LAMA
Tahap Pra Produksi merupakan tahapan kerja terpenting atau utama dalam setiap
produksi film, juga televisi, baik fiksi maupun dokumenter. Produksi film mamapu berjalan
lancar dan sukses karna berangkat dari persiapan produksi yang mantap. Setiap permasalahan
harus diselesaikan dulu pada tahap pra produksi. Idealnya, pelaksanaan pra produksi minimal
membutuhkan waktu dua bulan. Dalam tahap ini segala persoalan administrative maupun kreatif
disiapkan. Untuk produksi dokumenter, tahap pra produksi lebih banyak menyita waktu untuk
riset. (Gerzon R Ayawaila:2008, 85).
Ide awal proses pembuatan film dokumenter mengenai Kota Lama ini awalnya berasal
dari kejadian nyata dan isu yang berkembang di masyarakat bahwa didaerah Kota Lama
dijadikan tempat prostitusi serta banyak bangunan –bangunan yang rusak, salah satu penyebab
bangunan itu rusak ternyata diketahui bahwa Rob sering melanda Kawasan yang mendapat
julukan Little Netherland itu, masalah kebersihan, keadaan sosial yang ada pada masyarakat
Kota Lama, serta kepedulian masyarakat Kota Lama yang kurang terhadap keadaan Kota Lama,
hingga kegiatan sabung ayam yang disinyalir sebagai ajang judi di wilayah Kota Lama. Setelah
menentukan isu, dokumentaris lalu melakukan riset untuk membuktikan kebenaran itu, riset
dilakukan dikawasan Kota Lama baik Riset Visual maupun riset non visual, selain
menampakkan kelemahan yang terjadi di film ini dokumentaris juga ingin memberikan
pengetahuan mengenai sejarah beberapa bangunan yang sampai sekarang masih difungsikan agar
penonton juga dapat melihat bahwa sebenarnya kawasan Kota Lama juga memiliki potensi untuk
dikembangkan terutama fungsi dari penggunaan bangunan bersejarah tersebut.
Namun setelah berjalan hampir 70%, dokumentaris merasa isu yang diangkat di film
terlalu banyak sehingga menyebabkan film dokumenter ini kurang fokus, akhirnya dokumentaris
mencoba memfokuskan dan mengkorelasikan isu yang berkembang di Kota Lama, yaitu
Bagaimana Kota Lama bisa memiliki citra kotor, kumuh, dan rawan kriminalitas dimata
masyarakat Semarang?
Hal itu disebabkan karena banyaknya bangunan –bangunan di kota lama yang rusak dan
tak dihuni, yang menjadikan bangunan –bangunan tersebut akhirnya dihuni oleh masyarakat
yang sebagian besar pendatang yang akhirnya melakukan segala aktifitasnya disana, dan
ironisnya aktifitas merekalah yang membuat citra Kota Lama menjadi buruk, prostitusi,
gelandangan, membuka kios –kios untuk berdagang dan prostitusi. Namun di film ini tidak
hanya menyajikan tayangan yang berkesan menyalahkan masyarakat pendatang namun juga
bagaimana mereka dikejar –kejar Satpol PP yang seharusnya mengayomi mereka tidak hanya
mengejar dan membuat mereka merasa ketakutan serta kembali lagi Terlebih lagi mereka yang
menempati gedung –gedung tua yang rusak itu tak disertai dengan perilaku menjaga
kebersihandi Kota Lama, sehingga Kota Lama terkesan menjadi kotor dan kumuh.
I. KREATIF
II.1. Tahap Persiapan
II.1a.Menentukan ide cerita awal
Ide cerita berasal dari potensi yang dimiliki Kota Semarang yaitu Kota Lama, namun
sayangnya banyak sekali problematika yang dialami kawasan yang katanya merupakan tempat
berkumpulnya bangunan –bangunan peninggalan Belanda, jika membahas mengenai jaman
peninggalan Belanda pastilah membahas tentang seseorang yang terkadang merasa kangen
dengan jaman dahulu, lalu dokumentaris berfikir untuk membuat sebuah film dokumenter
tentang seorang yang merasa kangen dengan suasana tempo dulu, dibuatlah konsep film bercerita
tentang seorang kakek yang ingin mengenang masa lampau di Kota Lama bersama istrinya yang
sudah meninggal, dan diberi judul ”Kangen”
II.1c. Mengumpulkan bahan – bahan dan referensi yang berhubungan degan tayangan
Film Dokumenter.
