Anda di halaman 1dari 24

ASTA DASA PARWA

OLEH:

NAMA : NI MADE MEISYA ARHARINI


NO :25
KELAS :IX E

TAHUN AJARAN 2018/2019


SMP NEGERI 8 DENPASAR

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. ..1
ADIPARWA…………………………………………………......................................2
SABHAPARWA………………………………………………………………………3
WANAPARWA……………………………………………………………………….4
WIRATAPARWA……………………………………………………………………..6
UDYOGAPARWA…………………………………………………………………….9
BISMAPARWA……………………………………………………………………….11
DRONAPARWA………………………………………………………………………12
KARNAPARWA………………………………………………………………………13
SALYAPARWA………………………………………………………………………14
SAUPTIKAPARWA………………………………………………………………….18
STRIPARWA………………………………………………………………………….19
SANTIPARWA………………………………………………………………………..19
ANUSASANAPARWA………………………………………………………………..20
ASWAMEDHIKAPARWA……………………………………………………………20
ASRAMAWASIKAPARWA………………………………………………….............20
MOSALAPARWA…………………………………………………………………….21
PRASTHANIKAPARWA…………………………………………………………….22
SWARGAROHANAPARWA…………………………………………………………23

1. ADIPARWA

1
            Adiparwa merupakan parwa yang pertama. Kisah dimulai dari cerita tentang silsilah
keturunan wangsa Bharata. Silsilah ini menceritakan tentang sejarah Chandra Vasha yang
memaparkan asal dari keluarga Pandawa dan Korawa. Leluhur dari dinasti Kuru adalah
Santanu yang menikahi dewi Gangga, dan mempunyai putra bernama Bhisma. Santanu
kemudian menikahi Satyawati sebagai permaisyuri keduanya, dan memberinya dua putra yaitu
Chitrangada dan Vichitravirya.Tapi keduanya meninggal tanpa mempunyai anak. Dengan
memohon bantuan kepada maharsi Wyasa, anak dari Satyavati, janda dari kedua putranya itu
bisa memperoleh putra yang bernama Dhrtarasthra dan Pandu. Dhrtarasthra, menikahi Gadhari
dan kemudian mempunyai seratus putra yang disebut Korawa. Sedangkan Pandu memiliki dua
orang istri, yaitu Kunti yang berputra Yudhistira, Bhima, dan Arjuna. Sedangkan istri keduanya
bernama Madri yang berputrakan si kembar Nakula dan Sahadewa. Tapi sayang sang Pandu
dan Dewi Madri melanggar kutukan dimana Sang Pandu tidak boleh melakukan hubungan
badan.  Pada Adiparwa ini banyak terdapat cerita saat pandawa masih kecil yaitu ketika mereka
bersama-sama dengan korawa sedang berguru kepada drona dan berselisihan (bermusuhan)
dengan para Korawa. Segala tipu daya duryodana dan sangkuni Hingga suatu ketika
terbakarnya rumah dammar (kardus) yang ditempati oleh para Pandawa dan Ibunya yakni Kunti
dan perlawanan para Pandawa di hutan. Saat Bhima dilarikan oleh hidimba dan lahirnya Gatot
Kaca.  Diceritakan juga saat kepergian para Pndawa ke Ekacakra dan disana Kunti bercakap
dengan Brahmana yang mengatakan bahwa dari keluarganya akan ada yang harus menjadi
korban untuk raksasa Baka. Kunti menyuruh Bhima untuk membunuh raksasa tersebut hingga
Bhima bertarung dengan Raksasa Baka dan berhasil bembunuhnya. Hingga saat diceritakan
tetang asal-usul dari Drupadi.

Diceritakan saat Arjuna mengikuti saimbara untuk mengangkat panah dan memanah


dengan tepat yang berhadiahkan Drupadi. Selah banyak ksatria yang mencoba namun
semuanya gagal kecuali Karna dari kerajaan Anga namun drupadi menolaknya sebab ia hanya
anak dari seorang kusir yang kastanya lebih rendah  tibalah saatnya Arjuna yang mencoba
dimana saat itu ia menyamar sebagai seorang brahmana dan ia pun berhasil. Diapun
mendapatkan Drupadi beserta panah tersebut. Walaupun Drupada (ayah drupadi) sempat
diserang oleh para ksatria yang gagal, namun Bhima dan Arjuna berhasil menghalaunya dan
yang lain melarikan Drupadi. Selanjutnya Yudhistira mengatakan kepada ibunya bahwa mereka
telah mendapat hadiah, ibunyapun menyuruh untuh membagi hadiah itu sama rata tanpa ia
tahu bahwa sesungguhnya hadiah yang dimaksud oleh Yudhistira adalah seorang wanita. Saat
ia mengetahuinya amatlah terkejutnya dirinya namun semua kata sudah terlanjur terlontar. Dan
akhirnya  Drupadi menikah dengan lima orang sekaligus dan kelimanya merupakan
saudara.  Para pandawa sepakat tidak akan mengganggu Drupadi saat sedang bernesraan

2
dengan salah satu dari Pandawa. Bagi yang melanggar peraturan harus mengasingkan diri di
dalam hutan selama 12 tahun.

 Pada suatu ketika seorang brahmana meminta bantuan kepada Arjuna bahwa
pertapaanya dirusak oleh raksasa. Akhirnya Arjuna bergegas mengambil senjata yang ada di
dalam kamar dimana Yuhistira sedang bermesraan dengan Drupadi. Hingga menyebabkan
arjina dihukum selama 12 tahun. Dalam penjelajahannya di hutan Arjuna menikah dengan
Subadra, Ulupi dan Citrangada dan memperoleh putra  yaitu Abhimanyu, dan Irawan. Dalam
hutan juga diceritakan pada saat Arjuna menolong Maya dari  kedatangan agni yang akan
menelannya.
2. SABHAPARWA

Kitab Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa
menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas
siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya adalah harta,
istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam permainan yang telah disetel dengan
sedemikian rupa tersebut, para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga diceritakan bahwa
Dropadi ingin ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk menyerahkan pakaiannya. Atas
bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa yang sudah kalah wajib untuk
menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan dari Dretarastra, para Pandawa
mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi karena siasat Duryodana yang licik, perjudian
dilakukan sekali lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa yang kalah harus keluar dari kerajaannya
dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada tahun yang ke-13, yang kalah harus hidup
dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, yang kalah berhak kembali ke
kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para Pandawa kalah sehingga terpaksa mereka harus
meinggalkan kerajaannya.

