Anda di halaman 1dari 42

CEDERA KEPALA

I. Konsep Teori Penyakit


A. Pengertian
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas (Mansjoer, 2007: 3).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya
trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder
dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).

B. Prevalensi
Cedera kepala istilah antara lain Traumatic Brain Injury adalah suatu cedera
akut pada susunan saraf pusat, selaput otak, saraf cranial termasuk fraktur tulang
kepala, kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah baik terjadi trauma secara
langsung (kerusakan primer) maupun tidak langsung (kerusakan sekunder)
(Setiawan, 2010). Cedera kepala merupakan suatu masalah kesehatan, sosial dan
ekonomi yang paling penting diseluruh dunia dan penyebab utama dengan
kematian dan disabilitas permanen pada usia dewasa (Roozenbeek et al, 2013
dalam Kusumasewi, 2014).
Kasus pasien dengan cedera kepala dapat menimbulkan masalah pada
mental, kognitif, fisik dan sosial (Travena & Cameron, 2011). Salah satu
penyebab paling sering terjadinya cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas,
dimana yang banyak terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita (Aghakhani et

1
al., 2013). Menurut Coronado, Xu, Basavaraju,et al. (2011), Tingginya angka
kejadian cedera kepala berat selama tahun 1997-2007 di Amerika Serikat rata-rata
setiap tahunnya akan meningkat terdapat 53.014 kasus kematian akibat cedera
kepala beratsekitar 18,4 dari 100.000 populasi. Insiden cedera kepala di India
setiap tahunnya adalah 160 per 100.000 populasi (Critchley et al,2009). Prevalensi
cedera secara nasional adalah 8,2%, dengan prevalensi tertinggi ditemukan di
Sulawesi Selatan (12,8%) dant terendah di Jambi (4,5%) dan angka insiden
kecelakaan jalan di Indonesia tercatat masih cukup tinggi.
WHO memperkirakan pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi
salah satu penyebab penyakit dan trauma ketiga paling banyak di dunia. Insiden
cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 terdapat 500 per 100.000 populasi
(Irawan, 2010). Setiap tahun diperkirakan terdapat 1,4 juta kasus cedera kepala,
dengan lebih dari 1,1 juta yang datang ke Unit Gawat Darurat (World Health
Organization, 2010). Pada kasus cedera kepala di IGD suatu rumah sakit orang
yang berperan dalam melakukan pertolongan pertama yaitu perawat. Peran
perawat sangat dominan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala
(Sekar, 2015).
Di Eropa, kejadian cedera kepala masih sangat tinggi untuk beberepa tahun
lagi dalam menyebabkan kecacatan dibanding penyebab lainnya. Juga berpera n
penting dalam separuh kematian akibat trauma. World Health Organization
(WHO, 2010) memperkirakan bahwa sekitar 70 -90% dari cedera kepala yang
menerima pengobatan yang ringan, dan sebuah penelitian di Amerika Serikat
menemukan bahwa luka sedang dan bera t masing-masing berjumlah 10% dari
trauma kepala, dan sisanya ringan. Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari
usia, jenis kelamin, suku, dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi
dalam studi epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor –faktor seperti nilai
keparahan, apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang
di rawat di rumah sakit, dan lokasi penelitian. Kejadian tahunan cedera kepala
ringan sulit untuk ditentukan, tetapi mungkin 100 -600 orang per 100000
(NINDS, 2 013).
Kecelakaan lalu lintas ini mengakibatkan berbagai cedera, yaitu cedera
kepala, thoraks dan ektremitas.Berdasarkan data Lampiran Keputusan Menteri

2
Kesehatan Nomor:263/Menkes/SK/II/2010 beberapa dari provinsi tercatat
prevalensi cedera kepala secara Nasional yaitu Provinsi Kepulauan Riau (18.9%),
Papua Barat (18.0%), NAD (17.9%), Papua (16.8%), Sumatra Selatan (16.7%),
Jambi (16.5%), DIYogyakarta (16.4%) dan Sulawesi Utara (16.1%). Data dari
Polda DIY bahwa jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas di wilayah DIY tahun
2012 cukup tinggi antara lain Kabupaten Sleman sebanyak 1.548, Bantul
sebanyak 1.420, Yogyakarta sebanyak 678, Gunung Kidul sebanyak 453 dan
Kulon Progo sebanyak 323 kejadian (Dinkes, 2013). Peristiwa kecelakaan lalu
lintas di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan bahwa cukup tinggi
dalam enam tahun terakhir.
Data Kepolisian menunjukkan bahwa, kasus kecelakaan di DIY, setiap
tahunnya meningkat tiga kali lipat sebanyak 130 meninggal dunia 12% akibat
kecelakaan lalu lintas (Dinkes, 2013). Laporan Kepolisian menunjukkan bahwa
88% kematian diakibatkan oleh cedera kepala (Dinkes, 2013). Menurut data
dariKepolisian Republik Indonesia (2011) tercatat bahwa jumlah kecelakaan
mencapai 108.696 dengan 31.195 korban meninggal dan 35.285 mengalami luka
berat, dan 55,1% cedera kepala.
Menurut penelitian dari Instalasi Gawat Darurat RS Panti Nugroho pada
bulan Mei – Juli 2005 mengatakan bahwa tingkat populasi cedera kepala di
Yogyakarta didapatkan bahwa ada 56 kasus cedera kepala ringan (76%), 11 kasus
cedera kepala sedang (15%) dan 7 kasus cedera kepala berat (9%) (Jovan, 2007).
Menurut laporan tahunan Instalasi Rawat Darurat RSUP Sardjito tahun 2006,
angka kejadian cedera kepala adalah sebesar 75% (Barmawi,2007).
Penanganan yang dilakukan oleh perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
merupakan tindakan yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa penderita dengan
cepat, tepat dan benar. Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala
adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah
syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder.
Pada setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan harus segera diberikan
dalam tindakan resusitasi (Wahjoepramono, (2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, (2008) di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta memberikan informasi bahwa

3
58,83℅ penanganan cedera kepala oleh perawat secara keseluruhan adalah baik,
cedera kepala berat dikategorikan cukup 100℅, cedera kepala sedang
dikategorikan baik 62,5℅ dan cedera kepala ringan dikategorikan baik 71,43℅.
Waktu tercepat perawat dalam menangani pasien cedera kepala adalah 50,71
menit pada cedera kepala ringan, terlama pada cedera kepala berat yaitu 90 menit.
Penelitian yang dilakukan oleh Arsani, (2011) di Instalasi Gawat Darurat RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta bahwa tingkat pengetahuan perawat dalam kategori
baik sebesar 16,7℅ dan cukup sebesar 83,3℅ dengan perbandingan jumlah
perawat SPK (11,1℅), D-3 (77,8℅) dan S-1 (11,1℅). Kemampuan
penatalaksanaan keperawatan cedera kepala oleh perawat kategori baik sebanyak
27,8℅ dan cukup sebanyak 72,2℅. Hasil hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kemampuan penatalaksanaan cedera kepala dengan nilai signifikan
p=0,002.

C. Etiologi
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3). Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan
lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka
sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175).
1. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
a. Kulit       :  Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural.
b. Tulang     :  Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi
(tertutup & terbuka).
c. Otak        :  Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan,
sedang, berat), difusi laserasi.
2. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi :
a. Oedema otak
b. Hipoksia otak
c. Kelainan metabolic
d. Kelainan saluran nafas
e. Syok

4
D. Klasifikasi
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala
duramater disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat.
Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan,
perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan
seterusnya secara bertahap. (Fractura Basis Cranii) Fractura ini dapat
terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:
a. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan
arachnoidal.
b. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus
maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
c. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita
mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas
menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba
eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii
selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli
forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii
antara lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan
biji mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII);
serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada
haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan
rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio
maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini
harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi
keretakan-keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura
sedemikian rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a.

5
meningia media, yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan
cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak
kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis
sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi,
pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya
tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien
dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena
pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media
akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus.
Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah
pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah
CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr
hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina.
Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk
epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera
ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana
pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau
jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi
perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak
sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter
dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya
tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian
akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam
sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi
gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma
subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii,
namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang

6
pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam
kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma
sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu
perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar
jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna “pelebaran pembuluh darah”.
Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik
tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan
karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma
terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula
karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
"subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan
tipe centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau
kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada
lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling
berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda
koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan
bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah,
keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan
(decebracio rigiditas).
3. Berdasarkan Patofisologi ada beberapa jenis cedera kepala :
a. Komosio Serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak, kemungkinan ada
kehilangan fungsi otak sesaat, berupa pingsan < 10 menit, atau amnesia
pasca trauma

7
b. Kontusio Serebri : kerusakan otak dengan defisit neurologik, pingsan < 10
menit
c. Laserasi Serebri : kerusakan otak yang luas, umumnya disertai dengan
fraktur tengkorak terbuka
4. Lokasi
a. Lesi Difus : kerusakan akibat proses akselerasi /deselerasi yang merusak
sebagian besar akson di SSP akibat regangan
b. Lesi Kerusakan Vaskuler Otak : disebabkan oleh lesi sekunder iskemik
terutama akibat hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi pada waktu
selama perjananan ke RS atau selama perawatan
c. Lesi Fokal : Kontusio dan Laserasi Serebri serta Hematoma intrakranial
5. Derajat Kesadaran
Kategor GCS Gambaran Klinik
i
Ringan 13- Pingsan 10’, komplikasi/defisit neurologik (-)
15
Sedang 9-12 Pingsan  > 10’-6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)
Berat 3-8 Pingsan  6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada
tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada
saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala.
Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan
respon membuka mata.
Skala GCS :
Membuka mata : 
Spontan   :4
Dengan perintah :3
Dengan Nyeri :2
Tidak berespon :1
Motorik :   
Dengan Perintah :6
Melokalisasi nyeri :5
Menarik area yang nyeri :4
Fleksi abnormal :3

