Anda di halaman 1dari 25

HAMBATAN IMPLEMENTASI TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

(GOOD CORPORATE GOVERNANCE) PADA BADAN USAHA MILIK


NEGARA (BUMN) YANG BERBENTUK PERSERO

Dian Cahyaningrum1

Abstrak

Due to its important role in influencing national economy, Persero


as part of state enterprises should be managed based on the
principles of good corporate governance. In relation with this,
Law No. 19/2003 and Law No. 40/2007 had laid foundation for
Persero to be handled according to those principles. This essay
attempted to find out problems encountered by Persero in
implementing the good corporate governance principles to avoid
it from confronting bigger loss in the future. To this end, the
author questioned the external relations between Persero and
secondary stakeholders in terms of corporate social
responsibility.

Kata Kunci: Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/
GCG), Badan Usaha Milik Negara, Persero, UU No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara, dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

I. Latar Belakang

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyebutkan “bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berpijak pada Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun
1945, dibentuklah perusahaan negara yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai unit usaha yang mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.

1
Peneliti Muda Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail: cahyaningrum@yahoo.com.

Hambatan Implementasi Tata...... 463


Adapun yang dimaksud dengan BUMN berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Berdasarkan Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2003 Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) terdiri dari Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahaan Umum
(Perum). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya
dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan (Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003). Sedangkan Perum adalah
BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham,
yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau
jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan (pasal 1 angka 4 UU No. 19 Tahun 2003).
Dalam perkembangannya, BUMN menjadi salah satu pelaku ekonomi
yang memiliki peran cukup penting. Di dalam Penjelasan Umum, Bagian II, UU
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dijelaskan beberapa
peran BUMN dalam sistem perekonomian nasional, yaitu sebagai 1) penghasil
barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran masyarakat; 2) pelopor dan/atau perintis dalam sektor-
sektor usaha yang belum diminati usaha swasta; 3) pelaksana pelayanan publik;
4) penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar; 5) turut membantu
pengembangan usaha kecil/koperasi; dan 6) salah satu sumber penerimaan
negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil
privatisasi.2
Selain peran tersebut, BUMN juga memiliki peran penting untuk
mengurangi pengangguran baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
sampai saat ini masih menjadi masalah pelik di Indonesia apalagi dalam krisis
keuangan global saat ini dimana banyak perusahaan yang melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya. Pengurangan pengangguran secara
langsung dilakukan melalui rekrutmen tenaga kerja, sedangkan secara tidak
langsung dilakukan melalui pemberdayaan, pembinaan, dan pengembangan
usaha mikro, kecil, dan menengah (termasuk koperasi) sehingga terciptalah
lapangan kerja baik untuk pengusaha UMKM sendiri maupun untuk angkatan

2
Privatisasi adalah penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak
lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara
dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat (Pasal 1 angka 12 UU No.
19 Tahun 2003).

464 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


kerja lainnya. Berdasarkan data, sampai saat ini UMKM telah mempekerjakan
dua pertiga dari seluruh angkatan kerja yang berjumlah 106,9 juta orang.3
Namun BUMN diragukan kemampuannya untuk dapat menjalankan
fungsi dan perannya tersebut dengan baik mengingat kondisi BUMN yang cukup
memprihatinkan. Sebagaimana dikemukakan Ibrahim, BUMN baik yang dibentuk
untuk kepentingan profit (bisnis) maupun non profit (kepentingan umum)
dipersepsikan oleh publik sebagai perusahaan yang sangat tidak efisien dan
sangat tidak efektif, amburadul, salah urus, manajemen by kuasa, dan sarat
dengan korupsi-kolusi. Hal ini dibuktikan oleh sejarah BUMN yang selalu
dijadikan “sapi perahan” atau “sumber mencari dana” bagi yang berkuasa untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok.4
Buruknya kondisi BUMN yang berbentuk Persero tentu saja patut
disayangkan karena mengakibatkan tujuan Persero untuk mengejar keuntungan
belum tercapai dengan baik, padahal negara sangat membutuhkan dana apalagi
dalam kondisi krisis keuangan global seperti sekarang ini. Buruknya kondisi
Persero mengindikasikan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance/GCG) belum diimplementasikan dengan baik. Oleh karena
itu untuk memperbaiki kondisi tersebut, salah satu sasaran peningkatan
pengelolaan BUMN pada tahun 2008 adalah meningkatkan pelaksanaan tata
kelola usaha yang baik pada BUMN.5
Melalui upaya tersebut diharapkan BUMN, khususnya yang berbentuk
Persero dapat menjalankan perannya secara optimal, memberikan manfaat bagi
keuangan negara, dan mampu menjawab tantangan dan persaingan tingkat tinggi
(hyper-competition) baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Kemampuan bersaing ini penting sehubungan dengan adanya globalisasi

3
Kemal Syamsuddin (Pemerhati Kebijakan Publik dan Direktur Eksekutif Institute for National),
“Peran BUMN Mengatasi Pengangguran”, http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-
Peran-BUMN-Mengatasi-Pengangguran,1, diakses tanggal 18 Februari 2009.
4
Ibrahim R, “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”, Jurnal Hukum
Bisnis, volume 26-No.1-Tahun 2007, hal. 5-14.
5
BAB 20 Peningkatan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), http://www.bappenas.go.id/
index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpress/RKP%202008/
Rancangan%20Awal/Buku2/&view=Bab%2020%20-%20Narasi.pdf, diakses tanggal 20 Februari
2009

Hambatan Implementasi Tata...... 465


ekonomi6 dan liberalisasi perdagangan yang telah disepakati dunia internasional
seperti World Trade Organization (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA),
ASEAN Framework Agreement on Service, dan kerja sama ekonomi regional
Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation/APEC), yang mengakibatkan
kegiatan ekonomi dan persaingan bisnis di Era Globalisasi tidak mengenal batas
negara.

II. Perumusan Masalah

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003, BUMN yang


berbentuk Persero memiliki tujuan utama mengejar keuntungan. Oleh karena
itu, di tengah krisis keuangan global seperti sekarang ini Persero diharapkan
dapat menjalankan perannya dan mencapai tujuannya dengan baik mengingat
negara sangat membutuhkan dana.
Ironisnya kondisi beberapa Persero masih cukup memprihatinkan dan
justru menjadi beban bagi keuangan negara. Berdasarkan data dari Kementerian
Negera BUMN, beberapa Persero seperti PT PLN, PT Garuda Indonesia, PT
Pelni, dan PT Inhutani7 tidak menghasilkan keuntungan, melainkan menderita
kerugian sehingga negara harus memberikan modalnya. Kerugian ini
mengindikasikan Persero belum dikelola secara baik dan profesional.
Berpijak pada kondisi tersebut, sangatlah menarik untuk mengkaji
permasalahan apakah GCG untuk Persero telah diatur dengan baik dalam UU
No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
yang menjadi landasan hukumnya? Bagaimanakah pengaturannya? Dan apa
hambatan Persero dalam melaksanakannya?

6
Globaliasasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai mendunianya kegiatan ekonomi dan keterikatan
ekonomi. Kegiatan perekonomian tidak lagi mengenal batas kenegaraan, bukan lagi sekedar
internasional tapi bahkan transnasional. Transnasionalisasi kegiatan perekonomian tersebut tidak
hanya terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, melainkan meluas ke aspek produksi
dan pemasaran, bahkan sumber daya manusia. Konsekuensi dari semua ini, perekonomian antar
negara semakin berkaitan erat dengan peristiwa ekonomi di sebuah negara yang akan dengan
cepat dan mudah merambah ke negara-negara lain (Dumairy, “Perekonomian Indonesia, Jakarta:
PT Erlangga. 1996, hal. 10).
7
Kinerja BUMN, http://www.kapanlagi.com/h/0000148337.html, Kamis, 14 Desember 2006, diakses
tanggal 13 Februari 2008.

466 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


III. Kerangka Pemikiran

Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance)

Corporate governance dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia


dengan “pengendalian perusahaan” atau “tata kelola perusahaan”, atau ada juga
yang menterjemahkan dengan “tata-pamong perusahaan”.8 Dengan demikian
good corpoorate governance (GCG) dapat diterjemahkan sebagai “tata kelola
perusahaan yang baik”.
Timbulnya GCG dipicu oleh terjadinya berbagai skandal besar yang
menimpa perusahaan-perusahaan baik di Inggris maupun Amerika Serikat pada
tahun 1980an berupa berkembangnya budaya serakah dan pengambilalihan
perusahaan secara agresif sehingga menyadarkan perlunya sistem tata kelola
perusahaan. Tata kelola ini diperlukan karena dalam suatu perusahaan selalu
terjadi pertarungan antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab kolektif, selalu
ada potensi konflik antara pemilik saham dan pimpinan perusahaan, antara
pemilik saham mayoritas dan minoritas, antara pekerja dan pimpinan perusahaan,
ada potensi mengenai pelanggaran perlindungan lingkungan, potensi kerawanan
dalam hubungan antara perusahaan dan masyarakat setempat, antara
perusahaan dan pelanggan ataupun pemasok, dan sebagainya. Oleh karena itu
pertarungan dan potensi konflik itulah yang menjadi inti pengaturan dari GCG.9
Semula paham corporate governance berkembang di negara-negara
seperti Inggris dan Amerika, namun kemudian juga berkembang di negara-negara
lain.10 Akhirnya GCG menjadi suatu konsep untuk mengelola perusahaan secara
baik di banyak negara termasuk Indonesia. Namun demikian sampai saat ini
belum ada kesamaan pengertian tentang GCG. Terkait dengan pengertian GCG,
Mishardi Wilamarta dalam bukunya yang berjudul “Hak Pemegang Saham
Minoritas dalam Rangka Good Corporate Governance” mengemukakan berbagai
pengertian GCG sebagai berikut:11
1. Konsep yang menyangkut struktur perseroan, pembagian tugas, pembagian
wewenang dan pembagian beban bertanggung jawab dari masing-masing
unsur yang membentuk struktur perseroan dan mekanisme yang harus

8
“Sejarah Timbulnya Corporate Governance”, ditulis pada 9 Oktober 2007 oleh Onvalue, http://
fe.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=2109, diakses tanggal 30 Juli 2009.
9
Ibid
10
Ibid
11
Mishardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate Gover-
nance, Jakarta: UI Press, 2002, hal. 39-40.

Hambatan Implementasi Tata...... 467


ditempuh oleh masing-masing unsur dari struktur perseroan tersebut serta
hubungan-hubungan antara unsur-unsur dari struktur perseroan, mulai dari
RUPS, direksi, komisaris, juga mengatur hubungan antar unsur-unsur dari
struktur perseroan dengan unsur-unsur di luar perseroan, yaitu negara yang
sangat berkepentingan akan memperoleh pajak dari perseroan yang
bersangkutan dan masyarakat luas, yang meliputi para investor publik dari
perseroan itu, calon investor, kreditor dan calon kreditor perseroan.
2. perangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengurus, pihak kreditor, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya, sehubungan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan.
3. Proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola
bisnis dan urusan-urusan perusahaan, dalam rangka meningkatkan
kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain.
4. Seluruh sistem dari hak, proses dan pengendalian yang dibentuk di dalam
dan di luar manajemen secara menyeluruh dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan stakeholder.
5. Keterkaitan antara kepemilikan suatu organisasi perusahaan dan
manajemen, peranan, keterkaitan dan tanggung jawab pada pihak-pihak
yang terkait langsung maupun tidak langsung pada organisasi perusahaan
yang disebut stakeholders responsibility.
6. Kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat
mendorong kinerja perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang
saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan.
7. Sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan,
agar mencapai kesinambungan antara kekuatan kewenangan yang
diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya
dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan
pengaturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan
sebagainya.
Dari berbagai pengertian tentang GCG tersebut dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan GCG adalah suatu konsep untuk mengelola perusahaan
secara baik. Di dalam pengelolaan tersebut diatur struktur perusahaan; tugas,

468 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


wewenang, dan tanggung jawab dari masing-masing organ perusahaan yang
membentuk struktur perusahaan; hubungan internal antar organ perusahaan
sehingga tercipta check-balance yang baik dalam mengelola perusahaan; dan
juga hubungan eksternal perusahaan dengan stakeholder di luar perusahaan
(secondary stakeholder).
Meskipun konsep GCG beragam, namun semuanya didasarkan pada
suatu tujuan yang diorientasikan pada upaya penciptaan pengelolaan
perusahaan yang efektif dan efisien sekaligus mampu melindungi hak-hak dari
para pelaku perusahaan sehingga akhirnya terwujudlah budaya perusahaan
(corporate culture) yang sehat dan baik. Tujuan dan maksud dari GCG juga
dapat ditemukan dalam Pedoman GCG yang dikeluarkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Corporate Governance, sebagai berikut:12
1. memaksimalisasi nilai perseroan dan nilai perseroan bagi saham dengan
cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas dapat dipercaya,
bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang
kuat, baik secara nasional maupun internasional, serta dengan demikian
menciptakan ilklim yang mendukung investasi.
2. mendorong pengelolaan perseroan secara profesional, transparan dan efisien,
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Dewan
Komisaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
3. Mendorong agar pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota
Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai
moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial Perseroan
terhadap pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun kelestarian
lingkungan disekitar Perseroan.
Terkait dengan tujuan GCG, I Ketut Mardjana mengungkapkan bahwa
Corporate governance merupakan proses dan struktur pengelolaan bisnis dan
urusan-urusan perusahaan lainnya dalam rangka meningkatkan kemakmuran
korporasi dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai
pemegang saham yang optimal dalam jangka panjang dan dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Dengan demikian corporate
governance mengandung dua aspek keseimbangan utama, yakni:13
1. Keseimbangan internal, yang mengatur hubungan antara organ-organ
perusahaan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris dan