3
3. WANAPARWA
Kitab wanaparwa merupakan kitab ke-tiga dari cerita mahabarata yang total cerita terdiri atas
delapanbelas cerita.
Cerita ini bermula ketika Yudhistira kalah bermain judi dengan para Kurawa, kemudian dia
kalah dengan memepertaruhkan kerajaan dan negaranya. Tidak tanggung-tanggung para Kurawa
memberi beban kepada para Pandhawa untuk melakukan masa pembuangan. Di dalam
pembuangan itu para pandhawa melakukan penyamaran. Di dalam masyarakat jawa sendiri ini
biasa disebut dengan istilah “Kodrat Wiradat” yaitu takdir Tuhan tidak bersifat mutlak.
Seseorang mengatakan kegagalan suatu usaha karena alasan adalah takdir. Boleh jadi kegagalan
yang kita peroleh itu karena sifat sembrono, urakan, ugal-ugalan, dan kelalaian manusia sendiri.
Nasib ini lantas jangan menjadikan kecil hati, bagi mereka yang cukup gigih dan kreatif tentu
akan optimis dalam menghadapi masa depan. Andaikan Yudhistira tidak suka berjudi dan tidak
terpancing dengan emosi sesaatnya mungkin hal ini tidak akan terjadi. Setelah para Pandhawa
pergi meninggalkan istana dmuan menuju hutan Kamyaka.
Saat di hutan, para pandhawa bertemu dengan Rsi Byasa, seorang guru rohani yang mengajarkan
agama hindu kepada pandhawa dan Dropadi, istri mereka. Atas saran Rsi Byasa maka Arjuna
melakukan tapa di gunung Himalaya agar memperoleh senjata sakti yang kelak digunakan dalam
perang Bharatayudha. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia
diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu
melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali
ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan
laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang
pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila.
Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan
rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap
jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan
wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang
terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia
menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari
tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera
melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa
datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang
dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh
babi hutan itu menjadi satu.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka
sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja
yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim

4
sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat
Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah
menjadi Siwa. Arjuna meminta ma’af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan
tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas
keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama “Pasupati”. Karena Arjuna
Lila legawa dapat diterjemahkan dengan rela dan ikhlas. Yakni sikap seseorang yang lapang
dada, terbuka hati, berani kehilangan, dan tidak mau menyesali kerugian atas dirinya. Bencana,
kesulitan dan cobaan dari mana pun datangnya dianggab seolah-olah tidak pernah terjadi. Dalam
tembang Jawa ada pesan lila lamun kelangan nora gegetun, ‘rela bila kehilangan tidak menyesali,
diterima dengan hati ikhlas’. Kerugian yang terjadi karena orang lain hatinya memaafkan.
Kerugian karena lingkungan, hatinya menganggap sesuatu yang alamiah. Kerugian karena
bencana mendadak, hatinya menganggap sudah menjadi kehendak Tuhan. Orang yang lila
legawa tidak pernah ada beban dalam pikirannya. Sikap inilah yang dilakukan Arjuna, dia ikhlas
dalam melakukan perbuatannya. Jika Arjuna tidak memiliki sikap seperti ini maka dia tidak akan
memiliki senjata yang sangat kuat seperti panah Pasupati pemberian dewa Siwa yang takjub akan
tapa yang dilakukan Arjuna dan sikap lilanya demi sebuah cita-cita yang mulia.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para
Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena.
Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru
mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri
apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan
Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru
berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan. Inilah yang dimaksud dengan Becik
ketitik, ala ketara. Duryudana yang tadinya berniat jahat malah kena akibat jahat, sedangkan
pandhawa yang mempunyai sifat baik rela menolong. Sifat seperti inilah yang mesti ditumbuh
kembangkan dikehidupan masyarakat luas.

5
4. WIRATAPARWA

Kitab Wirataparwa merupakan kitab keempat dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah penyamaran para Pandawa beserta Dropadi. Sesuai dengan perjanjian yang sah, setelah 12
tahun masa pengasingan, maka pada tahun ke 13 Pandawa mesti tidak diketahui keberadaannya
selama 1 tahun penuh, apabila gagal maka pengasingan akan diulangi lagi selama 12 tahun
berikutnya. Pandawa kemudian melakukan penyamaran dan menuju ke kerajaan Wirata.

Yudistira menyamar sebagai Brahmana dengan nama Kanka dan menemani raja bermain dadu
setiap harinya. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak bernama Valala salah satu
kegiatannya adalah menemani Raja bergulat. Arjuna memanfaatkan Kutukan Bidadari Urwasi
dengan menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Mengajarkan
tari dan musik pada Putri Uttara (kakaknya juga bernama Uttara, namun dipewayangan jawa
yang perempuan menjadi Utari). Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran
“Grantika” atau Dharmagranthi. Sadewa pun memilih peran sebagai seorang gembala sapi
bernama Tantripala. Droupadi menyamar sebagai dayang istana bernama Sailandri melayani ratu
Sudhesna.

Kichaka adalah kakak dari ratu Suhesna, Pengaruhnya ia di Istana adalah luar biasa, bahkan
masyarakan menyatakan bahwa Ia adalah raja yang sebenarnya dari kerajaan Matsya daripada
Wirata sendiri. Ia naksir Droupadi. Ia menolak dengan halus dengan menyatakan bahwa
Suaminya adalah Gandharwa yang membunuh siapa saja yang bersikap tidak sopan terhadapnya.
Kichaka tidak mempercayai itu dan tetap merayu Droupadi.

Droupadi menyatakan berkeberatan dengan tindakan kakak ratu tersebut. Ratu permulaan
membelanya, namun kakaknya dengan berbagai cara berbicara dengan adiknya betapa
menderitanya Ia karena merindukan Droupadi. Akhirnya mereka membuat rencana untuk
menjebak Droupadi. Ia menjebak Droupadi untuk datang kerumah Kinchaka membawakan
Minuman dan makanan, Droupadi menolak dan meminta agar dikirim orang lain, Ratu marah
sehingga terpaksa droupadi kesana. Benarlah! Kichaka dalam keadaan mabu dan bernafsu
memaksanya, mendorongnya, menendangnya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak
senonohnya dihadapan yang hadir di rumah Kichaka. Ia melupakan bahaya terbongkarnya
penyamaran dan pergi ketempat Bhima menceritakan keadaan itu.

Mereka kemudian melakukan rencana, bahwa malam keesokan harinya Droupadi akan
membawa Kichaka ke ruang tari. Disana Bhima sudah menunggunya. Saat itu yang seimbang
bertarung gulat dengan Kichaka hanyalah Bhima dan Balarama saja. Perkelahian terjadi dan
Kichaka tewas.

Droupadi membangunkan penjaga dan menceritakan gangguan dari Kichaka padahal telah
diberitahu bahwa suami Gandharwanya akan menghabisi siapapun yang mengganggunya sambil
menunjukan mayat Kichaka yang remuk mengecil yang hanya dapat dilakukan oleh bukan
kekuatan manusia biasa. Cerita kematian Kichaka berkembang dimasyarakat kerajaan Matsya
dan sangat menakutkan bagi mereka bahwa Droupadi yang begitu cantiknya mempunyai suami

6
Gandarwa yang pencemburu sehingga berpotensi menyakiti siapa saja terutama keluarga
kerajaan. Droupadi di minta di usir dari kerajaan Wirata, padahal tinggal 1 bulan saja dari akhir
masa pembuangan 12 tahun plus 1 para Pandawa.

Sementara itu mata-mata Duryodana hampir mulai menyerah untuk menemukan Pandawa dan
mereka mendengar kabar bahwa Kichaka tewas ditangan Gandharwa yang Istrinya diganggu.
Mereka tahu yang dapat membunuh Kichaka adalah Cuma dua orang di muka bumi ini. Salah
satunya adalah Bima dan Duryodana juga yakin bahwa istri Gandharwa itu adalah Droupadi.

Akhirnya Duryodana sampai pada rencana untuk menyerang Wirata. Melihat sifat Pandawa,
mereka pasti akan menolong kerajaan Wirata sebagai ucapan terima kasih dan apabila Pandawa
tidak ada di sana, paling tidak pundi kekayaan Duryodana menjadi meningkat. Raja Trigarta,
Susarma juga hadir saat itu dan kerajaan tersebut sudah lama merasa terganggu dengan Kichaka,
saat ini Kichaka telah tiada sehingga Wirata dalam keadaan lemah. Diputuskan Raja Susarma
akan menyerang dari Selatan dan Hastina dari Utara.

Yudistira, bertindak seperti pikiran Duryodana, kecuali Arjuna mereka semua membatu Kerajaan
Matsya beserta seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan
Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan
terancam oleh serangan pasukan Hastinapura.

Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Brihanala (banci, samaran
Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang, Uttara sangat ketakutan melihat pasukan Kurawa yang
saat itu dlihatkan ada Bhisma, Drona, Kripa, Awatama, karna, Durydana dan ribuan lainnya. Ia
membuang busur dan lari, kemudian dikejar oleh Brhidnala kemudian dipaksa masuk Kereta.
Sesampainya mereka di dekat sebuah pohon Uttara diminta naik keatas untuk mengambil
persenjataan Pandawa yang disembunyikan di sana.

Kemudian Brihanala menyentakan Busur Gendewanya yang bunyinya bergema di seluruh


tempat. Bunyi itu sangat menakutkan pasukan Kourawa Kemudian ia meniupkan Terompetnya,
Dewadatta yang berkumandang dan makin menggentarkan pasukan Kourawa. Saat itu mereka
berteriak-teriak bahwa Pandava datang berkali2. Trompet itu menandakan berakhirnya masa
pengasingan yang jatuh tempo satu hari sebelumnya. Bhisma juga memberitahukan pada
Duryodana bahwa menurut pengetahuannya dan juga para ahli perbintangan maka tahun ke 13
masa pengasingan telah berakhir kemarin. Duryodana di sarankan untuk segera berdamai, namun
ia menolak dan mengatakan tidak akan menyerahkan bahkan satu desapun kepada Pandawa serta
memerintahkan mereka untuk segera berperang. Kemudian Duryodana, sang putera Mahkota
dillindungi bersama kumpulan sapi2 yang hendak dijadikan hasil kemenangan saat itu.

Arjuna tampil seorang diri melawan seluruh pasukan Korawa. Sebelum mengejar Duryodana
Arjuna menyalami para Gurunya dan Bhisma dengan membidik Panah dekat kaki mereka. Saat
ia mengejar Duryodana, seluruh pasukan bergerak melindungi Duryodana, Arjuna membuat
Karna keluar dari arena, Ia mengalahkan Drona, Kripa, Aswatama dan akhirnya berperang
Melawan Bisma. Pertempuran antara Bisma dan Arjuna disaksikan para Dewa.

7
Kemudian Arjuna mengeluarkan sebuah panah yang membuah mereka semua menjadi tak
sadarkan diri. Kemudian ia merenggut semua pakaian merka. Kumpulan pakaian itu sebagai
tanda kemenangan di hari itu. Pasukan korawa pulang kandang dengan kekalahan memalukan
ditangan satu orang, Arjuna. Peristiwa kemenangan Arjuna atas serangan Hastinapura tersebut
telah membuat Utara berubah menjadi seorang yang pemberani. Ia ikut terjun dalam perang
besar di Kurukshetra membantu pihak Pandawa.

Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata
dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang
diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal
itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.

Saat batas waktu penyamaran telah melebih batas waktu, kelima Pandawa dan Dropadi pun
membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah
memperlakukan mereka dengan buruk. Wirata merasa bersalah karena telah memperlakukan
mereka dengan kurang baik. Ia pun menyerahkan putrinya, Utaraa kepada Arjuna sebagai tanda
penyesalan dan minta maaf. Namun Arjuna menolaknya karena ia telah mengajar tarian dan
kesenian pada mereka (dua uttara), untuk itu Utaraa (putri) pun diambil sebagai menantu untuk
dinikahkan dengan Abimanyu, putranya yang tinggal di Dwaraka. Wirata pun berjanji akan
menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha. Saat itu ada
utusan dari Duryodana yang meminta mereka.

8
5. UDYOGAPARWA

Kitab Udyogaparwa merupakan kitab kelima dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
sikap Duryodana yang tidak mau mengembalikan kerajaan para Pandawa yang telah selesai
menjalani masa pengasingan selama 13 tahun berakhir. Pandawa kembali untuk mengambil
kembali negeri mereka dari tangan Korawa. Namun pihak Korawa menolak mengembalikan
Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah
terbongkar.

Pandawa yang selalu bersabar mengirimkan Krisna sebagai duta perdamaian ke pihak Korawa,
namun usaha mereka tidak membuahkan perdamaian. Sebagai seorang pangeran, Pandawa
merasa wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka akhirnya hanya
meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia
memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat
para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Duryodana pun sudah
mengharapkan peperangan.

Dalam kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia
menjelaskan bahwa para Pandawa sebenarnya adik seibu Karna. Apabila Karna bergabung
dengan Pandawa, maka Yudistira pasti akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.

Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap, Dengan penuh pertimbangan ia
memutuskan tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan
Duryodana yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para
Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap
Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.

Kresna dengan kepandaiannya berbicara akhirnya berhasil mengetahui alasan karna yang paling
rahasia (Dialog Karna dengan Krisna sewaktu Widura dan Kunti mengantar Krisna beristirahat).
Karna mengaku memihak Korawa demi kehancuran angkara murka. Ia sadar kalau Korawa
adalah pihak yang salah. Setiap hari ia berusaha menghasut Duryodana supaya tidak takut
menghadapi para Pandawa. Karna menjadi tokoh yang paling menginginkan perang terjadi,
karena hanya dengan cara itu Korawa dapat mengalami kehancuran. Karna sadar sebagai seorang
penghasut, dirinya harus memberi contoh berani dalam menghadapi Pandawa. Ia rela jika dalam
perang nanti dirinya harus tewas bersama para Korawa. Ia bersedia mengorbankan jiwa dan raga
demi untuk kemenangan para Pandawa dan kebahagiaan adik-adiknya itu. Kresna terharu
mendengar rahasia Karna. Ia yakin meskipun selama di dunia Karna hidup bersama Korawa,
namun kelak di akhirat pasti berkumpul bersama Pandawa.

Setelah pertemuan dengan Kresna, Karna ganti mengalami pertemuan dengan Kunti, ibu
kandungnya. Kunti menemui Karna saat putera sulungnya itu bersembahyang di tepi sungai. Ia
merayu Karna supaya mau memanggilnya “ibu” dan sudi bergabung dengan para Pandawa.
Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya
sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak

9
bergabung dengan Pandawa dan tetap menganggap Radha istri Adirata sebagai ibu sejatinya.
Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang
Bharatayuddha kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.

Sebelumnya, Pandawa dan Korawa mempersiapkan kekuatannya dengan mencari bala bantuan
dan sekutu ke seluruh pelosok Bharatawarsha (India Kuno). Arjuna dan Duryodana pergi ke
Dwaraka untuk memohon bantuan dari Krishna

Duryodana datang terlebih dahulu, kemudian Arjuna. Krishna sedang beristirahat. Mereka masuk
kekamarnya. Durodana duduk disisi Krishna, Arjuna berdiri tepat diujung kaki Krisna. Krisna
kemudian terbangun dan membuka matanya melihat arjuna terlebih dahulu dan menyapanya
Baru kemudian menyapa Duryodana. Ia menanyakan apa yang membuat mereka datang ke
Dwaraka. Duryodana berbicara pertama bahwa Perang akan dimulai dan mereka meminta agar
Krishna dan pasukannya membantu mereka, Ia juga menyampaikan bahwa Ia darang duluan.
Krishna menyatakan bahwa mungkin benar Duryodana datang duluan, namun ia melihat Arjuna
terlebih dahulu ketika terbangun, lagi pula adat yang berlaku selalu mempersilakan yang lebih
muda untuk duluan. Untuk itu Krishna menyatakan bahwa Ia tidak bersedia bertempur secara
pribadi. Sri Kresna mengajukan tawaran kepada Pandawa dan Korawa, bahwa di antara mereka
boleh meminta satu pilihan: pasukannya atau tenaganya.

Pandawa yang diwakili Arjuna menginginkan Sri Kresna tanpa senjata Ia memohon Krishna
bersedia mengendarai kereta perangnya dan menjadi penasihat Pandawa sedangkan Korawa yang
diwakili Duryodana memilih pasukan Sri Kresna. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan
tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas terlebih lagi Duryodana merasa pilihan arjuna
merupakan suatu kebodohan karena ia tahu ketangguhan dari pasukan Krisna namun setibanya
Duryodana dikerajaan dengan gembira ia ceritakan keberuntungannya itu dihadapan Sangkuni.
Sangkuni justru memakinya sebagai orang paling Bodoh dan mengatakan 1 orang Krisna tidak
dapat dibandingkan dengan ratusan ribu Prajuritnya walaupun sekuat apapun Prajuritnya itu.

Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara
Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan
ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan dari
berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa memiliki tujuh
divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno
seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya
dan wangsa Yadu dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa
terdiri dari Raja Pragjyotisha, Anga, Kekaya, Sindhudesa, Mahishmati, Awanti dari Madhyadesa,
Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.

10
6. BISMAPARWA

kitab_bismaparwa-

Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini
mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan,
pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha
dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun
bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih
karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana
mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain
sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan
nama Bhagawad Gita atau "Gita Sang Bagawan" , artinya adalah nyanyian seorang suci.
Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma , kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma
mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu
ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada "tempat tidur panahnya" (saratalpa ) sampai
perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi
tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.

11
7. DRONAPARWA

kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi
Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin
menangkapYudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Usaha tersebut tidak
berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk
membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa seperti Bima dan
Satyaki. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar
Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak
sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada
Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar hal tersebut, Drona
kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal
oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak
membalas dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu yang
terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta gugurnya Gatotkaca dengan senjata sakti panah
Konta. Kitab Dronaparwa tidak didapati di Indonesia. Kitab ini kitab ketujuh Mahabharata. Di
sini diceritakan kematian bagawan Drona dalam perang Bharatayuddha. Ia ditipu oleh antara lain
Yudistira apakah putranya Aswatama sudah tewas atau belum.

12
8. KARNAPARWA

Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan
kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan
Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk.
Mereka banyak membantai pasukan Korawa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil
membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Kemudian Bima
membawa darah Dursasana kepada Dropadi. Dropadi mengoleskan darah tersebut pada
rambutnya, sebagai tanda bahwa dendamnya terbalas. Kemattian Dursasana mengguncang
perasaan Duryodana. Ia sangat sedih telah kehilangan saudaranya yang tercinta tersebut.
Semenjak itu ia bersumpah akan membunuh Bima.

Untuk mengimbangi Arjuna yang mempunyai Krisna sebagai kusir kereta maka Karna meminta
Salya bertindak sebagai kusir keretanya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna.
Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna.

Hari ke-16, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun
tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian
bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain.

Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam
tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna.

Hari ke-17, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur
dalam waktu yang cukup lama, akhirnya kutukan Parasurama menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba
lupa terhadap semua ilmu yang diajarkan gurunya tersebut. Kutukan kedua terjadi pula. Salah
satu roda kereta Karna tiba-tiba terbenam ke dalam lumpur. Ia pun turun ke tanah untuk
mendorong keretanya itu Ia minta Salya membantunya tapi kusir keretanya itu menolak untuk
mendorong dan membantunya. Karna turun tangan sendiria untuk mengangkat kembali
keretanya yang terperosok.

Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna
menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Kresna mendesak
agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini merupakan satu-satunya kesempatan. Karna
meminta Arjuna menaati peraturan karena saat itu dirinya sedang berada di bawah kereta, dan
dalam keadaan tanpa senjata.

Kresna membantah kata-kata Karna. Menurutnya, Karna lebih sering berbuat curang daripada
Arjuna dalam peperangan, seperti misalnya saat ia ikut serta mengeroyok Abimanyu, ataupun
membunuh Gatotkaca pada malam hari. Kresna kembali mendesak Arjuna untuk bertindak
dengan cepat. Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang segera melesat memenggal leher

13
Karna. Kutukan ketiga menjadi kenyataan, Karna tewas dalam keadaan lengah tanpa memegang
senjata.

9. SALYAPARWA

Sesudah Karna gugur dalam perang Duryodhana dirundung kesedihan, Bhagavan Krpta memberi
saran agar perang dihentikan untuk menghindari kehancuran lebih lanjut. Tapi duryodhana
mengatakan itu semua sudah terlambat dan ingin melanjutkan pertemburan. Kemudian ia
mengusulkan Salya menjadi seorang senopati, Salya menasehati Duryodhana agar berhenti
berperang dan ia menyanggupi akan menjadi penengah dan penghubung antara Kurawa dan
Pandawa. Aswatama yang memang dari awal tak suka dengan Salya sangat marah dan menghina
Salya hingga terjadi perkelahian dikeduanya. Dan delerai oleh Duryodhana, karena merasa
berhutang budi kepada Duryodhana Salyapun bersedia menjadi senopati.

Keesokan harinya yaitu pada perang yang ke delapan belas, Prabu Salya berhadapan dengan
Arjuna dan Bima berhadapan dengan adik-adik Duryhodana yang hanya tinggal lima orang.
Sebelum tengah hari Bima telah berhasil membunuh kelimanya. Bima sangat merasa puas karena
dendamnya terhadap Korawa hampir dapat terlampiaskan hanya tinggal Duryodhana saja yang
belum. Tetapi sebelum mencari Duryodhana ada seorang lagi yang diincarnya yaitu Sakuni. Saat
dilihatnya Sakuni sedang berhadapan dengan Sahadewa. Dengan Teriakan yang nyaring Ia
menyuruh Sahadewa untuk Mundur.

Melihat Bima datang, sakuni mulai takut. Ia berusaha melarikan diri, tetapi Bima berhasil
mengejarnyadan menjambak rambutnya serta membantingnya. Sakuni berusaha bangun, entah
untuk melawan atau larti lagi. Bima lalu mengeluarkan unek-uneknya, “Hai Sakuni, peperangan
ini terjadi akibat mulutmu yang busuk. Aku telah bersumpah untuk merobek mulutmu yang
busuk.”

Sakuni merasa bahwa tidak ada gunanya lagi Ia melarikan diri. Ia-pun langsung menyerang
Bima. Namun dalam beberapa gerakan saja Ia telah jatuh tertunduk, serangannya mampu ditahan
Bima. Bima kembali mencacinya, “Terlalu enak bagimu jika kau kubunuh dengan sekali pukul.
Karena kaulah yang menjadi sumber segala bencana ini. Dengan akal busukmukau selalu
berusaha mmelenyapkan Pandawa. Sekarang rasakan penderitaanmu.” Bima kembali menjambak
rambut Sakuni sambil memakinya sepuas hati. Setelah itu tangannya dipatahkan, matanya
dibutakan, dan akhirnya mulutnya dirobek sampai Ia menjerit melepas nyawa.

Sementara itu, pertempuran antara Salya dengan Arjuna berlangsung sengit. Lama kelamaan
Salya makin terdesak, Salyapun langsung mengeluarkan Aji Candra Bhairawa. Tubuh Salya
mengeluarkan raksasa yang langsung menyerang Arjuna. Raksasa itu langsung dipanah oleh
Arjuna tepat mengenai perutnya. Raksasa itu tidak mati, bahkan Raksasa itu mengeluarkan darah
dan darahnya berubah menjadi Raksasa lagi. Sehingga Arjuna diserang oleh dua Raksasa. Arjuna
hendak memanahnya lagi namun dilarang oleh Krisna dan Ia meminta Arjuna untuk mundur.

14
Bima yang melihat adiknya didesak oleh dua Raksasa mulai menghadang raksasa tersebut.
Dengan Gadanya ia memukuli Raksasa-raksasa tadi. Tetapi Raksasa yang dipukul tadi menjadi
banyak Raksasa karena tiap darah yang keluar berubah menjadi raksasa baru. Dengan demikian
Bima direbut oleh banyak raksasa. Dan raksasa itu pula menyerang seluruh prajurit Pandawa.

Pada saat itu, hari telah menjelang tengah hari, Krisnha lalu mendekati Yudhistira dan menyuruh
Yudhistirauntuk melawan Salya. Yudhistirapun maju dengan senjata Kalimasada. Tepat tengah
hari Kalimasada dilemparkan dan tepat mengenai kepala Salya. Dan akhirnya Salya gugur,
dengan itu raksasa-raksasa Candra Bairawapun lenyap dengan seketika. Gugurnya Salya dan
lenyapnya para raksasa disambut dengan gembira oleh pasukan Pandawa, sebaliknya prajurit
Korawa menjadi putus asa. Mereka kehilangan semangat untuk bertempur, mengingat para
pemimpin mereka sudah gugur. Mereka berlari menyelamatkan diri. Sedangkan Duryodhana
melarikan diri setelah mengetahui gugurnya Salya dan kehancuran prajurutnya serta tak
seorangpun yang bisa diandalkannya lagi. Duryodhana bersembunyi di sebuah telaga. Sementara
itu para Pandawa mencari Duryodhana di medan perang, namun tidak ditemukan.

Setelah mengetahui Prabu Salya gugur, salah seorang prajuritnya meninggalkan medan
pertempuran dan melapor pada Dewi Setyawati. Mendapatkan laporan tentang suaminya yang
gugur Ia kemudian pingsan. Setelah siuman Ia kemudian berpesan kepada dayang-dayangnya
bahwa Ia akan mencari jenazah suaminya tersebut serta akan melakukan satya. Sugandika yang
menjadi dayangnya ikut dengan Setyawati, setelah membersihkan diri dan berpakain serba putih
mereka berjalan menuju bekas arena pertempuran. Disana Ia menemukan banyak jenazah dan
belum menemukan jenazah suaminya, hingga Ia hampir putus asa, akhirnya ada petunjuk dari
lagit tentang keberadaan jenazah Salya. Akhirnya Setyawati dan Sugandika melakukan satya.

Atas petunjuk Krisna, Pandawa menemukan keberadaan Duryodhana bersembunyi. Duryodhana


pada saat itu sedang berendam disebuah telaga. Bima lalu berkata “Hai Duryodhana, ternyata
kamu sudah tidak ksatriya lagi. Kamu meninggalkan medan perang karena takut mati. Kamu
melarikan diri dan bersembunyi disini. Kamu kira aku tak akan bisa menemukanmu. Kemanapun
kamu bersembunyi akan tetap aku kejar. Sekarang tunjukkanlah sikap kesatryamu. Ayolah kita
bertempur sebagai kesatrya.” Mendengar tantangan Bima seperti itu akhirnya Duryodhana
berkata, “Hai Bima dan kamu Pandawa semua, aku berendam disini bukan karena takut, tapi
badanku terasa panas. Sekarang majulah kalian berlima serta seluruh prajuritmu rebutlah aku.
Aku tidak takut menghadapi kalian semua seorang diri.” Mendengar kata-kata Duryodhana yang
demikian congkak, Krisnapun berkata, “Hai Duryodhana, Pandawa tetap menjunjung tinggi
sifat-sifat kesatrya. Pandawa menjadi tidak kesatrya bila mengeroyokmu. Oleh karena itu kamu
boleh memilih salah satu dari mereka untuk bertempur denganmu.” Mendengar penjelasan
Krisna, Duryodhana menjawab, “ Kalau begitu baiklah, aku akan memilih salah satu. Aku tidak
memilih Nakula atau Sahadewa karena bagiku mereka masih terlalu kanak-kanak. Aku juga
tidak memilih Arjuna karena Ia bersifat banci. Aku juga tidak mau bertempur dengan Yudhistira
yang seperti pendeta. Satu-satunya yang cocok berhadapan denganku adalah Bima. Disamping
antara aku dan Bima cukup seimbang, kebetulan sekali kami sama-sama bersenjatakan gada.

Setelah dialog tersebut disiapkan arena untuk perang tanding antara Bima dan Duryodhana.
Sebelum perang dimulai, kebetulan Baladewa datang ke tempat itu. Semua yang ada disana
memberi hormat atas kedatangannya. Duryodhana sangat senang atas kedatangan Baladewa

15
begitu juga dengan Bima. Baladewa merupakan guru mereka dalam penggunaan senjata gada,
kemudian mereka meminta restu untuk memulai pertempuran. Dan juga Baladewa diminta untuk
menjadi saksi.

Perang antara Duryodhana dan Bima sangat seru. Setelah beberapa lama Krisna berteriak-teriak
memberi semangat. Bima yang sedang bertempur tertarik mendengar teriakan Krisna lalu
menoleh ke arah Krisna. Saat Bima menoleh Krisna menepuk pahanya dan mematahkan
sepotong ranting. Melihat hal itu Bima lalu teringat akan sumpahnya bahwa Ia akan mematahkan
paha Duryodhana. Oleh karena itu Ia mengusahaakan untuk hal itu, seketika Duryodhana
melompat Ia memukil pahanya. Seketika itu Duryodhana roboh ke tanah dengan paha yang
remuk. Bima lalu menginjak-injak kepalanya dan memakinya, “Hai Duryodhana, rasakan
sekarang hasil perbuatanmu. Inilah balasanku atas segala kejahatanmu terhadap Pandawa.”

