Anda di halaman 1dari 47

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Ikan merupakan produk pangan yang sangat mudah rusak. Kerusakan pada
ikan mulai terjadi setelah penangkapan atau setelah ikan mati. Pada penangkapan
serta alat tangkap, kondisi suhu dan spesiesikan dapat mempengaruhi cepat atau
lambatnya proses kemunduran mutu ikan. Pendinginan atau perlakuan dengan
suhu yang rendah akan memperpanjang umur simpan ikan sehingga kerusakan
atau kemunduran mutu ikan dapat dihambat, bahkan bayak cara yang dilakukan
untuk meminimalisir kemunduran mutu ikan salah satu caranya yaitu dengan cara
pendinginan (Saputra 2004).
Ikan segar di pasaran sudah mulai diminati oleh banyak konsumen.
permasalahannya adalah mudahnya ikan yang mengalami kemunduran mutu.
Selain disebabkan oleh suhu,alat serta cara penangkapan, spesies dan kebersihan
ternyata enzim yang secara alami berada di dalam tubuh ikan pun dapat
mempengaruhi proses kemunduranmutu. Salah satu enzim yang berperan dalam
proses kemunduran mutu adalah katepsin. ensim katepsin berperan dalam
pelunakan tekstur daging ikan akibat degradasi protein miafibril sehingga
mempercepat proses kemunduran mutu (Saputra 2004).
Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik atau hewan berdarah dingin
yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok
vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di
seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan tergolong kelompok paraphyletic yang
hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan; biasanya ikan dibagi menjadi
ikan tanpa rahang (kelas Agnatha, 75 spesies termasuk lamprey dan ikan hag),
ikan bertulang dan sisanya tergolong atau termasuk kedalam ikan yang bertulang
keras (Saputra 2004).

1.2. Tujuan
Agar labih memahami tingkat kemunduran mutu ikan sehinga dapat
membedakan sampai batas mana ikan layak dikonsumsi.

1 Universitas Sriwijaya
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Patin


Adapun klasifikasi ikan patin siam menurut Saanin (1984) adalah sebagai
berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Pisces
famili : Pangasidae
genus : Pangasius
spesies : Pangasius-Pangasius

Gambar 2.1.1 ikan patin (Pangasius-pangasius)


Ikan patin merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai
komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang tinggi. Hal
inilah yang menyebabkan ikan patin banyak diminati oleh para pengusaha untuk
membudidayakannya. Ikan patin siam ini sendiri memiliki tubuh yang memanjang
dan berwarna putih keperak-perakandengan punggung berwarna kebiru-biruan.
Tubuh ikan patin ini memiliki panjang hingga mencapai 120cm, bentuk kepala
yang juga relatif kecil, mulut terletak di ujung kepalabagian bawah, pada kedua
sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis yang berfungsi sebagai alat peraba
yang merupakan ciri khas ikan golongan catfish, dan juga memiliki sirip ekor
berbentuk cagak dan simetris. Ikan patin merupakan jenis ikan yang cukup
populer di Indonesia, dan harganya pun tergolong ekonomis. Ikan patin memiliki
lapisan lemak yang cukup tebal sehingga membuat ikan patin lambat dalam
mengalami kemunduran mutu (Djariah, 2001).

2 Universitas Sriwijaya
3

2.2. Kemunduran Mutu Ikan


Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan seringkali
dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat
diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya dalam kondisi mati
ikan akan segera mengalami kemunduran mutu. Segera setelah ikan mati, maka
akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan.
Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim,
kimiawi dan bakteri. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak
bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor),
rupa (appearance) dan tekstur (texture). Aktivitas kimiawi adalah terjadinya
oksidasi lemak daging oleh oksigen. Oksigen yang terkandung dalam udara
mengoksida lemak daging ikan dan menimbulkan bau tengik (Junianto, 2003).
Kemunduran mutu ikan tak dapat dipungkiri sebab ikan merupakan produk
yang high perishable (mudah rusak) sehingga memerlukan penanganan khusus.
Tingkat kemunduran ikan ditentukan sejak penangkapan, pengolahan sampai
penyajian. Proses kemunduran mutu ikan berlangsung cepat di daerah beriklim
tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi ditambah dengan proses penangkapan
yang tidak baik yang menyebabkan ikan mengalami kemunduran mutu sehinggga
penanganan yang baik perlu dilakukan, penanganan ikaan yang baik bertujuan
untuk mengusahakan agar kesegaran ikan dapat dipertahankan atau kebusukan
ikan dapat ditunda (Junianto, 2003).
Proses pembusukkan dapat terjadi karena perubahan akibat aktivitas enzim-
enzim tertentu yang terdapat di dalam tubuh, aktivitas bakteri dan
mikroorganisme lain atau karena proses oksidasi lemak oleh udara. Biasanya
aktivitas penyebab pembusukkan di atas dapat dikurangi atau dihentikan sama
sekali apabila suhu lingkungan diturunkan, misalnya dengan menggunakan suhu
rendah. Salah satu cara pengawetan dengan suhu rendah yaitu dengan
menggunakan es batu. Tahap-tahap perubahan yang terjadi setelah ikan mati dapat
dibagi dalam tiga fase menurut tingkat kesegarannya, yaitu fase pre-rigor, fase
rigor mortis dan fase post rigor. Lamanya  fase waktu kemunduran mutu atau
perubahan yang berlangsung pada ikan, tergantung pada jenis ikan, ukuran ikan,
kondisi ikan waktu hidup, cara kematian, Cara penanganan, cara penangkapan dan

3 Universitas Sriwijaya
4

suhu penyimpanan. Tingkat mutu Ikan tidak bisa di tingatkan naik, karena kita
hanya bisa untuk mempertahankan mutu ikan agar mutu ikan tidak terjun ke
bawah dan menjadi ikan busuk atau ikan yang berkualitas rendah (Junianto,
2003).

2.3. SNI Ikan Segar


Sesuai dengan praktikum pengamatan kemunduran mutu ikan, dan cara cara
pengamatannya menggunakan cara organoleptik yang sesuai SNI 2346:2011. dan
dalam menjaga mutu ikan, maka mutu bahan baku yang sesuai menurut SNI 01-
2729.1-1922 adalah bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang
menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas
dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak
membahayakan kesehatan (Roliz, 2006).

2.4. Penanganan Hasil Perikanan


Pengolahan dan pengawetan merupakan cara untuk mempertahankan daya
awet ikan dan kandungan nilai gizinya. Selain meningkatkan daya simpannya,
pengolahan ikan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan. Salah
satu usaha untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan adalah dengan cara
diversifikasi pengolahan hasil perikanan untuk menciptakan produk-produk
perikanan yang dapat menarik minat masyarakat dalam mengkonsumsinya.
kesempurnaan penanganan (handling) ikan segar memegang peranan penting.
Baik buruknya penanganan akan menentukan mutu ikan sebagai bahan makanan
atau bahan mentah untuk pengolahan lebih lanjut. Kalau penanganannya buruk,
ikan akan cepat rusak sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi (Sahubawa, 2014).

4 Universitas Sriwijaya
5

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan Waktu


Praktikum dasar-dasar teknologi dilaksanakan di laboratorium Mikrobiologi
dan Bioteknologi Hasil Perikanan, pada hari kamis tanggal 14 februari 2019.

3.2. Alat dan bahan


Bahan yang digunakan antara lain Ikan nila (Oreochormis niloticus), mas
(Ciprinus carpio), patin (Pangasius-pangasius), lele (Clarias batracus) yang
masing-masing 3 ekor. Sedangkan alat yang digunakan baskom, pisau, dan
plastik.

3.3. Cara Kerja


Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum pengamatan kemunduran mutu
ikan secara organoleptik ini adalah sebagai berikut:
1. Ikan diamati kondisi fisiknya mulai dari mata, insang, tekstur daging, keadaan
kulit dan lendir, keadaan perut dan sayatan daging serta bau.
2. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel

5 Universitas Sriwijaya
6

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Adapun hasil yang didapatkan dari praktikum pengamatan kemunduran mutu
ikan adalah sebagai berikut.
Tabel 4.1.1. Hasil pengamatan kemunduran mutu ikan
Mata Insang Daging Bau Tekstur
No. Ikan Sample
0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30 0 15 30
1 9 7 5 9 6 3 9 7 4 9 8 6 9 8 6
1 Lele (Clarias
bathracus) 2 8 7 4 7 5 3 8 7 3 8 7 5 8 7 5
3 7 6 3 6 4 3 7 6 3 7 5 4 6 6 4

Patin 1 9 8 7 9 7 6 9 8 7 9 7 6 9 7 6
2
(Pangasius 2 9 8 7 8 7 6 8 7 6 9 8 7 9 7 6
pangasius) 3 9 8 7 9 8 6 9 7 6 8 7 6 9 8 7
1 9 9 8 9 9 8 9 9 8 9 9 8 9 9 8
Nila
(Oreochromis 2 9 9 8 9 8 7 9 8 7 9 8 8 9 8 7
3
niloticus) 3 7 6 5 6 5 3 6 5 3 5 4 3 4 3 2

1 6 5 4 8 7 6 8 7 6 8 7 6 8 7 6
Bandeng
4 (Chanos 2 5 4 3 7 6 5 6 5 4 6 5 4 8 7 6
chanos)
3 5 4 3 5 4 3 5 4 3 5 4 3 6 5 4
1 6 5 3 6 5 3 5 4 3 6 4 3 4 3 3
Sarden
5 (Sardinila 2 6 5 3 7 6 5 7 6 4 6 5 4 5 4 3
lemuru)
3 5 4 3 6 5 3 6 5 4 7 6 5 5 4 3
1 6 5 4 7 5 4 6 5 4 7 6 5 6 4 3
Tongkol
6 (Euthynnus 2 6 5 3 6 5 3 5 4 3 7 5 4 5 4 3
affinis)
3 5 4 3 6 4 3 6 3 3 6 5 3 5 3 2
1 6 5 4 7 6 4 7 5 4 6 5 4 4 3 2
Salem
7 (Scomber 2 7 6 4 6 5 4 6 5 4 7 6 5 5 4 3
japonicus)
3 4 5 6 4 5 6 5 6 5 6 5 5 6 5 4

