Laporan Observasi
Pesisir Makassar
NIM : H041191014
Lokasi : …….
II.1 Makassar
Makassar berada dalam pusaran dan transformasi kemodernan dalam sejarah
Indonesia sepanjang abad ke-20. Di awal abad ke-20 hingga akhir kolonial Belanda,
modernitas bukanlah sesuatu yang dapat dihapuskan dari Indonesia karena ia sangat
berkaitan dengan kehadiran Belanda. Ide perancangan kota sangat dipengaruhi oleh
rencana tata kota yang berlaku di Eropa. Kemudian diiringi dengan berkembangnya
institusi kemodernan seperti lembaga pendidikan, serta berdirinya organisasi politik
maupun sosial sebagai wujud bentuk pergerakan kebangsaan. Kondisi ini
berpengaruh pada lahirnya masyarakat modern dengan segala simbol kemajuannya.
Selanjutnya, antara tahun 1942 dan 1945 masyarakat Indonesia menyaksikan demam
seragam yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat rezim militer dan
upayanya untuk menggerakkan dukungan massa. Masa Jepang yang singkat ini
memberi warna tersendiri dengan pelibatan tokoh lokal dalam pemerintahan Kota
Makassar. Kemudian modernitas mewujudkan diri dengan lebih lantang pada akhir
1940-an dan sepanjang 1950-an. Masyarakat pada tahun 1950-an memilih keroncong
atau musik Barat. Makassar meski berada dalam kondisi politik yang tidak stabil,
warga kota tetap berada dalam “kemeriahan‟ dengan kecenderungan gaya hidup
Barat, seperti menonton film-film Amerika atau Eropa (Iswandi, 2015).
Pada masa Orde Baru, keseragaman monumentalis dengan metropolis yang
terdiri atas jalan raya disertai bangunan perkantoran yang dicirikan oleh arsitektur
berteknologi tinggi. Masyarakat pendukungnya hidup di dalam batas-batas yang
dideskripsikan memasukkan kombinasi baru ruang privat dan ruang publik-privat,
“menyisihkan” masyarakat miskin dan bahkan mengabaikan keberadaan mereka.
Kondisi ini terjadi disebabkan inkonsistensi pelaksanaan perencanaan kota yang
telah disusun. Selain itu, perencanaan selalu kalah oleh kepentingan fragmatis
kekuatan modal. Kesinambungan perencanaan kota dari satu rezim ke rezim
selanjutnya hampir tidak terjadi. Karenanya, Kota Makassar hingga akhir abad ke-20
memperlihatkan ambiguitas modernitas, seperti umumnya kota-kota Indonesia
lainnya. Struktur gedung-gedung kontemporer memberi nuansa yang menarik pada
kawasan tertentu, namun bentuk kota masih didominasi oleh landskap model
dualistik, yaitu antara bentuk tradisional dan modern, formal dan informal, serta kaya
maupun miskin. Dalam realitas historisnya, modernitas di Kota Makassar tidak
memperlihatkan bentuk yang tunggal, tetapi justru memperlihatkan wajah beragam.
Wujud maupun perubahannya berlangsung pada satu fase tertentu maupun pada
periode yang berbeda. Terutama pada tiga aspek utama yang saling terkait yakni
ruang fisik kota, manusia dan masyarakat modern, serta ironi atau persoalan
masyarakat perkotaan yang muncul sebagai akibat proses modernisasi. Modernitas
sebagai pengalaman sejarah diperoleh melalui proyek-proyek modern yang nyata,
serta dalam imaji dan impian (Iswandi, 2015).
Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar di
Kawasan Timur Indonesia memiliki luas areal 175,79 km 2 dengan penduduk
1.112.688, sehingga kota ini sudah menjadi kota Metropolitan. Sebagai pusat
pelayanan di KTI, Kota Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa,
pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang
dan penumpang baik darat, laut maupun udara dan pusat pelayanan pendidikan dan
kesehatan. Secara administrasi kota ini terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan.
Kota ini berada padaketinggian antara 0-25 m dari permukaan laut. Penduduk Kota
Makassar pada tahun 2000 adalah 1.130.384 jiwa yang terdiri dari laki-laki 557.050
jiwa dan perempuan 573.334 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 1,65 %. Masyarakat
Kota Makassar terdiri dari beberapa etnis yang hidup berdampingan secara damai
seperti Etnis Bugis, etnis Makassar, etnis Cina, etnis Toraja, etnis Mandar dll.
Makassar juga merupakan salah satu kota di Hindia yang dalam waktu panjang telah
mengalami pengalaman dengan kebaruan Barat. Makassar adalah titik pusat bagi
penyebaran hasil-hasil kebudayaan Barat ke daerah timur yang terbelakang, dan
merupakan salah satu pusat perdagangan pribumi di kepulauan itu. Rotan dari
Kalimantan, kayu manis, dan sarang lebah dari Flores dan Timor, Tripang dari teluk
Carpentaria (Australia), minyak kayu putih dari Buru, bunga pala liar dan kulit kayu
mussoi dari New Guinea – kesemuanya ini dapat diperoleh di toko Cina dan Bugis di
Makassar (Makkelo, 2018).
Kota metropolitan Makassar adalah ibukota provinsi Sulawesi Selatan yang
sebelumnya bernama Kotamadya Ujung Pandang. Kota Makassar terkenal sebagai
Kota Angin Mamiri yang berarti kota hembusan angin sepoi-sepoi. Kota Makassar
disamping sebagai daerah transit para wisatawan atau para pengunjung akan menuju
ke Tana Toraja dan daerah tujuan wisata lainnya juga memiliki potensi objek wisata
bahari yang belum dikelola secara maksimal (Iswandi, 2015).
Bab IV
Hasil dan Pembahasan
Bab V
Kesimpulan dan Saran
V.1 Kesimpulan
V.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, M, L. 2017. Oseanografi: Pendekatan dari Ilmu Kimia, Fisika, Biologi dan
b Geologi, Leutikaprio: Yogyakarta.