wajib dibayar oleh masyarakat atau warga negara. Selain itu, keduanya sama-sama memiliki
sifat memaksa yang mana setiap warga negara atau wajib pajak memang harus
membayarnya. Persamaan yang ketiga adalah pajak dan juga retribusi sama-sama
diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi biaya yang mereka bayar tidak untuk
kepentingan negara itu sendiri, namun akan dikembalikan kepada masyarakatnya.
Pajak sifatnya wajib dan ada sanksi hukum jika Anda tidak menyetor
dan melapor pajak. Dalam pajak, timbal balik tidak akan Anda rasakan
secara langsung karena dampak dari ketaatan Anda terhadap pajak
dilihat dari bagaimana berjalannya pembangunan di Indonesia. Jadi,
dampaknya tidak hanya Anda sendiri yang merasakan, tapi
masyarakat secara umum juga dapat merasakan manfaat dari
pembayaran pajak.
Retribusi juga sifatnya wajib dan ada sanksi hukumnya juga jika tidak
menyetorkan. Biasanya, yang memungut retribusi ini bisa dari
lembaga pemerintah maupun perseorangan yang naungi oleh
pemerintah. Berbeda dengan pajak, begitu Anda menyetorkan retribusi
Anda, maka saat itu pula Anda merasakan manfaat atau timbal
baliknya. Misalnya, Anda membayar retribusi untuk pemungutan
sampah, maka sampah yang sudah tertimbun di rumah Anda pun akan
dibawa oleh petugas pemungut sampah.
Berbeda dengan pajak dan retribusi, sumbangan sifatnya sukarela dan
tidak memaksa. Tidak ada sanksi dalam bentuk apapun jika Anda tidak
memberikan sumbangan. Namun, jika Anda berkontribusi memberikan
sumbangan, sudah pasti akan membawa dampak baik bagi Anda
maupun bagi orang lain yang memang jauh lebih membutuhkan.
Pajak negara, sering disebut juga pajak pusat ialah pajak yang dipungut
Pemerintah Pusat yang terdiri atas:
Pajak Daerah, sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, diantaranya:
Pajak itu sendiri terbagi menjadi 2 kategori besar, yakni Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Apakah perbedaan dari keduanya? Mari simak penjelasannya
di bawah ini:
1. Pajak Pusat
Sesuai dengan namanya, Pajak Pusat dipungut oleh pemerintah pusat. Jadi,
sebagian besar Pajak Pusat dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dan
Kementerian Keuangan. Segala bentuk administrasi yang berkaitan dengan
pajak pusat, wajib pajak akan diarahkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak.
1. Pajak Provinsi:
o Pajak Kendaraan Bermotor.
o Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
o Pajak BBM (Bahan Bakar Kendaraan Bermotor).
o Pajak Air Permukaan.
o Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota:
o Pajak Hotel.
o Pajak Restoran.
o Pajak Reklame.
o Pajak Hiburan.
o Pajak Parkir.
o Pajak Air Tanah.
o Pajak Mineral Bukan Logam atau Bebatuan.
o Pajak Penerangan Jalan.
o Pajak Sarang Burung Walet.
o Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan.
o Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Nah, dalam pengelolaan Pajak Pusat, selain bisa melalui website resmi milik
DJP, Anda bisa percayakan pengelolaan perpajakan Anda dari mulai hitung,
setor, dan lapor di ASP yang sudah resmi bekerja sama dengan DJP, yakni
OnlinePajak.
Apa saja pengelolaan Pajak Pusat yang bisa dilakukan di OnlinePajak? Anda
bisa melakukan hitung, setor, dan lapor dalam satu aplikasi, OnlinePajak
untuk PPh 21, PPh 23, PPh Final, Pajak Pribadi, dan PPN.
embali lagi kepada persoalan perbedaan pajak dan retribusi maka Anda akan menjumpai
beberapa hal yang membuat masing-masing punya ciri khas. Perbedaan yang wajib dikenal ini
antara lain:
pemerintah daerah yang tentunya hanya berlaku di satu daerah saja. Inilah alasan mengapa biaya
parkir untuk pasar di setiap daerah berbeda karena perhitungan pemerintah daerahnya jelas ikut
berbeda.
Khusus untuk pajak nantinya usai dibayar oleh pemerintah akan dikumpulkan dahulu setelah dana
pajak terkumpul dan dianggap cukup. Baru kemudian akan dibuat bangunan fasilitas publik baru
pungutan akan sekaligus menyediakan balas jasa, misalnya membayar jasa parkir maka Anda bisa
meninggalkan kendaraan dengan pembayaran tersebut. Sehingga jeda waktu antara pembayaran
Obyek yang dikenai wajib pajak adalah penghasilan, keuntungan usaha, dan juga kendaraan yang
dimiliki seseorang. Selama orang tersebut tidak memiliki kendaraan maka kewajiban membayar
pajak kendaraan tidak dimiliki. Sementara untuk retribusi diberlakukan untuk siapa saja yang
menggunakan fasilitas publik. Siapapun yang datang ke pasar entah berbelanja atau sekedar jalan-
jalan dan naik kendaraan pribadi akan dikenai biaya ini. Apabila tidak datang ke fasilitas publik maka
Tentu perbedaan satu ini sudah diketahui secara umum bahwa pihak yang melakukan pungutan
keduanya adalah berbeda. Pajak akan ditarik oleh pemerintah pusat dan dana yang terkumpul akan
dimanfaatkan untuk semua daerah. Sementara untuk retribusi akan dipungut oleh pemerintah
daerah yang tentu saja hanya dipakai untuk fasilitas publik di daerah yang bersangkutan.
Memahami perbedaan pajak dan retribusi ini akan membantu menilai seberapa efektif pungutan
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenag. Oleh karena itu, wajib
pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-
saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, sebagai contoh pada saat wajib
as You Earn.
d. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak
bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang
1. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak harus dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay)
dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya
dan manfaat yang diminta.
2. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditetapkan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar dan
kapan batas akhir pembayaran.
3. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan.
Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
4. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi
wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung oleh
wajib pajak.
Wabah virus corona atau Covid-19 yang sedang melanda Indonesia membuat roda perekonomian
menjadi tidak stabil. Segala aspek penting kehidupan terkena imbas dengan hadirnya wabah ini.
Kegiatan wajib pajak pun juga terkena imbasnya, sehingga menyebabkan roda usaha menjadi
terhambat atau bahkan sudah ada yang menghentikan kegiatannya selama beberapa hari ke depan.
Meskipun tidak semua wajib pajak di seluruh negeri ini terkena dampak, setidaknya sudah cukup
membuat aktivitas di negeri ini menjadi tidak kondusif.
Kebijakan pemerintah dalam memerangi wabah ini harus didukung dari segala aspek dan lapisan
masyarakat. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga mengambil sikap untuk
mendukung upaya pemerintah dalam upaya mencegah penyebaran wabah ini dengan mengambil
kebijakan menghentikan kegiatan tatap muka dengan wajib pajak dan menggantikannya dengan
komunikasi secara daring. Mungkin, sebagian menyalahartikan atas penghentian tatap muka
sebagai masa non aktif kantor pajak dalam melayani kebutuhan wajib pajak. Padahal, para petugas
pajak tetap bekerja seperti biasa dengan mengalihkan akivitasnya di dalam rumah atau yang sering
kita dengar saat ini dengan istilah work from home (WFH). Bagi wajib pajak yang ingin
berkonsultasi, dapat melakukan komunikasi langsung dengan Account Representative.
1. Memperpanjang Waktu Pelaporan
Kebetulan wabah ini merebak pada masa sibuk wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya yakni
penyampaian SPT Tahunan, khususnya penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi yang
seharusnya jatuh di akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. Dikarenakan wajib pajak
juga terkena dampak dengan adanya kebijakan ini, DJP memberikan sebuah relaksasi dengan
memberikan jangka waktu yang lebih panjang atas penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi
sampai dengan 30 April mendatang dan mungkin saja disusul dengan perpanjangan penyampaian
SPT Tahunan Badan jika situasi masih juga belum kondusif. Tak hanya SPT Tahunan Orang
Pribadi, relaksasi ini juga diberikan khusus pada SPT Masa PPh Pemotongan dan Pemungutan
(Pot/Put) Februari 2020.
Bagi wajib pajak yang sudah terbiasa dengan pelaporan dan pembayaran secara
daring, dihentikannya kegiatan tatap muka di kantor pajak memang tidak berdampak signifikan
karena selama ini mereka sudah melakukannya. Bagi wajib pajak yang masih awam dengan
pelaporan secara elektronik, dapat mengakses seluruh layanan perpajakan pada
laman www.pajak.go.id. Sedangkan, bagi wajib pajak yang belum paham dengan mekanisme
penyampaian SPT secara elektronik atau selama ini selalu menyampaikan SPT Tahunan secara
manual dengan mengantarkan langsung ke kantor pajak tidak perlu khawatir. Hal ini dikarenakan
DJP masih menerima penyampaian SPT dengan cara manual. Cara manual tersebut adalah dengan
cara mengirimkan berkas SPT yang sudah lengkap melalui jasa kiriman pos atau jasa ekspedisi
lainnya dengan tanggal kirim pada resi pengiriman sebagai dasar tanggal penyampaian SPT
Tahunan.
Dalam beberapa kasus, bagi wajib pajak yang selama ini lebih sering melakukan tatap muka akan
berpengaruh pada pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Namun, hal ini bisa digantikan dengan
pengalihan konsultasi secara tatap muka melalui konsultasi via telepon atau sejenisnya. Diharapkan
pengalihan metode konsultasi ini tetap memiliki kualitas yang sama dalam memberikan pelayanan
kepada wajib pajak. Dengan demikian, makna WFH sendiri bukan semata-mata berdiam diri di
rumah dengan mengabaikan kebutuhan wajib pajak yang ingin bertanya.
Indonesia memang sedang terguncang akibat wabah COVID-19, tetapi penerimaan tak boleh
pincang. Tatap muka ditidakan demi menjaga agar wabah ini tidak semakin meluas ke seluruh
pelosok negeri, namun bukan berarti kewajiban perpajakan berhenti untuk dilaksanakan, terutama
kewajiban pembayaran pajak.
Pajak yang merupakan sumber utama penerimaan negara tetap akan ditargetkan pencapaiannya
sampai akhir tahun ini. Dengan demikian, tidak ada penundaan pembayaran di tengah wabah virus
corona yang sedang menerpa negeri ini.
Pertanyaan kemudian muncul, bahwa mengapa hanya pelaporan saja yang diperpanjang, namun
pembayaran tidak? Menyikapi hal ini alasan yang paling masuk akal adalah bahwa sumbangsih
pembayaran pajak yang diperpanjang secara tidak langsung akan memperlambat realisasi
penerimaan pajak. Setoran pajak dari wajib pajak yang tepat waktu, sangat berarti guna membantu
penyediaan fasilitas kesehatan yang menjadi perhatian utama Indonesia saat ini. Kita menyadari
bahwa wabah ini menjadi fokus utama pemerintah dan peran wajib pajak melalui pembayaran pajak
yang masuk ke kas negara sangat diperlukan. Hal ini berbeda dengan pelaporan yang lebih
cenderung bersifat administratif.
Diperpanjangnya waktu penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa Februari jangan dijadikan
sebagai momen untuk mengulur waktu penyampaian SPT apalagi menunda waktu pembayaran.
Meskipun penurunan omzet wajib pajak dipastikan akan terjadi akibat adanya wabah virus ini, tetapi
hal akan ditanggapi positif dengan diluncurkannya aturan pemberian insentif kepada wajib pajak. Ini
dianggap sebagai langkah adil dari DJP dalam memahami kondisi perekonomian yang memburuk
akibat adanya wabah Covid-19.
Rendahnya penerimaan pajak akibat dampak dari Covid-19 adalah konsekuensi yang harus diterima
pemerintah. Namun, bukan berarti hal buruk tersebut juga diperburuk dengan tindakan menunda
kewajiban perpajakan yang memiliki peran penting. Peran wajib pajak dengan tidak menunda
kewajiban perpajakan secara tidak langsung sudah membantu negara dalam berjuang memfasilitasi
para tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam menyembuhkan dan menghentikan laju
wabah ini. Setidaknya, inilah cara wajib pajak dalam upaya mendukung pemberantasan pandemi
Covid-19.
Besarnya Pajak Penghasilan (“Pph”) yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan
berupa hadiah undian adalah sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian.
Yang melakukan pemotongan bukanlah yang menerima hadiah undian, tetapi
penyelenggara undian tersebut. Artinya, kewajiban membayar Pph atas pajak undian
ditanggung pemenang, namun dipotong oleh penyelenggara undian.
1. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian;
3. Hadiah sehubungan dengan kegiatan adalah hadiah dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh
penerima hadiah;
Pajak Penghasilan atas hadiah merupakan jenis pemajakan yang dilakukan dengan
pemotongan pajak oleh pihak pemberi hadiah. Pihak pemberi hadiah yang
merupakan pemberi penghasilan setelah melakukan pemotongan kemudian
menyetorkan pajak yang telah dipotong ke bank persepsi paling lambat tanggal 10
setelah masa pajak pemotongan berakhir. Sebagai bentuk pertanggung jawaban
kemudian melakukan pelaporan SPT masa PPh paling lambat tanggal 20 setelah
masa pajak pemotongan berakhir.
1. Atas hadiah undian dipotong Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah penghasilan bruto dan bersifat
final oleh penyelenggara undian.
Tuan Aldi mendapatkan hadiah undian dari Bank ABC berupa Mobil Honda Brio,
hariga pasar mobil tersebut Rp 146.000.000,00. maka Bank ABC wajib memotong
pajak atas hadiah tersebut sebesar 146.000.000 X 25% = 36.500.000.
a. dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam
negeri, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
dari jumlah penghasilan bruto;
b. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk
Usaha Tetap, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;
c. dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk Bentuk
Usaha Tetap, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23
ayat (1) huruf a angka 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah
penghasilan bruto.