HADIST EKONOMI
“KEUANGAN NEGARA”
Dosen Pengampu : Rabiatun Hadawiyah S.Pd.I, M.Pd
Disusun oleh:
Fajar Akbar Nuari 0502192050
Faujiah 0502193223
Wardah T. Simamora 0502191024
1
Wahbah al-zahaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu ( Bairut: Dar al-fikr, 1989), Juz II, h. 729. Secara teknis,
para fuqaha memberikan defenisi yang berbeda. Tetapi secara umu, defenisi-defenisi tersebut mengacu pada
defenisi seperti diatas. Lihat misalnya Ibn Qudamah, Al-Mugni (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1967), Jilid II, h.
427 Bandingkan dengan Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al- Mukhtar ( Kairo: Al-Halabi, 1966), Juz II, h. 256-257.
2
M.A Manna, Islamic economics Moneter Theory and Practice A Comparative Study (delhi: Idarah al-
Adabiat-I, 1980), h. 277
2. Jenis tanaman tanaman ada harganya tinggi dan aja juga yang rendah, jadi tanaman
juga menentukan harga.
3. Jenis irigasi. Tanah yang di irigasi dengan sistem irigasi air yang di pukul hewan atau
dengan kincir (Pengelola dengan biaaya tinggi) tidak dapat disamakan dengan tanah
yang disirami dengan hujan dikelola dengan biaya rendah.3
C) Jizyah (Poll-tax)
Jizyah adalah pajak yg dikenakan atas orang-orang zimmi atau orang non muslim
yang hidup dibawah pemerintahan Islam tetapi tidak mau masuk Islam. Jizyah juga sebagai
alat penyeimbang kewajiban mengeluarkan zakat yamg dikenakan kepada orang Islam.
Jizyah diwajibkan berdasarkan Q.S 9;29. Sebagian berpendapat, Jizyah dibebankan sebagai
sewa untuk tinggal di negara Muslim dan hukuman atas keyakinan mereka. Tetapi menurut
Mannan, asumsi tersebut kurang tepat karna Jizyah hanya diwajibkan kepada laki-laki yang
sudah baligh. Rasulullah menetapkan jumlah Jizyah untuk penduduk Yaman sebesar 1
dinar. Setelah kemenangan kaum Muslimin di berbagai Negara, Umar bin Khattab
menetapkan standar Jizyah, yaitu :
1. 48 dirham per tahun atau 4 dirham perbulan untuk orang-orang kaya (berpenghasilan
tinggi).
2. 24 dirham pertahun atau 2 dirham perbulan untuk orang-orang yang berpenghasilan
menengah.
3. 12 dirham pertahun atau 1 dirham perbulan untuk orang-orang miskin yang bekerja
(berpenghasilan minim).
Jizyah wajib diambil dari orang-orang zimmi selama merekap tetap dalam kekafirannya.
D) Usyr (Bea Cukai)
Usyr (Bea Cukai) adalah pajak atas barang-barang komoditas yang masuk ke negara
Islam. Pajak ini pertama kali dikenalkan pada masa Umar bin Khattab dalam keuangan
Islam. Ia menetapkan usyr ats barang-barang komoditas yang dibawa oleh pedagang non
Muslim dikarenakan para pengusaha non Muslim ketika masuk ke tanah musuh. Penetapan
Usyr diberlakukan oleh Umar dilatarbelakangi oleh surat Abu Mus al – Asy’ari. Untuk
orang-orang zimmi berlaku setengahnya dari 1/10. Sedangkan untuk kaum Muslimin setiap
40-200 dirham , tidak dikenakan apa-apa. Tetapi kalau mencapai 200 dirham, dikenakan 5
dirham. Untuk kafir Harbi, dikenakan 10% dari dagangan yang ia bawa untuk
diperdagangkan., cukai impor bagi kaum zimmi adalah 5% sedangkan bagi pedagang
3
Ibid, h. 277
muslim dikenakan zakat sebesar 2,5% jika komoditas perdagangannya mencapai nisab zakat
yaitu 200 dirham.
Setiap orang memiliki hak dan wewenang untuk memberikan wasiat terhadap harta
yang dia miliki terhadap siapa yang dia kehendaki atau pada lembaga dan institusi
tertentu, dan untuk tujuan serta maksud-maksudnya yang halal. Namun wasiat yang
diberikan hendaknya tidak melebihi batas meksimum yang ditentukan syara’, yaitu
sepertiga dari kekayaan. Aturan sepertiga yang ketat ini adalah demi kepentingan ahli
waris yang sah. Karena pembagian pada ahli waris juga sangat membantu
pemdistribusian kekayaan.9
5
Muataq Ahmad, Business Ethices in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1999),h.65
6
Sabzwari, “Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa Pemerintahan Rasulullah Saw,”h.33
7
Ibid
8
Mustaq Ahmad, Busness Ethics in Islam, h.63
9
Ibid
g. Sumber_sumber lain yang mebjadi sumber pendapat baitul mal antara lain adalah
sedekah, hadiah,dan qard hasan yaitu pemberian pinjaman bebas bunga.10
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi
menjadi tiga bagian, sebagai berikut:13
a. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
c. Belanja umu yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut
sistem pendanaannya.
Adapun kaidah syariah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional
pemerintah yang rutin mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas, secara
lebih perinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini.14
10
Ibid
11
Adwirman A. Karim, Ekonomi makro Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), h.240.
12
Nurul Huda, dkk, Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritas dan Sejarah, op.cit, h. 188.
13
Ibid, h.189.
14
Ibid,h.189-190.
a. Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh
dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu,apalagi
kemaslahatan pemerintah.
b. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak
mungkin manfaat dalam biaya semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat
mubadzir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan
dengan syariah.
c. Kaidah selanjutnya adalah tidak bertentangan pada kelompok kaya dalam
pembelanjaannya, walaupun dibolehkan berpihak dalam kelompok miskin.
d. Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja hanya
boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
e. Kaidah atau komitmen dengan skala prioritas dimulai dengan yang wajib, sunah dan
mubah.15
Dari semua kaidah di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengeluaran atau
belanja dalam islam harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan pada
seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial.
Keberhasilan negara unutuk melakukan kebijakan pengeluaran sesuai tujuan yang disyarakan
syariah akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ini karena kebijakan pengeluaran
tersebut adalah suatu proses distribusi pendapatan kepada masyrakat.16
15
Ibid
16
Nurul Huda, dkk, Keuangan Publik Islam: pendekatan Teoritas dan Sejarah, (Jakarta: Kencana, 2012),
h. 188.