Anda di halaman 1dari 31

PELAKSANAAN PROSES PRA PRODUKSI FILM DOKUMENTER KOTA

LAMA

Tahap Pra Produksi merupakan tahapan kerja terpenting atau utama dalam setiap
produksi film, juga televisi, baik fiksi maupun dokumenter. Produksi film mamapu berjalan
lancar dan sukses karna berangkat dari persiapan produksi yang mantap. Setiap permasalahan
harus diselesaikan dulu pada tahap pra produksi. Idealnya, pelaksanaan pra produksi minimal
membutuhkan waktu dua bulan. Dalam tahap ini segala persoalan administrative maupun kreatif
disiapkan. Untuk produksi dokumenter, tahap pra produksi lebih banyak menyita waktu untuk
riset. (Gerzon R Ayawaila:2008, 85).
Ide awal proses pembuatan film dokumenter mengenai Kota Lama ini awalnya berasal
dari kejadian nyata dan isu yang berkembang di masyarakat bahwa didaerah Kota Lama
dijadikan tempat prostitusi serta banyak bangunan –bangunan yang rusak, salah satu penyebab
bangunan itu rusak ternyata diketahui bahwa Rob sering melanda Kawasan yang mendapat
julukan Little Netherland itu, masalah kebersihan, keadaan sosial yang ada pada masyarakat
Kota Lama, serta kepedulian masyarakat Kota Lama yang kurang terhadap keadaan Kota Lama,
hingga kegiatan sabung ayam yang disinyalir sebagai ajang judi di wilayah Kota Lama. Setelah
menentukan isu, dokumentaris lalu melakukan riset untuk membuktikan kebenaran itu, riset
dilakukan dikawasan Kota Lama baik Riset Visual maupun riset non visual, selain
menampakkan kelemahan yang terjadi di film ini dokumentaris juga ingin memberikan
pengetahuan mengenai sejarah beberapa bangunan yang sampai sekarang masih difungsikan agar
penonton juga dapat melihat bahwa sebenarnya kawasan Kota Lama juga memiliki potensi untuk
dikembangkan terutama fungsi dari penggunaan bangunan bersejarah tersebut.
Namun setelah berjalan hampir 70%, dokumentaris merasa isu yang diangkat di film
terlalu banyak sehingga menyebabkan film dokumenter ini kurang fokus, akhirnya dokumentaris
mencoba memfokuskan dan mengkorelasikan isu yang berkembang di Kota Lama, yaitu
Bagaimana Kota Lama bisa memiliki citra kotor, kumuh, dan rawan kriminalitas dimata
masyarakat Semarang?
Hal itu disebabkan karena banyaknya bangunan –bangunan di kota lama yang rusak dan
tak dihuni, yang menjadikan bangunan –bangunan tersebut akhirnya dihuni oleh masyarakat
yang sebagian besar pendatang yang akhirnya melakukan segala aktifitasnya disana, dan
ironisnya aktifitas merekalah yang membuat citra Kota Lama menjadi buruk, prostitusi,
gelandangan, membuka kios –kios untuk berdagang dan prostitusi. Namun di film ini tidak
hanya menyajikan tayangan yang berkesan menyalahkan masyarakat pendatang namun juga
bagaimana mereka dikejar –kejar Satpol PP yang seharusnya mengayomi mereka tidak hanya
mengejar dan membuat mereka merasa ketakutan serta kembali lagi  Terlebih lagi mereka yang
menempati gedung –gedung tua  yang rusak itu tak disertai dengan perilaku menjaga
kebersihandi Kota Lama, sehingga Kota Lama terkesan menjadi kotor dan kumuh.

       I.      RISET DAN SURVEY


I.1 Tahap persiapan
Pada tahap persiapan, bidang kreatif bertugas Melakukan Riset bersama Tim Riset dan
Artistik dalam menemukan konsep dasar, ide cerita mendukung pembuatan film dokumenter ini
I.       2. Riset
Mengumpulkan data atau informasi melalui observasi mendalam menganai subyek, peristiwa,
dan lokasi sesuai dengan tema yang akan diketengahkan. (Gerzon R Ayawaila:2008, 55).
Riset sendiri kadang membutuhkan kerjasama dengan pakar disiplin ilmu lain dalam
mengumpulkan informasi.
I.2a. Riset Non Visual
Riset dilakukan diwilayah Kota Lama selama 3,5 bulan dengan bertanya kepada sejumlah
penduduk kota Lama untuk mengetahui informasi mengenai berapa rata –rata jumlah penduduk
yang menggantungkan hidup di Kota Lama, berapa jumlah angkot yang biasa mangkal yang
dokumentaris dapatkan dari penduduk sekitar Jembatan Berok serta adanya prostitusi diwilayah
Polder Tawang, dimanakah mereka biasa mangkal dan kejadian apakah yang biasa terjadi
diwilayah Polder Tawang hingga dokumentaris dapat mengetahui bahwa setiap hari terutama
malam minggu sering terdapat orkes dangdut yang biasa dijadikan warga sekitar Polder sebagai
ajang mabuk-mabukan, bagaimana keadaan Polder Tawang jika malam hari, berapa jumlah PSK
yang biasa mangkal di Kota Lama serta meminta pendapat tukang becak tentang keadaan Kota
Lama saat ini. Pada saat riset dokumentaris juga berbincang –bincang dengan salah satu PSK
hingga akhirnya PSK tersebut bersedia di wawancara ketika proses produksi berlangsung. Selain
warga sekitar, dokumentaris juga meminta keterangan pada sejumlah pengurus yaitu Gereja
Blenduk dan pemilik Gedung Marabunta mengenai sejarah dua bangunan itu sekaligus perijinan
terhadap produksi yang nantinya akan mengambil gambar dua bangunan tersebut sebagai bagian
dari film dokumenter Kota Lama, serta keterangan informasi tentang Kota Lama yang didapat
dari pemilik Gedung Marabunta, Bapak Bambang.
 Untuk menguatkan riset, dokumentaris juga menggunakan data-data yang terdapat di
internet sebagai informasi pendukung, yaitu mengenai sejarah Jembatan Berok dan Polder
Tawang, sampai mengetahui bahwa Kota Lama memiliki sebuah julukan yaitu Little Netherland
dan sejak abad berapa Kota Lama ada di Semarang. Selain artikel di internet, Data –data yang
diambil dari internet juga  berupa foto.
  Setelah riset, dokumentaris lalu melakukan perijinan kepada pihak pengelola Kota Lama
dalam hal ini pihak BPK2L (Badan Pengelola Kawasan Kota Lama), serta meminta data –data
sebagai bahan riset tambahan. Namun sayangnya syarat yang diajukan pihak BPK2L sangat
memberatkan yaitu harus memberikan Film Dokumenter jika ingin mendapatkan data –data dari
BPK2L, akhirnya dokumentaris hanya mendapatkan surat ijin dari BPK2L untuk pengambilan
gambar. Karna data –data yang ada dirasa kurang, maka dokumentaris mencari data ke Pihak
Dinas Pariwisata, namun sayangnya Dinas Pariwisata hanya memiliki brosur mengenai Kota
Lama serta buku selayang pandang yang sebenarnya sudah dokumentaris dapatkan dari
perpustakaan mini yang berada di jalan Muradi. Diharapkan ketika dokumentaris meminta data –
data mengenai Kota Lama, dokumentaris juga mendapatkan video Kota Lama jaman dahulu
beserta foto-foto Kota Lama  jaman dahulu, namun pihak Dinas Pariwisata kota beralasan bahwa
pihaknya hanya bertugas mempromosikan dengan alasan Kota Lama adalah milik Yayasan
BPK2L dan data terlengkap ada pada BPK2L.
Berbagai kendala didapati ketika melakukan riset dilapangan, selain kendala diatas,
tingkat pendidikan penduduk sekitar Kota Lama yang rendah menimbulkan kesulitan tersendiri
ketika dokumentaris ingin meminta keterangan, seringkali jawaban yang diberikan tidak
berhubungan dengan pertanyaan yang dilontarkan, serta faktor psikologis penduduk ketika
diwawancari juga menjadi salah satu kendala untuk mendapatkan informasi yang diinginkan.
Jika dirinci, riset yang dilakukan dokumentaris berupa:
-          data tulisan: buku, artikel internet, selebaran (seputar blenduk)
-          data visual: foto
-          data suara : musik/lagu
-          data lokasi : tempat kejadian/peristiwa
  Riset dilakukan oleh tim riset untuk yang bertujuan untuk mengumpulkan data sebagai
bahan pembuatan naskah produksi. Naskah serta konsep sempat berubah beberapa kali, hingga
setelah produksi konsep film dokumenter inipun sempat mengalami perubahan sekali karna
kurang pengkerucutan atau pemfokusan. Setelah difokuskan, dokumentaris menyadari bahwa
ada data –data yang kurang yang harus dimunculkan di film ini, dan data tersebut yang memiliki
adalah pihak BPK2L. setelah mencoba melakukan perundingan terhadap BPK2L, pihaknya tetap
tidak berkenan untuk memberikan data –data tentang Kota Lama. Akhirnya dokumentaris
menempuh jalan terakhir yaitu mencoba melakukan interview dengan Prof. Eko Budiharjo yang
notabene mantan rektor Undip sekaligus penasehat BPK2L, dalam wawancara tersebut
dokumentaris mendapatkan informasi mengenai Kota Lama terutama masalah gedung –gedung
yang tak terawat, bahwa ternyata gedung –gedung yang berada di Kota Lama memang ada yang
sengaja dibiarkan begitu saja karna tak memenuhi nilai kelayakan, kelangkaan, superlativitas.
Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh professional dan ilmuan, penelitian tersebut
dilakukan sebagai dasar rencana revitalisasi bagi bangunan –bangunan tersebut.  

   I.2.b. Riset Visual


Riset yang dilakukan tak hanya berbentuk riset nonvisual yaitu mencari data mengenai
objek yang dituju namun dokumentaris juga melakukan riset visual yaitu membuka mata lebar-
lebar serta memperhatikan apa saja yang terdapat dilingkungan tempat film ini akan dibuat,
dengan riset visual dokumentaris akan mengatahui sudut –sudut pemandangan yang menarik
yang dapat direkam untuk menguatkan film ini. Pada saat riset visual, pemandangan yang
menarik dokumentaris yaitu pemandangan kegiatan orang –orang disekitar Gereja Blenduk,
dimana disana terdapat beberapa kios dan biasanya jika pagi dan sore, orang-orang yang
menempati kios tersebut mandi di luar ruangan, serta pemandangan disekitar polder tawang
disore hari yang kebanyakan mencari kutu air yang nantinya digunakan untuk makanan ikan.
Namun karna banyak kejadian yang tak diduga yang terjadi sewaktu produksi berlangsung, tim
riset melakukan riset visual sewaktu produksi berlangsung, seperti kejadian di depan Gereja
Blenduk, tim riset melihat orang asing yang ternyata dari Belanda hal ini langsung diberitahukan
pada tim produksi meminta orang asing tersebut untuk dimintai pendapatnya seputar Kota Lama.
Serta kejadian dan beberapa narasumber lainnya yang dimintai keterangan tanpa direncanakan
sebelumnya.

I.3. Menentukan Tujuan


            Film dokumenter ini bercerita tentang Kota Lama dimana dari pengamatan dan interview
dari beberapa orang, Kota Lama termasuk salah satu tempat yang keberadaannya diabaikan
begitu saja oleh masyarakat Semarang, padahal Kota Lama merupakan satu kawasan yang berisi
bangunan –bangunan yang bergaya Eropa namun sayangnya kurang dapat dijaga serta dirawat
dengan baik. Melalui film ini dokumentaris ingin menggugah masyarakat akan pentingnya nilai
–nilai bersejarah dari kawasan peninggalan kolonialisme Belanda itu, dan menyadari bahwa
masyarakat Semarang masih memiliki aset budaya yang jika dijaga dengan baik tentunya akan
mempunyai potensi Pariwisata yang dapat dibanggakan yaitu kota lama, sehingga diharapkan
dapat menggugah kesadaran masyarakat untuk turut berperan dalam menjaga dan melestarikan
kawasan budaya kota lama.

I.4. Menentukan Khalayak Sasaran


            Target spesifik film ini adalah pihak pengelola Kota Lama BPK2L (Badan Pengelola
Kawasan Kota Lama) dan Dinas Kesejahteraan Sosial  selain itu karena dokumentaris mewakili
mahasiswa yang peduli akan hal –hal yang berkaitan dengan perbaikan terhadap segala sesuatu
yang dianggap manjadi ciri khas Kota Semarang salah satunya Kota Lama yaitu sebuah kawasan
bersejarah, maka dokumentaris menginginkan mahasiswa sebagai generasi pembangun bangsa
untuk ikut peduli terhadap hal sekecil apapun terutama menyangkut segala sesuatu yang dapat
membanggakan Kota Semarang dalam hal ini Kota Lama yang terlihat tak terurus,  selain itu
segmentasi dan khalayak sasaran Byar creatif industry yang merupakan pen-support dana adanya
fim dokumenter juga mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap karya seni. Pertimbangan
itulah yang membuat dokumentaris memilih mahasiswa
  Namun selain itu dokumentaris juga menginginkan tak hanya mahasiswa saja yang peduli
terhadap keberadaan Kota Lama, namun juga warga Semarang. Karna sejatinya Kota Lama
berada di Semarang dan milik warga Semarang sehingga peran warga Semarang juga dibutuhkan
dalam menjaga kawasan bersejarah yang masih tersisa di Semarang.
Oleh karna itu dokumentaris menentukan target sekunder dari film ini yaitu warga Semarang
pada umumnya.

I.5. Analisa Situasi.


            Permasalahan yang dibahas dalam film ini yaitu bagaimana Kota Lama bisa menjadi
kawasan yang seperti ini, kotor, kumuh serta memiliki image rawan kriminalitas. Jika ditarik
benang merah penyebab dari semua masalah yang ada di Kota Lama adalah sebuah
ketidakterurusan yang terdapat di Kota Lama, rob yang mesih menggenangi Kota Lama sehingga
banyak bangunan yang tak terurus akhirnya dibiarkan rusak begitu saja, hal itu lalu dimanfaatkan
oleh masayarakat yang umumnya pendatang untuk menempati sejumlah bangunan yang terdapat
di Kota Lama.
Masalah ini tentunya menjadi perhatian pihak BPK2L sebagai pengelola kawasan Kota Lama
yang bertanggung jawab atas keaslian dan keberadaan bangunan –bangunan tua yang terdapat di
Kota Lama dan  Dinas Kesejahteraan Sosial yang bertanggung jawab terhadap keberadaan
masyarakat pendatang di sekitar Kota Lama yang baik yang hidup menjadi gelandangan maupun
yang melakukan aktifitas yang dapat merusak citra Kota Lama seperti prostitusi.
Selain itu mahasiswa sebagai generasi pembangun bangsa juga seharusnya bisa memberi peran
terhadap kemajuan Kota Semarang, salah satunya dengan tetap menjaga dan peduli terhadap
kawasan bersejarah Kota Lama.

1.6. Survey Lokasi


            Awalnya sebelum merubah konsep lokasi yang dipilih selain Kota Lama juga lokasi
rumah Septian Nurdiantoro di daerah Banyumanik, namun karna perubahan konsep maka
dokumentaris hanya membutuhkan kawasan Kota Lama sebagai obyek produksi film
dokumenter ini.
Dokumentaris langsung terjun ke lapangan untuk melihat keadaan di sekitar Kota Lama beberapa
kali baik pagi, siang maupun malam, selain untuk melihat keadaan dari Kota Lama di berbagai
waktu dokumentaris juga ingin melihat cahaya matahari yang terdapat diKota Lama di berbagai
waktu demi kepentingan proses produksi.
Dari survey tersebut, dokumentaris menemukan beberapa fakta, gedung –gedung di Kota Lama
masih banyak yang tak terawat, Rob yang mesih menggenangi Kota Lama, serta masalah
kebersihan yang tak terjaga dengan baik, bahkan praktek prostitusi yang katanya sudah hilang
masih berlangsung di Kota Lama, di malam hari gedung –gedung tua yang terletak di gang –
gang kecil yang tembus ke arah gedung marabunta dijadikan tempat praktek prostitusi dan tidur
para gelandangan, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah membuat masyarakat Kota Lama
bekerja seadanya.
Selain itu survey lokasi dilakukan sekaligus untuk mengetahui sudut mana saja yang dapat
diambil sewaktu proses syuting berlangsung. Kendala yang dihadapi adalah masalah keamanan
dan cuaca. Ada rasa kekhawatiran tersendiri terlebih ketika mengadakan survey lokasi pada
malam hari, lokasi yang didatangi pada malam hari adalah gang –gang sempit yang gelap,
sehingga ada kemungkinan lokasi tersebut rawan kriminalitas sehingga survey lokasi tidak bisa
dilakukan secara maksimal.
Cuaca yang sering tak bisa diprediksi membuat pelaksanaan shooting menjadi tidak bisa
diprediksi, serta keadaan yang terjadi dilapangan pada saat shooting terkadang sama atau malah
jauh berbeda, sehingga perlu adanya rencana selanjutnya agar shooting bisa berjalan sesuai
rencana dan hasilnyapun sesuai konsep.
Seperti pada saat dokumentaris merencanakan ingin mengambil gambar orkes musik dangdut
sebagai ajang mabuk –mabukan disekitar polder tawang, ternyata pada saat proses produksi
berlangsung cuaca mendung dan akan hujan sehingga pada malam itu tak ada orkes musik,
alhasil dokumentaris tak dapat melakukan pengambilan gambar pada malam produksi
berlangsung, dan akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil bagian tersebut.

1.7. Memantapkan perencanaan penyajian dari produksi secara lebih terperinci


(productions treatment).
Yang perlu dicermati adalah tidak semua peristiwa dapat dijadikan ide untuk pembuatan film
dokumenter. Itu sebabnya, pemilihan dan penentuan secara spesifik bentuk dokumenter harus
sejalan dengan pengerjaan pengumpulan data riset. Treatment dapat berfungsi sebagai titik tolak
sekaligus menjadi tolok ukur untuk pembatas, agar materi gambar (footage) yang direkam tak
perlu meluas yang berakibat sulit memfokuskan, selain menimbulkan kendala pda proses editing.
Pemantapan yang dilakukan oleh dokumentaris adalah membuat naskah kasar sebagai panduan
bagian produksi gambar apa saja yang seharunya diambil dengan melihat isu yang sedang
berkembang dan mengkerucutkan tema yang akan dibuat film dokumenter.

I.                   KREATIF
II.1. Tahap Persiapan
II.1a.Menentukan ide cerita awal
      Ide cerita berasal dari potensi yang dimiliki Kota Semarang yaitu Kota Lama, namun
sayangnya banyak sekali problematika yang dialami kawasan yang katanya merupakan tempat
berkumpulnya bangunan –bangunan peninggalan Belanda, jika membahas mengenai jaman
peninggalan Belanda pastilah membahas tentang seseorang yang terkadang merasa kangen
dengan jaman dahulu, lalu dokumentaris berfikir untuk membuat sebuah film dokumenter
tentang seorang yang merasa kangen dengan suasana tempo dulu, dibuatlah konsep film bercerita
tentang seorang kakek yang ingin mengenang masa lampau di Kota Lama bersama istrinya yang
sudah meninggal, dan diberi judul ”Kangen”

II.1b. Menentukan Konsep Cerita


      Awalnya ide cerita film mengenai Kota Lama ini adalah memberi pengetahuan kepada
masyarakat sekitar terhadap keadaan yang terjadi di Kota Lama, baik dari segi sejarah bangunan
–bangunannya, kegiatan penduduknya seperti sabung ayam, dan tempat prostitusi yang terdapat
di Kota Lama, ide cerita ini lalu dikembangkan dengan menggunakan dua orang model yaitu
seorang kakek yang ingin mengenang kembali istrinya yang sudah tiada dengan seorang pemuda
yang hobby fotografi, lalu ide cerita ini sempat mengalami perubahan  menjadi seorang kakek
dengan cucunya yang ingin berkeliling ke Kota Lama masih dengan maksud yang sama yaitu
kakek ingin mengingat kembali kenangan bersama almarhumah istrinya. Ide cerita ini lalu diberi
judul ”kangen”. Namun jika dilihat serta difikir ulang, ide cerita ini terkesan membosankan
karna hanya memberikan kesan seperti perjalanan 2 orang ke Kota Lama.
Akhirnya  berubah yang awalnya menggunakan model menjadi tanpa model, inspirasi dari ide
cerita ini berasal dari sebuah film dokumenter berjudul ”Must See Rome”. Sebuah film yang
hanya menggunakan narasi dan kekuatannya terletak pada gambar, awalnya konsep yang satu ini
diberi nama ”Kota Lama Sebuah Gradasi Kehidupan”, karna mambahas tentang Kota Lama dulu
dan sekarang, namun karna berbagai macam pertimbangan hingga pertimbangan yang utama
yaitu film ini menjadi kurang fokus, akhirnya konsep dari film inipun berubah walaupun masih
membahas isu yang sama hanya mengalami sedikit pengurangan dan penambahan.
Akhirnya film ini lebih sedikit dikerucutkan dan difokuskan pada 1 pembahasan yaitu
menceritakan problematika yang ada di Kota Lama yang kotor, Rob, serta kumuh serta
menggambarkan keadaan Kota Lama serta keadaan dari sudut pandang orang –orang yang
tinggal disana, pemulung dan PSK. Disini dokumentaris juga ingin menampilkan jeritan hati
mereka yang mungkin tak banyak orang yang tahu sehingga ada pemecahan dari setiap
permasalahan di Kota Lama. Karna sebenarnya ketika ada keinginan untuk menghidupkan
kembali Kota Lama maka permasalahan yang ada didalamnya haruslah diselesaikan terlebih
dahulu.
Sehingga dokumentaris merubah judul film ini menjadi ”Kota Lama (bukan) Kota Mati”.
Kata ”bukan” yang diberi tanda kurung bahwa dokumentaris ingin agar masyarakat
membuka mata lebar-lebar bahwa Kota Lama masih memiliki harapan menjadi kawasan yang
memiliki potensi yang tinggi, serta mematahkan anggapan masyarakat tentang Kota Lama yang
dianggap kotor dan kumuh serta selalu meremehkan  segala proses perubahan yang ada di Kota
Lama. Jika masyarakat mengetahui apa saja yang menyebabkan Kota Lama menjadi seperti ini,
diharapkan membuka jalan bagi orang –orang yang consern dibidang ini untuk dapat duduk
bersama dan memikirkan perbaikan Kota Lama.
Konsep/ide cerita diangkat berdasarkan isu dan riset yang telah didapatkan, yang menjadi acuan
sebelum melangkah yaitu
-Apa yang ingin dibuat/diproduksi
-Bagaimana film ini akan dikemas, ini menyangkut gaya, pendekatan, dan bentuk.
(Gerzon R Ayawaila:2008, 37).
Dan yang sempat menjadi kendala dalam proses ini adalah belum adanya kemantaban
mengenai tema atau subjek serta alur cerita yang akan diangkat serta target audience dari film
dokumenter ini, sehingga konsep sempat mengalami perubahan beberapa kali, sempat
mengalami kebingungan bagaimana cara pembawaan atau pengemasan film ini.
      Faktor –faktor yang mempengaruhi sehingga konsep sering berubah-ubah adalah:
a)      Penguasaan terhadap tema/subjek secara mantab
b)                  Faktor “RASA” yaitu, apakah film dokumenter ini nantinya akan memiliki ikatan emosi
yang kuat dengan penonton atau tidak
c)                  Apakah antara ide, tema, dan subjek memiliki kecocokan.
d)                 Motivasi yang mendasar untuk dapat lebih mendalami subjek yang telah diamati
e)      Hal –hal yang menarik dari subjek tersebut
f)       Dimana hal –hal yang unik serta khusus yang berkesan dari subjek.
g)                  Yang dapat dipresentasikan dari dokumenter ini, serta pendekatan yang digunakan,
apakah cenderung membosankan atau segar dan baru.
(Gerzon R Ayawaila:2008, 39).

II.1c. Mengumpulkan bahan – bahan dan referensi yang berhubungan degan tayangan
Film Dokumenter.
Bahan –bahan yang dapat menjadi referensi bagi film dokumenter ini yaitu:
1.      Film Dokumenter ”Must See Rome” karya Jane Eames
2.      Dokumenter dari ide sampai produksi ; Gerzon R  Ayawaila,2008
Buku ini membahas tentang sejarah dokumenter hingga panduan bagaimana proses membuat
dokumenter dari ide hingga produksi
3.      Cara Pinter Bikin Film Dokumenter; Fajar Nugroho, 2007
Buku ini membahas tentang panduan praktis memunculkan ide hingga proses bagaimana
mempromosikan film dokumenter yang telah dibuat.
Sumber –sumber tersebut dapat menjadi panduan dan sumber inspirasi bagi pembuatan film Kota
Lama (bukan) Kota Mati.

II.1d. Mengolah data –data yang telah terkumpul.


Data –data yang sudah terkumpul akhirnya dijadikan bahan untuk pembuatah naskah film
dimana nantinya dijadikan panduan divisi produksi ketika produksi berlangsung, data –data yang
sudah terkumpul berupa data dari riset, survey lokasi maupun panduan buku sehingga
memudahkan dokumentaris dalam membuat naskah film.
Karna segi data yang diambil berasal dari berbagai hal, itu yang membuat dokumentaris ingin
memasukkan semua informasi di dalam film ini, akhirnya film ini menjadi kurang fokus dan
sempat mempengarhi durasi.

II.2 Tahap Pelaksanaan


II.2a. Mengembangkan ide mentah menjadi ide yang matang dengan data – data yang
telah diolah
Ide cerita yang mentah lalu dimatangkan dengan mempertajam masalah yang ada, sehingga
fokus film dokumenter ini menjadi lebih jelas, banyak ide yang tergambar dari mulai ide
menggunakan model hingga tanpa menggunakan model,
Ide cerita yang menggunakan model tersebut tidak digunakan karna terkesan membosankan, lalu
dokumentaris mengambangkan ide cerita seperti sebuah perjalanan ke Kota Lama dengan lebih
memperlihatkan kelebihan Kota Lama dari sudut pandang pemerintah Semarang, ide sempat
berubah lagi dengan menyoroti kehidupan PSK di Kota Lama, namun karna malah terkesan
seperti biografi, dokumentaris akhirnya memfokuskan ide film ini pada gambaran mengenai
keadaan Kota Lama yang sebenarnya yang kotor dan kumuh gedungnya yang rusak serta
menceritakan keadaan orang –orang yang hidup disana dan menceritakan Kota Lama dari sudut
pandang mereka, karna dokumentaris berasumsi mereka yang tinggal disana pastilah mengetahui
apa saja yang terjadi di Kota Lama.
Dengan melihat film ini diharapkan film ini dapat menjadi media untuk memunculkan inisiatif
memulai lagi menghidupkan Kota Lama, dan pihak yang seharusnya bertanggung jawab bisa
menyelesaikannya dengan baik dalam hal ini pihak pengelola Kota Lama yang bertanggung
jawab atas bangunan –bangunannya dan dinas kesejahteraan sosial yang bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup penghuni liar yang ada disana.

II.2b. Menyusun alur cerita


Alur cerita dari film ini berawal dari masyarakat yang menggantungkan hidup disini.
Memasuki pokok cerita film Kota Lama diawali dengan Sejarah Kota Lama yang dibangun abad
17 oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Film ini menceritakan tentang keadaan Kota Lama
yang sebenarnya dengan problematika yang dimilikinya baik dari segi kebersihannya,
ketidakteraturan, dan dan gambaran ketidakterurusan, yang menimbulkan Kota Lama menjadi
kumuh, didukung oleh kesaksian pemulung yang biasa bekerja disana, padahal Kota Lama milik
Semarang ini terbukti dengan beberapa bangunan yang biasa diucapkan warga Semarang seperti
Mberok, dan Blenduk penyebutan nama itu lebih akrab ditelinga warga Semarang ketimbang
nama aslinya.  Ceritapun berlanjut pada beberapa bangunan yang rusak dikarenakan seringnya
Rob dan gambaran beberapa penghuni liar yang menempati kawasan ini seperti gelandangan,
PSK yang terpaksa menekuni pekerjaan itu karna terdesak tuntutan ekonomi serta beberapa
kisahnya selama menempati Kota Lama, sulitnya hidup membuat mereka bekerja seadanya,
gambaran ini diperlihatkan di film ini. Ketidakterurusan di Kota Lama menimbulkan image
negatif terhadap kawasan bersejarah ini. Padahal Kota Lama memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Diharapkan penonton dapat menangkap pesan moral dari film ini yaitu janganlah
masyarakat meremehkan segala proses perbaikan yang terjadi di Kota Lama namun justru harus
merasa memiliki terhadap kawasan bersejarah yang masih tersisa yaitu Kota Lama. Karna
kepedulian terhadap Kota Lama sebenarnya bisa dimulai dari sekarang dan sejatinya kota tanpa
bangunan bersejarah seprti manusia tanpa ingatan.

II.2c Menyusun naskah film untuk keperluan produksi


      Setelah menyusun alur cerita, untuk lebih memudahkan sebelum menyusun naskah film
terlbih dahulu menyusun outline atau yang biasa disebut pre-productons script, nantinya naskah
film dapat bermanfaat untuk memperkecil biaya produksi, karna setiapbagian dari skrip dapat
membantu untuk mengetahui hal apa saja yang harus diambil gambar untuk film ini, karna skrip
merupakan bagian dari perencanaan film ini.
Hambatan dari penyusunan naskah ini karna kurangnya referensi penulisan dan konsep yang
seringkali berubah –ubah sehingga naskahpun sempat mengalami perubahan beberapa kali
BAB IV
PENUTUP

Proses Pra Produksi merupakan proses yang paling panjang karena melakukan dua hal
yang saling menentukan yaitu riset dan kretif. Riset harus dilakukan dengan sungguh –sungguh
karna menentukan proses selanjutnya riset tersebut meliputi riset visual dan non visual,
menentukan tujuan, menentukan khalayak sasaran, menganalisa situasi, melakukan survey lokasi
hingga productions treatment. Hasil riset dipergunakan untuk membuat ide kreatif mulai dari
menyusun gagasan atau ide, mengumpulkan dan mengolah materi, menyusun alur cerita hingga
menyusun productions treatment sebagai gambaran naskah film yang sebenarnya,, sampai pada
tahap mendiskusikan kepada sutradara.
Perlu dibangun komunikasi yang baik dengan divisi lainnya, karna ini merupakan proyek atas
dasar kebersamaan rasa saling pengertian juga perlu dibangun agar keseluruhan hambatan yang
terjadi dilapangan dapat teratasi dengan baik.

A. Rangkuman

Pra Produksi merupakan elemen kerja terpenting dalam pembuatan Film Dokumenter, karna
pada proses inilah yang menentukan sukses atau tidaknya produksi film dokumenter, dan
menentukan akan dibawa kemana dan melihat dari sudut pandang siapa film dokumenter ini
dibuat, dalam melakukan riset banyak hambatan yang terjadi dilapangan seperti factor
keamanan, serta masalah administratif yang sempat menjadi kendala, beberapa pihak bahkan
tidak bersedia membantu demi kelancaran produksi film ini, data –data yang sempat sulit
didapatkan akhirnya harus disiasati dengan jalan yang lain yaitu menghilangkan beberapa
informasi dalam film ini meskipun konsepnya masih sama, factor psicologis warga Kota Lama
juga menjadi kendala berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, divisi
praproduksi harus menyelami jiwa narasumber perlahan –laha ketika akan meminta informasi
padanya, itu harus dilakukan agar  informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Pihak BPK2L
juga tak berkenan memberikan bantuan mengenai data-data karna syarat yang diajukan
memberatkan, yaitu harus memberikan film dokumenter ini, siasat lainpun ditempuh dengan
meminta bantuan Prof. Eko Budiharjo untuk meminta keterangan tambahan. Oleh karna itu
bagian pra produksi memakan waktu yang paling lama yaitu + 3,5 bulan untuk mendapatkan
keseluruhan data –data yang mendukung selain data dari internet.
      Kendala tak hanya dihadapi ketika riset berlangsung, pada saat memulai proses Kreatif juga
mengalami beberapa hambatan dan perubahan alur cerita, perbedaan pendapat juga sering terjadi
disini, serta kesalapahaman interpretasi antara kreatif dan divisi yang lain juga dialami disini,
riset yang telah dilakukan menjadi dasar atau sumber dalam melakukan konsep cerita, hingga
sampai pada tahap membuat naskah film sebagai gambaran sutradara saat produksi berlangsung.
Naskah film sempat mengalami perubahan beberapa kali, karna selain kurang fokus pada satu hal
yang akan dibahas, dokumentaris juga sempat mengalami kebingungan dari sudut pandang mana
dokumentaris menyajikan film ini. Konsepnyapun sempat mengalami perubahan mulai dari
konsep dari mulai docudrama dengan 2 orang tokoh didalamnya, laporan perjalanan, biografi
sampai akhirnya mengetengahkan sebuah film dengan menggunakan narasi saja.
Film ini awalnya mengalami ketidakfokusan, karna membahas mengenai berbagai hal, mulai
perbandingan Kota Lama jaman dahulu hingga jaman sekarang sampai akhirnya fokus pada 1 hal
menceritakan keadaan orang –orang yang tinggal di Kota Lama, serta memandang Kota Lama
dari sudut pandang mereka dari sana penonton diharapkan dapat menangkap mengapa  Kota
Lama bisa memiliki image yang negatif dimata masyarakat. Lalu akhirnya film ini diberi sebuah
judul “Kota Lama (bukan) Kota Mati, hal ini secara tidak langsung ingin memberikan pernyataan
bahwa Kota Lama masih memiliki harapan untuk menjadi kawasan bersejarah yang nantinya
bisa diminati yang dimiliki Kota Semarang, serta menggugah kesadaran masyarakat untuk
mempunyai rasa memiliki dan tidak meremehkan segala proses perubahan yang terjadi di Kota
Lama.
B. Saran
 Hendaknya ketika melakukan riset harus disertai dengan niat, kemauan, keberanian untuk dapat
menyelesaikan segala proses yang ada didalamanya termasuk hambatan yang ada dilapangan,
diperlukan kesabaran dalam menghadapi setiap proses didalamnya, serta diperlukan adanya
kestabilan emosi dan tidak terburu –buru dalam mengambil tindakan.
Ketika menjadi menyusun sebuah konsep cerita hendaknya memiliki banyak referensi untuk
dijadikan panduan serta memunculkan sebuah ide cerita yang original. Membutuhkan kesabaran
karna pastinya seorang dokumentaris harus melaluo beberapa proses bahkan mungkin membuat
lebih dari satu naskah film sampai akhirnya hanya 1 naskah film yang diputuskan untuk
diproduksi. Ketika menyusun sebuah konsep hendaknya juga melihat siapa sajakah yang
nantinya akan menonton film ini, dan dari sudut pandang siapakah nantinya film ini akan
disajikan.

Tahap Pra Produksi


Posted on 27. May, 2009 by admin

 Login or register to post comments


 7600 reads

1. Interpretasi Skenario (script conference)


a. Analisa skenario yang menyangkut isi cerita, struktur dramatik, penyajian informasi, dan
semua hal yang berhubungan dengan estetika dan tujuan artistik film.
b. Hasil analisa didiskusikan dengan semua Kepala Departemen (sinematografi, artistik, suara,
editing) dan Produser untuk merumuskan konsep penyutradaraan film
2. Pemilihan Kru
Sutradara dan Produser memilih dan menentukan Kru yang akan terlibat di dalam produksi.
3. Casting
Sutradara menentukan dan melakukan casting terhadap para pemain utama dan pendukung yang
dibantu oleh Asisten Sutradara dan Casting Director.
4. Latihan/rehearsal
a. Kepada pemain utama, sutradara menyampaikan visi dan misinya terhadap penokohan yang
ada di dalam skenario, lalu mendiskusikannya dengan tujuan untuk membangun kesamaan
persepsi karakter tokoh antara sutradara dan pemain utama.
b. Sutradara melakukan pembacaan skenario (reading) bersama seluruh pemain untuk membaca
bagian dari dialog dan action pemain masing-masing.
c. Sutradara melakukan latihan pemeranan dengan pemain utama.
d. Sutradara melakukan evaluasi terhadap hasil latihan pemeranan yang telah direkam
sebelumnya.
5. Hunting
a. Hunting lokasi bersama Penata Fotografi, Penata Artistik, Asisten Sutradara, dan Manajer
Produksi
b. Menentukan lokasi yang akan digunakan shooting berdasarkan diskusi dengan Penata
Fotografi, Penata Artistik, dan Penata Suara.
c. Sutradara memastikan lokasi berdasarkan semua aspek teknis.
6. Perencanaan shot dan blocking/planning coverage dan staging
a. Sutradara merumuskan dan menyusun director shot pada setiap scene yang ada di skenario.
b. Sutradara membuat ilustrasi staging pemain dan peletakan kamera ke dalam bentuk floorplan.
c. Sutradara membuat storyboard dibantu oleh storyboard artist.
7. Praproduksi Final (Final Preproduction)
Sutradara melakukan diskusi/evaluasi bersama-sama dengan crew dan pemain utama untuk
persiapan shooting yang terkait dengan teknis penyutradaraan dan artistik.

Diambil dari:
Job Description Pekerja Film (versi 01)
Terbitan FFTV IKJ dan KFT
Cetakan Pertama, Maret 2008.
ISBN 979-979-99351-1-3
Arsip Kategori

You are currently browsing the category archive for the ‘Broadcasting’ category.

Menjual Skenario by Joko Anwar

16 Juli 2012 in Broadcasting | by Diki Umbara | 2 komentar

1. Kalau mau jadi penulis skenario film: biasanya ide cerita saja tidak cukup untuk diajukan ke
produser/PH. Harus skenario jadi.

2. Cari tau PH/produser mana yg biasanya bikin film dgn tema/genre yg sama dgn skenario yg
anda tulis.

3. Kirim lewat pos/imel/antar langsung ke produser/PH tersebut.

4. Cara yg lebih ampuh adalah cari cara yang baik untuk berkenalan dgn produser/PH yg anda
ingin ajuin skenario.

5. Bisa juga kenalan dgn sutradara utk anda tunjukkan skenario anda, dgn catatan: biasanya dia
tidak menulis sendiri untuk filmnya.

6. Sbg bukti skenario itu milik anda, kirimkan hardcopy lewat pos ke anda sendiri, dan softcopy
ke imel anda sendiri.

7. Ini gunanya supaya skenario anda ‘ada tanggalnya’. Kalo ada dispute, ada bukti tgl sekian
anda sudah punya skenario itu.

8. Contoh skenario jadi, masuk ke http://www.script-o-ramadotcom Hampir semua skenario film


populer ada di situ.

9. Kurang efektif jika ngirim skenario ke penulis juga utk dibaca. Krn kemungkinan besar
mereka gak akan punya waktu buat baca.

10. Kalo ngerasa masuk ke industri sbg scriptwriter susah, jgn putus asa. Saya dan penulis lain jg
ngalamin kayak anda sekarang.

11. Meanwhile, baca buku penulisan skrip, ikut kursus/workshop, dan nulis terus skenario yg
segar, inovatif, dan menarik.

12. Rute ter-efektif, lagi-lagi, tulis buat film pendek. Kalo bagus, pasti menarik perhatian
produser.

13. Remember, tulis skenario yg menarik, bukan cuma buat anda tapi buat orang lain. Jgn yg
klise. Ingat, saingan banyak. Be different.
Dokumenter Part 8

12 Mei 2009 in Broadcasting | by Diki Umbara | 1 komentar

Repotnya jadi Produser Dokumenter

Oleh Diki Umbara

The two most important roles of a documentary producer are to create a safe working
environment for the cast and crew and to hire the best people to execute the director’s vision. A
documentary producer must be a master of negotiation and people management. (Mechelle
Pellebon)

Ada banyak profesi dalam film maupun acara televisi yang berkaitan dengan produser, yakni
executive producer,ass.producer, line producer, news producer,sport producer, documentary
producer, promo producer, co-producer, dan masih banyak lagi. Secara umum produser
mempunyai tanggung jawab dalam sebuah produksi film atau televisi dari mulai pra produksi,
produksi, hingga paska produksi. Walaupun secara umum memiliki tanggung jawab yang sama,
namun jika dilihat dari hasil karya atau jenis produksi yang dihasilkan, masing-masing produser
memiliki kekhasan sendiri,hal ini dikarenakan adanya perbedaan “cara menangani” acara-acara
yang spesifik tadi. Dan kali ini kita akan membahas tentang bagaimana produser dokumenter
bekerja.

Menentukan Kru

Tentang bagaimana menentukan kru, sudah kita bahas pada artikel sebelumnya, di sana saya
tidak hanya membicarakan bagaimana menentukan atau memilih kru, tapi bagaimana
membangun tim atau kru yang baru. Di sini saya jelaskan kembali, bahwa salah satu tugas
produser adalah memilih kru untuk sebuah produksi dokumenter. Tidak semua cameraman
terbiasa dengan pembuatan dokumenter, apalagi misalnya cameraman studio. Cameraman
dokumenter harus jeli melihat situasi dan kondisi yang bisa terjadi kapan saja di lapangan. Yang
paling memungkinkan dari cameraman lain adalah cameraman berita. Jadi, sebagai produser
dokumenter harus dengan cermat ketika memilih kru yang akan diajak kerjasama. Juga ketika
memilih siapa yang akan menjadi sutradara dokumenter tersebut, beberapa produser lebih
nyaman bekerjasama dengan sutradara “langganannya”. Maka tidak mengherankan kalau
“sutradara yang itu” selalu dengan “produser yang itu” juga. Ini sebenarnya tidak hanya terjadi
dalam proyek dokumenter, di feature film pun sebetulnya demikian juga. Alasannya hamper
sama, sudah ketemu chemistrynya.

Pendanaan Dokumenter

Produser dokumenter harus mampu untuk presentasi pada client atau investor, jika film
dokumenter itu orderan atau pesanan dari investor bahkan produser harus terlibat pada banyak
tahapan tender/bidding. Jadi, produser dokumenter memang harus jago ngomong, harus bisa
memaparkan gagasan serta konsep dokumenter yang akan dibuatnya. Tema bukan segala-
galanya dalam film dokumenter, bahkan tidak sedikit tema sudah ditentukan oleh si penyandang
dana, yang paling penting adalah bagaimana agar tema tersebut bisa dipaparkan dalam sebuah
gagasan sehingga film dokumenter nantinya bisa menjadi karya yang baik, karya dengan story
telling yang baik. Ketika mengikuti beberapa kali tender project dokumenter, terkadang saya
suka senyum sendiri melihat berbagai gaya produser dalam presentasi, terutama ketika melihat
produser yang belum terbiasa presentasi di hadapan klien bule.

Membuat budget untuk pembuatan karya dokumenter haruslah cermat, produser harus bisa
mengestimasi budget riset hingga paska produksi sedetail mungkin. Demikian juga ketika
client/donor sudah mematok anggaran pembuatan dokumenter, produser tidak boleh akal-akalan
mensiasati budget dengan asal tebak. Jangan pernah menganggap donor tidak paham dengan
budgeting produksi dokumenter.

Produser dan Penulis Naskah

Di beberapa produksi dokumenter, tidak sedikit profesi penulis naskah dokumenter dihandle oleh
produser sendiri. Dokumentator Michael Moore misalnya, dalam karya dokumenternya, selain
sebagai produser dia sendiri yang menangani penulisan naskahnya, Roger and Me, dan Sicko,
juga dokumentator Morgan Spurlock dengan karya terkenalnya Super Size Me. Inilah salah satu
hal yang unik dalam pembuatan dokumenter, satu orang bisa merangkap untuk dua bahkan
sampai tiga jabatan. Produser juga, sutradara juga, penulis naskah juga. Ini tidak hanya terjadi di
luar sana, di Indonesia juga demikian. Beberapa film dokumenter disutradarai dan ditulis oleh
orang yang sama, seperti dokumentator mas Tonny Trimarsanto sama mas Wiranegara
misalnya. Kenapa jabatan bisa rangkap begitu? apalagi kalau bukan masalah budget dan masalah
efesiensi.

Di Lapangan

Benar bahwa di lokasi shooting, apa saja bisa


terjadi. Yang paling penting adalah bagaimana agar produser setiap saat bisa mengantisipasi
segala kondisi, sampai kondisi ekstrim sekalipun. Apa yang harus dilakukan oleh produser? Ya
persiapan yang matang, persiapan dilakukan jauh sebelum pergi ke lapangan. Hasil riset di
lapangan sebelumnya baiknya dievaluasi dulu, dibuat check list segala kebutuhan yang
diperlukan. Pakailah orang lokal sebagai mitra kerja produser, tidak hanya sebagai porter tapi kru
lokal bisa diajak kerjasma sebagai mediator produser dan juga sutradara dengan lingkungan
dimana dokumenter itu dibuat. Selalu berkomunikasi dengan sutradara, jangan sampai ada mis
antara produser dengan sutradara. Diskusi baiknya dilakukan, pada saat sebelum shooting dan
pada saat setelah shooting, untuk evaluasi.

Saat Paska Produksi

Ketika shooting selesai bukan berarti pekerjaan selesai,jadi produser memang repot. Proses
selanjutnya sudah menanti yakni paska produksi. Produser biasanya sudah memilih editor ketika
shooting belum dimulai. Ribuan shot yang tercerai berai harus diurai menjadi satu kesatuan
cerita oleh editor atau penyunting gambar. Sebelum melakukan penyuntingan gambar, editor
akan memaparkan konsep editing pada produser dan sutradara. Kalau sutradara mempunyai
treatment atau shooting script sebagai panduan di lapangan, maka editor harus memiliki post-
script sebagai panduannya, editor membuat paper edit yang dijabarkan pada sutradara dan
produser. Produser dokumenter selalu memantau pekerjaan editor, memantau di sini bukan
berarti intervensi, karena editor sudah tau apa yang akan dan harus dikerjakan. Produser
memberikan target kapan rough cut harus selesai, dan ini tentu saja didiskusikan dan disepakati
bersama dengan editor sebelumnya. Dalam presentasi pada klien, produser bisa melibatkan
editor untuk mendengarkan masukan dari klien. Pada kenyataanya tidak jarang pula editor
memberikan masukan pada produser dan sutradara.

Produser dokumenter memiliki tanggung jawab atas sukses tidaknya sebuah produksi
dokumenter, kegagalan karya film dokumenter berarti kegagalan seorang produser dokumenter.
Tulisan ini saya dedikasikan buat Agis Susanti yang sedang membuat karya dokumenter. Gis,
saya masih ada 2 janji lagi ya? Hemmm sabar ya….

TV Programming (part1)

3 September 2008 in Broadcasting | by Diki Umbara | 27 komentar

Tentang TV Programming

Oleh Diki Umbara

Sebagai penonton, kita disuguhi berbagai acara televisi dari waktu ke waktu. Acara-acara itu
silih berganti, dari pagi sampai malam dan seterusnya. Beberapa stasiun televisi bahkan bersiaran
selama dua puluh empat jam dalam sehari, jadi sebetulnya “tidak bisa dilihat” kapan sebetulnya acara
tersebut dimulai. Tulisan di bawah hanya ringkasan saja bagaimana acara dibuat hingga
ditayangkan,dari sisi tv programming.

Pengaturan schedule acara tidak dilakukan begitu saja tanpa perencanaan serta evaluasi
setelahnya. Ada proses yang dilalui sehingga tayangan tersebut bisa secara rutin dilakukan stasiun
televisi. Yang mengatur itu semua dilakukan di satu departemen yakni Programming Departement. Di
dalam TV Programming akan tercakup :

 Orientasi Program
 Kebijakan Program
 Strategi Program
 Sumber Acara
 Pola Acara
 Kriteria Acara
 Pengembangan Program

Untuk menjalankan ke 7 aspek di atas, programming memiliki harus memiliki strategi yakni : Counter
Programming, Block Programming, Hammock, Tentoling, dan Stunting.

Pola Dasar Siaran

NO TIME DAY
1 05.00-15.00 Slot Time Siaran Nasional
2 15.00-18.00 Slot Time Siaran Lokal
3 18.00-21.00 Slot Time Siaran Regional
4 21.00-24.00 Slot Time Siaran Nasional
5 24.00-05.00 Slot Time Siaran Nasona

Pola Dasar Acara

Seperti sudah dibahas sebelumnya, tahapan penayangan acara televisi melewati tahap yang panjang
yakni :

1. Perancangan Program
2. Pra Produksi
3. Produksi
4. Paska Produksi
5. Tahap Penyiaran
6. SIARAN
7. Evaluasi

Karena tahap Pra Produksi, Produksi, serta Paska Produksi telah penulis bahas sebelumnya, jadi kali ini
hanya akan dibahas :

Contoh Pola Acara & Rate Card


Tahap Perancangan Program

Pada tahapan ini aktivitas dimulai dengan mengumpulkan ide baik internal maupun eksternal sampai
menjadi sebuah desain program untuk mengisi atau sebagai masukan pada Pola Dasar yang memuat
judul, kriteria serta format program. Tujuannya yakni untuk mendapatkan sebuah desain program yang
tentu saja yang menarik serta memenuhi kebutuhan khalayak/penonton. Kegiatan yang dilakukan dalam
tahapan ini yakni :

1. Mengumpulkan Ide
2. Merancang Program
3. Mempelajari & Mengembangkan Ide untuk rancangan program
4. Mengkaji Program
5. Menganalisia & Menilai rancangan program, yang nantinya disetujui atau mungkin ditolak
menjadi desain program

Dari tahapan ini akan diperoleh : Jenis Program, Ide Program, Desain Program, serta Persetujuan.

Tahap Penyiaran
Tahapan ini merupakan tahapan menyiarkan program yang sudah dibuat tadi yakni program yang siap
siar sesuai dengan pola acara terpadu serta pola acara lokal. Tujuannya yakni untuk menyiarkan
program televisi yang sudah siap siar/on airing. Dalam Tahapan Penyiaran, terdiri atas :

1. Format bahan layak siar


2. Kualitas teknis bahan layak siar
3. Kualitas program bahan layak siar

Untuk memenuhi bahan layak siar tadi diperlukan penyimpanan khusus materi siaran yang berbentuk
perpustakaan/library bahan siar yang akan :

1. Menerima, menyimpan, dan menyerahkan bahan siaran


2. Menerima, menyimpan, dan menyerahkan bahan layak siar berikut dengan data pendukung
3. Menyiapkan pita bahan siaran yang baru/blank tape sesuai format yang ditetapkan

Tahap Peyiaran sendiri terdiri atas :

1. Penilaian Bahan Siaran


Penyiaran
Pemirsa
Evaluasi & Monitoring

Jadi, pada intinya penyiaran merupakan kegiatan menyiarkan bahan layak siar yakni :

1. Megumpulkan database program


2. Menyusun urutan acara/rundown
3. Mensahkan susunan acara
4. Mendistribusikan susunan acara
5. Menyiapkan bahan siaran
6. Otomasi data program (check display logger data)
7. Menyelenggarakan siaran
8. Relokasi bahan siaran

Monitoring dan Evaluasi

Merupakan kegiatan mengamati dan menilai penyiaran sebagai internal control terhadap kegiatan
penyiaran dengan tanggung jawab sebagai berikut :

 Mengamati jalannya penyiaran


 Menilai mutu penyiaran
 Mengevaluasi masukan yang diterima dan meneruskan kepada setiap fungsi terkait.

Ada Makna di Balik Shot

31 Juli 2008 in Broadcasting | by Diki Umbara | 10 komentar


Ada Makna di Balik Shot (part 1)

Oleh Diki Umbara

Melalui unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif
yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat
berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan
dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).

Saya setuju dengan tesis yang dikemukanan ahli semiotika dunia Roland Barthes di atas, namun pada
tulisan saya kali ini justru akan lebih banyak melihat dari makna pertama utamanya unsur visual
(gambar) yakni makna denotatif. Penulis akan mencoba bagaimana makna-makna verbal itu dihasilkan
dari sisi praktisi, si pembuat pesan ( sinematografer, videografer, filmmaker, videomaker, broadcaster).
Secara spesifik penulis akan mengurai ada makna apa di balik sebuah shot. Ketika kita menonton sebuah
film atau tayangan televisi, sebenarnya kita sedang menyaksikan rangkaian shot dalam sebuah scene,
dan rangkaian scene dalam sebuah sequence, dan seterusnya hingga kita melihat tayangan atau film
secara utuh. Disadari atau tidak disadari sebenarnya penonton telah disuguhi ratusan bahkan ribuan
shot yang muncul silih berganti di layar televisi setiap harinya.

Pasti ada pesan yang ingin disampaikan oleh si pembuat dalam menciptakan rangkaian shot-shot tadi,
sayangnya tidak semua pesan bisa disampaikan dengan baik dan celakanya hal ini karena ”kesalahan”
dari si pembuat pesan. Shot semestinya tidak semata urusan teknis mekanis dan estetis,menyampaikan
pesan akan ”berurusan” dengan falsafah, the philosophy of the shot. Wah serumit itukah? mari kita
pahami sampai tuntas.

Belum ada kesepakatan tentang definisi yang benar-benar pas tentang apa itu sebenarnya shot. Ketika
kita menekan tombol rec atau start sampai kita tekan sekali lagi tombol yang sama, maka itu adalah satu
shot. Walaupun hanya satu detik atau bahkan sampai satu jam dari awal sampai akhir, baik bergerak
maupun diam.

SHOT SIZE/Type of Shot

Shot size/type of shot atau ukuran shot adalah besar kecilnya subjek dalam sebuah frame.Type of shot
itu terdiri atas :

 ECU : Extreme Close Up (detail shot)


 VCU : Very Close Up (shot wajah) dari atas kepala sampai dagu
 BCU : Big Close Up (tight CU, full kepala), wajah memenuhi layar
 CU : Close Up, dari keapala sampai pundak
 MCU : Medium Close Up,
 Knee, 3/4Shot :
 MLS : Medium Long Shot
 LS : Long Shot
 ELS : Extra Long Shot (extereme LS, XLS)

Masing-masing ukuran shot di atas akan memiliki makna yang berbeda-beda ketika diimplementasikan
pada pengambilan sebuah gambar/shooting.

Long Shots, secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika :

 Untuk mengikuti area yang lebar atau ketika adegan berjalan cepat
 Ketika subjek
 Untuk menunjukkan dimana adegan berada/menujukkan tempat
 Untuk menujukkan progres
 Untuk menjukkan bagaimana posisi subjek memiliki hubungan dengan yang lain

Medium Shots, type shot seperti ini yang paling umum kita jumpai dalam film maupun televisi. Jenis
shot ini adalah paling aman, karena tidak ada penekanan khusus seperti halnya pada Long Shots dan
Close Shots. Semua adegan bisa ditampilkan dengan netral di sini.

Close Shots, televisi adalah media close up. Awalnya premis ini karena berkaitan dengan hal teknis.
Pertama, acara dengan media televisi harus ditampilkan secara close up karena ukuran televisi yang
kecil jika dibandingkan dengan layar di bioskop. Ke dua, berbeda juga dengan bisokop, acara televisi
ditonton sambil lalu, akan lebih cocok menampilkan gambar-gambar dengan close shot/padat.

Tapi,yang perlu dipahami juga justru makna-makna yang ditampilkan ketika shot-shot itu dibuat secara
close up. Efek close up biasanya, akan terkesan gambar lebih cepat, mendominasi, menekan. Ada makna
estestis, ada juga makna psikologis.

MOVEMENT

Terdapat paradoks dalam menciptakan camera movement untuk menghasilkan perubahan visual ketika
mencoba membuat invisible movement. Secara teknis hal ini dimaksudkan untuk menghindari
bergesernya perhatian penonton. Caranya adalah dengan melakukan pergerakkan kamera yang
mengikuti pergerakkan subjek. Tapi yang harus diperhatikan tentu saja adalah tujuan atau motivasi dari
pergerakkan kamera itu dibuat. Secara umum, menurut Peter Ward dalam Digital Video Camerawork,
motivasi itu antara lain :

 Untuk menambah interest visual


 Mengekresikan kegembiraan
 Meningkatkan ketegangan
 Memberikan interes pada subjek baru
 Memberikan perubahan angle/sudut pandang.

Secara khusus, ada dua kaidah dalam mengontrol camera movement, yakni menyesuaikan gerakkan
dengan aksi subjek sehingga gerakan kamera akan distimulasi oleh aksi dan yang kedua adanya
kebutuhan untuk menjaga komposisi yang baik selama pergerakkan.
Hampir di keseluruhan shot yang ditampilkan dalam film Emergency Room atau E.R. menggunakan
konsep ini, dengan demikian efek dramatis tercipta sehingga penonton akan merasakan bagaimana
suasana yang sangat dinamis di setiap ruang rumah sakit. Demikian juga di beberapa filmnya Rudy
Soedjarwo, walaupun menurut saya masih terasa nanggung. Jadi, apa sebenarnya motivasi Rudy
membuat film dengan konsep handheld tersebut ?

ANGLE

Secara mekanis, angle atau sudut pengambilan gambar itu berhubungan erat dengan lensa kamera, baik
jenis lensa yang digunakan maupun penempatan kamera itu sendiri. Masih menurut Ward, ruang
internal shot sering menonjolkan kualitas emosional dari adegan. Perspektif yang normal untuk
membangun shot sering digunakan secara gamblang dan langsung. Tinggi lensa akan mengendalikan
bagaimana penonton mengidentifikasi subyek. Lensa rendah akan mengurangi detail level latar belakang
dan menghilangkan indikasi antara latar belakang dengan objek. Posisi lensa yang tinggi memiliki efek
sebaliknya.

Low Angle

Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan
objek lebih superior, dominan, menekan.

High Angle

Kebalikan dari low angle, akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan

Dengan mengetahui dampak pesan yang akan tersampaikan dari sudut pengambilan gambar ini,
diharapan sinematografer atau videografer bisa mengkonstruksi shot-shot yang akan dibuat sesuai
dengan pesan apa yang ingin kita sampaikan pada penonton.

Satu sekuens yang sama akan dimaknai berbeda ketika pemlihan angle shot yan berbeda pula. Misalnya
adegan demontrasi mahasiswa, rangkaian petama : 1.long shot para demontrans, 2. high angle
demonstran teriak-teriak, 3. low angle polisi sedang menggebuki demonstran. 4. high angle demontran
kesakitan, sedangkan rangkain ke dua : 1.long shot para demontrans, 2. low angle demonstran teriak-
teriak, 3. high angle polisi sedang menggebuki demonstran. 4. low angle demontran.Dalam sekuens
pertama, penonton akan memaknai rangkaian shot tersebut bahwa ada demontrasi yang dilakukan
mahasiswa, polisi dengan superioritasnya bisa menangani aksi demontrasi itu dengan sikap represif,
mahasiswa teretekan. Sedangkan dalam rangkain shot pada sekuens ke dua, penonton akan melihat
demontrasi yang dilakukan mahasiswa walapun dijaga oleh para polisi, mahasiswa terlihat superior dan
mendominasi bahkan lebih gagah dari para polisi.
Ya, ini baru satu aspek saja yakni dari angle atau sudut pengambilan gambar bisa mengahsilkan efek
yang berbeda pada penonton. Jadi, angle menjadi elemen makna atau pesan. Pesan apa yang ingin
disampaikan pemberi pesan ?

Secara detail, Ward mengemukan bahwa sudut lensa mana yang dipilih tergantung dari tujuan shot,
yang terdiri atas :

 Menonjolkan subyek prinsip


 Menyediakan variasi ukuran shot
 Memberikan kelebihan tambahan terhadap subyek yang dipilih
 Menyediakan perubahan sudut atau ukuran shot untuk memungkinkan terjadinya inter cutting
yang tidak menonjol
 Menciptakan komposisi shot yang baik
 Meningkatkan arah mata

Sandekala

25 Juli 2008 in Broadcasting | by Diki Umbara | 3 komentar

Sandekala, dari Novel ke Teater, dari Teater ke Televisi

Oleh Diki Umbara


Sandekala adalah novel karya Godi Suwarna, seniman asal Tasikmalaya yang lahir 42 tahun yang lalu.
Godi merupakan seniman yang sangat produktif telah menghasilkan beragam karya, puisi, cerpen, novel
serta naskah drama.
Sandekala belum lama dipentaskan dalam format teater disutradarai oleh Wawan Sofyan di Taman
Ismail Marzuki. Pementasan teater yang menghadirkan sebanyak 25 tokoh dan dimainkan oleh berbagai
kelompok teater ini berkisah tentang Suroto, Camat Kawali Ciamis yang korup dan memerintah dengan
tangan besi. Dengan kekuasaannya itu, dia berbuat sewenang-wenang termasuk merampas hak-hak
warga setempat demi kepentingan pribadi. Ia melakukan kolusi dengan para kontraktor untuk
pembangunan gedung olahraga dan pasar. Ia juga menyetujui penyelenggaraan pasar malam di alun-
alun kota, padahal tempat tersebut dekat sekali dengan masjid agung, sekolah dan rumah sakit. Ia pun
menggunakan kekuasaannya sebagai camat untuk meraup keuntungan yang tentu saja masuk ke
kantong pribadinya.Kang Godi, sebagai penulis begitu cerdik menulis novel ini, terkadang serius namun
beberapa bagian dibuat lucu, guyonan khas Sunda.

Kembali ke media yang digunakan, ini cukup menarik karena ada konvergensi atau tepatnya ”konversi”
dari satu media ke media lainnya, dari novel (media cetak) ke teater (media ruang), dan dari teater ke
televisi (media eketronik). Dan bisa jadi nantinya dari televisi ke media internet (youtube,dsb).

Pementasan teater sendiri dimainkan oleh Mainteater dari Bandung, pementasan sendiri ada dua yakni
yang berbahasa Indonesia serta yang berbahasa Sunda. Sayang saya sendiri tidak sempat menyaksikan
pementasan yang berbahasa Sunda, padahal dipastikan saya akan mengerti pementasan yang
berbahasa Sunda karena sebagai orang Cianjur saya memahami betul bahasa ini.
Bagi penulis sendiri, meliput secara utuh acara teater untuk keperluan acara televisi merupakan
pengalaman pertama. Tidak terlalu banyak persiapan untuk peliputan dengan menggunakan
multicamera ini. Untungnya saya sempat melihat rehearsal pementasan teater yang dilakukan oleh
sutrdara dan para pemain. Pengambilan gambar atau shooting dilakukan dengan tehnik live on tape.
Sandekala berdurasi dua setengah jam rencananya akan dibagi menjadi 3 episode dan akan ditayangkan
di semua televisi lokal yang tergabung di Afiliasi TV Lokal Indonesia. Saat ini Sandekala sedang memasuki
tahap penyuntingan gambar.

Saya tidak tau persis seberapa banyak perubahan adaptasi dari karya novel ini ke dalam media teater.
Namun kalau dari teater ke televisi benar-benar tidak ada perubahan kecuali hanya perpindahan media
saja serta pembagian episode karena untuk penyesuaian durasi bagi keperluan on air.

Pementasan Sandekala terselenggara oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti ICW, ELSAM,
WALHI, Praxis, Forum Diskusi Wartawan Bandung. Acara ini diliput untuk keperluan dokumentasi serta
tayangan televisi oleh SBM atau School for Broadcast Media Jakarta. Klik link ini untuk melihat detail
pemetasan Sadekala. Jika penasaran, untuk anda di daerah sedikit bersabar karena pementasan
sandekala akan segera hadir di televisi lokal dimana anda tinggal.

dvd’s cover design by Diki Umbara

Anda mungkin juga menyukai