama, affordability terkait dengan cara memotong rantai pasok yang panjang.
Kedua, availability yaitu, terjaganya penawaran. Lalu ketiga, quality and safety terkait
kualitas dan keamanan standar nutrisi dan pengawasan impor dan keempat natural
resources and resilience terkait dengan lahan dan produksi pangan. Pada tahun 2018,
indeks ketahanan pangan Indonesia naik menjadi 54,8. Angka ini menjadikan
peringkat ketahanan pangan Indonesia naik cukup signifikan dari 72 pada 2014
menjadi 65 di 2018 dari total 113 negara. Ketahanan pangan Indonesia dari aspek
keterjangkauan memperoleh skor 55,2 berada di peringkat 63 dari 113 negara.
Kemudian skor dari aspek ketersediaan 58,2 di peringkat 58, dari aspek kualitas dan
keamanan memperoleh skor 44,5 di peringkat 84 serta dari faktor sumber daya alam
memperoleh skor 43,9 menempati peringkat 111. Berdasarkan diskusi yang
dilakukan, untuk negara berkembang seperti Indonesia, ketersediaan merupakan unsur
yang sangat penting dibandingkan dengan quality (dan juga safety) dari bahan
makanan. Hal ini terkonfirmasi dari hasil yang diperoleh berdasarkan pembobotan
kelompok. Hasil pertama yang disajikan dalam grafik berikut merupakan indeks
ketahanan total yang merupakan penjumlahan dari ketiga kelompok. Semakin tinggi
indeks yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi ketahanan pangan suatu daerah
relatif terhadap daerah lainnya.

Sumber: hasil pengolahan


Grafik 24. Indeks Ketahanan Pangan Total

Dalam indeks ketahanan pangan total, sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik


23 di atas, provinsi yang menempati 3 posisi teratas adalah Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Jawa Barat. Ketiga daerah ini memang merupakan lumbung pangan sekaligus
merupakan provinsi yang maju baik dari sisi SDM maupun infrastruktur. Oleh karena
itu, dari total availability, affordability, dan quality and stability, ketiga provinsi ini
merupakan provinsi terbaik dalam ketahanan pangan. Adapun provinsi yang
menempati posisi bawah adalah Papua, Nusa Tenggara Barat, dan Papua 59 Barat.

3
Ketiga provinsi tersebut merupakan provinsi yang berada di kawasan Indonesia
bagian timur dan secara infrastruktur relatif lebih lemah dibandingkan dengan Jawa
dan Sumatera. Berikut data penurunan pada bahan pangan pokok di Indonesia.
Provinsi Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Menurut Provinsi
Luas Panen (ha) Produktivitas Produksi (ton)
(ku/ha)
2018 2019 2018 2019 2018 2019
ACEH 329515.78 310012.46 56.49 55.30 1861567.10 1714437.60
SUMATERA UTARA 408176.45 413141.24 51.65 50.32 2108284.72 2078901.59
SUMATERA BARAT 313050.82 311671.23 47.37 47.58 1483076.48 1482996.01
RIAU 71448.08 63142.04 37.28 36.56 266375.53 230873.97
JAMBI 86202.68 69536.06 44.44 44.57 383045.74 309932.68
SUMATERA 581574.61 539316.52 51.48 48.27 2994191.84 2603396.24
SELATAN
BENGKULU 65891.16 64406.86 43.83 46.03 288810.52 296472.07
LAMPUNG 511940.93 464103.42 48.61 46.63 2488641.91 2164089.33
KEP. BANGKA 17233.59 17087.81 26.53 28.56 45724.69 48805.68
BELITUNG
KEP. RIAU 375.87 356.27 29.19 32.30 1097.00 1150.80
DKI JAKARTA 673.37 622.59 72.76 53.96 4899.14 3359.31
JAWA BARAT 1707253.81 1578835.70 56.51 57.54 9647358.75 9084957.22
JAWA TENGAH 1821983.17 1678479.21 57.63 57.53 10499588.23 9655653.98
DI YOGYAKARTA 93956.45 111477.36 54.81 47.86 514935.49 533477.40
JAWA TIMUR 1751191.67 1702426.36 58.26 56.28 10203213.17 9580933.88
BANTEN 344836.06 303731.80 48.94 48.41 1687783.30 1470503.35
BALI 110978.37 95319.34 60.11 60.78 667069.06 579320.53
NUSA TENGGARA 289242.59 281666.04 50.49 49.78 1460338.81 1402182.39
BARAT
NUSA TENGGARA 218232.91 198867.41 41.24 40.82 899935.88 811724.18
TIMUR
KALIMANTAN 286476.03 290048.44 27.92 29.23 799715.21 847875.13
BARAT
KALIMANTAN 147571.69 146144.51 34.88 30.35 514769.05 443561.33
TENGAH
KALIMANTAN 323091.21 356245.95 41.09 37.69 1327492.41 1342861.82
SELATAN
KALIMANTAN 64961.16 69707.75 40.45 36.41 262773.88 253818.37
TIMUR
KALIMANTAN 13707.00 10294.70 32.88 32.40 45063.53 33357.19
UTARA
SULAWESI UTARA 70352.62 62020.39 46.47 44.79 326929.74 277776.31

4
SULAWESI TENGAH 201279.24 186100.44 46.05 45.40 926978.66 844904.30
SULAWESI SELATAN 1185484.10 1010188.75 50.21 50.03 5952616.45 5054166.96
SULAWESI 136673.75 132343.86 39.43 39.27 538876.14 519706.93
TENGGARA
GORONTALO 56631.64 49009.95 47.60 47.18 269540.40 231211.11
SULAWESI BARAT 65303.78 62581.47 48.46 47.96 316478.37 300142.22
MALUKU 29052.14 25976.85 40.01 37.82 116228.86 98254.75
MALUKU UTARA 13412.75 11700.50 36.57 32.43 49047.11 37945.64
PAPUA BARAT 7767.01 7192.15 32.15 41.63 24967.13 29943.56
PAPUA 52411.95 54131.72 42.57 43.48 223119.42 235339.51
INDONESIA 11377934.44 10677887.15 52.03 51.14 59200533.72 54604033.34

Dari data tabel diatas menunjukan bahwa terjadi penurunan pada bahan pokok
makanan orang Indonesia yaitu beras. Data tersebut diambil dari 2 tahun terakhir
terjadi penurunan yang signifikan lalu bagaimana bila hal ini terus menurus terjadi
pada setiap tahun maka Indonesia akan mengalami kelaparan hingga kematian yang
meningkat akibat permasalahan pangan yang terjadi. Diketahui dari provinsi Jawa
Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat yang merupakan provinsi terbaik dalam
ketahanan pangan karena total availability, affordability, dan quality and stability
yang tinggi juga memiliki penurunan juga pada produksi berasnya sehingga untuk
mendistribusi wilayah bawahnya akan kurang hingga akhirnya terjadi kelaparan
nasional.
2.3 Faktor – Faktor Penurunan Ketahanan Pangan
Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS),
tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Dengan
konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton.
Pada tahun 2030, kebutuhan beras untuk pangan akan mencapai 59 juta ton untuk
jumlah penduduk yang akan mencapai 425 jiwa dengan asumsi. Itu artinya, Indonesia
beresiko mengalami krisis pangan pada tahun 2025. Apalagi jika konversi lahan
pertanian semakin meluas, laju krisis pangan itu semakin cepat. Krisis pangan saat ini
sudah menjadi isu utama global. Krisis terjadi karena makin berkurangnya lahan
agraria, sedangkan konsumsi masyarakat akan pangan makin tinggi.
Mengenai rendahnya kualitas SDM Petani misalnya, lebih dari 50% dari
jumlah petani adalah dari kategori berpendidikan rendah, kebanyakan hanya sekolah
dasar (SD). Rendahnya pendidikan formal ini tentu sangat berpengaruh terhadap
kemampuan petani Indonesia mengadopsi teknologi-teknologi baru, termasuk
menggunakan traktor dan mesin pertanian lainnya secara efisien. Kedua, tingkat
kemiskinan di pedesaan sebenarnya bisa disetarakan dengan jumlah petani gurem,
karena mereka inilah kelompok yang rentan. Menurut katagori BPS petani gurem
adalah Petani yang tanah garapan kurang dari 0.5 ha. Hasil Sensus Pertanian terakhir
(2003) menunjukkan bahwa jumlah Kepala keluarga petani gurem berjumlah 13.7 juta
jiwa (53.9% KK Petani) dan hasil proyeksi SPI jumlah keluarga petani gurem pada

