Anda di halaman 1dari 62

ELEMEN STRUKTUR BAJA

DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR BAJA


(METODE LRFD, LOAD AND RESISTANCE FACTOR DESIGN)
CONTOH APLIKASI STRUKTUR BAJA
HAL YANG HARUS
DI KUASAI OLEH
SARJANA TEKNIK SIPIL
DAFTAR PUSTAKA / ACUAN PEMBELAJARAN

 Beban Minimum Untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain SNI 1727 2013.
(Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung, tahun 1983 SNI 03-1727-1989-F)
 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung
SNI 1726 2012.
(Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung, SNI 1726-2002)
 Spesifikasi untuk Bangunan Gedung Baja Struktural (metode LRFD) SNI 03-1729-2015
(SNI 03-1729-2002 Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung)
 Salmon, C.G., & Johnson, J.E., (2009). Steel Structures Design and Behavior. 5th ed. Pearson
Prentice Hall.
 Setiawan, A. (2013). Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, 2nd ed. Penerbit
Erlangga.
BUKU BAJA STANDAR SNI
BUKU STRUKTUR BAJA TERBITAN LUAR
KOMPONEN PENILAIAN
• Kehadiran : 10%
• Tugas/Pr : 30%
• Ujian Tengah Semester : 30%
• Ujian Akhir Semester : 30%
PENDAHULUAN

Saat ini telah diterbitkan :


• Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002)
(metode perencanaan berdasarkan Load and Resistance Factor Design (LRFD).
• Kemudian di revisi dengan dengan Spesifikasi untuk Bangunan Gedung Baja Struktural (metode LRFD)
SNI 03-1729-2015

Sebelumnya, perencanaan struktur bangunan baja di Indonesia masih mengacu kepada:


Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI, 1984) yang menganut konsep tegangan ijin atau
lebih dikenal dengan Allowable Stress Design, dengan prinsip tegangan yang terjadi pada komponen struktur
akibat beban kerja yang direncanakan tidak boleh melebihi tegangan ijin.

Pada SNI 2015, metode LRFD diistilahkan sebagai Desain Faktor Beban dan Ketahanan (DFBK)
sedangkan metode ASD diistilahkan sebagai Desain Kekuatan Ijin (DKI).
A. KONSEP PERENCANAAN LRFD

Perencanaan struktur yang digunakan dalam LRFD mengacu kepada keadaan atau
kondisi batas struktur (limit state) dalam berfungsi selama masa layannya, yang dapat
berupa dalam kondisi :
1. kondisi leleh (plastik sempurna),
2. putus/fraktur (fracture),
3. tekuk (buckling),
4. lelah (fatigue),
5. guling (overturning) atau
6. slip (sliding).
Keadaan batas tersebut dapat tercapai dengan memperhitungkan;
 kelebihan beban dan/atau
 pengurangan kekuatan struktur yang terjadi pada masa layan, dibandingkan
dengan beban nominal dan kuat nominal.

Kelebihan beban dapat disebabkan antara lain oleh


kemungkinan perubahan fungsi bangunan yang mengakibatkan berubahnya nilai
beban- beban yang dipikul struktur,
pengurangan kekuatan struktur dapat disebabkan antara lain oleh kemungkinan
ketidaksempurnaan bahan, penyederhanaan perhitungan kekuatan dibandingkan
dengan kondisi bahan atau perhitungan teoritis yang digunakan.
Dengan mempertimbangan berbagai kemungkinan tercapainya keadaan batas tersebut,
tingkat keandalan struktur pada konsep perencanaan LRFD dapat diturunkan dari
persamaan-persamaan probabilitas dengan mengasumsikan faktor beban Q dan faktor
kekuatan/tahanan (resistance) R sebagai variabel-variabel acak (random) yang tidak
saling mempengaruhi

Gambar. Distribusi Frekuensi Beban Q dan Kekuatan Bahan R


Kegagalan struktur (probability of failure, Pf) ditunjukkan dalam wilayah ln(R/Q) < 0, yang
dibatasi oleh kurva dan sumbu frekuensi. Jarak antara garis batas kegagalan dengan nilai
rata-rata kurva ln(R/Q) didefinisikan sebagai β dikali nilai simpangan baku kurva σln(R/Q),
dimana nilai β didefenisikan sebagai indeks keandalan struktur (reliability index) yang
didekati dengan persamaan berikut:

dimana VR dan VQ adalah koefisien variasi dari distribusi kurva R dan Q.


Semakin besar nilai β maka kurva ln(R/Q) akan semakin bergeser menjauhi garis batas
kegagalan (ke arah kanan) artinya semakin kecil kemungkinan pencapaian kondisi batas
(luas area yang diarsir mengecil) dan semakin besar pula tingkat keamanannya.
Gambar. Tingkat Keandalan (Reliability Index) β
Konsep perencanaan LRFD mengadopsi indeks keandalan β ke dalam persamaan yang
lebih umum dikenal sebagai:

φ Rn ≥ Σγ i Qi

dimana:
 φ = “faktor keamanan” untuk sisi kekuatan
atau sering disebut faktor reduksi kekuatan (resistance/strength reduction factors)

 Rn = kuat nominal komponen struktur, diambil nilai terkecil dari beberapa skenario
kegagalan (kondisi batas) yang mungkin terjadi
 γ = “faktor keamanan” untuk sisi beban atau sering disebut faktor pengali beban (overload
factors)
 Qi = berbagai jenis beban yang direncanakan untuk dipikul komponen struktur.

Perencanaan struktur baja dengan LRFD dapat dilakukan baik menggunakan analisis
struktur secara elastis, maupun analisis secara plastis, dimana persyaratan stabilitas
bagi pelat penampang maupun komponen struktur akan lebih ketat bila menggunakan
analisis plastis.
LRFD memperhitungkan keamanan pada kedua sisi (efek beban dan tahanan).
Setiap kondisi beban mempunyai faktor beban yang berbeda yang memperhitungkan
derajat uncertainty, sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan reliabilitas seragam

Analisis yang dapat dipilih untuk mendapatkan efek beban:


 Analisis Elastis Orde Kedua, atau.
 Analisis Elastis Orde Pertama dan efek orde kedua diperhitungkan dengan
menggunakan faktor amplifikasi momen B1 dan B2.
 Efek inelastis ditinjau secara tidak langsung.
FAKTOR REDUKSI KEKUATAN
(STRENGTH REDUCTION FACTORS, Φ)

Faktor reduksi kekuatan φ diadakan untuk memperhitungkan kemungkinan


ketidaksempurnaan dan penyimpangan kekuatan bahan serta perbedaan kekuatan
dibandingkan dengan perhitungan kekuatan teoritis yang digunakan.

Nilai φ diambil lebih kecil dari satu, sehingga kekuatan rencana sebuah komponen
struktur φRn akan bernilai lebih kecil daripada kekuatan nominalnya, Rn.

Besar nilai φ bervariasi


FAKTOR REDUKSI KEKUATAN, Φ
FAKTOR BEBAN (OVERLOAD FACTORS, )

Faktor (pengali) beban γ diadakan untuk memperhitungkan kemungkinan meningkatnya


beban dari nilai yang beban minimum yang disyaratkan.

Nilai γ umumnya lebih besar dari 1.0 sehingga beban rencana yang akan dipikul struktur
ditingkatkan menjadi γiQi. Nilai faktor beban yang digunakan akan bergantung pada
kombinasi beban yang diperhitungkan.

