Disusun Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAR KRISTEN INDONESIA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Patologi adalah salah satu dasar ilmu kedokteran, dan memiliki peranan yang sangat
penting. Diagnosis pasti suatu penyakit sering kali ditegakkan dengan histopatologi. Pengertian
patologi dalam artian luas adalah bagian dari ilmu kedokteran yang mengamati sebab akibat dari
terjadinya penyakit atau kelainan pada tubuh. Sel normal merupakan mikrokosmos yang
berdenyut tanpa henti, secara tetap mengubah struktur dan fungsinya untuk memberi reaksi
terhadap tantangan dan tekanan yang selalu berubah. Bila tekanan atau rangsangan terlalu berat,
struktur dan fungsi sel cenderung bertahan dalam jangkauan yang relatif sempit. Sel menagalami
penyesuaian untuk mencapai perubahan yang menetap, mempertehankan Kesehatan sel
meskipun tekanan berlanjut. Mekanisme adaptasi sel terdiri dari organisasi sel yaitu unit
kehidupan yang terkecil menunjukkan bermacam-macam fenomena yang berhubungan dengan
karakteristik makhluk hidup, yaitu : bereproduksi, tumbuh, melakukan metabolism dan
beradaptasi terhadap perubahan internal dan eksternal.
Tetapi bila sudah melampaui batas kemampuan adaptasi, maka akan terjadi jejas sel atau
cedera sel, atau bahkan kematian sel. Sel akan menyesuaikan diri saat bereaksi terhadap tekanan
yang berat, kemudian terjadi jejas sel atau cedera sel yang akan dapat pulih Kembali dan jika
tidak dapat pulih Kembali sel tersebut akan mengalami kematian sel. Kematian sel (apoptosis)
adalah salah satu proses yang penting karena apoptosis tidak hanya menggambarkan
pathogenesis suatu penyakit, namun juga dapat memberikan petunjuk cara pengobatan penyakit.
Pada dasarnya apoptosis dan nekrosis merupakan kutub dari suatu continuoum off cell death.
Apoptosis merupakan active cell death (energy dependent) sedangkan nekrosis merupakan
passive cell death (energy independent). Tampaknya kecukupan energi (ATP, adenosine
triphosphate) merupakan pola kematian sel. Ketersediaan energi minimal memungkinkan
terjadinya apoptosis, sedangkan ketidak tersediaan energi mendorong terjadinya nekrosis.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Jejas Sel
Sel adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari kehidupan. Aktifitasnya
memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan, perbaikan dan reproduksi.
Sel merupakan partisipan aktif di lingkungannya yang secara tetap menyesuaikan
struktur dan fungsinya untuk mengakomodasi tuntutan perubahan dan stress ekstrasel
Ketika mengalami stress fisiologis atau
rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi, mencapai kondisi baru dan
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Respons adaptasi utama adalah atrofi,
hipertrofi dan metaplasia. Jika kemampuan adaptatif berlebihan, sel mengalami jejas.
Dalam waktur tertentu, ceedera bersifat reversible dan sel kemudian ke kondisi stabil
semula. Namun, dengan stress berat atau menetap dapat terjadi
cedera irreversibel dan sel yang terkena mati. Sebagian besar penyebab dapat
digolongkan menjadi kategori berikut ini :
1. Hipoksia (penurunan oksigen)
Timbul sebagai hasil dari :
(1) Iskemia (kehilangan suplai darah)
(2) Oksigenasi inadekua (kegagalan kardiorespiratorik)
(3) Hilangnya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (anemia, keracunan
monoksida)
2. Fisika
Termasuk trauma, panas, dingin, radiasi dan syok elektrik.
3. Kimia dan obat-obatan
Seperti :
(1) Obat-obat terapeutik
(2) Agen non-terapeutik
4. Infeksi
Infeksi virus rickettsia, bakteri, jamur, dan parasite
5. Reaksi imunologik
6. Kelainan genetic
A. Jejas Reversible
Jejas reversibek menunjukkan perubahan sel yang dapat Kembali menjadi normal jika
rangsangan dihilangkan atau penyebab jejas ringan. Manifestasi jejas reversibel yang
sering terjadi awal adalah pembengkakan sel akut yang terjadi ketika sel tidak mampu
mempertahankan homeostatsis ionik dan cairan. Ini disebabkan :
1) Kegagalan transpor membrane ke sel aktif Na K ATPase, menyebabkan natrium
masuk ke dalam sel, kalium berdifusi ke luar sel dan terjadi pengumpulan air
isosmotik.
2) Pengikatan muatan osmotik intraseluler kerena akumulasi fosfat inorganik, laktat
dan purin nukleosida. Bila semua sel pada orang tersebut terkena, terdapat warna
kepucatan, peningkatan turgor dan penambajan berat organ. Secara mikroskopik,
tampak pembengkakan sel disertai vakuola kecil dan jernih di dalam sitoplasma
yang menggambarkan segmen retikulum endoplasma yang berdistensi. Perubahan
ini umumnya merupakan akibat adanya gangguan metabolisme seperti hipoksia
atau keracunan bahan kimia dan bersifat reversibel, walaupun dapat pula berubah
menjadi irreversibel apabila penyebab menetap.
B. Jejas Irreversible
Jejas irreversibel terjadi jika stresornya melampaui kemampuan sel untuk beradaptasi
dan menunjukkan perubahan patologik permanen yang menyebabkan
kematian sel. Jejas irreversibel ditandai oleh vakuolisasi berat pada mitokondria,
kerusakan membran plasma yang luas, pembengkakan lisosom dan tampak
kepadatan yang besar, amorf dalam mitokondria. Jejas pada membran lisosom
menyebabkan kebocoran enzim ke dalam sitoplasma. Selanjutnya enzim tersebut
diaktifkan dan menyebabkan digesti enzimatik sel dan komponen ini yang
mengakibatkan perubahan ini karakteristik untuk kematian sel.
C. Mekanisme Jejas sel
1. Ada beberapa mekanisme biokimia yang berperan penting dalam jejas atau
kematian sel yaitu :
1) Deplesi ATP
Penurunan sintesis ATP dan deplesi ATP merupakan konsekuensi yang umum
terjadi karenan jejas iskemia maupun toksik. Hipoksia akan meningkatkan
glikolisis anaerob dengan deplesi glikogen, meningkatkan produksi asam
laktat atau asidosis intrasel. Berkurangnya sintesis ATP akan berdampak besar
terhadap transpor membran, pemeliharaan gradien ionik (khusus Na+, K+ dan
Ca2+) dan sintesis protein.
5) Kerusakan mitokondria
Sel-sel tubuh sangat bergantung pada metabolisme oksidatif, maka keutuhan
mitokondria sangat penting bagi pertahanan hidup sel. Kerusakan mitokondria
dapat terjadi langsung karenan hipoksia atau toksin atau sebagai akbiat
meningkatnya Ca2+ sitosol, stress oksidatif intrasel atau pemecahan fosfolipid
dapat menyebabkan akumulasi pada saluran membran mitokondria interna
yang nantinya akan mencegah pembentukan dari ATP.
3) Penurunan pH intrasel
Penuruan pH intrasel menyebabkan ribosom lepas dari retikukulum
endoplasma kasar. Akibatnya, terjadi penuruna sintesis protein.
b) Adaptasi patologik ialah adaptasi sel yang idealnya untuk melepaskan diri dari
cedera.
1. Hipertrofi fisiologis : terjadi sebagai akibat dari peningkatan beban kerja suatu sel
yang sehat yaitu peningkatan massa otot setelah berolahraga.
2. Hipertrofi patologis : terjadi sebagai respon terhadap suatu keadaan sakit contoh.
LVH sebagai respon terhadap hipertensi kronik dan peningkatan beban jantung.
3. Hipertrofi kompensasi : terjadi sewaktu sel tumbuh untuk mengambil alih peran
sel lain yang telah mati. Contoh. Hilangnya satu ginjal menyebabkan sel-sel
diginjal yang masih ada mengalami hipertrofi sehingga terjadi peningkatan
ukuran ginjal.
3. Hiperplasia
adalah peningkatan jumlah sel yang terjadi pada suatu organ akibat peningkatan
mitosis. Dijumpai pada sel-sel yang dirangsang oleh peningkatan beban kerja,
sinyal hormone atau sinyal yang dihasilkan secara local sebagai respon terhadap
penurunan kepadatan jaringan. Dapat disebabkan oleh adanya stimulus atau
keadaan kekurangan secret atau produksi sel terkait.
Hiperplasia hanya dapat terjadi pada sel-sel yang mengalami mitosis (sel hepar,
dan jar.ikat).
Hanya dapat terjadi pada populasi sel labil ( dalam kehidupan ada siklus sel
periodic, sel epidermis, sel darah) atau sel stabil (dalam keadaan tertentu masih
mampu berproliferasi, misalnya : sel hati, sel epitel kelenjar. Tidak terjadi pada
sel permanent (sel otot rangka, saraf dan jantung).
Hiperplasia fisiologis : terjadi setiap bulan pada sel endometrium uterus selama
stadium folikuler pada siklus menstruasi.
Hiperplasia patologis : terjadi akibat perangsangan hormone yang berlebihan,
dijumpai pada akromegali (suatu penyakit jar.ikat yang ditandai dengan kelebihan
hormone pertumbuhan).
Hiperplasi kompensasi : terjadi ketika sel jaringan bereproduksi untuk mengganti
jumlah sel yang sebelumnya mengalami penurunan. Dijumpai pada sel hati
setelah pengangkatan sebagian jaringan hati melalui pembedahan.
4. Metaplasia
Ialah bentuk adaptasi terjadinya perubahan sel matur jenis tertentu menjadi sel
matur jenis lain. Biasanya terjadi sebagai respons terhadap cedera atau iritasi
continue yang menghasilkan peradangan kronis pada jaringan. Dengan
mengalami metaplasia, sel-sel yang lebih mampu bertahan terhadap iritasi dan
peradangan kronik akan menggantikan jaringan semula. Misalnya perubahan sel
saluran pernafasan dari sel epitel kolumnar bersilia menjadi sel epitel skuamosa
bertingkat sebagai respons terhadap merokok jangka panjang.
5. Displasia
adalah kerusakan pertumbuhan sel yang menyebabkan lahirnya sel yang berbeda
ukuran, bentuk, dan penampakan dibandingkan sel asalnya. Terjadi pada sel yang
terpajan iritasi dan peradangan kronik. Walaupun perubahan sel ini tidak bersifat
kanker, dysplasia adalah indikasi adanya suatu situasi berbahaya dan terdapat
kemungkinan timbulnya kanker. Tempat tersering terjadi dysplasia : saluran
pernafasan dan serviks wanita. Sel dalam proses metaplasia berkepanjangan tanpa
mereda dapat mengalami ganguan polarisasi pertumbuhan sel reserve, sehingga
timbul keadaan yg disebut displasia.
Akibat jejas yang paling ekstrim adalah kematian sel (cellular death). Kematian sel
dapat mengenai seluruh tubuh (somatic death) atau kematian umum dan dapat pula
setempat, terbatas mengenai suatu daerah jaringan teratas atau hanya pada sel-sel
tertentu saja. Terdapat dua jenis utama kematian sel, yaitu apotosis dan nekrosis.
a. Perubahan Mikroskopis
Perubahan pada sel yang nekrotik terjadi pada sitoplasma dan organel-organel
sel lainnya. Inti sel yang mati akan menyusut (piknotik), menjadi padat,
batasnya tidak teratur dan berwarna gelap. Selanjutnya inti sel hancur dan
meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel.
Proses ini disebut karioreksis. Kemudian inti sel yang mati akan menghilang
(kariolisis).
b. Perubahan Makroskopis
Perubahan morfologis sel yang mati tergantung dari aktivitas enzim lisis pada
jaringan yang nekrotik. Jika aktivitas enzim lisis terhambat maka jaringan
nekrotik akan mempertahankan bentuknya dan jaringannya akan
mempertahankan ciri arsitekturnya selama beberapa waktu. Nekrosis ini
disebut nekrosis koagulatif, seringkali berhubungan dengan gangguan suplai
darah. Contohnya gangren.
Jaringan nekrotik juga dapat mencair sedikit demi sedikit akibat kerja enzim
dan proses ini disebut nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif khususnya
terjadi pada jaringan otak, jaringan otak yang nekrotik mencair meninggalkan
rongga yang berisi cairan. Pada keadaan lain sel-sel nekrotik hancur tetapi
pecahannya tetap berada pada tempatnya selama berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun dan tidak bisa dicerna. Jaringan nekrotik ini tampak seperti
keju yang hancur. Jenis nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa, contohnya pada
tuberkulosis paru.
Jaringan adiposa yang mengalami nekrosis berbeda bentuknya dengan jenis
nekrosis lain. Misalnya jika saluran pankreas mengalami nekrosis akibat
penyakit atau trauma maka getah pankreas akan keluar menyebabkan
hidrolisis jaringan adiposa (oleh lipase) menghasilkan asam berlemak yang
bergabung dengan ion-ion logam seperti kalsium membentuk endapan seperti
sabun. Nekrosis ini disebut nekrosis lemak enzimatik.
2. Apoptosis
Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), adalah
suatu komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga
keseimbangan pada organisme multiseluler. Sel-sel yang mati adalah sebagai
respons dari beragam stimulus dan selama apoptosis kematian sel-sel tersebut
terjadi secara terkontrol dalam suatu regulasi yang teratur.
Informasi genetik pemicu apoptosis aktif setelah sel menjalani masa hidup
tertentu, menyebabkan perubahan secara morfologis termasuk perubahan pada inti
sel. Kemudian sel akan terfragmentasi menjadi badan apoptosis, selanjutnya
fragmen tersebut diabsorpsi sehingga sel yang mati menghilang.
a. Penyebab Apoptosis
Kematian sel terprogram di mulai selama embriogenesis dan terus
berlanjut sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang
menimbulkan apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan
antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang mengidentifikasi
sel yang menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan
seringkali menyebabkan apoptosis, yang akhirnya yang
mengakibatkan kematian virus dan sel penjamu (host). Hal ini
merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup
untuk melawan infeksi virus. Virus tertentu (misalnya; Virus
EpsteinBarr yang bertanggung jawab terhadap monunukleosis)
pada gilirannya menghasilkan protein khusus yang menginaktifkan
respons apoptosis. Defisiensi apoptosis telah berpengaruh pada
perkembangan kanker dan penyakit neuro degeneratif dengan
penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit Alzheimer dan
sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis yang
dirangsang-antigen dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting
dalam menimbulkan dan mempertahankan toleransi diri imun
(Elizabeth J. Corwin, 2009).
b.Mekanisme Apoptosis
Apoptosis ditimbulkan lewat serangkaian kejadian molekuler yang
berawal dengan berbagai cara yang berbeda tapi pada akhirnya
berpuncak pada aktivasi enzim kaspase. Mekanisme apoptosis
secara filogenetik dilestarikan; bahkan pemahaman dasar kita
tentang apoptosis sebagian besar berasal dari eksperimen cacing
nematoda Caenorhabditis elegans; pertumbuhan cacing ini
berlangsung melalui pola pertumbuhan sel yang sangat mudah
direproduksi, diikuti oleh kematian sel. Penelitian terhadap cacing
mutan menemukan adanya gen spesifik (dinamakan gen ced
singkatan dari C. elegans death; gen ini memiliki homolog pada
manusia) yang menginisiasi atau menghambat apoptosis.
Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi aktif) dan fase eksekusi,
ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis terjadi melalui dua jalur
yang berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu: jalur ekstrinsik atau,
yang dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur mitokondria.
1) Fase Inisiasi
a) Jalur Ekstrinsik (Reseptor Kematian)
Reseptor kematian merupakan anggota famili reseptor TNF (tumor necrosis factor)
(misalnya, rreseptor TNF tipe 1 dan Fas); reseptor ini memiliki ranah kematian dalam
sitoplasma yang terlibat dalam interaksi antar-protein. Ikatan silang oleh ligan
eksternal menyebabkan multimerisasi reseptor ini untuk membentuk tempat ikatan
bagi protein adapter yang selanjutnya akan mendekatkan molekul kaspase-8 inaktif.
Aktivitas enzimatik tingkat rendah yang dimiliki proenzim kaspase tersebut pada
akhirnya memecah dan menngaktifkan salah satu kelompok dari banyak kelompok
yang terkerahkan, dengan cepat menimbulkan kaskade downstream aktivasi kaspase.
b) Jalur Instrinsik (Mitokondria)
Permeabilitas mitokondria meninngkat, dan molekul pro-apoptotik dilepaskan ke
dalam sitoplasma; reseptor kematian tidak terlibat. Ada lebih dari 20 protein familil
Bcl-2 yanng normalnnya berfungsi mengatur apoptosis; dua protein anti-apoptotik
utama adalah Bcl-2 dan Bcl-x. Ketika sel kehilangan sinyal untuk bertahan hidup atau
menngalami stres, Bcl-2 dan Bcl-x akan hilang dari membrane mitokondria dan
digantikan oleh anggota pro-apoptotik fammili teersebut (misalnya, Bak, Bax, dan
Bim) dengan penurunan kadar Bcl-2/Bcl-x, permeabilitas membran mitokondria
meningkat, mengeluarkan beberapa protein yang dapat mengaktifkan kaspase.
Sebagai contoh, sitokrom c yang dilepaskan akan terikat dengan protein Apaf-1
(apoptosis activating factor-1) dan kompleks ini memicu aktivasi kaspase-9. Inti dari
jalur intrinsik adalah adanya keseimbangan antara molekul proapoptik dan molekul
protektif yanng mengatur permeabillitas mitokondria.
2) Lintasan Eksekusi
Kaspase proteolitik fase eksekusi sangat dilestarikan pada semua spesies; istilah
kaspase, huruf “c” mengacu pada tempat aktif sistein dan “aspase” mengacu pada
kemampuan unik untuk memecah residu asam aspartat. Kaspase dibagi menjadi dua
kelompok dasar yaitu, inisiator dan eksekusioner menurut urutan aktivasinnya selama
proses apoptosis. Kaspase bertindak sebagai proenzim inaktif dan harus menjalani
pemecahan agar menjadi aktif: tempat pemecahan dapat terhidrolisis oleh kaspase
lain atau secara autokatalitik. Begitu kaspase inisiator diaktifkan, program kematian
mulai berjalan melalui aktivasi kaspase lainnya yanng berjalan dengan cepat dan
sekuensial. Kaspase eksekusioner bekeerja pada banyak komponen sel: enzim ini
memecah protein yang terlibat dalam tteranskripsi, rreplikasi DNA, dan perbaikan
DNA; secara khusus, kaspase-3 mengaktifkan DNAase sitoplasmik sehingga terjadi
pemecahan DNA intranukleus yang khas.
4) Nekrosis lemak
Terjadi dalam 2 bentuk :
a. Nekrosis lemak traumatik
Terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau jaringan yang banyak
mengandung lemak.
b. Nekrosis lemak enzimatik
Merupakan komplikasi dari pankreatitis akut hemoragika, yang mengenai
sel lemak di sekitar pankreas, omentum, sekitar dinding rongga abdomen.
Lipolisis disebabkan oleh kerja lypolitic dan proteolytic pancreatic
enzymes yang dilepas oleh sel pankreas yang rusak. Aktivasi enzim
pankreatik mencairkan membran sel lemak dan menghidrolisis ester
trigliserida yang terkandung didalamnya. Asam lemak yang dilepaskan
bercampur dengan kalsium yang menghasilkan area putih seperti kapur
(mikroskopik).
5) Nekrosis fibrinoid
Disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah imun. Hal ini ditandai dengan
adanya pengendapan fibrin bahan protein seperti dinding arteri yang tampak
kotor dan eosinofilik pada pada mikroskop cahaya. Nekrosis ini terbatas pada
pembuluh darah yang kecil, arteriol, dan glomeruli akibat penyakit autoimun
atau hipertensi maligna. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan nekrosis
dinding pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam lapisan media.
Fibrin terdeposit disana. Pada pewarnaan hematoksilin eosin terlihat masa
homogen kemerahan.
4. Dampak nekrosis
Jaringan nekrotik akan menyebabkan peradangan sehingga jaringan nekrotik
tersebut dihancurkan dan dihilangkan dengan tujuan membuka jalan bagi proses
perbaikan untuk mengganti jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik dapat digantikan
oleh sel-sel regenerasi (terjadi resolusi) atau malah digantikan jaringan parut. Jika
daerah nekrotik tidak dihancurkan atau dibuang maka akan ditutup oleh jaringan
fibrosa dan akhirnya diisi garam-garam kalsium yang diendapkan dari darah di
sekitar sirkulasi jaringan nekrotik. Proses pengendapan ini disebut kalsifikasi dan
menyebabkan daerah nekrotik mengeras seperti batu dan tetap berada selama
hidup.
Perubahan-perubahan pada jaringan nekrotik akan menyebabkan:
(1) Hilangnya fungsi daerah yang mati.
(2) Dapat menjadi fokus infeksi dan merupakan media pertumbuhan yang baik
untuk bakteri tertentu, misalnya bakteri saprofit pada gangren.
(3) Menimbulkan perubahan sistemik seperti demam dan peningkatan leukosit
(4) Peningkatan kadar enzim-enzim tertentu dalam darah akibat kebocoran sel-sel
yang mati.
b. Agens biologik
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah
dan trombosis. Toksin ini biasanya berasal dari bakteri-bakteri yang
virulen, baik endo maupun eksotoksin
c. Agens kimia
Dapat eksogen maupun endogen. Meskipun zat kimia merupakan juga
merupakan juga zat yang biasa terdapat pada tubuh, seperti natrium
danglukose, tapi kalau konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis
akibat gangguan keseimbangan kosmotik sel. Beberapa zat tertentu dalam
konsentrasi yang rendah sudah dapat merupakan racun dan mematikan sel,
sedang yang lain baru menimbulkan kerusakan jaringan bila
konsentrasinya tinggi.
d. Agens fisik
Trauma, suhu yang sangat ekstrem, baik panas maupun dingin, tenaga
listrik, cahaya matahari, tenaga radiasi. Kerusakan sel dapat terjadi karena
timbul kerusakan potoplasma akibat ionisasi atau tenaga fisik, sehingga
timbul kekacauan tata kimia potoplasma dan inti.
e. Kerentaan (hypersensitivity)
Kerentanan jaringan dapat timbul spontan atau secara di dapat (acquired)
dan menimbulkan reaksi imunologik. Pada seseorang bersensitif terhadap
obat-obatan sulfa dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal apabila
ia makan obat-obatan sulfa. Juga dapat timbul nekrosis pada pembuluh-
pembuluh darah. Dalam imunologi dikenal reaksi Schwartzman dan reaksi
Arthus.
6. Akibat nekrosis
a. Sekitar 10% kasus terjadi pada bayi baru lahir, nekrosis kortikalis terjadi karena
persalinan yang disertai dengan abruptio placentae – sepsis bakterialis.
b. Pada anak-anak, nekrosis kortikalis terjadi karena infeksi, syok, dan dehidrasi.
c. Pada dewasa, 30% kasus disebabkan oleh sepsis bakterialis.
d. Sekitar 50% kasus terjadi pada wanita yang mengalami komplikasi kehamilan,
abroptio placenta, placenta previa, pendarahan rahim, infeksi yang terjadi segera
setelah melahirkan (sepsis puerpurium), penyumbatan arteri oleh cairan ketuban
(emboli), kematian janin di dalam rahim, dan pre-eklamsi(tekanan darah tinggi
disertai adanya protein dalam air kemih atau penimbunan cairan selama
kehamilan).
BAB III
PENUTUP
Ketika stress fisiologis ataupun rangsangan patologis, sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru
dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pola adaptasi sel bisa meliputi atrofi, hipertrofi,
metaplasia, dan hiperplasia.
Jejas sel (cedera sel) terjadi apabila suatu sel tidak dapat beradaptasi terhadap rangsangan yang
berlangsung lebih berat dan lama.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, jejas sel dikelompokkan menjadi 2 kategori utama yaitu jejas
reversible (degenerasi sel) dan jejas irreversible (kematian sel).
Berdasarkan asal rangsangan yang menyebabkan kerusakan, jejas dikelompokkan menjadi 2
yaitu jejas endogen (defek genetik, faktor imun, produksi hormonal tidak adekuat, hasil
metabolisme tidak sempurna, dan proses penuaan sel) dan jejas eksogen (agen kimiawi, obat-
obatan, agen fisik, trauma, radiasi, suhu, listrik, agen biologik, infeksi mikroorganisme, virus,
parasit, kekurangan oksigen, hipoksia, anoksia, ketidakseimbangan nutrisi).
Jejas dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti bahan kimia, penuaan, agen infeksius, agen
fisik, hipoksia, reaksi imunologi, defek genetik, dan ketidakseimbangan nutrisi. Dimana setiap
penyebab tersebut terjadi melalui mekanisme yang berbeda dalam menyebabkan jejas.
Akibat dari terjadinya jejas yang paling ekstrim adalah kematian sel. Ada kematian sel yang
terprogram yaitu apoptosis dan autofagi; serta kematian sel yang tidak terprogram yaitu nekrosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Robbins & Cotran., 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (ed.7). Mitchell, R.N.,
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins. Edisi ke7. Prasetyo
A, Pendit BU, Priliono T, penerjemah. Jakarta: EGC; 2007.
3. Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC.
4. Sari LM. Apoptosis : Mekanisme Molekuler Kematian sel. Cakradonya Dent J. 2018;
10(2): 66.
5. Widjajanto E. Apoptosis dan Nekrosis pada Berbagai Selularitas Sumsum Tulang.
2003; 19(1): 32-3.
6. Lestari, Ajeng S.P. dan Agus Mulyono. 2011. Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi
Sel Psikonosis dan Sel Nekrosis. Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66.
7. Siahaan AMP. Hubungan Kadar Ubiqutin C- Terminal Hydrolase - L1 dengan
Tingkat Keparahan Cedera Kepala [tesis]. Medan: Program Magister Kedokteran
Klinik Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara; 2013.