Anda di halaman 1dari 20

Saliva in the diagnosis of diseases

Pendahuluan

Saliva merupakan cairan hipertonik dari gingival crevicular fluid (GCF) dan eksudat

mukosa. Kurang lebih 90% saliva di sekresi dari kelenjar saliva dan kelenjar-kelenjar mayor

seperti kelenjar parotis, submandibular, dan sublingual. Kelenjar saliva dengan permeabilitas

jaringan yang tinggi dikelilingi oleh banyak kapiler, darah, asam, dan dapat mengalami

pertukaran molekul. Karakteristik dari saliva tidak berwarna, tidak berbau, densitas nya

1,004-1,009, dan pH 6,6-7,1. Normalnya manusia memproduksi 1,0-1,5L saliva per hari.

Saliva berisi 99% air dan sisanya adalah molekul organic (amilase saliva, mucoolisakarida,

mucin, dan lisosom) dan molekul inorganic (Na+, K+, Ca2+, Cl−). Saliva memiliki beberapa

fungsi, pertama, membantu membersihkan rongga mulut dengan menghilangkan bakteri atau

sisa makanan dan menyegarkan nafas. Kedua, amilase dari saliva mengkatalisasi karbohidrat

menjadi maltose dan terkadang glukosa di dalam mulut. Ketiga, lisosom dan thiocyanate ion

pada saliva bersifat bakterisidal, membuat saliva berperan penting dalam sistem imun non

spesifik manusia. Keempat, saliva dapat menjadi faktor risiko beberapa penyakit dengan cara

transmisi KI, Pb, dan Hg, serta virus seperti rabies, polio, dan HIV. Dahulu, dokter

mendiagnosis penyakit dengan menggunakan darah atau tes urin, yang cenderung lebih sakit

dan membuat pasien malu. Tetapi, saliva sekarang dipertimbangkan sebagai penentu biologis

yang cenderung lebih aman dan meminimalisir tersebarnya virus. Oleh karena itu, saliva

menyediakan cara baru yang non invasif untuk membantu mendiagnosis penyakit.

Komposisi Saliva

Saliva memiliki komposisi kompleks yang meliputi urea, amonia, asam urat, glukosa,

kolestrol, asam lemak, trigliserida, lemak, glikolipid, asam amino, hormos steroid, mucin,
amilase, lectin, glikoproteion, lisosom, peroksida, dan laktoferin. Saliva juga mengandung

konsentrasi tinggi dari Na+, Cl–, Ca2+, K+, HCO3–, H2PO4–, F–, I– and Mg2+. Selain itu,

saliva mengandung >700 mikroorganisme yang berhubungan terhadap penyakit sistemik

rongga mulut.

Diagnosis Penyakit Rongga Mulut oleh Saliva

1. Karies

Prevalensi karies pada rongga mulut memiliki korelasi dengan jumlah Streptococcus

mutans dan Lactobacillus pada saliva. Samaranayake menggunakan parafin untuk

memproduksi sampel saliva, lalu di inkubasi pada media pertumbuhan tertentu selama 24

jam. Saliva pada populasi tinggi karies mengandung >1×106 mL−1 of S. mutans dan atau

1×105 mL−1 of Lactobacillus. Sedangkan saliva pada populasi rendah karies mengandung

o1×105 mL−1 of S. mutans dan atau 1×104 mL−1 of Lactobacillus. Struktur dan fungsi dari

bakteri pada saliva telah dipelajari sebagai penentu untuk prediksi onset karies. Yang et al

menganalisis saliva orang dewasa dan menemukan adanya Prevotella genus yang lebih

banyak pada karies dibandingkan yang tidak.

2. Penyakit Periodontal

Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri yang berkaitan dengan periodontitis.

Baru-baru ini, beberapa peneliti membentuk enzim yang berbasis P. gingivalis untuk dapat

mendeteksi secara spesifik bakteri ini pada saliva. Apabila dibandingkan dengan reaksi

polimerase, bahan ini lebih cepat dan memiliki sensivitas 92%. Oleh karena itu, bahan ini di

harapkan dapat lebih mudah dan efisien ketika digunakan untuk mendeteksi P. gingivalis.

Penelitian terbaru mendeteksi kadar adrenomedullin (AM) dan nitric oxide (NO) pada saliva
dan GCF yang diambil dari pasien dengan gingivitis, periodontitis agresif, dan periodontitis

kronis dan dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki kelainan periodontal. Kadar AM

dan NO membedakan pasien periodontitis agresif dari yang lainnya. Pasien dengan

periodontitis kronis, periodontitis agresif, dan gingivitis menampilkan kadar NO yang

meningkat pada GCF dan kadar AM lebih tinggi pada pasien periodontitis dibandingkan

pasien gingivitis. Data ini menunjukkan hubungan antara NO dan AM pada penyakit

periodontal, dimana AM dan NO dapat digunakan sebagai penentu diagnostik untuk

periodontitis. Hasil dari studi lain memperlihatkan bahwa kadar NO lebih berarti untuk

digunakan sebagai penentu diagnostik penyakit periodontal. Penggunaan tobacco merupakan

salah satu faktor yang dapat menyebabkan penyakit periodontal. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara kadar superoxide saliva dengan gingival index,

kedalaman poket, dan kehilangan perlekatan pada pasien dengan periodontitis kronis.