Nilai faktor beban untuk berbagai kombinasi beban yang diperhitungkan adalah sebagai
berikut:

1.4 D
1.2 D + 1.6 L + 0.5 (La atau H)
1.2 D + 1.6 (La atau H) + (γL L atau 0.8 W)
1.2 D + 1.3 W + γL L + 0.5 (La atau H)
1.2 D ± 1.0 E + γL L
0.9 D ± (1.3 W atau 1.0 E)
• D = beban mati yang diakibatkan berat struktur permanen, termasuk dinding, lantai, atap,
plafon, partisi tetap, tangga dan peralatan menetap lainnya
• L = beban hidup yang ditimbulkan pengguna gedung termasuk beban kejut
• La = beban hidup di atap yang ditimbulkan oleh pekerja, peralatan atau material
• H = beban hujan, tidak termasuk akibat genangan air
• W = beban angin
• E = beban gempa
• γL = reduksi beban hidup, bila L < 5 kPa diambil 0.5 dan bila L > 5 kPa diambil 1.0

Nilai beban-beban yang disebutkan di atas merupakan nilai beban minimum yang
disyaratkan pada Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung (PPIG 1983)/Beban
Minimum Untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur Lain SNI 1727 2013.
ASD(ALLOWABLE STRENGTH DESIGN)

Desain dengan Kekuatan Izin (Allowable Strength Design) merupakan perencanaan


berdasarkan tegangan ijin
Kuat izin setiap komponen struktur tidak boleh kurang dari kekuatan yang dibutuhkan
Ru<Rn/Ω

Ru = kekuatan yang dibutuhkan (ASD)


Rn = kekuatan nominal
Ω = faktor keamanan
Rn/Ω = kuat izin
Gaya dalam pada komponen struktur
dilakukan dengan analisis elastis orde
pertama pada kondisi beban kerja
Efek orde kedua dan inelastisitias
ditinjau secara tidak langsung
Faktor keamanan diterapkan hanya
pada sisi tahanan, dan keamanan
dihitung pada kondisi beban kerja (tak
terfaktor)
Jadi pada ASD reliabilitas yang
seragam tidak mungkin dicapai
Tahanan komponen struktur dalam memikul gaya mengikuti preferensi berikut ini:
• Tarik : baik, keruntuhan leleh bersifat daktail
• Lentur : sedang, stabilitas (tekuk torsi lateral, tekuk lentur dan tekuk lokal)
• Tekan: kurang baik, stabilitas (tekuk lentur dan tekuk lokal)
• Geser: lemah, getas, tekuk lokal
• Torsi, buruk, getas dan tekuk lokal
MATERIAL BAJA

Baja yang akan digunakan dalam struktur dapat diklasifikasikan menjadi :


• Baja Carbon (Carbon Steel)
• Baja Paduan Rendah Mutu Tinggi (High Strength-Low Alloy Steel, HSLA)
• Baja Paduan (Alloy Steel)

Sifat – sifat mekanik dari baja tersebut seperti tegangan leleh dan tegangan putusnya
diatur dalam ASTM A6/A6M.
CARBON STEEL

 Baja karbon dibagi menjadi 3 kategori tergantung dari persentase kandungan karbonnya,
yaitu : baja karbon rendah (C = 0,03 – 0,35%), baja karbon medium (C = 0,35 – 0,50%),
dan baja karbon tinggi ( C = 0,55 –1,70% ).
 Baja yang sering digunakan dalam struktur adalah baja karbon medium, misalnya baja BJ
37. Kandungan karbon baja medium bervariasi dari 0,25 – 0,29% tergantung ketebalan.
 Selain karbon, unsur lain yang juga terdapat dalam baja karbon adalah mangan (0,25 –
1,50%), Silikon (0,25 – 0,30%), fosfor (maksimal 0,04%) dan sulfur (0,05%).
 Baja karbon menunjukkan titik peralihan leleh yang jelas. Naiknya persentase karbon
meningkatkan tegangan leleh namun menurunkan daktilitas, salah satu dampaknya adalah
membuat pekerjaan las menjadi lebih sulit.
 Baja karbon umumnya memiliki tegangan leleh (fy) antara 210 – 250 MPa
Rendah ( 0,15%)

Sedang (0,15-0,29%) umumnya


untuk struktur gedung bangunan
(misalnya baja Bj 37)
Baja karbon
(fy 210-250 Mpa)

