MATA KULIAH
PERANCANGAN STRUKTUR BETON
“ Rangkuman Materi :
KONFIGURASI STRUKTUR”
Konfigurasi struktur pada hakekatnya adalah sesuatu yang berkaitan dengan bentuk,
ukuran, macam dan penempatan struktur utama bangunan serta macam dan penempatan bagian
pengisi atau non structural element (Arnold dan Reitherman,1982).
Konfigurasi struktur erat kaitannya dengan pengaruh distribusi kekakuan dan distribusi
massa bangunan terhadap perilaku bangunan itu sendiri.
A. Bentuk Bangunan
1. Struktur Beraturan
Menurut Peraturan Gempa 2002 (SNI 3-17265-2002) definisi bangunan beraturan
adalah denah persegi panjang tanpa tonjolan dan jika ada tonjolan maka Panjang
tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% terhadap ukuran terbesar denah struktur
Gedung dalam arah tonjolan tersebut.
Dalam peraturan SNI 3-1726-201X keberaturan bangunan ditentukan dalam
bentuk ketidakberaturan vertikal dan horisontal.
\
Menurut hasil uji penelitian yang akurat, bangunan yang menggunakan denah
struktur yang sederhana dan simetri akan memiliki ketahanan dan perilaku yang lebih
baik terhadap beban gempa daripada yang menggunakan denah struktur yang
kompleks (Dowrick, 1977, 1987).
Walau masih berbentuk simetri (seperti banguna berbentuk silang +), sebuah
bangunan bisa masuk kategori kompleks. Karena pada saat ada gempa, struktur itu di
satu sisi berada di strong axis (sumbu kuat) dan di arah yang lain berada pada weak
axis (sumbu lemah). Beban di sumbu kuat akan terjadi simpangan lebih kecil
disbanding arah sumbu lemah sehingga terjadi differential displacement yang
berakibat pada konsentrasi tegang pada garis temu.
Gambar contoh proses konsentrasi tegang pada bangunan
Bila terjadi gempa bumi, tanah dasar akan bergerak dan menimbulkan gaya
inersia yang bekerja pada tiap massa bangunan yang arahnya berlawanan dengan
arah gerakan tanah ( menurut hukum keseimbangan dinamik )
Gaya-gaya inersia tersebut akan menjadi gaya gempa efektif yang bergerak
dengan arwah horizontal dan terpusat di pusat bangunan. Gaya-gaya ini akan menjadi
masalah pada struktur tidak beraturan dengan alasan sebagai berikut :
a. Pada suatu arah beban gempa yang ditinjau, antara dua arah wing/sayap
memiliki kekakuan yang berbbeda. Kekakuan sayap ke-1 adalah k1 dan
kekakuan sayap ke-2 adalah k2 (missal k1>k2). Padahal menurut teori Dinamika
Struktur, Kecepatan sudut ω=√(k/m) , maka ω1>ω2. Sedangkan periode getar T
= 2π/ω, maka T1 < T2.
b. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa antara massa ke-1 dan massa ke-2 akan
bergetar dengan mode yang berbeda, terkadang dapat bersamaan tapi terkadang
berlawanan. Pada arah getaran/gerakan yang saling berlawanan itulah yang akan
berbahaya bahkan merusak struktur. Kerusakan biasanya terjadi pada pertemuan
antara dua massa itu.
Berikut contoh gambar bangunan ireguler :
Ada beberapa cara dalam penyelesaian permasalahan bangunan kompleks
diantaranya :
a. Bangunan dipisak gedung
b. Pertemuan bangunan diberikan pengikat
c. Pertemuan bangunan dipasangi perkuatan
c. Selain itu, bila ukuran bangunan di arah horizontal terlalu panjang, maka ada
kemungkinan respons tanah di bawah bangunan yang berbeda akibat gempa.
Hal ini sangat mudah terjadi, yang biasanya diakibatkan kondisi tanah serta
interaksi antara pondasi dan tanah yang berbeda antara titik yang satu dengan
titik yang lain. Pemecahan masalah ini antara lain dengan cara pemisahan
bangunan ini secara nyata, dengan cara joint, atau dengan perkuatan di sudut-
sudut pertemuan antar massa bangunan.
Bila kolom dan dinding dianggap jepit di kedua ujungnya, kekakuan
strukturnya adalah :
12 EI
K= 3
h
sedangkan kekakuan struktur dinding adalah :( Blume dkk , 1960)
12 E I w G . A w
K= +
hw 3 K .Iw
Gambar ilustrasi permasalahan pusat massa dan pusat kekakuan :
2. Ukuran Vertikal
Secara umum tinggi bangunan tahan gempa yang dapat dibuat tidak ada
batasannya, yang menjadi ukurang kestabilan yaitu tingkat kelangsingan dari
bangunan yang bersangkutan, yaitu perbandingan antara tinggi dan lebar struktur
utama bangunan. Bangunan tinggi berarti akan menyebabkan momen guling
(overturning moment) yang besar. Apabila bangunan kurang lebar maka tegangan pada
kolom akan semakin besar dan pada kenyataannya kolom paling luarlah yang akan
paling menderita, yang umumnya kesulitan dalam pendetailannya. Selain itu juga akan
menyebabkan kesulitan pada pondasi sehubungan dengan besarnya momen guling.
Fondasi yang dibuat harus mempunyai kekuatan yang besar agar bangunan tidak
terguling. (Paulay dan Priestley, 1992).
Berdasarkan hal tersebut, maka Dowrick (1977) memberikan Batasan tentang
rasio antara tinggi bangunan dan lebar banguna atau H/L sebaiknya lebih besar dari 4.
Sedangkan menurut Wolfgang Scheuller (1977) ratio tersebut sebaiknya <5. Menurut
PPTGIUG 1983, pada bangunan yang perbandingan antara tinggi dan lebar <3 dan >3
akan mempnyai respon yang berlainan, ini ditunjukkan dengan adanya distribusi gaya
horizontal akibat gempa yang berlainan.
Problem teknis bangunan yang langsing seperti juga dalam hal perilaku
dinamiknya. Pada bangunan-bangunan yang relatif kaku, perilaku dinamiknya
didominasi oleh mode pertama, sehingga prinsip beban ekuivalen statik masih dapat
dipakai. Pada bangunan-bangunan yang langsing maka kontribusi higher modes relatif
signifikan sehingga pengaruhnya harus diperhitungkan. Untuk itu analisis struktur
tidak dapat dilakukan dengan memakai beban ekuivalen statik tapi harus berdasarkan
analisis dinamik, apakah memakai respons spektrum atau melalui riwayat waktu (time
history analysis). Di dalam SNI 03-1736 2002 atau TCPKGUBG 2002, bangunan
regular yang berkaitan dengan tinggi bangunan adalah:
“Tinggi struktur banguna Gedung reguler diukur dari taraf penjepitan lateral tidak
lebih dari 10 tingkat atau 40 meter”
Walaupun bangunan mempunyai denah yang simetri dan sederhana, tetapi kalau
tinggi bangunan melebihi 40 meter, maka bangunan tersebut sudah dikategorikan
bangunan irreguler. Pada RSNI 03-1726 2010, tidak ada batasan jumlah tingkat untuk
bangunan reguler.
Berikut contoh bangunan langsing