5
tahun 2008 berjumlah 15.6 juta jiwa (55.1%). Tingginya angka prosentase petani
gurem tersebut juga menggambarkan betapa ketimpangan agraria begitu besar yang
pada akhirnya telah dan akan menyebabkan ratusan konflik agraria. Badan Pertanahan
Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011.
Jadi, faktor – faktor menurunnya ketahanan pangan akibat ketertinggalan
pertanian di Indonesia sehingga pangan belum tercukupi. Penyebab hal ini antara lain;
1) Infrastruktur pertanian yang terabaikan,
2) Organisasi tani kurang berfungsi,
3) Akses pada lembaga keuangan lemah,
4) Investasi rendah,
5) Akses pasar lemah,
6) Petani terpinggirkan,
7) Kualitas SDM petani yang mayoritas rendah, dan
8) Sistem penyaluran dana program ketahanan pangan tidak transfaran, serta
9) Sistem pertanian yang tidak optimal
2.4 Solusi Menanggulangi Penurunan Ketahanan Pangan
Dalam upaya mengatasi ancaman krisis pangan, pemerintah hendaknya
meniru program pertanian di Jepang. Di sana, pemerintah menghargai para petaninya
dengan memberikan kompensasi kepada mereka yang mau menggarap lahannya.
Pemerintah juga perlu merumuskan teknologi baru dan menciptakan pangan
alternative.
Untuk meningkatkan kualitas SDM petani dan merubah pola pikir petani di
masa yang akan datang, pemerintah selain harus menghargai petani, perlu
mengalokasikan anggaran yang lebih besar dengan sistem penyaluran dana program
yang transfaran online.
Bahkan pemerintah juga mencanangkan program ketahanan pangan yang
tertuang dalam payung hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan serta pembentukan Dewan Ketahanan Pangan berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 132 Tahun 2001 yang bertugas untuk membantu Presiden dalam
merumuskan kebijakan di bidang ketahanan pangan nasional, yang meliputi aspek
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta mutu, gizi, dan keamanan pangan; serta
melaksanakan evaluasi dan pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.
Sejalan dengan itu tahun 2010 yang lalu pemerintah juga sudah membuat daftar target
produksi bahan pangan penting 2010 – 2020.

Tabel 1 Target Produksi Bahan Pangan Penting 2010-2020

Juta Ton
Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Beras 34,9 35,7 36,4 37,1 37,9 38,6 39,4 40,2 40,9 41,7 42,5
Jagung 16,5 17,3 18,2 19,1 20 20,9 21,9 22,8 23,8 24,8 25,8
Kedelai 1 1,1 1,2 1,4 1,5 1,7 1,8 2 2,1 2,3 2,5

6
Gula 37,9 41,3 42,9 44,4 48 49,6 51,3 55,1 56,8 58,5 60,2
Gula Tebu 3,3 3,8 4 4,3 4,7 5 5,3 5,9 6,2 6,5 6,9
Gula rafinasi 1,5 2,1 3,2
CPO 23,6 26 28,5 31,1 33,8 36,6 39,5 42,5 45,7 48,9 52,3
Teh (000 Ton) 154,5 155,9 157,3 158,6 160 161,4 162,8 164,1 165,5 166,9 168,3
Kopi (000 Ton) 754,1 774,3 794,7 815,4 836,3 857,5 878,9 900,5 922,4 944,5 966,9
Kakao (000 Ton) 855 886 917 948 980 1011 1043 1074 1106 1138 1170
Perikanan 11,26 12,4 13,59 15,14 17,07 17,65 18,26 18,89 19,56 20,27 21
Tangkap 5,38 5,41 5,44 5,47 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5 5,5
Budidaya 5,88 6,99 8,15 9,67 11,57 12,15 12,76 13,39 14,06 14,77 15,5
Daging 2,2 2,28 2,37 2,46 2,58 2,72 2,91 3,07 3,26 3,48 3,73
Telur 1,51 1,57 1,65 1,72 1,79 1,84 1,92 1,99 2,08 2,19 2,31
Susu 0,73 0,85 0,99 1,13 1,3 1,5 1,63 1,69 1,76 1,84 1,92
Sumber : KADIN, 2009