12
Budi Agus Riswandi, “Percepatan Implementasi GCG dalam Pengelolaan BUMN: (Strategi dan
Upaya Pemberantasan Korupsi di Badan Usaha Milik Negara)”, Jurnal Keadilan, Vol. 4 No. I,
Tahun 2005/2006, hal.8-17
13
I Ketut Mardjana,”Corporate Governance dan Privatisasi,” Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1,
No. 2 (Oktober-Desember 2002, hal 30-31.

Hambatan Implementasi Tata...... 469


Direksi. Khususnya yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur
kelembagaan dan mekanisme operasional, dan
2. Keseimbangan eksternal, yang menekankan bahwa perusahaan sebagai
entitas bisnis yang berada di tengah-tengah masyarakat hendaknya juga
memperhatikan hubungan antara perusahaan dengan seluruh stakeholder
sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Dengan
kata lain, perusahaan selayaknya menciptakan keseimbangan antara
kepentingan pemegang saham untuk mendapatkan keuntungan dan berbagai
kemanfaatan bagi stakeholder lainnya sehingga dalam jangka panjang
penyelenggaraan korporasi tidak menimbulkan benturan kepentingan
Agar GCG dapat diselenggarakan dengan baik maka ada beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu:14
a. Pertanggungjawaban (responsibility). Tanggung jawab perusahaan tidak
hanya diberikan kepada pemegang saham melainkan juga kepada
stakeholder.
b. Transparansi (transparency). Perusahaan harus menyediakan informasi yang
material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh
pemangku kepentingan.
c. Akuntabilitas (accountability). Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar
d. Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness). Dalam melaksanakan kegiatannya,
perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham
dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan
kewajaran
e. Independensi (Independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing
organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
oleh pihak lain.
Di Indonesia, konsep GCG mulai banyak diperbincangan di Indonesia
pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi melanda Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Dampak dari krisis tersebut, banyak perusahaan (termasuk
BUMN) berjatuhan karena tidak mampu bertahan. Salah satu penyebabnya
adalah karena pertumbuhan yang dicapai tidak dibangun di atas landasan yang
kokoh sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.15

14
Good Corporate Governance, http://one.indoskripsi.com/node/7061, diakses 27 Agustus 2009.
15
Ibid.

470 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


Menyadari situasi dan kondisi yang demikian, pemerintah melalui
Kementerian Negara BUMN mulai memperkenalkan konsep GCG di lingkungan
BUMN (termasuk Persero), sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kinerja
BUMN (Persero) yang memiliki nilai aset yang demikian besar untuk mendukung
pencapaian penerimaan/pendapatan negara, sekaligus menghapuskan berbagai
bentuk inefisiensi, korupsi, kolusi, nepotisme dan penyimpangan lainnya untuk
memperkuat daya saing BUMN (Persero) menghadapi pasar global.16

IV. Pengaturan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Persero dalam
UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007

Sebagaimana telah dijelaskan, Persero merupakan salah satu jenis


BUMN dan karenanya Persero tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal
19 Juni 2003. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No. 19
Tahun 2003, Bab VI, Paragraf II, Pembentukan UU No. 19 Tahun 2003 tersebut
antara lain dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa
yang akan datang dan meletakkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance). Lebih lanjut Bab VI, Paragraf
III juga menyebutkan bahwa UU No. 19 Tahun 2003 juga dirancang untuk
menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan berlandasakan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai (value) BUMN,
serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar
asas tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Dengan demikian, dari Penjelasan
Umum tersebut nampak bahwa UU No. 19 Tahun 2003 memberikan aturan yang
dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengelola Persero secara baik
berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Mengingat Persero berbentuk perseroan terbatas maka selain tunduk
pada UU No. 19 Tahun 2003, Persero juga tunduk pada UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 UU No. 19
Tahun 2003 yang menyebutkan “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan
dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Pada
tanggal 16 Agustus 2007, UU No. 1 Tahun 1995 diganti atau disempurnakan

16
Ibid

Hambatan Implementasi Tata...... 471


dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana
disebutkan dalam Penjelasan Umum Paragraf II UU No. 40 Tahun 2007, salah
satu alasan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1995 tersebut adalah meningkatnya
tuntutan masyarakat akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan
prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Dengan
demikian sama dengan UU No. 19 Tahun 2003, UU No. 40 Tahun 2007 juga
telah mengakomodir tata cara pengelolaan perusahaan (termasuk Persero) secara
baik.
Pengaturan GCG baik yang ada dalam UU No. 19 Tahun 2003 maupun
UU No. 40 Tahun 2007 tidak hanya mencakup keseimbangan internal yang
mengatur hubungan antara organ-organ Persero dalam suatu struktur
perusahaan, melainkan juga keseimbangan eksternal yang menekankan
perusahaan untuk memperhatikan hubungannya dengan seluruh stakeholders
sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Selain itu
sebagai pelaksanaan dari prinsip pertanggungjawaban, UU No. 19 Tahun 2003
dan UU No. 40 Tahun 2007 juga mengamanatkan perusahaan untuk mentaati
semua peraturan perundang-undangan.17 Sebagaimana dikemukakan Haryadi
Sukamdani, tingkat ketaatan perusahaan pada peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu indikator selain laba perusahaan untuk mengukur seberapa
jauh suatu perusahaan telah menerapkan GCG.18
Terkait dengan keseimbangan internal, UU No. 19 Tahun 2003 juncto
UU No. 40 Tahun 2007 antara lain mengatur mengenai: 1) struktur organ BUMN
yang berbentuk Persero beserta tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari
masing-masing organ; 2) hubungan antar organ Persero sehingga terciptalah
check and balance yang baik dalam pengelolaan, pengurusan, dan pengawasan
Persero; dan 3) hubungan antara Persero dengan pemegang saham.
Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007,
struktur Persero terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris. Direksi bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuan Persero
serta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan
Komisaris bertanggung jawab penuh atas pengawasan Persero untuk
kepentingan dan tujuan Persero, serta memberikan nasihat kepada Direksi.

