Anda di halaman 1dari 11

Mata Kuliah Oseanologi Pendahuluan

Laporan Observasi
Pesisir Makassar

Nama : Nurul Qadimah

NIM : H041191014

Lokasi : …….

Laboratorium Ilmu Lingkungan dan Kelautan


Departemen Biologi
Fakutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Hasanuddin
2020
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis diapit oleh dua
benua yaitu benua Asia dan Australia serta diapit oleh dua samudera yaitu samudra
Pasifik dan India. Posisi Indonesia menjadikan Indonesia dikarunai kekayaan dan
sumber daya laut yang sangat berlimpah. Sumber daya yang berlimpah baik berupa
sumber daya hayati dan non-hayati. Sumber daya non hayati dapat berupa jasa
lingkungan disekitar laut. Dengan demikian Indonesia memiliki karakter yang unik
yaitu terdapat jutaan potensi sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat. Kekayaan sumber daya alam yang cukup besar didukung
oleh ekosistem yang kaya meliputi terumbu karang, rumput laut,dan juga hutan
bakau (Dewi, 2018).
Indonesia juga merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang
kedua di dunia setelah Kanada. Namun dengan panjang garis pantai tersebut,
pengelolaan wilayah pesisir belum optimal dan merata. Dari potensi sumber data
yang ada baru sekira 55 persen dimanfaatkan. Kegiatan pembangunan segala bidang
di wilayah pesisir masih memarjinalkan masyarakat lokal yang rata-rata berprofesi
sebagai nelayan tradisional dan masih mengesampingkan aspek pelestarian ekosistem
dan habitat asli (Trinand, 2017).
Berdasarkan gambaran potensi sumber daya alam yang demikian besar,
seharusnya kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir menjadi sejahtera, namun
pada kenyataan justru kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir identik dengan
kemiskinan. Sumber lain juga menyebutkan bahwa sekitar 60 juta Penduduk
Indonesia bermukim di wilayah Pesisir dan hidup dalam kategori tidak sejahtera atau
bahagia (Dewi, 2018).
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah yang sangat rentan terhadap aktiitas
manusia. Jika manusia salah langkah maka akan sangat berakibat fatal pada laut.
Untuk mengetahui lebih jelas apa saja yang terjadi di pesisir atau laut. Maka,
observasi atau pengamatan ini dilakukan yaitu diderah pesisir pantai kampong
popsa, sebagai sarana transportasi laut, objek wisata ataupun sebagai wisata kuliner.
I.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya kuliah lapangan Oseanologi Pendahuluan ini adalah untuk
mengetahui kondisi pantai pesisir kampung popsa berdasarkan
1. aspek biologi
2. aspek fisika
3. aspek kimia
4. aspek geologi.

I.3 Waktu dan Tempat


Kuliah Lapangan Oseanologi Pendahuluan ini dilaksanakan pada hari Sabtu,
tanggal 8 Februari 2020, pukul 09.00 WITA, bertempat di pesisir pantai kampung
popsa, Makassar, Sulawesi Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Makassar
Makassar berada dalam pusaran dan transformasi kemodernan dalam sejarah
Indonesia sepanjang abad ke-20. Di awal abad ke-20 hingga akhir kolonial Belanda,
modernitas bukanlah sesuatu yang dapat dihapuskan dari Indonesia karena ia sangat
berkaitan dengan kehadiran Belanda. Ide perancangan kota sangat dipengaruhi oleh
rencana tata kota yang berlaku di Eropa. Kemudian diiringi dengan berkembangnya
institusi kemodernan seperti lembaga pendidikan, serta berdirinya organisasi politik
maupun sosial sebagai wujud bentuk pergerakan kebangsaan. Kondisi ini
berpengaruh pada lahirnya masyarakat modern dengan segala simbol kemajuannya.
Selanjutnya, antara tahun 1942 dan 1945 masyarakat Indonesia menyaksikan demam
seragam yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat rezim militer dan
upayanya untuk menggerakkan dukungan massa. Masa Jepang yang singkat ini
memberi warna tersendiri dengan pelibatan tokoh lokal dalam pemerintahan Kota
Makassar. Kemudian modernitas mewujudkan diri dengan lebih lantang pada akhir
1940-an dan sepanjang 1950-an. Masyarakat pada tahun 1950-an memilih keroncong
atau musik Barat. Makassar meski berada dalam kondisi politik yang tidak stabil,
warga kota tetap berada dalam “kemeriahan‟ dengan kecenderungan gaya hidup
Barat, seperti menonton film-film Amerika atau Eropa (Iswandi, 2015).
Pada masa Orde Baru, keseragaman monumentalis dengan metropolis yang
terdiri atas jalan raya disertai bangunan perkantoran yang dicirikan oleh arsitektur
berteknologi tinggi. Masyarakat pendukungnya hidup di dalam batas-batas yang
dideskripsikan memasukkan kombinasi baru ruang privat dan ruang publik-privat,
“menyisihkan” masyarakat miskin dan bahkan mengabaikan keberadaan mereka.
Kondisi ini terjadi disebabkan inkonsistensi pelaksanaan perencanaan kota yang
telah disusun. Selain itu, perencanaan selalu kalah oleh kepentingan fragmatis
kekuatan modal. Kesinambungan perencanaan kota dari satu rezim ke rezim
selanjutnya hampir tidak terjadi. Karenanya, Kota Makassar hingga akhir abad ke-20
memperlihatkan ambiguitas modernitas, seperti umumnya kota-kota Indonesia
lainnya. Struktur gedung-gedung kontemporer memberi nuansa yang menarik pada
kawasan tertentu, namun bentuk kota masih didominasi oleh landskap model
dualistik, yaitu antara bentuk tradisional dan modern, formal dan informal, serta kaya
maupun miskin. Dalam realitas historisnya, modernitas di Kota Makassar tidak
memperlihatkan bentuk yang tunggal, tetapi justru memperlihatkan wajah beragam.
Wujud maupun perubahannya berlangsung pada satu fase tertentu maupun pada
periode yang berbeda. Terutama pada tiga aspek utama yang saling terkait yakni
ruang fisik kota, manusia dan masyarakat modern, serta ironi atau persoalan
masyarakat perkotaan yang muncul sebagai akibat proses modernisasi. Modernitas
sebagai pengalaman sejarah diperoleh melalui proyek-proyek modern yang nyata,
serta dalam imaji dan impian (Iswandi, 2015).
Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan terbesar di
Kawasan Timur Indonesia memiliki luas areal 175,79 km 2 dengan penduduk
1.112.688, sehingga kota ini sudah menjadi kota Metropolitan. Sebagai pusat
pelayanan di KTI, Kota Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa,
pusat kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan barang
dan penumpang baik darat, laut maupun udara dan pusat pelayanan pendidikan dan
kesehatan. Secara administrasi kota ini terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan.
Kota ini berada padaketinggian antara 0-25 m dari permukaan laut. Penduduk Kota
Makassar pada tahun 2000 adalah 1.130.384 jiwa yang terdiri dari laki-laki 557.050
jiwa dan perempuan 573.334 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata 1,65 %. Masyarakat
Kota Makassar terdiri dari beberapa etnis yang hidup berdampingan secara damai
seperti Etnis Bugis, etnis Makassar, etnis Cina, etnis Toraja, etnis Mandar dll.
Makassar juga merupakan salah satu kota di Hindia yang dalam waktu panjang telah
mengalami pengalaman dengan kebaruan Barat. Makassar adalah titik pusat bagi
penyebaran hasil-hasil kebudayaan Barat ke daerah timur yang terbelakang, dan
merupakan salah satu pusat perdagangan pribumi di kepulauan itu. Rotan dari
Kalimantan, kayu manis, dan sarang lebah dari Flores dan Timor, Tripang dari teluk
Carpentaria (Australia), minyak kayu putih dari Buru, bunga pala liar dan kulit kayu
mussoi dari New Guinea – kesemuanya ini dapat diperoleh di toko Cina dan Bugis di
Makassar (Makkelo, 2018).
Kota metropolitan Makassar adalah ibukota provinsi Sulawesi Selatan yang
sebelumnya bernama Kotamadya Ujung Pandang. Kota Makassar terkenal sebagai
Kota Angin Mamiri yang berarti kota hembusan angin sepoi-sepoi. Kota Makassar
disamping sebagai daerah transit para wisatawan atau para pengunjung akan menuju
ke Tana Toraja dan daerah tujuan wisata lainnya juga memiliki potensi objek wisata
bahari yang belum dikelola secara maksimal (Iswandi, 2015).

II. 2 Makassar dan pesisir


Makassar merupakan salah satu kota yang memiliki banyak pesisir atau bisa
kita sebut sebagai kota pesisir. Rahmat (2010) mendefinisikan Kota Pesisir
(Waterfront City) sebagai kawasan perkotaan yang berada di tepi air (laut, danau,
atau sungai), yang memiliki karakteristik open access dan juga multi fungsi, namun
sangat rentan terhadap kerusakan serta perusakan. Keberadaannya di tepi air tersebut
membuat kota pesisir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung dari darat dan
laut. Dengan demikian, keseimbangan kota pesisir akan sangat dipengaruhi oleh
proses lingkungan pesisirnya sendiri (Iswandi, 2015).
Kota pesisir (Waterfront City) dapat dibedakan menjadi dua macam aspek,
yaitu berdasarkan pesisirnya dan berdasarkan populasinya (Rahmat, 2010).
Berdasarkan pesisirnya, kota pesisir dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kota pesisir laut,
kota pesisir sungai, dan kota pesisir danau. Suatu kota berbatasan langsung dengan
laut, sungai ataupun danau secara bersamaan, maka perairan yang memberikan
fungsi yang dominan bagi kota pesisir tersebut, adalah perairan yang menjadi
identitas dari kota pesisir tersebut. Sedangkan berdasarkan populasinya suatu kota
pesisir dapat dibedakan kepada Kota Pesisir Mikro, Kota Pesisir Kecil, Kota Pesisir
Sedang, dan Kota Pesisir Besar. Kota Pesisir Laut akan memiliki peluang dan
ancaman yangPerencanaan Pengembangan Kota Pesisir berbeda dengan Kota Pesisir
Sungai. Sedangkan Kota Pesisir Mikro akan memiliki potensi dan permasalahan
yang berbeda dengan Kota Pesisir Besar (Iswandi, 2015).
Wilayah Pesisir merupakan suatu wilayah yang tidak bisa dipisahkan dalam
luas wilayah Indonesia, mengingat garis pantai yang dimiliki. Secara umum wilayah
pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Supriharyono dalam
buku A. Syahrin (2012:75) mendefinisikan, kawasan wilayah pesisir sebagai wilayah
pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut
wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran (Trinand, 2017).
Wilayah pesisir memiliki potensi kepariwisataan yang cukup beragam, seperti
wisata pantai, diving, snorkling, selancar, wisata pancing, dan sebagainya. Potensi-
potensi ini telah banyak dijadikan oleh kota-kota pesisir sebagai sektor unggulan.
Potensi sumberdaya alam yang terdapat di kota-kota pesisir dapat memberi manfaat
bagi pembangunan kota pesisir manakala kota dan potensi tersebut dapat dikelola
dengan baik. Kota-kota pesisir yang terus mengalami perkembangan dalam aspek
ekonomi dan juga kepadatan penduduk akan mendesak pembangunan kota sehingga
dapat terpenuhi tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Untuk itu, kota pesisir ditata
berdasarkan fungsi-fungsi tertentu sehingga dapat ditentukan berbagai kegiatan pada
ruang yang tepat, sesuai dengan kapasitas dan kesesuaian lahan, sehingga tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan di kota pesisir (Iswandi, 2015).
Sebagai bagian dari Indonesia yang memiliki potensi sumber daya yang
sangat melimpah di kawasan pesisirnya, pengelolaan yang dilakukan pemerintah saat
ini masih dirasa belum optimal. Indonesia sebagai wilayah kepulauan terbesar di
dunia memiliki berbagai potensi, yang di antaranya tidak terbatas pada potensi
sumber daya hayati, potensi sumber daya mineral dan energi, potensi industri dan
jasa maritim, potensi transportasi laut dan jasa lingkungan, serta potensi kulturalnya.
Namun juga, memiliki sumber daya daerah pesisir yang dapat diperbaharui
(renewable resource) terdiri atas hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
rumput laut, sumber daya perikanan laut serta bahan-bahan bioaktif. Sedangkan
sumber daya tidak dapat pulih (non-renewable resource) terdiri atas seluruh mineral
dan geologi. Sumber daya mineral juga sangat beragam dan terdiri dari tiga kelas
yaitu kelas A (mineral strategis; minyak, gas, dan batu bara), kelas B (mineral vital;
emas, timah, nikel, bauksit, bijih besi, dan cromite), dan kelas C (mineral industri;
termsuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin, dan
pasir). Selain sumber daya tersebut masih terdapat berbagai potensi wilayah pesisir
yang dapat memberikan konstribusi bagi perekonomian negara namun belum
terkelola dengan baik, seperti fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat
rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana
pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur
iklim, kawasan perlindungan, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis
lainnya. Permasalahan yang juga kerap terjadi dalam pengelolaan wilayah pesisir
adalah masih adanya nelayan tradisional yang menggunakan alat penangkapan ikan
tidak ramah lingkungan yang cukup berbahaya bagi kelangsungan ekosistem. Hal ini
yang kemudian mendorong diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan alat tangkap pukat hela (trawls) dan
alat tangkap pukat tarik (seine nets). Hal ini menunjukkan, masyarakat lokal kita
sendiri masih sangat kurang dalam hal pemanfaatan pengetahuan dan teknologi
dalam rangka pelestarian dan peningkatan perekonomian mereka. Meski harus terus
melakukan peningkatan pembangunan di wilayah pesisir, namun pembangunan
wilayah pesisir tidak boleh menimbulkan kerusakan bagi lingkungan dan ekosistem
di wilayah tersebut (Trinand, 2017).
Pengamatan yang akan dilakukan berada di pesisir Kampung popsa.
Berlokasi di Jalan Ujung Pandang No. 4, Fort Rotterdam, Kecamatan Makassar,
Sulawesi Selatan. Berorientasi ke arah Tenggara dan Barat Laut. Main entrance
menghadap Tenggara (Timur) dan bagian belakang bangunan, teras yang menghadap
langsung ke laut mengarah ke Barat Laut (Barat). Seberang Kampoeng Popsa
terdapat kawasan wisata cagar budaya Fort Rotterdam. Sisi kiri (Selatan) bangunan
ini terdapat dermaga yang digunakan masyarakat untuk berlayar menuju ke Pulau
Khayangan. Sedangkan, pada sisi kanan (Utara) terdapat dermaga yang digunakan
masyarakat untuk berlayar menuju ke Pulau Gusung Tallang. Dan belakang
bangunan menghadap langsung ke laut (terusan Pantai Losari). Jalan Raya Ujung
Pandang merupakan jalanan dua arah dengan pembagian dua jalur atau dua arah.
Lokasi bangunan berada di sisi kiri jalan raya utama yang menuju kawasan pusat
perbelanjaan Makassar Trade Center, Pelabuhan Makassar, hingga jalan tol.
Sedangkan pada jalur seberang lokasi mengarah ke kawasan Pantai Losari, Trans
Studio Makassar, pusat perbelanjaan Mall Ratu Indah, hotel, serta kawasan
perdagangan emas. Reklamasi juga menjadi penyebab terhadap terganggunya
ekosistem terutama laut. Reklamasi adalah pekerjaan atau usaha dalam pemanfaatan
suatu kawasan atau lahan yang tidak berguna dan berair untuk dijadikan lahan yang
berguna. Tempat-tempat yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk melakukan
reklamasi seperti kawasan pantai, lepas pantai atau offshore, danau, rawa ataupun
sungai yang begitu lebar (Liechandra dan Honggowidjaja, 2016).

Gambar II.2 Laut Kampoeng Popsa


Bab III
Metode Observasi

(Jelaskan cara observasi di lapangan)

Bab IV
Hasil dan Pembahasan

(Diskusikan hasil pengamatan/observasi yang dilakukan. Gunakan jurnal, textbook,


buku sebagai referensi dalam analisisnya)

Bab V
Kesimpulan dan Saran

V.1 Kesimpulan
V.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Dewi A, A, I, A, A. 2018. Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat:


b Community Based Develpment, Jurnal Penelitian Hukum. 18(2): 163-182.

Firdaus, M, L. 2017. Oseanografi: Pendekatan dari Ilmu Kimia, Fisika, Biologi dan
b Geologi, Leutikaprio: Yogyakarta.

Iswandi, R, M. 2015. Perencanaan dan Pengembangan Kota Pesisir Berwawasan


Lingkungan. Unhalu Press: Kendari.

Liechandra, Y. dan Honggowidjaja S, P. 2016. Perancngan Interior Sentra Kuliner


Khas Sulawesi Selatan di Makassar. Jurnal Intra, 4(2): 361-373.

Makkelo, I, D. 2018, Menjadi Kota Modern: Transformasi Kota Makassar pada


Abad Ke- 20. Jurnal Sejarah. 1(2): 46-64.

Trinand T, C. 2017. Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia dalam Rangka


Pembangunan Berbasis Pelestarian Lingkungan, Jurnal Matra Pembaruan. 1(2):
75-84.

Anda mungkin juga menyukai