Pendahuluan
Saliva merupakan cairan hipertonik dari gingival crevicular fluid (GCF) dan eksudat
mukosa. Kurang lebih 90% saliva di sekresi dari kelenjar saliva dan kelenjar-kelenjar mayor
seperti kelenjar parotis, submandibular, dan sublingual. Kelenjar saliva dengan permeabilitas
jaringan yang tinggi dikelilingi oleh banyak kapiler, darah, asam, dan dapat mengalami
pertukaran molekul. Karakteristik dari saliva tidak berwarna, tidak berbau, densitas nya
1,004-1,009, dan pH 6,6-7,1. Normalnya manusia memproduksi 1,0-1,5L saliva per hari.
Saliva berisi 99% air dan sisanya adalah molekul organic (amilase saliva, mucoolisakarida,
mucin, dan lisosom) dan molekul inorganic (Na+, K+, Ca2+, Cl−). Saliva memiliki beberapa
fungsi, pertama, membantu membersihkan rongga mulut dengan menghilangkan bakteri atau
sisa makanan dan menyegarkan nafas. Kedua, amilase dari saliva mengkatalisasi karbohidrat
menjadi maltose dan terkadang glukosa di dalam mulut. Ketiga, lisosom dan thiocyanate ion
pada saliva bersifat bakterisidal, membuat saliva berperan penting dalam sistem imun non
spesifik manusia. Keempat, saliva dapat menjadi faktor risiko beberapa penyakit dengan cara
transmisi KI, Pb, dan Hg, serta virus seperti rabies, polio, dan HIV. Dahulu, dokter
mendiagnosis penyakit dengan menggunakan darah atau tes urin, yang cenderung lebih sakit
dan membuat pasien malu. Tetapi, saliva sekarang dipertimbangkan sebagai penentu biologis
yang cenderung lebih aman dan meminimalisir tersebarnya virus. Oleh karena itu, saliva
menyediakan cara baru yang non invasif untuk membantu mendiagnosis penyakit.
Komposisi Saliva
Saliva memiliki komposisi kompleks yang meliputi urea, amonia, asam urat, glukosa,
kolestrol, asam lemak, trigliserida, lemak, glikolipid, asam amino, hormos steroid, mucin,
amilase, lectin, glikoproteion, lisosom, peroksida, dan laktoferin. Saliva juga mengandung
konsentrasi tinggi dari Na+, Cl–, Ca2+, K+, HCO3–, H2PO4–, F–, I– and Mg2+. Selain itu,
rongga mulut.
1. Karies
Prevalensi karies pada rongga mulut memiliki korelasi dengan jumlah Streptococcus
memproduksi sampel saliva, lalu di inkubasi pada media pertumbuhan tertentu selama 24
jam. Saliva pada populasi tinggi karies mengandung >1×106 mL−1 of S. mutans dan atau
1×105 mL−1 of Lactobacillus. Sedangkan saliva pada populasi rendah karies mengandung
o1×105 mL−1 of S. mutans dan atau 1×104 mL−1 of Lactobacillus. Struktur dan fungsi dari
bakteri pada saliva telah dipelajari sebagai penentu untuk prediksi onset karies. Yang et al
menganalisis saliva orang dewasa dan menemukan adanya Prevotella genus yang lebih
2. Penyakit Periodontal
Baru-baru ini, beberapa peneliti membentuk enzim yang berbasis P. gingivalis untuk dapat
mendeteksi secara spesifik bakteri ini pada saliva. Apabila dibandingkan dengan reaksi
polimerase, bahan ini lebih cepat dan memiliki sensivitas 92%. Oleh karena itu, bahan ini di
harapkan dapat lebih mudah dan efisien ketika digunakan untuk mendeteksi P. gingivalis.
Penelitian terbaru mendeteksi kadar adrenomedullin (AM) dan nitric oxide (NO) pada saliva
dan GCF yang diambil dari pasien dengan gingivitis, periodontitis agresif, dan periodontitis
kronis dan dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki kelainan periodontal. Kadar AM
dan NO membedakan pasien periodontitis agresif dari yang lainnya. Pasien dengan
meningkat pada GCF dan kadar AM lebih tinggi pada pasien periodontitis dibandingkan
pasien gingivitis. Data ini menunjukkan hubungan antara NO dan AM pada penyakit
periodontitis. Hasil dari studi lain memperlihatkan bahwa kadar NO lebih berarti untuk
salah satu faktor yang dapat menyebabkan penyakit periodontal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara kadar superoxide saliva dengan gingival index,
kedalaman poket, dan kehilangan perlekatan pada pasien dengan periodontitis kronis.