8
Ekstensi :2
Tidak berespon :1
Verbal : 
Berorientasi :5
Bicara membingungkan :4
Kata-kata tidak tepat :3
Suara tidak dapat dimengerti :2
Tidak ada respons :1

E. Manifestasi Klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut
dengan cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat
disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti
gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala,
mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda
penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat
(amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum
dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah
ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan
menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga
beraneka ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan
kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam
atau seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit gangguan
syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah
syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau
lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi
kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
1. Berdasarkan anatomis
a. Gegar otak (comutio selebri)

9
1) Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran
2) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
3) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
4) Kadang amnesia retrogard
b. Edema Cerebri
1) Pingsan lebih dari 10 menit
2) Tidak ada kerusakan jaringan otak
3) Nyeri kepala, vertigo, muntah
c. Memar Otak (kontusio Cerebri)
1) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi
tergantung lokasi dan derajad
2) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
3) Peningkatan tekanan intracranial (TIK)
4) Penekanan batang otak
5) Penurunan kesadaran
6) Edema jaringan otak
7) Defisit neurologis
8) Herniasi
a. Laserasi
1) Hematoma Epidural
Talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan,
merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa
jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda
hernia):
a) kacau mental → koma
b) gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
c) pupil isokhor → anisokhor
2) Hematoma subdural

10
a) Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid,
biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
b) Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan
epidural
c) Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan
berbulan-bulan
d) Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
e) Perluasan Massa Lesi
f) Peningkatan Tik
g) Sakit Kepala, Lethargi, Kacau Mental, Kejang
h) Disfasia
3) Perdarahan Subarachnoid
a) Nyeri kepala hebat
b) Kaku kuduk
2. Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale)
a. Cidera kepala Ringan (CKR)
1) GCS 13-15
2) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
3) Tidak ada fraktur tengkorak
4) Tidak ada kontusio celebral, hematoma
b. Cidera Kepala Sedang (CKS)
1) GCS 9-12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24
jam
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cidera Kepala Berat (CKB)
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
3) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial

11
F. Patofisiologi
Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang
membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita
seperti adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.. Lesi pada kepala dapat
terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada
kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah
tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi
pada 3 jenis keadaan, yaitu :
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain
dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,
pergeseran otak dan rotasi otak.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada
orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada
coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.
Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan.;Keadaan ini terjadi
ketika pengereman mendadak pada mobil/motor. Otak pertama kali akan
menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya
bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.Karena
pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak
terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang
tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak
terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang
tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak
bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi

12
tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan
kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah
otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah
dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi
pergerakan kepala ke depan.

13
PATHWAY

Kecelakaan lalu lintas

Cidera kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontusio cerebri Kerusakan Sel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Terjadi benturan benda asing

 tahanan vaskuler Teradapat luka


Aliran darah keotak 
di kepala
Sistemik & TD 

O2  gangguan Rusaknya bagian kulit


metabolisme  tek. Pemb.darah dan jaringannya
Pulmonal
Kerusakan integritas
Asam laktat  jaringan kulit
 tek. Hidrostatik

Oedem otak Nyeri akut b.d dengan


kebocoran cairan agen injuri fisik,
Ketidakefektifan kapiler
perfusi jaringan
cerebral oedema paru Defisit self care b.d dengan
kelelahan, nyeri
Penumpukan
Ketidakefektif pola cairan/secret
napas
Difusi O2
terhambat

Ketidakefektif bersihan
jalan napas
14
G. Komplikasi
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera
kepala adalah:
1. Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh
hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan
dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah
tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang
signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan
metode yang lebih akurat dan non invasive. Pemantauan TIK yang
berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi
dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.
TIK yang normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15 – 25 mmHg
TIK sedang : 25-40 mmHg
TIK berat : > 40 mmHg
Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari
ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan
langsung ke rongga sub arachnoid untuk diabsorpsi lewat vili arachnoid di
sagitalis.
Pengikatan / penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF
60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada
volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama
sehari. Produksi CSF bersifat konstan dan tidak tergantung tekanan. Variasi
pada TIK tidak mempengaruhi laju produksi CSF.
Absorpsi CSF secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK.
Tempat utama penyerapan CSF, vili arachnoidalis (merupakan suatu katub
yang diatur oleh tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena
meningkat, maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah peningkatan CSF.

