Anda di halaman 1dari 7

Nama : Zahra Wuri Handarbeni

NIM : 26020119130109
Kelas : Akuakultur A 2019

KETEGASAN HUKUM PERIKANAN DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki 17.504


pulau. Luas seluruh daratannya adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km²,
artinya dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan. Geografis Indonesia tersebut
menyimpan jutaan kekayaan sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati yang sejak
dahulu mengundang persaingan negara-negara besar untuk menguasainya. Maka, seluruh
masyarakat Indonesia perlu kesadaran tinggi dan tindakan lebih lanjut dalam mengatur dan
menjaga perairannya agar dapat dikembangkan untuk perekonomian Indonesia. Namun,
sayangnya Indonesia belum mampu memanfaatkan kekayaannya secara maksimal.

Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 menjadi UU No.17 Tahun 1985.
Adanya ketentuan dalam UU tersebut menyatakan bahwa negara berhak dan berkewajiban
mengelola seluruh sumber daya alam terutama perikanan pada laut teritorial sampai zona
ekonomi eksklusifnya (ZEE). Permasalahan muncul ketika terjadi pencurian ikan oleh nelayan
asing di ZEE maupun laut teritorial Indonesia. Penegakan hukum perikanan sangat diperlukan
untuk mengatasi permasalahan yang muncul. UU perikanan akan menjadi aturan dan
penegasan tindakan hukum bagi pelaku kejahatan di laut Indonesia. Pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Berdasarkan UU tersebut, Pasal
71 menjelaskan bahwa pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
tindak pidana di bidang perikanan.

1.2. Tujuan
Paparan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai:
 Undang-undang penegak hukum perikanan di Indonesia
 Faktor pelanggaran hukum perikanan di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Undang-undang Penegak Hukum Perikanan di Indonesia

Dalam menjalankan undang-undang penegak hukum perikanan tentunya membutuhkan


wadah yaitu pengadilan perikanan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di
bidang perikanan. Undang-undang yang menjadi landasan serta pegangan kuasa hukum adalah
UU Nomor 31 Tahun 2004, diharapkan dapat mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap
perubahan yang sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan ketersediaan
sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan moderen. Menurut Lestari, Selain itu,
muncul permasalahan diantaranya gejala penangkapan ikan yang berlebih, pencurian ikan, dan
tindakan illegal fishing lainnya yang menimbulkan kerugian bagi negara serta mengancam
kepentingan nelayan dan pembudi daya-ikan, iklim industri, dan usaha perikanan nasional.
Namun, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan masih belum mampu mengantisipasi
perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumber daya ikan dan belum dapat menjawab permasalahan tersebut.
Oleh sebab itu, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan perlu untuk melakukan
perubahan sebab adanya kekurangan dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait masalah
mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, termasuk kemungkinan
penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, masalah pengelolaan
perikanan antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran.
Diperlukan juga perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh
wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Di samping itu, perubahan UU Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudi daya-
ikan kecil antara lain dalam aspek perizinan, kewajiban penerapan ketentuan mengenai sistem
pemantauan kapal perikanan, pungutan perikanan, dan pengenaan sanksi pidana.

Diperbaruilah undang-undang menjadi UU No. 45 Tahun 2009. Berdasarkan pasal 7 ayat (2)
Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, menyebutkan bahwa diantaranya
adalah bagi setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib
mematuhi ketentuan mengenai jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah,
ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan waktu atau musim
penangkapan ikan; persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; sistem
pemantauan kapal perikanan; jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; jenis ikan dan wilayah
penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; pembudidayaan ikan dan
perlindungannya; pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya; ukuran atau berat minimum 6 jenis ikan yang boleh ditangkap; kawasan
konservasi perairan; wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; jenis ikan yang dilarang untuk
diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia;
dan jenis ikan yang dilindungi. Hukum yang terkandung tentu saja menjadi sebuah kemajuan
dalam hukum perikanan Indonesia yang lebih detail dalam mengusut berbagai segi aturan dan
masalah. Tetapi lagi-lagi nyatanya, setelah hampir 8 tahun diberlakukan ternyata UU tersebut
belum cukup efektif dalam memerika, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang
perikanan disebabkan adanya kelemahan pada salah satu pasal dalam UU tersebut yaitu Pasal
76 ayat 5 UU No. 45 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa “Dalam hal penuntut umum
menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari
terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum
harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan”. Isi dari ayat tersebut
mengundang protes karena dianggap kurang efisien dan efektif dalam menanggulangi masalah
yang terjadi.

2.2. Faktor Pelanggaran Hukum Perikanan di Indonesia

Terdapat banyak faktor yang memicu pelanggaran hukum perikanan di Indonesia,


diantaranya:
1. Kurangnya fasilitas, infrastruktur dan biaya operasional penyidik perikanan dalam
menangani kasus-kasus penangkapan ikan ilegal.

2. Tidak adanya dermaga yang disediakan khusus untuk tambatan Kapal


Penangkap Ikan yang ditangkap asing, sehingga ditempatkan di dermaga Pendaratan
Ikan (PPI) yang ada yang memengaruhi aktivitas rutin pangkalan / dermaga.

3. Tidak tersedianya tempat khusus untuk menampung anak-anak buah kapal non-
Yustisia sambil menunggu deportasi, sehingga mereka ditempatkan di lokasi terbuka
dan kondisi ini dapat menyebabkan penerbangan mereka karena kesulitan
pengawasan.
4. Lamanya masa penahanan anak-anak di kapal-kapal asing menimbulkan masalah
sosial di antara penduduk dan petugas setempat, seperti kekhawatiran tentang wabah
penyakit berbahaya yang dapat mereka tular.

5. Daerah tidak memiliki cukup dana untuk biaya penjatahan selama penahanan dan tidak
memiliki biaya untuk mendeportasi orang asing ke negara asal mereka.

6. Implementasi Deportasi Kapal Buah warga negara asing sampai saat ini belum
sepenuhnya dilaksanakan oleh Kantor Imigrasi sebagai lembaga yang berwenang,
sehingga menjadi tanggung jawab lembaga yang menangani kasus ini.

Adanya faktor pelanggaran hukum perikanan, maka perlu ada upaya untuk meminimalisir
pelanggaran tersebut, diantaranya:

1. Melindungi perairan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) untuk pencegahan


penangkapan ikan ilegal di wilayah Indonesia. Hal ini harus dilakukan oleh
Angkatan Laut sebagai bentuk perlindungan perairan teritorial ZEE Indonesia, yang
wajib untuk menjaga kedaulatan Indonesia dan melindungi sumber daya laut dari
tindakan pencurian ikan di ZEE. Dapat dengan cara meningkatkan perlindungan laut
daerah dengan menambah armada patroli, penggunaan teknologi Vessel Monitoring
System (VMS) sistem pemantauan kapal ikan dengan alat transmitter yang
berfungsi untuk mengawasi proses penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah
perairan Indonesia.

2. Mengambil tindakan hukum untuk penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing di
ZEE berdasarkan UU No. 45 tahun 2009 Penegakan Hukum Perikanan di Wilayah
Laut Indonesia.
(Dikutip dari artikel Penegakan Hukum Perikanan di Wilayah Laut Indonesia, Hayyun Sasvia)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adanya keputusan bersama UNCLOS dapat membantu hukum perikanan Indonesia


menjadi lebih jelas meskipun melalui banyak pembaharuan terkait masalah-masalah yang
muncul di wilayah laut Indonesia. Salah satu contoh faktor penyebab penangkapan ikan ilegal
yang terjadi di perairan Indonesia adalah kurangnya ketegasan petugas yang mengawasi laut
Indonesia, terutama perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Oleh sebab itu, semua tanggung
jawab kembali kepada setiap tangan seluruh penduduk Indonesia, agar dapat mengembangkan
dan memperketat hak kekuasaan wilayah perairannya. Semua upaya perlu direalisasikan demi
ketahanan dan kemajuan Indonesia di mata dunia.
DAFTAR PUSTAKA

 https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia#Sumber_daya_alam
 https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/lslr/article/view/35404/14703
 https://media.neliti.com/media/publications/235517-politik-hukum-pengadilan-
perikanan-di-in-3e0ae144.pdf
 https://media.neliti.com/media/publications/9083-ID-penegakan-hukum-pidana-
perikanan-di-indonesia-studi-kasus-pengadilan-negeri-meda.pdf
 http://repo.unand.ac.id/2772/3/bab%25201.pdf
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63969/Chapter%20I.pdf;jsessi
onid=F11B783E8C4F0A29056CA0D15EE8C20A?sequence=4
PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Q: Mengapa undang-undang perikanan diperlukan Indonesia?

A: Karena kekayaan Indonesia melimpah byk di perairannya, maka perlu adanya aturan
untuk mengatur ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya
ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif,
efisien, dan moderen serta penerapan sanksi bagi pelanggar hukum perikanan Indonesia.

2. Q: Apa yang membuat UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan perlu melakukan
perubahan?

A: Karena adanya kekurangan dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait


masalah mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan
tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara,
termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing
yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.

3. Q: Apa faktor pendorong pelanggaran hukum perikanan terjadi di Indonesia?

A: Faktor tersebut antara lain;


Kurangnya fasilitas, infrastruktur dan biaya operasional penyidik perikanan
dalam menangani kasus-kasus penangkapan ikan ilegal.

Tidak adanya dermaga yang disediakan khusus untuk tambatan Kapal


Penangkap Ikan yang ditangkap asing.

Daerah tidak memiliki cukup dana untuk biaya penjatahan selama penahanan
dan tidak memiliki biaya untuk mendeportasi orang asing ke negara asal
mereka.

Dll.

Anda mungkin juga menyukai