Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

Bab Satu

Pendahuluan

Jika Anda bertemu ular dan orang Rote di tengah hutan,


mana yang harus dibunuh terlebih dahulu?
Bagi mereka yang paham tentang orang Rote tentu akan menjawab
bunuhlah orang Rote, baru kemudian membunuh ular! (alasannya karena ular
tidak bisa menjadi orang Rote, tetapi orang Rote bisa menjadi ular)

Ungkapan di atas tidak lahir begitu saja tetapi melalui


perenungan yang panjang tentang sikap dan perilaku asli (identitas)
orang Rote di mana pun ia berdomisili, orang Rote dipandang sebagai
orang yang lihai dan licik seperti ular, bahkan melebihi ular. Lihai dan
licik seperti ular diartikan bahwa orang Rote adalah orang yang pintar
berdebat, pandai berargumentasi dan selalu saja ada alasan untuk
menghindar dari masalah atau memenangkan sebuah perkara, apapun
masalah atau perkara yang dihadapi, Nusak (Kerajaan) sebagai sebuah
lembaga peradilan adat adalah pintu terakhir tatkala perdebatan/
penyelesaian perkara tak berujung. Itulah makna dari ungkapan di atas
yang tidak saja populer di kalangan orang Rote tetapi juga pada orang
lain yang pernah berhubungan dengan orang Rote dan pada saatnya dia
akan memahami akan ungkapan di atas.
Memahami Pulau Rote dan memahami orang Rote itu sendiri
bukanlah perkara yang gampang, apalagi penulis merupakan orang
Rote yang dilahirkan di Kota Kupang dan melakukan penelitian di
Rote. Jika terjadi miss communication maka akibatnya adalah “jeruk
makan jeruk” alias “Rote makan Rote”, karena itu jangan langsung
percaya pada informasi pertama yang diperoleh, telusurilah dengan
teliti dan di sini lah pentingnya Triangulasi dari berbagai data sebagai
salah satu metode (Aditjondro, 2006). Untuk itu lah penulis mengawali
penelitian disertasi ini dengan melakukan obeservasi pendahuluan

1
Relasi Masyarakat dan Negara di Rote

untuk “memperkenalkan diri” dan “mengenal lokasi penelitian”


sebagaimana terpapar dalam uraian berikut ini.

Rote Ndao Kabupaten yang Sedang Mekar: Catatan Perjalanan ke


Rote
Mengunjungi Rote bukanlah hal yang baru bagi penulis, tetapi
mengunjungi dalam arti mengamati kehidupan masyarakat Rote untuk
kepentingan penelitian dan penulisan disertasi ini bukanlah perkara
yang mudah.
Perjalanan ke Rote, untuk kepentingan penelitian disertasi ini
penulis mulai pada awal bulan Agustus 20061, agak mendebarkan,
kapal cepat Expres Bahari bertolak dari dermaga Pelabuhan Tenau
pukul 08.30 Wita mengarungi gelombang ganas laut Sawu terutama
saat melintas Selat Puku'afu menuju Pelabuhan Penyeberangan Baa –
Kabupaten Rote Ndao. Gelombang setinggi 2,5–3 meter membuat kapal
oleng dalam kemiringan yang mencemaskan seluruh penumpangnya.
Bagi mereka yang pernah melintas Tenau (Kupang) – Baa tentu sudah
hafal dengan ganasnya laut di Selat Puku’afu dan orang Rote
menyebutnya Lolok.
Rote selama ini dianggap sebagai pulau paling selatan di
Indonesia. Tentu saja itu benar jika dilihat dari perspektif atau kategori
pulau berpenghuni. Sebenarnya pulau paling selatan adalah Pulau
Ndana, pulau terluar dekat Rote, tetapi tidak dihuni manusia dan kini
pulau itu dijaga oleh Pasukan TNI-AL karena Pulau Ndana merupakan
salah satu pulau terdepan di Indonesia. Setelah 40 menit berlayar
dalam arus gelombang yang mencemaskan, kapal memasuki laut yang

1 Pertimbangan penulis memilih kunjungan ke Rote pada bulan Agustus 2006 adalah

karena setiap menjelang tanggal 17 Agustus selalu diadakan Pameran Pembangunan


dalam rangka memeriahkan HUT RI di mana data dan informasi tentang pembangunan
Rote akan lebih mudah diperoleh karena ditampilkan dalam bentuk display pada setiap
stand pameran yang diikuti oleh seluruh SKPD yang ada di Rote
2
Pendahuluan

tenang di utara Rote. Sama seperti gugusan pulau lain di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) semisal Timor, Sumba dan Sabu.
Rote akhirnya dicapai dalam waktu sekitar 2,5 jam. Pulau
seluas 1.281,10 kilometer persegi ini tidak hanya bisa dicapai melalui
Baa dengan kapal cepat sekali sehari, tetapi juga dengan Kapal ASDP
jenis ro ro sehari sekali melalui Pelabuhan Penyeberangan Pantai Baru,
Olafuliha’a. Nelayan tradisional Rote biasanya ke Kupang dengan
perahu layar atau perahu motor dari pelabuhan rakyat Papela di Rote
Timur.2

Sumber: www.google.com/earth diunduh pada tanggal 11 September 2012


(penambahan teks oleh penulis)

Gambar 1.1. Foto Satelit Selat Puku'afu/Lolok.

Ketika mengayunkan kaki meninggalkan dermaga Ba'a, debu


beterbangan di sepanjang jalan melewati bekas rumah jabatan Bupati

2 Selain dengan menggunakan kapal laut, untuk mencapai Rote dapat dilakukan
dengan penerbangan perintis dari Bandara El Tari di Kupang menuju Bandara D.C.
Saudale di Lekunik-Rote.
3
Relasi Masyarakat dan Negara di Rote

Rote Ndao, gedung peninggalan Belanda (kini Kantor Dekranasda Rote


Ndao) hingga menuju pusat pertokoan: deretan kios sandang, pangan,
dan papan. Jalan-jalan di Baa sudah mulus dengan hotmix, sebagiannya
masih dalam pekerjaan pengaspalan.
Deretan beberapa kios dan beberapa toko penjual barang
pokok, dua buah hotel kelas melati, sebuah salon, enam warung makan
dan beberapa kantor menghiasi pusat keramaian di jalan Pabean. Jalan
ini mirip lorong pasar senggol, mobil dan sepeda motor parkir
sesukanya dan mulai sepi pukul tujuh malam. Kios dan warung makan
tutup antara pukul 19.30 – 20.00 wita. Bahkan jika ada warung makan
yang buka lebih dari pukul 20.00 wita, hampir pasti tidak ada makanan
lagi.
Pada Tahun 2006, hanya ada dua hotel melati dan sebuah
losmen kecil mirip tempat kost di pusat kota. Listrik PLN padam setiap
hari adalah hal biasa karena bergantung pada pasokan bahan bakar dari
Kupang, jika cuaca buruk dan kapal pengangkut bahan bakar tidak ada,
maka pemadaman listrik bisa berhari-hari sampai bahan bakar tersedia.
Ada juga kantor telekomunikasi dan beberapa kios telepon untuk
percakapan lokal dan interlokal. Warung telekomunikasi tidak
menyiapkan mesin faksimile, dan biasanya tutup pukul 20.00 wita,
tidak ada warung internet. Banyak pertamini (kios penjual BBM
Premium dan Solar) karena memang di Rote belum ada SPBU
Pertamina, tapi jangan harap untuk mendapatkan premium dan solar
di atas pukul 20.00 wita. Ada juga beberapa Rental Computer tapi sepi
pengunjung, mungkin karena letaknya jauh dari Kampus Universitas
Nusa Lontar, satu-satunya perguruan tinggi yang ada di Rote.
Telkomsel sudah beroperasi dan kekuatan sinyalnya
menjangkau hampir ke seluruh wilayah Rote. Jasa angkutan sepeda
motor (ojek) pun kini menggunakan telepon seluler untuk merebut
simpati pelanggan.
Gambaran tentang Baa dan sekitarnya tidak serta-merta sebagai
indikator kemajuan Kabupaten Rote Ndao secara keseluruhan. Sarana
dan prasarana dasar, seperti air, listrik, jalan raya dan telepon, masih
4
Pendahuluan

sangat minim dan jauh dari sentuhan pesatnya teknologi. Itulah


kondisi Baa dan sekitarnya pada pertengahan Tahun 2006 saat penulis
melakukan kunjungan “awal” untuk memulai penelitian disertasi ini.3

Mengapa Memilih Rote


Ada tiga alasan utama yang mendukung penulis memilih Rote
sebagai daerah penelitian disertasi ini. Pertama, Rote hanya memiliki
tradisi sejarah lisan4, mumpung sejarah lisan ini masih bisa
dipertahankan ke-orisinalitas-nya dengan cara mewawancarai orang-
orang tua (pelaku sejarah) yang masih hidup meski dalam jumlah yang
sangat terbatas. Kedua, studi tentang negara dan masyarakat di Rote
(termasuk peristiwa perlawanan di Nusak Delha pada Tahun 1960)
dalam aras disertasi, sejauh pengamatan penulis, belum ada peneliti
lain yang melakukannya, karena itu, penelitian ini dapat dikatakan
sebagai Penelitian Disertasi yang pertama tentang negara dan
masyarakat Rote. Ketiga, Rote mempunyai sejarah panjang perlawanan
masyarakat sipil terhadap negara yang bisa menjadi dasar munculnya
civil society yang khas Rote! Keempat, penulis sebagai putera Rote
merasa terpanggil untuk menulis dan meneliti tentang Rote, mengingat
dari sisi kuantitas, dapat penulis katakan bahwa sangat sedikit putera
Rote yang mau meneliti dan menulis tentang Rote pada sebuah jenjang
disertasi. Ketertarikan lainnya adalah Rote merupakan pulau terdepan
di bagian selatan Indonesia (dalam konteks pulau yang berpenghuni).
Kajian penelitian disertasi ini difokuskan pada relasi negara dan
masyarakat Rote. Untuk itu pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta
penjabaran permasalahan tersebut akan dipandu melalui pertanyaan

3 Perkembangan Kota Baa dan sekitarnya sesudah Tahun 2006 telah penulis paparkan

pada Bab 5
4 Secara subyektif dapat penulis katakan bahwa, hanya James J. Fox (1986) yang

mencatat Sejarah Rote (Nusak Termanu) secara sistematis dan didukung oleh metode
sejarah lisan yang kuat. Sementara tulisan Gyanto (1958); Manafe (1968); Doko (1974);
Widiyatmika (2007) dan Soh (2008) lebih banyak tidak mengemukakan sumber-
sumber yang jelas dan karena itu sulit dipercaya kebenarannya.
5
Relasi Masyarakat dan Negara di Rote

utama yakni Bagaimana Relasi Negara dan Masyarakat Rote yang


selanjutnya dijabarkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian
turunan yang dapat dirumuskan secara operasional sebagai berikut:
− Bagaimana perkembangan Civil Society di Rote pada masa lalu?
− Bagaimana perkembangan Civil Society di Rote sekarang ini
terutama pada periode Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2008
dan Pemilihan Umum Tahun 2009?
− Apa dampak Civil Society bagi pembangunan di Rote?
Semua pertanyaan penelitian tersebut di atas menjadi pokok
pikiran (tujuan yang hendak dicapai) di dalam penelitian ini, terutama
pokok pikiran yang berkaitan dengan perkembangan Civil Society di
Rote.

Memahami Masyarakat Rote


Dalam The Timor Problem, disertasi karya Ferdinand Jan
Omerling (1955) terdapat satu bagian yang menarik yang dicatat
dengan cermat oleh Omerling mengenai sifat orang Rote:

“Keengganan masyarakat Rote untuk mematuhi perintah-


perintah resmi terutama tampak pada waktu perhitungan
pajak tahunan. Banyak orang Rote yang tidak ditempat, pada
musim kemarau, ketika petugas pajak berkeliling untuk
memperkirakan panen agar dapat menentukan pendapatan
tahunan dari penduduk. Di dalam daftar pajak, nama-nama
kampung di Rote seringkali diikuti dengan catatan lari.
Orang-orang Rote yang dapat ditemui dan kepadanya
diajukan pertanyaan-pertanyaan biasanya dengan cara yang
sangat cerdik menyatakan dirinya melarat dan tak beruang”.

Laporan Omerling ini merupakan gambaran umum dari


perilaku orang Rote. Kenyataan yang perlu diperhatikan juga adalah
ketika melihat berbagai peristiwa penting yang terjadi di Rote adalah
bahwa tindakan untuk menghindar/menolak campur tangan pihak luar

6
Pendahuluan

telah berlangsung sejak lama (setidaknya dalam bentuk laten) antar


Nusak).
Selanjutnya James J. Fox (1996) yang melakukan penelitian
antropologi di Rote dalam bukunya Harvest of The Palm juga mencatat
bahwa:

“Orang Rote menganggap bahwa keterangan mengenai


kekayaan bukan suatu hal yang dibicarakan dengan terbuka.
Tidak ada orang Rote yang bersedia membicarakan harta
miliknya. Menghindari pertanyaan mengenai kekayaan
bukan suatu kemampuan yang unik bagi orang Rote, tetapi
merupakan suatu keahlian yang dengan pandai telah
dikembangkan. Demikian pula, bukan hanya merupakan
suatu keahlian yang dikembangkan untuk menghindarkan
penyelidikan dan campur tahan dari luar tetapi merupakan
suatu hal yang mendasar dalam gagasan dan kehidupan
mereka”.

Sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Omerling dan Fox


di atas, sesungguhnya dapat penulis katakan bahwa masyarakat Rote
telah lama mempraktekan otonomi daerah (mengatur daerahnya
sendiri)
Dengan demikian, untuk memahami masyarakat Rote pada
masa sekarang tentu tidak bisa lepas dari kisah kehidupan orang Rote
pada masa lampau dan itu bukanlah perkara yang mudah karena Rote
hanya memiliki tradisi sejarah lisan/tuturan. Persoalan yang kemudian
muncul adalah bagaimana merekonstruksikan kejadian yang sudah
berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lampau tentang Rote
di tengah-tengah “miskinnya” sumber tertulis tentang Rote.5 Atau
pertanyaan yang bisa dibangun adalah dari mana penulis memulainya?
Perlawanan di Bo’a pada Tahun 1932 dan 1960 dipilih sebagai pintu
masuk dalam memahami Rote untuk penelitian ini.

5 Dokumen tertulis tentang Rote kebanyakan tersimpan rapi di Gedung Arsip maupun

Perpustakaan di Negeri Belanda (Fox, 1996).


7
Relasi Masyarakat dan Negara di Rote

Perlawanan Bo’a (Tahun 1932 dan 1960) Sebagai Pintu Masuk


Penelitian
Pada tanggal 14 Mei 1960 terjadi perlawanan fisik antara warga
Bo’a (Nusak Delha) dengan Tim Penagih Pajak yang dibentuk oleh
Dewan Pemerintah Daerah Swapraja Rote Ndao. Perlawanan terjadi
karena warga Bo’a menolak membayar pajak pada pemerintah dengan
beberapa alasan6. Kasus perlawanan masyarakat Bo’a pada Tahun 1960
ini merupakan kasus perlawanan yang kedua, sebelumnya pada Tahun
1932 terjadi perlawanan yang sama dengan motif yang sama
(masyarakat Bo’a menolak membayar pajak) pada Belanda (lihat Tabel
7.1). Hal yang menarik adalah masyarakat Bo’a merupakan satu-
satunya kelompok masyarakat di Rote yang melakukan perlawanan
dengan motif menolak membayar pajak pada Tahun 1932 terhadap
Belanda maupun pada Tahun 1960 terhadap pemerintah Indonesia.
Karena itu, kasus perlawanan Bo’a pada Tahun 1932 dan 1960 ini
dijadikan pintu masuk bagi penulis untuk melihat lebih mendalam
relasi antara negara dan civil society di Rote, NTT.

Ruang Lingkup Penelitian dan Sumber Data


Studi-studi tentang civil society sangat dekat dengan kajian
sosiologi dan kajian politik. Namun, memilih Rote (Kabupaten Rote
Ndao) sebagai wilayah penelitian, maka pendekatan sosial politik,
sosial ekonomi dan sosial budaya menjadi sangat penting mengingat
masyarakat Rote saat ini terdiri dari berbagai latar belakang etnis,
agama, bahasa dan budaya serta aktivitas ekonomi yang tinggi sebagai
sebuah kabupaten “baru” di provinsi NTT.
Banyak laporan dan penelitian mengenai NTT dan khususnya
tentang Rote yang menunjukkan bagaimana daerah ini tidak mengenal
tradisi tulisan sebelum masa kolonial. Sampai saat ini sejarah tentang
Rote lebih banyak dituturkan daripada ditulis.

6 Penjelasan Lihat Bab 3


8
Pendahuluan

Sumber-sumber yang dipakai dalam disertasi ini, baik sumber


primer maupun sumber sekunder, dikumpulkan dari berbagai per-
pustakaan yang ada di Rote, Kupang, Makassar, Yogyakarta, Jakarta
dan Salatiga. Adapun yang dimaksud dengan sumber sekunder adalah
berbagai dokumen pemerintahan atau negara, baik yang terbuka
maupun yang tertutup untuk umum, sebagian besar terdapat dalam
arsip negara dalam bentuk arsip kertas maupun arsip foto. Berbagai
buku, tesis, disertasi, artikel jurnal, artikel media cetak, laporan
penelitian dan makalah seminar tentang Negara, Civil Society, dan
Rote digunakan sebagai sumber sekunder.7
Penyelidikan sumber arsip tentang Rote hanya sedikit
membawa hasil, antara lain karena ada banyak materi yang hilang.
Selain itu, sumber lainnya berada dalam keadaan rusak, tidak terbaca
(tulisan kabur karena di makan usia) sehingga tidak dapat
dimanfaatkan. Akibatnya, ada kemungkinan masih ada informasi
penting mengenai Rote yang belum terungkap.
Beberapa sumber sekunder lainnya yang bermanfaat dalam
disertasi ini adalah Omerling (1956); M. Manafe (1967); Doko (1974);
Fox (1977;1986;1996;2006), Netti (1997); Parimartha (2002); FanggidaE
(2002); Ardhana (2005); T. Messakh (2006); B. Messakh (2008;2009); V.
Manafe (2008); Soh (2008); Folabessy (2009), Haning (2006; 2010) serta
buku Sejarah Daerah NTT (1977;1978;1984) yang diterbitkan oleh
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan maupun sumber sekunder dari media cetak dan media
internet untuk mengungkap berbagai fakta sosial (social fact) terkini di
Rote. Selain data primer berupa hasil wawancara mendalam, dan
pengamatan lapangan.

7 Penjelasan lengkap dapat dilihat pada bagian Lampiran 1.


9
Relasi Masyarakat dan Negara di Rote

Struktur Penulisan Disertasi


Secara garis besar, disertasi ini terbagi dalam sembilan bab. Bab
1 secara khusus menguraikan latar belakang masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, sumber-sumber
dan struktur penulisan disertasi.
Bab 2 berupa Tinjauan Pustaka. Untuk mempertajam konsepsi
mengenai Negara dan Civil Society, maka tinjauan pustaka dibagi ke
dalam tiga sub bab. Sub bab pertama menelaah tentang konsep negara,
sub bab kedua membahas tentang konsep civil society (masyarakat sipil
sebagai the free public sphere) dan sub bab ketiga menggambarkan
tentang relasi negara dan civil society. Bagian terakhir dari bab dua
membahas kerangka pemikiran teoretis.
Bab 3 dan Bab 4 secara khusus membahas tentang sejarah Rote
dari masa ke masa, uraian sejarah yang diungkapkan pada bab tiga dan
bab empat tentu belum mewakili suatu pembabakan sejarah yang utuh
tentang Rote mengingat terbatasnya sumber-sumber sejarah baik
sumber lisan maupun sumber tulisan.
Bab 5 sampai dengan Bab 7 merupakan bab temuan empiris di
mana Bab 5 secara khusus membahas tentang Rote dalam konteks
pembangunan di NTT; Bab 6 secara khusus membahas tentang
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) baik Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) maupun Pemilihan Umum Nasional; dan Bab 7 membahas
tentang perkembangan civil society dan dampaknya di Rote.
Bab 8 merupakan bab sintesa teori yang berisikan perenungan,
dialog dengan teori dan temuan-temuan teoretis maupun praktis. Serta
Bab 9 merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari seluruh
pembahasan dalam disertasi ini. Uraian tentang Metode Penelitian
penulis tempatkan pada lampiran 1 dari disertasi ini dengan
pertimbangan agar tidak mengganggu “jalan cerita” disertasi dari Bab 1
sampai Bab 9. Keterkaitan antara Bab 1 sampai dengan Bab 9 dapat
penulis gambarkan dalam bagan berikut ini:

10
Pendahuluan

Bab 1. Pendahuluan

Bab 2. Tinjauan Pustaka Bab 3. Selayang Pandang

Bab 5. Rote Dalam Konteks Bab 4. Peristiwa Protes


Pembangunan di NTT Sosial di Rote

Bab 6. Pemilihan Umum Bab 7. Perkembangan Civil


di Rote Society dan Dampaknya

Bab 8. Ethnic State, Nation State,


dan Civil Society

Bab 9. Kesimpulan

Gambar 1.2. Struktur Penulisan Disertasi

11

Anda mungkin juga menyukai