15
Obstruksi terutama terjadi di aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau
aliran CSF tersumbat mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif.
2. Iskemia
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat
menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal.Otak merupakan
jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga episode iskemik yang
sangat singkat pada neuron akan menginduksi serangkaian lintasan
metabolisme yang berakhir dengan apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan
menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada iskemia global,
setidaknya dua, atau empat pembuluh cervicalmengalami gangguan sirkulasi
darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal,
sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh
gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma
terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut vascular
occlusion.
3. Perdarahan otak
a. Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri
meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak
dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam
beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus
temporalis dan parietalis. Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran,
nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan
dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi,
peningkatan suhu.
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari
atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa

16
bulan. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
c. Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah
arteri, kapiler, vena. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,
komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan
tanda-tanda vital.
d. Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera
kepala yang hebat. Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran,
hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
4. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di
awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7
hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
5. Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan
memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis.
Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan
muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
7. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada
kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk
ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada :

17
Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam
posisioning. Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen,
tizanidin, botulinum, benzodiasepin
8. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal
dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi
juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin
dan terapi modifikasi lingkungan.
9. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons
Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan
kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %,
gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%.
Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%. Cicerone (2002)
meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan
kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem
gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine,
amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur.
Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu.
Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca
cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan
gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
10. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala
80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun
pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,
mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian,
konsentrasi, memori, Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

18
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring
kadar O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah
satu test diagnostic untuk menentukan status respirasi..
3. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran
jaringan otak.
4. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
5. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
6. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
a. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan
subarahnoid

I. Penatalaksanaan Medis
1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu
pernafasan misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask
Nonrebreating, Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini
terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4
hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa
nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah
(manitol 20%) diberikan dalam 30 rebound

19
menit. Pemberian
diulang setelah 6 jam
dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30
menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek
sinergis dan
memperpanjang efek
osmotik serum manitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada
bisa diulang sampai 3 kejang
kali bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 Untuk mengurangi
(asetaminofen) mg setiap 3 atau 4 jam, demam serta mengatasi
650 mg setiap 4-6 jam, nyeri ringan sampai
1000 mg setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga Untuk mencegah
(fenitoin) 500 mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat
antibiotik setelah 24 jam pertama, penting sebagai usaha
lalu 2 jam pertama, dan untuk mencegah
4 jam berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil
fragmen fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil
benda asing dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak
lebih lanjut akibat fraktur dapat dikurangi.

20
4. Mobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang
dapat memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera
kepala. Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi,
dan fleksi.

21
II. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Cedera Kepala
A. Pengkajian ( Konsep Kebutuhan Dasar Menurut Gordon )
1. Pengkajian Primer
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea.
Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak
boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi :
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
2. Data biografi
Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
3. Keluhan utama meliputi kapan cidera terjadi, riwayat tak sadar dan penyebab
cidera.

22
4. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan yang lalu, dan riwayat
kesehatan keluarga.
5. Pengkajian Fungsional Gordon
a. Pola Persepsi Dan Penanganan Kesehatan
Termasuk adakah kebiasaan merokok, minum alcohol, dan penggunaan
obat obatan
Penggunaan :
Pada saat pengkajian, klien mengatakan klien ... merokok, dan tidak
pernah mengkonsumsi alkohol. Klien juga tidak ada memiliki alergi obat.
b. Pola Nutrisi/Metabolisme
Adakah keluhan mual, muntah
c. Pola Eliminasi
Pola BAB dan BAK
d. Pola Aktifitas/Olahraga
Adakah keluhan lemas, pusing, kelelahan, dan kelemahan otot.
Kemampuan perawatan diri :
0 = mampu 3 = bantuan peralatan orang lain
1 = dengan alat bantu 4 = tergantung/tidak mampu
2 = bantu orang lain
Contoh :
Kategori 0 1 2 3 4
Makan/minum √
Mandi √
Berpakaian/berdandan √
Toileting √
Mobilisasi di tempat tidur √
Berpindah √
Berjalan √
Memasak √
Pemeliharaan kesehatan √

e. Pola Istirahat Tidur


Pola tidur apakah bisa atau tidak
f. Pola Kognitif Persepsi

23
Status mental klien sadar, bicara jelas, orientasi baik, dan tidak ada
gangguan pada fungsi kognitif dan persepsi.
g. Pola Konsep-Persepsi Diri
Adaftasi dengan lingkungan sekitar, apakah malu, takut atau tidak
h. Pola Peran Hubungan
Pola peran hubungan dengan lingkungan sehari-hari di tempat kerja atau
dirumah
i. