Disusun Oleh :
dr. Tegar Chandra B.R.
Pembimbing :
dr. Sri Inakawati, Msi.Med., Sp.M (K)
2019
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................ 4
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 5
3.1 Definisi...................................................................................................... 15
3.2 Etiologi...................................................................................................... 15
3.3 Epidemiologi............................................................................................. 15
3.4 Klasifikasi.................................................................................................. 16
3.5 Diagnosis................................................................................................... 19
4.1.6 Lagoftalmus.................................................................................. 24
4.1.8 Jaw-Winking................................................................................. 25
4.1.9 Fatigability.................................................................................... 25
2
4.1.10 Ice Test........................................................................................... 26
BAB V RINGKASAN.................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 29
3
DAFTAR GAMBAR
4
BAB I
PENDAHULUAN
Palpebra merupakan lipatan kulit yang terletak di bagian superior dan inferior depan bola
mata. Palpebra dapat digerakkan untuk menutup mata, dengan ini melindungi bola mata terhadap
trauma dari luar yang bersifat fisik atau kimiawi serta membantu membasahi kornea dengan air
mata pada saat berkedip untuk mencegah agar mata tidak kering. Dalam keadaan terbuka, palpebra
memberi jalan masuk sinar ke dalam bola mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. Membuka dan
eye lid ), dimana palpebra superior tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga celah antara kedua
palpebra menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal.1 Kata 'ptosis' diturunkan dari
bahasa Yunani 'πτωσις', yang diterjemahkan sebagai 'untuk jatuh'. Kata ini merupakan bentuk
singkat dari kata 'blepharoptosis' ('kelopak mata yang jatuh'). Kondisi seperti ini dapat
Ptosis terutama terjadi dikarenakan menurunnya fungsi dari M. levator palebra, akibat
melemahnya N.III baik sebagian atau total. Palpebra yang turun akan menutupi sebagian pupil
sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis matanya atau
mekanikal, dan traumatik. Ptosis juga dapat terjadi pada Sindrom Horner dan pada Miastenia
Ptosis dapat terjadi pada semua usia. Ptosis tidak memiliki predileksis ras atau jenis
kelamin tertentu. Ptosis Kongenital terjadi pada saat lahir, sedangkan Ptosis Didapat (Acquired)
dapat terjadi pada setiap kelompok usia, tetapi biasanya ditemukan pada usia dewasa tua. Di
5
Amerika Serikat dilaporkan bahwa jenis ptosis yang paling banyak adalah Aponeurotik (60,2%),
diikuti dengan Traumatik (11,2%), Kongenital (10,4%), Mekanikal (8,8%), Neurogenik (5,6%),
dan Miogenik (4,0%). Ptosis Kongenital rata-rata terjadi pada usia 5 tahun dan Ptosis
Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat, terdapat 21 kasus tercatat selama periode
dari April 2012 hingga Maret 2015 antara lain terdapat 11 kasus Ptosis Kongenital dan 10 kasus
Ptosis Didapat (Acquired). Rata-rata paling sering terjadi pada usia 11-20 tahun, dengan usia
dilakukan untuk mendiagnosa penyakit ptosis. Hal ini dipaparkan dengan tujuan agar klinisi
mengetahui dan mampu mendiagnosa penyakit ptosis dengan baik dan tepat.
6
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI PALPEBRA
Palpebra terletak di depan bola mata, yang melindungi mata dari cedera dan cahaya yang
berlebihan. Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah bergerak daripada palpebra inferior.
Bila mata ditutup, palpebra superior menutup kornea dengan sempurna. Bila mata dibuka dan
menatap lurus ke depan, palpebra superior hanya menutupi pinggir atas kornea.6
Palpebra berfungsi:
Posisi palpebra pada waktu istirahat bergantung pada tonus M. Orbicularis Oculi dan M.
Levator Palpebra serta posisi bola mata. Palpebra menutup bila M. Orbicularis oculi kontraksi dan
M. Levator Palpebra superior relaksasi. Mata terbuka apabila M. Levator palpebra superioris
kontraksi dan M. Orbicularis oculi relaksasi. Pada waktu melihat ke atas, M. Levator palpebra
superioris berkontraksi dan bergerak bersama bola mata. Pada waktu melihat ke bawah, kedua
palpebra bergerak ke bawah. Palpebra superior terus menutupi kornea bagian atas dan palpebra
7
2.2 Anatomi Palpebra
Palpebra terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu kulit, otot orbikularis, septum, korpus
a. Kulit
kulit yang tipis ± 1 mm dan tidak memiliki lemak subkutan. Kulit disini sangat halus dan
mempunyai rambut vellus halus dengan kelenjar sebaseanya, juga terdapat sejumlah
kelenjar keringat. Dibawah kulit terdapat jaringan areolar longgar yang dapat meluas pada
edema masif
b. Otot orbicularis
M. orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan
terletak dibawah kulit kelopak. Pada dekat tepi margo palpebra terdapat M. Orbikularis
Okuli yang disebut sebagai M. Rioland. M. orbikularis berfungsi menutup bola mata. Otot
ini terdiri dari lempeng yang tipis yang serat-seratnya berjalan konsentris. Otot ini
dipersarafi oleh nervus fasialis (N.VII) yang kontraksinya menyebabkan gerakan mengedip,
disamping itu otot ini juga dipersarafi oleh saraf somatik eferen yang tidak dibawah
kesadaran.8,9
M. orbikularis okuli terbagi dalam bagian orbital, praseptal, dan pratarsal. Bagian
orbital, yang terutama berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa
insertio temporal. Otot praseptal dan pratarsal memiliki kaput medial superficial dan
c. Septum Orbita
8
Septum orbita merupakan jaringan fibrosis berasal dari rima orbita merupakan
pembatas isi orbita dengan kelopak depan. Septum merupakan sawar penting antara
palpebra dan orbita.12 Pada palpebra superior, septum orbita bersatu dengan levator
aponeurosis kurang lebih 1-3 mm superior tarsus pada orang yang bukan etnis Asia.8,9,11
palpebra superior. Lemak ini penting sebagai petunjuk dalam operasi, karena letaknya
e. Tarsus
pada tepian orbita oleh tendo-tenso kanthus medialis dan lateralis. Didalamnya terdapat
kelenjar Meibom (40 buah di kelopak atas) yang membentuk “oily layer” dari air mata.
Tarsus palpebra superior merupakan jaringan ikat yang kokoh, tebal , yang berguna sebagai
kerangka palpebra, tarsus superior pada bagian tengah palpebra vertical berukuran 9-10 mm,
dengan ketebalan lebih-kurang 1 mm. Arkade arteri marginal terletah 2 mm superior margin
palpebra dekat dengan folikel silia dan anterior tarsus antara levator aponeurosis dengan
muskulus Muller.8,9
Merupakan “major refractor” untuk kelopak mata atas. M. levator palpebra, yang
berorigo pada anulus foramen orbita dan berinsersi pada tarsus atas dengan sebagian
menembus M. orbikularis okuli menuju kulit kelopak bagian tengah. Bagian kulit tempat
insersi M. levator palpebra terlihat sebagai sulkus (lipatan) palpebra. Saat memasuki
palpebra, otot ini membentuk aponeurosis yang melekat pada sepertiga bawah tarsus
9
superior.8,9
Otot ini dipersarafi oleh nervus okulomotoris (N.III), yang berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata.16 Kerusakan pada nervus okulomotoris
(N.III) atau perubahan-perubahan pada usia tua menyebabkan jatuhnya kelopak mata
(ptosis). Suatu otot polos datar yang muncul dari permukaan profunda levator berinsersi
pada lempeng tarsal. Otot ini dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Jika persarafan simpatis
penebalan dari fasia muskulus levator yang berlokasi di daerah transisi M. Levator dengan
aponeurosis levator.8,9
tendon yang berwarna putih berkilat. Levator aponeurosis membelah menjadi lamella
anterior dan posterior pada lokasi kira-kira 10-12 mm di atas tarsus. Lamella posterior terdiri
dari jaringan otot yang lembut yang diinervasi oleh saraf simpatis, disebut juga muskulus
mullers, yang analog dengan muskulus tarsal palpebra inferior. M. Muller kemudian
berinsersi pada pinggir atas tarsus. M. Muller bagian posterior melekat erat dengan lapisan
konjungtiva dan bagian anterior melekat dengan aponeurosis. Tidak ditemukan arcade
pembuluh darah perifer pada anterior M. muller dekat dengan insersi pinggir superior
tarsus.7,9
g. Konjungtiva Tarsal
Konjungtiva tarsal yang terletak di belakang kelopak hanya dapat dilihat dengan
melakukan eversi kelopak. Konjungtiva tarsal melalui forniks menutup bulbus okuli.
10
Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang mempunyai sel Goblet yang
menghasilkan musin.7,9
Eversi kelopak dilakukan dengan mata pasien melihat jauh ke bawah. Pasien diminta
jangan mencoba memejamkan mata. Tarsus ditarik ke arah orbita. Pada konjungtiva dapat
dicari adanya papil, folikel, perdarahan, sikatriks dan kemungkinan benda asing.8,1
Panjang margo palpebra adalah 25-30 mm dan lebar 2 mm. Ia dipisahkan oleh Gray Lines
a) Margo anterior
1. Bulu mata
Bulu mata muncul dari tepian palpebra dan tersusun tidak teratur.
2. Glandula Zeis
Ini adalah modifikasi kelenjar sebasea kecil, yang bermuara ke dalam folikel rambut
Ini adalah modifikasi kelenjar keringat yang bermuara ke dalam satu baris dekat bulu
mata.
b) Margo posterior
Margo palpebra superior berkontak dengan bola mata, dan sepanjang margo ini terdapat
muara-muara kecil dari kelenjar sebasea yang telah dimodifikasi (glandula meibom, atau
tarsal).
c) Punktum Lakrimal
Pada ujung medial dari margo palpebra posterior terdapat elevasi kecil dengan lubang
Fissura palpebra adalah ruang ellips diantara kedua palpebra yang dibuka. Normalnya
fissura palpebra memiliki lebar 9 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Fissura ini berakhir
12
di kanthus medialis dan lateralis. Kanthus lateralis kira-kira 0,5 cm dari tepian lateral orbita dan
membentuk sudut tajam. Kanthus medialis lebih elliptic dan mengelilingi lakuna lakrimalis.8
muskulofasial, dengan komponen otot rangka dan polos, dikenal sebagai kompleks levator
palpebra superior. Di palpebra superior, bagian otot rangka adalah levator palpebra superioris,
yang berasal dari apeks orbita dan berjalan ke depan dan bercabang menjadi sebuah aponeurosis
dan bagian yang lebih dalam yang mengandung serat-serat otot polos dari muskulus Muller
(tarsalis superior). Levator dipasok cabang superior dari nervus okulomotorius (N.III). Darah ke
levator palpebrae superioris datang dari cabang muskular lateral dari arteri oftalmika.8
Persarafan otot-otot pada palpebra dipengaruhi oleh nervus facialis (N.VII), nervus
Korugator supersili. M. Orbikularis okuli sebagai Protraktor utama palpebra dipersarafi oleh
cabang temporal dan zygomatica dari Nervus facialis (N.VII). Nervus okulomotoris (N. III)
melalui cabang superior mempersarafi M. Retraktor dan M. Levator palpebra superior. Serabut
saraf simpatis mempersarafi M. Tarsal superior (M. Muller) dan M.Tarsal inferior.8,9
Persarafan sensoris ke palpebra datang dari divisi pertama dan kedua dari nervus trigeminus
kecil adalah cabang-cabang dari divisi oftalmika dari nervus kelima. Nervus infraorbitalis,
13
nervus trigeminus.8,9
Pasokan darah ke palpebra datang dari arteri lakrimalis dan oftalmika melalui cabang-
cabang palpebra lateral dan medialnya. Anastomosis antara arteri palpebra lateralis dan medialis
Drainase vena dari palpebra mengalir ke dalam vena oftalmika dan vena-vena yang
mengangkut darah dari dahi dan temporal. Vena-vena itu tersusun dalam pleksus pra- dan pasca
tarsal.8,9
Pembuluh limfe dari segmen lateral palpebra berjalan ke dalam nodus pra-auricular dan
parotis. Pembuluh limfe dari sisi medial palpebra mengalirkan isinya ke dalam limfonodus
submandibular.8,9
14
BAB III
PTOSIS
3.1 Definisi
Kata 'ptosis' diturunkan dari bahasa Yunani 'πτωσις', yang diterjemahkan sebagai 'untuk
jatuh'. Kata ini merupakan bentuk singkat dari kata 'blepharoptosis' ('kelopak mata yang
(Drooping eye lid ), dimana palpebral superior tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga
celah antara kedua palpebra menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal.1
Kondisi seperti ini dapat menyebabkan gangguan lapang pandang superior, sentral, bahkan
perifer. Ptosis juga akan mempengaruhi masuknya cahaya mencapai makula, oleh karena itu
3.2 Etiologi
Ptosis terutama terjadi dikarenakan menurunnya fungsi dari M. levator palebra, akibat
melemahnya N.III baik sebagian atau total. Palpebra yang turun akan menutupi sebagian
pupil sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis
aponeurotik, neurogenik, mekanikal, dan traumatik. Ptosis juga dapat terjadi pada Sindrom
Horner dan pada Miastenia Gravis pada satu mata atau kedua mata.1,2,3
3.3 Epidemiologi
Ptosis dapat terjadi pada semua usia. Ptosis tidak memiliki predileksis ras atau jenis
kelamin tertentu. Ptosis Kongenital terjadi pada saat lahir, sedangkan Ptosis Didapat
(Acquired) dapat terjadi pada setiap kelompok usia, tetapi biasanya ditemukan pada usia
dewasa tua. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa jenis ptosis yang paling banyak adalah
15
Aponeurotik (60,2%), diikuti dengan Traumatik (11,2%), Kongenital (10,4%), Mekanikal
(8,8%), Neurogenik (5,6%), dan Miogenik (4,0%). Ptosis Kongenital rata-rata terjadi pada
usia 10 tahun dan Ptosis Aponeurotika rata-rata terjadi pada usia 62 tahun. Pada Ptosis
Neurogenik, sebanyak 35,7% pasien dengan kelemahan pada N.III, 28,6% dengan Miasthenia
Gravis, dan 7,1% dengan Sindrom Horner. Sedangkan pada Ptosis Miogenik sebanyak 30%
Di Indonesia, terdapat 21 kasus berada di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat
yang tercatat selama periode dari April 2012 hingga Maret 2015 antara lain terdapat 11 kasus
Ptosis Kongenital dan 10 kasus Ptosis Didapat (Acquired). Rata-rata paling sering terjadi pada
usia 11-20 tahun, dengan usia paling muda 4,5 tahun dan yang paling tua 70 tahun.5
3.4 Klasifikasi
A. Kongenital
Sebagian besar kasus ptosis kongenital akibat gangguan pembentukan jaringan muskulus
B. Didapat (Acquired)
Ptosis didapat terjadi akibat penurunan regangan atau disinsersi aponeurosis levator
(aponeurotic abnormality).1,2
A. Ptosis Myogenik
▪ Kongenital
16
Akibat dari gangguan perkembangan (maldevelopment) muskulus levator dengan
lagoftalmus. Congenital Myogenic Ptosis dengan fenomena Bell yang buruk atau
▪ Didapat
Ptosis ini jarang ditemukan, merupakan akibat dari kelainan muskuler lokal atau
infiltratif. 1,2,10
B. Ptosis Aponeurotika
▪ Kongenital
tarsus.1,2
▪ Didapat
kedudukan normal. Umumnya terdapat cukup sisa perlekatan ke tarsus yang dapat
levator ke kulit dan muskulus orbikularis menghasilkan lipatan palpebra yang sangat
tinggi. Banyak pasien setelah operasi katarak dapat mengalami ptosis aponeurotika.
Hal ini diduga dikarenakan trauma pada muskulus levator palpebra superior akibat
dari pembengkakan kelopak mata setelah operasi katarak atau penggunaan eye
▪ Kongenital
Disebabkan karena adanya defek neurogenik yang terjadi pada saat perkembangan
embrio. Ptosis ini jarang ditemukan dan sering berhubungan dengan kelumpuhan
nervus kranial III kongenital, Sindrom Horner kongenital, atau Sindrom Marcus
▪ Didapat
terjadi akibat sekunder dari kelumpuhan nervus kranial III didapat, Sindrom Horner
D. Ptosis Mekanikal
Ptosis mekanikal biasanya terjadi akibat dari massa pada palpebra superior yang
berat sehingga mendorong palpebra superior ke inferior. Hal ini dapat disebabkan oleh
didapat seperti khalazion besar, basal sel atau squamous sel karsinoma. Edema setelah
E. Ptosis Traumatik
Ptosis Traumatik terjadi akibat trauma tajam dan tumpul pada muskulus atau
aponeurosis levator. Hal ini dapat juga menyebabkan ptosis melalui kerusakan secara
superior dan prosedur bedah saraf orbital. Pada kasus ptosis traumatik penderita harus
18
dapat sembuh spontan.1,2
F. Pseudoptosis
bulbi, brow ptosis, defek sulkus superior akibat trauma, atau kasus lainnya.1,2,3,10
3.5 Diagnosis
Riwayat pasien dapat membedakan antara Ptosis kongenital atau didapat. Dengan
anamnesis yang tepat dapat menjadi alat yang penting dalam mendiagnosa penyakit ini.
Beberapa poin yang harus ditekankan dalam kasus Ptosis adalah : 1,2,10
• Keterlibatan pada satu mata setelah mata yang lain atau kedua mata secara bersamaan
• Faktor pencetus, seperti riwayat trauma, operasi mata, penyakit mata sebelumnya (Dry
Eye/ Tyroid eye disease), kehamilan, persalinan, dan kondisi medis lainnya
• Kondisi lain yang terkait, seperti Jaw winking, diplopia, disfagia, dan kelelahan
blepharophimosis, dll.
19
BAB IV
Secara fisik, ukuran bukaan palpebra pada ptosis lebih kecil dibanding mata normal.
Ptosis biasanya mengindikasikan lemahnya fungsi dari muskulus levator palpebra superior
(otot kelopak mata atas). Rata – rata lebar fisura palpebra/celah kelopak mata pada posisi
tengah adalah berkisar 9 mm, panjang fisura palpebra berkisar 28 mm. Rata – rata diameter
kornea secara horizontal adalah 12 mm, tetapi vertikal adalah 11 mm. Bila tidak ada deviasi
vertikal maka refleks cahaya pada kornea berada 5,5 mm dari batas limbus atas dan bawah.
Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm kornea bagian atas, sehingga batas
kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4 mm diatas reflek cahaya pada kornea.10
Jarak antara tengah refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata atas dengan
Jarak antara pusat refleks cahaya pupil dan margin kelopak mata bawah pada
posisi primer.2,10,12
Jarak antara margo palpebra superior dan inferior pada posisi penglihatan primer.
Jumlah antara MRD 1 dan MRD 2 sama dengan Vertical Palpebra Fissure Height. Margo
palpebra superior normalnya terletak sekitar 2 mm dibawah limbus bagian atas dan margo
palpebra inferior terletak 1 mm dibawah limbus bagian bawah. Pada pengukuran ini untuk
laki-laki nilai normalnya 7-10 mm dan untuk wanita nilai normalnya 8-12 mm.1,2,10,12
21
4.1.3 Upper Lid Crease
Jarak antar lipatan kulit palpebra superior dengan margin palpebral superior. Akibat
Disinsersi aponeurosis levator membentuk lid-crease pada posisi tinggi, ganda, dan
asimetris. Lid-crease biasanya tinggi pada pasien ptosis involusional. Pada ptosis
kongenital biasanya samar-samar atau tidak ada. Ciri khas lid-crease orang Asia biasanya
rendah dan tidak jelas walaupun tidak ada ptosis. Pada laki-laki ukuran normalnya 8-9
a. b.
pemeriksa memegang penggaris dan menempatkan titik nol pada margo palpebra
superior, juga pemeriksa menekan otot frontalis agar otot frontalis tidak ikut mengangkat
kelopak, lalu penderita diminta melihat ke atas maksimal dan dilihat margo palpebra
superior ada pada titik berapa. Klasifikasi hasil pengukuran untuk Levator Function
adalah 2,3,10,12
Merupakan jarak antara margo palpebra superior dengan lipatan kulit pada palpebra
yang terlihat saat mata dalam posisi primer. Ini merupakan aspek penting untuk
23
Gambar 9. Pretarsal Show.12
4.1.6 Lagoftalmus
Pasien harus dinilai apakah terdapat lagoftalmus, jika ada kita harus ukur dan catat
jarak antara margo palpebra superior dan margo palpebra inferior. Lagoftalmos dan
kuantitas atau kualitas Tear Film yang buruk pada ptosis dapat mempengaruhi pasien
membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti Bells Phenomenon
(+).3,12
24
Gambar 11. Pemeriksaan Bells Phenomenon.12
Pemeriksaan yang dilakukan dengan meminta pasien membuka mulut lalu diminta
untuk menggerakkan rahang ke sisi kanan atau sisi kiri. Hasilnya dengan mengukur
terangkatnya palpebra superior pada sisi ptosis saat pasien membuka mulut atau
menggerakan rahang ke arah kontralateral dari sisi ptosis. Jaw-Winking dinilai sebagai
berikut : Mild (< 2 mm), Moderate (2 – 5 mm), Severe ( > 5 mm). 10,12,13
4.1.9 Fatigability
Pemeriksaan dilakukan pada pasien yang diduga Miastenia Gravis, yaitu dengan
meminta pasien untuk melihat keatas selama 30 – 60 detik tanpa berkedip lalu kita amati
turunnya palpebra superior secara progresif pada satu atau kedua mata. 10,12
25
Gambar 13. Pemeriksaan Fatigability.10
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga Miastenia Gravis, yaitu dengan
menempelkan ice pack pada sisi mata ptosis yang tertutup selama 1 – 2 menit yang
hasil Ice Test “ positif ” apabila peningkatan ≥ 2 mm pada pemeriksaan MRD 1 setelah
Ice Test. Dikatakan hasil Ice Test “ negatif ” apabila peningkatan 1 sampai < 2 mm pada
pada sisi mata ptosis lalu di evaluasi selama 10 menit. Pemriksaan ini bertujuan untuk
26
melihat kemampuan dari muskulus Muller’s. 3,10,15
sebanyak 2 mg secara perlahan selama 15 – 30 detik, lalu amati apakah ada efek secara
sistemik, jika tidak ada tambahkan sebanyak 8 mg disuntikkan secara perlahan selama 1
menit. Selanjutnya amati apakah terdapat perbaikan pada sisi mata ptosis. 10,12,16
27
BAB V
RINGKASAN
lid), dimana palpebra superior tidak dapat diangkat atau terbuka sehingga celah antara kedua palpebra
menjadi lebih kecil dibandingkan dengan keadaan normal. Berdasarkan onsetnya ptosis dibagi
menjadi ptosis kongenital dan ptosis didapat (acquired). Berdasarkan etiologinya ptosis dapat dibagi
Diagnosis ptosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi yang
tepat. Beberapa poin yang harus ditekankan saat anamnesa dalam kasus ptosis meliputi onset dan
durasi dari ptosis, variasi dan progresifitasnya, tingkat keparahan ptosis, apakah dapat mempengaruhi
kegiatan sehari-hari, keterlibatan pada satu mata setelah mata yang lain atau kedua mata secara
bersamaan, faktor pencetus, seperti riwayat trauma, operasi mata, penyakit mata sebelumnya, kondisi
lain yang terkait, seperti Jaw winking, diplopia, disfagia, dan kelelahan, serta riwayat keluarga,
(MRD 1), Margin-Reflex Distance 2 (MRD 2), Palpebra Fissure Height, Upper lid-crease, Levator
Function, Pretarsal Show, ada tidaknya lagoftalmus, Bells Phenomenon, Jaw-Winking, Pemeriksaan
Fatigability, Ice Test, Phenyleprine Test, Tensilon Test. Semua pemeriksaan tersebut jika dilakukan
dengan baik dapat membantu untuk menegakkan diagnosis ptosis secara cepat dan tepat.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakarta: FKUI, 2017;
Hal: 103.
2. American Academy of Ophthalmology: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System in Basic and
Clinical Science Course, Section 7, 2016-2017.page 259-269.
3. Tasman, William. The Wills Eye Manual: Office and Emergency Room Diagnosis and
Treatment of Eye Disease. Sixth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins:
2012: Page: 135-137.
4. Lim, Janet M, Hou, Joshua H, et al. Relative Incidence of Blepharoptosis Subtypes in an
Oculoplastics Practice at a Tertiary Care Center. Orbit. 2013 August ; 32(4): 231–234.
DOI:10.3109/01676830.2013.788673
5. Hendriati. Surgical Management of Ptosis-Visual Function and Cosmetic Outcome.
ICOMHER 2018, November 13-14. DOI: 10.4108/eai.13-11-2018.2283782
6. James, Bruce. Kelopak Mata. Dalam: Lecture Notes Oftalmologi. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2005; hal .3-5.
7. Cunningham Jr, Emmett T, Eva, Paul Riordan. Vaughan & Asbury’s: General
Ophthalmology. Eighteenth Edition. California: Lange Medical Publication: 2011: Page :
71-74
8. American Academy of Ophthalmology: Fundamentals and Principles of Ophthalmology in
Basic and Clinical Science Course, Section 2, 2016-2017.page 45-69.
9. Aryatul, Aryani. Penatalaksanaan Ptosis dengan Teknik Reseksi Aponeurosis Levator
Melalui Kulit. USU Resepository: 2008; p 1-32.
10. Sruthi, R, Pauly, Marian. Ptosis: Evaluation and Management. Kerala J Ophthalmologi
2019;31:11-6. DOI: 10.4103/kjo.kjo_2_19
11. Ilyas, Sidharta. Kelopak Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta: FKUI,
2017; Hal: 1-2.
12. Bowling, Brad. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A Systemic Approach. Eight Edition.
Australia: Elsivier: 2016: Page: 38 - 44
13. H.S, Jhagta. Marcus Gunn Jaw-Winking Phenomenon: Brief Communication. Indian
Journal of Clinical Practice Vol. 24. 2013. 7 Mei 2019. Available from :
http://medind.nic.in/iaa/t13/i12/iaat13i12p678.pdf
21
14. Park, Jun Young, Yang, Hee Kyung, Hwang, Jeong-Min. Diagnostic valaue of repeated ice
test in the evaluation of ptosis in myasthenia gravis. Plos One. May 2017. DOI:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0177078
15. Zoumalan, Christopher I, Lisman. Richard D. Evaluation and Management of Unilateral
Ptosis and Avoiding Contralateral Ptosis. Aesthetic Surgery Journal. 2010. DOI:
10.1177/1090820X10374108
16. Cohen, Adam J, Weinberg, David A. Evaluation and Management of Blepharoptosis.
Springer. 2011. DOI: 10.1007/978-0-387-92855-5
17. AM, Putterman. Margin Reflex Distance (MRD) 1,2, and 3. Ophtalmic Plastic and
Recontructive Surgery. 2012 Jul-Aug;28(4):308-11. DOI: 10.1097/IOP.0b013e3182523b7f
18. Lu,Ting Yin, Kadir, Kathreena, Ngeow,Wei Cheong. The Prevalence of Double Eyelid and
the 3 D Measurement of Orbital Soft Tissue in Malays and Chinese. 2017. Available at
https://www.nature.com/articles/s41598-017-14829-4
22