Penelitian ini juga menunjukkan kemungkinan saliva sebagai suatu cara yang lebih mudah
dan non invasif untuk mendiagnosis pasien dengan kemungkinan kondisi lesi pre kanker.
tumour necrosis factor (TNF)-α pada saliva dapat digunakan untuk mengindikasi gingivitis
dan periodontitis. Kadar yang lebih tinggi pada pasien periodontitis menunjukkan bahwa
terdapat korelasi dengan gingival indes, kedalaman probing, dan kehilangan perlekatan. Oleh
karena itu, pengukuran ini berguna untuk menentukan diagnosis dan prognosis dari penyakit
periodontal. Belum lama ini, sistem baru yang menggunakan obat kumur baru untuk
memperkirakan jumlah neutrofil pada saliva dikembangkan untuk mengetahui ada atau
DNA spesifik tumor yang dapat ditemukan pada saliva, plasma, atau cairan tubuh lainnya.
Mutasi somatik ini dapat digunakan sebagai penentu untuk mendiagnosis tumor pada rongga
mulut. Pada saliva, DNA spesifik tumor ini 100% positif ditemukan pada pasien dengan
tumor rongga mulut, tetapi hanya 47-70% pada pasien tumor pada bagian tubuh lain.
Sebaliknya, DNA spesifik tumor ini ditemukan pada 80% sampel plasma dari pasien dengan
tumor rongga mulut dan pada 86-100% pasien dengan tumor pada bagian tubuh lain.
Berdasarkan hasil, saliva memiliki kelebihan DNA spesifik tumor yang dapat mendeteksi
tumor rongga mulut. Oleh karena itu, DNA pada saliva ini memiliki potensi untuk dapat
digunakan untuk mendiagnosis adanya kanker rongga mulut. DNA dari tumor yang berkaitan
dengan virus pada saliva contohnya adalah HIV dan herpes human virus (HHV), yang dapat
juga dikaitkan dengan kanker rongga mulut maupun bagian lain. Part et al menemukan bahwa
dibandingkan pada individu yang sehat, pasien dengan oral squamous cell carcinoma (OSCC)
memiliki level yang lebih rendah, dan mengindikasi adanya kanker rongga mulut.
Protein saliva dapat juga digunakan untuk mendeteksi kanker. Dilaporkan sebelumnya
bahwa peningkatan antigen tumor CA15-3 dan antibody untuk protein tumor c-erbB2, CA-
125 dan P53 pada saliva dapat digunakan untuk deteksi kanker rongga mulut dan kanker pada
bagian lainnya. Studi lebih lanjut memperlihatkan bahwa hyaluronidase, IL-6 and IL-8
mungkin merupakan penentu biologis untuk pasien yang memiliki head and neck squamous
cell carcinoma (HNSCC). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar IL-4, IL-10, IL-13
dan IL-1RA meningkat pada saliva pasien dengan OSCC, dimana IL-10 dan IL-13 meningkat
dan jumlah bakteri pada saliva pasien dengan tumor rongga mulut lebih banyak dari pasien
yang sehat.
4. Sindrom Sjogren’s
Sjögren’s syndrome (SS) adalah suatu penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan
mata kering dan xerostomia. Laju saliva berkurang dan komponen saliva nya berubah. Kadar
IL-4, IL-5, dan sitokin dapat memprediksi diagnosis dari pasien SS dengan akurat. Penelitian
lainnya mengidentifikasi 19 gen lainnya (EPSTI1, IFI44, IFI44L, IFIT1, IFIT2, IFIT3, MX1,
OAS1, SAMD9L, PSMB9, STAT1, HERC5, EV12B, CD53, SELL, HLA-DQA1, PTPRC,
B2M and TAP2) yang memiliki relasi terhadap patogenesis SS, yang dikarakteristikan
berdasatkan fungsinya, seperti induksi interferon, osmosis limfosit, dan persentase antigen.
Terdapat 3 protein yang dapat membantu mendiagnosis SS pada tahap awal, yaitu cathepsin
1. Diabetes Mellitus
Diabetes adalah penyakit metabolism yang disebabkan karena kurangnya sekresi insulin,
kelainan insulin, atau resistensi insulin, yang menyebabkan terjadinya gangguan metabolism
glukosa. Terdapat korelasi antara α-2-macroglobulin dan HbA1c, yang menunjukkan bawa
kadar -2-macroglobulin pada saliva dapat mempengaruhi control glycaemic pada pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2. Tetapi, konsentrasi melatonin saliva berkurang pada pasien
dengan diabetes tipe 2 dan pasien dengan periodontitis. Hal ini menunjukkan bahwa
melatonin saliva memiliki peranan penting dalam patogenesis diabetes dan penyakit
periodontal, dan dapat menjadi penentu untuk diagnosis dan perawatan kedua penyakit ini.
Barnes et al menemukan 475 metabolit spesifik pada saliva pasien dengan periodontitis dan
atau diabetes. Kadar sel, degradasi purin, metabolisme glutathione, oksidasi glutathione,
linoleate dan arachidonate meningkat secara signifikan pada pasien dengan gingivitis dan
periodontitis tetapi tidak diabetes. Sebaliknya, pasien dengan diabetes memiliki kadar
glukosa dan α-hydroxybutyrate yang lebih tinggi, berhubungan dengan berubahnya kadar
karbohidrat, dan lipid secara signifikan. Oleh karena itu, metabolisme dapat berguna untuk
menentukan diagnosis, perawatan, dan prognosis untuk penyakit periodontal dan diabetes.
Terdapat korelasi antara HbA1c dan konsentrasi glukosa saliva pada pasien diabetes.
Sehingga, saliva dapat digunakan untuk melihat konsentrasi glukosa pada pasien dengan
diabetes mellitus.
2. Penyakit Kardiovaskular
menemukan bahwa kadar inflamasi saliva sitokin meliputi IL-1β, IL-6, TNF-α and
Sitokin dapat menjadi penetu untuk penyakit periodontal dan atherosclerosis. Miller et al
menemukan bahwa C-reactive protein (CRP) adalah penentu yang paling akurat untuk acute
myocardial infraction. Acute myocardial infraction didiagnosis melalui kombinasi dari EKG
dan kadar CRP dengan sensitivitas 80% dan speksivitas 100%. Data ini memperlihatkan
kegunaan saliva sebagai biomarkers dengan EKG untuk mendiagnosis acute myocardial
infraction. Kadar α-2-HS-glycoprotein di saliva berkurang pada pasien dengan CVD, hal ini
menunjukkan bahwa peptidome mungkin dapat digunakan untuk mendiagnosis gejala awal
3. Infeksi Virus
Tes diagnosis untuk infeksi virus saat ini bergantung pada biomarkers saliva, seperti DNA
dan RNA virus, antigen, dan antibody. Terdapat uji saliva yang berbasis antibody untuk
mendeteksi virus, meliputi virus hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, HIV-1, rubella, dan lain-
lain. The Raffaele Scientific Institute di Milan menggunakan uji saliva yang diberi nama
OraQuick hepatitis C virus rapid antibody test untuk mendeteksi virus hepatitis C secara
cepat dan mudah. Selain itu, the dengue virus (DENV) RNA dan antigen nya dapat di deteksi
melalui saliva, dan dapat lebih efektif untuk mendeteksi penyakit. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Nefzi et al, saliva ditemukan lebih peka dibandingkan darah dalam
4. Kanker Pankreas
Kanker pancreas memiliki insidensi rendah tetapi mortalitasnya tinggi. Di dunia, lebih dari
200.000 pasien dengan kanker pankreas terdaftar dengan angka kematian 98%. Telah di
prediksi sebelumnya bahwa kanker pankreas akan menjadi penyebab kematian terbanyak di
dunia pada tahun 2030. Oleh karena itu, penting untuk dapat mendiagnosis dan
mengklasifikasikan pasien dengan kanker pankreas pada tahap awal, untuk dapat
memberikan perawatan yang tepat. Ditemukan bawa kadar KRAS, MBD3L2, ACRV1 dan
DPM1 berbeda antara pasien dengan pankreatitis dengan individu sehat. Penelitian lain
menunjukkan bahwa kadar hsa-miR-210 dan let-7c berlebih pada pasien pankreatitis. Selain
itu, terdapat peningkatan kadar hsa-miR-21, hsa-miR-23a, hsa-miR-23b, miR-29c dan hsa-
miR-216 secara spesifik pada pasien dengan kanker pancreas. Adanya miR-3679-5p dan
miR-940 dapat menjadi indikasi pasien terkena kanker pankreas. Terdapat korelasi antara
kemungkinan 64% lebih tinggi untuk terkena kanker pancreas. Terdapat peningkatan kadar
pada 31 bakteri dan penurunan pada 25 bakteri dari saliva pasien dengan kanker pankreas.
5. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu kanker yang paling umum terjadi pada wanita.
ATP6AP1 adalah ATPase yang terdapat pada jaringan normal seperti sumsum otak, darah,
saraf, dan kulit, dan juga berhubungan dengan beberapa tumor seperti karsinoma pada kepala
dan leher, tumor paru-paru, tumor adrenal, dan kanker jenis lainnya. Tetapi, prevalensi
terjadinya kanker payudara lebih besar dibandingan kanker lainnya. Antibody ATP6AP1
dapat dideteksi pada tahap awal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ATP6AP1 dapat
mRNA dan 1 protein yang dapat digunakan untuk mendeteksi kanker payudara dengan
sensitivitas 83% dan speksitivitas 97%. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar
epidermal growth factor (EGF) dan antigen carcinoembryonic pada saliva meningkat secara
signifikan pada pasien dengan kanker payudara. Kadar CA15-3 dan c-erB-2 juga ditemukan
meningkat pada saliva, yang memiliki korelasi pada pasien dengan kanker payudara.
Berdasarkan penelitian ini, saliva dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker payudara pada
tahap awal.
6. Kanker Paru-paru
Kanker paru-paru memiliki insidensi yang tinggi. Mutasi yang terdapat pada EGF receptor
(EGFR) adalah biomarkers spesifik pada tumor untuk non-small cell lung carcinoma
(NSCLC). Xiao et al menemukan 16 protein yang membedakan pasien dengan kanker paru
dengan individu sehat. Hal ini menunjukkan bahwa biomarkers proteomic dapat digunakan
7. Kanker Prostat
MiR-141 dan miR-21 adalah dua biomarkers tumor, MiR-141 meningkat secara signifikan
pada pasien kanker prostat tahap parah, sementara miR-21 jumlahnya meningkat pada kanker
prostat tahap awal. Oleh karena itu, saliva dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker
8. Penyakit Lainnya
Pada saliva pasien dengan maag dan gastritis kronis, DNA Helicobacter pylori dapat
ditemukan untuk mengidentifikasi infeksi. Terdapat korelasi yang signifikan antara caffeine
dengan penyakit hati. Oleh karena itu, saliva dapat digunakan untuk parameter yang efektif
untuk mendiagnosis chronic liver diseases (CLDs) dan penilaian fungsi hati pada CLD.
Saliva dari pasien dengan kegagalan ginjal kronis memperlihatkan peningkatan kadar NO
IgG, dan CRP) yang meningkat secara signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar
IgA, IgG, NO dan CRP pada saliva memiliki peran yang penting untuk melihat adanya
penyakit ginjal. Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kadar
saliva dengan sumsum tulang. Hal tersebut memungkinkan saliva untuk mendeteksi adanya
leukemia. Berdasarkan penelitian terbaru, trehalose saliva dapat dideteksi oleh sel yang
penyakit sudah semakin dijadikan acuan. Hal tersebut dapat diliat dari laju dan komposisi
saliva yang sudah di observasi dan di uji untuk menentukan diagnosis suatu penyakit.
Kemungkinan saliva digunakan sebagai penguji sudah diakui oleh Claude Bernard dan Ivan
Pavlov. Pada masa lalu, mulut kering digunakan untuk membedakan antara orang yang
keadaan, saliva yang di produksi oleh kelenjar parotis dan saliva yang di produksi oleh
kelenjar submaksila memiliki komposisi yang berbeda, dan perbedaan ini dapat diaplikasikan
untuk mendiagnosis dan menentukan prognosis suatu penyakit. Teknik yang semakin maju
membuat pengumpulan kedua sumber saliva ini dapat dilakukan. Saliva dari kelenjar parotis
diperoleh melalui teknik modifikasi Lashlet cup (dikembangkan oleh psikolog), sementara
saliva dari kelenjar submaksila diperoleh melalui teknik Block-Brottman (melalui cetakan
gigi). Laju saliva dari kelenjar parotis dan submaksila di stimulasi dengan cara menggunakan
asam sitrat pada lidah pasien atau dengan cara pasien menghisap permen lemon. Ketika saliva
sudah cukup untuk dipelajari, lajunya distimulasi dengan cara pasien mengunyah karet dan
meludah ke tabung atau dengan cara meletakkan adam sitrat pada kertas dan diletakkan di
lidah sehingga saliva akan terkumpul di dasar mulut, lalu diambil menggunakan syringe Luer
tanpa jarum. Cairan yang sejenis dengan saliva submaksila juga diambil dari dasar mulut.
Kelenjar saliva memproduksi banyak protein dan memungkinkan difus dari beberapa
protein serum. Karakteristik dan kuantitas dan substansi ini dapat menyediakan nilai terhadap
metabolisme tubuh. Saliva dari kelenjar parotis dan submaksila, duktus nya mempengaruhi
konsentrasi elektrolit dari saliva. Secara anatomi, duktusnya mirip dengan tubulus pada
ginjal. Terdapat beberapa fungsi yang berbeda, tetapi karena tidak terdapat sodium pada
kelenjar saliva, komposisi saliva normal memiliki kadar potassium yang lebih tinggi dan
Adanya perbedaan laju saliva dari yang normal dapat membedakan ada tidaknya suatu
penyakit. Banyak penelitian yang sudah menunjukkan perbedaan antara laju dan komposisi
saliva antara yang normal dengan yang tidak. Pengumpulan sampel saliva dilakukan dengan
Laju saliva mungkin berkurang pada pasien depresi atau yang sedang menggunakan
obat-obatan. Cystic fibrosis mempengaruhi komposisi sekresi dari kelenjar saliva mayor dan
juga laju dari kelenjar saliva minor. Pada individu yang tidak memiliki penyakit ini,
memungkinkan untuk mengumpulkan saliva dari bibir bawah ataupun palatum keras dengan
menggunakan pipet lambda. Tetapi pada anak dengan penyakit ini, pengumpulan saliva
Pada laju saliva yang abnormal, diharuskan untuk tidak memperhitungkan penyakit
yang langsung mempengaruhi kelenjar saliva. Parotitis yang rekuren dan Sjogren's syndrome
dapat mempengaruhi laju saliva. Ketika kondisi ini tidak diperhitungkan, perubahan pada
Berkurangnya laju saliva dihubungkan dengan kerusakan pada indra perasa pada lidah
(dysautonomia), diabetes mellitus, hipertensi, dan pada wanita yang sudah menopause.
Peningkatan laju saliva berhubungan dengan rabies, parkinsons, kehamilan, dan keracunan
merkuri. Tetapi, pada beberapa literature, penilaian antara kuantitas dan lajunya terpisah.
Pada penelitian ini, laju saliva tidak mempengaruhi parkinsons. Kelainan mengeluarkan air
liur dapat terjadi karena kurangnya kemampuan untuk menelan. Data terakhir tidak
memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara peningkatan laju saliva dengan kehamilan.
Oleh karena itu, adanya hipersalivasi harus dievaluasi apakah ada faktor lain seperti
Hubungan antara hormone dengan korteks adrenal dan komposisi saliva merupakan
topik yang terus dipelajari. Penelitian selumnya menggunakan saliva mengatakan bahwa
rasio sodium-potassium pada saliva tinggi pada Addison’s disease dan rendah pada Cushing’s
disease.
menyebabkan konversi angiotensin II meningkat. Semakin tinggi kadar angiotensin II, akan
menyebabkan reabsorpsi renal yang hebat sebagai pengganti untuk ion potassium dan
konsentrasi sodium dan juga penurunan laju saliva dari kelenjar parotis maupun submaksila
dipelajari. Apabila berhasil, korelasi antara perubahan pada plasma renin, sekresi aldosterone,
dan angiotensin dengan adanya perubahan pada elektrolit saliva dapat digunakan untuk
mendiagnosis hipertensi.
