Anda di halaman 1dari 22

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Reka Ulang

Menurut Endarmoko (2006) menyatakan bahwa reka ulang merupakan kata lain
dari rekonstruksi. Sejalan dengan Mulyo (2014) mengemukakan bahwa Rekonstruksi
adalah pengembalian seperti semula.

Menurut Cooper, Nettler, Mahmoud, & Effendi (2002) Rekonstruksi adalah proses
yang tidak akhir, namun bukan berarti melahirkan aturan hukum baru dengan kata lain
rekonstruksi merupakan memahami kembali, mengerti kembali dan mungkin tidak selalu
bisa dipahami secara mendalam oleh orang awam.

Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, Penyusunan


atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana
adanya atau kejadian semula (Marbun, 1996).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa reka ulang mempunyai


istilah lain yaitu rekonstruksi yang dapat diartikan sebagai salah satu cara mengembalikan
suatu keadaan apapun baik itu berupa kejadian, tempat, gambar atau lain sebagainya untuk
mendapatkan hasil yang sama persis sesuai dengan aslinya.

Tentu dalam hal ini reka ulang sebagai proses untuk mendesain ulang terhadap apa
yang dijadikan sasaran atau objek agar mendapatkan suatu informasi tambahan yang lebih
akurat dan jelas. Reka ulang perlu adanya rancangan dan algoritma dalam menyelesaikan
masalah yang ada tujuannya agar saat melakukan reka ulang mendapatkan nilai tambahan,
tanpa ada kesulitan dan dapat memfokuskan diri serta lebih optimal.

1.2 Metode Interpolasi Newton

Metode interpolasi Newton digunakan untuk mencari titik – titik antara dari n
buah titik. Bentuk umum persamaan dari metode interpolasi Newton orde n (Sahid, 2005)
adalah sebagai berikut:
7

6
𝑓𝑛(𝑥) = 𝑏0 + 𝑏1(𝑥 − 𝑥0) + 𝑏2(𝑥 − 𝑥0)(𝑥 − 𝑥1) + ⋯ + 𝑏𝑛(𝑥 − 𝑥0)(𝑥 −

𝑥1) … (𝑥 − 𝑥𝑛−1) (1)

1.3 Metode Interpolasi Lagrange

Metode interpolasi Lagrange digunakan untuk mencari titik – titik antara dari n
buah titik. Bentuk umum persamaan dari metode interpolasi Newton orde n (Sahid, 2005)
adalah sebagai berikut:

(2)

yang dalam hal ini

𝑎𝑖 = 𝑦𝑖, 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑛

Untuk menghitung persen eror dari kedua metode tersebut menggunakan rumus
persen eror (Rosmanita, 2017) adalah sebagai berikut:

(3)

1.4 Sinyal Elektroensefalografi (EEG)

1.4.1. Pengertian Sinyal Elektroensefalografi (EEG)

Sinyal adalah besaran yang berubah dalam waktu dan atau dalam ruang, dam
membawa suatu informasi. Berbagai contoh sinyal dalam kehidupan sehari-hari adalah arus
atau tegangan dalam rangkaian elektrik, suhu, suara dan lain sebagainya.

Suatu sinyal mempunyai beberapa informasi yang dapat diamati, misalnya


amplitude, frekuensi, perbedaan fase, dan gangguan akibat noise, untuk dapat mengamati
informasi tersebut, dapat digunakan secara langsung peralatan ukur elektrik seperti
osciloskop, spectrum analyser.

Sinyal didefiniskan sebagai kuantitas fisik yang membawa pesan atau informasi.
Satu hal membedakan antara sinyal dan gelombang adalah masalah informasi, sinyal
membawa informasi sedangkan gelombang tidak membawa informasi sinyal biasanya
direpresentasikan secara matematik dalam bentuk fungsi satu atau lebih variable. Sinyal
yang hanya mempunyai satu variable disebut sinyal satu dimensi, sebagai contoh dari
sinyal satu dimensi adalah sinyal suara yang amplitudonya tergantung pada satu variable
8

yaitu waktu. Sinyal yang mempunyai dua atau lebih variable disebut sinyal multi dimensi,
sebagai contoh dari sinyal multi dimensi adalah sinyal gambar yang merupakan fungsi dua
variable ruang kordinat x dan y.

Sinyal yang paling mudah diukur dan sederhana adalah sinyal listrik sehingga
sinyal listrik biasanya dijadikan kuantitas fisik referensi. Sinyal-sinyal lain seperti
temperature, kelembapan, kecepatan angin, dan intensitas cahaya biasa diubah terlebih
dahulu menjadi sinyal listrik dengan menggunakan transducer.

Pengolahan sinyal adalah suatu operasi matematik yang dilakukan terhadap suatu
sinyal sehingga diperoleh informasi yang berguna yang terkandung didalam sinyal tersebut.
Selain itu pengolahan sinyal merupakan representasi matematik dan algoritma untuk
melakukan proses-proses analisis, modifikasi, atau ekstraksi informasi dari suatu sinyal.
Sinyal diolah di dalam suatu system sinyal yang didefinisikan pemroses sinyal. System
biasanya dilukiskan sebagai sebuah kotak yang memiliki dua panah merepresentasikan
sinyal. Panah masuk adalah sinyal masukan yang akan diproses, sedangkan panah keluar
merepresentasikan sinyal hasil pemrosesan.

ADC
Analog Signal
Analog Signal

Gambar II-1
Pemrosesan Sinyal Analog

Istilah “Elektroensefalograph” berasal dari padanan kata elektro berarti listrik,


ensefalo (encephalo) yang berarti kepala dan graf (graph) yang berarti gambaran (Akbar,
Handayani, Arif, Khotimah, & Haryanto, 2016). dengan demikian Elektroensefalograph
dapat diartikan sebagai alat yang merekam aktivitas listrik pada otak yang
direpresentasikan pada gambaran.

Elektroensefalografi (EEG) adalah rekaman aktifitas listrik neutron otak. Fluktuasi


arus listrik tersebut didapatkan dari perbedaan voltase yang diukur dari elektrode yang
ditempel di kulit kepala, langsung dipermukaan kortek serebri, atau di dalam jaringan otak
(Bintoro, 2012).

Elektroensefalografi (EEG) merupakan suatu kegiatan untuk merekam aktivitas


elektrik spontan dari otak selama periode tertentu. EEG menggunakan aktivitas elektrik
9

dari neuron yang terdapat dalam otak. Alat yang digunakan untuk merekam EEG disebut
Elektroencephalogram (Naibaho, 2015).

Elektroensefalografi (EEG) adalah rekaman aktivitas listrik sepanjang kulit kepala


yang dihasilkan oleh penembakan neuron dalam otak. EEG mengacu pada rekaman
aktivitas spontan elektrik otak dalam waktu singkat, biasanya 20-40 menit yang direkam
dari beberapa elektroda ditempatkan pada kulit kepala (Andharu, 2014).

Berdasarkan pengertian tersebut yang dikemukakan maka dapat dijelaskan bahwa


Elektroensefalografi adalah prosedur pencatatan aktivitas gelombang otak dengan alat
pencatatan untuk menghasilkan suatu gambaran gelombang.

Pengukuran sinyal EEG dilakukan dengan cara meletakan elektroda-elektroda


pada kulit kepala dengan mengikuti standar peletakan electrode yang ditentukan (Musthafa,
Harsono, & Setiawardhana, 2016).

Jenis EEG berdasarkan penempatan elektroda ada dua jenis, yaitu (1) Scalp EEG
yang menempatkan berbagai elektroda secara merata pada kulit kepala membantu merekam
aktivitas otak maksimal 256 elektroda bisa jadi secara merata dilokalisasi, disinkronisasi
dan ditempatkan pada kulit kepala. Ini sinyal otak melewati berbagai lapisan seperti cairan
serebrospinal, tengkorak dan kulit kepala, dan (2) EEG intra-kranial EEG dapat direkam
dengan menempatkan elektroda pada korteks disebut elektroda kortikal atau kedalaman,
yang biasanya menembus sistem sub kortikal. Intra-tengkorak EEG mengukur skala spasial
kecil (Harpale & Bairagi, 2015).

Sinyal EEG menggambarkan aktifitas elektrik otak yang dicatat dengan


menggunakan elektroda yang dipasang pada kulit kepala. Memanfaatkan sinyal EEG
sebagai alat komunikasi antara manusia dan mesin merupakan cara untuk pengolahan
sinyal. Dengan mengetahui kandungan informasi pada sinyal EEG berkaitan dengan
aktifitas tertentu diharapkan dapat membantu orang cacat untuk tetap beraktifitas dengan
bantuan mesin yang dikontrol oleh computer.

Dengan ini secara umum sinyal EEG dapat diukur dengan meletakan elektroda
pada batok kepala manusia dengan urutan peletakan elektroda yang mengacu pada system
standard 10-20 yang dikenal dengan istilah “International Electrode Placement System”
yang ditetapkan secara internasional oleh International Federation on
Electroencephalography and Clinical Neurphsiology. Untuk meningkatkan kontak listrik
antara elektroda dan kulit kepala digunakan elektrolit jelly atau pasta.
10

Terdapat beberapa system penempatan elektroda EEG diantaranya: 10-20 sistem,


true anterior temporal electrode dan modified 10-20 sistem. System penempatan elektroda
10-20 mengatur letak titik-titik penempatan elektroda pada kulit kepala dengan
menggunakan perbandingan jarak 10% pada elektroda pertama dan terakhir serta interval
20% untuk elektroda lainnya disepanjang garis utama yang dimulai dari pangkal hidung
(nasion) hingga benjolan didepan kepala tepa di atas leher (inion) (Putra, 2013).

Gambar II-2
Skema Penempatan Elektroda EEG 10-20 Sistem

Prosedura perekaman EEG bersifat non-invasif, aman dan tidak menyakitkan.


Rekaman sinyal ditransmisikan ke system EEG yang terdiri dari elektroda-elektroda,
amplifiers, filter dan alat perekaman yang mengukur dan mencatat aktifitas listrik otak
(bagian kertas atau monitor computer). Setiap elektroda dihubungkan ke differential
amplifer (satu amplifer untuk sepasang elektroda aktif dan acuan. Tegangan yang keluar
dari differential amplifer lalu menuju chanel display melalui kumpulan filter terlebih
dahulu. Filter yang tepat dipilih agar dapat menentukan komponen frekuensi dari
gelombang otak sesuai dalam mendiagnosa penyakit.

Sinyal EEG umumnya direkam dalam domain waktu, sehingga diperoleh plotting
antara amplitude (µV) terhadap waktu. Untuk mendapatkan informasi sinyal yang
merupakan sekumpulan data diplot dalam domain waktu cara serderhana dengan
menggunakan analisis statistik. Dengan estimasi parameter statistic diperoleh analisis dan
interpretasi dari sejumlah data sinyal EEG.
11

Gambar II-3
Contoh Sinyal EEG (raw signal)

1.4.2. Tujuan EEG

Tujuan sinyal EEG untuk mendiagnosa penyakit yang berhubungan dengan


kelainan otak dan kejiwaan pada umumnya. Walaupun penggunaan teknik modern seperti
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memeriksa otak, namun sinyal EEG juga dapat
mengidentifikasi kondisi mental dan pikiran, serta menangkap persepsi seseorang terhadap
rangsangan luar. Selama otak bekerja, neuron dalam otak akan menghasilkan suatu
aktivitas elektrik tertentu (Prakoso, Wisesty, & Jondri, 2016).

Terdapat dua pendekatan untuk mendapatkan sinyal EEG sesuai dengan lapisan
otak mana yang akan diambil sinyalnya. Pendekatan pertama adalah pendekatan invasif,
yaitu dengan menanam elektroda yang sangat kecil secara langsung di atas korteks melalui
bedah saraf. Keuntungan dari pendekatan ini adalah mampu memberikan sinyal EEG
dengan kualitas sangat tinggi. Pendekatan lain adalah pendekatan non-invasif, yaitu dengan
menempatkan elektroda pada permukaan kulit kepala. Hasil rekaman EEG non-invasif
memiliki kualitas yang kurang bagus karena tengkorak memperkecil sinyal, mendispresi,
dan mengaburkan gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh neuron namun
pendekatan ini jauh lebih aman dan tidak menyakitkan (Aji & Tjandra, 2013). Terdapat
variasi hasil rekaman EEG yang bergantung pada beberapa kondisi, yaitu:

a. Usia: terdapat perbedaan pada gelombang antara neonatus, bayi, anak dan dewasa.
b. Kesadaran: gelombang EEG yang muncul saat bangun tidak sama dengan saat
tidur stadium I, II, II, IV dan REM.
c. Medikasi: pemberian jenis obat tertentu memberi efek terhadap gelombang EEG.
d. Status patologi.
2.4.3. Kelebihan dan keterbatasan dari EEG
12

Sebagai salah satu alat penunjang diagnostik, EEG mempunyai beberapa


kelebihan dan keterbatasan.