Sedangkan solusi dari seorang kaum milenial adalah dengan sistem pertanian
perkotaan untuk mengatasi kebutuhan pangan di perkotaan karena diketahui semakin
hari perkotaan bertambah jumlah penduduknya sehingga membuat distribusi bahan
pangan bertambah terus menerus. Namun, kebanyakan petani desa tidak dapat
mengatasi kebutuhan pangan itu akibat konversi lahan desa yang digantikan perkotaan
dengan begitu cepat serta faktor pertanian yang tradisisonal. Jadi kaum generasi muda
terutama mahasiswa mencanangkan urban farming untuk pangan perkotaan.
Urban farming merupakan teknik pertanian yang cocok diterapkan di area
perkotaan. Memanfaatkan area yang ada dan tidak memerlukan area yang luas menjadi
salah satu keunikan dari konsep pertanian ini. Urban farming cocok diterapkan dalam
penanaman berbagai jenis sayuran seperti sawi, brokoli, selada, bawang, wortel,
kentang, dan semua jenis sayuran yang ada. Urban farming tidak hanya dapat
diterapkan oleh para petani namun juga para masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Kualitas kesegaran yang menjadi nilai lebih dari teknik pertanian ini karena menanam
di rumah sendiri dan langsung dipetik untuk diolah menjadi bahan makanan. Tentunya
penggunaan bahan-bahan organik dalam proses kegiatan urban farming sangat
diperlukan karena menjaga kualitas produksi agar aman dikonsumsi, contohnya dalam
pemakaian pupuk organik dan pestisida alami. Urban farming dalam penerapannya
memiliki beberapa jenis yaitu vertikultur, hidroponik, aquaponik, dan wall gardening.
Vertikultur merupakan teknik bercocok tanam secara vertikal dengan
menyusun tanaman dari bawah ke atas. Teknik vertikultur sangat cocok diterapkan
dalam area yang sempit dan tidak terlalu luas. Sebenarnya, teknik ini sama dengan
penanaman konvensional pada umumnya yaitu memakai tanah sebagai media
tanamnya. Peletakan secara vertikal yang membedakan teknik vertikultur dengan
teknik pertanian konvensional lainnya. Wadah media tanam dapat digunakan dari
bahan yang mudah ditemui seperti botol yang sudah tidak terpakai (botol bekas), pipa
paralon, pot, polybag atau wadah yang lainnya.
Hidroponik adalah teknik bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai

7
media tanamnya. Media tanam yang digunakan dapat berupa arang, sekam, pasir,
pecahan batu bata, dan lain-lain. Bahan utama dari hidroponik adalah air. Hidroponik
sangat bergantung pada air sebagai pemenuh nutrisi pada tanaman. Pemenuhan nutrisi
tanaman dalam hidroponik dapat diberikan dalam bentuk larutan yang mengandung
unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Media tanamn yang digunakan biasanya
botol plastik bekas atau pipa paralon. Tentunya hidroponik dapat diletakkan pada area
mana saja karena mudah untuk dipindahkan dan tidak memerlukan area yang luas.
Aquaponik merupakan teknik budidaya tanaman yang digabungkan dengan
budidaya hewan air seperti ikan. Pada teknik ini, kotoran ikan yang dikeluarkan akan
dimanfaatkan oleh tanaman sebagai pupuk untuk memenuhi nutrisinya. Tempat untuk
menampung ikan pun menjadi bersih dari kotoran. Akuaponik menjalin simbiosis
mutualisme dimana tanaman dan ikan saling menguntukan. Media tanam yang
digunakan adalah tanah. Namun, dalam akuaponik tidak perlu diberi pupuk lagi
karena sumber hara yang digunakan berasal dari kotoran ikan yang dibudidaya.
Wall gardening merupakan teknik budidaya tanaman secara vertikal yang
memanfaatkan dinding sebagai model pertanaman. Teknik ini hampir sama dengan
vertikultur, yang membedakan adalah pada teknik wall gardening biasanya berpusat
pada tanaman hias bukan tanaman sayuran. Banyak gedung-gedung perkantoran atau
pusat pembelanjaan yang sudah memakai teknik budidaya ini. Media tanam yang
digunakan adalah tanah, sehingga pemupukan dalam pemenuhan unsur hara perlu
diperhatikan dalam teknik ini agar tanaman hias tetap cantik untuk dipandang.

Anda mungkin juga menyukai