Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH GADAR / KRITIS

CIDERA KEPALA BERAT

Oleh:
ENGGAR SUSANTI
NIM 19650122

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Transportasi merupakan salah satu aspek yang dimasa sekarang ini
semakin maju dan semakin memudahkan masyarakat untuk berpergian,
terutama transportasi darat. Tetapi semakin majunya kendaraan darat juga
berpengaruh pada banyaknya angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi.
World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2011). Menurut Korps Lalu Lintas Polisi
RI (KORLANTAS POLRI, 2018) dalam grafik kecelakaan yang dilaporkan
ke polisi lalu lintas ditampilkan per triwulan (kuartal). Grafik dihasilkan
secara online dari database kecelakaan Automatic Identification System
(AIS). Dalam grafik tersebut didapatkan data kecelakaan pada tahun 2018
sebanyak 28,784 orang dengan 6,262 korban meninggal. Kecelakaan ini
didominasi oleh pengendara sepeda motor.
Kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan seseorang mengalami
kecacatan bahkan kematian. Selain itu kecelakaan dapat menyebabkan
seseorang mengalami trauma atau cedera kepala. Angka kecelakaan lalu
lintas di Indonesia dalam rentang 2010-2014 mengalami kenaikan rata-rata
9,59% per tahun dengan diikuti kenaikan persentase korban meninggal
dengan ratarata 9,24% per tahun (Badan Pusat Statistik/BPS, 2016). Proporsi
pasien trauma yang dirawat di rumah sakit mayoritas akibat kecelakaan darat
(59,6%) dengan sebagian besar (47,5%) mengalami cedera kepala (Riyadina
et al., 2011).
Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2002).
Ristanto et al, (2016) menjelaskan cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama kematian dan kecacatan akibat trauma yang membutuhkan
tindakan cepat dan efisien untuk mencegah perburukan kondisi pasien.
Sedangkan menurut Awaloei et al, (2016) pada cedera kepala ditemukan
fraktur basis krani, cedera otak difus, hematoma intraserebral, dan hematoma
subdural. Prevelensi tertinggi didapatkan pada jenis kelamin laki-laki, usia
20-40 tahun, diagnosis sebab kematian fraktur basis krani, dengan etiologi
kekerasan.
Variabel GCS, SBP dan RR memiliki kolerasi negatif terhadap
mortality pasien cedera kepala dalam 7 hari perawatan. Sehingga dapat
diartikan bahwa semakin turun nilai GCS, SBP dan RR maka akan semakin
meningkatkan kemungkinan mortality dalam 7 hari perawatan (Ristanto, et al
2016). Sedangkan Martono et al, (2016) menjelaskan nilai mean artery
pressure mampu mendeteksi tingkat kesadaran pasien cedera kepala sebesar
77,8%. Tekanan arteri rerata (mean artery pressure/MAP) merupakan
mekanisme kompensasi kompensasi dalam mempertahankkan tekanan perfusi
serebral yaitu dengan meningkatkan tekanan arteri rerata. Kecukupan rata-
rata aliran darah ke otak merupakan bahan kajian yang penting dalam asuhan
keperawatan pada pasien dengan cidera kepala.
Dibutuhkannya kesiapan dan kewaspadaan tim perawatan khususnya
di IGD agar dapat kondisi mencegah terburuk yang dapat terjadi pada klien
cedera kepala. Kesiapan dan kewaspadaan itu dapat dibangun dan dimulai
dari mengantisipasi setiap perubahan data dari kejadian kasus cedera kepala
(Ristanto, 2017)
Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalulintas.(Mansjoer, 2002) Di Indonesia jumlah
kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Direktorat
Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan (2005), jumlah
korban kecelakaan lalu lintas pada tahun 2003 terdapat 24.692 orang dengan
jumlah kematian 9.865 orang (39,9%), tahun 2004 terdapat 32.271 orang
dengan jumlah kematian 11.204 orang (34,7%), dan pada tahun 2005 menjadi
33.827 kasus dengan jumlah kematian 11.610 orang (34,4%). Dari data tahun
2005 di atas, didapatkan bahwa setiap harinya terdapat 31 orang yang
meninggal atau dengan kata lain setiap 45 menit terdapat 1 orang yang
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Kondisi kegawatdaruratan dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan
sudah menjadi tugas dari petugas kesehatan untuk menangani masalah
tersebut. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan kondisi
kegawatdaruratan dapat terjadi pada daerah yang sulit untuk membantu
korban sebelum ditemukan oleh petugas kesehatan menjadi sangat penting
(Sudiharto & Sartono, 2011).

B. TUJUAN
Tujuan dari makalah untuk mengetahui penanganan secara gawat
darurat/kritis dengan kasus cidera kepala berat bagi tenaga kesehatan.

C. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah penanganan secara gawat darurat/kritis dengan kasus cidera
kepala berat bagi tenaga kesehatan ?
BAB II
TEORI KASUS

A. KONSEP TEORI
1. Pengertian Cidera Kepala Berat
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glas gow 3 – 8
atau dalam keadaan koma (Mansjoer, A,dkk, 2001 : 3).
Cedera kepala berat adalah cedera kepala dimana otak mengalami
memar dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi , pasien berada pada
periode tidak sadarkan diri (Smeltzer, S.C & Bare, B.C, 2002 : 2212).
Cedera kepala berat atau memar otak terjadi perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2000 : 311).
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cedera
kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 – 8, dimana otak
mengalami memar dengan kemungkinan adanya perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan meskipun neuron-neuran terputus.

2. Penyebab Cidera Kepala Berat


Penyebab cedera kepala berat yang paling umum adalah benturan kasar
pada kepala atau tubuh. Derajat kerusakan akan tergantung dari jenis
cedera dan kekuatan dari benturan.
Beberapa kejadian umum yang dapat menyebabkan cedera parah pada kepala
dan otak berat meliputi:
a. Jatuh dari tempat tidur maupun tangga, serta di kamar mandi. Kejadian ini
paling sering dialami oleh anak-anak dan kalangan lanjut usia (lansia).
b. Kecelakaan berkendara, seperti tabrakan mobil atau motor.
c. Luka tembak, kekerasan dalam rumah tangga, serta tindak kekerasan pada
anak (seperti shaken baby syndrome yang terjadi ketika bayi diguncang
dengan kencang).
d. Cedera olahraga, misalnya pada atlet tinju, sepak bola, basket, gulat,
maupun jenis olahraga ekstrem. Cedera ini terutama dialami oleh remaja.
e. Ledakan dan cedera pada pertempuran, khususnya pada anggota militer.
f. Peluru atau pisau pada cedera kepala terbuka ( Corwin, J.E, 2001 : 175 ).

3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dari cedera kepala berat adalah kehilangan kesadaran
dan/ atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, kontusio serebral, laserasi,
hematoma intrakranial, dan skala koma glasgow 3 - 8 ( Hudak & Gallo,
1997: 226 ). Sedangkan gejala lain yang lebih khas adalah pasien
terbaring, kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernapasan dangkal,
kulit dingin dan pucat, defekasi dan berkemih tanpa disadari, tekanan
darah dan suhu subnormal ( Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2000 : 2212 ).
Berikut adalah tanda gejala secara umum cidera kepala berat :
a. Kehilangan kesadaran. Kondisi pingsan bisa terjadi dengan singkat
(beberapa menit) maupun lama (beberapa jam).
b. Gegar otak. Gejala ini bisa ditandai oleh kehilangan fungsi mental secara
tiba-tiba dalam jangka waktu pendek setelah mengalami benturan pada
kepala.
c. Kejang-kejang.
d. Masalah dengan panca indera, seperti gangguan pendengaran atau
penglihatan ganda.
e. Gangguan pada kemampuan berbicara, contohnya mendadak cadel.
f. Tidak bisa bangun dari tidur.
g. Sakit kepala yang tidak kunjung sembuh atau semakin memburuk.
h. Muntah atau mual yang terjadi berulang kali.
i. Darah atau cairan bening yang keluar dari telinga atau hidung.
j. Kehilangan memori (amnesia).
k. Bengkak atau memar di sekitar mata maupun belakang telinga.
l. Pupil yang membesar pada salah satu atau kedua mata.
m. Kelemahan atau mati rasa pada jari tangan atau jari kaki.
n. Kesulitan berjalan atau gangguan koordinasi.
o. Gejala kognitif atau mental lainnya, seperti linglung, kegelisahan, hingga
koma.
4. Kelompok Beresiko Terkena Cidera Kepala Berat
Ada pula sekelompok orang yang memilki risiko lebih tinggi untuk
mengalami cedera kepala berat, diantaranya :
a. Anak-anak, terutama bayi baru lahir sampai dengan usia 4 tahun.
b. Kalangan dewasa muda berusia antara 15-24 tahun.
c. Lansia berusia di atas 60 tahun
d. Pria pada semua usia.

5. Anatomi Patologi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang. Pelindung lain
yang melapisi otak adalah meningen yang terdiri dari 3 lapisan yaitu
duramater, araknoid, dan piameter. Sedangkan sifat anatomis yang paling
penting dalam mempengaruhi akibat trauma pada otak ialah tulang tengkorak.
Meskipun tengkorak menjadi pelindung terhadap trauma yang lebih berat ia
dapat berubah menjadi senjata terhadap otak.
Luka yang mengenai otak dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Hematoma epidural
Timbul setelah ruptura dari salah satu dari arteri meningea media yang ada
diantara durameter dan tulang tengkorak. Dalam hal ruptura, biasanya ada
fraktur tulang tengkorak dan bersifat perdarahan arteri maka hematoma
epidural dengan cepat berkumpul dan menyebabkan tekanan intrakranial yang
progresif dan terjadi beberapa menit sampai beberapa jam sesudah trauma.
b. Hematoma Subdural
Berbeda dengan hematoma epidural yang berasal dari pedarahan arteri,
kebanyakan pedarahan subdural terjadi sesudah rupture dari beberapa vena
jembatan yang menghubungkan sistem vena dari otak dengan sinus venosus
yang tertutup di dalam durameter. Berpindahnya posisi otak yang terjadi pada
trauma dapat merobek beberapa vena halus pada tempat dimana mereka
menembus durameter, dengan akibat terjadi perdarahan di dalam ruang
subdural.
c. Luka Parenkim

Cedera kepala berat terjadi bila trauma tumpul merusak atau


menghancurkan jaringan otak tanpa merobek piameter. Kebanyakan tempat
cedera kepala berhubungan langsung dengan traumanya dimana terjadi pada
tempat benturan atau tempat yang berlawanan dengan tempat benturan. Otak
dalam keadaan bergerak membentur permukaan dalam tulang tengkorak atau
pada bagian yang tidak rata dalam tengkorak, misalnya sayap tulang sphenoid
dan tepian tulang orbita, yang menimbulkan cedera pada kutub frontal dan
temporal serta pada qirus orbitofrontalis ( Robbin & Kumar, 1995 : 492 )

6. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit, kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi
luasnya cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan,
kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dari kekuatan yang menimpa,
kondisi kepala ketika mendapat benturan.
Cedera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak luka
terbuka dari tengkorak disertai kerusakan otak. Luasnya luka bukan
merupakan indikasi berat ringannya gangguan, pengaruh umum cedera kepala
dari ringan sampai berat ialah edema otak, defisit sesorik, dan motorik,
peningkatan intrakranial. Hal ini akan mengakibatkan perubahan perfusi
jaringan otak dimana kerusakan selanjutnya timbul herniasi otak, iskemi otak
dan hipoksia, ( Long, B.C, 1996 : 203 ). Pada saat otak mengalami hipoksia
tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik
anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada cedera
kepala berat hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolisme anaerob yang menyebabkan timbulnya asidosis
metabolik. Produksi asam laktat akan merangsang reseptor nyeri sehingga
timbul sakit kepala.
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi . Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi . Otak tidak punya cadangan oksigen , jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Dari gangguan fungsi otak akan muncul berbagai gejala
antara lain penurunan fungsi nervus vagus yang akan membuat penurunan
fungsi otot menelan dan beresiko tinggi terjadi perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh ( Pahria,T,dkk, 1996 : 50 ).
Kerusakan otak yang di jumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2
cara yaitu 1) efek langsung trauma pada fungsi otak , 2) efek-efek kerusakan
dari sel-sel otak yang bereaksi terdapat trauma. Kerusakan neurologik
langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang menembus
dan merobek jaringan otak oleh pengaruh kekuatan yang diteruskan ke otak
dan oleh efek perhambatan otak yang terbatas dalam kompartemen yang kaku.
Derajat kerusakan targantung kekuatan yang menimpa semakin besar
kekuatan semakin parah kerusakan. Ada dua macam kakuatan
yaitu pertama,cedera setempat karena benda tajam dengan kecepatan rendah
dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi neurologik terjadi pada tempat terbatas dan
disebakan oleh benda / fragmen tulang yang menembus dura pada tempat
serangan. Kedua, cedera menyeluruh pada trauma tumpul kepala, kerusakan
terjadi waktu kekuatan diteruskan pada otak.
Banyak energi diserap oleh lapisan pelindung ( rambut, kulit kepala,
tengkorak ) tetapi pada trauma hebat penyerapan ini tidak cukup untuk
melindungi otak. Sisa energi diteruskan ke otak dan menyebabkan
kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak
menjadi sasaran kekuatan itu.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan neurologik berat, disebabkan
oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera
responnya dapat diperkirakan sebelumnya dengan perubahan isi cairan intrasel
dan ekstrasel, ekstravasasi darah, peningkatan suplai darah ketempat itu dan
mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki dan membuang debris seluler.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti sebagai akibat
cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur
volume darah beredar yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak, ( Price, 1999 : 1016 ).

7. Pathway

8. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus
cidera kepala berat :
a. Glasgow coma scale (GCS)
GCS adalah skala untuk menilai tingkat kesadaran seseorang setelah
mengalami cedera kepala, dengan skor tertinggi adalah 15. Semakin tinggi
nilai seseorang, berarti tingkat kesadarannya akan semakin baik dan cedera
tergolong semakin ringan. Sebagai contoh, skor 3 menunjukkan tingkat
kesadaran terendah.
b. CT scan
Proses pemindaian ini biasanya dilakukan langsung di unit gawat darurat
untuk pasien yang dicurigai menderita cedera kepala. Tujuan CT scan
adalah mendeteksi adanya fraktur, perdarahan, memar, gegar otak, serta
pembengkakan dari jaringan otak.
c. MRI
Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika kondisi pasien telah stabil. Selain itu,
dokter juga akan menanyakan riwayat yang menyebabkan cedera kepala.
Umumnya, langkah ini dilakukan dengan meminta keterangan dari orang
yang mendampingi pasien serta orang yang menyaksikan kejadian.
Dengan ini, dokter bisa menentukan penyebab pingsan dan durasinya.
Pemeriksaan fisik pun bisa dilakukan untuk mencari tanda-tanda trauma.
Misalnya, memar dan pembengkakan. Pemeriksaan neurologis dapat pula
dijalani oleh pasien guna mengecek fungsi saraf. Tes ini dilakukan dengan
menilai kendali dan kekuatan otot, gerakan mata, serta sensasi dan
pemeriksaan neurologis lainnya.

9. Pengobatan
Penanganan cedera kepala berat harus dilakukan secepat mungkin.
Pasalnya, cedera ini bisa berakibat fatal

10. Penalaksanaan / Penanganan Awal


Pengobatan cedera kepala berat yang utama adalah untuk menstabilkan
kondisi penderita. Langkah-langkahnya meliputi:
a. Pemeriksaan dan mengatasi sumbatan jalur napas.
b. Pemeriksaan efektivitas pernapasan dan nadi. Bila ada gangguan,
resusitasi jantung pulmonal dan pemasangan alat bantu napas
(ventilator) mungkin dilakukan.
c. Menstabilkan kondisi leher dan tulang belakang menggunakan bidai
leher (neck brace).
d. Menghentikan perdarahan. Luka terbuka pada kepala akan dibersihkan
dan dijahit.
e. Memberikan obat penghilang nyeri.
f. Memasang gips bila penderita mengalami patah tulang.
g. Mengobati luka lainnya.
h. Memberikan obat-obatan, seperti obat antikejang dan diuretik guna
mengurangi peningkatan tekanan dalam otak akibat adanya
penumpukan cairan dalam kepala

11. Hal Yang Perlu Di Pantau Pada Kasus Cidera Kepala Berat
Setelah dilakukan tindakan awal pada kasus cidera kepala berat maka ada
beberapa yang perlu di pantau kondisi dari pasien tersebut , diantaranya :
a. Tanda-tanda vital, seperti laju pernapasan, detak jantung, tekanan
darah, suhu tubuh, dan kadar oksigen dalam darah.
b. Tingkat kesadaran.
c. Ukuran pupil mata.
d. Reaksi pupil terhadap cahaya.
e. Kekuatan pergerakan tangan dan kaki.

12. Komplikasi Cidera Kepala Berat


Apabila tidak ditangani dengan saksama, cedera kepala berat dapat
mengakibatkan komplikasi serius yang berupa:
a. Koma
Koma adalah kondisi di mana penderita tidak menyadari apapun di
sekitarnya dan tidak berespons terhadap rangsangan. Kondisi ini terjadi
akibat kerusakan meluas ke semua bagian otak.
b. Kematian otak
Kondisi ini mengakibatkan penderita tergantung selamanya dengan alat
bantu pernapasan. Penderita akan terus koma dan hanya hidup karena
bantuan mesin. Ketika mesin dilepas, napas dan detak jantung penderita
ajab terhenti.
c. Kejang
Pada penderita cedera kepala berat, dapat terjadi kejang pada fase-fase
awal. Bila penderita selamat dan bertahan hidup, kejang juga bisa muncul
pada beberapa tahun setelah cedera kepala berat. Kondisi ini disebut
epilepsi pascatrauma.
d. Penumpukan cairan dalam ruang otak atau hidrosefalus
Kondisi ini akan mengakibatkan peningkatan tekanan dalam kepala dan
pembengkakan otak dapat berakibat fatal.
e. Infeksi akibat luka terbuka pada selaput otak
Kondisi ini akan memudahkan bakteri masuk ke dalam otak dan
menyebabkan infeksi.
f. Kerusakan pembuluh darah otak yang lebih lanjut
Kerusakan ini bisa menyebabkan komplikasi berupa stroke, sumbatan
pada pembuluh darah, dan masalah lainnya.

13. Pencegahan Cidera Kepala Berat


Berikut adalah beberapa hal yang dapat lakukan untuk mengurangi risiko
cedera serius, termasuk cedera kepala berat diantaranya :
a. Memastikan keamanan saat berkendara, misalnya mengenakan sabuk
pengaman serta menggunakan kursi khusus anak-anak, dan memakai
helm ketika naik motor maupun sepeda.
b. Sebisa mungkin, menjaga anak agar tidak jatuh atau melukai
kepalanya.
c. Menggunakan peralatan keselamatan yang tepat untuk bekerja dan
berolahraga, seperti helm konstruksi dan helm khusus sepeda.
d. Jangan mengonsumsi alkohol atau menggunakan obat-obatan
terlarang, apalagi mengemudi di bawah pengaruhnya.
e. Jangan mengemudi di bawah pengaruh obat-obatan medis yang dapat
memengaruhi kemampuan kognitif.
BAB III
CRITICAL THINKING

A. Critical Thinking
MENILAI BUKTI SECARA KRITIS
Langkah-Langkah:
1. Apa PICO penelitian tersebut? Apakah PICO mirip dengan PICO anda?
 Ya
2. Sebaiknya apakah penelitian tersebut dilakukan?/ seberapa baik
penelitian dikerjakan?
 Penelitian ini layak diaplikasikan kepada pasien.
3. Apa makna hasil penelitian tersebut dan apakah hasilnya karena faktor
kebetulan?
 Intervensi tersebut memiliki dampak yang relatif signifikan terhadap
pasien

LANGKAH I : BANDINGKAN PICO HASIL PENCARIAN DENGAN


PICO ANDA (KASUS)
 Buat PICO hasil pencarian
 Bandingkan PICO anda (KASUS KELOLAAN)

PICO ANDA (KASUS


PICO HASIL PENCARIAN
KELOLAAN)
P : CIDERA KEPALA BERAT P : CIDERA KEPALA BERAT PADA
I : RESUSITASI DAN STABILISASI KASUS KECELAKAAN
C:- I : RESUSITASI DAN STABILISASI
O : TIDAK TERJADI CIDERA C:-
SEKUNDER PADA PASIEN O : TIDAK TERJADI CIDERA
SEKUNDER PADA PASIEN SETELAH
DILAKUKAN TINDAKAN AWAL
SEPERTI RESUSITASI, STABILISASI
PADA PASIEN
LANGKAH II: SEBERAPA BAIK PENELITIAN DILAKUKAN
 Rekrutmen
 Allocation or adjustmen
 Maintenance
 Measurement-blinded-objective

ASPEK YANG
DINILAI DARI ARTIKEL KRITIK
ARTIKEL
Rekrutmen
Jumlah populasi pada
penelitian ini tidak
Jumlah populasi pada
dicantumkan. Hanya ada 1
Populasi penelitian ini dicantumkan
pasien yaitu seorang wanita
secara jelas dan rinci
berusia 54 tahun yang telah
terjadi kecelakaan lalu lintas
Sampel dari penelitian ini Tehnik pengambilan
seorang wanita yang berusia sample dalam jurnal tidak
54 tahun yang di bawa dicantumkan. sample
kerumah sakit karena terjadi dalam jurnal tidak
Sampel & kecalakaan pada saat ditentukan dalam kriteria
Sampling bersepeda montor inklusi dan eksklusi.
sampel dalam penelitian
ini sudah mencukupi untuk
dilakukan sebuah
penelitian
Allocation Or Adjustmen
Acak Sebanding Jenis penelitian dalam jurnal Desain yang digunakan
Matching ini adalah penelitian pada penelitian kali ini
observasional dengan adalah observasional
melakukan tindakan pada satu dengan fokus pada 1
pasien kemudian akan di pasien
amati perkembangan setelah
dilakukan beberapa tindakan
perioperative.
Maintenance Apakah Status Sebanding Tetap Terjaga
Dalam penelitian ini dibahas Dalam jurnal ini dibahas
beberapa tindakan yang dapat secara lengkap tindakan
dilakukan pada pasien dengan yang dilakukan oleh tenaga
cidera kepala berat yaitu kesehatan untuk pasien
tindakan perioperative.
Perlakukan
Tindakan ini dapat berupa
Adequat
resusitasi, stabilisasi dan
kemudian akan dilanjutkan
untuk tindakan operasi oleh
dokter. Penentuan tindakan
ini tergantung pada nilai GCS
pada pasien tersebut
Measurement-blinded-objective
Pengukuran Berdasarkan rumusan Penelitian ini menggunkan
Objektif masalah Pedoman beberapa tindakan
Tersamar penatalaksanaan cedera perioperative seperti
Blind kepala traumatik berat telah resusitasi, stabilisasi dan
mengalami perbaikan. dilanjutkan tindakan
Periode perioperatif operasi oleh dokter.
merupakan periode yang
kritis karena pada periode ini
penanganan yang cepat, tepat
akan mempengaruhi luaran
dari pasien dengan cedera
kepala tersebut. Penanganan
cedera kepala yang meliputi
pengelolaan jalan nafas,
respirasi, optimalisasi
hemodinamik, pengendalian
TIK dan tindakan
pembedahan serta tindakan
lanjutan lainnya di ruang
intensif dengan dilakukan
tersebut maka cidera
sekunder dapat dihindari.

LANGKAH III: APA MAKNA HASIL PENELITIAN


HASIL DAN INTERPRETASI
 Pengukuran Outcome
Biner Biner
Kontinu
 Nilai P (Uji Hipotesis)  Penelitian kali ini tidak dijelaskan
 Tingkat Kepercayaan (Estimasi) uji statistic
 hasil dan kesimpulan akhir dilihat
setelah tindakan dilakukan pada
pasien tersebut.

KEPUTUSAN:
HASIL PENELITIAN :

Berdasarkan hasil analisis dan penelitian yang telah diamati pada pasien
seorang wanita usia 54 tahun yang dibawa ke rumah sakit karena mengalami
kecelakaan klalu lintas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pedoman
penatalaksanaan cedera kepala traumatik telah mengalami perbaikan. Periode peri
operatif merupakan periode yang kritis karena pada periode ini penanganan yang
cepat, tepat akan mempengaruhi luaran dari pasien dengan cedera kepala.
Penanganan cedera kepala yang meliputi pengelolaan jalan nafas, respirasi,
optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK dan tindakan pembedahan serta
tindakan lanjutan lainnya di ruang intensif. Hal itu semua memerlukan kerjasama,
pemahaman semua yang terlibat sehingga hasilnya bisa optimal. Pada periode ini
kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan cedera sekunder bisa cepat diketahui
dan dilakukan pengelolaannya sehingga cedera sekunder dapat dihindari dan
dicegah dan diatasi.

TELAAH JURNAL
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik Berat
Judul
dengan Tanda Cushing
Wahyu Sunaryo Basuki*), Bambang Suryono**), Siti Chasnak
Peneliti
Saleh***)
Tahun 2015
Jurnal JNI 2015;4 (1): 34–42
Cidera kepala traumatik berat adalah salah satu masalah
kesehatan utama dan masalah sosialekonomi yang menjadi
penyebab kematian pada dewasa maupun anak-anak, serta
kecacatan di dunia. Cedera kepala diklasifikasikan menurut
derajatnya dengan skor Glasgow Coma Scale pasca resusitasi,
Problem yaitu cedera kepala ringan (GCS 13–15), cedera kepala sedang
(GCS 9–12), dan cedera berat (GCS <8). Cidera kepala berat
adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 – 8, dimana otak
mengalami memar dengan kemungkinan adanya perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan meskipun neuron-
neuran terputus.
Pedoman penatalaksanaan cedera kepala traumatik telah
mengalami perbaikan. Periode peri operatif merupakan periode
yang kritis karena pada periode ini penanganan yang cepat,
tepat akan mempengaruhi luaran dari pasien dengan cedera
kepala.Penatalaksanaan di rumah sakit pertama adalah
resusitasi dan stabilisasi, pembebasan jalan nafas, pemberian
Intervensi
oksigen, resusitasi cairan dan pemberantasan kejang telah
dilakukan. Pada waktu dalam perjalanan transportasi ke rumah
sakit kedua resusitasi dan stabilisasi untuk mencegah cedera
sekunder tetap dilakukan. Datang di UGD rumah sakit kedua
dilakukan survei primer menyeluruh serta dilakukan resusitasi
terhadap cedera yang mengancam jiwa.
Comparatio
n -
Outcome Berdasarkan hasil penelitian jurnal diatas dapat disimpulkan
bahwa Pedoman penatalaksanaan cedera kepala traumatik telah
mengalami perbaikan. Periode peri operatif merupakan periode
yang kritis karena pada periode ini penanganan yang cepat,
tepat akan mempengaruhi luaran dari pasien dengan cedera
kepala.
Penanganan cedera kepala yang meliputi pengelolaan jalan
nafas, respirasi, optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK
dan tindakan pembedahan serta tindakan lanjutan lainnya di
ruang intensif. Hal itu semua memerlukan kerjasama,
pemahaman semua yang terlibat sehingga hasilnya bisa optimal.
Pada periode ini kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan
cedera sekunder bisa cepat diketahui dan dilakukan
pengelolaannya sehingga cedera sekunder dapat dihindari dan
dicegah.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Transportasi merupakan salah satu aspek yang dimasa sekarang ini semakin
maju dan semakin memudahkan masyarakat untuk berpergian, terutama
transportasi darat. Tetapi semakin majunya kendaraan darat juga berpengaruh
pada banyaknya angka kecelakaan lalu lintas yang terjadi.
Cedera kepala berat adalah cedera kepala dimana otak mengalami memar
dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi , pasien berada pada periode tidak
sadarkan diri (Smeltzer, S.C & Bare, B.C, 2002 : 2212).
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 – 8, dimana
otak mengalami memar dengan kemungkinan adanya perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan meskipun neuron-neuran terputus.
Periode peri operatif merupakan periode yang kritis karena pada periode ini
penanganan yang cepat, tepat akan mempengaruhi luaran dari pasien dengan
cedera kepala. Penanganan cedera kepala yang meliputi pengelolaan jalan nafas,
respirasi, optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK dan semua memerlukan
kerjasama, pemahaman semua yang terlibat sehingga hasilnya bisa optimal. Pada
periode ini kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan cedera sekunder bisa cepat
diketahui dan dilakukan pengelolaannya sehingga cedera sekunder dapat dihindari
dan dicegah.
B. Saran
Dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan kegawadaruratan
dan kritis pada pasien cidera kepala berat diperlukan pengetahuan yang khusus
dan perlunya pengkajian, konsep dan teori oleh seorang tenaga kesehatan.
informasi dan pendidikan kesehatan berguna untuk klien cidera kepala berat
selain itu pengobatan terbaik dari pasien dengan cidera kepala berat adalah
pencegahan, penanganan awal, dan pengobatan lanjutan dari penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adewale, Ademola. (2009). Fluid Management in Adult and Pediatric Trauma


Patients. Journal of Medical Sciences--Orthopedics And Traumatology.

Balu R, Detre JAA, Levine JM. Clinical assessment in the neurocritical care unit.
Dalam: Leroux PD, Levine JM, Kofke WA., eds. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2013; 84–98.

Bassin SL, Bleck TP. Glucose and nutrition. Dalam: Leroux PD, Levine JM,
Kofke WA, eds. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013; 121–130

Bendo AA. Perioperative management of adult patients with severe head injury.
Dalam: Cottrel JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia,
Philadelphia: Mosby; 2010; 17–326.

Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik.


Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012.

Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain


injury. Int J Crit Illn Sci. 2011;1(1):27–35.

Czosnyka M. Monitoring intracranial pressure. Dalam: Matta BF, Menon DK,


Tunner JM, ed. Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care. London:
Greenwich Medical Media; 2000; 99–109.

Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cotrell
JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. USA: Mosby Inc; 2001, 663–85
Haddad S, Arabi YM. Critical care management of severe traumatic brain injury
in adults. SJTREM. 2012;20:12.
Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care
management. Br J Anaesth. 2007;99:32–42.

Japardi, Iskandar. (2002). Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. USU Digital


Library.

Mangat HS. Severe traumatic brain injury. American Academy of Neurology.


2012;18 (3):532–46.

McEwen J, Huttunen KTH, Lam AM. Monitors during anesthesia: effects of


anesthetic agents on monitors. Dalam: Leroux PD, Levine JM, Kofke WA, eds.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013; 71–81.

Moppet IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and erly


management. Br J Anaesth. 2007;99:18–31.

Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the injured brain: ICP and CBF. Br J
Anaesth. 2006;97(1):26–38.

Terhune KP, Ely EW, Pandharipande PP. Pain, sedation, and delirium in critical
illness. Dalam: Leroux PD, Levine JM, Kofke WA. eds. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2013; 99–113.

Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam:


Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012, 98–115.

Yarham S, Absalom A. Anesthesia for patients with head injury. Dalam: Gupta
AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuro Anesthesia and Neuro intensive care.
Philadelphia: Saunders; 2008; 150–54.

Anda mungkin juga menyukai