Penelitian ini juga menunjukkan kemungkinan saliva sebagai suatu cara yang lebih mudah

dan non invasif untuk mendiagnosis pasien dengan kemungkinan kondisi lesi pre kanker.

Makrofag 1α, matrix metalloproteinase-8, interleukin (IL)-1β, IL-6, prostaglandin E2 dan

tumour necrosis factor (TNF)-α pada saliva dapat digunakan untuk mengindikasi gingivitis

dan periodontitis. Kadar yang lebih tinggi pada pasien periodontitis menunjukkan bahwa

terdapat korelasi dengan gingival indes, kedalaman probing, dan kehilangan perlekatan. Oleh

karena itu, pengukuran ini berguna untuk menentukan diagnosis dan prognosis dari penyakit

periodontal. Belum lama ini, sistem baru yang menggunakan obat kumur baru untuk

memperkirakan jumlah neutrofil pada saliva dikembangkan untuk mengetahui ada atau

tidaknya penyakit periodontal.

3. Kanker Rongga Mulut


Perkembangan dan onset dari keganasan berhubungan dengan mutasi somatik dari

DNA spesifik tumor yang dapat ditemukan pada saliva, plasma, atau cairan tubuh lainnya.

Mutasi somatik ini dapat digunakan sebagai penentu untuk mendiagnosis tumor pada rongga

mulut. Pada saliva, DNA spesifik tumor ini 100% positif ditemukan pada pasien dengan

tumor rongga mulut, tetapi hanya 47-70% pada pasien tumor pada bagian tubuh lain.

Sebaliknya, DNA spesifik tumor ini ditemukan pada 80% sampel plasma dari pasien dengan

tumor rongga mulut dan pada 86-100% pasien dengan tumor pada bagian tubuh lain.

Berdasarkan hasil, saliva memiliki kelebihan DNA spesifik tumor yang dapat mendeteksi

tumor rongga mulut. Oleh karena itu, DNA pada saliva ini memiliki potensi untuk dapat

digunakan untuk mendiagnosis adanya kanker rongga mulut. DNA dari tumor yang berkaitan

dengan virus pada saliva contohnya adalah HIV dan herpes human virus (HHV), yang dapat

juga dikaitkan dengan kanker rongga mulut maupun bagian lain. Part et al menemukan bahwa

dibandingkan pada individu yang sehat, pasien dengan oral squamous cell carcinoma (OSCC)

memiliki level yang lebih rendah, dan mengindikasi adanya kanker rongga mulut.

Protein saliva dapat juga digunakan untuk mendeteksi kanker. Dilaporkan sebelumnya

bahwa peningkatan antigen tumor CA15-3 dan antibody untuk protein tumor c-erbB2, CA-

125 dan P53 pada saliva dapat digunakan untuk deteksi kanker rongga mulut dan kanker pada

bagian lainnya. Studi lebih lanjut memperlihatkan bahwa hyaluronidase, IL-6 and IL-8

mungkin merupakan penentu biologis untuk pasien yang memiliki head and neck squamous

cell carcinoma (HNSCC). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar IL-4, IL-10, IL-13

dan IL-1RA meningkat pada saliva pasien dengan OSCC, dimana IL-10 dan IL-13 meningkat

signifikan, dengan berkembangnya teknologi, peneliti telah menyadari pentingnya peranan

mikroorganisme dalam perkembangan kanker rongga mulut. Spesiesnya bermacam-macam

dan jumlah bakteri pada saliva pasien dengan tumor rongga mulut lebih banyak dari pasien

yang sehat.
4. Sindrom Sjogren’s

Sjögren’s syndrome (SS) adalah suatu penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan

mata kering dan xerostomia. Laju saliva berkurang dan komponen saliva nya berubah. Kadar

IL-4, IL-5, dan sitokin dapat memprediksi diagnosis dari pasien SS dengan akurat. Penelitian

lainnya mengidentifikasi 19 gen lainnya (EPSTI1, IFI44, IFI44L, IFIT1, IFIT2, IFIT3, MX1,

OAS1, SAMD9L, PSMB9, STAT1, HERC5, EV12B, CD53, SELL, HLA-DQA1, PTPRC,

B2M and TAP2) yang memiliki relasi terhadap patogenesis SS, yang dikarakteristikan

berdasatkan fungsinya, seperti induksi interferon, osmosis limfosit, dan persentase antigen.

Terdapat 3 protein yang dapat membantu mendiagnosis SS pada tahap awal, yaitu cathepsin

D, α-enolase dan β2-microglobulin.

Diagnosis Penyakit Sistemik oleh Saliva

1. Diabetes Mellitus

Diabetes adalah penyakit metabolism yang disebabkan karena kurangnya sekresi insulin,

kelainan insulin, atau resistensi insulin, yang menyebabkan terjadinya gangguan metabolism

glukosa. Terdapat korelasi antara α-2-macroglobulin dan HbA1c, yang menunjukkan bawa

kadar -2-macroglobulin pada saliva dapat mempengaruhi control glycaemic pada pasien

dengan diabetes mellitus tipe 2. Tetapi, konsentrasi melatonin saliva berkurang pada pasien

dengan diabetes tipe 2 dan pasien dengan periodontitis. Hal ini menunjukkan bahwa

melatonin saliva memiliki peranan penting dalam patogenesis diabetes dan penyakit

periodontal, dan dapat menjadi penentu untuk diagnosis dan perawatan kedua penyakit ini.

Barnes et al menemukan 475 metabolit spesifik pada saliva pasien dengan periodontitis dan
atau diabetes. Kadar sel, degradasi purin, metabolisme glutathione, oksidasi glutathione,

linoleate dan arachidonate meningkat secara signifikan pada pasien dengan gingivitis dan

periodontitis tetapi tidak diabetes. Sebaliknya, pasien dengan diabetes memiliki kadar

glukosa dan α-hydroxybutyrate yang lebih tinggi, berhubungan dengan berubahnya kadar

karbohidrat, dan lipid secara signifikan. Oleh karena itu, metabolisme dapat berguna untuk

menentukan diagnosis, perawatan, dan prognosis untuk penyakit periodontal dan diabetes.

Terdapat korelasi antara HbA1c dan konsentrasi glukosa saliva pada pasien diabetes.

Sehingga, saliva dapat digunakan untuk melihat konsentrasi glukosa pada pasien dengan

diabetes mellitus.

2. Penyakit Kardiovaskular

Cardiovascular disease (CVD) berhubungan dengan sistem sirkulasi, melingkupi

atherosclerosis, myocardial infraction, dan penyakit jantung coroner. Kosaka et al

menemukan bahwa kadar inflamasi saliva sitokin meliputi IL-1β, IL-6, TNF-α and

prostaglandin E2 meningkat secara signifikan pada atherosclerosis dan penyakit periodontal.

Sitokin dapat menjadi penetu untuk penyakit periodontal dan atherosclerosis. Miller et al

menemukan bahwa C-reactive protein (CRP) adalah penentu yang paling akurat untuk acute

myocardial infraction. Acute myocardial infraction didiagnosis melalui kombinasi dari EKG

dan kadar CRP dengan sensitivitas 80% dan speksivitas 100%. Data ini memperlihatkan

kegunaan saliva sebagai biomarkers dengan EKG untuk mendiagnosis acute myocardial

infraction. Kadar α-2-HS-glycoprotein di saliva berkurang pada pasien dengan CVD, hal ini

menunjukkan bahwa peptidome mungkin dapat digunakan untuk mendiagnosis gejala awal

pada pasien CVD.

3. Infeksi Virus
Tes diagnosis untuk infeksi virus saat ini bergantung pada biomarkers saliva, seperti DNA

dan RNA virus, antigen, dan antibody. Terdapat uji saliva yang berbasis antibody untuk

mendeteksi virus, meliputi virus hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, HIV-1, rubella, dan lain-

lain. The Raffaele Scientific Institute di Milan menggunakan uji saliva yang diberi nama

OraQuick hepatitis C virus rapid antibody test untuk mendeteksi virus hepatitis C secara

cepat dan mudah. Selain itu, the dengue virus (DENV) RNA dan antigen nya dapat di deteksi

melalui saliva, dan dapat lebih efektif untuk mendeteksi penyakit. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Nefzi et al, saliva ditemukan lebih peka dibandingkan darah dalam

mendeteksi HHV-6 atau human cytomegalovirus.

4. Kanker Pankreas

Kanker pancreas memiliki insidensi rendah tetapi mortalitasnya tinggi. Di dunia, lebih dari

200.000 pasien dengan kanker pankreas terdaftar dengan angka kematian 98%. Telah di

prediksi sebelumnya bahwa kanker pankreas akan menjadi penyebab kematian terbanyak di

dunia pada tahun 2030. Oleh karena itu, penting untuk dapat mendiagnosis dan

mengklasifikasikan pasien dengan kanker pankreas pada tahap awal, untuk dapat

memberikan perawatan yang tepat. Ditemukan bawa kadar KRAS, MBD3L2, ACRV1 dan

DPM1 berbeda antara pasien dengan pankreatitis dengan individu sehat. Penelitian lain

menunjukkan bahwa kadar hsa-miR-210 dan let-7c berlebih pada pasien pankreatitis. Selain

itu, terdapat peningkatan kadar hsa-miR-21, hsa-miR-23a, hsa-miR-23b, miR-29c dan hsa-

miR-216 secara spesifik pada pasien dengan kanker pancreas. Adanya miR-3679-5p dan

miR-940 dapat menjadi indikasi pasien terkena kanker pankreas. Terdapat korelasi antara

onset periodontitis dengan kanker pancreas. Pasien dengan periodontitis memiliki

kemungkinan 64% lebih tinggi untuk terkena kanker pancreas. Terdapat peningkatan kadar

pada 31 bakteri dan penurunan pada 25 bakteri dari saliva pasien dengan kanker pankreas.
5. Kanker Payudara

Kanker payudara merupakan salah satu kanker yang paling umum terjadi pada wanita.

ATP6AP1 adalah ATPase yang terdapat pada jaringan normal seperti sumsum otak, darah,

saraf, dan kulit, dan juga berhubungan dengan beberapa tumor seperti karsinoma pada kepala

dan leher, tumor paru-paru, tumor adrenal, dan kanker jenis lainnya. Tetapi, prevalensi

terjadinya kanker payudara lebih besar dibandingan kanker lainnya. Antibody ATP6AP1

dapat dideteksi pada tahap awal. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ATP6AP1 dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya kanker payudara. Zhang et al menemukan 8 biomarkers

mRNA dan 1 protein yang dapat digunakan untuk mendeteksi kanker payudara dengan

sensitivitas 83% dan speksitivitas 97%. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar

epidermal growth factor (EGF) dan antigen carcinoembryonic pada saliva meningkat secara

signifikan pada pasien dengan kanker payudara. Kadar CA15-3 dan c-erB-2 juga ditemukan

meningkat pada saliva, yang memiliki korelasi pada pasien dengan kanker payudara.

Berdasarkan penelitian ini, saliva dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker payudara pada

tahap awal.

6. Kanker Paru-paru

Kanker paru-paru memiliki insidensi yang tinggi. Mutasi yang terdapat pada EGF receptor

(EGFR) adalah biomarkers spesifik pada tumor untuk non-small cell lung carcinoma

(NSCLC). Xiao et al menemukan 16 protein yang membedakan pasien dengan kanker paru

dengan individu sehat. Hal ini menunjukkan bahwa biomarkers proteomic dapat digunakan

untuk mendeteksi kanker paru tahap awal dan menentukan prognosisnya.

7. Kanker Prostat
MiR-141 dan miR-21 adalah dua biomarkers tumor, MiR-141 meningkat secara signifikan

pada pasien kanker prostat tahap parah, sementara miR-21 jumlahnya meningkat pada kanker

prostat tahap awal. Oleh karena itu, saliva dapat digunakan untuk mendiagnosis kanker

prostat pada tahap awal secara non invasif.

8. Penyakit Lainnya

Pada saliva pasien dengan maag dan gastritis kronis, DNA Helicobacter pylori dapat

ditemukan untuk mengidentifikasi infeksi. Terdapat korelasi yang signifikan antara caffeine

dengan penyakit hati. Oleh karena itu, saliva dapat digunakan untuk parameter yang efektif

untuk mendiagnosis chronic liver diseases (CLDs) dan penilaian fungsi hati pada CLD.

Saliva dari pasien dengan kegagalan ginjal kronis memperlihatkan peningkatan kadar NO

yang signifikan. Setelah hemodialisis, saliva memperlihatkan kadar immunoglobulin (IgA,

IgG, dan CRP) yang meningkat secara signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar

IgA, IgG, NO dan CRP pada saliva memiliki peran yang penting untuk melihat adanya

penyakit ginjal. Penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

saliva dengan sumsum tulang. Hal tersebut memungkinkan saliva untuk mendeteksi adanya

leukemia. Berdasarkan penelitian terbaru, trehalose saliva dapat dideteksi oleh sel yang

sensitivitasnya sama untuk melihat adanya Alzheimer.


Salivary Indicator of Systemic Diseases

Kemungkinan sekresi saliva digunakan sebagai sumber untuk mendiagnosis suatu

penyakit sudah semakin dijadikan acuan. Hal tersebut dapat diliat dari laju dan komposisi

saliva yang sudah di observasi dan di uji untuk menentukan diagnosis suatu penyakit.

Kemungkinan saliva digunakan sebagai penguji sudah diakui oleh Claude Bernard dan Ivan

Pavlov. Pada masa lalu, mulut kering digunakan untuk membedakan antara orang yang

melakukan kesalahan dengan yang tidak.

Penelitian beberapa tahun terakhir memperlihatkan hasil bahwa dalam beberapa

keadaan, saliva yang di produksi oleh kelenjar parotis dan saliva yang di produksi oleh

kelenjar submaksila memiliki komposisi yang berbeda, dan perbedaan ini dapat diaplikasikan

untuk mendiagnosis dan menentukan prognosis suatu penyakit. Teknik yang semakin maju

membuat pengumpulan kedua sumber saliva ini dapat dilakukan. Saliva dari kelenjar parotis

diperoleh melalui teknik modifikasi Lashlet cup (dikembangkan oleh psikolog), sementara

saliva dari kelenjar submaksila diperoleh melalui teknik Block-Brottman (melalui cetakan

gigi). Laju saliva dari kelenjar parotis dan submaksila di stimulasi dengan cara menggunakan

asam sitrat pada lidah pasien atau dengan cara pasien menghisap permen lemon. Ketika saliva

sudah cukup untuk dipelajari, lajunya distimulasi dengan cara pasien mengunyah karet dan

meludah ke tabung atau dengan cara meletakkan adam sitrat pada kertas dan diletakkan di

lidah sehingga saliva akan terkumpul di dasar mulut, lalu diambil menggunakan syringe Luer

tanpa jarum. Cairan yang sejenis dengan saliva submaksila juga diambil dari dasar mulut.

Kelenjar saliva memproduksi banyak protein dan memungkinkan difus dari beberapa

protein serum. Karakteristik dan kuantitas dan substansi ini dapat menyediakan nilai terhadap

metabolisme tubuh. Saliva dari kelenjar parotis dan submaksila, duktus nya mempengaruhi

konsentrasi elektrolit dari saliva. Secara anatomi, duktusnya mirip dengan tubulus pada
ginjal. Terdapat beberapa fungsi yang berbeda, tetapi karena tidak terdapat sodium pada

kelenjar saliva, komposisi saliva normal memiliki kadar potassium yang lebih tinggi dan

kadar sodium lebih rendah.

Adanya perbedaan laju saliva dari yang normal dapat membedakan ada tidaknya suatu

penyakit. Banyak penelitian yang sudah menunjukkan perbedaan antara laju dan komposisi

saliva antara yang normal dengan yang tidak. Pengumpulan sampel saliva dilakukan dengan

memberikan stimulus (2% asam sitrat pada lidah).

Laju saliva mungkin berkurang pada pasien depresi atau yang sedang menggunakan

obat-obatan. Cystic fibrosis mempengaruhi komposisi sekresi dari kelenjar saliva mayor dan

juga laju dari kelenjar saliva minor. Pada individu yang tidak memiliki penyakit ini,

memungkinkan untuk mengumpulkan saliva dari bibir bawah ataupun palatum keras dengan

menggunakan pipet lambda. Tetapi pada anak dengan penyakit ini, pengumpulan saliva

nyaris tidak dapat dilakukan.

Pada laju saliva yang abnormal, diharuskan untuk tidak memperhitungkan penyakit

yang langsung mempengaruhi kelenjar saliva. Parotitis yang rekuren dan Sjogren's syndrome

dapat mempengaruhi laju saliva. Ketika kondisi ini tidak diperhitungkan, perubahan pada

komposisi saliva dapat dievaluasi untuk menentukan perawatan.

Berkurangnya laju saliva dihubungkan dengan kerusakan pada indra perasa pada lidah

(dysautonomia), diabetes mellitus, hipertensi, dan pada wanita yang sudah menopause.

Peningkatan laju saliva berhubungan dengan rabies, parkinsons, kehamilan, dan keracunan

merkuri. Tetapi, pada beberapa literature, penilaian antara kuantitas dan lajunya terpisah.

Pada penelitian ini, laju saliva tidak mempengaruhi parkinsons. Kelainan mengeluarkan air

liur dapat terjadi karena kurangnya kemampuan untuk menelan. Data terakhir tidak

memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara peningkatan laju saliva dengan kehamilan.
Oleh karena itu, adanya hipersalivasi harus dievaluasi apakah ada faktor lain seperti

hilangnya kemampuan otot.

Hubungan antara hormone dengan korteks adrenal dan komposisi saliva merupakan

topik yang terus dipelajari. Penelitian selumnya menggunakan saliva mengatakan bahwa

rasio sodium-potassium pada saliva tinggi pada Addison’s disease dan rendah pada Cushing’s

disease.

Pengurangan sodium pada individu normal, terjadi peningkatan renal renin,

menyebabkan konversi angiotensin II meningkat. Semakin tinggi kadar angiotensin II, akan

menstimulus adrenal untuk mensekrei aldosterone. Terjadinya hyperaldosteronism akan

menyebabkan reabsorpsi renal yang hebat sebagai pengganti untuk ion potassium dan

hydrogen yang hilang dalam urin. Hyperaldosteronism juga menyebabkan berkurangnya

konsentrasi sodium dan juga penurunan laju saliva dari kelenjar parotis maupun submaksila

serta terjadi peningkatan kadar potassium pada sekresi submaksila.

Hubungan antara abnormalitas pada renin-aldosterone dan elektorlit saliva sedang

dipelajari. Apabila berhasil, korelasi antara perubahan pada plasma renin, sekresi aldosterone,

dan angiotensin dengan adanya perubahan pada elektrolit saliva dapat digunakan untuk

mendiagnosis hipertensi.

Hubungan lainnya dengan hormon, yaitu sekresi pada submaksila selama dan setelah

kehamilan. Saliva diambil dari sampel kelompok wanita yang sedang hamil dan 6 minggu

setelah melahirkan. Konsentrasi kalsium pada saliva submaksila lebih rendah saat hamil

dibandingkan sesudah melahirkan. Konsentrasi sodium berkurang dan potassium meningkat

pada saliva parotis dan submaksila dari sampel wanita yang hamil dibandingkan sesudah

melahirkan.