Baladewa yang meihat hai itu jadi sangat marah. Ia lalu menegur Bima, “hai Bima mengapa
kamu menyalahi aturan perang gada. Bukankah kamu tahu, dalam perang gada tidak boleh
memukul dibawah perut. Kenapa kamu memukul paha, disamping itru perbuatanmu mencaci
musuh dan menginjak kepala musuh yang tek berdaya sudah bukan merupakan sifat kesatrya.
Atas dosamu aku akan menghukummu, bersiaplah menerima pukulan gadaku.”

Krisna segera berlari menghalangi maksud Baladewa dengan memberikan penjelasan. “Kanda
Baladewa, jangan dulu marah. Bima sengaja memukul paha Duryodhana karena ada alasannya.
Pertama, Duryodhana telah banyak sekali berbuat dosa dan menyebabkan pihak Pandawa
menderita. Kedua, karena Bima telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodhana atas
perlakuannya yang tidak senonoh terhadap Drupadi. Ketiga, Duryodhana telah terkena kutuk dari
Maharsi Metrya, agar pahanya dipatahkan oleh nusuh karena penghinaannya terhadap Rsi
tersebut. Atas tiga hal tersebut harap Kanda menjadi Maklum.” Setelah mendengar penjelasan
tersebut, Baladewapun menjadi maklum dan meninggalkan tempat tersebut.

Setelah Baladewa pergi, Krisnapun mengajak para pendawa untuk meninggalkan tempat
tersebut. Tetapi sebelum mereka pergi jauh Duryodhana yang tak berdaya masih bisa mengomeli
Krisna yang telah memberi syarat pada Bima untuk menghantap pahanya, Ia juga menuduh
Krisna telah menyebabkan kematian Bhisma dengan menyuruh Srikandi menghadapi Bhisma.
Begitu pula kematiasn Drona, dengan menyuruh Yudhistira untuk berbohong. Jiga kematian
Karna yang menyuruh Arjuna memanah Karna yang sedang memperbaiki kereta. Juga kematian
Raja Sindu dengan membuat Kurusetra menjadi gelap

Terhadap omelan Duryodhana tersebut Krisna menjawab bahwa itu adalah akibat dari dosa-dosa
Duryodhana sendiri, seperti meracuni Bima, membakar Pandawa dirumah Gala-gala, permainan
judi yang curang serta mempermalukan Drupadi. Setelah memberi penjelasan tersebut Krisna
dan Pandawa beranjak dari tempat itu, para prajurit langsung disuruh ke kemah sementara para
Pandawa diajak bertirtayatra untuk penyucian diri lahir batin. Yaitu di telaga Pancaka Tirta,
letaknya di tengah hutan dekat dengan medan Kuru Setra. Telaga ini dibuat oleh Bhagawan
Parasu Rama pada zaman dahulu.

Di Hastinapura, Dhrstaarastha menanyakan bagaimana kematian Duryodhana yang pahanya


remuk dipukul dan apa kata terakhir yang muncul dari mulutnya. Sanjaya menceritakan rintihan-

16
rintihan Duryodhana kepada Dhrstarastha, juga pesannya kepada krpa, Krtavarma dan Asvatama
serta menginformasikan perintahnya kepada Carvaka tentang saat terakhir yang sangat
menyakitkan. Utusan Duryodhana tiba di perkemahan Asvatama dan menyampaikan pesan dari
Duryodhana. Krpa, Krttavarma dan Aswathama tiba di medan pertempuran dan melihat
pertempuran sudah selesai. Asvathama sangat sedih hatinya melihat runtuhnya kerajaan besar
dibawah pimpinan Duryodhana dan akan memenuhi janji yang diminta Duryodhana. Sumpah
Asvatama dan permintaan Duryodhana untuk menjadikan Krpa sebagai panglima perang,
selanjutnya perpisahan perpisahan ketiga pahlawan itu dan berakhir dengan kematian
Duryodhana.

17
10. SAUPTIKAPARWA

Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada
di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah
Aswatama, Krepa, dan Kritawarma.

Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di Kurukshetra membuat ayahnya
meninggal di tangan pangeran Drestadyumna dari kerajaan Panchala. Aswatama yang menaruh
dendam mendapat izin dari Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah
perang berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama yang didasari motif balas
dendam berjanji kepada Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa,

Ia menyerang kemah Pandawa saat tengah malam, Aswatama membunuh seluruh pasukan
Panchala, Drestadyumna yang membunuh Drona, Srikandi serta kelima putera Pandawa atau
Pancawala (anak Pandawa dari Dropadi). Kemudian Aswatama sejenak menyesali perbuatannya
lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa.

Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan akhirnya ia bertarung
dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata ‘Brahmastra’ yang sangat
dahsyat, yang dulu ingin ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan
senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang
sama. Takut akan kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut
menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama tidak bisa
melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Dengan
rasa dendam, Aswatama mengarahkan senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa.
Di antara mereka adalah Utara, menantu Arjuna.

Setelah Aswatama mengarahkan Brahmastra menuju perut Utara yang sedang mengandung,
senjata itu berhasil membakar janin Utara, namun Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk
Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di bumi selama 6.000 tahun sebagai orang
buangan tanpa rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar terus hidup
sampai akhir zaman Kaliyuga. Karena dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta
ini menjadikan ia sebagai satu di antara tujuh Chiranjiwin.

Legenda mengatakan bahwa Aswatama pergi mengembara ke daerah yang sekarang dikenal
sebagai semenanjung Arab. Ada juga legenda yang mengatakan bahwa Aswatama masih
mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin topan. Sebuah benteng kuno di dekat
Burhanpur, India, yang dikenal dengan Asirgarh memiliki kuil Siwa di puncaknya. Konon setiap
subuh, Aswatama mengunjungi kuil tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar merah.

18
Masyarakat yang tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya namun tidak pernah
berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan menjadi buta atau kehilangan suaranya.
Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan Gir yang dipercaya sebagai tempat Aswatama
mengembara dan ia masih hidup.

11. STRIPARWA

Striparwa adalah buku ke-11 Mahabharata. Kitab ini tidak terdapat versi Jawa Kunanya. Kisah
yang singkat ini menceritakan ratapan para istri-istri ksatriya yang telah tewas dalam peperangan
Bharatayuddha. Mereka melaksanakan ritual sraddha.

Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang ditinggal oleh suami mereka di
medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka
yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti
menceritakan kelahiran Karna yang menjadi rahasia pribadinya.

Upacara sraddha adalah upacara umat Hindu di pulau Jawa zaman dahulu kala untuk mengenang
arwah seseorang yang meninggal. Bentuk reminisensi upacara ini, masih ada sekarang dan
disebut sadran dengan bentuk verba aktif nyadran.

12. SANTIPARWA

Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena telah membunuh saudara-
saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan suci oleh Rsi Byasa dan Sri
Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan
kewajibannya sebagai Raja.

Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang
telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis
sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para
Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa
sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘
Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini.
lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka
semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk
menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu
Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa
mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami


kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka
mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

19
Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin
menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu
harus diakui adanya

13. ANUSASANAPARWA

Anusasanaparwa adalah kitab ke-13 Mahabharata dan merupakan terusan Santiparwa, tentang
percakapan antara Yudistira dan Bisma. Kitab ini tidak terdapatkan dalam bahasa Jawa
kuna.Dalam kitab ini diceritakan pula meninggalnya Bisma dan berpulangnya beliau ke surga.
Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri Yudistira kepada Resi Bhisma untuk
menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang ajaran Dharma, Artha, aturan tentang
berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan
dunia dengan tenang.

14. ASWAMEDHIKAPARWA

Kitab Aswamedhikaparwa merupakan kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah kelahiran Parikesit yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena senjata
sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan kembali.
Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara
tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan di belakangnya
terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin oleh Arjuna. Mereka mengikuti kuda tersebut
kemanapun pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau tunduk di bawah
kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan yang membangkang
harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira. Pada akhirnya, para Raja di
daratan India mau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.

15. ASRAMAWASIKAPARWA

Kitab Asramawasikaparwa merupakan kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah Dretarasta, Gandari, Kunti,Widura dan Sanjaya yang menyerahkan kerajaan
sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan mereka pergi bertapa ke tengah hutan.Pandawa
sempat mengunjungi pertapaan merekja di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke

20
hadapan para Pandawa, dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa
terbakar oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.

16. MOSALAPARWA

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan
disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti
misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana
yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan
jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan
mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru
disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk
memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.

Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini
masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian
kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring
di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan
anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika
sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma’af kepada Kresna. Kresna
tersenyum dan berkata, “Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan
hidupku”. Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke
Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan
Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.

Hancurnya Kerajaan Dwaraka

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan
Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih
bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna
mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh
Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa
dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar
Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai.
Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat
yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi
ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh
gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.

Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok.
Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia
sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil
21
diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa
dipimpin oleh Bajra.

Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi
Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan
perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

17. PRASTHANIKAPARWA

Kitab Prasthanikaparwa merupakan kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang mengundurkan diri dari pemerintahan dan
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk menjadi seorang pertapa. Mereka menyerahkan
tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha.
Para Pandawa beserta Dropadi berencana untuk berziarah ke gunung Himalaya sebagai akhir
hidup mereka. Dalam perjalanan, Dropadi dan satu persatu dari Pandawa bersaudara (Sahadewa,
Nakula, Arjuna, Bima) meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih hidup dan
melanjutkan perjalanannya. Yudistira membiarkan jenazah saudara-saudaranya terkubur di
tengah perjalanan tanpa memberikan upacara pembakaran yang layak. Di tengah jalan, Yudistira
bertemu dengan seekor anjing, dan anjing tersebut kemudian menjadi teman perjalanannya.
Bersama-sama, mereka berdua berhasil mencapai puncak. Sesampainya di puncak, kereta
kencana Dewa Indra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira ke surga. Akhirnya prabu
Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang berkata akan
mengangkatnya ke surga tanpa harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga
diperbolehkan ikut. Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya
dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin mengetesnya. Setelah naik di
sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata mereka berada di
neraka. Lalu beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan sorga adalah sia-
sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di buku ke 18
Swargarohanaparwa

18. SWARGAROHANAPARWA
Kitab Swargarohanaparwa merupakan kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini
menceritakan akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali
dengan penolakan Yudistira yang tidak mau berangkat ke surga jika harus meninggalkan anjing
yang setia menemani dalam perjalanannya. Atas ketulusan hati Yudistira, si anjing pun
menampakkan wujud aslinya sebagai Dewa Dharma, ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan
bahwa Yudistira telah berhasil melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang. Setelah
mengetahui yang sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke surga. Sesampainya di surga,
Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya yang saleh, melainkan
mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat ada di sana. Sang Dewa mengatakan
bahwa mereka bisa berada di surga karena gugur di tanah suci Kurukshetra. Yudistira kemudian
berangkat ke neraka. Di sana ia mendengar suara saudara-saudaranya yang menyayat agar mau
menemani penderitaan mereka. Yudistira yang memilih untuk tinggal di neraka bersama saudara
yang saleh daripada tinggal di surga bersama saudara yang jahat membuat para Dewa tersentuh.
22
Tabir ilusi pun dibuka. Dewa Indra menjelaskan bahwa sebenarnya saudara-saudara Yudistira
telah berada di surga bersama dengan saudaranya yang jahat. Yudistira pun menyadarinya
kemudian hidup berbahagia di surga setelah membuang jasadnya.Buku Swargarohanaparwa
adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang
diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para
Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi. Maka
Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan
iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka
berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit
sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan
jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

23

Anda mungkin juga menyukai