4.2. Pembahasan

6 Universitas Sriwijaya
7

Pada praktikum kali ini membahas tentang penurunan mutu ikan. Ikan yang
digunakan yaitu ikan patin (Pangasius-Pangasius). Pengamatan dilakukan dengan
menggunakan tiga sampel yaitu 0 menit, 15 menit dan 30 menit. Pengamatan yang
kami lakukan yaitu mengamati mata, insang, tekstur daging, keadaan kulit, dan
lender, keadaan perut dan sayatan, serta bauikan. Keadaan mata ikan patin yang
yang kami amati, pada sampel waktu 0 menit mata mulai cekung namun kornea
masih masih cerah dan pupil masih berwarna outih jernih. Pada sampel waktu 15
menit yaitu mata cekung, kornea pucat mulai gelap tidak cemerlang dan pupil
mulai pucat keabuan. Pada sampel waktu 30 menit mata sudah sangat cekung,
kornea tidak cemerlang dan pupil berwarna abu-abu keruh. Keadaan insang ikan
patin yang kami amati, dua ekor ikan tongkol yakni pada sampel 0 menit dan 15
menit warna insangnya merah tua atau merah cemerlang tanpa adannya lender,
tidak tercium bau yang menyimpang, sedangkan satu ekor pada sampel 30 menit
warna insang merah coklat bahkan sampai keabuabuan, bau menyengat dan lender
tebal.
Keadaan Tekstur daging ikan tongkol yaitu pada sampel 0 menit dan 15 menit
diantaranya keadaannya masih elastik dan jika ditekan tidak meninggalkan bekas
jari serta padat atau kompak, sedangkan satu ekornya pada sampel 30 menit
dagingnya sudah kehilangan keelastisannya, lunak jika di tekan dengan jari akan
meninggalkan bekas dan lama kelamaan hilang. Keadaan kulit dan lender ikan
tongkol yang kami amati, dua ekor diantaranya masih segar warnanya masih
sesuai dengan aslinya dan namun tidak begitu cemerlang. Lender dipermukaan
jernih dan transparan dan baunya segar. Sedangkan satu ekornya busuk warnanya
sudah pudar dan memucat, lender tebal dan sudah menggumpal dan lengket.
Keadaan perut dan sayatan daging ikan tongkol yang kami bawa, ikan pada
sampel 0 menit masih segar perutnya masih utuh, tidak pecah dan warna sayatan
daging cemerlang serta jika ikan di belah maka daging melekat kuat pada tulang
terutama rusuk. Pada sampel 15 menit perut masih utuh namun warna sayatan
daging sudah agak keruh dan sudah mulai mudah dirobek. Pada sampel 30 menit,
sayatan daging mulai pucat dan tidak cemerlang. Ini menandakan ikan sudah
mengalami kemunduran mutu yang sangat signifikan dan dapat dilihat.

7 Universitas Sriwijaya
8

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum pengamatan dan kemunduran mutu ikan adalah
sebagai berikut.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan adalah suhu, dan
ukuran tubuh ikan
2. Fase tingkat kemunduran mutu ikan ada 3 yaitu prerigormotis, rigormotis dan
postrigormotis
3. Ikan yang layak dikonsumsi bernilai organoleptik 8-9 dan yang tidak layak
dikonsumsi bernilai 2-4
4. Cara penanganan ikan dapat mengalami kemunduran mutu ikan
5. Perbedaan waktu dari penangkapan sampai dengan proses pengolahan dapat
menyebabkan kemunduran mutu ikan

5.2. Saran
Pada saat melaksanakan praktikum pada tanggal 14 februari 2019. Keadaan
saat melakukan praktikum kurang efektif dikarenakan parktikan kuarang
memperhatikan asisten pada saat menjelaskan. Alangkah lebih baiknya untuk
praktikum selanjutnya lebih kondusif.

8 Universitas Sriwijaya
9

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan bersifat perishable food atau mudah mengalami proses pembusukan atau
kemunduran mutu. Ikan cepat mengalami pembusukan disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu karena tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80%) dan pH
mendekati netral sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme lain, daging ikan mengandung sedikit sekali jaringan pengikat
atau tendon, sehingga mudah dicerna oleh enzim autolysis, daging ikan banyak
mengandung asam lemak tidak jenuh, yang mudah mengalami proses oksidasi
didalam tubuh (Fida, 2007).
Ikan merupakan sumber protein hewani yang potensial dan sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Biasanya kadar protein ikan 15-20 % tergantung jenis ikannya.
Meskipun demikian, ikan merupakan produk yang cepat busuk karena kadar
airnya yang tinggi (70-80%) sehingga memicu proses pembusukan oleh bakteri.
Ikan yang telah dikeringkan memiliki kelebihan, yaitu kadar protein per 100 g
bahannya menjadi lebih tinggi. Pengeringan ikan merupakan cara pengawetan
ikan yang tertua. panas matahari dan tiupan angin. Pada prinsipnya, pengeringan
merupakan cara pengawetan ikan dengan mengurangi kadar air pada tubuh ikan
sebanyak mungkin, sehingga kegiatan- kegiatan bakteri terhambat dan jika
mungkin, mematikan bakteri tersebut (Fida, 2007).
Metode pengawetan dengan cara penggaraman merupakan metode
pengawetan yang sederhana dan ekonomis, hal ini karena media utama yang
menjadi bahan dasar dari dalam pelaksanaan hanya memerlukan garam dan proses
pengeringannya yang masih tradisional hanya dengan menggunakan bantuan sinar
matahari (Fida, 2007).

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan berbagai
macam konsentrasi garam terhadap mutu ikan asin yang dihasilkan.

9 Universitas Sriwijaya
10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Betok


Klasifikasi ikan betok menurut (Saanin 1984) adalah sebagai berikut.
kerajaan : Animalia
kelas : Pisces 
subkelas : Teleostei 
ordo : Labyrinthici 
subordo : Anabantoidei 
famili : Anabantidae 
genus : Anabas
spesies : Anabas testudineus

Gambar 2.1.2 ikan betok (Anabas testudineus)


Ikan betok merupakan jenis ikan agresif dan dapat ditemui di berbagai macam
perairan. Habitat alami ikan ini adalah sungai yang berumput, sungai kecil, kolam,
parit irigasi, rawa banjiran, dan berbagai daerah perairan lainnya. Hal ini
didukung oleh adanya labyrinth pada ikan betok yang memungkinkan untuk dapat
hidup di berbagai wilayah perairan walaupun kondisi perairan tersebut defisit
oksigen dan tidak memungkinkan bagi ikan lain untuk hidup di daerah tersebut.
Ketika malam, ikan ini juga dapat meninggalkan wilayah perairan dengan
mengembara ke daratan sejauh 180 cm dari air (Simorangkir, 2014).

2.2. Penggaraman Kering (Dry Salting)


Metode penggaraman keringmenggunakan kristal garam yangdicampurkan
dengan ikan. Pada umumnya,ikan yang berukuran besar dibuang isi perutdan
badannya dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkandidalam
wadah yang kedap air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demiselapis dengan

10 Universitas Sriwijaya
11

setiap lapisan ikan ditaburi garam. Lapisan paling atas dan palingbawah wadah
merupakan lapisan garam. Garam yang digunakan pada prosespenggaraman
umumnya berjumlah 10 % - 35 % dari berat ikan yang digarami.Pada waktu ikan
bersentuhan dengan kulit atau daging ikan (yang basah/berair),garam itu mula-
mula akan membentuk larutan pekat. Larutan ini kemudian akanmeresap kedalam
daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal garam tidaklangsung menyerap
air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan. Semakin lama larutan akan
semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikansemakin
berkurang (Budiman, 2008).
Penggaraman kering digunakan untuk ikan yang berukuran besar maupun
kecil. Penggaraman ini menggunakan garam berbentuk kristal. Ikan yang akan
diolah ditaburi garam lalu disusun secara berlapis–lapis. Setiap lapisan ikan
diselingi lapisan garam. Selanjutnya lapisan garam akan menyerap keluar cairan
di dalam tubuh ikan, sehingga kristal garam berubah menjadi larutan garam yang
dapat merendam seluruh lapisan ikan. Setelah penggaraman kemudian ikan
dijemur di bawah sinar matahari langsung sampai kering. Proses ini untuk
membantu menurunkan kadar cairan di dalam tubuh bakteri. Dengan demikian,
aktivitas bakteri yang tahan terhadap garam berkonsentrasi tinggi dapat dihambat,
bahkan bakteri dapat terbunuh. Ikan yang telah mengalami proses penggaraman,
sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan mempunyai daya simpan yang tinggi
karena garam dapat berfungsi menghambat atau menghentikan sama sekali
autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat di dalam tubuh ikan. Cara kerja
garam menjalankan fungsi kedua ini adalah garam menyerap cairan tubuh ikan
sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan bahkan
akhirnya mematikan semua bakteri yang ada dan memperlambat adanya jamur
yang berkembang (Oktarian, 2016).

2.3. Penggaraman Basah


Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter
larutan garam berisi 30-50 kg garam). Ikan dimasukan kedalam larutan itu dan
diberi pemberat agar semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan
direndam dalam jangka waktu tertentu tergantung pada ukuran dan tebal ikan serta

11 Universitas Sriwijaya
12

erajat keasinan yang diinginkan. Didalam proses osmosis, kepekaan makin lama
makin berkurang, karena air dari dalam daging ikan secara berangsur-angsur
masuk kedalam larutangaram, sementara sebagian molekul garam masuk kedalam
daging ikan. Karenakecenderungan daging ikan penurunan kepekaan larutan
garam itu, maka prosesosmosis akan semakin lambat dan pada akhirnya berhenti.
Larutan garam yanglewat jenuh adalah jumlah garam lebih banyak dari jumlah
yang dapat dilarutkan sehingga dapat dipergunakan untuk memperlambat
kecenderungan itu (Adawiyah, 2007).
Bedanya dengan penggaraman kering adalah larutan garam perendamikan
dibuat lebih dulu sehingga konsentrasi larutan ini disesuaikan dengan seleradan
keperluan. Umumya larutan garam yang digunakan 30% - 50% (setiap 100liter
larutan garam berisi 30-50 kg garam). Kench salting hampir sama
denganpenggaraman kering, tetapi larutan garam yang terbentuk dibiarkan
mengalirkeluar dari wadah. Wadah yang digunakan tidak kedap air tetapi
berupakeranjang. Ikan yang dilumuri garam ditumpuk dalam keranjang dan
dipadatkanserta ditutup rapat (Moeljanto, 1992).
Proses penggaraman dengan menggunakan metode penggaraman basah perlu
dijaga kemurnian garamnya. Selain kemurnian garam, ukuran butiran (kristal
garam) juga mempengaruhi hasil penggaraman. Bila proses penggaraman
menggunakan cara pengeringan kering, maka sebaiknya menggunakan garam
yang memiliki ukuran butiran sedang. Jika ukuran kristal garamnya terlalu besar,
terbentuknya larutan menjadi sangat lambat sehingga meresapnya ke dalam
daging ikan menjadi lama. Hal ini bisa mengakibatkan ikan menjadi busuk
sebelum larutan garam masuk ke dalam daging ikan. Sebaliknya bila butiran
garam terlalu halus, proses peresapan menjadi terlalu cepat dan cepat pula habis
mengalir ke bawah. Akibatnya lapisan daging ikan bagian atas larutan garamnya
cepat hilang dan menyebabkan lebih mudah membusuk. Ukuran kristal garam
yang digunakan sebaiknya juga disesuaikan dengan besar kecilnya ukuran ikan.
Untuk ikan-ikan kecil sebaiknya menggunakan butiran garam yang lebih halus
agar meresapnya lebih mudah sedangkan untuk ikan-ikan sedang dan besar,
sebaiknya menggunakan butiran garam ukuran sedang. Sebab disamping sebagai
bahan pengawet, garam juga berfungsi sebagai pemberi rasa enak bila ikan itu

12 Universitas Sriwijaya
13

sudah dimasak Produk ikan asin kering yang sudah jadi perlu dijaga kualitasnya
selama proses penyimpanan supaya kualitasnya tidak menurun (Hasanah, 2013).

2.4. Pengeringan dengan Metode Solar Drying


Metode pengeringan adalah salah satu tahapan umum dalam memperpanjang
umur simpan (shelf life) produk pangan. Seperti yang dilansir dalam laman
National Center for Home Food Preservation metode ini telah lama ada sejak
sekitar tahun 12000 sebelum masehi yang dilakukan kawasan penghuni timur
tengah dan asia. Dengan begitu bukan merupakan hal baru lagi penggunaan
metode pengeringan bagi pengolahan produk makanan, hanya saja cara ataupun
alat yang dikembangkan akan terus berubah seiring dengan kebutuhan.
Berkembangnya teknologi yang telah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan telah
melahirkan beragam alat pengering produk pangan baik itu modern ataupun
konvensional. Solar Dryer adalah salah satu jenis alat pengering yang telah
banyak digunakan oleh home industry. Penggunaan alat ini dikatakan sangat
ekonomis karena menggunakan tenaga matahari langsung dan tidak menggunakan
listrik, walaupun ada beberapa solar dryer yang menggunakan kipas sebagai
penghantar panas dari solar collector. Solar dryer sangat direkomendasikan untuk
pengeringan dalam skala home industry dikarenakan alat yang ekonomis dan
higienis. Bahan pangan tidak akan kontak langsung dengan udara dikarenakan
bahan pangan diletakkan dalam tempat yang nantinya akan dialiri udara panas
kedalam ruangan. Hal tersebut mencegah terjadinya kontaminasi dari debu, asap
kendaraan, maupun hewan pengganggu. ecara prinsip cara kerja solar dryer
adalah dengan mengaliri udara yang akan melewati solar collector sehingga udara
yang dibawa akan memiliki suhu tinggi yang selanjutnya melewati tempat bahan
pangan diletakkan. Udara akan mengalir keluar beserta uap air yang dibawa
melalui lubang-lubang aerasi. Prinsip perbedaan tekanan dan suhu udara yang
biasanya digunakan oleh alat solar dryer tanpa bantuan blower. Ketika udara
panas dihembuskan di atas bahan makanan basah, panas akan ditransfer ke
permukaan dan perbedaan tekanan udara akibat aliran (Hasanah, 2013).
Metode pengeringan adalah salah satu tahapan umum dalam memperpanjang
umur simpan (shelf life) produk pangan. Metode pengeringan bukanlah hal baru

13 Universitas Sriwijaya
14

lagi bagi pengolahan produk makanan, hanya saja cara ataupun alat yang
dikembangkan akan terus berubah seiring dengan kebutuhan. Berkembangnya
teknologi yang telah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan telah melahirkan
beragam alat pengering produk pangan baik itu modern ataupun konvensional.
Solar Dryer adalah salah satu jenis alat pengering yang telah banyak digunakan
oleh home industry. Penggunaan alat ini dikatakan sangat ekonomis karena
menggunakan tenaga matahari langsung dan tidak menggunakan listrik, walaupun
ada beberapa solar dryer yang menggunakan kipas sebagai penghantar panas.
Bahan pangan tidak akan kontak langsung dengan udara dikarenakan bahan
pangan diletakkan dalam tempat yang nantinya akan dialiri udara panas kedalam
ruangan. Hal tersebut mencegah terjadinya kontaminasi dari debu, asap
kendaraan, maupun hewan pengganggu (Siallagan, 2014).
Secara prinsip cara kerja solar dryer adalah dengan mengaliri udara yang
akan melewati solar collector sehingga udara yang dibawa akan memiliki suhu
tinggi yang selanjutnya melewati tempat bahan pangan diletakkan. Udara akan
mengalir keluar beserta uap air yang dibawa melalui lubang-lubang aerasi. Prinsip
perbedaan tekanan dan suhu udara yang biasanya digunakan oleh alat solar dryer
tanpa bantuan blower. Ketika udara panas dihembuskan di atas bahan makanan
basah, panas akan ditransfer ke permukaan dan perbedaan tekanan udara akibat
aliran panas akan mengeluarkan air dari ruang antar sel dan menguapkannya.
Keunggulan dari alat ini adalah konstruksi bangunan yang terbilang sederhana dan
mudah dibuat, tidak menggunakan listrik, biaya pembuatan yang murah, dan
mengurangi kontaminasi dari udara langsung. Disamping kelebihannya, solar
dryer ini mempunyai kekurangan yaitu fluktuasi cahaya matahari akan
mempengaruhi suhu pengeringan sehingga lama waktu pengeringan akan
dipengaruhi sehingga dibutuhkan design yang efisien dalam pembuatan solar
dryer. Namun bukan berarti hal tersebut menghalangi dalam penggunaan solar
dryer, telah banyak digunakan blower ataupun penambahan solar collector untuk
mempercepat proses pengeringan (Rahmawati, 2015).

14 Universitas Sriwijaya
15

2.5. Pengeringan dengan Metode Oven


Air adalah pelarut yang kuat, melarutkan banyak jenis zat kimia. Zat-zat yang
bercampur dan larut dengan baik dalam air (misalnya garam-garam) disebut
sebagai zat-zat “hidrofilik” (pencinta air), dan zat-zat yang tidak mudah tercampur
dengan air (misalnya lemak dan minyak), disebut sebagai zat-zat “hidrofobik”
(takut-air). Kelarutan suatu zat dalam air ditentukan oleh dapat tidaknya zat
tersebut menandingi kekuatan gaya tarik-menarik listrik (gaya intermolekul dipol-
dipol) antara molekul-molekul air. Jika suatu zat tidak mampu menandingi gaya
tarik-menarik antar molekul air, molekul-molekul zat tersebut tidak larut dan akan
mengendap dalam air. Air memiliki tegangan permukaan yang besar yang
disebabkan oleh kuatnya sifat kohesi antar molekul-molekul air. Hal ini dapat
diamati saat sejumlah kecil air ditempatkan dalam sebuah permukaan yang tak
dapat terbasahi atau terlarutkan (non-soluble); air tersebut akan berkumpul
sebagai sebuah tetesan. Di atas sebuah permukaan gelas yang amat bersih atau
bepermukaan amat halus air dapat membentuk suatu lapisan tipis (thin film)
karena gaya tarik molekular antara gelas dan molekul air (gaya adhesi) lebih kuat
ketimbang gaya kohesi antar molekul air (Hasanah, 2013).
Pengawetan secara pengeringan dilakukan setelah dilakukan proses
penggaraman. Tahapan dari proses pengeringan terdiri dari pengangkatan ikan
dari wadah yang membedakan pengeringan ikan dengan sinar matahari langsung
dan tanpa sinar matahari langsung adalah sumber panas yang digunakan.
Pengeringan dengan Metode oven dapat didefenisikan sebagai salah satu suatu
kegiatan untuk mengeringkan ikan secara buatan menggunakan oven, pengeringan
dengan metode ini memerlukan keterampilan khusus dan biaya yang jauh lebih
tinggi apabila dibandingkan oleh Pengeringan dengan Metode Alami atau
penjemuran dibawah sinar matahari (Solar Drying) . Teknik biasa yang digunakan
merupakan salah satu metode pemanasan langsung dalam penetapan kadar air
suatu bahan pangan. Dalam metode ini bahan dipanaskan pada suhu tertentu
sehingga semua air menguap yang ditunjukkan oleh berat konstan bahan setelah
periode pemanasan tertentu. Kehilangan berat bahan yang terjadi menunjukkan
jumlah air yang terkandung. Metode ini terutama digunakan untuk bahan-bahan
yang stabil terhadap pemanasan tinggi (Siallagan, 2014).

15 Universitas Sriwijaya
16

Pada proses pengeringan ini, angin berfungsi untuk memindahkan uap air
yang terlepas dari ikan, dari atas ikan ke tempat lain sehingga penguapan
berlangsung lebih cepat. Tanpa adanya pergerakan udara, misalnya jika
penjemuran ditempat tertutup (tanpa adanya hembusan angin), pengeringan akan
berjalan lambat. Selain tiupan angin, pengeringan alami juga dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari pada saat penjemuran berlangsung. Makin tinggi
intensitasnya maka proses pengeringan akan semakin cepat berlangsung
begitupun sebaliknya. Dengan mengatur panas, kelembaban, dan kadar air, oven
dapat digunakan sebagai dehydrator. Waktu yang diperlukan adalah sekitar 5-12
jam. Lebih lama dari dehydrator biasa. Agar bahan menjadi kering, temperatur
oven harus di atas 140o derajat Fahrenheit. Kelebihan pengeringan buatan adalah
suhu dan kecepatan proses pengeringan dapat diatur seuai keinginan, tidak
terpengaruh cuaca, sanitisi dan higiene dapat dikendalikan. Kelemahan
pengeringan buatan adalah memerlukan keterampilan dan peralatan khusus, serta
biaya lebih tinggi dibanding pengeringan alami (Rahmawati, 2015)

2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggaraman


Kecepatan proses penyerapan garam kedalan tubuh ikan dipengaruhi oleh
beberapafaktor yaitu esegaran tubuh ikan, semakin segar ikan, maka proses
penyerapan garamkedalam tubuh ikan akan semakin lambat. Kandungan lemak,
lemak akan menghalangi masuknya garam kedalam tubuh ikan,sehingga ikan
yang kandungan lemaknya tinggi akan mengalamipenyerapan garam yang lambat.
Ketebalan daging ikan semakin tebal daging ikan maka proses
penggaramansemakin lambat. Kehalusan kristal garam, garam yang halus akan
lebih cepat larut dan meresapkedalam tubuh ikan. Tetapi penyerapan yang terlalu
cepat akan mengakibatkanpermukaan daging cepat mengeras (Salt burn) dan ini
akan menghambatkeluarnya kandungan air dari bagian dalam tubuh ikan. Suhu,
semakin tinggi suhu larutan, maka viskositas larutan garam semakin kecilsehingga
proses penyerapan akan semakin mudah (Rahmawati, 2015)
Garam memberi sejumlah pengaruh bila ditambahkan pada jaringan tumbuh-
tumbuhan yang segar. Garam akan berperan sebagai penghambat selektif pada
mikroorganisme pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik

16 Universitas Sriwijaya
17

dan pembentuk spora adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar
garam yang rendah sekalipun (yaitu sampai 6%). Mikroorganisme patogen
termasuk Clostridium botulinum kecuali Streptococcus aureus dapat dihambat
oleh konsentrasi garam sampai 10 – 12%. Beberapa mikroorganisme terutama
jenis Leuconostoc dan Lactobacillus dapat tumbuh dengan cepat dengan adanya
garam. Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan sehingga dapat
mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme seperti
bakteri halofilik (bakteri yang tahan hidup pada konsentrasi garam yang tinggi)
dapat tumbuh dalam larutan garam yang hampir jenuh, tetapi membutuhkan
waktu penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya akan terjadi
pembusukan (Aristanti, 2015).
Faktor yang mempengaruhi proses penggaraman diantaranya adalah
konsentrasi garam, semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin
cepat proses masuknya garam ke dalam daging ikan. Akan lebih baik apabila
digunakan garam kristal untuk mengasinkan. Faktor yang kedua adalah jenis
garam, garam dapur murni (NaCl 95%) lebih mudah diserap dan menghasilkan
ikan asin dengan kualitas yang lebih baik. Garam rakyat mengandung unsur-unsur
lain (Mg, Ca, senyawa sulfat), kotoran, bakteri dan lain-lain yang dapat
menghambat penetrasi garam dan merusak rasa ikan. Faktor yang ketiga adalah
ketebalan daging ikan, semakin tebal daging ikan, proses pengasinan akan
membutuhkan waktu yang semakin lama dan garam yang lebih banyak. Sehingga
ikan-ikan besar biasanya dikeping atau diiris tipis sebelum diasinkan. Faktor yang
keempat adalah kadar lemak dalam daging, Semakin tinggi kadar lemak yang
terdapat dalam tubuh ikan, semakin lambat penetrasi garam ke dalam tubuh ikan.
Faktor yang kelima adalah kesegaran daging ikan, ikan yang kurang segar
memiliki daging yang lebih lunak dan cairan tubuh yang mudah keluar, sehingga
proses pengasinan bisa lebih cepat. Namun juga garam yang masuk terlalu banyak
sehingga ikan menjadi terlalu asin dan kaku (Rahmawati, 2015).

2.7. SNI Ikan Asin


Berdasarkan SNI 01-2721-1992 kan asin kering dapat didefenisikan sebagai
suatu produk olahan ikan dengan cara penggaraman dan pengeringan dalam

17 Universitas Sriwijaya
18

bentuk utuh atau disiangi atau berupa potongan. Diangkat dari Standar Pertanian
Indonesia – Perikanan SPI-KAN-02-03-1983 dan Standar Perdagangan SP-175-
1985 dengan perubahan format sesuai dengan pedoman penulisan Standar
Nasional Indonesia (SNI), tanpa perubahan pada isi pokok standar tersebut.
Standar ini disusun mengingat produk ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia dan diekspor, sedangkan ikan asin kering masih diolah dengan cara dan
peralatan yang sederhana, serta tidak selalu memenuhi persyaratan teknis, sanitasi,
dan higiene. Penyusunan standar ini berdasarkan hasil survey di beberapa daerah
penghasil ikan asin kering, seperti: DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat, Sumatera Utara, hasil uji coba laboratorium Balai Bimbingan dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP) Ditjen Perikanan, Laboratorium
Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Dinas Perikanan
Daerah dan hasil konsensus dengan pihak yang terkait yang diselenggarakan oleh
Komisi Standarisasi Pertanian Indonesia (Roliz, 2017).
SNI 01-2721-1992 Standar ini berlaku untuk ikan yang digarami dan
dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering mekanik baik dalam bentuk
utuh, disiangi atau berupa potongan. Standar ini tidak berlaku untuk produk yang
mengalami pengolahan lebih lanjut. Ikan asin kering suatu produk olahan ikan
dengan cara penggaraman dan pengeringan dalam bentuk utuh atau disiangi atau
berupa potongan. Standar ini mempunyai 1 (satu) tingkatan mutu. Cara
pembuatan/pengolahan ikan asin kering yang dimaksudkan dalam standar ini
harus sesuai dengan SPI-KAN-SPP-1989. Bahan baku ikan asin kering harus
memenuhi syarat kesegaran, kebersihan dan kesehatan sesuai dengan SPI-KAN-
01-1989. Bahan pembantu dan tambahan yang dipakai harus tidak merusak,
mengubah komposisi dan sifat khas ikan asin kering dan harus sesuai dengan
persyaratan yang berlaku di Depkes R.I (Nurdiana, 2016).

18 Universitas Sriwijaya
19

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Dasar-Dasar Teknologi dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 21
Febuari 2019 pada pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai, bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Hail Perikanan Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

3.2. Alat dan Bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum Penggaraman dan
Pengeringan adalah Ikan salem (Scomber javanicus), ikan nila (Oreochromis
niloticus), ikan sepat (Trichogaster leeri), ikan betok (Anabas testudineus), ikan
sarden (Sardinella lemuru), ikan lele (Clarias batracus), garam, baskom, pisau,
dan alat-alat tulis.

3.3. Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini sebagai berikut.
Penggaraman Kering
1. Belah ikan dari arah dorsal bagian belakang (anal) sehingga membentuk
belahan seperti kupu-kupu.
2. Buang isi perut (jeroan) serta insangnya dan garami ikan terebut sesuai
dengan keolmpok perlakuan, yaitu 5%, 10%, dan 15%. Caranya dengan
ditaburi secara merata pada ikan sesuai kelompok perlakuan dan masukkan ke
dalam baskom.
3. Keluarkan ikan-ikan tersebut dari baskom dan masukkan dalam desikator.
Penggaraman Basah :
1. Belah ikan dari arah dorsal bagian belakang (anal) sehingga membentuk
belahan seperti kupu-kupu.
2. Buang isi perut (jeroan) serta insangnya dan garami ikan terebut sesuai
dengan keolmpok perlakuan, yaitu 5%, 10%, dan 15%. Caranya dengan
membuat larutan garam terlebih dahulu. Perlakuan masing-masing, buat

19 Universitas Sriwijaya
20

sebaanyak 1000 ml atau 1 liter. Masukkan ikan tersebut kedalam larutan


garam dan biarkan selam 60 menit atau 1 jam.
3. Angkat dan tiriskan ikan tersebut, selanjutnya lakukan dalam desikator
dengan menggunakan wadah nampan sampai kering.

20 Universitas Sriwijaya
21

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Adapun hasil dari praktikum ini adalahsebagai berikut:
Tabel 4.1.2. Hasil organoleptik penggaraman dan pengeringan
Spesifikasi Nilai Kelompok
1 2 3 4 5 6 7
B K B K B K B K B K B K B K
Kemampuan 4 - - - 2 - - - - - 2 - 3 -
Bau 4 - - - 1 - - - - - 1 - 2 -
Rasa 5 - - - 1 - - - - - 2 - 2 -
Tekstur 5 - - - 2 - - - - - 2 - 3 -
Jamur ( ada) - - - - - - - - - - - - - -
Jamur
(tidak ada)

Keterangan:
1 = Sangat suka
2 = Suka
3 = Cukup suka
4 = Tidak suka
5 = Sangat tidak suka

21 Universitas Sriwijaya
22

4.2. Pembahasan
Pada praktikum kami melakukan penggaraman pada ikan segar yang mana
kelompok kami dapat melakukan perlakuan terhadap ikan betok (Anabas
testudineus). Seperti yang telah kita ketahui bahwa garam bersifat higroskopis
yang dimana kinerja dari garam tersebut saaat dilumuri diseluruh permukaan
tubuh ikan yakni dengan garam tersebut menarik keluar air dari dalam tubuh ikan
atau dapat dikatakan garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu garam juga
menyerap cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu
karena kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan
menyebabkan kematian.
Hal yang pertama dilakukan saat praktikum adalah menimbang berat garam
sesuai perlakuan, dimana diuji untuk ikan pertama dengan persentasi garam 10%
dan ikan kedua dengan garam sebesar 15%. Praktikum dilaksanakan yang
selanjutnya menyiangi atau membersihkan bagian dalam tubuh ikan baik itu
jeroan ataupun insang dengan dilanjutkan membelah tubuh ikan menjadi dua
dengan bentuk butterfly, setelah itu ikan dicuci bersih lalu dilumuri dengan garam
yang konsentrasi dan persenya telah ditentukan sebelunya. Penggunaan garam
yakni menggunakan garam halus, garam dapat terserap kedalam tubuh ikan dan
menarik keluar air dari dalam tubuh ikan tersebut.
Setelah penggaraman dilanjutkan dengan pengeringanikan tersebut selama
satu sampai dua hari. Ikan yang digarami dan dikeringkan menjadi awet karena
garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab kebusukan. Selain itu
dengan dilakukannnya pengeringan kadar air dalam ikan yang menjadi faktor
dasar pertumbuhan bakteri semakin kecil sehingga proses pengawetan dapat lebih
sempurna. Saat uji organoleptik mengenai produk ikan asin yang telah jadi,
dimana ikan asin yang kering dengan penggaraman yang sempurna yakni ikan
betok dengan rasa dan aroma yang pas. Akan tetapi kelompok kami yaitu
kelompok dua tidak bisa melakukan uji organoleptik dikarenakan ikan betok yang
telah dilakukan penggaraman tidak ada (dimakan kucing), karena salah satu
anggota kelompok kami yang membawa ikan yang telah dilakukan penggaraman
tersebut tidak mengawasinya, ditinggal didalam kosan untuk pulang kampung.
Jadi tanpa sepengetahuan ikan hasil penggaraman dimakan kucing.

22 Universitas Sriwijaya
23

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil yaitu sebagai berikut.
1. Garam berfungsi untuk menarik air keluar dari dalam tubuh ikan
2. Garam yang baik untuk penggaraman yakni garam yang sedikit mengandung
Ca dan Mg.
3. Setiap bahan pangan yang mengalami pengeringan akan mengalami
penurunan berat, karena adanya penguapan pada bahan pangan saat
pengeringan dan yang tersisa hanya padatan dan air yang terikat.
4. Akan terjadi perubahan warna pada bahan pangan setelah proses pengeringan,
hal ini dikarenakan adanya reaksi-reaksi non-enzimatik.
5. Faktor yang mempengaruhi proses pengeringan antara lain suhu, luas
permukaan bahan, ukuran, kadar lemak, dan metode yang digunakan.

5.2. Saran
Dalam pelaksanaan praktikum, sebaiknya lebih teliti lagi dalam setiap metode
yang dilakukan, supaya hasilnya bisa sesuai dengan yang diharapkan. Keadaan
laboratorium alat-alat yang digunakan dan praktikan juga harus diperhatikan,
untuk mengurangi adanya kontaminasi dari luar (udara).

23 Universitas Sriwijaya
24

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat
baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan dengan produk
lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya untuk
dicerna. Ikan dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu ikan air laut, air tawar,
dan air payau atau tambak. Pada dasarnya penanganan dan pengolahan ikan
bertujuan untuk mencegah kerusakan atau pembusukandan untuk membuat suatu
produk yang bertahan lebih lama. Upaya untuk memperpanjang daya tahan
simpan ikan segar adalah melalui penyimpanan dalam lemari pendingin atau
pembeku, yang mampu menghambat aktivitas mikroba atau enzim dan dengan
membuat suatu produk makanan yang lebih tahan lama (Simorangkir, 2014)
Peda merupakan salah satu produk olahan tradisional yang dibuat dengan cara
fermentasi. Fermentasi adalah proses penguraian daging ikan oleh enzim yang
akan memberikan hasil yang menguntungkan. Proses fermentasi serupa dengan
pembusukan, tetapi fermentasi ini menghasilkan zat-zat yang memberikan rasa
dan aroma yang spesifik. Terjadinya fermentasi memerlukan syarat-syarat sebagai
berikut : Suasana lembab, Adanya oksigen dalam jumlah terbatas semi aerob
danAdanya garam. Ikan peda adalah salah satu hasil olahan ikan yang diolah
secara fermentasi bergaram. Ikan peda ini dibuat dari ikan betok. Fermentasi ini
dilakukan oleh bakteri asam cuka (acetobacter aceti) dengan substrat etanol. .
Daya yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari daya yang dihasilkan oleh fermentasi
alkohol secara anaerob. lkan peda dibuat secara bertahap yaitu pertama melalui
proses penggaraman dan dilanjutkan dengan proses fermentasi untuk
pembentukan bau yang spesifik pada ikan itu sendiri yang bertujuan membuat bau
khas (Simorangkir, 2014).

1.2. Tujuan
untuk mengetahuipengaruh penambahan berbagai macam konsentrasi garam
terhadap mutu ikan peda yang dihasilkan serta mengetahui metode fermentasi.

24 Universitas Sriwijaya
25

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan morfologi ikan sarden


Klasifikasi ikan sarden menurut (Simorangkir, 2014) adalah sebagai berikut:
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Actinopterygii
ordo : Clupeiformes
famili : Clupeidae
genus : Sardinella
spesies : Sardinella lemuru

Gambar 2.1.3 ikan sarden (Sardinella lemuru)


Ikan Sardinella sp merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili
Clupeidae yang lebih umum dikenal sebagai ikan herring. Famili Clupeidae
terdiri atas 160 spesies dan 50 genus. Kebanyakan hidup di laut tropis, tetapi ada
yang hidup di air tawar dan ada pula yang bersifat anadromus, artinya menuju
sumber air tawar untuk memijiah, sedangkan sejak juvenile menuju ke laut.
Beberapa spesies dari famili ini dapat cepat tumbuh dari umurnya ±3 tahun.
Family Clupeidae memiliki ciri-ciri bersirip punggung tambahan yang seperti
kulit, berbecak-becak yang bercahaya, tidak bertulang dahi belakang, sirip dada
kadang-kadang tidak sempurna atau tidak ada, sirip perut mungkin saja tidak ada,
jika sirip dada ada, sirip perut mungkin sempurna. Pada siang hari, kelompok ikan
ini dekat dasar perairan sementara ketika malam hari kelompok ikan ini bergerak
mendekati permukaan air dengan kelompok-kelompok yang terpisah. Terkadang

25 Universitas Sriwijaya
26

saat siang hari ketika cuaca mendung ikan ini muncul pula berkelompok di dekat
permukaan air. Penangkapan ikan ini biasanya dilakukan pada saat malam hari
ketika mendekati permukaan air dibantu dengan cahaya lampu. Jumlah yang besar
banyak terdapat di perairan pantai terutama pada saat terjadi upwelling di waktu
tertentu, banyak ditemukan di perairan teluk dan laguna (Simorangkir, 2014).

2.2. Jenis-jenis fermentasi


Fermentasi ialah suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja sudah
dalam kondisi terisolasi yakni dipisahkan dari selnya atau masih dalam kondisi
terikat di dalam sel. Pada beberapa proses fermentasi yang memanfaatkan sel
mikroba, reaksi enzim mungkin berlangsung seutuhnya di dalam sel mikroba
karena enzim yang bekerja bersifat intraselular. Pada proses lainnya reaksi enzim
berlangsung di luar sel karena enzim yang bekerja bersifat ekstraselule.
Fermentasi alkohol adalah suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi etanol (etil
alkohol) dan karbondioksida. organisme yang berperan adalah Saccharomyces
cerevisiae (permen) untuk produksi tape, roti atau minuman keras. Fermentasi
asam laktat fermentasi asam laktat ialah respirasi yang berlangsung pada sel
hewan atau orang, saat keperluan oksigen tidak tercukupi akibat bekerja terlalu
berat Di dalam sel otot asam laktat dapat menyebabkan indikasi kejang otot dan
keletihan. Laktat yang terhimpun sebagai produk kotoran dapat menyebabkan otot
lelah dan sakit, akan tetapi secara perlahan-lahan dibawa oleh darah ke hati untuk
diganti kembali menjadi piruvat. Fermentasi asam cuka adalah suatu contoh
fermentasi yang terjadi dalam kondisi aerob. Fermentasi ini dilakukan oleh bakteri
asam cuka (acetobacter aceti) dengan substrat etanol (Nurdiana, 2016)

2.3. faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi


Fermentasi adalah suatu cara yang digunakan untuk mengwetkan bahan
pangan. Fermentasi dapat terjadi karena adanya sebuah aktivitas mikroba yang
menyebabkan fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya sebuah
fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat
dari pemecahan kandungan-kandungan bahan pangan (Winarno, 1980).

26 Universitas Sriwijaya
27

Hasil dari fermentasi terutama tergantung pada berbagai faktor, yaitu jenis
bahan pangan (substrat), macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang
mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. Mikroba yang
bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunan-turunannya terutama
menjadi alkohol, asam dan CO2. Mikroba proteolitik dapat memecah protein dan
komponen-komponen nitrogen lainnya sehingga menghasilkan bau busuk yang
tidak diinginikan sedangkan mikroba lipolitik akan memecah atau menghidrolisa
lemak, fosfolipida dan turunannya dengan menghasilkan bau yang tengik. Bila
alkohol dan asam yang dihasilkan oleh mikroba fermentatif cukup tinggi maka
pertumbuhan mikroba proteolitik dan lipolitik dapat dihambat. Prinsip fermentasi
sebenarnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroba
pembentuk alkohol dan asam, dan menekan pertumbuhan mikroba proteolitik dan
lipolitik. Faktor- faktor yang mempengaruhi fermentasi yaitu jumlah mikroba,
lama fermentasi, pH (keasaman), substrat (medium), suhu, alkohol, oksigen,
garam dan air (Hadioetomo, 1990).

2.4. Produk-produk fermentasi


Fermentasi merupakan contoh bioteknologi dalam proses pengubahan bahan
organik menjadi bentuk lain yang lebih berguna dengan bantuan mikroorganisme
secara terkontrol. Mikroorganisme yang terlibat diantaranya adalah bakteri,
protozoa, jamur (fungi) atau kapang da ragi (yeast). Untuk menghasilkan produk
suatu fermentasi tertentu dibutuhkan kondisi fermentasi dan jenis mikroba dengan
karakteristik tertentu juga. Oleh karena itu diperlukan keadaan lingkungan,
substrat (media), serta perlakuan (treatment) yang sesuai sehingga produk yang
dihasilkan menjadi maksimal (Surya, 2008).

2.4.1. Peda
Peda merupakan salah satu produk hasil fermentasi ikan yang dilakukan
secara tradisional karena tidak memerlukan peralatan yang canggih. Peda
digolongkan sebagai ikan asin basah. Pada proses pembuatannya, ikan peda
sengaja dibiarkan setengah kering sehingga proses fermentasi dan autolisis tetap
berlangsung.Pada proses fermentasi peda terjadi penguraian senyawa protein

27 Universitas Sriwijaya
28

kompleks yang terdapat pada tubuh ikan menjadi senyawa yang lebih sederhana
dengan bantuan enzim yang berasal dari tubuh ikan sendiri atau dari
mikroorganisme yang berlangsung dalam kondisi terkontrol (Puspa, 2005).
Penambahan garam dilakukan pada proses fermentasi. Garam berfungsi
untuk menciptakan kondisi terkontrol sehingga bakteri pembusuk
pertumbuhannya terhambat sedangkan ragi atau jamur dibiarkan tumbuh pesat.
Pada proses selanjutnya peran garam adalah sebagai pengawet, terutama saat
penyimpanan. Ikan peda terdiri dari dua jenis yaitu ikan peda putih dan merah
(warnanya kecoklat-coklatan) (Chintya, 2004).

2.4.2. Terasi
Terasi adalah salah satu produk hasil fermentasi ikan atau udang yang
hanya mengalami perlakuan penggaraman (tanpa diikuti dengan penambahan
warna), Kemudian dibiarkanabeberapasaat agar terjadi proses fermentasi. Dalam
pembuatan terasi, proses fermentasi dapat berlangsung karena adanya aktivitas
enzim yang berasal dari tubuh ikan (atau udang) itu sendiri. Fermentasi adalah
suatu proses penguraian senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim atau
fermen yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau dari mikroorganisme dan
berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol. Proses penguraian ini
dapat berlangsung dengan atau tanpa aktivitas mikroorganisme, terutama dari
golongan jamur dan ragi (Surya, 2008).
Prinsip dari fermentasi ikan atau udang adalah fermentasi didalam larutan
garam atau dengan penambahan garam kristal sehingga terbentuk flavour yang
masih enak atau falvouryang menyerupai daging. Proses dari fermentasi dari
substrat tidak diharapkan sempurnadalam pembuatan bagoong (terasi) karena
produk harus mengandung protein yang terhidrolisis atau tanap hidrolisis. Salah
satu perubahan selama fermentasi yang diharapkan adalah liquid fiksi. Setelah
proses penggaraman, cairan dari dalam ikan (udang) terekstrak keluar. Kandungan
nitrogen pada cairan mula-mula rendah tapi setelah disimpan beberapa hari,
yaituselama proses fermentasi menyebabkan terjadinya proses hidrolisis protein
sehingga kandungan nitrogen terlarut naik. Bila menggunakan garam yang kurang
murni meneyababkan pengerasan jaringan, sehingga memperlambat penetrasi

28 Universitas Sriwijaya
29

garam kedalam jaringan ikat (udang). Dengan menggunakan garam murni bakteri
halofil dapat tumbuh baik sehingga terbentuk flavour yang enak. Pada suhu
fermentasi yang tinggi 55ºC dapat mempercepat proses hidrolisis. Tetapi setelah 1
minggu fermentasi kandungan protein terlarut dalam cairab lebih tinggi bila
fermentasinya dilakukan pada suhu 45ºC . Suhu optimal untuk fermentasi adalah
1-2 minggu (Dwitya, 2015).

2.4.3. Rusip
Rusip berupa awetan ikan laut yang berukuran kecil terutama  berbahan
baku ikan teri yang diolah dengan cara fermentasi dengan penambahan garam dan
gula aren dalam jumlah tertentu. Rusip merupakan produk fermentasi ikan yang
dibuat dengan penambahan garam antara 20-30% dan penambahan gula aren
sekitar 10%, kemudian difermentasi selama kurang lebih satu minggu secara
anaerob. Umumnya, ikan yang dijadikan bahan baku pembuatan rusip adalah ikan
rucah yang berukuran kecil dan salah satunya adalah ikan teri (Stolephorus sp).
Rusip dapat dikonsumsi secara langsung ataupun dengan penambahan  bumbu-
bumbu tertentu untuk meningkatkan daya terimanya, seperti irisan  bawang
merah, cabai, dan perasan jeruk kunci (Surya, 2008).
Rusip bisa disantap langsung atau juga dimasak terlebih dahulu sesuai
selera penikmatnya. Rusip biasanya disajikan dengan mencampurkannya dengan
irisan bawang merah dan cabe rawit serta bisa ditambahkan perasan jeruk kunci.
Jeruk kunci digunakan tidak hanya untuk menetralkan bau khas dari ikan saja,
namun juga bisa menambah cita rasa pada rusip. Rusip dimakan sebagai cocolan
lauk atau lalapan yang kenikmatan akan lebih terasa jika dimakan dengan nasi
hangat. Tidak hanya enak, rusip juga menyimpan banyak manfaat. Di dalam rusip
terkandung asam amino dan asam laktat yang tinggi sehingga bermanfaat untuk
sistem pencernaan dan dapat membantu untuk membuat awet muda. Untuk
kesehatan pencernaan, bakteri asam laktat (probiotik menjadi proSIP) yang
terkandung di dalam rusip bersifat anti asam dan garam empedu sehingga mampu
bertahan di dalam saluran pencernaan manusia. Hal ini akan menyeimbangkan
jumlah bakteri baik dan bakteri jahat pada saluran pencernaan. Rusif sangat

29 Universitas Sriwijaya
30

digemari oleh masyarakat Bangka dikarenakan rusif merupakan makanan khas


dari daerah tersebut (Dwitya, 2015).

2.4.4. Bekasam
Fermentasi pada bekasam dilakukan secara tradisional dengan
memanfaatkan fermentasi alami atau spontan. Proses fermentasi tidak hanya
dilakukan dengan menambahkan garam pada bahan, melainkan dilakukan pula
penambahan nasi sebagai sumber karbohidrat untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Karbohidrat akan diurai menjadi gula sederhana oleh
mikroorganisme, kemudian akan diubah menjadi asam laktat, etanol, asam asetat,
asam format, dan CO2. Hasil fermentasi inilah yang akan memberikan rasa dan
aroma khas bekasam. Sebelum dikonsumsi, bekasam dimasak terlebih dahulu dan
kemudian disantap sebagai lauk untuk menyantap nasi. Umumnya, pembuatan
bekasam secara tradisional diawali dengan pembersihan ikan dari sisik dan isi
perut, kemudian dilakukan pencucian ikan dengan air mengalir untuk
menghilangkan kotoran dan darah apabila masih ada yang menempel. Kemudian
ditempatkan dalam toples dan dicampur garam serta nasi (Zubaidah, 2014).
Selanjutnya toples ditutup dan disesuaikan agar rongga udara antara tutup
dengan ikan yang akan difermentasi hanya tersisa sedikit rongga saja. Hal ini
disebabkan bakteri asam laktat yang diharapkan memfermentasi ikan dapat
tumbuh pada kondisi sedikit oksigen. Selanjutnya toples dibiarkan selama 7 hari
pada suhu ruang untuk memberikan kesempatan terjadinya fermentasi secara
alami atau spontan. Beberapa wilayah ada yang menambahkan garam dan nasi
secara terpisah. Di awali dengan menambahkan garam pada ikan yang sudah
dibersihkan kemudian didiamkan dalam toples semalaman dan selanjutnya
dilakukan penambahan nasi dan dibiarkan tertutup dalam toples selama 7 hari.
Kini, pembuatan bekasam dapat juga dilakukan secara moderen dengan cara
menambahkan kultur murni yang dapat memproduksi asam laktat seperti L.
acidophilus. Penambahan kultur murni dilakukan dengan cara melarutkannya
dalam air dan es batu sehingga siap untuk dijadikan sebagai larutan rendaman
ikan. Proses selanjutnya sama persis dengan proses pada pembuatan bekasam
secara tradisional, yaitu ikan yang sudah direndam pada larutan kultur murni

30 Universitas Sriwijaya
31

kemudian ditiriskan dan ditempatkan dalam wadah dengan ditambahkan garam


dan nasi serta dibiarkan selama 7 hari. Kelebihan adanya tahap penambahan
kultur murni adalah memastikan bahwa proses fermentasi pada ikan dapat terjadi
dan bakteri atau mikroorganisme yang tumbuh selama fermentasi lebih spesifik.
Banyak sedikitnya kultur murni yang ditambahkan pada ikan dapat
mempengaruhi kandungan lovastatin pada bekasam. Lovastatin merupakan zat
gizi pada bekasam yang bermanfaat sebagai penurun kolesterol. Hal ini
disebabkan selain bakteri asam laktat, dimungkinkan adanya pertumbuhan
mikroorganisme lain yang dapat menghasilkan metabolit sekunder lovastatin
selama fermentasi. Mikroorganisme pada fermentasi bekasam yang dapat
menghasilkan lovastatin antara lain adalah Aspergillus terreus dan Monascus
purpureus (Zubaidah, 2014).

2.4.5. Kecap Ikan


Kecap  merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan
dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam dan bumbu untuk meningkatkan cita
rasa makanan. Untuk mengambil sari-sari kedelai pada proses pembuatan kecap
diperlukan teknik pemecahan atau perombakan zat-zat yang terdapat dalam kedelai
dengan proses fermentasi. Kecap adalah ekstrak dari fermentasi kedelai yang
dicampurkan dengan bahan-bahan lain yang digunakan untuk meningkatkan
flavor dari makanan. Karakteristik pembentukan flavor dan aroma pada kecap
tergantung pada cara produksi kecap dan juga bahan baku serta strain mikroorganisme yang
digunakan. Kecap Ikan adalah cairan yang diperoleh dari fermentasi ikan dengan garam.
Kecap ikan biasa digunakan sebagai bumbu untuk memasak. Keunikan karakteristik
kecap ikan adalah rasanya yang asin dan berbau ikan (Dwitya, 2015).
Kecap ikan (fish sauce) dapat didefenisikan sebagai sebuah cairan yang
diperoleh dari fermentasi ikan dengan garam. Kecap ikan biasanya digunakan
sebagai bumbu untuk memasak, pencelupan seafood, dan makanan orang Timur,
dibuat oleh nelayan sepanjang negara Asean. Nama kecap ikan di negara-negara
Asean juga berbeda. Keunikan karakteristik kecap ikan adalah rasanya yang asin
dan berbau ikan. Selama proses fermentasi terjadi hidrolisis jaringan ikan oleh
enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Peran enzim-enzim ini adalah

31 Universitas Sriwijaya
32

sebagai pemecah ikatan polipeptida-polipeptida menjadi ikatan yang lebih


sederhana. Mikroorganisme yang berkembang selama fermentasi ikan tidak
diketahui sepenuhnya. Walaupun demikian diperkirakan jenis-jenis bakteri asam
laktat seperti Laucosotic mesenterides, Pediococccus
cerevisiae dan Lactobacillus plantarum berkembang. Beberapa jenis khamir juga
ikut berkembang didalam proses fermentasi. Proses penggaraman pada
pengolahan ikan secara tradisional akan menyebabkan hilangnya protein ikan
sebesar 5% tergantung pada kadar garam dan lama penggaraman, untuk itu
dianjurkan garam yang ditambahkan tidak melebihi 40 bagian dari berat ikan
(Dwitya, 2015).
Pemasakan pada 95-100℃ dapat mereduksi kecernaan protein dan asam
amino. Selain itu, protein terlarut, peptida dengan berat molekul rendah, dan asam
amino bebas dapat larut dalam air perebus, sehingga perebusan sebaiknya
dilakukan di bawah 100℃. Pemanasan yang berlebihan (di atas 90℃ secara
berulang-ulang) dapat menyebabkan pembentukan H2S yang merusak aroma dan
mereduksi ketersediaan sistem dalam produk. Selain itu, pemanasan juga
menyebabkan reaksi Maillard antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang
membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat yang menurunkan nilai
kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein,
peptida, dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi ini dapat
menurunkan nilai gizi protein ikan dengan menurunkan nilai cerna dan
ketersediaan asam amino, terutama lisin. Proses pengolahan kecap ikan adalah
dengan menggarami ikan yang telah dihaluskan, kemudian disimpan dalam wadah
yang tertutup rapat selama 3 sampai beberapa bulan. Cairan yang dihasilkan
disaring dan dikemas dalam botol steril yang dipasteurisasi (Surya, 2008).

32 Universitas Sriwijaya
33

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Tempat dan waktu


Praktikum dasar-dasar teknologi dilaksanakan di laboratorium mikrobiologi
dan bioteknologi hasil perikanan, pada hari kamis tanggal 28 februari 2019.

3.2. Alat dan bahan


Bahan yang digunakan antara lain ikan kembung (Rastariger canagurta),
sarden (Sardinella lemuru), tawes (Puntius javanicus), mujair (Oreochormis
mosambicus), mas (Ciprinus carpio) dan salem (Scomber javanicus) yang
masing-masing 4 ekor dan garam halus. Sedangkan alat yang digunakan baskom,
pisau, toples dan plastik.

3.3. Cara Kerja


Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum fermentasi peda adalah sebagai
berikut:
1. Ikan yang akan diolah menjadi ikan peda dipilih dan disortir menurut jenis,
ukuran, dan tingkat kesegaran.
2. Ikan disiangi dan dicuci bersih di bawah air mengalir.
3. Ikan yang telah dicuci ditiriskan, kemudian ditimbang.
4. Ikan disusun dalam wadah secara berlapis.
5. Taburi lapisan ikan dengan garam sebanyak 20%
6. Tutup wadah dan biarkan selama 1 minggu.
7. Keluarkan ikan dari wadah penggaraman, bersihkan ikan dari garam yang
menempel.
8. Jemur ikan sambil dibolak-balik selama 2 jam.Masukkan ke dalam wadah
yang bersih, tutup kembali, dan biarkan selama 1 minggu.
9. Jemur ikan peda yang telah difermentasi selama 6 jam.
10. Lakukan pengamatan terhadap perubahan ikan pada setiap tahapnya.
11. Catat setiap perubahan yang terjadi, timbang ikan peda yang dihasilkan.

33 Universitas Sriwijaya
34

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Adapun hasil yang didapatkan dari praktikum fermentasi peda adalah
sebagai berikut.
4.1.3. Tabel Hasil Pengamatan organoleptik ikan peda
No Jenis Ikan Pengamatan
Penampakan Bau Konsisstensi Rasa
20% 30% 20% 30% 20% 30% 20% 30%
1. Ikan Kembung 8 8 8 8 9 9 8 8
2. Ikan Sarden 8 8 8 8 8 8 8 8
3. Ikan Tawes 8 8 8 8 8 8 8 8
4. Ikan Mujair 8 8 6 8 8 8 8 8
5. Ikan Kembung 9 9 9 9 9 9 9 9
6. Ikan Selar 0 0 0 0 0 0 0 0
7. Ikan Tawes 0 0 0 0 0 0 0 0

34 Universitas Sriwijaya
35

4.2. Pembahasan
Pada Praktikum fermentasi peda kali ini kami melakukan pengamatan dan
pembuatan peda dari ikan sarden (Sardinella lemuru). Ikan sarden (Sardinella
lemuru) yang digunakan adalah sebanyak 4 ekor, ikan sarden (Sardinella lemuru)
yang telah dibersihkan kemudian diberi taburan garam masing-masing dengan
konsentrasi 20% sebanyak 2 ekor dan 30% sebanyak 2 ekor. Pengamatan yang
dilakukan selama kurang lebih 2 pekan ini mendapatkan hasil yang berbeda-beda.
Adapun pada ikan sarden (Sardinella lemuru) yang diberi konsentrasi kadar
garam sebanyak 20% menunjukkan kenampakan yang masih sangat baik pada
hari ke 6. Ikan sarden (Sardinella lemuru) tersebut dapat memberikan
kenampakan yang baik karena ikan sarden (Sardinella lemuru) kami simpan dan
kami jaga pada suhu yang sesuai meskipun ikan sarden (Sardinella lemuru)
mengeluarkan bau yang tidak sedap dan sangat menyengat namun ikan sarden
(Sardinella lemuru) tidak memberikan adanya tanda-tanda pembusukan seperti
ikan sarden (Sardinella lemuru) yang ditumbuhi ulat dan sebagainya. Peristiwa
tersebut hampir sama dengan fermentasi peda ikan sarden (Sardinella lemuru)
dengan kadar konsentrasi garam sebanyak 30% yang pada hari ke enam hasilnya
masih segar dan baik meskipun mengeluarkan bau busuk sangat menyengat dan
tidak sedap namun ikan sarden (Sardinella lemuru) tidak menunjukkan adanya
kemunduran mutu ikan dan pembusukan yang terjadi didalamnya.
Pada pengamatan pada pecan kedua, hasil yang didapatkan pada
pengamatan yaitu masih sama seperti pengamatan pada pecan awal. Peristiwa ini
dikarenakan ikan sarden (Sardinella lemuru) tetap disimpan dan si letakkan pada
suhu yang sesuai serta terjaga dari tingkat steril yang sesuai. Pada ikan sarden
(Sardinella lemuru) dengan kadar konsentrasi garam sebanyak 20% menunjukkan
kenampakan yang sama yaitu memiliki bentuk dan tekstur daging yang padat dan
tidak mudah hancur. Bau ikan sarden (Sardinella lemuru) yang telah difermentasi
menimbulkan bau yang sangat menyengat dan kurang sedap, serta dagingnya
mengeluarkan cairan keruh yang ada pada daging. Daging ikan sarden (Sardinella
lemuru) juga berwarna keabu-abuan meskipun demikian ikan sarden (Sardinella

35 Universitas Sriwijaya
36

lemuru) hasil fermentasi tetap segar dan tidak busuk. Setelah ikan digoreng bau
yang tidak sedap tadi berubah menjadi lebih segar dan tekstur lebih baik.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum fermentasi peda adalah sebagai berikut.
1. Fermentasi ialah suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja sudah
dalam kondisi terisolasi yakni dipisahkan dari selnya atau masih dalam
kondisi terikat di dalam sel.
2. Ikan peda yang berhasil, pada tekstur dagingnya akan terlihat lebih kesat,
warnanya pucat, adanya bau peda yang tercium dan warnanya juga berubah
dari warna asalnya seperti warnanya jadi kecoklatan..
3. Keberhasilan fermentasi dapat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu derajat
keasaman (pH), Suhu, Waktu, dan Oksigen. Faktor yang pertama yaitu
derajat keasaman (pH).
4. Produk fermentasi diantaranya adalah Peda, Terasi, Rusip, Bekasam, dan
Kecap Ikan.
5. Ikan peda dapat didefenisikan sebagai salah satu hasil olahan ikan yang
diolah secara fermentasi bergaram.

5.2. Saran
Dalam pelaksanaan praktikum, sebaiknya lebih teliti lagi dalam setiap metode
yang dilakukan, supaya hasilnya bisa sesuai dengan yang diharapkan. Keadaan
laboratorium alat-alat yang digunakan dan praktikan juga harus diperhatikan.

36 Universitas Sriwijaya
37

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengasapan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mengawetkan produk makanan yang mengandung protein tinggi misalnya ikan,
daging dan keju. Produk pangan dengan proses pengasapan memiliki kelebihan
daya awet yang tinggi, rasa dan aroma yang ditimbulkan juga sangat sangat khas.
Daya awet yang ditimbulkan dari komponen asap cair karena adanya kandungan
yang bersifat antimikrobial dan antioksidan yaitu senyawa aldehid, asam
karboksilat dan fenol (Afrianto 1989).
Pengasapan menggunakan cara tradisional dengan cara pembakaran langsung,
memiliki beberapa kelemahan, yaitu kualitasproduk yang dihasilkan tidak
konsisten, terakumulasinya senyawa berbahaya misalnya tar dan benzopiren pada
produk, selain itu juga menyebabkan pencemaran udara, serta efisiensi
pengasapan sulit dikontrol. Metode untuk mengurangi kelemahan tersebut
dilakukan dengan cara menggunakan asap cair. Pengasapan asap cair memiliki
kelebihan yaitumudah diterapkan, flavor produk lebih seragam, lebih efisien
dalam penggunaan bahan pengasap dan senyawa karsinogenik berupa senyawa
aromatic polisiklik yang terbentuk dapat dieliminasi (Afrianto 1989).
Pengasapan dapat digunakan sebagai proses pengawetan karena asap yang
dihasilkan dari pembakaran kayu memiliki aktivitas anti bakteri. Selama proses
pengasapan akan terjadi reduksi air yang akan menghambat aktivitas enzimatis
pada ikan. Namun, senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (benzo α-piren) yang
terdapat pada asap bersifat karsinogenik, sehingga mengkonsumsi produk asap
dapat membahayakan kesehatan. Untuk mereduksi bahaya tersebut maka telah
dikembangkan asap cair. Penggunaan asap cair memiliki keuntungan yaitu dapat
dihasilkan produk dengan cita rasa yang diinginkan, komponen yang berbahaya
(senyawa tar dan benzopiren) dapat dikurangi dengan destilasi bertingkat, mudah
diterapkan pada masyarakat dan juga untuk mengurangi polusi udara. Pengasapan

37 Universitas Sriwijaya
38

tradisional akan menghasilkan produk dengan rasa dan aroma yang lebih spesifik
sebagai cirri khas dari ikan asap (Afrianto 1989).
1.2. Tujuan
Praktikum Pengasapan bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan
berbagai macam konsentrasi asap cair terhadap mutu ikan asap yang dihasilkan
serta mengetahui metode pembuatan ikan asap.

38 Universitas Sriwijaya
39

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Betok


Menurut Saanin, 1984 ikan nila ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
kingdom : Animalia
filum : Chordata
kelas : Osteichyes
ordo : Perciformes
famili : Anabantidae
genus : Anabas
spesies : Anabas Testudineus

Gambar 2.1.4 Ikan betok (Anabas testudineus)


Ikan betok adalah sejenis ikan air tawar yang hidup liar di kali, waduk dan
danau alam. Ikan betok jarang sekali dipelihara sebagai ikan piaraan. Ikan betok
termasuk ikan yang memiliki sifat sebagai ikan pemangsa atau karnivora. Ikan
betok memiliki nama lain yaitu ikan betik (jawa), ikan puyu (melayu) atau ikan
pepuyu (bahasa banjar) dan dalam bahasa Inggris, ikan ini memiliki nama
Climbing Gouramy karena kemampuan ikan betok yang bisa memanjat ke
daratan. Dalam bahasa latin ikan ini memiliki nama Anabas Testudineus. Sekilas
ikan ini mirip dengan ikan mujair dengan warna belang di sepanjang tubuhnya.
Ikan betok memiliki warna agak gelap dengan warna kuning di bagian bawah

39 Universitas Sriwijaya
40

tubuhnya garis – garis gelap melintang secara samar di permukaan kulitnya.ikan


betok memiliki ukuran tubuh yang tidak terlalu besar (Adawiyah, 2008).
2.2. Jenis-jenis Pengasapan
Pengasapan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengasapan panas (hot
smoking) dan pengasapan dingin (cold smoking ), namun dewasa ini seiring
dengan perkembangan jaman pengasapan juga bisa dilakukan dengan pengasapan
elektrik serta pengasapan cair atau liquid (Azrina 2012).
Pengasapan sebenarnya adalah suatu proses yang merupakan gabungan dari
penggaraman, pengeringan, dan pengasapan itu sendiri. Dengan penggaraman rasa
daging ikan menjadi lebih enak dan awet. Selain itu daging ikan semakin kompak
karena berkurangnya kadar air sehingga kegiatan mikroorganisme dapat dihambat.
Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air dan mendapatkan tekstur yang
baik. Proses pengasapan secara tradisional mempunyai kekurangan antara lain :
produk yang dihasilkan tidak seragam sehingga kenampakan menjadi tidak
menarik, kontrol suhu sulit dilakukan dan asapnya mencemari udara. Tujuan
pengasapan semula adalah baik, tetapi ternyata pengasapan dapat menghasilkan
senyawa-senyawa yang tidak aman bagi kesehatan. Beberapa senyawa bersifat
karsinogenik seperti benzo(a)pyrene terdapat dalam produk asap. Untuk
meningkatkan kualitas ikan asap, sudah dikembangkan pengasapan dengan asap
cair atau liquid smoke (Azrina 2012).

2.2.1. Pengasapan Panas


Pengasapan panas (hot smoking) adalah proses pengasapan ikan dimana
akan diasapi diletakkan cukup dekat dengan sumber asap.Suhu sekitar 70 –
100 oC, lamanya pengasapan 2–4  jam Pengasapan panas dengan mengunakan
suhu pengasapan yang cukup tinggi, yaitu 80-90oC. Karena suhunya tinggi, waktu
pengasapan pun lebih pendek, yaitu 3-8 jam dan bahkan ada yang hanya 2 jam.
Melalui suhu yang tinggi, daging ikan menjadi masak dan perlu diolah terlebih
dahulu sebelum disantap. Suhu pengasapan yang tinggi mengakibatkan enzim
menjadi tidak aktif sehingga dapat mencegah kebusukan. Proses pengawetan
tersebut  juga dikarenakan karena asap. Jika suhu yang digunakan 30-50oC maka

40 Universitas Sriwijaya
41

disebut pangasapan panas dengan suhu rendah dan jika suhu 50-90oC, maka
disebut pangasapan panas pada suhu tinggi (Adawyah, 2008).

2.2.2. Pengasapan Dingin


Pengasapan dingin (cold smoking) adalah proses pengasapan dengan cara
meletakkan ikan yang akan diasap agak  jauh dari sumber asap (tempat
pembakaran kayu), dengan suhu sekitar 40  –50oC dengan lama proses
pengasapan beberapa hari sampai dua minggu.Menambahkan pengertian tersebut
pengasapan dingin merupakan cara pengasapan pada suhu rendah, yaitu tidak
lebih tinggi dari suhu 33oC (sekitar 15-33oC). Waktu pengasapannya dapat
mencapai 4-6 minggu (Fachruddin 1998).
Penggunaan suhu rendah dimaksudkan agar daging ikan tidak menjadi
masak atau protein didalamnya tidak terkoagulasi. Akibatnya ikan asap yang
dihasilkan masih tergolong setengah masak sehingga sebelum ikan asap disantap
masih perlu diolah kembali menjadi produk siap santap (Adawyah, 2007).

2.2.3. Pengasapan Cair


Proses pengasapan secara langsung yang umum dilakukan oleh perajin ikan asap
memiliki kelemahan, di antaranya produksi asap sulit dikendalikan dan pencemaran
asap dapat mengganggu kesehatan pekerja dan lingkungan. Untuk mengatasi
masalah tersebut, perlu diupayakan proses pengasapan yang aman dan bebas
pencemaran, tetapi tujuan proses pengasapan tetap tercapai. Salah satu alternatif
ialah pengasapan menggunakan asap cair, yaitu dispersi uap dalam cairan sebagai
hasil kondensasi asap dari pirolisis kayu (Fardianz 1988).
Asap cair atau liquid smoke merupakan kondensat alami bersifat cair dari
hasil pembakaran kayu yang mengalami aging dan filtrasi untuk memisahkan
senyawa tar dan bahan-bahan yang tidak diinginkan lainnya.  Asap liquid pada
dasarnya merupakan asam cukanya (vinegar ) kayu yang diperoleh dari destilasi
kering terhadap kayu. pada destilasi tersebut, vinegar kayu dipisahkan dari tar dan
hasilnya diencerkan dengan air lalu ditambahkan garam dapur secukupnya,
kemudian ikan direndam dalam larutan asap tersebut selama beberapa jam. Faktor
penting yang perlu diperhatikan pada pengasapan liquid, adalah konsentrasi, suhu

41 Universitas Sriwijaya
42

larutan asap, serta waktu perendaman, setelah itu ikan dikeringkan ditempat yang
teduh ( Adawyah, 2007).
Senyawaan hasil pirolisa itu dari asap cair merupakan kelompok fenol,
karbonit dan kelompok asam yang secara simultan mempunyai sifat antioksidasi
dan antimikroba. Kelompok-kelompok itu mampu mencegah pem-bentukan spora
dan pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan bakteri dan
jamur serta menghambat kehidupan virus. Sifat-sifat itu dapat dimanfaatkan untuk
pengawetan makanan. Alat pembuat asap cair dapat dibuat dari dua buah drum
yang dihubungkan oleh pipa, berfungsi mengalirkan asap dari drum tempat
pembakaran kayu ke drum yang berfungsi untuk mendinginkan asap sehingga
dihasilkan asap cair. Drum yang berfungsi sebagai pendingin diisi dengan air
untuk membantu proses pendinginan asap (Fardianz 1988).

2.3. Faktor-faktor Pengasapan


Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada proses pengasapan salah satunya
adalah Jenis bahan bakar. Di Amerika dan Eropa kayu yang biasa digunakan
untuk pengasapan adalah kayu hikori, oak dan kayu beech. Kayu-kayu tersebut
ternyata memberikan bahan-bahan pengawet asam asetat dan kreosol dalam
jumlah relatif banyak. Kadar air kayu pengasap kadar air kayu yang dibakar akan
menentukan komposisi kimia asap yang dihasilkan. Kayu yang kadar airnya tinggi
akan menghasilakan asap yang relatif banyak, sedang kayu yang kadar airnya
sedikit akan mengahasilakan asapa yang relatif sedikit pula.Kepekatan asap, asap
pekat sangat efektif untuk menekan jumlah bakteri pada permukaan bahan yang
diasapi terutama pada produk daging dan ikan sehingga produk relatif lebih awet
(Afrianto 1989).
Suhu juga mempengaruhi pengasapan, asap tidak boleh dihasilkan oleh suhu
di atas (350-400)⁰ C, karena suhu di atas (350-400)⁰ C dapat menimbulkan
senyawa-senyawa karsinogen (senyawa penyebab kanker) serta dapat
menimbulkan rasa pahit pada bahan.Kelembaban udara pada ruang asap akan
memngaruhi penetrasi asap kedalam bahan makanan. Pada kelembaban yang
tinggi, bahan makanan akan menyerap asap lebih banyak dan lebih cepat bila
dibandingkan dengan kedaan kelemaban yang rendah (Afrianto 1989).

42 Universitas Sriwijaya
43

2.4. SNI Ikan Asap


Ikan asap adalah ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan,
pencucian dengan atau tanpa pencucian dalam larutan garam penirisan, dengan
atau tanpa pemberian rempah dan pengasapan panas yang dilakukan dalam ruang
pengasapan dengan menggunakan kayu, sabut dan tempurung kelapa. Proses
pengasapan ikan dengan suhu dan waktu yang cukup dalam ruang pengasapan
untuk membentuk koagulasi protein pada daging ikan bertujuan untuk membunuh
parasit, bakteri pathogen yang membahayakan kesehatan manusia. Potensi
kemungkinan terjadinya bahaya didalam suatu proses pengolahan produk yaitu
bahaya yang akan mengakibatkan gangguan terhadap keamanan pangan (food
safety), potensi kemungkinan terjadinya ketidak sesuaian spesifik mutu produk,
mutu ikan segar harus sesuai dengan SNI 2729:2013 untuk pengasapan di bidang
perikanan. Berdasarkan SNI No. 01-2725-2013 batas maksimal kandungan
benzo(a)pyrene dalam ikan asap adalah sebesar 5 ppb dan kandungan air
maksimal sebanyak 60 % (Karttika 1988).

43 Universitas Sriwijaya
44

BAB 3
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Dasar-Dasar Teknologi Hasil Perikanan dilaksanakan di
Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Hasil Perikanan Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya pada hari
Kamis tanggal 04 April 2019 pada pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai.

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian adalah oven, baskom, ember, pisau,
talenan, timbangan, para-para, nampan, termometer, plastik, gelas ukur,
stopwatch. Bahan yang digunakan untuk pengujian produk adalah ikan betok
(Annabas testudineus), ikan sepat (Trichogaster pectoralis), ikan lele (Clarisa
bathracus). ikan bandeng (Chanos chanos), ikan sarden (Sardinella lemuru), ikan
kembung (Rastrelliger kanagurta), ikan tongkol (Euthynnus affinis), dan ikan
layur (Trichiurus lepturus).

3.3. Prosedur Kerja


Adapun prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini sebagai berikut.
1. ikan segar dicuci dan dilakukan penyiangan,
2. lalu dipotong menjadi bentuk butterfly.
3. kemudian direndam dalam larutan garam 1%, tiriskan,
4. kemudian direndam dalam larutan asap cair 4%, selama 10 menit, 20 menit, dan
30 menit.
5. lalu dipanaskan dengan suhu 85oC selama 2 jam
6. kemudian dilakukan pendinginan.

44 Universitas Sriwijaya
45

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Adapun hasil yang didapatkan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1.4. Hasil organoleptik ikan asap
No Jenis Ikan Pengamatan
Penampakan Bau Tekstur Rasa
10 15 10 15 10 15 10 15
1. Ikan Sepat 1 1 3 3 5 5 3 3
2. Ikan Betok - - - - - - - -
3. Ikan Sarden 3 3 5 5 7 7 5 5
4. Ikan kembung 9 9 7 7 9 9 9 9
5. Ikan Mujair 7 7 9 9 9 9 9 9
6. Ikan Lele 3 3 3 3 6 6 4 4
7. Ikan Salem 3 3 5 5 7 7 5 5

45 Universitas Sriwijaya
46

4.2. Pembahasan
Pengasapan dapat digunakan sebagai alternatif pengawetan ikan secara
tradisional selain penggaraman, pengeringan, pemindangan dan fermentasi. Cara
pengolahan tradisional lebih dominan dari pada pengolahan moderen seperti
pembekusn dan pengalengan. Ikan olahan tradisional atau cured fish adalah
produk yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakuakn pada skala industri
rumah tangga. Jenis olahan yang termasuk produk olahan tradisional ini adalah
ikan kering atau ikan asin kering, ikan pindang , ikan asap serta produk
fermentasi.Pengasapan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mengawetkan produk makanan yang mengandung protein tinggi misalnya ikan,
daging dan keju. Produk pangan dengan proses pengasapan memiliki kelebihan
daya awet yang tinggi, rasa dan aroma yang ditimbulkan juga sangat sangat khas.
Daya awet yang ditimbulkan dari komponen asap cair karena adanya kandungan
yang bersifat antimikrobial dan antioksidan yaitu senyawa aldehid, asam
karboksilat dan fenol
Pada praktikum pengasapan yang telah dilakukan menggunakan ikan betok
(Anabas Testudineus) yang berjumlah dua ekor. Asap yang digunakan merupakan
asap cair. Cara pemberian asap cair dengan menggunakan air garam dan asap cair.
Karena adanya dua ekor ikan betok maka waktu perendamannya pun dibedakan.
Ikan betok yang pertama di rendam didalam larutan garan dan asap cair selama 10
menit, dan setelah itu ikan betok yang kedua di rendam dalam larutan garam dan
asap cair selama 15 menit. Sebelum ikan betok di rendam dalam larutan garam
dan asap cair ikan ditimbang untuk menentukan jumlah garam yang digunakan,
setelah itu siangi ikan dan potong butter fly. Setelah ikan direndam di larutan
garam dan asap cair iakn di bungkus menggunakan aluminium foil dan kemudian
dimasukkan kedalam oven dan dipanaskan dengan menggunakan suhu 100 derajat
celcius. Tujuan dari pemanasan tersebut adalah agar ikan betok kering dengan
baik, sedangkan lamanya pemanasan dalam oven tersebut selama 2 jam. Setelah
semua proses selaseai maka dilakukan uji organoleptik, tetapi kelompok kami

46 Universitas Sriwijaya
47

tidak melakukan uji organoleptik karena kuranya koordinasi antar anggota


kelompok sehingga ikan asap carnya tidak ada saat setelah di keluarkan dari
dalam oven.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum penggaraman dan pengeringan adalah :
1. Pengasapan ikan adalah salah satu cara mengolah dan mengawetkan ikan
2. Pengasapan yang dilakukan menggunakan asap cair
3. Senyawa kimia dalam pengasapan antara lain formaldehid, keton, asam
fermilat, asam asetat, metil alcohol, dan fenol.
4. Tujuan pengasapan ikan adalah untuk mendapatkan daya awet dan untuk
memberikan aroma yang khas.
5. Metode pengasapan ada empat yaitu pengasapan dingin (cold smoking),
pengasapan panas, pengasapan listrik (electric smoking), pengasapan liquid
atau cair.

5.2. Saran
Dalam praktikum pengasapan menggunakan asap cair, praktikan harus teliti
dalam melalukan berbagai prosesnya dan bersungguh-sungguh agar didapatkan
hasil yang memuaskan.

47 Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai