Anda di halaman 1dari 6

PEMANFAATAN BAKTERI Pseudomonas sp.

SEBAGAI BAHAN PEMBUAT


PUPUK KOMPOS
PROJECT MIKROBIOLOGI TERAPAN
disusun untuk memenuhi slh satu tugas mata kuliah Mikrobiologi Terapan
Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Peristiwati, M.Kes
Dr. Kusnadi, M.Si

Oleh :
Kelompok 7
Biologi C 2017
Amanah Muthmainnah I 1703093
Dwi Lestari Damayanti 1700622
Yunita 1702716

PROGRAM STUDI BIOLOGI


DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
A. Judul
Pemanfaatan Bakteri Pseudomonas sp. Sebagai Bahan Pembuat Pupuk Kompos

B. Tujuan Penyelidikan
1. Untuk mendapatkan formula terbaik dalam penambahan bakteri Pseudomonas sp.
terhadap pembuatan pupuk kompos
2. Untuk meningkatkan kandungan unsur unsur yang dibutuhkan tanaman dengan
penambahan bakteri Pseudomonas
3. Untuk meningkatkan nilai ekonomis pupuk kompos di pasaran

C. Alasan Pemilihan Judul


1. Menghasilkan produk pupuk kompos yang dapat meningkatkankan kadar N, P, K
dengan penambahan bakteri Pseudomonas
2. Diharapkan melalui penelitian ini, diperoleh variasi baru dari suatu produk
3. Dapat bernilai ekonomis di pasaran

D. Produk yang Diharapkan


Pupuk kompos dari bakteri Pseudomonas yang dapat meningkatkankan kadar N, P, K

E. Rumusan Masalah
Bagaimana cara pembuatan pupuk kompos menggunakan bakteri Pseudomonas?

F. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana jumlah bakteri yang baik untuk membuat pupuk kompos?
2. Berapa jumlah bakteri yang efektif untuk membuat pupuk kompos dengan kandungan
N, P K yang tinggi?
Variabel
 Variabel kontrol: Jumlah perbandingan sampah organik/jerami kotoran sapi
 Variabel bebas : jumlah bakteri inokulan
 Variabel terikat: temlerature, kadar air, warna, bau, pH, N, P, K
Hipotesis
Semakin tinggi kadar inokulan pada pengomposan, semakin tinggi kandungan N, P, K yang
diperoleh.

Landasan Teori
Kompos adalah pupuk yang dibuat dari sisa – sisa tanaman atau sisa hasil panen yang
dibusukan pada suatu tempat, terlindungi dari matahari dan hujan, serta diatur
kelembabanya dengan menyiram air apabila terlalu kering (Hardjowigeno, 1989). Proses
pengomponsann bisa berlagsung apabila bahan – bahan mentah telah dicampur secara
merata, pengpmposan dapat dibagi 2 tahap yaitu; tahap aktif, dan tahan pematanagan.
Tahap awal proses, oksigen dan senyawa – senyawa yang mudah terdegradasi akan segera
dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik., yang mengakibatkan suhu tumpukan kompos dan
pH meningkat (Isroi, 2007). Kompos memiliki kandungan unsur hara seperti nitrogen dan
fosfat dalam bentuk senyawa kompleks argon, protein, dan humat yang sulit diserap
tanaman (Setyotini et al., 2006).
Berbagai upaya untuk meningkatkan status hara dalam kompos telah banyak
dilakukan, seperti penambahan bahan alami tepung tulang, tepung darah kering, kulit
batang pisang dan biofertilizer (Simanungkalit et al., 2006). Biofertilizer (pupuk hayati)
merupakan campuran bakteri penambat nitrogen bebas, pelarut fosfat dan jamur pelarut
hara dengan formulasi bahan pembawa yang mengandung senyawa organik alami pemacu
tumbuh dan unsur mikro yang diperlukan oleh mikroba dan tanaman (Simanungkalit et al.,
2006).
Kompos kotoran ternak merupakan kunci keberhasilan bagi petani lahan kering.
Selain mudah didapat kotoran sapi juga relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan
harga pupuk an-organik yang beredar di pasaran (Wiskandar, 2002). Satu ekor sapi dewasa
dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya dengan kandungan unsur N, P dan K.
Disamping menghasilkan unsur-unsur makro tersebut, pupuk kandang sapi juga
menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat
dikatakan bahwa, pupuk kandang ini dapat dianggap sebagai pupuk alternatif untuk
mempertahankan produksi tanaman/ha (Djazuli Dan Ismunadji , 1983).
Komponen jerami padi terutama selulosa, hemiselulosa, lignin serta protein dalam
jumlah kecil yang membuat nilai C/N tinggi. Gaur (1981) menyatakan nilai C/N jerami
padi segar adalah 80-130. Hal ini menyebabkan proses dekomposisi jerami padi
memerlukan waktu yang lama. Untuk mempercepat proses dekomposisi jerami, sering
diperlukan penambahan dekomposer, berupa bakteri atau cendawan yang mampu
menghasilkan selulas (Meryandini et al. 2009). Jerami dapat diolah lebih lanjut menjadi
kompos melalui proses fermentasi dengan menggunakan aktivator mikroba untuk
mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan meningkatkan kualitas bahan
(Pangaribuan dan Pujisiswanto , 2009).
Proses fermentasi bahan organik biasanya menggunakan aktivator mikroba. Salah
satu fungsi aktivator ini adalah mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan
meningkatkan kualitas bahan. Prinsip pembuatan kompos bokashi adalah pencampuran
bahan organik dengan mikroorganisme sebagai bioaktivator. Mikroorganisme tersebut
dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari bakteri inokulan (bacterial inoculant)
berupa effective microorganism (EM4) (Djuarnani dkk, 2005).
Mikroba pelarut fosfat (P) merupakan inokulan mikroba yang diberikan pada proses
pengomposan untuk melarutkan P menjadi bentuk tersedia. Mikroba pelarut P terdiri dari
golongan bakteri dan fungi. Kelompok bakteri pelarut P diantaranya Pseudomonas,
Bacillus, Escherichia, Brevibacterium, sedangkan dari golongan fungi adalah Aspergillus,
Penicillium, Culvularia, Humicola, dan Phoma (Yuliana, 2010). Pemberian inokulan
mikroba pelarut P pada proses pengomposan dapat meningkatkan kelarutan P dan
meningkatkan aktivitas mikroorganisme (fungi). Khalil (2000) melaporkan bahwa inokulasi
mikroba pelarut P mampu meningkatkan ketersediaan P dari batuan fosfat yang
diaplikasikan ke tanah dalam dua puluh hari, yaitu dari 0,67 ppm menjadi 17,78 ppm.
Namun, inokulasi langsung bakteri pelarut fosfat ke dalam tanah tidak mudah, terutama
untuk mempertahankan viabilitasnya di sekitar perakaran tanaman karena rentan terhadap
berbagai variasi lingkungan tanah seperti suhu dan kekeringan (Wu et al. 2012 ). Oleh
karena itu, keberhasilan inokulasi bakteri pelarut P sangat ditentukan oleh kualitas inokulan
yang digunakan.
Daftar Pustaka
Djazuli, M. dan M, Ismunadji. (1983). Pengaruh NPK terhadap pertumbuhan serapan hara,
dan komposisi senyawa bahan organik ubi jalar. Penelitian pertanian bogor. Pusat
penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Bul.vol. 3 (2) : 76.
Djuarnani, N., Kristian, B. S. Setiawan. (2005). Cara Cepat Membuat Kompos.
Agromedia Pustaka.
Gaur AC. (1981). A Manual of Rural Composting. In Improving Soil Fertility Through
Organic Recycling. Indian Agricultural Research Institute. New Delhi.
Hardjowigeno, S. (1989). Ilmu Tanah. Meditaman Sarana Perkasa, Jakarta
Isroi. (2007). Pengomposan Limbah Padat Organik. [Online]. Tersedia:
www.ipard.com/artperkebunan/komposisilimbahpadatoraganik.pdf. [Diakses 25
Maret 2020]
Khalil, S and T. Sultan. (2000). Phosphorus solubilizing microorganisms potential improve
P availability from unavailable source. Internat. Soil Sci. 79– 87.
Meryandini A, Widosari W, Maranatha B, Sunarti TC, Rachmania N, Satria H. (2009).
Isolasi bakteri selulotik dan karakterisasi enzimnya. Makara Sains, 13: 33-38.
Pangaribuan, Darwin., Pujisiswanto, Hidayat. (2009). Pengaruh Pupuk Kompos Jerami dan
Pemulsaan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buah Tomat. Jurusan Budidaya
Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Setyotini, D. R., & Saraswati, dan Anwar, E. K. (2006). Kompos. Jurnal Pupuk Organik
dan Pupuk Hayati. 2(3), 11-40.
Simanungkalit, R. D. M., Didi, A. S., Rasti, S., Diah, S., & Wiwik, H. (2006). Pupuk
Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian. Jawa Barat.
Wiskandar (2002). Pemanfaatan pupuk kandang untuk memperbaiki sifat fisik tanah
dilahan kritis yang telah diteras. Konggres Nasional VII.
Wu, Z., Guo, L., Qin, S., Li, C. (2012). Encapsulation of R. planticola Rs-2 from alginate-
starch-bentonite and its controlled release and swelling behavior under simulated soil
conditions. J. Ind. Microbiol. Biotechnol. 39, 317–27.

Anda mungkin juga menyukai