Kelebihan dari EEG diantaranya:

a. Merupakan alat ukur untuk menilai fungsi otak, sebagai pelengkap pemeriksaan
imajing.
b. Menunjukkan langsung abnormalitas fungsi otak, contoh gelombang epileptik.
c. Memberikan informasi spasial dan lokalisatorik.
d. Biaya murah dan mudah diulang.
e. Morbiditas kecil.
f. Mudah dimobilisasi.

Keterbatasan dari EEG diantaranya:

a. Mendeteksi disfungsi otak, namun jarang bisa menentukan penyebabnya.


b. Sensitifitas dan spesifitas relative rendah.
c. Sering didapatkan artefak fisiologis maupun elektrik.
d. Gambaran EEG dipengaruhi oleh usia, kesadaran, obat, hipoglikemi.
e. Lesi yang kecil dan lokasi dalam sulit terdeteksi kelainannya.
f. Lokalisasi zona epileptogenik dapat keliru (fals positif).

1. 5 Artefak

Artefak adalah kesalahan yang terjadi pada gambar yang menurut jenisnya dapat
terdiri dari kesalahan geometrik, kesalahan algoritma, kesalahan pengukuran attenuasi
(Notosiswoyo, 2004). Sedangkan menurut penyebabnya dapat terdiri dari:

a. Artefak yang disebabkan oleh physiologi, karena gerakan jantung, gerakan


pernafasan dan gerakan darah, gerakan yang terjadi secara tidak periodik seperti
gerakan menelan, berkedip dan lain-lain.
b. Artefak yang terjadi karena perubahan kimia dan pengaruh magnet.
c. Artefak yang terjadi karena letak gambaran tidak pada tempat yang seharusnya.
d. Artefak yang terjadi akibat dari data pada gambaran yang tidak lengkap.
e. Artefak sistem penampilan yang terjadi misalnya karena perubahan bentuk
gambaran akibat faktor kesalahan geometri, kebocoran dari tabir radiofrequens.
13

Akibat adanya artefak-artefak tersebut pada gambaran akan tampak kabur atau
tidak jelas, akan terjadi kesalahan geometri, tidak ada gambaran, terdapat garis-garis
dibawah gambaran dan gambaran tidak beraturan.

Berdasarkan hal tersebut artefak yang melekat pada rekaman EEG kulit kepala
adalah dilihat oleh gerakan kepala, elektrokardiogram dan otot aktivitas. Ada berbagai
strategi yang ada, yang berhubungan dengan artefak seperti:

a. Mengabaikan, artinya beberapa metode ekstraksi fitur menganggap efek artefak


diabaikan.
b. Menolak, artinya saluran EEG memiliki ukuran dampak artefak dikecualikan dari
analisis lebih lanjut.
c. Menghapus, artinya artefak disaring atau dipisahkan dari sinyal EEG sebenarnya
dan hanya sinyal yang benar yang dilewatkan kepengukuran dan analisis.
Hilangnya data akibat penolakan bisa sangat kurang.
d. Pelatihan, artinya mekanisme berbasis pelatihan
dikembangkan untuk mengidentifikasi beberapa artefak yang sama
dan pengangkatnya.

Satu hal yang penting adalah artefak yang biasanya membatasi panjang rekaman
EEG yang bisa dianggap sebagai perlengkapan sekolah. Segmen yang utama karakteristik
sinyal, seperti mean, varians, dan spektrum daya tidak berubah disebut perlengkapan
sekolah yang dalam hal ini merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah artefak pada
EEG.

1. 6. Skizofrenia

Istilah Skizofrenia datang dari bahasa Latin baru schizo yang berarti “terpecah” dan
phrenia yang berarti “pikiran”. Hal ini menekankan bahwa pikiran seseorang telah terpecah
dari realitas, dan bahwa individu itu menjadi bagian dari dunia yang kacau dan
menakutkan. Skizofrenia melibatkan pecahnya kepribadian idividu dari realitas dan bukan
munculnya beberapa kepribadian dalam satu individu (King, 2010).

Menurut Arif (2006) mengemukakan bahwa Skizofrenia termasuk dalam salah


satu gangguan mental yang sangat berat. Skizofrenia adalah gangguan dengan serangkaian
simtom yang meliputi gangguan konteks berpikir, bentuk pemikiran, persepsi, afek, rasa
14

terhadap diri (sense of self), motivasi, perilaku, dan sungi interpersonal (Halgin &
Whitbourne, 2010).

Skizofrenia adalah penyakit atau gangguan mental yang ditandai dengan adanya
gejala halusianasi, gangguan pikiran, dan tanggapan emosi yang lemah (Novitayani, 2016).
Seseorang yang memiliki gangguan ini kesuliatan dalam membedakan anatara realita dan
khayalan atau alam pikiran. Skizofrenia ditandai dengan terdapatnya perpecahan (schism)
antara pikiran, emosi dan perilaku pasien. Perpecahan pada pasien digambarkan dengan
adanya gejala fundamental (primer) spesifik, yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan
gangguan asosiasi. Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autism, dan
ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham dan halusinasi (Akbar, 2014).

Skizofrenia didefinisikan sebagai penyakit mental dengan gangguan otak yang


kompleks. Widyanti (2009) menyebutkan bahwa Penderita Skizofrenia pada umumnya
mengalami gejala delusi, halusinasi, kehilangan minat terhadap hal-hal yang awalnya
merupakan rutinitasnya, berkurangnya kemampuan untuk bertindak dan berpikir sehingga
tidak lagi mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan penderitanya.
Penderita skizofrenia sangat kesulitan dalam hal komunikasi, mengekspresikan suasana
hati dan perasaan yang sedang dirasakan, menampilkan gerakan atau mempertahankan
pose tubuh yang tidak wajar dalam jangka waktu yang lama.

Menurut WHO (2012) Skizofrenia adalah gangguan mental yang parah, ditandai
dengan gangguan pemikiran yang mendalam, mempengaruhi bahasa, persepsi, dan rasa
diri. Ini sering mencakup pengalaman psikotik, seperti mendengar suara atau delusi. Hal ini
dapat mengganggu fungsi melalui hilangnya kemampuan yang diperoleh untuk
mendapatkan penghidupan, atau terganggunya studi. Skizofrenia mempengaruhi lebih dari
21 juta orang di seluruh dunia.

Menurut Arif (2006) Skizofrenia termasuk salah satu gangguan mental yang
disebut psikosis. Psien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan
realitas. Beberapa gejala psikosis adalah delusi, halusinasi, kacau dalam berbicara dan
tingkah laku.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah


gangguan mental yang disebabkan oleh kerusakan pada otak sehingga penderitanya dapat
mengalami delusi, hasuliansi, kesulitan komunikasi, dan kesulitan mengontrol dirinya
sendiri.
15

Sementara masyarakat yang masih awam dengan penyakit ini, tidak mengenali
fase-fase yang terdapat pada penderita skizofrenia. Pada fase awal atau prodromal
penderita akan terlihat murung, menarik diri dari lingkungannya, sedikit bicara, dan malas
dalam beraktifitas. Dari sini akan terjadi penurunan peran dan fungsi dalam social
kemasyarakatan (Kerlinger, 1998). Fase ini sering tidak disari oleh keluarga, teman dekat
atau bahkan penderita skizofrenia sendiri.

Secara tidak sadar penderita akan memasuki fase berikutnya yaitu fase akut yang
mereka akan mengalami waham dan halusinasi. Waham dan halusinasi ini merupakan
gejala positif pada penderita skizofrenia. Waham adalah suatu keyakinan yang salah atau
‘false belief’ yang sifatnya tidak rasional. Misalnya penderita merasa dirinya sebagai
utusan, nabi, merasa dikendalikan oleh makhluk dari luas angkasa. Atau merasa bahwa
semua teman sekalasnya membenci dan ingin menyakiti dirinya sedangkan halusinasi
adalah penangkapan panca indera yang keliru, msialnya dia merasa mendengar orang
berbicara atau memanggil namanya di ruangan tersebut tidak ada siapapun selain dirinya.

Selain gejala positif, penderita skizofrenia juga memiliki gejala negative. Salah
satu gejala negatifnya adalah gangguan berbahasa. Menurut Burne, penderita skizofrenia
memiliki hendaya kognitif social yang didefiniskan sebagai Theory of Mind (TOM).
Dalam hal ini TOM berperan penting dalam menentukan bagaimana seseorang tersebut
berbicara, menggunakan bahasa, mempersepsikan emosi dan bergaul dab berinteraksi
dengan masyarakat. TOM pada penderita skizofrenia sangat lemah sehingga mereka
mengalami kesulitan untuk mempersepsikan emosi dan pembicaraan orang lain. Mereka
juga mengalami kesulitan memahami perspektif pihak ketiga dan tidak memahami perilaku
dan ucapan mereka sebagai hal yang ridak sesuai sevara social pada situasi tertentu (King,
2010).

Penderita skizofrenia mengalami ketidaknormalan dalam pemroduksian bahasa.


Ketidaknormalan bahasa tersebut tidak hanya dari segi fonologi saja, tetapi dari perubahan
grammar dan sintaksisnya juga. Sehingga menyebabkan kata-katanya sangat sulit untuk
mengerti oleh orang-orang di sekitarnya.

Jika mendapatkan pengobatan dan perawatan intensif penderita skizofrenia akan


berangsur-angsur sembuh dengan mengalami fase residual yang gejala-gejala psikotik
sudah menurun namun penderita masih terganggu oleh perasaan apatis yang dalam.
Penderita tersebut mengalami akan kesulitan dalam berpikir, berbicara dengan jelas, dan
menyimpan ide yang tidak biasa, seperti keyakinan tetang telepati atau pandangan masa
16

depan. Dalam hal ini ada beberapa kasus yang bias sembuh total tanpa gejala namun
mengalami penurunan kognisi dan afektif, ada pula yang terjebak dalam fase akut dan
residual sehingga tidak dapat menjalankan fungsi dan peranan sebagai anggota masyarakat.

Skizofrenia adalah penyakit pervasive yang mempengaruhi lingkup yang luas dari
proses psikologis mencakup kognitif, afek, dan perilaku. Berikut ini adalah ciri-ciri dari
skizofrenia menurut (Nevid, 2003) sebagai berikut:

1) Gangguan dalam pikiran dan pembicaraan


2) Gangguan dalam bentuk pikiran
3) Kekurangan dalam pemusatan perhatian
4) Gangguan gerakan mata
5) Kekurangan dalam event-Related potensials
6) Gangguan persepsi
7) Gangguan emosi

Gejala-gejala skizofrenia biasanya diklasifikasinya sebagai gejala-gejala positif,


gejala-gejala negatif, dan gejala-gejala kognitif (King, 2010).

1) Gejala-gejala Positif

Gejala-gejala positif skizofrenia adalah gejala-gejala yang mungkin sudah Anda


lihat sebagai ciri-ciri dari gangguan dan ini biasanya tidak dtemukan pada orang-orang
sehat. Gejala-gejala positif ditandai oleh adanya distorsi atau kelebihan dalam fungsi
normal, dan biasa disebut “positif” karena mencerminkan sesuatu yang ditambahkan di atas
atau lebih dari perilaku normal. Gejala-gejala positif dari skizofreniamencakup halusinasi,
delusi, pikiran yang terganggu, dan gangguan pada pergerakan.

Halusinasi adalah pengalaman sensoris di saat tidak ada rangsangan


nyata.halusinasi ini sering bersifat audiotoris dan orang mungkin akan mengeluhkan
mendengar suara-suara, tetapi halusinasi juga dapat berupa penciuman dan rasa. Halusinasi
dapat melibatkan melihat hal-hal yang tidak ada. Seperti pada film A Beautiful Mind
orangorang mungkin akan terkejut di akhir film bahwa teman-teman John Nash dari
perguruan tinggi pada kenyataannya adalah halusinasi.