17
Lihat Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2007 dan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2003, yang mengamanatkan
perusahaan untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan.
18
Wawancara dilakukan dengan Haryadi Sukamdani {Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO)}, Laporan Hasil Penelitian tentang “Membangun Tata Kelola Perusahaan yang Baik
pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”, penelitian dilakukan pada Mei-September 2008.

472 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


Dalam melaksanakan tugasnya, baik Direksi dan Komisaris harus mematuhi
Anggaran Dasar Persero, peraturan perundang-undangan, dan wajib
melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran
(prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik).
Selain kewajiban, UU juga mengatur larangan bagi Direksi, dan
Komisaris untuk mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun
tidak langsung dari kegiatan Persero. Mereka juga dilarang dan tidak berwenang
mewakili Persero apabila terjadi perkara di depan pengadilan antara Persero
dengan dirinya atau mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan
kepentingan Persero. Larangan lainnya adalah tidak boleh merangkap jabatan
yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dan jabatan lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusus untuk Direksi juga
dilarang untuk merangkap jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/
lembaga pemerintah pusat dan daerah. Direksi dan Komisaris, dan bahkan
karyawan BUMN dilarang untuk memberikan atau menawarkan atau menerima
baik langsung maupun tidak langsung sesuatu yang berharga kepada atau dari
pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai
imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Organ lainnya yaitu RUPS juga diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2003.
Di dalam Persero, Menteri19 bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham
Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada persero
dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
Menteri dapat memberikan kekuasaannya tersebut dengan hak substitusi kepada
perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Namun pihak
yang menerima kuasa harus mendapat persetujuan dari Menteri untuk mengambil
keputusan dalam RUPS mengenai perubahan jumlah modal; perubahan anggaran
dasar, rencana penggunaan laba; penggabungan, peleburan, pengambilalihan,
pemisahan, serta pembubaran Persero, investasi dan pembiayaan jangka
panjang; kerjasama Persero; pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
dan pengalihan aktiva.
Selaku RUPS atau pemegang saham mayoritas, Menteri memiliki
kewenangan yang cukup besar untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi

19
Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku
pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5 UU No. 19 Tahun 2003).

Hambatan Implementasi Tata...... 473


dan Komisaris. Namun demikian pengangkatan dan pemberhentian tersebut
tidak dapat dilakukan sesuka hati, melainkan harus sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan dalam UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007.
Secara umum, untuk dapat diangkat sebagai Direksi dan Komisaris, seseorang
harus mampu melakukan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit
atau menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan Persero dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selain syarat
tersebut, pengangkatan seseorang menjadi Direksi, Komisaris, atau Dewan
Pengawas juga harus berdasarkan pada pertimbangan keahlian, integritas,
kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi
untuk memajukan dan mengembangkan BUMN. Khusus untuk pengangkatan
anggota Direksi dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan. Sedangkan
untuk pemberhentian Direksi dan Komisaris dapat dilakukan sewaktu-waktu,
namun dengan menyebutkan alasannya.
Sebagai alat kontrol terhadap Persero, UU No. 19 Tahun 2003 mengatur
satuan pengawasan intern, Komite Audit, dan Komite lain. Satuan pengawas
intern merupakan aparat pengawas intern perusahaan yang dipimpin oleh seorang
kepala dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama. Atas permintaan tertulis
Komisaris, Direksi memberikan keterangan hasil pemeriksaan atau hasil
pelaksanaan tugas satuan pengawasan intern. Direksi juga wajib memperhatikan
dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu
yang dikemukakan dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh
satuan pengawasan intern. Sedangkan Komite Audit wajib dibentuk oleh
Komisaris untuk membantu mereka dalam melaksanakan tugasnya. Komite
Audit tersebut dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung jawab kepada
Komisaris. Selain Komite Audit, Komisaris juga dapat membentuk komite lain
yang ditetapkan oleh Menteri.
Untuk menjadikan Persero bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme, UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur mengenai pemeriksaan eksternal.
Dalam hal ini pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor
eksternal yang ditetapkan oleh RUPS. Selain auditor eksternal, Badan Pemeriksa
Keuangan juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Persero sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 71 UU No. 19 tahun
2003). UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur bahwa selain organ Persero, pihak
lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan Persero.20 Ketentuan

20
lihat Pasal 91 UU No. 19 Tahun 2003

474 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


ini cukup penting agar Direksi dapat mengelola Persero secara independent,
terlepas dari campur tangan pihak mana pun.
Hal lain yang diatur dalam keseimbangan internal adalah hubungan
antara Persero dengan pemegang saham. Terkait dengan hal ini, Pasal 3 UU
No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab
secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan (Persero) dan
tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku apabila: a) persyaratan
Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b) pemegang
saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad
buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang saham
yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Perseroan; d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun
tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan,
yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang Perseroan. Aturan lainnya yang mengatur hubungan Persero dengan
pemegang saham adalah Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2007 yang memberikan
hak kepada pemegang saham untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam
RUPS; menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan
menjalankan hak lainnya berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007.
Aturan lainnya yang penting dan merupakan bentuk perlindungan hukum
terhadap pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas adalah Pasal
61 dan Pasal 62 UU No. 40 Tahun 2007. Pasal 61 ayat (1) UU No. 40 Tahun
2007 memberikan hak kepada pemegang saham untuk mengajukan gugatan
terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan
Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat
keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Sedangkan Pasal 62
ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 memberikan hak kepada pemegang saham
untuk meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang
wajar apabila yang bersangkutann tidak menyetujui tindakan Perseroan yang
merugikan pemegang saham atau Perseroan berupa: a) perubahan anggaran
dasar; b) pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai
nilai lebih dari 50% kekayaan bersih Perseroan; atau c) penggabungan,
peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
Sedangkan terkait dengan keseimbangan eksternal, UU No. 19 Tahun
2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007 mengatur hubungan eksternal antara Persero
dengan stakeholders di luar perusahaan (secondary stakeholders) seperti

Hambatan Implementasi Tata...... 475


pengusaha kecil; menengah; dan koperasi; dan juga masyarakat. Hubungan ini
penting yaitu selain dapat meminimalisasi atau bahkan mengantisipasi benturan
kepentingan antara Persero dengan secondary stakeholders, Persero juga
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi secondary stakeholders khususnya
bagi masyarakat yang ada di sekitar Persero. Sebagai contoh hubungan
eksternal tersebut adalah pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan/
Persero (Corporate Social Responsibility/CSR). Secara teoretik, CSR dapat
didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para
strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar
wilayah kerja dan operasinya.20
Dalam UU No. 19 Tahun 2003 diatur bahwa dalam rangka melaksanakan
CSR, Persero dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan
pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN
Pasal 88 ayat (1). Ketentuan ini merupakan upaya untuk mencapai salah satu
tujuan BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun
2003, yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Selain itu Persero dalam
batas kepatutan juga dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan sosial
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 90 UU No. 19
Tahun 2003).
Aturan tersebut merupakan penguatan dari Kepmen BUMN No. Kep-
236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan yang dibentuk pada tanggal 17 Juni 2003. Berdasarkan
Kepmen tersebut, BUMN memiliki dua program, yaitu:
a. Program Kemitraan BUMN (PK-BUMN) dengan usaha kecil, yang
menekankan pada peningkatan kemampuan usaha kecil agar cepat mandiri.
Dalam hal ini program kemitraan menyediakan dana pinjaman atau hibah.
b. Program Bina Lingkungan (PBL) yang ditujukan untuk pemberdayaan kondisi
sosial masyarakat (community development) oleh BUMN di wilayah usaha
masing-masing. PBL disalurkan dalam bentuk bantuan untuk membantu
meringankan beban korban bencana alam, peningkatan pendidikan dan/
atau pelatihan, peningkatan kesehatan, pengembangan prasarana dan
sarana umum, dan sarana rumah peribadatan.

20
Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bag. I), 17 Januari 2008, http://www.madani-
ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-bag-i/, diakses tanggal 19
Maret 2009.
476 Kajian Vol 14 No.3 September 2009
Kewajiban Persero untuk melaksanakan CSR juga diatur dalam Pasal
74 UU No. 40 Tahun 2007 yang menyebutkan “Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Adapun yang
dimaksud dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam ketentuan ini
adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya (Pasal 1 angka 3). Tanggung jawab sosial dan
lingkungan tersebut harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhitungkan kepatutan
dan kewajaran. UU bahkan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi Perseroan yang tidak melaksanakannya.
Dengan adanya pengaturan tata kelola perusahaan yang baik dalam
UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 yang dapat dijadikan sebagai
pedoman atau landasan hukum dalam pengelolaan Persero, diharapkan Persero
benar-benar menjadi perusahaan yang sehat dan berdaya saing tinggi sehingga
benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan dapat mencapai tujuan sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam UU No.19 Tahun 2003.

V. Hambatan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Persero

Dengan diaturnya tata kelola perusahaan yang baik dalam UU No. 19


Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 maka sudah menjadi kewajiban bagi
Persero untuk melaksanakannya. Artinya Persero harus dikelola secara baik
berdasarkan pada prinsip GCG sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun
2003 dan UU No. 40 Tahun 2007. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan
Umum Bab VI, Paragraf II UU No. 19 Tahun 2003, penerapan prinsip-prinsip
GCG tersebut sangatlah penting dalam pengelolaan dan pengawasan BUMN.
Hal ini didasarkan pada pengalaman yang membuktikan bahwa keterpurukan
ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia, antara lain disebabkan
perusahaan-perusahaan di negara tersebut tidak menerapkan prinsip-prinsip
tata kelola perusahaan yang baik (GCG) secara konsisten.21 Oleh karena itu
dengan dikelolanya Persero secara baik berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG

21
Penjelasan UU No. 19 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4297.

Hambatan Implementasi Tata...... 477


diharapkan Persero mampu menjalankan perannya dengan baik untuk
mensejahterakan rakyat.
Terkait dengan pengelolaan Persero, sebagaimana dikemukakan oleh
Haryadi Sukamdani beberapa Persero telah dikelola secara baik.22 Hal ini
diindikasikan dengan adanya laba yang dihasilkan. Berdasarkan data, beberapa
Persero yang memperoleh laba pada tahun 2005 adalah PT Pertamina dengan
laba Rp16,4 triliun lebih, PT Telkom Tbk Rp7,9 triliun lebih, dan PT Semen
Gresik Rp 1 triliun lebih.23 Namun berdasarkan hasil kajian dari Pusat Kajian
Kinerja Kelembagaan, Lembaga Administrasi Negara (LAN) diperoleh hasil
prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik ternyata belum tampak
pelaksanaannya dalam operasional perusahaan di beberapa BUMN (BUMN di
sini tentu juga mencakup Persero). Penyebabnya adalah pengetahuan dan
pemahaman SDM tentang prinsip-prinsip GCG masih kurang. Banyak SDM
yang belum mengikuti training, seminar, atau pun lokakarya. Selain itu penerapan
prinsip transparansi di sejumlah Persero juga terkendala dengan belum
memadainya sarana-prasarana, seperti belum tersedianya website.24
Dari sisi yuridis, belum optimalnya pelaksanaan GCG pada Persero
disebabkan sistem GCG yang ada dalam hukum Indonesia diantaranya UU No.
19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007, bersifat soft law (lunak). Tidak ada
sanksi pidana yang dijatuhkan pada Persero atau pun Perseroan Terbatas yang
tidak melaksanakan GCG. Sebagai contoh, Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun
2007 hanya menjatuhkan sanksi berupa tanggung jawab penuh secara pribadi
atas kerugian Perseroan kepada setiap anggota Direksi yang terbukti bersalah
atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Dalam hal Direksi terdiri atas dua anggota
Direksi atau lebih, tanggung jawab tersebut berlaku secara tanggung renteng
bagi setiap anggota Direksi {Pasal 97 ayat (4)}. Namun anggota Direksi tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Perseroan apabila dapat
membuktikan {Pasal 97 ayat (5)}: a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya; b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-
hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c)
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung

22
Wawancara dilakukan dengan Haryadi Sukamdani (Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indone-
sia/APINDO), op. cit.
23
Kinerja BUMN, op.cit.
24
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan, Evaluasi Penerapan prinsip-Prinsip Good Corporate Gover-
nance pada BUMN dan BUMD, Info Kajian Lembaga Administrasi Negara, Volume 1, No. 1, Juli
2006, Jakarta: Biro POK Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2006, hal. 1-10.