Medium (0,3-0,5%)

Tinggi (0,60-1,70%)
HIGH STRENGTH-LOW ALLOY (HSLA)

 Tegangan leleh berkisar antara 290 – 550 MPa dengan tegangan putus (fu) antara 415 –
700 MPa.
 Titik peralihan leleh dari baja ini nampak dengan jelas
 Penambahan sedikit bahan – bahan paduan seperti chromium, columbium, mangan,
molybden, nikel, phospor, vanadium atau zirkonium dapat memperbaiki sifat – sifat
mekaniknya.
 Bahan – bahan paduan ini mampu memperbaiki sifat mekanik baja dengan membentuk
mikrostruktur dalam bahan baja yang lebih halus.
BAJA PADUAN

• Baja paduan rendah (low alloy) dapat ditempa dan dipanaskan untuk memperoleh
tegangan leleh antara 550 – 760 MPa.
• Titik peralihan leleh tidak nampak dengan jelas
• Tegangan leleh dari baja paduan biasanya ditentukan sebagai tegangan yang terjadi
saat timbul regangan permanen sebesar 0,2%, atau dapat ditentukan pula sebagai
tegangan pada saat regangan mencapai 0,5%.

• Baut yang biasa digunakan sebagai alat pengencang mempunyai tegangan putus
minimum 415 MPa hingga 700 MPa.
• Baut mutu tinggi mempunyai kandungan karbon maksimum 0,30 %, dengan
tegangan putus berkisar antara 733 hingga 838 MPa.
GRAFIK HUBUNGAN
TEGANGAN-REGANGAN
 Baja yang biasa digunakan untuk baut adalah baut mutu standar (fub=415 Mpa) atau baut mutu tinggi
(fub 725-825 Mpa, Fyb =550-650 Mpa)
 Kawat las yang biasa digunakan dalam pengelasan struktur adalah E60xx (fyw=345 Mpa, Fuw=415
Mpa) atau E70xx (fyw=415 Mpa, Fuw=500 Mpa)
DETAIL TEGANGAN LELEH
Titik – titik penting dalam kurva tegangan – regangan antara lain adalah :
 fp: batas proporsional
 fe : batas elastis
 f yu, fy : tegangan leleh atas dan bawah
 fu : tegangan putus
  sh : regangan saat mulai terjadi efek strain – hardening (penguatan regangan)
  u : regangan saat tercapainya tegangan putus
PROPERTIES MATERIAL BAJA

Dalam perencanaan struktur baja, SNI 03-1729-2002 mengambil beberapa sifat – sifat mekanik dari
material baja yang sama yaitu :
• Modulus Elastisitas, E = 200.000 MPa
• Modulus Geser, G = 80.000 MPa
• Angka Poisson = 0,30
• Koefisien muai panjang,  = 12.10  6/oC
PERILAKU BAJA PADA TEMPERATUR TINGGI
Perilaku baja struktural pada pembebanan secara singkat dengan temperatur tinggi serupa dengan
perilaku baja pada temperatur ruangan, tetapi bentuk diagram tegangan-regangan dan nilai-nilainya
berubah menjadi lebih rendah. Pada temperatur di atas 93o C, diagram tegangan-regangan menjadi
non linier. Jika temperatur naik lagi antara 430o—540o C, maka penurunan tegangan leleh maksimal.

Gambar 2.3 Diagram Kuat tarik dan tegangan leleh baja pada berbagai temperatur
PERILAKU BAJA PADA TEMPERATUR TINGGI

Gambar 2.4 Diagram tegangan-regangan baja SM58 pada temperatur tinggi


PERILAKU BAJA PADA TEMPERATUR TINGGI

Gambar 2.5 Diagram Modulus elastisitas baja Gambar 2.6 Sketsa kurva creep
pada berbagai temperatur
PEKERJAAN DINGIN DAN PENGERASAN TEGANGAN

Dalam fabrikasi elemen struktur, berbagai macam bentuk profil seringkali dibuat dari pelat datar
yang dilekukkan secara dingin pada temperatur ruang. Pelaksanaan semacam ini akan
menyebabkan perubahan bentuk inelastis yang menimbulkan regangan sisa (residual strain) dan
disertai dengan tegangan sisa (residual stress). Untuk memberi gambaran umum pengaruh
perubahan bentuk secara dingin, ditinjau suatu spesimen yang dibebani dengan tarikan sampai
terjadi perubahan bentuk plastis.

Pembebanan ini dilakukan secara berulang-ulang. Tampak pada Gambar 2.7 bahwa setiap beban
dilepas, selalu ada regangan sisa, sehingga setelah pembebanan dilakukan beberapa kali dicapai
regangan batas bahan yang apabila spesimen dibebani lagi, spesimen akan putus. Mengingat hal
itu, maka dapat dipahami banwa sifat batang struktur yang dibentuk secara dingin cukup rumit.
Pengerjaan dingin terhadap baja akan menghasilkan regangan permanen. Terjadinya regangan
permanen akan mengurangi daktilitas baja. Daktilitas baja, di definisikan sebagai perbandingan
antara regangan facture f, terhadap regangan leleh f atau daklititas

Gambar. Efek penguatan regangan


Gambar 2.7 Pengaruh pengerasan regangan
5. KEKUATAN LELAH (FATIQUE)

Dalam praktek sering dijumpai batang-batang struktur yang dibebani secara berulang-ulang sehingga
suatu saat tegangan yang terjadi positif dan tinggi, sedang saat lain tegangannya rendah atau nol,
atau bahkan sampai negatif. Pembebanan secara berulang-ulang semacam ini dapat mengakibatkan
batang struktur putus sekalipun tegangan yang terjadi masih jauh dari tegangan leleh.
Putusnya batang karena tegangan berulang-ulang ini disebabkan oleh kelelahan (fatigue). Pengujian
kelelahan bahan di laboratorium dapat dilakukan dengan batang baja yang dilenturkan dan diputar
terhadap sumbunya

Keruntuhan lelah di pengaruhi oleh


 Jumlah siklus pembebanan
 Daerah tegangan layan (perbedaan tegangan maksimum dan minimum)
 Cacat – cacat dalam material seperti retak mikro
Gambar 2.10 Diagram tegangan leleh-N tarik spesimen
RESISTENSI KOROSI DAN BAJA LAPUK

Jika pada permukaan baja gilas terdapat air yang mengandung oksigen, maka akan terjadi reaksi
yang mengubah bijih besi yang mempunyai potensi korosi rendah menjadi ferro hidroksida yang
larut dalam air. Larutan ini bercampur dengan oksigen yang ada di dalam air menghasilkan ferri
hidroksida (karat).

Reaksi ini terulang seiring dengan perkembangan korosi. Keadaan lingkungan dengan kombinasi
air dan oksigen yang berubah-ubah, mempengaruhi kecepatan dan perkembangan korosi. Jika
tidak terdapat oksigen dan air, maka proses korosi tidak akan berjalan.

Mengingat korosi dapat menimbulkan kerugian yang besar, maka upaya harus dilakukan untuk
mencegah proses korosi pada elemen-elemen struktur. Banyak riset telah dilakukan untuk hal
tersebut, beberapa metoda pencegahan korosi telah dikembangkan untuk mengengatasi
permasalahan korosi.
A. METODA PENCEGAHAN KOROSI PRIMAIR

Biasanya metoda ini cukup mahal, yaitu dengan cara menambahkan elemen logam tertentu untuk
meningkatkan ketahanan terhadap korosi, sebagai contoh stainless steel dan weathering steel.

b. Metoda pencegahan korosi sekunder, Pencegahan korosi sekunder dapat dilakukan dengan cara:
(1) Coating, dilakukan untuk mengisolasi permukaan baja terhadap air yang mengandung oksigen. Hal
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Perlindungan sementara dapat dilakukan dengan minyak
atau paslin. Cara lain adalah dengan pengecatan yang perlu dilakukan secara periodik. Perlindungan
yang lebih permanen dapat dilakukan dengan lapisan logam lain, seperti zink, timah, atau tembaga,
dengan cara disepuh Perlindungan terhadap korosi ini juga dapat dilakukan dengan cara lining
dengan karet, plastik, atau porselin.
(2) Electric protection , dilakukan jika pencegahan korosi sangat diperlukan mengingat elemen struktur
itu tidak dapat direparasi, sebagai contoh adalah tiang pancang. Dalam hal ini pencegahan dapat
dilakukan dengan perlindungan katodik (cathodic protection).
TEGANGAN SISA
Tegangan Sisa Tegangan sisa (residual stress) adalah tegangan yang tertinggal pada batang
struktur setelah proses fabrikasi. Hal ini dapat dijelaskan oleh

(i) pendinginan setelah penggilasn profil,


(ii) pengerjaan secara dingin,
(iii) pelubangan atau pemotongan, dan
(iv) pengelasan.

Tegangan sisa yang perlu diperhatikan adalah akibat pendinginan dan pengelasan. Tegangan
sisa positif biasanya berada pada pertemuan plat, sedang tegangan tekan terdapat pada
bagian yang jauh dari pertemuan plat itu. Beberapa contoh bentuk distribusi tegangan sisa
pada tampang profil WF dapat dilihat pada Gambar 2.11. Sesuai dengan persyaratan kesetim-
bangan maka resultan gaya dan momen yang terdapat pada tampang profil adalah nol.
TEGANGAN SISA
Dalam analisis tampang secara plastis maka tegangan sisa tidak berpengaruh pada kekuatan
elemen struktur, baik pada batang tarik, batang tekan yang pendek (stocky culmns), maupun
batang lentur. Pada elemen struktur tekan tegangan sisa ini dapat mengakibatkan premature
buckling, sekalipun demikian penelitian Morisco (1986) memperlihatkan bahwa tegangan sisa yang
terdistribusi linier, dengan tegangan sisa ekstrim 30 persen dari tegangan leleh, hanya
menimbulkan penurunan kapasitas batang tekan dari profil WF, antara 0 sampai 4 persen. Dalam
analisis tampang secara plastis maka tegangan sisa tidak berpengaruh pada kekuatan elemen
struktur, baik pada batang tarik, batang tekan yang pendek (stocky culmns), maupun batang lentur.

Pada elemen struktur tekan tegangan sisa ini dapat mengakibatkan premature buckling, sekalipun
demikian penelitian Morisco (1986) memperlihatkan bahwa tegangan sisa yang terdistribusi linier,
dengan tegangan sisa ekstrim 30 persen dari tegangan leleh, hanya menimbulkan penurunan
kapasitas batang tekan dari profil WF, antara 0 sampai 4 persen.
Gambar 2.11 Beberapa
contoh distribusi
tegangan sisa pada profil WF
d. Retakan getas akibat efek temperatur, efek tegangan multiaksial, efek ketebalan,
efek pembebanan dinamik

Setelah temperatur diturunkan dengan tiba-tiba, maka peningkatan akan terjadi pada tegangan leleh,
kuat tarik, modulus elestisitas, dan tegangan lelah. Sebaliknya keuletan baja yang diukur dari
penyempitan tampang ataupun dari pertambahan panjang, turun akibat penurunan temperatur. Lebih
lanjut pada suatu temperatur tertentu yang relatif rendah, baja struktural mungkin saja mengalami retak
dengan sedikit atau tanpa perubahan bentuk plastis.

Keretakan yang terjadi karena tegangan tarik yang lebih rendah dari tegangan leleh, biasanya disebut
dengan keretakan getas. Keretakan getas (brittle fracture) umumnya terjadi pada baja struktural jika
terdapat kombinasi hal-hal yang merugikan dari tegangan tarik, antara lain laju regangan pengaruh
temperatur dan perubahan tampang secara mendadak.

