Anda di halaman 1dari 17

Persamaan diantara keduanya adalah keduanya termasuk ke dalam bentuk pungutan yang

wajib dibayar oleh masyarakat atau warga negara. Selain itu, keduanya sama-sama memiliki
sifat memaksa yang mana setiap warga negara atau wajib pajak memang harus
membayarnya. Persamaan yang ketiga adalah pajak dan juga retribusi sama-sama
diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi biaya yang mereka bayar tidak untuk
kepentingan negara itu sendiri, namun akan dikembalikan kepada masyarakatnya.

Perbedaan Pajak dan Retribusi


1. Pajak berasal dari dasar hukum undang-undang sedangkan
retribusi berasal dari peraturan pengertian, persamaan, dan
perbedaan pajak dan retribusi pemerintah, peraturan menteri, atau
pejabat negara yang lebih rendah.
2. Balas jasa pada pajak bersifat tidak langsung sedangkan pada
retribusi bersifat langsung dan nyata kepada individu tersebut.
3. Pungutan pajak berlaku untuk umum seperti penghasilan,
kekayaan, laba perusahaan dan kendaraan, sedangkan pungutan
retribusi hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu yang
menggunakan jasa pemerintah.
4. Pajak bersifat dapat dipaksakan (menurut UU). Jadi, wajib dibayar.
Jika tidak, maka akan mendapatkan sanksi, sedangkan retribusi
dapat dipaksakan juga, akan tetapi paksaannya bersifat ekonomis
yang hanya berlaku kepada orang-orang yang menggunakan jasa
pemerintah.
5. Lembaga pemungut pajak adalah pemerintah pusat maupun daerah
(negara), sedangkan lembaga pemungut retribusi hanya
pemerintah daerah.
6. Pajak bertujuan untuk kesejahteraan umum, sedangkan retribusi
bertujuan untuk kesejahteraan individu tersebut yang menggunakan
jasa pemerintah.

Perbedaan pajak, retribusi, dan sumbangan:

 Pajak sifatnya wajib dan ada sanksi hukum jika Anda tidak menyetor
dan melapor pajak. Dalam pajak, timbal balik tidak akan Anda rasakan
secara langsung karena dampak dari ketaatan Anda terhadap pajak
dilihat dari bagaimana berjalannya pembangunan di Indonesia. Jadi,
dampaknya tidak hanya Anda sendiri yang merasakan, tapi
masyarakat secara umum juga dapat merasakan manfaat dari
pembayaran pajak. 
 Retribusi juga sifatnya wajib dan ada sanksi hukumnya juga jika tidak
menyetorkan. Biasanya, yang memungut retribusi ini bisa dari
lembaga pemerintah maupun perseorangan yang naungi oleh
pemerintah. Berbeda dengan pajak, begitu Anda menyetorkan retribusi
Anda, maka saat itu pula Anda merasakan manfaat atau timbal
baliknya. Misalnya, Anda membayar retribusi untuk pemungutan
sampah, maka sampah yang sudah tertimbun di rumah Anda pun akan
dibawa oleh petugas pemungut sampah. 
 Berbeda dengan pajak dan retribusi, sumbangan sifatnya sukarela dan
tidak memaksa. Tidak ada sanksi dalam bentuk apapun jika Anda tidak
memberikan sumbangan. Namun, jika Anda berkontribusi memberikan
sumbangan, sudah pasti akan membawa dampak baik bagi Anda
maupun bagi orang lain yang memang jauh lebih membutuhkan.

Perbedaan Pajak dan retribusi adalah sebagai berikut :


1. Pajak
a. Dasar Hukum
Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 23A, disebutkan bahwa Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang.
b.Balas Jasa
Pajak merupakan salah satu sarana pemerataan pendapatan warga negara. Jadi
ketika membayar pajak dalam jumlah tertentu, Anda tidak langsung menerima
manfaat pajak yang dibayar, yang akan Anda dapatkan berupa perbaikan jalan raya
di daerah Anda, fasilitas kesehatan gratis bagi keluarga, beasiswa pendidikan bagi
anak Anda, dan lain-lainnya.
c. Objek Pajak
Objek pajak bersifat umum contohnya pajak penghasilan, pajak barang mewah, pajak
kendaraan bermotor
d. Sifat Pajak
Pajak menurut Undang-undang pemungutannya dapat dipaksakan sehingga bila tidak
membayar pajak ada konsekuensi yang harus ditanggung.
e. Lembaga Pemungut
Berdasarkan lembaga yang memungutnya pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu
Pajak Negara yang pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Pajak dan Pajak
Daerah yang pemungutannya dilakukan oleh organisasi perangkat daerah yang
ditunjuk misalnya Badan Pendapatan Daerah atau Dinas Pelayanan Pajak.
f. Tujuan
Secara umum tujuan yang dapat dicapai dari diberlakukannya pajak adalah untuk
mencapai kondisi meningkatnya ekonomi suatu negara yaitu (1) untuk membatasi
konsumsi dan dengan demikian mentransfer sumber dari konsumsi ke investasi. (2)
untuk mendorong tabungan dan menanam modal. (3) untuk mentransfer sumber dari
tangan masyarakat ke tangan pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi
sumber dari tangan masyarakat ke tangan pemerintah sehingga memungkinkan
adanya investasi pemerintah. (4) untuk mmodifikasi pola investasi. (5) untuk
mengurangi ketimpangan ekonomi dan (6) untuk memobilisasi surplus ekonomi
(Nurkse, 1971) dalam (Muchlis, 2002).
2. Retribusi
a. Dasar Hukum
Retribusi dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, atau
Peraturan Daerah.
b. Balas Jasa
Balas jasa kepada wajib retribusi dapat dirasakan langsung, contohnya retribusi
kebersihan (sampah) manfaatnya dapat dirasakan langsung dengan diangkutnya
sampah wajib retribusi oleh petugas.
c. Objek Retribusi
Orang atau Badan yang menggunakan atau mendapatkan jasa atau izin yang
diberikan oleh pemerintah.
d. Sifat Retribusi
Dapat dipaksakan dengan sifat yang ekonomis hanya kepada orang atau badan yang
menggunakan atau mendapatkan jasa atau izin yang diberikan oleh pemerintah.
e. Lembaga Pemungut
Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah.
f. Tujuan
Retribusi memiliki tujuan untuk memberikan jasa atau ijin kepada masyarakat
sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan mereka serta mendapatkan
pelayanan dari pemerintah.
Pembagian Jenis Pajak

Pembagian pajak berdasarkan lembaga pemungut pajak, yaitu:

Pajak negara, sering disebut juga pajak pusat ialah pajak yang dipungut
Pemerintah Pusat yang terdiri atas:

 Pajak Penghasilan (PPh), diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang


Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36
Tahun 2008.
 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPNBM), diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
diubah terakhir kali dalam UU No. 42 Tahun 2009.
 Bea Meterai, UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
 Bea Masuk, UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006
tentang Kepabeanan.
 Cukai, UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang
Cukai.
 

Pajak Daerah, sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, diantaranya:

 Pajak Provinsi yang meliputi:


o Pajak Kendaraan Bermotor.
o Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
o Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
o Pajak Air Permukaan.
o Pajak Rokok.
 Pajak Kabupaten/Kota yang meliputi:
o Pajak Hotel.
o Pajak Restoran.
o Pajak Hiburan.
o Pajak Reklame.
o Pajak Penerangan Jalan.
o Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.
o Pajak Parkir.
o Pajak Air Tanah.
o Pajak Sarang Burung Walet.
o Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan
o Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

 Pembagian pajak berdasarkan wujudnya:

1. Pajak Langsung adalah pungutan atau pajak yang dibebankan


secara langsung kepada Wajib Pajak, seperti pajak kekayaan dan
pajak penghasilan.
2. Pajak Tidak Langsung adalah pungutan atau pajak wajib yang harus
dibayarkan sebagai sumbangan wajib terhadap negara yang secara
tidak langsung dikenakan kepada Wajib Pajak, seperti cukai rokok.
 

Pembagian pajak berdasarkan jumlah yang harus dibayarkan:

1. Pajak Pendapatan, pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan


atau laba dari seseorang atau perseroan terbatas.
2. Pajak Penjualan, pajak yang dikenakan pada saat terjadinya
transaksi penjualan barang atau jasa kepada pembeli.
3. Pajak Badan Usaha, pajak yang dikenakan kepada badan usaha,
semisal bank.

Pajak itu sendiri terbagi menjadi 2 kategori besar, yakni Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Apakah perbedaan dari keduanya? Mari simak penjelasannya
di bawah ini: 

1. Pajak Pusat

Sesuai dengan namanya, Pajak Pusat dipungut oleh pemerintah pusat. Jadi,
sebagian besar Pajak Pusat dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dan
Kementerian Keuangan. Segala bentuk administrasi yang berkaitan dengan
pajak pusat, wajib pajak akan diarahkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Pajak. 

Berikut ini jenis pajak yang termasuk dalam Pajak Pusat: 

1. Pajak Penghasilan (PPh). 


2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 
4. Bea Meterai.
2. Pajak Daerah

Sementara, Pajak Daerah diatur oleh pemerintah dari daerah yang


mencakup provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mengurus Pajak Daerah,
Anda akan diarahkan ke Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau kantor
lainnya yang dinaungi oleh pemerintah daerah setempat. 

Nah, berikut ini macam-macam Pajak Daerah: 

1. Pajak Provinsi: 
o Pajak Kendaraan Bermotor.
o Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
o Pajak BBM (Bahan Bakar Kendaraan Bermotor). 
o Pajak Air Permukaan. 
o Pajak Rokok. 
2. Pajak Kabupaten/Kota: 
o Pajak Hotel. 
o Pajak Restoran. 
o Pajak Reklame. 
o Pajak Hiburan. 
o Pajak Parkir. 
o Pajak Air Tanah. 
o Pajak Mineral Bukan Logam atau Bebatuan. 
o Pajak Penerangan Jalan. 
o Pajak Sarang Burung Walet. 
o Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan.
o Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 
Nah, dalam pengelolaan Pajak Pusat, selain bisa melalui website resmi milik
DJP, Anda bisa percayakan pengelolaan perpajakan Anda dari mulai hitung,
setor, dan lapor di ASP yang sudah resmi bekerja sama dengan DJP, yakni
OnlinePajak. 

Apa saja pengelolaan Pajak Pusat yang bisa dilakukan di OnlinePajak? Anda
bisa melakukan hitung, setor, dan lapor dalam satu aplikasi, OnlinePajak
untuk PPh 21, PPh 23, PPh Final, Pajak Pribadi, dan PPN. 

embali lagi kepada persoalan perbedaan pajak dan retribusi maka Anda akan menjumpai

beberapa hal yang membuat masing-masing punya ciri khas. Perbedaan yang wajib dikenal ini

antara lain:

1. Dasar hukum adanya pajak dan retribusi,


Pajak memiliki dasar hukum berupa UU yang dibuat oleh pemerintah dan berlaku untuk seluruh

wilayah daerah di Indonesia. Sementara untuk retribusi pemungutannya berdasarkan peraturan

pemerintah daerah yang tentunya hanya berlaku di satu daerah saja. Inilah alasan mengapa biaya

parkir untuk pasar di setiap daerah berbeda karena perhitungan pemerintah daerahnya jelas ikut

berbeda.

2. Balas jasa ketika biaya sudah dibayarkan,

Khusus untuk pajak nantinya usai dibayar oleh pemerintah akan dikumpulkan dahulu setelah dana

pajak terkumpul dan dianggap cukup. Baru kemudian akan dibuat bangunan fasilitas publik baru

sehingga meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas. Sementara untuk retribusi

pungutan akan sekaligus menyediakan balas jasa, misalnya membayar jasa parkir maka Anda bisa

meninggalkan kendaraan dengan pembayaran tersebut. Sehingga jeda waktu antara pembayaran

dan balas jasa tidak lama.

3. Obyek yang mendapatkan kewajiban membayar,

Obyek yang dikenai wajib pajak adalah penghasilan, keuntungan usaha, dan juga kendaraan yang

dimiliki seseorang. Selama orang tersebut tidak memiliki kendaraan maka kewajiban membayar

pajak kendaraan tidak dimiliki. Sementara untuk retribusi diberlakukan untuk siapa saja yang

menggunakan fasilitas publik. Siapapun yang datang ke pasar entah berbelanja atau sekedar jalan-

jalan dan naik kendaraan pribadi akan dikenai biaya ini. Apabila tidak datang ke fasilitas publik maka

tidak ada retribusi yang perlu dibayar.

4. Dipungut oleh lembaga yang berbeda,

Tentu perbedaan satu ini sudah diketahui secara umum bahwa pihak yang melakukan pungutan

keduanya adalah berbeda. Pajak akan ditarik oleh pemerintah pusat dan dana yang terkumpul akan

dimanfaatkan untuk semua daerah. Sementara untuk retribusi akan dipungut oleh pemerintah

daerah yang tentu saja hanya dipakai untuk fasilitas publik di daerah yang bersangkutan.
Memahami perbedaan pajak dan retribusi ini akan membantu menilai seberapa efektif pungutan

yang dibayarkan dengan melirik kondisi sekitar.

Asas-asas pemungutan pajak antara lain:8

a. Equality (Seimbang sesuai kemampuan)

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada

orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak

atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

b. Certainty (Jelas dan tidak mengenal kompromi)

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenag. Oleh karena itu, wajib

pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan

harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.

c. Convenience of payment (Pajak dipungut saat ada penghasilan)

Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-

saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, sebagai contoh pada saat wajib

pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay

as You Earn.

d. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak

bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang

dipikul wajib pajak.

(1) Azas Equality (azas keseimbangan dengan kemampuan atau azas keadilan), yaitu pemungutan


pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan WP. Negara
tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap WP; (2) Azas Certainty (azas kepastian hukum), yaitu
semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dikenai sanksi
hukum; (3) Azas Convinience of Payment (azas pemungutan pajak yang tepat waktu atau azas
kesenangan), yaitu pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi WP (saat yang paling baik),
misalnya di saat WP baru menerima penghasilannya atau di saat WP menerima hadiah; dan
(4) Azas Efficiency (azas efisien atau azas ekonomis), yaitu biaya pemungutan pajak diusahakan
sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan
pajak.

pemungutannya berdasarkan 4 (empat) asas yakni Equality, Certainty, Economy, dan


Convenience. Masing-masing asas-asas pemungutan pajak tersebut secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut:

1. Equality
 
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak harus dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay)
dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak
menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya
dan manfaat yang diminta.

2. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditetapkan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus
mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar dan
kapan batas akhir pembayaran.

3. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak
menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh: pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan.
Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.

4. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi
wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang ditanggung oleh
wajib pajak.

Wabah virus corona atau Covid-19 yang sedang melanda Indonesia membuat roda perekonomian
menjadi tidak stabil. Segala aspek penting kehidupan terkena imbas dengan hadirnya wabah ini.
Kegiatan wajib pajak pun juga terkena imbasnya, sehingga menyebabkan roda usaha menjadi
terhambat atau bahkan sudah ada yang menghentikan kegiatannya selama beberapa hari ke depan.
Meskipun tidak semua wajib pajak di seluruh negeri ini terkena dampak, setidaknya sudah cukup
membuat aktivitas di negeri ini menjadi tidak kondusif.

Kebijakan pemerintah dalam memerangi wabah ini harus didukung dari segala aspek dan lapisan
masyarakat. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga mengambil sikap untuk
mendukung upaya pemerintah dalam upaya mencegah penyebaran wabah ini dengan mengambil
kebijakan menghentikan kegiatan tatap muka dengan wajib pajak dan menggantikannya dengan
komunikasi secara daring. Mungkin, sebagian menyalahartikan atas penghentian tatap muka
sebagai masa non aktif kantor pajak dalam melayani kebutuhan wajib pajak. Padahal, para petugas
pajak tetap bekerja seperti biasa dengan mengalihkan akivitasnya di dalam rumah atau yang sering
kita dengar saat ini dengan istilah work from home (WFH). Bagi wajib pajak yang ingin
berkonsultasi, dapat melakukan komunikasi langsung dengan Account Representative.

1. Memperpanjang Waktu Pelaporan
Kebetulan wabah ini merebak pada masa sibuk wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya yakni
penyampaian SPT Tahunan, khususnya penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi yang
seharusnya jatuh di akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak. Dikarenakan wajib pajak
juga terkena dampak dengan adanya kebijakan ini, DJP memberikan sebuah relaksasi dengan
memberikan jangka waktu yang lebih panjang atas penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi
sampai dengan 30 April mendatang dan mungkin saja disusul dengan perpanjangan penyampaian
SPT Tahunan Badan jika situasi masih juga belum kondusif. Tak hanya SPT Tahunan Orang
Pribadi, relaksasi ini juga diberikan khusus pada SPT Masa PPh Pemotongan dan Pemungutan
(Pot/Put) Februari 2020.

Bagi wajib pajak yang sudah terbiasa dengan pelaporan dan pembayaran secara
daring, dihentikannya kegiatan tatap muka di kantor pajak memang tidak berdampak signifikan
karena selama ini mereka sudah melakukannya. Bagi wajib pajak yang masih awam dengan
pelaporan secara elektronik, dapat mengakses seluruh layanan perpajakan pada
laman www.pajak.go.id. Sedangkan, bagi wajib pajak yang belum paham dengan mekanisme
penyampaian SPT secara elektronik atau selama ini selalu menyampaikan SPT Tahunan secara
manual dengan mengantarkan langsung ke kantor pajak tidak perlu khawatir. Hal ini dikarenakan
DJP masih menerima penyampaian SPT dengan cara manual. Cara manual tersebut adalah dengan
cara mengirimkan berkas SPT yang sudah lengkap melalui jasa kiriman pos atau jasa ekspedisi
lainnya dengan tanggal kirim pada resi pengiriman sebagai dasar tanggal penyampaian SPT
Tahunan.

Dalam beberapa kasus, bagi wajib pajak yang selama ini lebih sering melakukan tatap muka akan
berpengaruh pada pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Namun, hal ini bisa digantikan dengan
pengalihan konsultasi secara tatap muka melalui konsultasi via telepon atau sejenisnya. Diharapkan
pengalihan metode konsultasi ini tetap memiliki kualitas yang sama dalam memberikan pelayanan
kepada wajib pajak. Dengan demikian, makna WFH sendiri bukan semata-mata berdiam diri di
rumah dengan mengabaikan kebutuhan wajib pajak yang ingin bertanya.

2. Berperan Ekstra Dengan Tidak Menunda

Indonesia memang sedang terguncang akibat wabah COVID-19, tetapi penerimaan tak boleh
pincang. Tatap muka ditidakan demi menjaga agar wabah ini tidak semakin meluas ke seluruh
pelosok negeri, namun bukan berarti kewajiban perpajakan berhenti untuk dilaksanakan, terutama
kewajiban pembayaran pajak.
Pajak yang merupakan sumber utama penerimaan negara tetap akan ditargetkan pencapaiannya
sampai akhir tahun ini. Dengan demikian, tidak ada penundaan pembayaran di tengah wabah virus
corona yang sedang menerpa negeri ini.

Pertanyaan kemudian muncul, bahwa mengapa hanya pelaporan saja yang diperpanjang, namun
pembayaran tidak? Menyikapi hal ini alasan yang paling masuk akal adalah bahwa sumbangsih
pembayaran pajak yang diperpanjang secara tidak langsung akan memperlambat realisasi
penerimaan pajak. Setoran pajak dari wajib pajak yang tepat waktu, sangat berarti guna membantu
penyediaan fasilitas kesehatan yang menjadi perhatian utama Indonesia saat ini. Kita menyadari
bahwa wabah ini menjadi fokus utama pemerintah dan peran wajib pajak melalui pembayaran pajak
yang masuk ke kas negara sangat diperlukan. Hal ini berbeda dengan pelaporan yang lebih
cenderung bersifat administratif.

Diperpanjangnya waktu penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa Februari jangan dijadikan
sebagai momen untuk mengulur waktu penyampaian SPT apalagi menunda waktu pembayaran.
Meskipun penurunan omzet wajib pajak dipastikan akan terjadi akibat adanya wabah virus ini, tetapi
hal akan ditanggapi positif dengan diluncurkannya aturan pemberian insentif kepada wajib pajak. Ini
dianggap sebagai langkah adil dari DJP dalam memahami kondisi perekonomian yang memburuk
akibat adanya wabah Covid-19.

Rendahnya penerimaan pajak akibat dampak dari Covid-19 adalah konsekuensi yang harus diterima
pemerintah. Namun, bukan berarti hal buruk tersebut juga diperburuk dengan tindakan menunda
kewajiban perpajakan yang memiliki peran penting. Peran wajib pajak dengan tidak menunda
kewajiban perpajakan secara tidak langsung sudah membantu negara dalam berjuang memfasilitasi
para tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam menyembuhkan dan menghentikan laju
wabah ini. Setidaknya, inilah cara wajib pajak dalam upaya mendukung pemberantasan pandemi
Covid-19.

Pemerintah menyusun ulang alokasi penerimaan negara dalam APBN 2020.


Pandemi Covid-19 telah menyebabkan aktivitas perekonomian terganggu.
Akibatnya, target APBN diperkirakan sulit tercapai.
 
Hal itu dikemukakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat
kerja dengan Komisi XI DPR pada 6 April lalu. Dalam paparannya, dia
menyebutkan penerimaan perpajakan 2020 diperkirakan turun sebesar Rp 403,1
triliun. Dalam APBN, penerimaan perpajakan dipatok Rp 1.865,7 triliun
menjadi Rp 1.462,7 triliun.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/04/15/pandemi-covid-19-gerus-penerimaan-pajak-
2020#

Besarnya Pajak Penghasilan (“Pph”) yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan
berupa hadiah undian adalah sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah undian.
 
Yang melakukan pemotongan bukanlah yang menerima hadiah undian, tetapi
penyelenggara undian tersebut. Artinya, kewajiban membayar Pph atas pajak undian
ditanggung pemenang, namun dipotong oleh penyelenggara undian.

Permensos 14A/HUK/2006 mengatur bahwa penyelenggara undian berkewajiban memungut


Pajak Penghasilan (“Pph”) atas hadiah undian kepada setiap pemenang yang besarnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan selanjutnya
disetorkan ke Kas Negara.[3]
 
Hal serupa juga disebutkan dalam PP 132/2000, yaitu penyelenggara
undian wajib memotong atau memungut Pph atas hadiah undian tersebut.[4]
 
Yang dimaksud dengan penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan,
organisasi (termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk
pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi.
Pajak Penghasilan wajib dipotong atau dipungut oleh penyelenggara undian tersebut.[5]
 
Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong
atau dipungut PPh yang bersifat final.[6] Besarnya Pph yang wajib dipotong atau dipungut
atas penghasilan berupa hadiah undian itu adalah 25% dari jumlah bruto hadiah undian.
[7] Pengertian nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut
diserahkan dalam bentuk natura misalnya mobil.[8]
 
Jadi, besarnya Pph yang wajib dipotong  terhadap pajak hadiah undian adalah sebesar 25%
dari jumlah bruto hadiah undian.
 
Yang melakukan pemotongan bukanlah yang menerima hadiah undian, melainkan
penyelenggara undian tersebut. Artinya, kewajiban membayar Pph atas pajak undian
ditanggung pemenang, namun dipotong oleh penyelenggara undian.
 
Perlu diketahui bahwa pemotongan Pph tidak berlaku untuk hadiah langsung dalam
penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen
akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat
pembelian barang atau jasa.
Dalam peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor Per-11/PJ/2015, dibagi menjadi:

1.   Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melalui undian;

2.   Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang


diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan;

3.   Hadiah sehubungan dengan kegiatan adalah hadiah dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang dilakukan oleh
penerima hadiah;

4.   Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi


dalam kegiatan tertentu.

Pajak Penghasilan atas hadiah merupakan jenis pemajakan yang dilakukan dengan
pemotongan pajak oleh pihak pemberi hadiah. Pihak pemberi hadiah yang
merupakan pemberi penghasilan setelah melakukan pemotongan kemudian
menyetorkan pajak yang telah dipotong ke bank persepsi paling lambat tanggal 10
setelah masa pajak pemotongan berakhir. Sebagai bentuk pertanggung jawaban
kemudian melakukan pelaporan SPT masa PPh paling lambat tanggal 20 setelah
masa pajak pemotongan berakhir.

Ketentuan pemotongan PPh atas Hadiah terdiri dari bererapa jenis :

1.   Atas hadiah undian dipotong Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah penghasilan bruto dan bersifat
final oleh penyelenggara undian.

Berikut Contoh Soalnya:

Tuan Aldi mendapatkan hadiah undian dari Bank ABC berupa Mobil Honda Brio,
hariga pasar mobil tersebut Rp 146.000.000,00. maka Bank ABC wajib memotong
pajak atas hadiah tersebut sebesar 146.000.000 X 25% = 36.500.000.

2.   Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, hadiah sehubungan kegiatan, dan


penghargaan dikenakan Pajak penghasilan dengan ketentuan:

a.   dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak dalam
negeri, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
dari jumlah penghasilan bruto;

b.   dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk
Usaha Tetap, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku;

c.    dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan termasuk Bentuk
Usaha Tetap, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23
ayat (1) huruf a angka 4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah
penghasilan bruto.

Anda mungkin juga menyukai