Anda di halaman 1dari 12

Hipotiroid Kongenital Primer pada Bayi Berusia 2 Bulan

Kadek Yoga Trisnayasa


102017181
B6
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510

Kyoga91@gmail.com

Abstrak

Hipotiroid kongenital adalah kurangnya produksi hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hal
ini dapat terjadi karena cacat anatomis kelenjar tiroid, kesalahan metabolisme tiroid, atau
kekurangan iodium. Hormon tiroid memiliki peran vital dalam pertumbuhan, metabolisme, dan
pengaturan cairan tubuh. Kekurangan hormon tiroid dapat menyebabkan kegagalan
pertumbuhan, juga dapat mengakibatkan keterbelakangan mental pada penderitanya. Setelah di
diagnosis, bayi dengan hipotiroid kongenital segera dilakukan pengobatan dan pencegahan agar
bayi tidak cacat atau meninggal, serta mengoptimalkan potensi tumbuh kembang. Penyakit
hipotiroid kongenital dapat disembuhkan secara total, jika pengobatan dilakukan sejak dini.

Kata kunci: Hipotiroid kongenital, hormon tiroid, pengobatan

Abstract

Congenital hypothyroidism is the lack of thyroid hormone production in newborn infants.


This can occur because of anatomical defects of the thyroid gland, thyroid metabolism errors, or
iodine deficiency. Thyroid hormone has a vital role in the growth, metabolism, and regulation of
body fluids. Thyroid hormone deficiency can cause growth failure, mental retardation can also
result in the sufferer. Once diagnosed, infants with congenital hypothyroidism immediate
treatment and prevention of infant disability or death, as well as optimizing the potential for
growth and development. Congenital hypothyroidism disease can be cured if treatment is done
early.

Keywords: Congenital Hypothyroidism, thyroid hormone, treatment

1
Pendahuluan

Hormon tiroid berperan penting sebagai pengatur sistem saraf, pertumbuhan dan
pubertas, perkembangan gigi dan tulang, metabolisme dan fungsi organ. Kekurangan produksi
hormon tiroid (hipotiroidisme) pada masa bayi yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan
kerusakan permanen sistem saraf, keterlambatan perkembangan, gangguan pendengaran dan
bicara. Hal ini karena sistem tiroid belum matang sehingga sangat rentan terhadap disfungsi
tiroid.1

Hipotiroid kongenital adalah kurangnya produksi hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hal
ini dapat terjadi karena cacat anatomis kelenjar tiroid, kesalahan metabolism tiroid, atau
kekurangan iodium. Prevalensi hipotiroid di Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 didapatkanka data Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
sebagai salah satu penunjang diagnostik hipotiroid, didapatkan 2,7% pada laki-laki dan 2,2%
perempuan.2

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kekurangan hormon tiroid pada bayi atau
hipotiroid kongenital. Selain membahas hipotiroid kongenital juga akan dibahas penyakit-
penyakit yang akan menjadi diagnosis banding serta tata laksananya.

Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non-verbal mengenai riwayat penyakit si pasien.
Tujuan anamnesis adalah untuk mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan penyakitnya
dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis. Anamnesis yang baik terdiri dari identitas
(nama, alamat, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, kondisi
lingkungan tempat tinggal untuk mengetahui apakah itu penyakit menular atau tidak.2

Pertanyaan mendasar yang perlu ditanyakan adalah kemungkinan penyebab, keluhan dan
gejala klinis antara lain:

2
1. Riwayat penyakit Sekarang
o Keluhan utama
 Sejak kapan kulit bayinya berubah warna kuning?
o Keluhan tambahan
 Apakah disertai dengan lemas, konstipasi, menangis dengan suara serak
sebagai gejala lain yang mendukung hipotiroidisme.
o Riwayat Kehamilan
 Apakah ada penyakit tiroid pada masa kehamilan seperti graves disease
pada ibu atau kanker tiroid?
 Apakah ada riwayat penyakit aritmia jantung pada ibu? Jika ada, apakah
jenis obatnya? Konsumsi obat amiodarone yang kaya akan yodium
memicu terjadinya hipotiroidisme didapat.
 Apakah ada pengobatan tertentu saat kehamilan? Seperti terapi iodine dan
pemberian radioiodine?
o Riwayat Persalinan
 Proses persalinan secara section caesaria yang menggunakan iodine
memiliki kemungkinan menyebabkan hipotiroidisme kongenital
2. Riwayat Kelahiran
 Berapakah berat badan lahirnya?
 APGAR score untuk mengetahui tonus otot saat lahir
 Apakah dilakukan screening test hipotiroidisme?
3. Riwayat Penyakit Dahulu
o Apakah dulu pernah kelainan seperti ini? Untuk membedakan penyebab
hipotiroidisme kongenital ataupun didapat?
o Apakah ada riwayat pengobatan dari penyakit tiroid seperti tindakan tiroidektomi
o Apakah ada riwayat penyakit aritmia jantung sehingga konsumsi obat
amiodarone?
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
o Apakah ada keluarga dengan riwayat hipotiroidisme karena auto antibodi?
5. Riwayat Pribadi Sosial dan Alergi
o Konsumsi ASI eksklusif

3
Hasil anamnesis yang dilakukan kepada ibu bayi tersebut didapatkan bahwa bayi tersebut
berusia 2 bulan tampak lebih sering tidur dan malas menetek sejak 1 minggu yang lalu, sejak
sakit anak tampak kurang aktif, kuning, dan memiliki riwayat sembelit sejak usia 1 bulan.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik adalah tindakan pemeriksaan yang dilakukan langsung dari diri
pasien. Hal pertama yang harus dilakukan oleh dokter adalah memperhatikan kesadaran dan
keadaan umum pasien, selanjutnya dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Setelah anamnesis
selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai dengan pemeriksaan objektif yaitu
tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu, dan tingkat kesadaran, inspeksi, palpasi,
pergerakan.3
 Keadaan umum bayi tampak letargi
 TTV bayi dengan suhu 36,2oC, laju nafas 40x/menit, laju nadi 120x/menit
 Kepala: ubun-ubun terbuka datar dan lebar
 Wajah: tampak sembab, pangkal hidung datar
 Badan ; ikterus pada badan
 Refleks melambat dan hipotonus

Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang paling
sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila skor indeks
hipotiroid kongenital >4/13 kriteria. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak tidak
menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.3

CLINICAL STIGMATA SCORING

1. Feeding Problems 1

2. Constipation 1

3. Lethargy 1

4. Hypotonia 1

5. Coarse Facies 3

4
6. Macroglossia 1

7. Open Posterior Fontanel 1.5

8. Dry Skin 1.5

9. Mottling of Skin 1

10. Umbilical Hernia 1

Total 13

Tabel 1 : Qwebec clinical scoring hipotiroid kongenital3

Pemeriksaan penunjang

TSH
Bila nilai TSH <25µU/ml dianggap normal; kadar TSH >50 µU/ml dianggap abnormal
dan perlu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi >
40µU/ml dan T4 rendah, < 6 µg/ml, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 µU/ml,dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu
kemudian.3
FT4
Pemeriksaan ini menggambarkan hormon yang aktif bekerja pada sel-sel tubuh, yaitu
sekitar 0.03 persen dari T4 total yang tidak berikatan dengan protein.4
USG
Color Doppler ultrasonografi, tidak menggunakan radiasi, prosedur ini merupakan
alternatif pertama yang dianjurkan untuk pencitraan tiroid. Ultrasound memberikan informasi
tentang morfologi kelenjar tiroid dan merupakan modalitas yang andal dalam menentukan
ukuran dan volume kelenjar tiroid serta dapat membedakan apakah nodul tersebut bersifat kistik,
padat atau campuran kistik-padat. Ultrasonografi juga dapat digunakan sebagai penuntun
biopsy.4

5
Diagnosis kerja

Hipotiroid kongenital permanen primer

Hipotiroid kongenital adalah kurangnya produksi hormon tiroid pada bayi baru lahir. Hal
ini dapat terjadi karena kelainan anatomi kelenjar tiroid, gangguan metabolisme pembentukan
hormon tiroid, atau kekurangan iodium. Masa pembentukan jaringan otak dan periode
pertumbuhan pesat susunan saraf pusat terjadi pada masa kehamilan dan tiga tahun pertama
kehidupan anak. Bila seorang bayi dengan hipotiroid kongenital tidak diketahui dan tidak diobati
sejak dini, pertumbuhannya terhambat dan mengalami retardasi mental. Hipotiroid kongenital
dapat terjadi permanen seumur hidup atau hanya sementara (transien), tetapi karena terjadi pada
masa perkembangan pesat otak dapat berdampak besar pada perkembangan anak. Hipotiroid
kongenital yang terjadi pada bayi baru lahir dengan ibu bukan penderita kekurangan iodium,
tidak menunjukkan gejala yang khas karena bayi masih dilindungi hormon tiroid ibu melalui
plasenta. Pada bayi hipotirod kongenital dari ibu yang menderita kekurangan iodium gejalanya
lebih berat.1

Diagnosis hipotiroidisme primer dikonfirmasi dengan menunjukkan penurunan kadar


hormon tiroid serum (total atau T4 bebas) dan peningkatan kadar thyroid stimulating hormone
(TSH). Jika ibu dicurigai hipotiroidisme dimediasi antibodi, antibodi anti tiroid ibu dan bayi
dapat mengkonfirmasi diagnosis antibodi tersebut. Merupakan penyebab umum dari
hipotiroidisme kongenital. Kombinasi total serum kadar T4 rendah atau normal rendah dan TSH
serum dalam kisaran normal menunjukkan thyroid-binding globulin defisiensi (TBG). Gangguan
ini menyebabkan kongenital ada konsekuensi patologis, tapi tidak perlu pemberian hormon
tiroid.1

Diagnosis banding

Hipotiroid Kongenital Sekunder

Diagnosis hipotiroid sekunder/tersier: kadar T4 bebas menurun, kadar TSH juga menurun.
Meski demikian, interpretasi hasil fungsi tiroid tersebut sulit dilakukan pada bayi prematur atau
yang mengalami penyakit non tiroid karena sering dijumpai kadar T4 dan T3 rendah dengan TSH
normal. Pada bayi prematur, kadar T3 dan T4 akan kembali normal pada usia 12 bulan, sedangkan
pada penyakit non tiroid, nilai akan kembali normal setelah penyakit itu diatasi. Pada kasus

6
dengan hasil fungsi tiroid yang meragukan, bila bayi cukup bulan, maka pemeriksaan skintigrafi
tiroid dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis. Namun bila bayi prematur, pemeriksaan
kadar T4 dan TSH perlu dilakukan secara serial; umumnya kadar T4 akan terus menurun dan TSH
akan meningkat.1

Down Syndrom

Anak dengan DS seringkali didagnosis pada masa neonatus. Bayi-bayi ini umumnya
memiliki berat dan panjang lahir normal, dan hipotoni. Saat lahir didapatkan penampilan wajah
yang karakteristik dengan brakisefali, oksiput datar, hipoplasia midface, flattened nasal bridge,
fisura palpebra yang mengarah ke atas, lipatan epikantus, dan lidah besar yang menonjok. Bayi
juga memiliki tangan pendek yang lebar, seringkali disertai guratan palmar melintang dan jarak
yang lebar antara jari kaki pertama dan kedua. Hipotonia yang berat dapat menyebabkan masalah
makan dan penurunan aktivitas. Satu persen bayi dengan DS mengalami hipotiroidisme
kongenital, yang diidentifikasi melalui program skrining bayi baru lahir. 40% ada penyakit
jantung bawaan, meliputi kanal atrioventrikular, defek septum ventrikel atau atrium, dan
kelainan katup. 10% bayi baru lahir dengan DS memiliki anomali traktus gastrointestinal.3

Atresia Bilier

Ikterus akibat atresia bilier biasanya tidak segera tampak saat lahir, namun mulai muncul
dalam minggu pertama hingga minggu kedua kehidupan. Adanya ikterus, ada gagal tumbuh, urin
berwarna hitam atau gelap, tanda-tanda perdarahan, hepatomegali. Tes fungsi skrining TSH dan
FT4 untuk mendukung dugaan hipotiroidisme.3

Lysosomal Storage Disease (LSD)

LSD adalah sekumpulan kelainan genetik dimana di dalam lisosom tidak terdapat atau
tidak aktifnya enzim-enzim hidrolitik yang diperlukan untuk mencerna zat-zat yang tidak
diperlukan sehingga menumpuk dan terakumulasi di dalam sel-sel tubuh sehingga akan
menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Adapun gejala Red Flag dari LSD, yaitu:5

 Bentuk wajah yang tidak biasa kadang-kadang terdapat perluasan lidah


 Mata terlihat buram
 Kulit berwarna ungu-kebiruan

7
 Perut membuncit yang mengindikasikan ada pembesaran organ dan hernia
 Skeletal deformitas
 Tubuh pendek, sukar untuk tumbuh/berkembang, deformitas rangka
 Kelemahan otot, kemunduran dalam kemampuan motorik
 Penyakit jantung dan paru-paru

Etiologi

Penyebab tersering ialah defisiensi yodium yang merupakan komponen pokok tiroksin
dan triiodotironin. Hipotiroidisme kongenital terjadi pada 1 per 4000 kelahiran hidup dan dapat
disebabkan oleh disgenesis tiroid kelainan embriogenesis (agenesis, aplasia, ektopik) dan
dishormogenesis (misalnya defek enzim). Disgenesis tiroid dan kelainan embriogenesis jauh
lebih sering dijumpai daripada dishormogenesis. Hipotiroidisme sekunder atau tersier terisolasi,
terjadi pada 1 per 100.000 kelahiran hidup; kadar T4 normal atau rendah.3

Epidemiologi

Berdasarkan data di unit endokrinologi dari beberapa rumah sakit di Indonesia tahun
2010 ditemukan 595 kasus hipotiroid kongenital. Di RSCM pada tahun 1992-2004 terdapat 93
kasus dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki adalah 57:36 (61%:39%). Thyroid
Stimulating Hormon (TSH) sebagai salah satu penunjang diagnostik hipotiroid sebesar 2,7%
pada laki-laki dan 2,2% perempuan.1

Manifestasi klinis

Hipotiroidisme kongenital pada periode neonatus biasanya tidak jelas tetapi kemudian
menjadi semakin jelas dalam beberapa bulan atau beberapa minggu setelah lahir. Pada saat itu,
sudah cukup terlambat untuk memastikan tidak terdapat gangguan perkembangan kognitif pada
bayi.3 Tanda dan gejala yang dapat muncul pada hipotiroid kongenital menurut Kemenkes RI
tahun 2014, adalah penurunan aktivitas (letargi), kuning (ikterus), makroglosi (lidah besar),
hernia umbilikalis, hidung pesek, konstipasi, kulit kering, skin mottling (burik), mudah tersedak,
suara serak, hipotoni (tonus otot menurun), ubun-ubun melebar, perut buncit, mudah kedinginan
(intoleransi terhadap dingin), miksedema (wajah sembab), udem scrotum. Gejala dan tanda klinis
yang sering dijumpai pada hipotiroidisme kongenital menurut literatur yaitu ikterus, problem

8
makan, kesulitan bernafas sebagian disebabkan adanya makroglosia, konstipasi yang biasanya
tidak respons terhadap pengobatan, perut membesar disertai hernia umbilikalis, serta
pertumbuhan dan perkembangan terlambat. 1,5

Patofisiologi

Hipotiroid kongenital dapat terjadi melalui beberapa jalur mekanisme:1

1. Agenesis tiroid dan kondisi lain yang menyebabkan sintesis hormon tiroid menurun.
Dalam hal ini kadar TSH akan meningkat tanpa adanya struma
2. Defisiensi yodium. Sintesis dan sekresi hormon tiroid akan menurun sehingga meransang
hipofisis untuk mengeluarkan TSH lebih banyak. Pada awalnya ditemukan pembesaran
kelenjar tiroid sebagai kompensasi dan peningkatan TSH dengan kadar hormon tiroid
normal. Namun selanjutnya, pada stadium dekompensasi ditemukan struma difusan dan
peningkatan TSH dengan hormon tiroid yang menurun.
3. Dishormogenesis yakni segala seusatu yang dapat mengganggu atau menurunkan sintesis
hormon tiroid. Dapat berupa hormon tiroid itu sendiri, inflamasi, infeksi,
pascatiroidektomi, dan sebagainya. Hormon tiroid akan menurun, disertai kadar TSH
yang tinggi, dengan/tanpa struma
4. Kelainan hipofisis. Kadar TSH menurun sehingga hormon tiroid akan menurun. Kondisi
ini tidak disertai struma
5. Kelainan hipotalamus. Kadar TRH menurun sehingga TSH akan menurun dan hormon
tiroid akan menurun. Kondisi ini tidak disertai dengan struma.

Belakangan ini diketahui bahwa janin hipotiroid mengkompensasi sebagian dari


defisiensi tersebut dengan menyalurkan T4 yang didapat ibu dalam jumlah minimal ke otak. Di
otak, T4 akan diubah menjadi T3 oleh deiodinase otak yang spesifik. Proses kelahiran akan
memutuskan penyaluran T4 tersebut.3,5

Tatalaksana

1. Medikamentosa.

9
Prinsip terapi ialah replacement therapy. Terapi bisa seumur hidup karena tubuh tidak
dapat mencukupi kebutuhan hormon tiroid. Preparat L-tiroksin diberikan dengan dosis sesuai
usia. Dosis awal diberikan tinggi, terutama pada usia periode perkembangan otak. (lihat table 2)3

Tabel 2. dosisi L-Tiroksin pada Hipotesis Kongenital.3

Terapi hipotiroidisme kongenital berupa pemberian preparat hormon tiroid yaitu natrium
levotiroksin dengan dosis yang dianjurkan menurut umur dan berat badan. Tujuan terapi adalah
untuk mencapai kadar T4 dalam batas 10-16 µg/dl dan secara sekunder mencapai kadar TSH
dalam batas normal. Bila terapi sudah diberikan pada hipotiroidisme kongenital, maka kadar
tiroksin (T4) dan tirotropin (TSH) harus diulang setiap bulan sampai mencapai kadar normal,
kemudian setiap 3 bulan sampai tahun ke-3, setelah itu kadar T4 dan TSH diperiksa setiap 6
bulan.3

2. Terapi suportif
Mengatasi anemia berat, serta rehabilitasi atau fisioterapi pada kasus dengan retardasi
perkembangan motorik yang telah terjadi, termasuk pemantauan nilai IQ. Bisa dilakukan kontrol
rutin dan konseling genetik.5

Pencegahan

Pencegahan primer pada penyakit ini berupa pengendalian faktor risiko terjadinya
hipotiroid kongenital. Pencegahan sekunder dapat berupa deteksi dini penyakit hipotiroid
kongenital dengan tes skrining pada bayi baru lahir.
Pengendalian faktor risiko
Faktor risiko hipotiroid kongenital permanen adalah usia ibu saat melahirkan (>40 tahun),
bayi perempuan lebih tinggi dari bayi laki-laki, usia kehamilan < 37 minggu atau > 40 minggu,
kelahiran kembar (gemelli), adanya malformasi kongenital. Pada hipotiroid kongenital transien
sering berkaitan dengan adanya usia kehamilan prematur dan retardasi pertumbuhan. Upaya
pencegahan primer pada HK dapat dilakukan dengan pengendalian faktor-faktor risikonya.

10
Faktor risiko yang dapat dikedalikan antara lain: usia ibu melahirkan, usia kehamilan premature
dan postmature, dan pernikahan keluarga dekat.5
Tes skrining
Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi adanya gangguan kongenital sedini mungkin,
sehingga bila ditemukan dapat segera dilakukan intervensi secepat mungkin. Hipotiroid
kongenital sangat jarang memperlihatkan gejala klinis pada awal kehidupan, sehingga
pengobatan sering terlambat. Keterlambatan pengobatan menyebabkan anak mengalami
keterbelakangan mental dengan intelligence quotient (IQ) dibawah 70.1
Pelaksanaan skrining hipotiroid kongenital dilakukan dengan mengambil sampel darah
kapiler dari permukaan lateral kaki bayi atau bagian medial tumit, pada hari ke 2 sampai 4
setelah lahir. Darah kapiler diteteskan ke kertas saring khusus. Kertas saring tersebut dikirim ke
laboratorium yang memiliki fasilitas pemeriksaan Thyroid-Stimulating Hormone (TSH).1

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi bila hipotiroid ini tak ditangani segera, anak pasti
mengalami gangguan pendengaran, karena saraf pendengarannya terganggu. Demikian pula
pertumbuhannya terganggu alias bertubuh pendek. Selain itu juga, 12% kasus hipotiroid
kongenital pasiennya mengalami jantung kongenital akibat penurunan kadar hormon tiroid,
terutama triiodothyronine (T3). T3 memberikan manfaat tertentu dengan relaksasi otot polos
pembuluh darah sehingga membantu untuk menjaga dan melebarkan pembuluh darah. T3 terkait
erat dengan denyut jantung dan output jantung.2,6

Prognosis

Jika diagnosis yang ditegakkan terlambat maka bayi akan mengalami kelambatan
perkembangan, pertumbuhan fisik dan mental. Sedangkan, jika terapi dimulai pada usia kurang
dari 1 bulan, maka prognosis untuk perkembangan intelektualnya baik.2

Kesimpulan

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan
bahwa bayi tersebut mengalami hipotiroid kongenital yang diakibatkan oleh defek enzim
herediter akibat kegagalan sintesis T3 dan T4 normal. Gejala yang dapat diamati ialah bayi yang
somnolen dan hipoaktif hingga menyebabkan gangguan pemberian makan, tangisan parau, lidah

11
besar, ikterus, kulit bersisik yang kering dan kasar. Diagnosis dipastikan melalui pemeriksaan
radioimunoasai yang memperlihatkan penurunan kadar T3 dan T4 serta peningkatan TSH.
Penyakit hipotiroidisme ini dapat dicegah dengan dilakukannya skrining awal setelah lahir,
karena penting untuk mengetahui kenormalan bayi dan dapat diberikan terapi yang tepat.

Daftar pustaka

1. Prasetyowati & Ridwan, M.(2015). Hipotiroid Kongenital, Jurnal Kesehatan Metro Sai
Wawai Volume VIII No 2, 70-4.
2. Nurcahyani, Y. D., Mulyantoro, D. K., & Sukandar, P. B.(2017). Sensitivitas dan
spesifisitas instrumen skrining hipotiroid untuk diagnosis hipotiroid pada anak batita di
daerah endemik GAKI. MGMI Vol. 8, No. 2, 89-102.
3. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak esensial edisi ke enam. Jakarta:
Saunders Elsevier; 2014.h.711-14.
4. Hassan R, Alatas H, editor. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-4. Jakarta: Infomedika; 2008.
h. 1051-165.
5. Karen J.M, Robert M.K, Hal B.J, Richard E.B, editor. Nelson essentials of pediatrics. 5 th
ed. Michigan: W.B. Saunders Company; 2009.
6. Liwang F, Pulungan A B. Hipotiroid Kongenital. Dalam kapita selekta. Ed ke-4. Jakarta:
Aesculapius;2014.h.38-40

12

Anda mungkin juga menyukai