Anda di halaman 1dari 3

2.

1 Penyakit Difteri

1. Pengertian

Difteri adalah radang tenggorokan yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian
anak hanaya dalam beberapa hari saja. Difteri disebut juga radang tenggorokan yang sangat
berbahaya karena menimbulkan tenggorokan tersumbat dan kerusakan jantung yang
menyebabkan kematian dalan beberapa hari saja. [ CITATION Ani13 \l 14345 ].

2. Penyebab

Penyakit difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae, bakteri gram-positif yang
mengeluarkan toksin dan menimbulkan gejala local dan umum. Bakteri ini dapat diisolasi
pertama kali pada tahun 1884

3. Epidemiologi dan Pathogenesis

Penyakit ini terdapat di seluruh dan masih endemic di Negara berkembang, termasuk Indonesia,
meskipun di Jakarta akhir-akhir ini sudah jarang ditemukan. Jumlah penderita sangat menurun
setelah vaksinasi yang ekstensif.

Penyakit ini terutama penyebar pada daerah yang padat penduduk dan mengenai individu yang
tidak diimunisasi. Penularan secara kontak langsung dengan karier (pembawa kuman) atau
penderita, bakteri disebarkan melalui batuk, bersin atau bicara. Karier dapat membawa bakteri di
mulut, hidung dan kulitnya. Bakteri masuk melalui hidung atau mulut, kemudian di lokalisasi di
selaput lendir saluran nafas atas. Setelah masa inkubasi selama 2-4 hari, bakteri mengeluarkan
toksin yang mrnyebabkan nekrosis (kematian sel) pada jaringan sekitar. Jaringan yang terkena
semakin luas dan membentuk selaput (membran) melapisi jaringan. Selain itu juga terjadi
pembekakan jaringan di bawahnya. Sumbatan jalan nafas terjadi bila infeksi menjalar lebih
dalam, ke laring dan trakeobronkial. Toksin yang diproduksi bakteri akan menyebar melalui
darahan cairan limfe ke seluruh tubuh dan menimbulkan kerusakan terutama di jantung, sistem
saraf dan ginjal. Atitoksin dapat menetralisir toksin yang terdapat di sirkulasi, tetapi tidak
mempengaruhi toksin yang telah masuk ke dalam sel.
4. Gejala Klinis

Masa inkubari antara 1-hari. Gejala klinis tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imun
dan penyebaran toksin dalam darah. Difteri diklasifikasikan secara klinis berdasarkan lokasi
infeksi, yaitu hidung, tonsil, fasring, laring, laringotrakea, konjungtiva, kulit dan genetal

Difteri tonsil dan faring lebih berat gejalanya, yaitu panas tidak tinggi, lemah, tidak mau makan,
dan radang tenggorokan. Satu-dua hari kemudian terbentuk membrane yang kemudian meluas
tergantung imunitas penderita. Membrane putih bu-abu melekat dan melapisi mukosa tonsil dan
faring, dapat meluas kelangit-langit atau bawsh (ke laring dan trakea). Pada kasus yang berat
terjadi pembekakan jaringan leher yang disebut “bul-neck”. Beratnya difteri faring tergantung
dari banyaknya toksin dan penyebarannya membrane. Difteri laring biasanya merupakan
penyebaran dari faring dan tonsil. Sering disertai gejala sumbatan jalan nafas, yang perlu
tindakan trakeostomi.

5. Komplikasi

Komplikasi merupkan penyebab kematian terbanyak pada infeksi difteri, dapat sebagai akibat
langsung dari infeksi atau penyebaran toksin. Komplikasi yang dapat menimbulkan kematian
pada difteri laring dan trakea adalah sumbatan jalannafas. Komplikasi akibat penyebaran toksin
biasanya mengenai jantung, sistem syaraf dan ginjal akibat terlambatnya pemberian antitoksin.

6. Penanganan

Pengobatan teritama ditujuk untuk menetralisasi toksin dan membunuh bakteri penyebab
secepatnya dengan antitoksin difteri dan antibiotika Penisilin atau Eritromisin. Selain itu
diberikan pengobatan suportif dengan istirahattotal selama 2-3 minggu, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya miokarditis, pemberian cairan dan nutrisi yang cukup dan
penatalaksanaan komplikasi yang sesuai.

7. Prognosis

Sangat tergantung dari status imun penderita, cepat dan tepatnya diagnosis dan penanganan
penderita. Selain itu juga dipengaruhi oleh lokasi infeksi dan keganasan bakteri penyebab.
8. Pencegahan

Pencegahan terutama dengan imunisasi aktif. Pada bayi diberikan diteri toksoid bersamaan
dengan tetanus toksoid dan pertusis antigen. Vaksinasi dasar diberikan mulai umur 3 bulan,
sebanyak tiga kali dengan interval 5-6 minggu. Suntikan ‘booster’ diberikan pada umur satu
setengah dan empat setengah tahun. Imunisasi difteri tidak memberikan kekebalan penuh, karena
vaksin dimaksudkan untukmelawan toksin, bukan infeksinya; sehingga seseorang yang
divaksinasi lengkap masih dapat menjadi karier atau terkana infeksi ringan. Pencegahan
penularan juga dilakukan pada kontak penderita difteri, karier bakteri penyebab difteri dan
isolasi penderita.

Maryunani, Anik. 2013. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai