Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik


diperkotaan maupun di pedesaan. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut
pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
(Ngastiyah, 2014). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhosa,
sumber infeksi Salmonella typhosa selalu manusia, baik orang sakit maupun
orang sehat pembawa kuman. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat
menyerang banyak orang, mulai dari usia balita, anak-anak, dan dewasa. Sebagian
penderita demam tifoid kelak akan menjadi carrier, baik sementara atau menahun
(Sjamsuhidajat, 2010).

Demam tifoid dapat menimbulkan komplikasi bila tidak diobati


dengan tepat. Pada kenyataannya, masyarakat menganggap bahwa demam
tifoid merupakan penyakit yang sudah biasa terjadi dan tidak berbahaya.
Akan tetapi masyarakat kurang memperhatikan pola makan yang sehat seperti
makan kurang dari 3 kali sehari, seringnya membeli jajanan diluar rumah
yang belum tentu terjaga kebersihannya (Savina,2013).

Sampai saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan masalah


kesehatan di negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan angka kejadian
sekitar 760 sampai 810 kasus pertahun, dan angka kematian 3,1 sampai
10,4% 3 (WHO,2013).Di Indonesia angka kejadian kasus Demam Tifoid
diperkirakan rata-rata 900.000 kasus pertahun dengan lebih dari 20.000
kematian. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009 jumlah kejadian
demam tifoid dan paratifoid di Rumah Sakit adalah 80.850 kasus pada
penderita rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia.

Solusi dalam hal ini adalah memberikan pengajaran kepada orang tua
mengenai kesehatan dan perawatan anak dan  bayi di rumah. Namun dalam
menjalankannya seseorang harus mengetahui bayak hal seperti penyesuaian

1
terhadap kehidupan, pengkajian klinis dan yang pasti asuhan keperawatan pada
bayi baru lahir (pengkajian, perencanaan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi) .Melalui makalah ini pembaca dapat mengetahui tentang asuhan apa saja
yang akan diberikan kepada bayi dan anak yang menderita penyakit tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu thypoid?


2. Apa saja penyebab thypoid?
3. Bagaimana tanda dan gejala anak mengalami thypoid?
4. Bagaimana menjelaskanproses terjadinya thypoid?
5. Bagaimana menjelaskan cara mengatasi thypoid?
6. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada anak yang terkena penyakit
thypoid

C. Tujuan

Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan Anak 1 ,selain itu dengan disusunnya makalah ini
diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya bagi penyusun dan
umumya bagi pembaca.

2
BAB II

KONSEP

A. Definisi

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi


salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman
salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 )

Pengertian Thypoid Demam thypoid ialah penyakit infeksi akut yang


biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyebab penyakit
ini adalah Salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu
getar, tidak berspora (Ngastiyah, 2005). Demam thypoid ialah suatu penyakit
infeksi menular yang menyerang pada saluran pencernaan di bagian usus halus
(Murwani, 2011).

B. Etiologi

Penyebab tifoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan


Salmonella yaitu Salmonella thypi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi
C. Bakteri tersebut memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan
(inawati, 2009). Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit tersebut, baik ketika ia sedang
sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.

Penularan salmonella typi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang


dikenal dengan5f yaitu :

1. food (makanan)
2. fingers (jari tangan/kuku)
3. fomitus (muntah)
4. fly (lalat)
5. feses.

3
Feses dan muntah pada penderita thypoid dapat menularkan kuman
salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan dimakn oleh
orang yg sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya
seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi
masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.

C. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala anak yg mengalami thypoid :


1. Masa Inkubasi 7-21 hari. Pada awal penyakit, tanda dan gejala tidaklah khas,
berupa :
a. Anoreksia
b. Rasa malas
c. Sakit kepala bagian depan
d. Nyeri otot
e. Lidah kotor
f. Gangguan perut (perut kembung dan sakit)
2. Gejala khas
a. Minggu pertama, demam lebih dari 40o, nadi yang lemah bersifat dikrotik,
dengan denyut nadi 80-100nper menit.
b. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah
tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan
limpa dapat diraba.
c. Minggu ketiga, jika keadaan membaik: suhu tubuh turun, gejala dan
keluhan berkurang. Jika keadaan memburut: penderita mengalami
delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinensia alvi dan
urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut
meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya
meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik
d. Minggu keempat, bila kedaan membaik, penderita akan mengalami
penyembuhan meskipun pada awal minggi ini dapat dijumpai adanya
pneumonia

4
D. Patofisiologi

Penularan salmonella thypi dapatditularkan melalui berbagai cara, yang


dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.

Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman


salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh
orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella
thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk
ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid.
Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran
darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini
kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan


oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.

5
E. Pathway

6
F. Komplikasi

1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus
b. Perporasi usus
c. Ilius paralitik
2. Komplikasi extra intestinal        
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia

G. Penatalaksanaan
1. Perawataan
a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi
bila ada komplikasi perdarahan.
2. Diet
a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama
7 hari.

7
3. Obat-obatan
a. Kloramfenikol, dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat
diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas
b. Tiamfenikol, dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
c. Kortimoksazol, dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
d. Ampisilin dan amoksilin, dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2
minggu
e. Sefalosporin Generasi Ketiga, dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc,
diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari
f. Golongan Fluorokuinolon
1) Norfloksasin                    : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
2) Siprofloksasin                  : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
3) Ofloksasin                       : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
4) Pefloksasin                      : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
5) Fleroksasin                      : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
6) Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu
seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena
telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur
darah selain kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001).

H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :

1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat


leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat
leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

8
2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

a. Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium


yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada


minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada
waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

c. Vaksinasi di masa lampau          

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat


menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.

d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.

9
4. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh


kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)

Pada orang normal, agglutinin O dan H positif. Aglutinin O bisa sampai


1/10 sedangkan agglutinin H normal bisa 1/80 atau 1/160.

1/10. 1/80, 1/160 ini merupakan titer atau konsentrasi. Pada orang normal
tetap ditemukan positif karena setiap waktu semua orang selalu terpapar kkuman
Salmonella. Tes widal dikatakan positif jika H 1/800 dan O 1/400.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan


titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :

a. Faktor yang berhubungan dengan klien :


1) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai
dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya
pada minggu ke-5 atau ke-6.

10
3) Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat
menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi
seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4) Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti
mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
5) Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut
dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi
sistem retikuloendotelial.
6) Vaksinasi (penanaman bibit penyakit yg sudah dilemahkan ke dl tubuh
manusia) dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan
kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O
biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer
aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab
itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
7) Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya :
keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun
dengan hasil titer yang rendah.
8) Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin
terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang
bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa
lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1) Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu
spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2) Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi
hasil uji widal.
3) Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen
dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan dari proses
keperawatan tersebut. Pengkajian harus dilakukan secara teliti sehingga
didapatkan informasi yang tepat. Ada beberapa faktor yang harus
diperhatiakn antara lain:

a. Faktor Presipitasi dan Predisposisi

Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang
tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang
ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat
bila klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah,
makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan
sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan adalah penulisan klinis tentang respon individu, keluarga,


atau komunitas tentang masalah kesehatan/ proses keperawatan yang actual dan
potensial (Doengos, dkk.:2000).

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :

a.       Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit,


kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah

b.      Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit,


kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah

c.       Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi

d.      Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan


kelemahan fisik

e.       Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive

12
f.       Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang
informasi atau informasi yang tidak adekuat

3. Perencanaan

Menurut Carperito dan Moyet, (2007 : 83) perencanaan dalam proses keperawatan
adalah metode pemberian langsung kepada klien terdiri atas tiga fase yaitu
menentukan prioritas, merumuskan tujuan dan membuat intervensi keperawatan.

Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan


keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut:

1) Diagnosa. 1

Resiko tinggi gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah.

 Tujuan
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
 Kriteria hasil

Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR)


dalam batas normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada

 Intervensi
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak
elastis dan peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam
24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama, catat laporan
atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan
klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam
pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui parenteral sesuai
indikasi.

13
2) Diagnosa. 2

Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan intake yang tidak adekuat

 Tujuan
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
 Kriteria hasil

Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai


bising usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium
normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.

 Intervensi
Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien,
anjurkan tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat
badan tiap hari. Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan
atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung, kolaborasi
dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan
laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat analgesik seperti (ranitidine).

3) Diagnosa 3

Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi

 Tujuan
Hipertermi teratasi
 Kriteria hasil

Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan
tidak terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi
Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas
klien, beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat
paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan keluarga untuk memakaikan

14
pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat anti piretik.

4) Diagnosa 4

Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan


kelemahan fisik

 Tujuan
Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
 Kriteria hasil

Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan


kekuatan otot.

 Intervensi
Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu
kebutuhan sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien
mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang yang selalu di
butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
vitamin sesuai indikasi.

5) Diagnosa 5

Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive

 Tujuan
Infeksi tidak terjadi
 Kriteria hasil

Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi
purulen/drainase serta febris.

15
 Intervensi
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran
tetesan infus, monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan
kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
anti biotik sesuai indikasi.

6) Diagnosa 6

Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau


informasi yang tidak adekuat

 Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
 Kriteria hasil

Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya


hidup dan ikut serta dalam pengobatan.

 Intervensinya
Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit
anaknya, Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien,
beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti,
beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai
strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan
tanyakan apa yang tidak di ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap
tindakan yang dilakukan pada klien

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan merupakan kategori dan prilaku keperawatan, dimana perawat


melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencaspai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan Potter dan Perry (1999) pelaksanaan
mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari

16
dengan kata lain pelaksanaan mencangkup melakukan, membantu atau
mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan keputuana atau pendapat tentang Carpenito dan Moyet


(2007) sedangkan menurut Rubenfeld dan Scheffer (1999). Evaluasi adalah
tindakan memeriksa setiap aktivitas dan apakah hasil yang diharapkan telah
tercapai.

Adapun tipe-tipe evaluasi yang harus perawat lakukan dalam asuhan keperawatan
kepada klien meliputi : evaluasi masalah kolaboratip yaitu mengumpulkan data
yang telah dipilih, membandingkan data untuk mencapai data normal. Menilai
data yang di dapat dengan nilai normal. Evaluasi diagnosis keperawatan dan
peningkatan pencapaian tujuan dan evaluasi dari status perencanaan keperawatan
dan hasil yang di dapat.

Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan


untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital
stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi
hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi
tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam kurang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan
dan gangguan kesadaran. Dan dari tanda dan gejala klinis terjadi gangguan pada
saluran pencernaan diantaranya lidah tertutupi selaput kotor, mual muntah tidak
nafsu makan sehingga nutrisi berkurang. Nutrisi adalah jumlah interaksi antara
suatu organisme dan makanan yang dikonsumsinya. Dengan kata lain, nutrisi
adalah sesuatu yang dimkan seseorang dan bagaiman tubuh menggunakannya.
Nutrisi pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya pendapatan,
pendidikan, pekerjaan, lingkungan,budaya, usia,infeksi (Setiawan, 2014).
Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala demam kurang lebih dari satu minggu, gangguan pencernaan
dan gangguan kesadaran. Dan dari tanda dan gejala klinis terjadi gangguan pada
saluran pencernaan diantaranya lidah tertutupi selaput kotor, mual muntah tidak
nafsu makan sehingga nutrisi berkurang. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh ditandai dengan anorexia yaitu gangguan makanan yang dicirikan
oleh penolakan makanan . kebiasaan anak memilih makanan ringan atau makanan
yang berperasa kuat akan menyebabkan jumlah dan jenis makanan yang
dikonsumsi anak kecil bervariasi sehingga kebersihan dan kualitas makanan tidak
terjamin sehingga dapat menimbulkan penyakit salah satunya
thypoid(Wong,2008).

B. Saran

1
Diharapan mahasiswa lebih banyak lagi mengembangkan ilmu
pengetahuan terutama bidang keperawatan sehingga kedepannya ilmu kesehatan
terutama ilmu keperawatan lebih maju.

DAFTAR PUSTAKA

1. Masiroh, S. (2013).Keperawatan Obstetri dan Ginekologi.Yogyakarta :


Imperium
2. Walyani, E dan Purwoastuti, E. (2015).Asuhan Keperawatan Masa Nifas
dan Menyusui.Yogyakarta: Pustakabarupress
3. https://asuhankeperawatankesehatan.blogspot.co.id/2016/09/makalah-
fisiologi-nifas.html ( diakses pada tanggal 05 maret 2020)
4. http://qonitafatma18.blogspot.co.id/2015/04/fisiologi-nifas-mata-kuliah- b
iologi.html (diakses pada tanggal 5 maret 2020)
5. https://journal.stikespemkabjombang.ac.id/index.php/jikep/article/view/10
1 (diakses pada tanggal 05 maret 2020)
6. Ngastiyah,2014.Perawatan Anak Sakit. Jakarta :EGC
7. Nursalam, Dkk. Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak (Untuk Bidan Dan
Perawat). Jakarta: EGC
8. 2013.Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta : EGC
9. Wong,2009.BukuAjarKeperawatanPediatrik. Jakarta : EGC.
10. Brunners & Suddart, (2002), Buku Ajar Keperawatan, Edisi 8, Penerbit
EGC, Jakarta.
11. Doengoes, Marilyn E., (2002), Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
untuk Perencanaan dan pendokumentasian Tujuan Perawatan Pasien,
Edisi III, EGC, Jakarta.
12. Evelyn C., Pearce, (2002), Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
13. Nursalam, (2001),  Proses Dokumentasi Keperawatan, Edisi I, Salemba
Medika, Jakarta.

2
14. Pengertian Demam Tipoid. Diambil tanggal 05 maret 2020 (http://sehat-
jasmanidanrohani.blogspot.com/2011/01/thypoid-fever.html)
15. Definisi Typoid. Diambil pada tanggal 8 Juni 2012. Asuhan Keperawatan
dengan Demam Tipoid. Diambil tanggal 05 maret 2020
(http://denfirman.blogspot.com/2010/06/asuhan-keperawatan-typoid.html)
16. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan. Diambil pada tanggal05 maret
2020. http://blogs.unpad.ac.id/haqsbageur/2010/03/26/anatomi-dan-
fisiologi-sistem-pencernaan-manusia/
17. Sudoyo, Aru W., (2006) , Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid
III, FKUI, Jakarta.
18. Tarwono, Wartonah, (2004), Kebutuhan Dasar Manusi dan Proses
Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai