Anda di halaman 1dari 28

Analisis Jurnal

Pengaruh Terapi Kognitif atau Cognitive Behavior Therapy Terhadap Depresi


Pada Remaja

Oleh

Humairoh Sri Anjarwati Harmain


Dzohra Puasa
Niar Kurniati Saputri N. Poiyo

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI NERS
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam situs Wikipedia yang bersumber dari Brammer, J (1983) Jiwa atau

Jiva berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya "benih kehidupan", dalam

berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah dari

seseorang serta biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan

sinonim dengan roh, akal, atau awak diri. Karena jiwa berhubungan dengan

kehidupan, maka kita perlu menjaga kesehatan jiwa kita. Menurut Hayyatusofiah

dkk (2017), masalah pada kesehatan jiwa kita biasa muncul pada masa remaja,

karena masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak menuju

masa dewasa sehingga banyak perubahan dan penyesuaian yang terjadi baik

secara psikologis, emosional, maupun financial. Masalah pada jiwa sendiri

muncul apabila kita tidak memiliki koping atau penyelesaian yang tepat untuk

masalah tersebut. Ada berbagai macam masalah pada jiwa, salah satunya adalah

depresi.

Depresi merupakan jenis perasaan tertentu (simtom), kumpulan simtom

(sindrom), dan gangguan klinis, depresi dapat merujuk pada keadaan subjektif

seperti rasa kecewa, putus asa, atau tidak bahagia. Depresi juga dapat merujuk

pada pola penyimpangan pada perasaan, kognisi, atau perilakuan yang belum

mewakili gangguan psikiatri sehingga disebut kumpulan simptom atau sindrom.

Depresi dapat meningkatkan morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian), resiko


bunuh diri, serta berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya (Beck,

1985). Keadaan depresi yang serius dapat menimbulkan hal-hal yang merujuk

pada keinginan seseorang untuk bunuh diri karena tidak mampu melawan depresi

yang dirasakan.

Menurut Hayatussofiyyah, dkk (2017) dalam penelitiannya, ada 850.000

orang meninggal setiap tahunnya karena depresi dan 86% dari jumlah tersebut

terjadi di negara-negara berkembang dan dari jumlah penderita tersebut berusia

15-44 tahun. WHO meperkirakan pada tahun 2020 depresi akan menanjak

menempati ranking kedua dari beban penyakit global yang menyerang semua

umur, baik laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya, pada tahun 2030

diperkirakan depresi akan menjadi penyebab utama bagi gangguan kesehatan

(WHO, 2011). Di Indonesia sendiri menurut data Riskesdes (2013) menunjukkan

bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-

gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau

sekitar 14 juta orang. Sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti

skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang (Depkes,

2014). Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja

didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat

(Ismail & Siste, 2010). Di Gorontalo sendiri menurut Riskesdas (2018) prevalensi

gannguan mental emosional pada penduduk umur ≥15 tahun di Gorontalo tercatat

sebesar 17,7% dengan angka rata-rata nasional tingkat provinsi 9,8%.


Menurut Santrok (2003), Salah satu penanganan untuk penderita depresi

adalah dengan terapi. Tujuannya agar memiliki kemampuan untuk memecahkan

masalah seperti orang lain, karena jenis tekanan yang sama dapat direspon secara

normal oleh satu orang, tetapi dapat menjadi faktor pencetus depresi bagi orang

lain. Terapi yang sering digunakan untuk kasus depresi adalah Terapi Kognitif

Perilaku atau CBT (Cognitive Behavior Therapy). Terapi ini mengkombinasikan

cara berpikir dan berperilaku berdasarkan tiga hal yang saling berkaitan, yaitu

pikiran, perasaan dan perilaku (Oemarjoedi,2003).

CBT dikembangkan berdasarkan pendekatan perilaku dan kognitif,

sehingga dalam penerapannya CBT melibatkan sejumlah teknik intervensi

perilaku dan kognitif (Gosch, FlannerySchroder, Mauro, & Compton, 2006).

Penerapan teori ini dalam praktek CBT adalah dalam mengajarkan seseorang

memperlajari perilaku dan cara baru untuk menghadapi suatu situasi yang

mengganggu, dengan melibatkan pembelajaran keterampilan tertentu.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan analisis jurnal

tentang mengetahui “Pengaruh Terapi Kognitif atau Cognitive Behavior Therapy

Terhadap Depresi Pada Remaja”

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui Pengaruh Terapi Kognitif atau Cognitive Behavior

Therapy Terhadap Depresi Pada Remaja


1.3. Manfaat

a. Bagi Program Studi Profesi Ners

Analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan materi dan bahan bacaan tentang

mengetahui Pengaruh Terapi Kognitif atau Cognitive Behavior Therapy

Terhadap Depresi Pada Remaja

b. Bagi Perawat

Analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi perawat dalam

melakukan intervensi.

c. Bagi Fasilitas Kesehatan

Analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam

melaksanakan penatalaksanaan mengetahui Pengaruh Terapi Kognitif atau

Cognitive Behavior Therapy Terhadap Depresi Pada Remaja


BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Author Judul Tahun Metode Hasil Source
Anisa Cognitive 2017 Penelitian ini Hasil penelitian ini http://j
Fitriani Behavior menggunakan menunjukkan bahwa urnal.u
Religious desain Cognitive Behavior nissula.
Therapy Untuk eksperimen Religious Therapy ac.id/in
Menurunkan kasus tunggal dapat menurunkan dex.ph
Tingkat Episode (single-case tingkat depresi. p/proy
Depresi Pada experimental Terdapat penurunan eksi/ar
Pasien Depresi design) yang skor depresi dari angka
ticle/vi
merupakan 39 yang tergolong
ew/285
desain dalam depresi berat
penelitian menjadi 14 yang 1
untuk tergolong dalam
mengevaluasi depresi ringan. Selain
efek dari suatu itu juga berkurangnya
perlakuan simptom-simptom
dengan kasus depresi pada subjek
tunggal. yang meliputi
perubahan pada kondisi
pikiran, perilaku, dan
fisik.
Surayya Efektivitas 2017 Penelitian ini Setelah dilakukan DOI:
Hayatusso Terapi menggunakan proses random, maka 10.223
fiyyah, H. Kognitif desain Pretest terpilih satu kelompok 73/psik
Fuad Perilakuan Posttest (n=6) sebagai oislame
Nashori, Religius Untuk Control Group kelompok eksperimen dia.v2i
Rumiani Menurunkan Design yang menerima 1.1823
Depresi Pada perlakuan berupa terapi
Remaja kognitif perilakuan
religius. Satu kelompok
lainnya (n=6) sebagai
kelompok kontrol
(waiting list). Skala
yang digunakan
sebagai alat ukur
adalah Beck
Depression Inventory
II. Uji hipotesis
menggunakan analisis
non-parametrik berupa
Mann Whitney U-Test
untuk menguji
perbedaan nilai
berdasarkan kelompok,
yaitu eksperimen dan
kontrol. Hasil
pengujian
menunjukkan bahwa
terapi kognitif
perilakuan religius
efektif dalam
menurunkan depresi
pada remaja (Z =
2,898, p = 0,004, di
mana p < 0,05).
Florensa, Peningkatan 2016 Quasi Hasil penelitian DOI :
Budi Anna Efikasi Diri Dan eksperimende menunjukkan 10.745
Keliat, Ice Penurunan ngan pre-post peningkatan efikasi diri 4/jki.v1
Yulia Depresi Pada test with remaja yang mendapat 9i3.474
Wardani Remaja Dengan control group CBT lebih tinggi
Cognitive pada dibanding remaja yang
Behavior penerapan tidak mendapat CBT,
Therapy CBT yang depresi remaja yang
dilakukan mendapat CBT lebih
secara rendah dibandingkan
berkelompok penurunan depresi pada
remaja yang tidak
mendapat CBT.
Peningkatan efikasi diri
mempunyai hubungan
yang kuat dalam
menurunkan depresi
pada remaja dengan
arah hubungan negatif.
CBT direkomendasikan
pada remaja dengan
efikasi diri rendah dan
depresi.
Diany TERAPI 2017 Penelitian ini Subjek mengalami DOAJ :
Ufieta KOGNITIF menggunakan peningkatan dalam 2541-
Syafitri Perilaku Pada studi kasus di berpikir secara 2965
Remaja mana proses seimbang tentang
Dengan pengumpulan dirinya yang
Gangguan data berpengaruh terhadap
Komorbid menggunakan kondisi
Perilaku multi sumber emosi dan perilakunya
Menentang yaitu
Dan Depresi wawancara
Yang Tinggal kepada orang
Di Panti di sekitar
Asuhan subjek,
observasi, dan
asesmen
psikologi.

Naira Evaluating the 2019 Metode Hasil menunjukan Doi :


Topooco , Efficacy of penelitian ini Setelah 10.296/
PhD; Internet- menggunakan perawatanpeserta 13393
Delivered UjiCoba ICBT menunjukkan
Sandra Cognitive Terkontrol penurunan yang
Byléhn1, Behavioral Secara Acak signifikan dalam gejala
MSc; Therapy depresi dibandingkan
Blended With dengan kontrol. Hasil
Ellen Synchronous ini sejalan dengan
Dahlström Chat Sessions penelitian kami
Nysäter , to Treat sebelumnya, lebih
MSc; Adolescent lanjut menunjukkan
Depression: bahwa remaja dengan
Jenny Randomized depresi dapat berhasil
Holmlund Controlled terlibat dan mengalami
, MSc; Trial peningkatan yang
signifikan setelah
Johanna ICBT dicampur
Lindegaar dengan sesi obrolan
d , MSc; terapis.

Sanna
Johansson
, MSc;

Linnea
Åberg ,
MSc;

Lise
Bergman
Nordgren ,
PhD;

Maria
Zetterqvist
, PhD;

Gerhard
Andersson
, PhD

3.2 Pembahasan
Dari beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh Cognitive Behavioral

Therapy (CBT)terhadap depresi pada remaja menunjukkan bahwa CBT

merupakan salah satu terapi efektif yang mengkombinasikan aspek kognitif dan

tingkah laku. Terapi ini mengajarkan individu untuk mengenali bahwa pola pikir

tertentu yang sifatnya negatif dapat membuat individu salah memaknai situasi

dan memunculkan emosi atau perasaan negatif pula. Teknik CBT selama ini

diketahui telah banyak digunakan dalam menangani berbagai macam kasus

klinis, seperti depresi, kecemasan, dan termasuk fobia (Hayatussofiyyah, dkk

2017).

Hal ini didukung oleh beberapa penelitian, Anisa Fitriani (2017), tentang

Cognitive Behavior Religious Therapy Untuk Menurunkan Tingkat Episode

Depresi Pada Pasien Depresi. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen

kasus tunggal (single-case experimental design). Subjek dalam penelitian ini


adalah seorang wanita berusia 17 tahun yang didiagnosa mengalami depresi

dengan gejala psikotik dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa.

Data diperoleh dengan observasi, wawancara, tes psikologi, dan

pengukuran tingkat depresi menggunakan skala BDI-II (Beck Depression

Inventory. Gejala yang muncul yaitu adanya afek depresif, selalu terlihat sedih

dan murung, kehilangan minat dan kegembiraan, menghindari interaksi,

perhatian yang berkurang, merasa bersalah, tidur terganggu, dan nafsu makan

berkurang. Gejala-gejala tersebut dipicu oleh rasa bersalah subjek karena telah

melakukan hubungan seksual dengan pacar di sebuah hutan setelah menonton

balapan motor.

Subjek takut hamil dan tidak berani bercerita pada keluarga karena selama

ini orang tua tidak mengijinkan subjek memiliki pacar. Selain itu subjek juga

seorang guru mengaji untuk anak- anak kecil di desanya. Hal tersebut

membuatnya merasa sangat bersalah serta berdosa karena telah mengecewakan

orang tua dan melanggar hukum agama.

Observasi dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana kondisi dan

perilaku subjek saat dirawat di Rumah Sakit Jiwa maupun saat di rumah.

Wawancara dilakukan dengan keluarga, dokter dan psikolog yang mengetahui

riwayat kesehatan subjek. Tes psikologi digunakan untuk mengetahui gambaran

kepribadian subjek yang akan digunakan terapis saat proses terapi, misalnya

untuk memahami terbentuknya pemikiran-pemikiran yang dapat memicu gejala

depresi.
Skala BDI-II diberikan untuk mengukur tingkat depresi subjek antara

sebelum dan sesudah menjalani terapi. BDI-II merupakan skala berbentuk

laporan diri yang terdiri dari 21 item dan digunakan untuk mengukur tingkat

depresi secara subjektif. Respon jawaban subjek dinilai dari skala 0 (tidak

mengalami) sampai 3 (berat).

Tahapan terapi yang dilakukan yakni Eksplorasi masalah, yaitu memahami

permasalahan yang akan diselesaikan dan memberikan pemahaman pada subjek

hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku yang saling berkaitan,

Mengajarkan teknik relaksasi yang akan digunakan saat proses terapi karena

tidak menutup kemungkinan selama proses terapi akan muncul rasa tidak

nyaman, Thought Catching, yaitu mengidentifikasi distorsi kognitif yang dimiliki

subjek, Testing Realita. Membantu subjek agar dapat mengemukakan alasan-

alasan mengenai pikirannya yang salah kemudian subjek diajak untuk melihat

bukti-bukti yang tidak mendukung pikirannya tersebut agar menyadari bahwa

pikirannya tidak benar, Tugas Rumah yaitu membiasakan subjek untuk berpikir

positif pada diri sendiri dan orang lain. Misalnya dengan cara menuliskan hal-hal

positif dalam buku harian, Psikoedukasi keluarga yaitu dilakukan agar keluarga

memahami kondisi subjek sehingga dapat bersikap dengan tepat, Generating

alternative interpretations yaitu embantu subjek agar dapat terbiasa untuk

berpikir positif terhadap diri dan orang lain dengan cara mengubah pikiran

negatif menjadi pikiran yang lebih positif, serta dapat melihat sisi positif dari

kejadian yang telah dialami, Activity Schedule yaitu enyusun jadwal aktivitas
sehari-hari subjek agar tidak berlarut dalam perasaan sedih, Mastery and Pleasure

yaitu membantu subjek untuk mencari kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan

kesenangan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat

adanya perubahan pada kondisi subjek.

Perubahan tersebut meliputi aspek pikiran, fisik, dan perilaku. Selain itu

juga terdapat penurunan skor pada skala BDI-II dari kategori depresi berat

menjadi depresi sedang. Pada perubahan kondisi pikiran sebelum intervensi

subjek Merasa ketakutan, menangis, bahkan berteriak saat teringat pernah

melakukan hubungan seksual dengan pacar, Merasa bersalah dan berdosa

sehingga subjek menjadi sedih dan murung, Subjek merasa orang tua akan

marah, kecewa dan tidak akan memaafkannya, Subjek merasa lingkungan tidak

akan menerima dirinya lagi, karena sebagai guru mengaji telah melakukan

kesalahan besar, Skala kecemasan yang diukur berada pada angka 9, dengan

rentang angka 1 sampai 10.

Sedangkan setelah dilakukan intervensi Ketakutan subjek sudah berkurang.

Ditunjukkan dengan hilangnya perilaku berteriak, menangis, dan raut wajah

ketakutan, Subjek menyadari bahwa perbuatannya salah dan dosa, tetapi subjek

mendapatkan pemahaman bahwa kesalahan dan dosa tersebut dapat diampuni

jika benar-benar memperbaiki diri. Subjek sudah melaksanakan sholat taubat dan

sehari-hari berusaha menyempatkan diri untuk membaca istighfar sebagai usaha

untuk memohon ampun dan memperbaiki diri, Subjek memahami bahwa


keluarga dapat memaafkan kesalahannya, Subjek memahami bahwa pikirannya

salah. Tetangga tetap bersikap baik seperti semula.

Subjek belum bersedia lagi untuk menjadi guru mengaji karena masih

belum siap, Skala kecemasan berada pada angka 2 dengan rentang angka 1

sampai 10. Subjek sudah merasa nyaman dan sudah memulai melaksanakan

kegiatan sehari-hari seperti sebelum mengalami depresi. Berdasarkan tabel

perubahan kondisi subjek di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perubahan kondisi

pikiran antara sebelum dan setelah terapi.

Aspek kognitif seperti merasa kesalahannya tidak termaafkan dan merasa

akan ditolak masyarakat berangsur hilang. Perasaan berdosa dalam hal ini tidak

begitu saja dihilangkan, tetapi melalui proses untuk mengarahkan subjek agar

memohon ampun dan bertaubat atas kesalahannya sesuai dengan nilai-nilai

agama yang dianutnya. Subjek juga masih membutuhkan waktu untuk dapat

kembali beraktivitas sebagai guru mengaji karena merasa belum siap dengan

peran tersebut.

Pada perubahan kondisi fisik/perilaku sebelum intervensi adalah Subjek

selalu murung dan tidak pernah terlihat tersenyum, Mengurung diri di kamar,

Nafsu makan berkurang, Skor BDI-II subjek adalah 39 yang tergolong dalam

depresi berat. Dan setelah dilakukan intervensi didapatkan hasil Subjek sudah

sering tersenyum, walaupun sesekali masih terlihat afek datar, Subjek sudah

tidak mengurung diri di kamar. Sudah bersedia berinteraksi dengan tetangga,

masuk sekolah, dan membantu pekerjaan di rumah, Nafsu makan normal, Subjek
sudah dapat tidur nyenyak, Skor BDI II subjek adalah 14 yang tergolong depresi

ringan.

Terapi CBRT pada penelitian ini membantu subjek untuk memahami

berbagai distorsi kognitif yang ada pada dirinya. Terapi melibatkan unsur nilai-

nilai agama dalam setiap prosesnya. Menurut Hodge (2008), penggunaan teknik

yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini oleh subjek akan menunjukkan hasil

yang lebih optimal. Hal ini sesuai dengan terapi yang diberikan pada subjek,

dimana terapi CBT dipadukan dengan nilai-nilai agama dan sesuai dengan latar

belakang kehidupan subjek.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Hayatussofiyyah dkk (2017), tentang

Efektivitas Terapi Kognitif Perilakuan Religius Untuk Menurunkan Depresi Pada

Remaja yang Menggunakan desain Pretest Posttest Control Group

Design.Sampel adalah pasien berjumlah 12 orang siswi Madrasah Aliyah di

Kabupaten Sleman, berjenis kelamin perempuan, berusia 15-16 tahun.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berupa skala yang berisi

butir-butir pernyataan yang akan dijawab oleh subjek penelitian. Skala yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Beck Depression Inventory-II (BDI-II).

Penelitian Ginting, dkk (2013) menunjukkan bahwa BDI-II mampu membedakan

antara individu yang depresi dan tidak depresi dan mempunyai konsistensi

internal 0,90 serta realibilitas tes ulang sebesar 0,55 (p<0,01). Pengukuran

tingkat depresi ini dilakukan sebanyak empat kali yaitu saat screening awal,

kemudian saat dilakukan prestest dua minggu setelah screening dan sebelum
diberikannya terapi kepada kelompok eksperimen untuk melihat kondisi terkini

dari para subjek.

Pengukuran kemudian kembali diberikan sesudah terapi diberikan, serta

yang terakhir yaitu saat tindak lanjut dua minggu setelah terapi diberikan. Terapi

kognitif perilakuan religius ini terdiri atas lima pertemuan di mana tiap

pertemuannya memberikan pengetahuan dan keterampilan tertentu kepada para

peserta. Materi terapi kognitif perilakuan religius ini berisi mengenai pemahaman

mengenai depresi dan gejala-gejalanya, hubungan antara pikiran, perasaan, dan

tingkah laku, keterampilan untuk dapat menangkap pikiran, keterampilan untuk

memodifikasi pikiran negatif menjadi positif dengan konsep khusnudzon dalam

agama islam, keterampilan untuk bersyukur, keterampilan untuk dapat

merancang aktivitas keseharian dan ibadah yang menyenangkan, serta

kemampuan untuk melakukan relaksasi.

Para peserta juga diberikan pengetahuan mengenai konsep dasar dari terapi

kognitif perilakuan religious, yaitu mengenai hubungan antara pikiran, perasaan,

dan perilaku. Dengan diberikan contoh-contoh yang nyata dalam kehidupan

sehari-hari. Berdasarkan Deskripsi statistik depresi antara kelompok eksperimen

dan kontrol tersebut menunjukkan bahwa pada saat pelaksanaan

screening/baseline, prates, pascates, dan tindak lanjut, terdapat perbedaan nilai

mean antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Kelompok eksperimen mengalami penurunan skor pada saat pascates

(3,33) dan tindak lanjut (1,66), sedangkan kelompok kontrol apabila dilihat dari
nilai mean justru mengalami peningkatan skor, untuk pascates (25) dan tindak

lanjut (25,83). Kemudian hasil analisis yang dilakukan pada data pascates

menunjukkan bahwa nilai Z = -2,898 dan p = 0,004 (p < 0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada saat pelaksanaan

pascatesantara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.

Kondisi yang sama juga terjadi pada data tindak lanjut, di mana nilai Z =

-2,908 dan p = 0,004 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol pada

pelaksanaan tindak lanjut. Perbedaan tingkat depresi pada kedua kelompok juga

dapat dilihat dari grafik individu dan hasil data kualitatif subjek setelah

mendapatkan terapi.

Berdasarkan hasil screening dan prates yang dilakukan, terlihat para subjek

dalam penelitian ini berada dalam kategori depresi tingkat sedang hingga tingkat

tinggi. Hal ini juga dibuktikan dari cerita para subjek saat dalam terapi dan dari

buku harian yang mereka kerjakan. Perasaan dan perilaku yang muncul pada diri

subjek adalah lebih sering merasa sedih, lebih sering menangis, kecewa terhadap

diri sendiri, menyalahkan diri sendiri.

Metode presentasi diri pada setiap awal pertemuan, menurut subjek sangat

membantu mereka untuk dapat menuangkan segala apa yang ada di pikirannya

dan apa yang ia rasakan tanpa merasa dihakimi atau disalahkan sama sekali. Para

peserta mengaku merasa lebih lega karena dapat mengekspresikan emosi yang

dirasakan saat bercerita tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat


disimpulkan bahwa terapi kognitif perilakuan religius memiliki pengaruh

terhadap menurunnya tingkat depresi pada remaja.

Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

Trimulyaningsih (2010) dan Yuliza (2012) bahwa terapi kognitif perilakuan

religius dapat menurunkan depresi pada subjek wanita dewasa dan mahasiswa.

Selain dapat menurunkan depresi, terapi ini juga nampak dapat meningkatkan sisi

religiusitas dari para subjek. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan subjek

dan hasil buku harian yang memperlihatkan bahwa subjek lebih banyak

bersyukur, dan melakukan ibadah seperti shalat, membaca istighfar, dan berdoa

untuk mendapatan ketenangan batin saat menghadapi masalah.

Terapi kognitif perilaku merupakan terapi yang paling sering digunakan untuk

mengatasi depresi (Forman, Herbert, Moitra, Yeomans, & Geller, 2007).

Tahapan-tahapan dalam terapi ini memungkinkan seseorang untuk mengalami

perubahan pada aspek pikiran yang diharapkan akan diikuti oleh perubahan

perilaku maladaptif menjadi perilaku yang lebih adaptif. Terapi ini juga

merupakan salah satu dari dua terapi yang dimasukkan dalam petunjuk tritmen

untuk depresi dan telah dipublikasikan oleh Agency for Health Care and Policy

Research (AHCPR). Epp dan Dobson (2010), juga telah merangkum sejumlah

studi yang menunjukkan bahwa terapi kognitif perilaku efektif untuk mengatasi

gangguan depresi.
Berdasarkan hasil penelitian dari Florensa, dkk (2016), tentang

Peningkatan Efikasi Diri Dan Penurunan Depresi Pada Remaja Dengan

Cognitive Behavior Therapy. Penelitian ini Quasi eksperimen dengan pre-post

test with control group pada penerapan CBT yang dilakukan secara

berkelompok. Responden penelitian ini adalah remaja kelas VIII. Pengambilan

sampel menggunakan teknik simple random sampling dan didapatkan sampel

sebanyak 72 remaja. 38 orang pada kelompok kontrol dan 34 orang pada

kelompok intervensi.

Rata-rata depresi setelah remaja mendapatkan CBT adalah 14,50 dan pada

remaja yang tidak mendapatkan CBT adalah 18,79. Hasil uji statistik

menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p> 0,005) antara depresi remaja

yang mendapat CBT dengan remaja yang tidak mendapat CBT. Pada penelitian

ini diketahui bahwa setelah mendapatkan CBT terjadi penurunan depresi.

Penurunan yang terjadi pada responden tidak sampai pada tahap dimana

depresi menjadi tidak ada. Menurut peneliti hal ini dapat diakibatkan oleh waktu

pre dan post test yang cukup dekat sehingga belum bisa dilihat secara optimal

efek dari terapi yang dilakukan dan selain itu juga pertemuan dari sesi CBT yang

cukup singkat yang hanya dilakukan dalam 5 kali pertemuan. Penelitian

Rossello, et al., (2008) menyatakan pada remaja depresi masih banyak yang tidak

memperlihatkan respon terhadap CBT dengan dosis standar yaitu 12 sesi. Hasil

pada penelitian tersebut dikatakan bahwa responden terus menunjukkan


perbaikan gejala depresi beberapa bulan setelah terapi diberikan (1 tahun post

treat-ment).

Penelitian yang dilakukan oleh Solomando, Kendall dan Whittington

(2008), menyatakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya memperlihatkan bahwa CBT dengan 8-16 sesi dengan durasi 20-60

menit yang dilakukan selama 5-8 minggu memperlihatkan hasil yang lebih baik.

Hal ini menunjukkan bahwa dengan panjangnya waktu terapi, akan memberikan

waktu yang cukup pada responden untuk mampu menginter-nalisasikan terapi

yang diberikan ke dalam ke-hidupannya sehingga akan menurunkan depresi

secara optimal. Penelitian yang dilakukan pada remaja sekolah menengah atas di

Kota Depok memperlihatkan bahwa terjadi penurunan tingkat depresi pada

remaja yang mendapat latihan pertahanan diri terhadap stress (Keliat, Tololiu, &

Daulima, 2010).

Latihan pertahanan diri terhadap stres dapat dijadikan terapi kombinasi

dengan CBT sehingga dapat menurunkan depresi dan risiko bunuh diri yang

lebih baik dibandingkan dengan hanya pemberian CBT. Terapi CBT yang

dilaksanakan secara berkelompok pada remaja mempunyai keuntungan yang

lebih daripada terapi yang dilakukan secara individu. Untuk mengubah perilaku

seseorang perlu diberikan stimulus.

CBT yang dilakukan secara berkelompok akan memberikan support

system pada remaja karena mereka merasa memiliki masalah yang sama, remaja

akan belajar mengamati bagaimana orang lain berperilaku dan mengkaji sikap
serta reaksi melalui interaksi dengan berbagai macam orang. Selain itu remaja

dapat belajar dari pengalaman positif dari teman sekelompok dalam terapi yang

dapat digunakan untuk mengatasi distorsi pikiran maupun perilaku maladaptif

yang muncul (Florensa, 2016).

Penelitian selanjutnya dari Syafitri (2017) yang dilakukan di anak-anak dip

anti asuhan yang mengalami Gangguan Perilaku Menentang (GPM). Dalam

penelitian ini, peneliti memiliki asumsi bahwa pengasuhan dan kondisi panti

asuhan seringkali dianggap kurang kondusif untuk perkembangan anak serta

remaja yang ada di dalamnya. Hal ini kemudian dibuktikan oleh banyaknya

penelitian yang menyebutkan banyaknya permasalahan anak dan remaja di panti

asuhan terutama masalah pada GPM anak. Subjek dalam penelitian ini adalah

seorang remaja laki-laki usia 15 tahun yang dirujuk kepada psikolog karena

menunjukkan gejala GPM.

GPM sering dilihat sebagai gangguan yang paling ringan di antara

ketiganya (Nock, Kazdin, Hiripi, & Kessler, 2007). Ciri utama dari GPM adalah

pola perilaku negativistik, menentang, tidak patuh, dan bermusuhan terhadap

figur otoritas yang berulang dan mengakibatkan gangguan dalam kehidupan

sehari-hari (Burke, Loeber, & Lahey, 2003). Dalam penelitian ini Subjek

berinisial FIF berjenis kelamin laki-laki, berusia 15 tahun berada di kelas X di

sebuah SMK. FIF berada di panti asuhan sejak kelas 5 SD.

Subjek adalah anak hasil pernikahan kedua ibunya. Ibu subjek sudah

meninggal saat FIF kelas 4 SD dan ayahnya meninggalkan keluarganya sejak FIF
kelas 2 SD. Subjek memiliki tiga kakak tiri tetap tidak mampu secara ekonomi

untuk mengasuhnya, sehingga FIF dimasukkan ke panti asuhan. Beberapa Peksos

pendamping di pantiasuhan mengeluhkan bahwa subjek belakangan sering

melanggar berbagai peraturan, misalnya tidak mau mengikuti kegiatan rutin

seperti sholat, makan bersama, piket, dan lain sebagainya. Selain tu, subjek

sering berkelahi dengan teman-temannya, sehingga menjadi anak yang paling

ditakuti di panti.

Dari hasil obeservasi data yang dilakukan oleh peneliti Ekspresi subjek

cenderung datar dan enggan berkontak mata, sehingga ia cenderung menunduk

atau melihat ke arah lain, Subjek tampak sering melakukan kekerasan fisik pada

teman-teman yang usianya relatif lebih muda dibanding dirinya. Subjek juga

tampaknya tidak mempedulikan jika temannya ada yang kesakitan karenanya,

Subjek membutuhkan waktu sampai ia dapat benar-benar merasa nyaman dan

akhirnya dapat terbuka sepenuhnya. Subjek juga tidak ragu dalam

mengungkapkan pikiran atau perasaannya.

Hasil wawancara yang juga dilakukan oleh peneliti, subjek mengatakan

bahwa ia sering dibully oleh teman-temannya dan sering dipanggil anak nakal

oleh keluarganya. Intervensi yang dilakukan oleh peneliti awalnya dengan

membangun BHSP (Bina Hubungan Saling Percaya) dengan subjek, sehingga

subjek mau terbuka dan menceritakan permasalahannya. Selama proses

intervensi peneliti mendapatkan, subjek awalnya ia merasa dirinya sangat buruk

dengan skala 10 (dari skala 1-10), kemudian dengan proses restrukturisasi


kognitif melalui metode menuliskan kelebihan dan kekurangan serta sifat baik

dan sifat buruknya, ia menemukan bahwa ternyata kekurangan dan sifat

buruknya jumlahnya sama dengan kelebihan dan sifat baiknya.

Dari hasil evaluasi intervensi yang dilakukan peneliti, didapatkan bahwa

sebenarnya subjek ternyata tidak hanya menunjukkan gejala dan sindrom GPM

tetapi juga mengarah pada depresi. Kondisi ini disebut dengan komorbiditas yang

secara spesifik mengacu pada terjadinya dua gangguan atau lebih dalam

kerangka system diagnostik kategoris. Diagnosis komorbid merupakan hal yang

umum ditemui pada gangguan di masa kanak-kanak dan remaja, terutama pada

gangguan depresi, di mana beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian

besar gangguan pada anak dan remaja memiliki gangguan komorbid.

Salah satu penelitian terbaru yang dilakukan oleh Topooco, dkk (2019),

yaitu tentang evaluasi keefektifan terapi perilaku kognitif yang disampaikan

melalui internet yang dicampur dengan sesi obrolan sinkron untuk mengobati

depresi remaja. Penelitian ini melibatkan internet, video atau audio yang dibagi

dalam beberapa modul dan dikirim ke dalam platform perawatan berbasis web

bersama dengan tugas rumah yang dimasukkan dalam media ICBT tersebut.

Kemudian untuk sampel penelitian menggunakan remaja yang berusia antara 15-

19 tahun dengan tingkat depresi ≥14 poin yang diukur dengan Beck Depression

Inventory II yangdirekrut dalam pengaturan komunitas di tingkat nasional di

Swedia.
Dalam penelitian ini, ada 8 modul ICBT yang terdiri dari bahan teks serta

video, alur cerita fiksi, tugas refleksi dan tugas pekerjaan rumah, dan

mensyaratkan pendekatan perilaku dan kognitif CBT, terdiri dari 8 sesi terapi

individu berlangsung selama 8 minggu. Untuk jadwal setiap sesi obrolan terapis

dijadwalkan oleh peserta dan terapis setiap minggu dengan durasi 30-45 menit

dan dilakukan di dalam platform perawatan. Sesi berhubungan dengan modul

sebelumnya dan saat ini serta berfokus pada aspek-aspek yang berhubungan

dengan proses perawatan: mengidentifikasi masalah, memeriksa kognisi pasien,

mendorong, menjawab pertanyaan, dan membantu menyelesaikan tugas

pekerjaan rumah.

Menurut peneliti, saat ini perawatan psikologis dalam bentuk terapi

perilaku kognitif (CBT) dianggap salah satu intervensi perilaku didukung terbaik

secara empiris untuk mengurangi depresi. Namun ada beberapa orang yang tidak

dapat melakukan terapi ini dikarenakan berbagai macam hal sehingga para ahli

jiwa di Swedia mengembangkan meteode ICBT ini untuk menjangkau semua

orang yang ingin melakukan terapi CBT.

Peneliti beranggapan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) akan

berpengaruh apabila mendapat dukungan dari keluarga atau unsur sosial lainnya,

seperti mengajak klien itu untuk bicara atau sekedar mendengarkan apa yang

menjadi keluhan dari klien tersebut. Hal-hal sederhana sperti itu dapat

meningkatkan motivasi dalam diri klien dengan depresi.


3.3 Implikasi Keperawatan

Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan suatu pendekatan konseling

yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh konseling

dengan memberikan beberapa teknik. CBT ini biasanya digunakan pada beberapa

masalah mental / jiwa, salah satunya yakni depresi. Gejala depresi ditandai

dengan sedih yang mendalam, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan

bersalah, rendah diri, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, tenaga lemah, dan

kehilangan konsentrasi (Yosep, 2013).

Depresi yang cukup serius dapat mengarah pada usaha bunuh diri di mana

gangguan ini telah menyebabkan 850.000 orang meninggal setiap tahunnya.

Sebanyak 86% dari jumlah tersebut terjadi di negara-negara berkembang (WHO,

2011). Setengah dari jumlah penderita tersebut berusia 15-44 tahun baik bagi

laki-laki maupun perempuan. Diperkirakan sekitar 20 persen anak dan remaja di

seluruh dunia mengalami masalah kejiwaan termasuk depresi.

Namun demikian, walaupun prevalensi depresi cukup besar, hanya kurang

dari 25 persen dari mereka yang terdiagnosis depresi memiliki akses penanganan

yang efektif. Jumlah lebih besar lagi adalah mereka yang tidak terdeteksi. Oleh

karena itu depresi sering juga disebut sebagai “the silent epidemic” (Fitri, 2011).

Gangguan depresi pada remaja tidak dapat diabaikan dan dibiarkan tanpa

penanganan karena beresiko untuk berkembang menjadi gangguan depresi pada

saat dewasa. Penelitian oleh Hankin (Ramadhani & Retnowati, 2013)


menunjukkan bahwa depresi pada remaja lebih mungkin berlanjut pada usia

dewasa dibandingkan dengan depresi pada anak.

Beberapa jenis terapi yang diketahui telah berhasil dalam menurunkan

depresi adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang telah dikembangkan

oleh Beck, terapi interpersonal yang dikembangkan oleh psikiater Gerald K.R.M

dari Harvard dan psikolog Mayma Weismann, konseling kelompok, dan

dukungan sosial (Lubis, 2009). Menurut Rosenvald, Oei, dan Schmidt (2007),

terapi kognitif perilakuan merupakan terapi yang mengkombinasikan aspek

kognitif dan tingkah laku. Pendekatan ini mengajarkan individu untuk mengenali

bahwa pola pikir tertentu yang sifatnya negatif dapat membuat individu salah

memaknai situasi dan memunculkan emosi atau perasaan negatif pula.

Menurut J. S. Beck dalam (Florense,2017), CBT adalah terapi yang

bertujuan untuk mengubah kognitif atau persepsi terhadap masalah, dalam

rangka melakukan perubahan emosi dan tingkah laku. Hal tersebut mencakup

belief yang berhubungan dengan pikiran, emosi dan tingkah laku sebagai suatu

sistem yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Terdapat banyak penelitian

yang menunjukkan bahwa CBT merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi

gejala-gejala depresi. Beberapa literatur juga mengemukakan bahwa dalam

mengobati gejala depresi, CBT sebanding dengan dampak terapi obat-obatan

medis (O’Hea, Houseman, Bedek, & Sposato, 2009). Terapi ini juga telah

terbukti dan dapat digunakan dalam jangka panjang (Mutia, Subandi, & Mulyati,

2011).
Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari Swedia, tentang salah satu

terapi yang diketahui berhasil dalam menurunkan depresi adalah Cognitive

Behavior Therapy (CBT) yang telah dikembangkan oleh Beck. Menurut

Rosenvald, Oei, dan Schmidt (2007), terapi kognitif perilakuan merupakan terapi

yang mengkombinasikan aspek kognitif dan tingkah laku. Cognitive Behavior

Therapy (CBT) dari hari ke hari mengalami berbagai macam perkembangan salah

satunya adalah dengan melibatkan media maya atau internet yang dijadikan

media untuk terapi atau yang biasa disebut dengan Interner Cognitive Behavior

Therapy (ICBT).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis jurnal terdahulu dapat disimpulkan bahwaCBT

merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi gejala-gejala depresi seperti sedih

yang mendalam, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah, rendah

diri, gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, tenaga lemah, dan kehilangan

konsentrasi. Pada salah satu penelitian diatas mengatakan bahwa CBT dengan 8-

16 sesi dengan durasi 20-60 menit yang dilakukan selama 5-8minggu

memperlihatkan hasil yang lebih baik.Hal ini menunjukkan bahwa dengan

panjangnya waktu terapi, akan memberikan waktu yang cukup pada responden

untuk mampu menginter-nalisasikan terapi yang diberikan ke dalam ke-

hidupannya sehingga akan menurunkan depresi secara optimal.

4.2 Saran

a. Bagi Program Studi Profesi Ners

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan

bahan bacaan tentang Pengaruh Terapi Kognitif Terhadap Depresi Pada

Remaja

b. Bagi perawat

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagaimasukan bagi

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa pada pasien remaja

dengan depresi
c. Bagi rumah sakit

Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi rumah sakit

agar dapat melakukan penelitian atau pembahasan secara mendalam tentang

intervensi pemberian CBTpada pasien remaja dengan depresi.

Anda mungkin juga menyukai