Hubungan lainnya dengan hormon, yaitu sekresi pada submaksila selama dan setelah
kehamilan. Saliva diambil dari sampel kelompok wanita yang sedang hamil dan 6 minggu
setelah melahirkan. Konsentrasi kalsium pada saliva submaksila lebih rendah saat hamil
pada saliva parotis dan submaksila dari sampel wanita yang hamil dibandingkan sesudah
melahirkan.
Efek dari penggunaan obat dengan komposisi saliva berhubungan dengan sensitivitas
kelenjar saliva terhadap perubahan metabolisme. Penelitian terbaru mengenai elektrolit saliva
sebagai uji untuk toksisitas dapat berguna untuk mengevaluasi pasien dengan kelainan
asam nukleat, elektrolit, dan hormon. Sekresi dari kelenjar gingiva yang hypotonic
digunakan untuk menjadi penentu diagnostik dengan konsentrasi yang lebih rendah dari
darah tetapi tetap dapat digunakan untuk melihat kesehatan dan keadaan tubuh.
Saliva diproduksi dari tiga kelenjar mayor yaitu parotis, submandibular, dan
sublingual, serta diproduksi juga dari kelenjar saliva minor. Banyaknya enzim, hormon,
antibodi, antimikroba, dan faktor pertumbuhan ditemukan pada saliva dari darah hingga ke
transeluler. Oleh karena itu, saliva memiliki fungsi yang sama dengan darah dan dapat
digunakan untuk melihat keadaan fisiologis dari tubuh, meliputi nutrisi, emosional, hormonal,
Saliva sebagai salah satu penentu diagnosis mulai digunakan sejak tahun 1960, ketika
kadar kalsium ditemukan meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Seiring berjalannya
waktu, saliva mulai digunakan juga untuk mendeteksi adanya kanker, kelainan jantung, dan
penyakit infeksi lainnya. Saliva juga digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV dan
mendeteksi obat-obatan, hormon, serta alkohol. Saliva digunakan sebagai salah satu penentu
Saliva semakin popular dan berguna untuk dijadikan penentu diagnosis karena
beberapa alasan. Saliva ditemukan setara dengan serum pada tubuh yang menggambarkan
kondisi fisiologis dari pasien, meliputi hormonal, emosional, nutrisi, dan variasi metabolik
lainnya. Metode ini juga merupakan salah satu metode pengumpulan cairan tubuh yang
paling mudah, non invasif, tidak membutuhkan alat-alat khusus, tidak mahal, dan dapat
digunakan untuk mendiagnosis pasien saat screening. Selain itu, pengumpulan saliva juga
Saliva dapat dikumpulkan baik saat distimulasi maupun tidak. Saliva yang tidak
distimulasi dikumpulkan dengan cara membiarkan air liur terkumpul selama satu mulut dan
melakukan swab atau menyedot saliva. Saliva yang distimulasi dikumpulkan dengan fungsi
yang distimulasi memiliki beberapa kerugian seperti bahan yang mengstimulasi biasanya
terbaru menemukan metode baru yang dapat digunakan untuk mengumpulkan saliva
berdasarkan modifikasi dari metode lama. Oragene merupakan teknik yang sering digunakan
Fungsi saliva dalam mendiagnosis telah semakin popular dan semakin sering
berkembangnya karies gigi, terdapat perubahan yang terjadi pada saliva. Terdapat penurunan
laju saliva, kemampuan buffer, dan peningkatan jumlah streptococcus mutans dan
lactobacillus pada saliva, hal tersebut merupakan micropathogens dari karies gigi. Individu
yang rentan karies biasanya berhubungan dengan penurunan kadar protein seperti line rich
berbagai serum dan molekul saliva, seperti immunoglobulins, enzymes, gingival crevicular
fluid, komponen bakteri. Terdapat klasifikasi yang luas antara specific dan non specific
markers yang mempengaruhi biofilm yang membentuk plak yang dipicu oleh protein dan
microbacterium. Immunoglobulin yaitu IgA, IgG, dan IgM mempengaruhi mikroba di rongga
mulut. Ikatan antara bakteri dan metabolismenya diganggu oleh immunoglobulins, terutama
bakteri dan menyebabkan terjadinya lisis. Berkurangnya kadar lisosom dari pasien biasanya
dipertimbangkan menjadi faktor risiko dari penyakit periodontal. Lactoferin, protein yang
mengikat zat besi, memisahkan zat besi dan menghambat pertumbuhan mikroba. Kadar
lactoferin meningkat pada pasien dengan inflamasi gingiva dan penyakit periodontal
produksi oleh mikroorganisme pada rongga mulut dan mengurangi produksi asam dari
biofilm, menyebabkan terjadinya pengurangan nilai plak, gingivitis, dan karies gigi.
Tingginya kadar enzim peroxidase sering terdapat pada pasien dengan penyakit periodontal.
Cairan saliva mengandung berbagai biomolekul, dimana IgG berasal dari transudate
mukosa dan GCF ditemukan dalam kadar rendah. Nilai IgG pada saliva digunakan untuk
Terdapat banyak mikroba dalam rongga mulut dengan jumlah yang seimbang
sehingga normalnya akan membantu menjaga kesehatan rongga mulut. Tetapi jumlahnya
akan berubah ketika dipengaruhi oleh pola makan, obat-obatan, dan kebiasaan buruk yang
Dua penyakit pada rongga mulut yang paling umum terjadi disebabkan karena infeksi
bakteri adalah karies dan gingivitis. Pada karies, saliva berfungsi sebagai media tempat
Streptococcus mutans dan Lactobacillus untuk tumbuh dan berkembang. Pada penyakit
melalui GCF dan eksudat serum dari periodontal sehat. Antibodi saliva pada human
immunode ciency virus (HIV), hepatitis C virus (HCV), hepatitis A virus (HAV), Epstein-
Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), dan virus rubella memiliki korelasi dengan
antibodi pada serum. Antibodi saliva juga ditemukan positif setelah imunisasi poliovirus,
rotavirus, and HIV. Diagnosis penyakit dengan menggunakan saliva yang berhubungan
dengan antibodi memiliki fungsi penting dalam mengevaluasi kemampuan imun setelah
imunisasi.
Kegunaan saliva untuk menganalisis DNA juga sering digunakan, karena merupakan
biomarker yang menggambarkan bakteri yang terdapat pada rongga mulut, penyakit rongga
mulut maupun penyakit sistemik, dan forensic. Tes DNA merupakan metode yang digunakan
untuk mendeteksi infeksi HIV dengan cara mengetahui sekuen virus pada total sampel DNA
yang diperkuat dengan PCR. Beberapa pathogen dan mikroba juga terdeteksi dengan
Aplikasi saliva dalam mendiagnosis dan menentukan prognosis dalam keganasan juga
merupakan metode diagnostik yang sedang digunakan. Terdapat banyak penanda dari tumor
seperti c-erb B2, p53, dan CA125 yang digunakan untuk screening dan mendiagnosis
beberapa keganasan. Lebih lanjut, analisis genetik dan nilainya dapat ditentukan dari
transkrip RNA saliva dengan analisis microarray dibandingkan dengan pasien oral squamous
cell carcinoma. Aplikasi saliva dalam mendiagnosis juga meliputi deteksi kanker ovarium,
karsinoma payudara menggunakan marker spesifik dan no spesifik. Fungsi bakteri dalam
kanker rongga mulut juga berbeda. Terdapat prevalensi S. sobrinus pada rongga mulut yang
berhubungan dengan tumor kepala dan leher. Terdapat peningkatan kadar P. gingivalis, P.
melaninogenica, dan S. mitis dalam saliva pasien dengan oral squamous cell carcinoma yang
diobservasi.
Saliva digunakan juga sebagai metode diagnosis untuk mengetahui kadar obat-obatan
seperti lithium dan digoxine phenol barbital. Selain itu, alcohol, amphetamines, barbiturates,
dan opioids, yang merupakan obat-obatan terlarang juga dapat dilihat nilainya dari saliva.