Perubahan bentuk plastis hanya dapat terjadi jika terdapat tegangan geser. Tegangan geser selalu terjadi
pada pembebanan secara uniaksial atau biaksial, tetapi dalam tegangan triaksial dengan ketiga tegangan
sama besar tegangan geser menjadi nol. Oleh karena itu tegangan tarik triaksial cenderung
mengakibatkan keretakan getas, dan harus dihindari. Tegangan triaksial dapat terjadi pada pembebanan
uniaksial jika terdapat penyempitan tampang atau perubahan bentuk tampang secara mendadak.
Keretakan getas dapat juga terjadi akibat pengerjaan secara dingin ataupun penuaan
regangan. Pembentukan secara dingin pengaruhnya dapat dikurangi dengan memilih jari-jari
pembentukan sedemikian sehingga regangan yang timbul terbatas.

Jika terdapat tegangan tarik sisa misalnya akibat pengelasan, maka tegangan sisa ini dapat
mengakibatkan tegangan yang jauh lebih besar dari tegangan akibat pembebanan. Keretakan
dapat terjadi jika tegangan sisa ini cukup tinggi. Untuk mengurangi pengaruh tegangan sisa,
pada baja struktural dapat dikenakan perlakuan panas (heat treatment).
KERUNTUHAN GETAS
Keruntuhan getas dipengaruhi oleh suhu, kecepatan pembebanan, tingkat tegangan, tebal
pelat dan geometri detailing Pada suhu normal, keruntuhan getas berpotensi untuk terjadi bila
keadaan tegangan cenderung bersifat multiaksial. Karena perubahan goemetri yang tiba-tiba
sering menimbulkan keadaan tegangan multiaksial, konfigurasi dan perubahan penampang
harus dibuat sehalus mungkin untuk menghindari terjadinya keruntuhan getas

Hal berikut untuk mengantisipasi keruntuhan getas


• Temperatur rendah meningkatkan resiko keruntuhan getas
• Keruntuhan getas terjadi karena tegangan tarik
• Pelat baja tebal meningkatkan resiko
• Geometri tiga dimensi meningkat resiko
• Ada cacat baja meningkatkan resiko
• Kecepatan pembebanan yang tinggi meningkatkan resiko
• Sambungan las meningkatkan resiko
SOBEKAN LAMELAR
Sobekan lamelar adalah sejenis keruntuhan getas yang terjadi pada bidang akibat gaya tarik yang besar
bekerja tegak lurus ketebalan elemen pelat profil. Karena regangan yang diakibatkan oleh beban layan
biasanya < y maka beban layan biasanya tidak perlu diperhatikan sebagai penyeban sobekan lamelar.
Dalam sambungan las yang terkekang, regagan akibat susut logam las dalam arah tegak lurus ketebalan
sering terjadi secara lokal dan lebih besar daripada ey. Hal ini yang sering menyebabkan terjadinya
sobekan lamelar
SOBEKAN LAMELAR AKIBAT PENGELASAN
Sobekan lamelar pada sambungan T dari las sudut Sobekan lamelar akibat susut sambungan las
PENGERJAAN LAS UNTUK PENCEGAHAN SOBEKAN LAMELAR
PENAMPANG PROFIL BAJA

 Terdapat dua metode pembuatan penampang profil baja yaitu metode Hot-Rolled (giling panas) serta
metode ColdForm (bentukan dingin)
 Metode giling panas digunakan untuk menghasilkan berbagai jenis penampang baja, seperti siku, WF,
T, H Beam dengan berbagai jenis ukuran serta ketebalan
 Metode bentukan dingin dapat digunakan untuk menghasilkan penampang dengan ketebalan tipis,
seperti Lip Channel, Z-section atau pada pembuatan penampang baja ringan.
ALUR PEMBUATAN MATERIAL BAJA

Anda mungkin juga menyukai