Anda di halaman 1dari 5

KEUTAMAAN ILMU DAN MENUNTUT ILMU

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, karena itu Islam menempatkan orang
yang memiliki ilmu pada tempat yang istimewa dan strategis. Sebaliknya Islam memberikan
kecaman terhadap kebodohan dan orang-orang yang enggan untuk menuntut ilmu. Maka tidak
mengherankan jika kejayaan Islam hanya akan bisa diraih jika kaum Muslimin mampu
menguasai lapangan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat kita perhatikan dalam banyak ayat Al-
Qur`an dan Hadits, serta penjelasan para ulama.
Ada banyak penjelasan dalam Islam mengenai keutamaan ilmu dan para penuntut ilmu. Islam
dengan sangat tegas memandang bahwa ilmu itu bagaikan kehidupan dan cahaya, sebab tidak
akan ada kehidupan jika tidak ada cahaya dan cahaya itu adalah ilmu. Sedangkan kebodohan itu
adalah sumber dari segala kehancuran. Kehancuran yang berpangkal dari kegelapan karena
tiada ilmu dan akan berujung pada kematian. Allah SWT berfirman dalam Surat al-An’am ayat
122:

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali
tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang
baik apa yang telah mereka kerjakan.[8]
Ketika menjelaskan ayat di atas, Al-Hafidz Ibn Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan
sebuah misal yang telah Allah Ta’ala umpamakan untuk orang Mu’min yang dulunya mati
(berada dalam kesesatan, kehancuran serta kebingungan), kemudian dihidupkan oleh Allah
dengan iman, dan memberikan petunjuk serta taufik kepadanya dalam it-tiba’ para rasul-Nya.
{Dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia}, yaitu : dengannya ia mendapatkan petunjuk, bagaimana
ia bertindak serta bersikap. Dan cahaya yang dimaksud di sini adalah Al-Qur’an, sebagaimana
yang telah diriwayatkan oleh Al-’Aufi dan Ibn Abi Tholhah dari Ibn Abbas ra. Sedangkan As-
Suddi berpendapat: cahaya yang dimaksud di sini adalah Islam.[9]
Begitupun menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, ia menjelaskan bahwa ilmu adalah
kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Semua
kejahatan dan keburukan penyebabnya ialah tidak adanya kehidupan dan cahaya.[10]
Karena itulah Islam sangat memuliakan para penuntut ilmu. Salah satu bentuk pemuliaan itu
adalah dengan diberikannya janji surga bagi seorang penuntut ilmu yang senantiasa komitmen
dan sabar dalam menuntut ilmu. Kerinduan seseorang untuk dimasukkan ke dalam surga dan
keengganan seseorang dimasukkan ke dalam neraka, sangat bergantung sejauh mana
komitmen dan kesabaran seseorang dalam aktivitas menuntut ilmu. Ketika seseorang memiliki
kesungguhan dalam menuntut ilmu, terbuka luas jalan membentang baginya menuju surga,
namun sebaliknya keengganan seseorang dalam menuntut ilmu, ancaman adzab neraka sangat
pantas baginya. Hal ini menunjukkan betapa kemuliaan yang diberikan oleh Islam terhadap
aktivitas menuntut ilmu dan ini sekaligus menjelaskan akan penghargaan Islam terhadap ilmu.
Mengenai janji surga yang diberikan kepada para penuntut ilmu dapat dilihat dalam sabda
Rasulullah SAW berikut:
َ ‫ه بِهِ طَرِيْقًا إلَى ال‬
ِ‫جنَّة‬ ُ َ‫ه ل‬ َ َّ‫سه‬
ُ ‫ل الل‬ ً ْ ‫عل‬
َ ‫ما‬ ِ ِ‫س بِه‬ ِ َ ‫ك طَرِيْقًا يَلْت‬
ُ ‫م‬ َ َ ‫سل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫م‬
َ
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai ilmu, maka Allah memudahkan baginya
jalan menuju surga.” (HR. Abu Daud, At Timridzi, Ibn Hibban, dan Al Baihaqi, dari sahabat Abu
Darda ra)[11]
Sementara penyesalan orang-orang bodoh yang tidak mau mendengarkan peringatan Allah
SWT, dijelaskan dalam Surat al-Mulk ayat 10-11:

Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. Mereka mengakui
dosa mereka. Maka kebinasaanlah
bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.“[12]
Ayat dan hadits tersebut menegaskan beberapa hal penting:
Pertama, menuntut ilmu syar’i memudahkan jalan menuju surga dengan dua makna. Pertama,
Allah akan memudahkan para thalib al-ilmi -yang memiliki tujuan hanya untuk mencari
keridhaan Allah semata dalam mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan
mengamalkan konsekuensinya- untuk memasuki surga-Nya. Kedua, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga pada hari kiamat ketika ia melewati “shirath” dan dimudahkan dari
berbagai ketakutan, baik sebelum maupun sesudahnya.
Kedua, lalai menuntut ilmu adalah jalan menuju neraka. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata:
Allah SWT menjelaskan, bahwa di antara sifat penghuni neraka adalah bodoh, dan Dia menutup
pintu-pintu ilmu bagi mereka. Allah SWT melukiskan orang-orang yang celaka itu tidak
mempunyai ilmu. Selain itu Ia menyerupakan mereka terkadang dengan binatang ternak,
terkadang dengan keledai yang mengangkut muatan.

Ini menunjukkan buruknya kebodohan, kecaman untuk orang-orang bodoh, dan murka Allah
SWT terhadap mereka. Sementara di sisi lain, Allah SWT mencintai ahlul ilmi, memuji mereka,
dan menyanjung mereka[13]. Jelaslah bahwa orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu (bodoh) memiliki kedudukan berbeda dalam Islam. Karena itu Allah SWT menolak
menyamakan antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Hal ini dijelaskan dalam
firman-Nya Surat al-Zumar ayat 9:

Apakah kamu (orang musyrik) yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah pada waktu
malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya ? Katakanlah : “ Apakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui ?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat
menerima pelajaran.[14]
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Islam orang berilmu dengan yang tidak berilmu
memiliki kedudukan yang berbeda. Bahkan perbedaan itu disamakan oleh Allah dengan
perbedaan antara penghuni surga dengan penghuni neraka, sebagaimana dalam firman-Nya
Surat al-Hasyr ayat 20 :
“Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga; para penghuni surga itulah
orang-orang yang beruntung. ”[15]
Karena sebagaimana dijelaskan di atas bahwa janji yang diberikan bagi para penuntut ilmu
adalah surga sementara janji yang diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki ilmu
adalah neraka. Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang
berilmu.
Keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu ini juga tercermin dari diperbolehkannya iri
(hasad) terhadap orang yang berilmu. Padahal iri adalah sifat tercela dan tidak layak menjadi
perangainya orang-orang yang beriman. Larangan iri salah satunya dikarenakan dampak buruk
yang diakibatkan oleh sifat iri pada diri seorang Mu`min bahkan orang kafir sekalipun, maka
sifat ini dilarang oleh agama.
Namun tidak demikian dengan seseorang yang iri terhadap orang yang berilmu. Karena iri
terhadap orang yang berilmu akan berdampak positif bagi orang yang iri, maka iri terhadap
orang yang berilmu dibolehkan oleh agama, dan bahkan dipuji. Sebagaimana yang Rasulullah
SAW sebutkan dalam haditsnya:

َ‫ة فَهُو‬ ً ‫م‬َ ْ ‫حك‬ِ ‫ه‬ ُ ‫ل اَتَاه ُ الل‬ٌ ‫ج‬ُ ‫حقِّ وَ َر‬َ ‫ط ع َلَى هَلْكَتِهِ فِي ال‬ َ َّ ‫سل‬َ َ‫مااًل ف‬ َ ‫ه‬ ُ ‫ل اَتَاه ُ الل‬
ٌ ‫ج‬ ‫ح َ اَّل‬
ِ ْ ‫سد َ إ ِ فِي اثْنَتَي‬
ُ ‫ن َر‬ َ ‫اَل‬
‫مهَا‬ُ ِّ ‫ضي بِهَا وَيُعَل‬ ِ ْ‫يَق‬
“Tidak boleh iri hati kecuali kepada dua orang, orang yang diberi Allah harta kemudian dia
menggunakannya di dalam kebenaran dan orang yang diberi Allah hikmah (ilmu) kemudian ia
memutuskan (perkara) dengannya dan mengajarkannya.”(HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin
Mas’ud ra) [16]
Karena itu Syaikh al-Sa`di[17] membagi hasad menjadi dua macam: hasad madzmum (tercela),
dan hasad mamduh (terpuji) dalam setiap keadaan. Yang dimaksud dengan hasad mamduh
adalah sebagaimana pengertian hasad dalam hadits tersebut di atas, dan hasad jenis ini masuk
dalam bab Tamannil Khair (mengharapkan kebaikan). Sedangkan yang dimaksudkan dengan
hasad madzmum adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, baik dalam urusan-
urusan agama atau dalam urusan-urusan keduniaan. Baik terbesit dalam hati atau dalam
bentuk usaha menghilangkan kenikmatan itu. Inilah hasad yang dilarang karena ia merupakan
sifat tercela[18]. Sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW:
‫ب‬َ َ ‫حط‬ َ ْ ‫ار ال‬ُ َّ ‫ل الن‬ُ ُ ‫ما تَأْك‬
َ َ ‫ات ك‬
ِ َ ‫سن‬َ ‫ح‬ ُ ُ ‫سد َ يَأْك‬
َ ْ ‫ل ال‬ َ ْ ‫ن ال‬
َ ‫ح‬ َّ ِ ‫سد َ فَإ‬ َ ‫ح‬َ ْ ‫م وَ ال‬ْ ُ ‫إيَّاك‬
“Hendaknya kamu jauhi sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu bisa merusak kebaikan
sebagaimana api memakan kayu bakar”[19].(HR. Abu Dawud dari sahabat Abu Hurairah ra)
Untuk menggali lebih lanjut keutamaan ilmu dalam kehidupan dan kedudukan yang istimewa
bagi orang yang berilmu, dapat ditelaah dari pembahasan tafsir ayat keempat dari Surat al-
Maidah ayat 4 berikut;
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah:
“Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh
binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat
cepat perhitungan-Nya“ [20].

Mayoritas ulama menempatkan penjelaan ayat keempat dari surat al-Maidah ini dalam
pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqh (tentang halal atau haramkah binatang hasil
tangkapan). Sementara Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah melihat ayat ini dalam konteks ilmu
yang khas. Ia menjelaskan:
Allah SWT mengkategorikan hasil buruan anjing bodoh sebagai bangkai yang haram dimakan
dan memperbolehkan memakan hasil buruan anjing terlatih. Ini menunjukkan kemuliaan ilmu,
jika tidak ada kemuliaan ilmu, maka antara anjing terlatih dengan anjing bodoh tidak ada
perbedaan sama sekali.[21]
Dengan demikian keutamaan ilmu tidak hanya berlaku bagi manusia, bahkan binatang
sekalipun Allah bedakan karena ilmunya. Hal ini disebabkan karena ilmu dapat memberikan
perubahan positif kepada pemiliknya.
Keutamaan lain dari ilmu dan para penuntut ilmu adalah disebutkannya aktifitas menuntut ilmu
sebagai dzikir. Sekalipun selama ini aktifitas berdzikir seringkali tidak difahami terkait dengan
aktifitas keilmuan. Berdzikir lebih sering difahami sebagai suatu aktifitas membaca kalimat-
kalimat dzikir dengan jumlah tertentu dan bahkan sering terkait dengan tempat tertentu.
Padahal antara ilmu dan dzikir merupakan sesuatu yang identik, karena aktifitas membaca,
merenungkan, memahami ayat-ayat Allah, baik yang tersurat di dalam ayat-ayat tanziliyah
maupun ayat-ayat kauniyah yang terbentang luas di alam jagat raya, adalah merupakan aktifitas
berdzikir. Sehingga ahl al-Dzikr di dalam Al-Qur`an dimaknai dengan ahl al-‘ilm, sebagaimana
Allah menyebutkan dalam firmanNya surah al-Nahl ayat 43;

Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami
beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.[22]
Terkait dengan ayat tersebut Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwasanya Allah SWT
memerintahkan manusia untuk bertanya dan merujuk kepada Ahl al-Dzikr apabila ada perkara-
perkara yang mereka tidak mengetahuinya, dan yang dimaksud dengan Ahl al-Dzikr adalah ahl
al-’Ilmi (orang yang mengetahui) apa yang telah diturunkan kepada para Nabi.[23].

Anda mungkin juga menyukai