Bahan –bahan yang dapat menjadi referensi bagi film dokumenter ini yaitu:
1. Film Dokumenter ”Must See Rome” karya Jane Eames
2. Dokumenter dari ide sampai produksi ; Gerzon R Ayawaila,2008
Buku ini membahas tentang sejarah dokumenter hingga panduan bagaimana proses membuat
dokumenter dari ide hingga produksi
3. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter; Fajar Nugroho, 2007
Buku ini membahas tentang panduan praktis memunculkan ide hingga proses bagaimana
mempromosikan film dokumenter yang telah dibuat.
Sumber –sumber tersebut dapat menjadi panduan dan sumber inspirasi bagi pembuatan film Kota
Lama (bukan) Kota Mati.
Proses Pra Produksi merupakan proses yang paling panjang karena melakukan dua hal
yang saling menentukan yaitu riset dan kretif. Riset harus dilakukan dengan sungguh –sungguh
karna menentukan proses selanjutnya riset tersebut meliputi riset visual dan non visual,
menentukan tujuan, menentukan khalayak sasaran, menganalisa situasi, melakukan survey lokasi
hingga productions treatment. Hasil riset dipergunakan untuk membuat ide kreatif mulai dari
menyusun gagasan atau ide, mengumpulkan dan mengolah materi, menyusun alur cerita hingga
menyusun productions treatment sebagai gambaran naskah film yang sebenarnya,, sampai pada
tahap mendiskusikan kepada sutradara.
Perlu dibangun komunikasi yang baik dengan divisi lainnya, karna ini merupakan proyek atas
dasar kebersamaan rasa saling pengertian juga perlu dibangun agar keseluruhan hambatan yang
terjadi dilapangan dapat teratasi dengan baik.
A. Rangkuman
Pra Produksi merupakan elemen kerja terpenting dalam pembuatan Film Dokumenter, karna
pada proses inilah yang menentukan sukses atau tidaknya produksi film dokumenter, dan
menentukan akan dibawa kemana dan melihat dari sudut pandang siapa film dokumenter ini
dibuat, dalam melakukan riset banyak hambatan yang terjadi dilapangan seperti factor
keamanan, serta masalah administratif yang sempat menjadi kendala, beberapa pihak bahkan
tidak bersedia membantu demi kelancaran produksi film ini, data –data yang sempat sulit
didapatkan akhirnya harus disiasati dengan jalan yang lain yaitu menghilangkan beberapa
informasi dalam film ini meskipun konsepnya masih sama, factor psicologis warga Kota Lama
juga menjadi kendala berkomunikasi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, divisi
praproduksi harus menyelami jiwa narasumber perlahan –laha ketika akan meminta informasi
padanya, itu harus dilakukan agar informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Pihak BPK2L
juga tak berkenan memberikan bantuan mengenai data-data karna syarat yang diajukan
memberatkan, yaitu harus memberikan film dokumenter ini, siasat lainpun ditempuh dengan
meminta bantuan Prof. Eko Budiharjo untuk meminta keterangan tambahan. Oleh karna itu
bagian pra produksi memakan waktu yang paling lama yaitu + 3,5 bulan untuk mendapatkan
keseluruhan data –data yang mendukung selain data dari internet.
Kendala tak hanya dihadapi ketika riset berlangsung, pada saat memulai proses Kreatif juga
mengalami beberapa hambatan dan perubahan alur cerita, perbedaan pendapat juga sering terjadi
disini, serta kesalapahaman interpretasi antara kreatif dan divisi yang lain juga dialami disini,
riset yang telah dilakukan menjadi dasar atau sumber dalam melakukan konsep cerita, hingga
sampai pada tahap membuat naskah film sebagai gambaran sutradara saat produksi berlangsung.
Naskah film sempat mengalami perubahan beberapa kali, karna selain kurang fokus pada satu hal
yang akan dibahas, dokumentaris juga sempat mengalami kebingungan dari sudut pandang mana
dokumentaris menyajikan film ini. Konsepnyapun sempat mengalami perubahan mulai dari
konsep dari mulai docudrama dengan 2 orang tokoh didalamnya, laporan perjalanan, biografi
sampai akhirnya mengetengahkan sebuah film dengan menggunakan narasi saja.
Film ini awalnya mengalami ketidakfokusan, karna membahas mengenai berbagai hal, mulai
perbandingan Kota Lama jaman dahulu hingga jaman sekarang sampai akhirnya fokus pada 1 hal
menceritakan keadaan orang –orang yang tinggal di Kota Lama, serta memandang Kota Lama
dari sudut pandang mereka dari sana penonton diharapkan dapat menangkap mengapa Kota
Lama bisa memiliki image yang negatif dimata masyarakat. Lalu akhirnya film ini diberi sebuah
judul “Kota Lama (bukan) Kota Mati, hal ini secara tidak langsung ingin memberikan pernyataan
bahwa Kota Lama masih memiliki harapan untuk menjadi kawasan bersejarah yang nantinya
bisa diminati yang dimiliki Kota Semarang, serta menggugah kesadaran masyarakat untuk
mempunyai rasa memiliki dan tidak meremehkan segala proses perubahan yang terjadi di Kota
Lama.
B. Saran
Hendaknya ketika melakukan riset harus disertai dengan niat, kemauan, keberanian untuk dapat
menyelesaikan segala proses yang ada didalamanya termasuk hambatan yang ada dilapangan,
diperlukan kesabaran dalam menghadapi setiap proses didalamnya, serta diperlukan adanya
kestabilan emosi dan tidak terburu –buru dalam mengambil tindakan.
Ketika menjadi menyusun sebuah konsep cerita hendaknya memiliki banyak referensi untuk
dijadikan panduan serta memunculkan sebuah ide cerita yang original. Membutuhkan kesabaran
karna pastinya seorang dokumentaris harus melaluo beberapa proses bahkan mungkin membuat
lebih dari satu naskah film sampai akhirnya hanya 1 naskah film yang diputuskan untuk
diproduksi. Ketika menyusun sebuah konsep hendaknya juga melihat siapa sajakah yang
nantinya akan menonton film ini, dan dari sudut pandang siapakah nantinya film ini akan
disajikan.
Diambil dari:
Job Description Pekerja Film (versi 01)
Terbitan FFTV IKJ dan KFT
Cetakan Pertama, Maret 2008.
ISBN 979-979-99351-1-3
Arsip Kategori
You are currently browsing the category archive for the ‘Broadcasting’ category.
1. Kalau mau jadi penulis skenario film: biasanya ide cerita saja tidak cukup untuk diajukan ke
produser/PH. Harus skenario jadi.
2. Cari tau PH/produser mana yg biasanya bikin film dgn tema/genre yg sama dgn skenario yg
anda tulis.
4. Cara yg lebih ampuh adalah cari cara yang baik untuk berkenalan dgn produser/PH yg anda
ingin ajuin skenario.
5. Bisa juga kenalan dgn sutradara utk anda tunjukkan skenario anda, dgn catatan: biasanya dia
tidak menulis sendiri untuk filmnya.
6. Sbg bukti skenario itu milik anda, kirimkan hardcopy lewat pos ke anda sendiri, dan softcopy
ke imel anda sendiri.
7. Ini gunanya supaya skenario anda ‘ada tanggalnya’. Kalo ada dispute, ada bukti tgl sekian
anda sudah punya skenario itu.
9. Kurang efektif jika ngirim skenario ke penulis juga utk dibaca. Krn kemungkinan besar
mereka gak akan punya waktu buat baca.
10. Kalo ngerasa masuk ke industri sbg scriptwriter susah, jgn putus asa. Saya dan penulis lain jg
ngalamin kayak anda sekarang.
11. Meanwhile, baca buku penulisan skrip, ikut kursus/workshop, dan nulis terus skenario yg
segar, inovatif, dan menarik.
12. Rute ter-efektif, lagi-lagi, tulis buat film pendek. Kalo bagus, pasti menarik perhatian
produser.
13. Remember, tulis skenario yg menarik, bukan cuma buat anda tapi buat orang lain. Jgn yg
klise. Ingat, saingan banyak. Be different.
Dokumenter Part 8
The two most important roles of a documentary producer are to create a safe working
environment for the cast and crew and to hire the best people to execute the director’s vision. A
documentary producer must be a master of negotiation and people management. (Mechelle
Pellebon)
Ada banyak profesi dalam film maupun acara televisi yang berkaitan dengan produser, yakni
executive producer,ass.producer, line producer, news producer,sport producer, documentary
producer, promo producer, co-producer, dan masih banyak lagi. Secara umum produser
mempunyai tanggung jawab dalam sebuah produksi film atau televisi dari mulai pra produksi,
produksi, hingga paska produksi. Walaupun secara umum memiliki tanggung jawab yang sama,
namun jika dilihat dari hasil karya atau jenis produksi yang dihasilkan, masing-masing produser
memiliki kekhasan sendiri,hal ini dikarenakan adanya perbedaan “cara menangani” acara-acara
yang spesifik tadi. Dan kali ini kita akan membahas tentang bagaimana produser dokumenter
bekerja.
Menentukan Kru
Tentang bagaimana menentukan kru, sudah kita bahas pada artikel sebelumnya, di sana saya
tidak hanya membicarakan bagaimana menentukan atau memilih kru, tapi bagaimana
membangun tim atau kru yang baru. Di sini saya jelaskan kembali, bahwa salah satu tugas
produser adalah memilih kru untuk sebuah produksi dokumenter. Tidak semua cameraman
terbiasa dengan pembuatan dokumenter, apalagi misalnya cameraman studio. Cameraman
dokumenter harus jeli melihat situasi dan kondisi yang bisa terjadi kapan saja di lapangan. Yang
paling memungkinkan dari cameraman lain adalah cameraman berita. Jadi, sebagai produser
dokumenter harus dengan cermat ketika memilih kru yang akan diajak kerjasama. Juga ketika
memilih siapa yang akan menjadi sutradara dokumenter tersebut, beberapa produser lebih
nyaman bekerjasama dengan sutradara “langganannya”. Maka tidak mengherankan kalau
“sutradara yang itu” selalu dengan “produser yang itu” juga. Ini sebenarnya tidak hanya terjadi
dalam proyek dokumenter, di feature film pun sebetulnya demikian juga. Alasannya hamper
sama, sudah ketemu chemistrynya.
Pendanaan Dokumenter
Produser dokumenter harus mampu untuk presentasi pada client atau investor, jika film
dokumenter itu orderan atau pesanan dari investor bahkan produser harus terlibat pada banyak
tahapan tender/bidding. Jadi, produser dokumenter memang harus jago ngomong, harus bisa
memaparkan gagasan serta konsep dokumenter yang akan dibuatnya. Tema bukan segala-
galanya dalam film dokumenter, bahkan tidak sedikit tema sudah ditentukan oleh si penyandang
dana, yang paling penting adalah bagaimana agar tema tersebut bisa dipaparkan dalam sebuah
gagasan sehingga film dokumenter nantinya bisa menjadi karya yang baik, karya dengan story
telling yang baik. Ketika mengikuti beberapa kali tender project dokumenter, terkadang saya
suka senyum sendiri melihat berbagai gaya produser dalam presentasi, terutama ketika melihat
produser yang belum terbiasa presentasi di hadapan klien bule.
Membuat budget untuk pembuatan karya dokumenter haruslah cermat, produser harus bisa
mengestimasi budget riset hingga paska produksi sedetail mungkin. Demikian juga ketika
client/donor sudah mematok anggaran pembuatan dokumenter, produser tidak boleh akal-akalan
mensiasati budget dengan asal tebak. Jangan pernah menganggap donor tidak paham dengan
budgeting produksi dokumenter.
Di beberapa produksi dokumenter, tidak sedikit profesi penulis naskah dokumenter dihandle oleh
produser sendiri. Dokumentator Michael Moore misalnya, dalam karya dokumenternya, selain
sebagai produser dia sendiri yang menangani penulisan naskahnya, Roger and Me, dan Sicko,
juga dokumentator Morgan Spurlock dengan karya terkenalnya Super Size Me. Inilah salah satu
hal yang unik dalam pembuatan dokumenter, satu orang bisa merangkap untuk dua bahkan
sampai tiga jabatan. Produser juga, sutradara juga, penulis naskah juga. Ini tidak hanya terjadi di
luar sana, di Indonesia juga demikian. Beberapa film dokumenter disutradarai dan ditulis oleh
orang yang sama, seperti dokumentator mas Tonny Trimarsanto sama mas Wiranegara
misalnya. Kenapa jabatan bisa rangkap begitu? apalagi kalau bukan masalah budget dan masalah
efesiensi.
Di Lapangan
Ketika shooting selesai bukan berarti pekerjaan selesai,jadi produser memang repot. Proses
selanjutnya sudah menanti yakni paska produksi. Produser biasanya sudah memilih editor ketika
shooting belum dimulai. Ribuan shot yang tercerai berai harus diurai menjadi satu kesatuan
cerita oleh editor atau penyunting gambar. Sebelum melakukan penyuntingan gambar, editor
akan memaparkan konsep editing pada produser dan sutradara. Kalau sutradara mempunyai
treatment atau shooting script sebagai panduan di lapangan, maka editor harus memiliki post-
script sebagai panduannya, editor membuat paper edit yang dijabarkan pada sutradara dan
produser. Produser dokumenter selalu memantau pekerjaan editor, memantau di sini bukan
berarti intervensi, karena editor sudah tau apa yang akan dan harus dikerjakan. Produser
memberikan target kapan rough cut harus selesai, dan ini tentu saja didiskusikan dan disepakati
bersama dengan editor sebelumnya. Dalam presentasi pada klien, produser bisa melibatkan
editor untuk mendengarkan masukan dari klien. Pada kenyataanya tidak jarang pula editor
memberikan masukan pada produser dan sutradara.
Produser dokumenter memiliki tanggung jawab atas sukses tidaknya sebuah produksi
dokumenter, kegagalan karya film dokumenter berarti kegagalan seorang produser dokumenter.
Tulisan ini saya dedikasikan buat Agis Susanti yang sedang membuat karya dokumenter. Gis,
saya masih ada 2 janji lagi ya? Hemmm sabar ya….
TV Programming (part1)
Tentang TV Programming
Sebagai penonton, kita disuguhi berbagai acara televisi dari waktu ke waktu. Acara-acara itu
silih berganti, dari pagi sampai malam dan seterusnya. Beberapa stasiun televisi bahkan bersiaran
selama dua puluh empat jam dalam sehari, jadi sebetulnya “tidak bisa dilihat” kapan sebetulnya acara
tersebut dimulai. Tulisan di bawah hanya ringkasan saja bagaimana acara dibuat hingga
ditayangkan,dari sisi tv programming.
Pengaturan schedule acara tidak dilakukan begitu saja tanpa perencanaan serta evaluasi
setelahnya. Ada proses yang dilalui sehingga tayangan tersebut bisa secara rutin dilakukan stasiun
televisi. Yang mengatur itu semua dilakukan di satu departemen yakni Programming Departement. Di
dalam TV Programming akan tercakup :
Orientasi Program
Kebijakan Program
Strategi Program
Sumber Acara
Pola Acara
Kriteria Acara
Pengembangan Program
Untuk menjalankan ke 7 aspek di atas, programming memiliki harus memiliki strategi yakni : Counter
Programming, Block Programming, Hammock, Tentoling, dan Stunting.
NO TIME DAY
1 05.00-15.00 Slot Time Siaran Nasional
2 15.00-18.00 Slot Time Siaran Lokal
3 18.00-21.00 Slot Time Siaran Regional
4 21.00-24.00 Slot Time Siaran Nasional
5 24.00-05.00 Slot Time Siaran Nasona
Seperti sudah dibahas sebelumnya, tahapan penayangan acara televisi melewati tahap yang panjang
yakni :
1. Perancangan Program
2. Pra Produksi
3. Produksi
4. Paska Produksi
5. Tahap Penyiaran
6. SIARAN
7. Evaluasi
Karena tahap Pra Produksi, Produksi, serta Paska Produksi telah penulis bahas sebelumnya, jadi kali ini
hanya akan dibahas :
Pada tahapan ini aktivitas dimulai dengan mengumpulkan ide baik internal maupun eksternal sampai
menjadi sebuah desain program untuk mengisi atau sebagai masukan pada Pola Dasar yang memuat
judul, kriteria serta format program. Tujuannya yakni untuk mendapatkan sebuah desain program yang
tentu saja yang menarik serta memenuhi kebutuhan khalayak/penonton. Kegiatan yang dilakukan dalam
tahapan ini yakni :
1. Mengumpulkan Ide
2. Merancang Program
3. Mempelajari & Mengembangkan Ide untuk rancangan program
4. Mengkaji Program
5. Menganalisia & Menilai rancangan program, yang nantinya disetujui atau mungkin ditolak
menjadi desain program
Dari tahapan ini akan diperoleh : Jenis Program, Ide Program, Desain Program, serta Persetujuan.
Tahap Penyiaran
Tahapan ini merupakan tahapan menyiarkan program yang sudah dibuat tadi yakni program yang siap
siar sesuai dengan pola acara terpadu serta pola acara lokal. Tujuannya yakni untuk menyiarkan
program televisi yang sudah siap siar/on airing. Dalam Tahapan Penyiaran, terdiri atas :
Untuk memenuhi bahan layak siar tadi diperlukan penyimpanan khusus materi siaran yang berbentuk
perpustakaan/library bahan siar yang akan :
Jadi, pada intinya penyiaran merupakan kegiatan menyiarkan bahan layak siar yakni :
Merupakan kegiatan mengamati dan menilai penyiaran sebagai internal control terhadap kegiatan
penyiaran dengan tanggung jawab sebagai berikut :
Melalui unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif
yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat
berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan
dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).
Saya setuju dengan tesis yang dikemukanan ahli semiotika dunia Roland Barthes di atas, namun pada
tulisan saya kali ini justru akan lebih banyak melihat dari makna pertama utamanya unsur visual
(gambar) yakni makna denotatif. Penulis akan mencoba bagaimana makna-makna verbal itu dihasilkan
dari sisi praktisi, si pembuat pesan ( sinematografer, videografer, filmmaker, videomaker, broadcaster).
Secara spesifik penulis akan mengurai ada makna apa di balik sebuah shot. Ketika kita menonton sebuah
film atau tayangan televisi, sebenarnya kita sedang menyaksikan rangkaian shot dalam sebuah scene,
dan rangkaian scene dalam sebuah sequence, dan seterusnya hingga kita melihat tayangan atau film
secara utuh. Disadari atau tidak disadari sebenarnya penonton telah disuguhi ratusan bahkan ribuan
shot yang muncul silih berganti di layar televisi setiap harinya.
Pasti ada pesan yang ingin disampaikan oleh si pembuat dalam menciptakan rangkaian shot-shot tadi,
sayangnya tidak semua pesan bisa disampaikan dengan baik dan celakanya hal ini karena ”kesalahan”
dari si pembuat pesan. Shot semestinya tidak semata urusan teknis mekanis dan estetis,menyampaikan
pesan akan ”berurusan” dengan falsafah, the philosophy of the shot. Wah serumit itukah? mari kita
pahami sampai tuntas.
Belum ada kesepakatan tentang definisi yang benar-benar pas tentang apa itu sebenarnya shot. Ketika
kita menekan tombol rec atau start sampai kita tekan sekali lagi tombol yang sama, maka itu adalah satu
shot. Walaupun hanya satu detik atau bahkan sampai satu jam dari awal sampai akhir, baik bergerak
maupun diam.
Shot size/type of shot atau ukuran shot adalah besar kecilnya subjek dalam sebuah frame.Type of shot
itu terdiri atas :
Masing-masing ukuran shot di atas akan memiliki makna yang berbeda-beda ketika diimplementasikan
pada pengambilan sebuah gambar/shooting.
Long Shots, secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika :
Untuk mengikuti area yang lebar atau ketika adegan berjalan cepat
Ketika subjek
Untuk menunjukkan dimana adegan berada/menujukkan tempat
Untuk menujukkan progres
Untuk menjukkan bagaimana posisi subjek memiliki hubungan dengan yang lain
Medium Shots, type shot seperti ini yang paling umum kita jumpai dalam film maupun televisi. Jenis
shot ini adalah paling aman, karena tidak ada penekanan khusus seperti halnya pada Long Shots dan
Close Shots. Semua adegan bisa ditampilkan dengan netral di sini.
Close Shots, televisi adalah media close up. Awalnya premis ini karena berkaitan dengan hal teknis.
Pertama, acara dengan media televisi harus ditampilkan secara close up karena ukuran televisi yang
kecil jika dibandingkan dengan layar di bioskop. Ke dua, berbeda juga dengan bisokop, acara televisi
ditonton sambil lalu, akan lebih cocok menampilkan gambar-gambar dengan close shot/padat.
Tapi,yang perlu dipahami juga justru makna-makna yang ditampilkan ketika shot-shot itu dibuat secara
close up. Efek close up biasanya, akan terkesan gambar lebih cepat, mendominasi, menekan. Ada makna
estestis, ada juga makna psikologis.
MOVEMENT
Terdapat paradoks dalam menciptakan camera movement untuk menghasilkan perubahan visual ketika
mencoba membuat invisible movement. Secara teknis hal ini dimaksudkan untuk menghindari
bergesernya perhatian penonton. Caranya adalah dengan melakukan pergerakkan kamera yang
mengikuti pergerakkan subjek. Tapi yang harus diperhatikan tentu saja adalah tujuan atau motivasi dari
pergerakkan kamera itu dibuat. Secara umum, menurut Peter Ward dalam Digital Video Camerawork,
motivasi itu antara lain :
Secara khusus, ada dua kaidah dalam mengontrol camera movement, yakni menyesuaikan gerakkan
dengan aksi subjek sehingga gerakan kamera akan distimulasi oleh aksi dan yang kedua adanya
kebutuhan untuk menjaga komposisi yang baik selama pergerakkan.
Hampir di keseluruhan shot yang ditampilkan dalam film Emergency Room atau E.R. menggunakan
konsep ini, dengan demikian efek dramatis tercipta sehingga penonton akan merasakan bagaimana
suasana yang sangat dinamis di setiap ruang rumah sakit. Demikian juga di beberapa filmnya Rudy
Soedjarwo, walaupun menurut saya masih terasa nanggung. Jadi, apa sebenarnya motivasi Rudy
membuat film dengan konsep handheld tersebut ?
ANGLE
Secara mekanis, angle atau sudut pengambilan gambar itu berhubungan erat dengan lensa kamera, baik
jenis lensa yang digunakan maupun penempatan kamera itu sendiri. Masih menurut Ward, ruang
internal shot sering menonjolkan kualitas emosional dari adegan. Perspektif yang normal untuk
membangun shot sering digunakan secara gamblang dan langsung. Tinggi lensa akan mengendalikan
bagaimana penonton mengidentifikasi subyek. Lensa rendah akan mengurangi detail level latar belakang
dan menghilangkan indikasi antara latar belakang dengan objek. Posisi lensa yang tinggi memiliki efek
sebaliknya.
Low Angle
Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan
objek lebih superior, dominan, menekan.
High Angle
Kebalikan dari low angle, akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan
Dengan mengetahui dampak pesan yang akan tersampaikan dari sudut pengambilan gambar ini,
diharapan sinematografer atau videografer bisa mengkonstruksi shot-shot yang akan dibuat sesuai
dengan pesan apa yang ingin kita sampaikan pada penonton.
Satu sekuens yang sama akan dimaknai berbeda ketika pemlihan angle shot yan berbeda pula. Misalnya
adegan demontrasi mahasiswa, rangkaian petama : 1.long shot para demontrans, 2. high angle
demonstran teriak-teriak, 3. low angle polisi sedang menggebuki demonstran. 4. high angle demontran
kesakitan, sedangkan rangkain ke dua : 1.long shot para demontrans, 2. low angle demonstran teriak-
teriak, 3. high angle polisi sedang menggebuki demonstran. 4. low angle demontran.Dalam sekuens
pertama, penonton akan memaknai rangkaian shot tersebut bahwa ada demontrasi yang dilakukan
mahasiswa, polisi dengan superioritasnya bisa menangani aksi demontrasi itu dengan sikap represif,
mahasiswa teretekan. Sedangkan dalam rangkain shot pada sekuens ke dua, penonton akan melihat
demontrasi yang dilakukan mahasiswa walapun dijaga oleh para polisi, mahasiswa terlihat superior dan
mendominasi bahkan lebih gagah dari para polisi.
Ya, ini baru satu aspek saja yakni dari angle atau sudut pengambilan gambar bisa mengahsilkan efek
yang berbeda pada penonton. Jadi, angle menjadi elemen makna atau pesan. Pesan apa yang ingin
disampaikan pemberi pesan ?
Secara detail, Ward mengemukan bahwa sudut lensa mana yang dipilih tergantung dari tujuan shot,
yang terdiri atas :
Sandekala
Kembali ke media yang digunakan, ini cukup menarik karena ada konvergensi atau tepatnya ”konversi”
dari satu media ke media lainnya, dari novel (media cetak) ke teater (media ruang), dan dari teater ke
televisi (media eketronik). Dan bisa jadi nantinya dari televisi ke media internet (youtube,dsb).
Pementasan teater sendiri dimainkan oleh Mainteater dari Bandung, pementasan sendiri ada dua yakni
yang berbahasa Indonesia serta yang berbahasa Sunda. Sayang saya sendiri tidak sempat menyaksikan
pementasan yang berbahasa Sunda, padahal dipastikan saya akan mengerti pementasan yang
berbahasa Sunda karena sebagai orang Cianjur saya memahami betul bahasa ini.
Bagi penulis sendiri, meliput secara utuh acara teater untuk keperluan acara televisi merupakan
pengalaman pertama. Tidak terlalu banyak persiapan untuk peliputan dengan menggunakan
multicamera ini. Untungnya saya sempat melihat rehearsal pementasan teater yang dilakukan oleh
sutrdara dan para pemain. Pengambilan gambar atau shooting dilakukan dengan tehnik live on tape.
Sandekala berdurasi dua setengah jam rencananya akan dibagi menjadi 3 episode dan akan ditayangkan
di semua televisi lokal yang tergabung di Afiliasi TV Lokal Indonesia. Saat ini Sandekala sedang memasuki
tahap penyuntingan gambar.
Saya tidak tau persis seberapa banyak perubahan adaptasi dari karya novel ini ke dalam media teater.
Namun kalau dari teater ke televisi benar-benar tidak ada perubahan kecuali hanya perpindahan media
saja serta pembagian episode karena untuk penyesuaian durasi bagi keperluan on air.
Pementasan Sandekala terselenggara oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat seperti ICW, ELSAM,
WALHI, Praxis, Forum Diskusi Wartawan Bandung. Acara ini diliput untuk keperluan dokumentasi serta
tayangan televisi oleh SBM atau School for Broadcast Media Jakarta. Klik link ini untuk melihat detail
pemetasan Sadekala. Jika penasaran, untuk anda di daerah sedikit bersabar karena pementasan
sandekala akan segera hadir di televisi lokal dimana anda tinggal.