Metode ini juga dapat melihat kadar obat-obatan untuk terapi sehingga didapatkan hasil yang
maksimal.
terjadinya perubahan pada saliva dengan cara mempengaruhi konsentrasi amilase dan protein
pada saliva. Tetapi, laju saliva dan pH nya tetap normal. Berkurangnya kadar glycan moiety
pada mucin saliva dan glycoprotein diamat dengan beberapa obat-obatan antipileptic.
Kegunaan saliva juga berfungsi dalam melihat kadar hormon protein polypeptide dan
androstenedione, dihidroandostendion, dan insulin dilihat nilainya dari level hormon pada
saliva. Kortisol saliva digunakan untuk screening untuk mendeteksi adanya Cushing’s
syndrome.
Sialochemistry adalah analisis yang digunakan untuk melihat adanya metal seperti
cadmium, lead, dan mercury pada tubuh, dan saliva dapat digunakan untuk mengidentifikasi
metal tersebut. Saliva juga dapat digunakan untuk melihat kadar kimia pada tubuh.
sering dihubungkan dengan congenital adrenal hyperplasia. Sampel saliva yang dikumpulkan
di pagi hari merupakan sampel yang tepat untuk mendiagnosis penyakit ini karena memiliki
inorganic dalam bentuk protein, enzim, sodium, potassium, thiocyanates, dan mineral lainnya
seperti iron, copper, dan chromium. Penelitian menunjukkan bahwa saliva mengandung
ferritin dan perubahan kadar ferritin diobservasi pada kekurangan zat besi, dimana kadarnya
lebih tinggi dari saliva normal. Mekanisme anemia menyebabkan peningkatan kadar ferritin
saliva untuk mendiagnosis Sjogren’s syndrome adalah berkurangnya kuantitas sekresi saliva
yang menyebabkan kekeringan mulut. Selain itu, terdapat fluktuasi dari peptide dan
nonpeptides saliva, yaitu peningkatan kadar sodium chloride, IgG, IgA, albumin, lactoferrin,
Saliva memiliki fungsi dalam pencegahan infeksi dan penyembuhan luka. Adanya
EGF dalam saliva memberikan efek angiogenic dan proliferative yang memicu terjadinya
penyembuhan luka. Faktor lain yang membantu dalam proses penyembuhan luka adalah
broblast growth factor, insulin growth factors, dan nerve growth factor. Selain itu, saliva juga
mengandung faktor pembekuan darah seperti IXa, VIII, dan IX. Meningkatnya kadar
kallikrein saliva juga merupakan faktor yang mempengaruhi vasodilatasi untuk pertahanan
Saliva menggambarkan kondisi sistemik dari tubuh dengan berbagai cara, seperti
perbedaan laju, pH, dan komposisi saliva. Kecemasan dan depresi dapat menyebabkan
berkurangnya laju saliva dan menyebabkan terjadinya xerostomia. Stress akut juga dapat
menyebabkan perubahan pada saliva dan terjadinya pengurangan sekresi IgA dan
peningkatan amilase. Saliva digunakan untuk melihat kegagalan ginjal. Selain itu, terdapat
hasil bahwa saliva dapat digunakan untuk, mengidentifikasi acute myocardial infarction.
Terdapat peningkatan elektrolit seperti sodium, chloride, calcium, dan phosphorous. Adanya
peningkatan kadar prostaglandin E2 dan menurunnya EGF merupakan salah satu ciri dari
cystic brosis. Berkurangnya laju saliva hingga 90%, peningkatan konsentrasi dari albumin,
sodium, magnesium, EGF, dan IgG mempengaruhi berkurangnya IgA dan IgG sering terlihat
MyPerioID dan MyPerioPath adalah tes DNA berbasis saliva untuk menentukan tipe
dan konsentrasi dari bakteri yang menyebabkan penyakit periodontal. Tes MyPerioID
pada pasien. OraQuick merupakan tes yang dapat mendeteksi HIV1 dan HIV2 pada saliva,
darah, dan plasma. Tes ini cepat dilakukan dan hasilnya dapat diperoleh setelah 20 menit.