Delusi adalah kepercayaan salah yang terkadang benar-benar tidak masuk akal
yang tidak merupakan bagian dari budaya tempat individu tumbuh. Seorang individu
mungkin akan melihat atau membayangkan bahwa pikirannya sedang disiarkan melalui
radio, sementara yang lain berpikir bahwa seseorang agen ganda sedang mengendalikan
17

setiap geraknya. Pikiran dari orang-orang skizofrenia menjadi begitu tidak tertata dan
membingungkan.

Proses berpikir referensial yang berarti menyematkan makna pribadi pada


kejadiankejadian acak yang terjadi. Sedangkan Katatonia adalah keadaan sesorang manjdi
tidak bergerak dan tidak reponsif. Orang yang katatonik tetap tidak bergerak untuk waktu
yang lama.

2) Gejala-gejala Negatif

Gejala negatif skizofrenia mencerminkan kekurangan perilaku dan hilangnya atau


turunnya fungsi normal seseorang. Gejala negatif melibatkan ketidakhadiran sesuatu.

Satu gejala negative adalah afek datar (flat affect) yang berarti bahwa orang
tersebut menunjukan sedikit atau tidak menunjukan emosi sama sekali,berbicara tanpa
tekanan emosi, dan mempertahankan ekspresi wajah tidak bergerak.

3) Gejala-gejala Kognitif

Gejala-gejala kognitif skizofrenia meliputi kesulitan untuk mempertahankan


atensi, hambatan dan menyimpan informasi dalam ingatan, dan ketidakmampuan untuk
memaknai informasi dan membuat keputusan. Gejala-gejala kognitif ini mungkin tampak
kecil dan sering kali hanya dapat dideteksi melalui tes-tes neuropsikologis.

2.6.1. Jenis-Jenis Skizofrenia

Ada empat jenis utama skizofrenia menurut King (2010) yaitu disorganized,
katatonik, paranoid, dan tidak bergolong. Sedangkan menurut Arif (2006) jenis-jenis
skizofrenia terbagi menjadi 5 yaitu, tipe paranoid, tipe disorganized, tipe katatonik, tipe
tidak bergolong serta tipe residual. Perilaku yang tampak dari keempat jenis ini beragam,
namun mereka memiliki ciri yang sama dalam hal proses pikiran yang terganggu.

1) Tipe Disorganized

Menurut Nevid (2003) skizofrenia tipe tidak terorganisasi dihubungkan dengan


ciri-ciri seperti perilaku kacau, pembicaraan yang tidk koheren, halusinasi yang jelas dan
sering, afek yang datar atu tidak sesuai, dan waham yang tidak terorfanisasi yang sering
melibatkan tema-tema seksual dan religius. ketidakmampuan sosial sering ditemui pada
orang dengan skizofrenia tidak terorganisasi. Mereka juga menunjukan kedunguan, dan
mood yang gamang atau perasaat takut atau ngeri akan sesuatu hal, cekikikan dan berbicara
18

yang tidak tidak. Mereka sering mengabaikan pnampilan dan kebersihan mereka dan
kehilangan kontrol terhadap kandung kemih dan saluran pembuangan makanan.

Seorang individu yang mengalami delusi dan halusinasi yang memiliki makna
yang sedikit atau tidak bermakna sama sekali. Individu seperti ini mungkin akan menarik
diri dari kontak dengan manusia dan mungkin mundur untuk menunjukan perilaku dan
gerak tubuh yang konyol seperti anak-anak.

2) Tipe Katatonik

Menurut Arif (2006) Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan
psikomor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motoric (motoric immobility), aktivitas
motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim, mutsim (sama sekali tidak mau berbicara
dan berkomunikasi), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, echolalia (mengulang ucapan
orang lain) dan echopraxia (mengikuti tingkah laku orang lain)

Menurut Nevid (2003) tipe katatonik ditandai dengan ketidakmampuan yang jelas
dalam perilaku motorik dan perubahan aktivitas yang berkembang menjadi stupor namun
mungkin berubah secara tiba-tiba menjadi fase agitasi. Orang-orang dengan skizofrenia
katatonik mungkin dapat menunjukan bentuk perangai atau seringai yang tidak biasa, atau
mempertahankan postur yang aneh, tampak kuat selama berjam-jam meskipun tungkai
mereka menjadi kaku atau membengkak. Ciri yang mengejutkan namun kurang umum
adalah waxy flexibility, yang menampilkan posisi tubuh yang tetap, sebagaimana posisi
yang telah dipaparkan oleh orang lain terhadap mereka. Mereka tidak akan merespon
pertanyaan atau komentar selama masa tersebut, yang dapat berlangsung selama berjam-
jam. Bagaimanapun sesudahnya mereka mungkin mengatakan mendengar apa yang
dikatakan oleh orang lain selama masa ini.

3) Tipe Paranoid

Dicirikan dengan adanya delusi-delusi referensi, kebesaran, dan penganiyayaan.


Delusi biasanya muncul dalam bentuk sebuah sistem yang terelaborasi didasarkan pada
pemaknaan yang salah terhadap kejadian tertentu.

Menurut Nevid (2003) Skizofrenia dengan tipe paranoid bercirikan focus terhadap
satu atau lebih waham atau adanya halusinasi auditoris yang sering. Perilaku dan
pembicaraan dari seseorang yang mengalami skizofrenia tidak menunjukan disorganisasi
yang jelas sebagaimana ciri dari tipe tidak terorganisasi, tidak juga dengan jelas
menunjukan afek datar atau tidak sesuai, atau perilaku katatonik. Waham mereka sering
19

kali mencakup tema-tema, kebesaran, persekusi, atau kecemburuan. Meraka mungkin


meyakini, contohnya, bahwa pasangan atau kekasih mereka tidak setia, tanpa peduli akan
tiadanya bukti. Mereka juga mungkin sangat gelisah, bingung, dan ketakutan.

4) Skizofrenia Tidak Bergolong

Ditandai dengan perilaku teratur, halusinasi, delusi dan inkoherensi. Diagnosis ini
digunakan ketika gejala-gejala individu tidak memenuhi kriteria untuk satu dari tiga jenis
skizofrenia lain.

5) Tipe Residual

Tipe gangguan skizofrenia ini berindikasi gejala-gejala skizofrenia yang ringa


ditampilkan individu mengikuti episode skizofrenik. Jenis indikasi atau macamnya tidak
dapat diidentifikasikan. Tipe ini merupakan kategori yang digunakan bagi mereka yang
dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan beberapa tanda
gangguannya itu (Wiramihardja, 2005).

2.6.2. Penyebab Skizofrenia

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penyebab skizofrenia. Disini


kita kan membahas faktor-fakotr biologis, psikologis, dan sosio kultural yang terlibat
dalam gangguan ini (King, 2010).

1) Faktor Biologis

Penelitian menunjukan bukti kuat untuk penjelasan biologis mengenai skizofrenia.


Terutama bukti mengarah pada adanya predisposisi genetika, namun abnormalitas
struktural dan neurontransmiter juga dihubungkan dengan gangguan psikologi ini.

2) Hereditas

Penelitian menunjukan pemahaman bahwa skizofrenia setidaknya sebagian


disebebkan oleh faktor genetika. Ketika kesamaan genetika terhadap skizofrenia meningkat,
rasio orang tersebut mengembangkan skizofrenia juga meningkat.

Para peneliti berusaha menujukan lokasi dalam gen di dalam kromosom yang
terlibat dalam kemungkinan munculnya skizofrenia. Mereka belum
lama ini mengungkapkan bahwa kemungkinan penandaan genetika untuk muncunya
skizofrenia adalah pada kromosom 10, 13, dan 22 (King, 2010).

3) Abnormalitas Struktur Otak


20

Abnormalitas struktur dalam otak telah ditemukan pada individu-individu dengan


skizofrenia. Teknik-teknik pencitraan termasuk pemindaian MRI telah menunjukan
ventrikel-ventrikel yang diperbesar dalam otak para individu ini. Ventrikel adalah
ruangruang yang dipenuhi dengan cairan dalam otak, dan pembesaran ventrikel
menindikasikan atropi atau kemunduran di jaringan otak lainnya. Individu dengan
skizofrenia juga memiliki konteks frontal yang kecil (area proses berpikir, perencanan, dan
pengambilan keputusan terjadi) dan menunjukan aktivitas yang lebih sedikit dibandingkan
dengan individu yang tidak memiliki skizofrenia.

Penting diingat bahwa perbedaan otak antara otak individu yang sehat dengan
mereka yang memiliki skizofrenia ternyata sangatlah kecil. Penelitian mikroskopik tetang
jaringan otak sesudah kematian menunjukan perubahan kecil dalam distribusi atau
karakteristik sel-sel otak pada pengidap skizofrenia. Tampak bahwa banyak dari perubahan
ini terjadi sebelum kelahiran (prenatal) karena mereka tidak disertai oleh sel-sel glia yang
selalu muncul ketika terjadi cedera otak sesudah kelahiran. Mungkin
permasalahanpermasalahan pada perkembangan prenatal yang membuat seorang anak
memiliki predisposisi untuk mengembangkan gejala-gejala skizofrenia selama pubertas dan
dewasa muda (King, 2010).

4) Masalah dalam regulasi Neurotransmitter

Penjelasan biologis awal untuk skizofrenia menyatakan bahwa individu dengan


skizofrenia memproduksi neurontransmitter dopamin yang lebih tinggi dan kelebihan
dopamin ini menyebabkan skizofrenia. Teori ini mungkin terlalu sederhana, walau banyak
bukti bahwa dopamin memainkan peran dalam skizofrenia (King, 2010).

5) Faktor-faktor Psikologis

Berdasarkan sejarah, para psikolog sering menjelaskan skizofrenia memiliki akar


pada pengalaman masa kecil dengan orangtua. Teori ini telah tersingkirkan ketika aspek
biologis dari gangguan ini ditemukan. Namun, walau teori kontemporer tidak mengajukan
faktor-faktor biologissebagai satu-satunya penyebab skizofrenia, stress mungkin dapat
menjadi faktor yang memainkan peranan (King, 2010).

6) Faktor-faktor Sosio-kultural

Gangguan pikiran dan emosi umum ditemukan pada kasus skizofrenia di setiap
budaya, namun jenis dan kejadian gangguan skizofrenia mungkin berbeda dari satu budaya
ke budaya lainnya. Individu yang hidup di lingkungan miskin lebih mungkin untuk
21

mengembangkan skizofrenia daripada orang-orang yang memiliki status sosio-ekonomi


tinggi. Hubungan antara skizofrenia dan kemiskinan adalah korelasional, dan teori-teori
kontemporer tidak percaya bahwa kemiskinan menyebabkan skizofrenia. Memang
demikian, dapat dilihat pada lintas budaya, individu dengan skizofrenia di Negara
berkembang yang belum memiliki dunia industry untuk mendominasi cenderung memiliki
hasil keluaran yang lebih baik disbanding dengan penderita skizofrenia di Negara industry
maju. Perbedaan ini mungkin disebebkan oleh fakta bahwa dalam Negara berkembang,
keluarga dan teman lebih dapat menerima dan mendukung individu dengan skizofrenia.

Tidak ada penyembuhan untuk skizofrenia, penanganan biasanya mencakup segi,


menggabungkan pendekatan farmakologis, psikologis, dan rehabilitative. Kebanyakn orang
skizofrenia yang dirawat dalam lingkup kesehatan mental yang terorganisasi menerima
beberapa bentuk obat antipsikotik, yang dimaksudkan untuk mengendalikan pola-pola
perilaku yang lebih ganjil, seperti halusinasi, dan waham, dan mengurangi resiko kambuh
yang berulang-ulang.

1) Pendekatan Biologis

Penjelasan biologis mengenai skizofrenia berawal dari tulisan Kraeplin yang


berpikir bahwa skizofrenia merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh degenerasi
lapisan otak. Ide dari Kraeplin tersebut membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut
mengenai faktor-faktor, seperti struktur otak, dan faktor genetis.

Salah satu temuan yang paling konsisten dengan menggunakan metode


penggambaran otak adalah bahwa otak dari penderita skizofrenia memiliki ventrikel yang
membesar (ruang di otak yang menyimpan cairan serebrospinal). Pembesaran ventrikel
tersebut sering kali disertai dengan penipisan lapisan otak. Cara lain untuk mencari
hubungan otak-perilaku telah diikuti oleh para peneliti yang meneliti peran dari
neurontransmitter, khususnya dopamin.

Menurut hipotesis dopamin, delusi, halusinasi, dan rendahnya atensi yang


ditemukan pada skizofrenia disebabkan oleh suatu aktivitas berlebihan dari neuron yang
saling berkomunikasi satu sama lain melalui transmisi dopamin (Halgin & Whitbourne,
2010).

Pendekatan biologis yang biasanya digunakan adalah pengobatan antipsikotik


yang mampu membantu mengendalikan pola perilaku yang lebih pada penderita
skizofrenia.
22

Antipsikotik yang biasa digunakan biasanya meliputi phenotiazines cblorpromazine


(Thorazine), Haloperidol (Haldol), trifluopreazine (Stelazine), yang menghasilkan efek
yang mirip. Meskipun kita tidak bisa mengatakan dengan pasti bagaimana obat-obatan ini
bekerja, tampaknya mereka memperoleh efek terapeutik dengan menghambat reseptor
dopamin di otak. Hal ini mengurangi aktivitas dopamin, yang tampaknya menghilangkan
tanda-tanda skizofrenia yang lebih mencolokk, sepeti halusinasi dan waham (Nevid, 2003).

2) Faktor-faktor Sosiokultural dalam Penanganan

Para peneliti menemukan bahwa respons terhadap pengobatan psikiatris dan


tingkatan dosis bervariasi sesuai dengan etnis pasien. Orang Asia dan orang Hispanik,
mungkin membutuhkan dosis neuroleptik yang lebih rendah dibandingkan dengan
Kaukasia. Orang-orang Asia juga cenderung mengalami lebih banyak efek samping dari
dosis yang sama.

Etnis mungkin juga berperan terhadap keterlibatan keluarga dalam penanganan.


Pada suatu penelitian terhadap 26 orang Asia Amerika dan 26 orang kulit putih Amerika
nonHispanik yang menderita skizofrenia, anggota keluarga pasien Asia Amerika lebih
sering terlibat dalam program penanganan. Misalnya pasien Asia Amerika lebih cenderung
ditemani oleh anggota keluarga pada saat menghadapi sesi evaluasi medis mereka.
Semakin besar keterlibatan anggota keluarga pada orang Asia Amerika menggambarkan
perasaan tanggung jawab keluarga yang relative besar kepada budaya Asia. Orang kulit
putih Amerika yang nonHispanik lebih cenderung menenkankan individualism dan
tanggung jawab pribadi (Nevid, 2003).

3) Terapi Psikodinamika

Freud tidak yakin bahwa psikoanalisis tradisional sesuai untuk penanganan


skizofrenia. Tindakan menarik diri ke dalam dunia fantasi yang merupakan ciri dari
penderita skizofrenia yang mencegah penderita untuk membentuk hubungan yang
bermakna dengan psikoanalisis.

4) Program Intervensi Keluarga

Konflik-konflik keluarga dari interaksi keluarga yang relative dapat menumpuk


stress pada anggota keluarga yang mengalami skizofrenia, meningkatkan risiko yang
berulang. Para peneliti serta klinis telah bekerja dengan keluarga-keluarga dari orang-orang
yang mengalami skizofrenia untuk membantu menyesuaikan diri dengan beban untuk
23

merawat dan membantu mereka dalam mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif
dan tidak terlalu konfrontatif dalam berhubungan dengan orang lain.

Komponen-komponen spesifik dari intervensi keluarga bervariasi pada tiap


program, namun biasanya mereka memilih beberapa ciri yang sama, seperti memfokuskan
pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari, mendidik anggota keluarga tentang
skizofrenia, megajarkan mereka bagaimana cara berhubungan dengan cara yang tidak
terlalu frontal terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia, meningkatkan
komunikasi dalam keluarga, dan memacu pemecahan masalah yang efektif dan
keterampilan coping untuk mengurangi permasalahan dan perselisihan-perselisihan
keluarga (Nevid, 2003).

5) Rehabilitasi Psikososial

Orang-orang yang mengalami skizofrenia biasanya mengalami kesulitan untuk


berfungsi dalam peran-peran sosial maupun pekerjaan. Masalah-masalah ini membatasi
kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri terhadap kehidupan komunitas bahkan dalam
keadaan tidak adanya perilaku psikotik yang tampak.

Sejumlah kelompok self-help (biasa dikenal dengan clubhouse) dan pusat


rehabilitasi psikososial yang lebih terstruktur lainnya telah muncul untuk membantu orang
yang mengalami mengalami skizofrenia sendiri, sebagian besar karena lembaga-lembaga
kesehatan mental sering gagal untuk menyediakan pelayanan yang sebanding. Gerakan
clubhouse berfungsi untuk menyediakan dukungan sosial bagi anggota dan membantu
menemukan kesempatan pendidikan serta pekerjaan yang digaji.

Pusat rehabilitas dengan beragam pelayanan biasanya menawarkan perumahan


sebagaimana pekerjaan dan kesempatan pendidikan. Pusat-pusat ini sering kali
mempergunakan pendekatan pelatihan keterampilan untuk membantu klien mempelajari
bagaimana menangani keuangan, memecahkan perselisihan dengan anggota keluarga,
membangun persahabatan, naik bus, memasak makanan mereka sendiri, berbelanja, dan
lain-lain (Nevid, 2003).

1. 7 Penelitian Relevan

Dalam tinjauan hasil penelitian yang relevan ini, peneliti menelusuri beberapa
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang bertujuan untuk
terhindari dari kesamaan dalam melakukan penelitian ini. Dari hasil penelusuran tersebut
24

peneliti telah menemukan kemiripan dengan masalah penelitian yang akan diteliti
diantaranya:

1. Harpale & Bairagi (2015) melakukan penelitian tentang “Mathematical Modeling and
Data Analysis of Electroencephalographic Sinyals: A Review”. Penelitian ini dilakukan
di Savitribai Phule University Pune, India. Penelitian ini berkesimpulan bahwa analisis
sinyal EEG memainkan peran yang sangat penting untuk mendeteksi dan memprediksi
berbagai penyakit otak. Penelitian ini sama-sama bergerak dalam pemodelan
matematika, yang membedakan Harpale dan Bairagi dengan penulis adalah objek yang
dikaji, penelitian yang dilakukan Harpale dan Bairagi adalah menganalisis dan
membuat pemodelan matematika pada otak yang belum diketahui penyakitnya
sedangkan penulis menganalisis dan membuat reka ulang manual elektroda AF4 dan
O2 pada penderita skizofrenia.
2. Pujitresnani (2012) melakukan penelitian tentang “Analisis Spectrum Gelombang Otak
Berbasis Fast Fourier Transform (FFT) Pada Studi Kasus Keadaan Normal dan
epilepsi”. Penelitian ini dilakukan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Penelitain ini
berkesimpulan bahwa pengkarakterisasi berdasarkan analisis spectrum FFT dalam
membandingkan gelombang otak penderita epilepsi dan normal. Sedangkan penulis
menganalisis dan membuat reka ulang manual elektroda AF4 dan O2 pada penderita
skizofrenia.
3. Akbar,dkk (2016) melakukan penelitian tentang “Entropi Spektral Resting State Sinyal
Electroencephalogram pada Penderita Skizofrenia”. Penelitian ini dilakukan di
Institut Teknologi bandung (ITB). Penelitian ini sama-sama membahas tentang
skizofrenia, tetapi yang membedakan penelian ini menunjukan adanya selisih antara
skizofrenia dan normal Sedangkan penulis menganalisis dan membuat reka ulang
manual elektroda AF4 dan O2 pada penderita skizofrenia.
4. Kumbara, Turnip & Waslaludin (2015) melakukan penelitian tentang “Klasifikasi
Sinyal EEG Menggunakan Support Vector Machine (SVM) untuk deteksi
Kebohongan”. Penelitian ini dilakukan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Penelitian ini berkesimpulan bahwa bertujuan untuk menunjukan dan menghasilkan
model SVM yang dapat menentukan data EEG untuk subjek berbohong atau tidak,
Sedangkan penulis menganalisis dan membuat reka ulang manual elektroda AF4 dan
O2 pada penderita skizofrenia.
25

5. Andharu (2014) melakukan penelitian tentang “Analisis Gelombang Otak


menggunakan EEG suatu channel untuk mengidentifikasi kelelahan supervisor pabrik
menggunakan metode Means Comparison Test (MCT)”. Penelitian ini dilakukan di
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Penelitian ini berkesimpulan bahwa
mengidentifikasi masalah pada gelombng otak supervisor dengan menggunakan EEG
yang kelelahan, Sedangkan penulis menganalisis dan membuat reka ulang manual
elektroda AF4 dan O2 pada penderita skizofrenia.

Tabel II-1
Tinjauan Penelitian Relevan
No. Penelitian A B C
1. Pujitresnani (2012) -  -
2. Andharu (2014) -  -
3. Harpale & Bairagi (2015) -  -
Kumbara, Arjon Turnip dan Waslaludin
4. -  -
(2015)
5. Akbar, dkk (2016) -  
6. Redi Gunawan (2018)   

Keterangan:

A = Reka Ulang

B = Electroencephalographic atau Gelombang Otak

C = Penyakit Skizofrenia

Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelusuran penelitian yang relevan penelitian
dengan judul “reka ulang manual elektroda AF4 dan O2 pada penderita skizofrenia” layak
dilakukan karena masalah yang akan diteliti tidak terjadi kesamaan atau berbeda dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

1. 8. Kerangka Pemikiran

Tubuh manusia mempunyai berbagai macam organ yang pada akhirnya


membentuk sebuah sistem orang yang bisa melakukan fungsi-fungsi tertentu dan saling
berkaitan satu sama lain. Salah satu organ manusia di dalam tubuh yang terpenting adalah
otak. Otak mempunyai tanggungjawab yang paling utama atas semua aksi dan reaksi yang
telah diperbuah oleh tubuh, atau sebagai pusatnya sistem saraf.

Dengan demikian otak bekerja mengguanakan sistem kelistrikan, yaitu


menghasilkan sinyal listrik kecil dalam pola teratur dan disalurkan melalui jaringan sel-sel
26

saraf yang disebut neuron. Bentuk aktivitas kelistrikan tersebut dapat dilihat dan direkam
dengan mengguanakan alat yang bernama Electroensephalogram (EEG).

Pola gelombang otak pada EEG kita dapat mengetahui akivitas otak dan
menginterpretasikan kelainan atau penyakit yang diderita oleh pasien. Tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana pemodelan matematika melalui sinyal EEG yang dihasilkan
oleh pola gelombang otak pada penderita skizofrenia dan mampu menganalisa pola
gelombang otak yang telah didapatkan melalui EEG tersebut.

Skizofrenia adalah penyakit atau gangguan mental yang ditandai dengan adanya
gejala halusianasi, gangguan pikiran, dan tanggapan emosi yang lemah. Seseorang yang
memiliki gangguan ini kesuliatan dalam membedakan anatara realita dan khayalan atau
alam pikiran. Sementara masyarakat yang masih awam dengan penyakit ini, tidak
mengenali fasefase yang terdapat pada penderita skizofrenia. Pada fase awal atau
prodromal penderita akan terlihat murung, menarik diri dari lingkungannya, sedikit bicara,
dan malas dalam beraktifitas. Dari sini akan terjadi penurunan peran dan fungsi dalam
sosial kemasyarakatan.

Berdasarkan kajian pendahuluan penelitian yang dilakukan Yuliansyah Akbar, dkk


(2016) mendapatkan hasil grafik analisis spectral daya pada penderita skizofrenia yang
ditandai dengan elektroda – elektroda disetiap pola gelombangnya. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana reka ulang manual dari elektroda
AF4 dan elektroda O2 pada penderita skizofrenia dan bagaimana perbandingan hasil reka
ulang elektroda AF4 dan elektroda O2 pada penderita skizofrenia. Selanjutnya peneliti
akan menggunakan metode interpolasi untuk menggantikan suatu fungsi yang rumit
menjadi fungsi yang lebih sederhana.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan


mengangkat judul “Reka Ulang Manual Elektroda AF4 Dan O2 Pada Penderita
Skizofrenia”.

BAB II

PENUTUP

Elektroensefalogram (EEG) adalah Alat untuk merekam aktifitas dari otak dengan
menggunakan pena yang menulis di atas gulungan kertas.Tes ini mampu menunjukkan
tanda penyakit alzheimer dan epilepsy. Sumber lain menjelaskan bahwa EEG adalah
27

sebuah pemeriksaan penunjang yang berbentuk rekaman gelombang elektrik sel saraf yang
berada di otak yang memiliki tujuan untuk mengetahui adanya gangguan fisiologi fungsi
otak.

Anda mungkin juga menyukai