Efek dari penggunaan obat dengan komposisi saliva berhubungan dengan sensitivitas

kelenjar saliva terhadap perubahan metabolisme. Penelitian terbaru mengenai elektrolit saliva
sebagai uji untuk toksisitas dapat berguna untuk mengevaluasi pasien dengan kelainan

cardiovascular. Konsentrasi potassium dan kalsium ditemukan meningkat pada pasien

cardiovascular dibandingkan individu normal.


Saliva: A Cutting Edge in Diagnostic Procedures

Saliva merupakan cairan yang memiliki berbagai spektrum protein, polypeptides,

asam nukleat, elektrolit, dan hormon. Sekresi dari kelenjar gingiva yang hypotonic

menyebabkan pH normalnya 7,2-7,4. Biomarkers pada saliva menyebabkan saliva dapat

digunakan untuk menjadi penentu diagnostik dengan konsentrasi yang lebih rendah dari

darah tetapi tetap dapat digunakan untuk melihat kesehatan dan keadaan tubuh.

Saliva diproduksi dari tiga kelenjar mayor yaitu parotis, submandibular, dan

sublingual, serta diproduksi juga dari kelenjar saliva minor. Banyaknya enzim, hormon,

antibodi, antimikroba, dan faktor pertumbuhan ditemukan pada saliva dari darah hingga ke

transeluler. Oleh karena itu, saliva memiliki fungsi yang sama dengan darah dan dapat

digunakan untuk melihat keadaan fisiologis dari tubuh, meliputi nutrisi, emosional, hormonal,

dan variasi metabolik lainnya.

Saliva sebagai salah satu penentu diagnosis mulai digunakan sejak tahun 1960, ketika

kadar kalsium ditemukan meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Seiring berjalannya

waktu, saliva mulai digunakan juga untuk mendeteksi adanya kanker, kelainan jantung, dan

penyakit infeksi lainnya. Saliva juga digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV dan

mendeteksi obat-obatan, hormon, serta alkohol. Saliva digunakan sebagai salah satu penentu

untuk diagnosis karena keefektivitas dan ketepatannya dalam mendiagnosis penyakit.

Saliva semakin popular dan berguna untuk dijadikan penentu diagnosis karena

beberapa alasan. Saliva ditemukan setara dengan serum pada tubuh yang menggambarkan

kondisi fisiologis dari pasien, meliputi hormonal, emosional, nutrisi, dan variasi metabolik

lainnya. Metode ini juga merupakan salah satu metode pengumpulan cairan tubuh yang

paling mudah, non invasif, tidak membutuhkan alat-alat khusus, tidak mahal, dan dapat
digunakan untuk mendiagnosis pasien saat screening. Selain itu, pengumpulan saliva juga

aman dilakukan baik untuk operator maupun pasien.

Saliva dapat dikumpulkan baik saat distimulasi maupun tidak. Saliva yang tidak

distimulasi dikumpulkan dengan cara membiarkan air liur terkumpul selama satu mulut dan

melakukan swab atau menyedot saliva. Saliva yang distimulasi dikumpulkan dengan fungsi

pengunyahan, menggunakan wax, ataupun mengaplikasikan asam asetat di mulut. Saliva

yang distimulasi memiliki beberapa kerugian seperti bahan yang mengstimulasi biasanya

mempengaruhi pH sehingga menyebabkan sekresi menjadi lebih encer. Tetapi penelitian

terbaru menemukan metode baru yang dapat digunakan untuk mengumpulkan saliva

berdasarkan modifikasi dari metode lama. Oragene merupakan teknik yang sering digunakan

dimana kealamian dari sampel saliva dilindungi sampai pengambilan saliva.

Fungsi saliva dalam mendiagnosis telah semakin popular dan semakin sering

digunakan untuk mendiagnosis kelainan pada penyakit sistemik. Sehubungan dengan

berkembangnya karies gigi, terdapat perubahan yang terjadi pada saliva. Terdapat penurunan

laju saliva, kemampuan buffer, dan peningkatan jumlah streptococcus mutans dan

lactobacillus pada saliva, hal tersebut merupakan micropathogens dari karies gigi. Individu

yang rentan karies biasanya berhubungan dengan penurunan kadar protein seperti line rich

proteins (PRP1, PRP3), histatin 1, and statherin.

Kelenjar saliva yang digunakan untuk mendiagnosis kelainan periodontal meliputi

berbagai serum dan molekul saliva, seperti immunoglobulins, enzymes, gingival crevicular

fluid, komponen bakteri. Terdapat klasifikasi yang luas antara specific dan non specific

markers yang mempengaruhi biofilm yang membentuk plak yang dipicu oleh protein dan

microbacterium. Immunoglobulin yaitu IgA, IgG, dan IgM mempengaruhi mikroba di rongga

mulut. Ikatan antara bakteri dan metabolismenya diganggu oleh immunoglobulins, terutama

IgA. Konsentrasi immunoglobulin pada saliva ini menyebabkan terjadinya periodontitis.


Markers lainnya yang ditemukan pada saliva adalah mucin, yang merupakan glycoprotein

kompleks. Mucin menghambat kolonisasi dan agregasi dari Aggregatibacter

actinomycetemcomitans. Lisosom, enzim antimikroba, memotong ikatan kimia dari sel

bakteri dan menyebabkan terjadinya lisis. Berkurangnya kadar lisosom dari pasien biasanya

dipertimbangkan menjadi faktor risiko dari penyakit periodontal. Lactoferin, protein yang

mengikat zat besi, memisahkan zat besi dan menghambat pertumbuhan mikroba. Kadar

lactoferin meningkat pada pasien dengan inflamasi gingiva dan penyakit periodontal

dibandingkan individu normal. Histatin merupakan protein antimikroba yang menetralkan

endotoxic lipopolysaccharides yang menyebabkan terjadinya kerusakan periodontal.

Peroxidase merupakan enzim lainnya yang menghilangkan hydrogen peroksida yang di

produksi oleh mikroorganisme pada rongga mulut dan mengurangi produksi asam dari

biofilm, menyebabkan terjadinya pengurangan nilai plak, gingivitis, dan karies gigi.

Tingginya kadar enzim peroxidase sering terdapat pada pasien dengan penyakit periodontal.

Cairan saliva mengandung berbagai biomolekul, dimana IgG berasal dari transudate

mukosa dan GCF ditemukan dalam kadar rendah. Nilai IgG pada saliva digunakan untuk

screening infeksi virus dan imunisasi.

Terdapat banyak mikroba dalam rongga mulut dengan jumlah yang seimbang

sehingga normalnya akan membantu menjaga kesehatan rongga mulut. Tetapi jumlahnya

akan berubah ketika dipengaruhi oleh pola makan, obat-obatan, dan kebiasaan buruk yang

menyebabkan terjadinya penyakit tertentu.

Dua penyakit pada rongga mulut yang paling umum terjadi disebabkan karena infeksi

bakteri adalah karies dan gingivitis. Pada karies, saliva berfungsi sebagai media tempat

Streptococcus mutans dan Lactobacillus untuk tumbuh dan berkembang. Pada penyakit

periodontal, penilaian menunjukkan bawa terdapat Porphyromonas gingivalis, mikroba yang

terdapat pada penyakit periodontal.


Infeksi virus berhubungan dengan munculnya virus pada saliva atau keluarnya saliva

melalui GCF dan eksudat serum dari periodontal sehat. Antibodi saliva pada human

immunode ciency virus (HIV), hepatitis C virus (HCV), hepatitis A virus (HAV), Epstein-

Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), dan virus rubella memiliki korelasi dengan

antibodi pada serum. Antibodi saliva juga ditemukan positif setelah imunisasi poliovirus,

rotavirus, and HIV. Diagnosis penyakit dengan menggunakan saliva yang berhubungan

dengan antibodi memiliki fungsi penting dalam mengevaluasi kemampuan imun setelah

imunisasi.

Kegunaan saliva untuk menganalisis DNA juga sering digunakan, karena merupakan

biomarker yang menggambarkan bakteri yang terdapat pada rongga mulut, penyakit rongga

mulut maupun penyakit sistemik, dan forensic. Tes DNA merupakan metode yang digunakan

untuk mendeteksi infeksi HIV dengan cara mengetahui sekuen virus pada total sampel DNA

yang diperkuat dengan PCR. Beberapa pathogen dan mikroba juga terdeteksi dengan

menggunakan analisis ini.

Aplikasi saliva dalam mendiagnosis dan menentukan prognosis dalam keganasan juga

merupakan metode diagnostik yang sedang digunakan. Terdapat banyak penanda dari tumor

seperti c-erb B2, p53, dan CA125 yang digunakan untuk screening dan mendiagnosis

beberapa keganasan. Lebih lanjut, analisis genetik dan nilainya dapat ditentukan dari

transkrip RNA saliva dengan analisis microarray dibandingkan dengan pasien oral squamous

cell carcinoma. Aplikasi saliva dalam mendiagnosis juga meliputi deteksi kanker ovarium,

karsinoma payudara menggunakan marker spesifik dan no spesifik. Fungsi bakteri dalam

kanker rongga mulut juga berbeda. Terdapat prevalensi S. sobrinus pada rongga mulut yang

berhubungan dengan tumor kepala dan leher. Terdapat peningkatan kadar P. gingivalis, P.

melaninogenica, dan S. mitis dalam saliva pasien dengan oral squamous cell carcinoma yang

diobservasi.
Saliva digunakan juga sebagai metode diagnosis untuk mengetahui kadar obat-obatan

seperti lithium dan digoxine phenol barbital. Selain itu, alcohol, amphetamines, barbiturates,

dan opioids, yang merupakan obat-obatan terlarang juga dapat dilihat nilainya dari saliva.

Metode ini juga dapat melihat kadar obat-obatan untuk terapi sehingga didapatkan hasil yang

maksimal.

Obat-obatan seperti anticholinergics, antidepressants, antipsychotics, diuretics,

benzodiazepines, antihypertensive, muscle relaxants, analgesics, dan antihistamines

dilaporkan dapat menyebabkan xerostomia. Sialorrhoea dihubungkan dengan penggunaan

antipsychotics, benzodiazepines, and antihypertensive. Antiepileptics dapat menyebabkan

terjadinya perubahan pada saliva dengan cara mempengaruhi konsentrasi amilase dan protein

pada saliva. Tetapi, laju saliva dan pH nya tetap normal. Berkurangnya kadar glycan moiety

pada mucin saliva dan glycoprotein diamat dengan beberapa obat-obatan antipileptic.

Kegunaan saliva juga berfungsi dalam melihat kadar hormon protein polypeptide dan

hormon nonpeptide. Testosterone, estradiol, estriol, progesterone, aldosterone,

androstenedione, dihidroandostendion, dan insulin dilihat nilainya dari level hormon pada

saliva. Kortisol saliva digunakan untuk screening untuk mendeteksi adanya Cushing’s

syndrome.

Sialochemistry adalah analisis yang digunakan untuk melihat adanya metal seperti

cadmium, lead, dan mercury pada tubuh, dan saliva dapat digunakan untuk mengidentifikasi

metal tersebut. Saliva juga dapat digunakan untuk melihat kadar kimia pada tubuh.

Kelainan yang bersifat herediter seperti defisiensi steroidogenesis, 21 hydroxylase

sering dihubungkan dengan congenital adrenal hyperplasia. Sampel saliva yang dikumpulkan

di pagi hari merupakan sampel yang tepat untuk mendiagnosis penyakit ini karena memiliki

korelasi dengan serum.


Saliva merupakan cairan kompleks yang mengandung berbagai substansi organic dan

inorganic dalam bentuk protein, enzim, sodium, potassium, thiocyanates, dan mineral lainnya

seperti iron, copper, dan chromium. Penelitian menunjukkan bahwa saliva mengandung

ferritin dan perubahan kadar ferritin diobservasi pada kekurangan zat besi, dimana kadarnya

lebih tinggi dari saliva normal. Mekanisme anemia menyebabkan peningkatan kadar ferritin

dalam saliva belum diketahui.

Sjogren’s syndrome merupakan penyakit autoimun yang dikarakteristikkan dengan

xerophtalmia, xerostomia, dan keratoconjunctivitis. Aspek penting dalam menggunakan

saliva untuk mendiagnosis Sjogren’s syndrome adalah berkurangnya kuantitas sekresi saliva

yang menyebabkan kekeringan mulut. Selain itu, terdapat fluktuasi dari peptide dan

nonpeptides saliva, yaitu peningkatan kadar sodium chloride, IgG, IgA, albumin, lactoferrin,

2- microglobulin, lipids, cystatin C, cystatin S, prostaglandin E2, kallikrein, and interleukin 6

dan interleukin 2 receptors, serta pengurangan kadar phosphate.

Saliva memiliki fungsi dalam pencegahan infeksi dan penyembuhan luka. Adanya

EGF dalam saliva memberikan efek angiogenic dan proliferative yang memicu terjadinya

penyembuhan luka. Faktor lain yang membantu dalam proses penyembuhan luka adalah

broblast growth factor, insulin growth factors, dan nerve growth factor. Selain itu, saliva juga

mengandung faktor pembekuan darah seperti IXa, VIII, dan IX. Meningkatnya kadar

kallikrein saliva juga merupakan faktor yang mempengaruhi vasodilatasi untuk pertahanan

dan penyembuhan di sekitar area yang terluka.

Saliva menggambarkan kondisi sistemik dari tubuh dengan berbagai cara, seperti

perbedaan laju, pH, dan komposisi saliva. Kecemasan dan depresi dapat menyebabkan

berkurangnya laju saliva dan menyebabkan terjadinya xerostomia. Stress akut juga dapat

menyebabkan perubahan pada saliva dan terjadinya pengurangan sekresi IgA dan

peningkatan amilase. Saliva digunakan untuk melihat kegagalan ginjal. Selain itu, terdapat
hasil bahwa saliva dapat digunakan untuk, mengidentifikasi acute myocardial infarction.

Terdapat peningkatan elektrolit seperti sodium, chloride, calcium, dan phosphorous. Adanya

peningkatan kadar prostaglandin E2 dan menurunnya EGF merupakan salah satu ciri dari

cystic brosis. Berkurangnya laju saliva hingga 90%, peningkatan konsentrasi dari albumin,

sodium, magnesium, EGF, dan IgG mempengaruhi berkurangnya IgA dan IgG sering terlihat

pada graft versus host disease.

MyPerioID dan MyPerioPath adalah tes DNA berbasis saliva untuk menentukan tipe

dan konsentrasi dari bakteri yang menyebabkan penyakit periodontal. Tes MyPerioID

menentukan kecenderungan untuk terkena penyakit periodontal dan mengidentifikasi risiko

pada pasien. OraQuick merupakan tes yang dapat mendeteksi HIV1 dan HIV2 pada saliva,

darah, dan plasma. Tes ini cepat dilakukan dan hasilnya dapat diperoleh setelah 20 menit.

Saliva memiliki keuntungan dibandingkan cairan tubuh lainnya karena merupakan

metode diagnosis yang mudah dan sederhana.

Anda mungkin juga menyukai