478 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d) telah mengambil
tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian Perseroan tersebut.
Sifat hukum yang lunak seperti itu berbeda dengan di Amerika Serikat dimana
pelaksanaan GCG-nya didukung oleh perangkat hukum yang keras (hard law).
The Sarbanes-Oxley Act of 2002 (SOX) sebagai produk hukum yang mengatur
pelaksanaan GCG mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk menjalankan
prinsip-prinsip GCG. Konsekuensinya, perusahaan yang tidak melaksanakan
GCG dapat dikenai sanksi baik perdata maupun pidana.25
Dengan sifat hukum pelaksanaan GCG yang lunak seperti di Indonesia26
menandakan GCG hanya sekedar sebagai code of conduct atau etika bisnis
semata. Mengingat hanya sebagai etika bisnis maka sebagaimana dikemukakan
oleh Amir, pelaksanaan GCG tidak bersifat memaksa (mandatory) melainkan
hanya didasarkan pada niat baik (good will) semata dari perusahaan/Persero.
Akibatnya penegakan GCG pada Persero cukup lemah. Lebih lanjut Amir juga
mengemukakan bahwa pelaksanaan GCG pada Persero juga terhambat oleh
dualisme sikap pemerintah yang tidak hanya bertindak sebagai regulator
melainkan juga operator sehingga timbullah conflict of interest dalam pengelolaan
Persero.27
Hambatan lain dari pelaksanaan GCG pada Persero adalah adanya
pengaruh atau intervensi politik yang sering terjadi dalam pengelolaan Persero.
Terkait dengan hal ini, Amir mengemukakan bahwa pertimbangan politis selalu
lebih besar jika dibandingkan dengan pertimbangan profesionalisme. Hal ini
ditunjukkan dengan ditempatkannya mantan-mantan pejabat yang tidak memiliki
kompetensi menjadi komisaris di Persero. Sebagai contoh: mantan anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditempatkan menjadi Komisaris di PT.
Krakatau Steel, begitupula mantan pejabat militer ditempatkan menjadi Komisaris
di PT. Pertamina.28 Ini tentu saja menyalahi aturan yang mengamanatkan untuk
mengangkat Direksi dan Komisaris berdasarkan pada profesionalisme dan
kredibilitas yang bersangkutan. Akibatnya, Direksi dan Komisaris kurang dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.

25
Daniri, Corporate Governance Gagal?, http://www.madani-ri.com/2008/11/06/corporate-gov-
ernance-gagal/, diakses tanggal 30 Juli 2009.
26
Selain di Indonesia, sifat hukum pelaksanaan GCG yang lunak juga diterapkan di Inggris dan
Australia.
27
Wawancara dilakukan dengan Amir (Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo),
Laporan Hasil Penelitian tentang “Membangun Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)”, penelitian dilakukan pada Mei-September 2008.
28
Ibid.

Hambatan Implementasi Tata...... 479


Ditinjau dari sisi yuridis, penunjukan/penempatan Direksi dan Komisaris
yang tidak sesuai dengan amanat UU tersebut dimungkinkan terjadi khususnya
pada Persero yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah (Persero
yang belum go public atau belum melakukan privatisasi). Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, hal tersebut disebabkan berdasarkan Pasal 15 juncto
Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2003, kewenangan Menteri dalam pengangkatan
dan pemberhentian Direksi dan Komisaris khususnya dalam Persero yang seluruh
sahamnya dimiliki oleh pemerintah, cukup besar. Dalam Persero tersebut,
Menteri bertindak selaku RUPS, dan karenanya pengangkatan dan
pemberhentian Direksi dan Komisaris ditetapkan oleh Menteri. Dengan demikian,
meskipun pengangkatan Direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan
dan kepatutan,29 namun Menteri tetap memiliki peran dan pengaruh yang cukup
besar dalam pengangkatan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris. Kondisi
ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan Menteri yang umumnya anggota suatu
partai politik memiliki kecenderungan untuk menempatkan koleganya pada posisi
strategis sebagai Direksi atau Komisaris pada suatu Persero.
Lebih lanjut amir juga mengemukakan bahwa selain pengangkatan
Direksi dan Komisaris yang tidak kompeten, pengaruh atau intervensi politik
terhadap pengelolaan Persero juga dikhawatirkan dapat mendorong terjadinya
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merugikan keuangan negara.30 Terkait
dengan KKN, berdasarkan hasil temuan dari Indonesia corruption Watch (ICW),
selama 2004-2006 ada indikasi terjadi korupsi sekitar Rp.10,484 triliun di sejumlah
BUMN. Temuan tersebut berdasarkan pada 57 kasus yang sudah terungkap
dan diduga merugikan keuangan negara. ICW mengindikasikan kerugian negara
terbesar ada di sektor keuangan yaitu perbankan dan asuransi sebesar Rp.5,3
triliun, kemudian sektor energi dan listrik sebesar Rp.3 triliun. Diantara kasus
tersebut, modus penyimpangan yang paling banyak dilakukan adalah
penggelembungan dana proyek dengan total kerugian negara sebesar Rp.4 triliun,
disamping juga manipulasi dan kredit macet yang mencapai Rp.2,87 triliun dan
Rp.2,2 triliun.31 Banyaknya kredit macet di sejumlah BUMN juga dikemukakan
oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa mayoritas
piutang yang bermasalah terdapat pada Bank BUMN, yaitu dari total Rp.56,3

29
Lihat: Pasal 16 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003
30
Ibid
31
Badan Usaha Milik Negara Diduga Korupsi Rp 10 Triliun, http://www.komisiyudisial.go.id/
index2.php?option=isi&do_pdf=1&id=1483, diakses tanggal 18 Februrai 2009.

480 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


triliun, 72 persen milik BUMN.32 Terjadinya berbagai kasus KKN menandakan
prinsip accountability belum dilaksanakan secara optimal dalam pengelolaan
BUMN.
Dampak lain dari intervensi politik (politisasi) adalah maksud dan tujuan
Persero terutama dalam mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai
perusahaan kurang dapat dilaksanakan dengan baik, padahal Persero sangat
diharapkan dapat menghasilkan dana yang sangat dibutuhkan untuk mengisi
kas negara. Oleh karena itulah Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Ade Komarudin
(sekarang menjadi anggota Komisi XI DPR RI) mengemukakan bahwa kebijakan
yang dihasilkan manajemen BUMN harus diminimalisasi dari intervensi politik
agar Persero dapat melaksanakan program-programnya dengan baik untuk
melayani masyarakat dan menyumbang pendapatan negara. Begitu pula
Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy juga berpendapat politisasi pada
Persero harus dihilangkan agar tidak ada “ongkos politik” yang merugikan
Persero. Upaya yang sangat penting untuk dilakukan diantaranya adalah
meminimalkan penunjukan politik pada jajaran direksi dan meningkatkan
penunjukan profesional.33
Selain pengaruh atau intervensi politik, sebagaimana diungkapkan oleh
Aditiawan Chandra, pengelolaan BUMN (termasuk Persero khususnya Persero
yang belum go public) juga dipenuhi dengan banyaknya campur tangan baik
langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk
seperti gangguan, rongrongan, atau pun permintaan khusus diantaranya berasal
dari instansi teknis yang membawahi aspek pembinaan, pemerintah, anggota
dewan, dan masyarakat lokal pada Direksi BUMN. Akibatnya, Direksi kurang
memiliki independency dalam menjalankan tugasnya mengelola BUMN.34
Hambatan lain dalam pelaksanaan GCG pada Persero sebagaimana
dikemukakan oleh Aditiawan Chandra adalah proses penggantian biaya
penyelenggaran tugas khusus yang diberikan pada Persero untuk melakukan
pelayanan umum seringkali membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga
dapat menghambat bisnis yang dijalankan oleh Persero. Selain itu Persero
juga mengalami kesulitan untuk memisahkan proses pembukuan dari kegiatan-

32
Ibrahim R, “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”, op.cit.
33
Peran Negara dan Pasar Harus Dipisah Politisasi Rugikan BUMN, Media Indonesia, 23 Juni
2005
34
Aditiawan Chandra (Pegawai BUMN), Mengelola BUMN dalam Kemelut Campur Tangan
Stakeholder, diarsipkan di bawah BUMN, Politik, Taktik Manajemen oleh Aditiawan, 25 Januari
2007, http://businessenvironment.wordpress.com/2007/01/25/mengelola-bumn-dalam-kemelut-
campur-tangan-stakeholders/. Diakses 18 Februari 2009.

Hambatan Implementasi Tata...... 481


kegiatan penugasan.35 Lamanya proses penggantian biaya dapat mengakibatkan
Persero kehilangan peluang bisnis yang diprediksi dapat menghasilkan
keuntungan karena kurangnya dana sebagai akibat biaya penyelenggaraan tugas
khusus belum diganti.
Penyelenggaraan tugas khusus tersebut sebenarnya merupakan
pelaksanaan tanggung jawab sosial Persero (corporate social responsibility)
pada masyarakat, dan karenanya Persero harus melaksanakannya dengan baik.
Namun demikian pelaksanaan tugas khusus tersebut juga harus memperhatikan
prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Hal ini disebutkan secara
jelas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU No. 19 Tahun 2003 sebagai
berikut:

“Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar


keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan
pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus
dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan
yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus
disertai dengan pembiayaan (kompensasi) berdasarkan
perhitungan bisnis atau komersial.”

Berpijak pada penjelasan tersebut maka proses penggantian biaya


penyelenggaraan tugas khusus pada Persero seharusnya dilakukan secara cepat
dan dengan perhitungan bisnis atau komersial yang tepat agar Persero dapat
menjalankan bisnisnya dengan baik.
Berbagai hambatan dalam pelaksanaan GCG pada Persero
sebagaimana yang telah dipaparkan dikhawatirkan menjadi salah satu penyebab
Persero menderita kerugian. Berdasarkan data dari Kementerian Negara BUMN,
hingga tahun 2005, dari 139 BUMN yang ada di Indonesia, sebanyak 35 BUMN
merugi. Adapun 10 Persero dengan rugi terbesar adalah PT PLN dengan kerugian
Rp 4,9 triliun lebih, PT Garuda Indonesia Rp.560,6 miliar lebih, PT MNA Rp.313
miliar, PT Danareksa Rp.182,3 miliar lebih, PT Pelni Rp.127,8 miliar lebih, PT
Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Rp.74,8 miliar, PTPN II Rp.68,3 miliar lebih,
PT Rukindo Rp.52,2 miliar, PT Posindo Rp.51,4 miliar, dan PT Inhutani I Rp.31,7
miliar.36

35
Ibid
36
Kinerja BUMN, op.cit.

482 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


Kerugian tersebut tentu saja menjadi beban bagi keuangan negara dan
karenanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI pada tanggal 24 Januari
2008, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani mengungkapkan kekecewaannya karena
pada saat harga komoditas di pasar dunia meningkat, pemerintah masih harus
memberikan modal ke BUMN.37 Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
mengatasi berbagai hambatan tersebut agar GCG benar-benar dapat
dilaksanakan dengan baik pada Persero sehingga Persero nantinya dapat
menjalankan bisnisnya dengan baik dan menghasilkan keuntungan atau dana
yang sangat dibutuhkan oleh negara.

VI. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Persero sebagai perusahaan negara merupakan salah satu pelaku


ekonomi yang memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam
pembangunan perekonomian untuk mensejahterakan rakyat. Dalam krisis
keuangan global seperti sekarang ini, Persero juga diharapkan dapat
menghasilkan keuntungan atau dana yang sangat dibutuhkan oleh negara. Agar
peran tersebut dapat dilaksanakan maka Persero harus dikelola dengan baik,
berdasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance/GCG) agar menjadi perusahaan yang efektif, efisien,
profesional, dan mampu bersaing di dunia bisnis baik di tingkat nasional, regional,
maupun internasional.
UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007 yang menjadi landasan
hukum Persero telah memberikan aturan yang dapat digunakan sebagai pedoman
untuk mengelola Persero secara baik berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG.
Pengaturan tidak hanya mencakup keseimbangan internal yang mengatur
hubungan antara organ-organ Persero dalam suatu struktur Persero, melainkan
juga keseimbangan eksternal yang menekankan Persero untuk memperhatikan
hubungannya dengan seluruh stakeholder sebagai perwujudan dari pemenuhan

37
Lembaga Studi dan Advokasi untuk Perlindungan Aset Negara, “Surat Terbuka untuk Presiden
RI, Menteri Ekonomi, Menneg BUMN, Kebijakan Pemerintah untuk Menyehatkan BUMN
Kontradiktif”. http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/
8507588.html, Jakarta, 28 Januari 2008. diakses 18 Februari 2009.

Hambatan Implementasi Tata...... 483


tanggung jawab Persero. Dalam keseimbangan eksternal diatur hubungan
eksternal antara Persero dengan secondary stakeholders diantaranya dalam
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR).
Namun demikian, pelaksanaan CSR tersebut juga harus memperhatikan prinsip-
prinsip pengelolaan perusahaan/Persero yang sehat agar Persero dapat
menjalankan bisnisnya dengan baik dan menghasilkan keuntungan/dana yang
sangat dibutuhkan oleh negara.
Meskipun ada beberapa Persero yang telah dikelola dengan baik, namun
ternyata masih ada beberapa Persero yang belum dikelola dengan baik
berdasarkan pada prinsip-prinsip GCG sebagaimana diatur dalam UU No. 19
Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007. Hal ini disebabkan adanya berbagai
hambatan pelaksanaan GCG pada Persero, yaitu kurangnya pengetahuan SDM
Persero tentang GCG; sarana-prasarana Persero yang kurang memadai; GCG
tidak bersifat mandatory melainkan hanya merupakan etika bisnis yang
pelaksanaannya didasarkan pada niat baik (good will) perusahaan; dualisme
sikap pemerintah; adanya pengaruh atau intervensi politik pada Persero; dan
adanya campur tangan pihak lain dalam pengelolaan Persero. Tidak dikelolanya
Persero secara baik dikhawatirkan dapat mengakibatkan Persero menderita
rugi. Oleh karena itu berbagai hambatan tersebut perlu diatasi agar Persero
dapat dikelola dengan baik dan menghasilkan keuntungan yang sangat
bermanfaat bagi negara.

B. Saran

Kegiatan ekonomi dan persaingan bisnis di era Globalisasi tidak


mengenal batas negara, dan karenanya semua pelaku bisnis termasuk Persero
dituntut untuk memiliki daya saing yang cukup tinggi jika tidak ingin merugi dan
tersingkir dari dunia bisnis. Selain itu Persero juga dituntut untuk menjadi
perusahaan yang profesional sehingga dapat menjalankan perannya dengan
baik dan justru tidak menjadi beban bagi keuangan negara. Untuk itu Persero
harus dikelola dengan baik, dengan berpedoman pada tata kelola perusahaan
yang baik (GCG).
Sebagai wujud pelaksanaan dari GCG, Persero hendaknya terus
memperhatikan dan menjaga keseimbangan baik internal maupun eksternal.
Terkait dengan keseimbangan eksternal, meskipun Persero memiliki tujuan
utama mengejar keuntungan namun hendaknya juga melaksanakan hubungan
eksternal dengan baik, diantaranya dengan melaksanakan CSR sebagaimana

484 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


diamanatkan oleh UU. Namun demikian dalam melaksanakan CSR, Persero
hendaknya juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan
yang sehat agar dapat menjalankan bisnisnya dengan baik dan mendatangkan
keuntungan yang bermanfaat bagi negara.
Berbagai hambatan pelaksanaan GCG pada Persero perlu segera diatasi
agar Persero benar-benar menjadi perusahaan yang profesional. Untuk itu
Persero hendaknya dijauhkan dari unsur-unsur sosial-politik dan campur tangan
dari pihak manapun terhadap pengelolaan Persero. Pemilihan Direksi dan
Komisaris juga harus dilakukan secara profesional, melalui mekanisme
sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu juga
perlu ada pelatihan dan peningkatan pengetahuan tentang GCG terhadap SDM
Persero sehingga mereka benar-benar memahami GCG dan arti penting untuk
mengimplementasikan GCG pada Persero.
Berbagai kasus korupsi yang terjadi pada Persero harus segera ditangani
dan diselesaikan dengan baik. Upaya ini cukup penting karena selain dapat
memberikan shock therapy bagi koruptor untuk tidak mengulangi perbuatannya
lagi, pemberantasan dan penanganan korupsi di Persero dapat meningkatkan
kinerja Persero dan mengembalikan uang negara sehingga kerugian keuangan
negara dapat diminimalisasi.

Hambatan Implementasi Tata...... 485


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Budi Agus Riswandi. “Percepatan Implementasi GCG dalam Pengelolaan BUMN:


(Strategi dan Upaya Pemberantasan Korupsi di Badan Usaha Milik
Negara).” Jurnal Keadilan. Vol. 4. No. I. Tahun 2005/2006.
Ibrahim R. “Landasan Filosofis dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan”.
Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26-No.1-Tahun 2007.
I Ketut Mardjana,”Corporate Governance dan Privatisasi.” Jurnal Reformasi
Ekonomi. Vol. 1. No. 2. Oktober-Desember 2002.
Laporan Hasil Penelitian tentang “Membangun Tata Kelola Perusahaan yang
Baik pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”, penelitian dilakukan
pada Mei-September 2008.
Mishardi Wilamarta. Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good
Corporate Governance. Jakarta: UI Press, 2002.
Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan. “Evaluasi Penerapan Prinsip-Prinsip Good
Corporate Governance pada BUMN dan BUMD”, Info Kajian Lembaga
Administrasi Negara. Volume 1. No. 1. Juli 2006. Jakarta: Biro POK
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 2006.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

C. Surat Kabar

Media Indonesia, 23 Juni 2005

D. Internet (Karya Individual)

Aditiawan Chandra. Mengelola BUMN dalam Kemelut Campur Tangan


Stakeholder, http://businessenvironment.wordpress.com/2007/01/25/
mengelola-bumn-dalam-kemelut-campur-tangan-stakeholders/. diakses
18 Februari 2009.

486 Kajian Vol 14 No.3 September 2009


Daniri, Corporate Governance Gagal?, http://www.madani-ri.com/2008/11/06/
corporate-governance-gagal/, diakses tanggal 30 Juli 2009.
Kemal Syamsuddin. “Peran BUMN Mengatasi Pengangguran”, http://
www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Peran-BUMN-Mengatasi-
Pengangguran,1. diakses 18 Februari 2009.

E. Internet (Karya non Individual)

BAB 20 Peningkatan Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). http://


w w w. b a p p e n a s . g o . i d / i n d e x . p h p ? m o d u l e = F i l e m a n a g e r &
func=download&pathext=ContentExpress/RKP%202008/
Rancangan%20Awal/Buku2/&view=Bab%2020%20-%20Narasi.pdf,
diakses 20 Februari 2009.
Badan Usaha Milik Negara Diduga Korupsi Rp 10 Triliun. http://
www.komisiyudisial.go.id/index2.php?option=isi&do_pdf=1&id=1483.
diakses 18 Februrai 2009.
Good Corporate Governance, http://one.indoskripsi.com/node/7061, diakses 27
Agustus 2009.
Kinerja BUMN. http://www.kapanlagi.com/h/0000148337.html. Kamis, 14
Desember 2006. diakses 13 Februari 2008.
Lembaga Studi dan Advokasi untuk Perlindungan Aset Negara, “Surat Terbuka
untuk Presiden RI, Menteri Ekonomi, Menneg BUMN, Kebijakan
Pemerintah untuk Menyehatkan BUMN Kontradiktif”. http://
www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/
8507588.html, Jakarta, 28 Januari 2008. diakses 18 Februari 2009.
Sejarah Timbulnya Corporate Governance, ditulis pada 9 Oktober 2007 oleh
Onvalue, http://fe.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=2109,
diakses tanggal 30 Juli 2009.
Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Bag. I), 17 Januari 2008,
http://www.madani-ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-
sosial-perusahaan-bag-i/, diakses tanggal 19 Maret 2009.

Hambatan Implementasi Tata...... 487

Anda mungkin juga menyukai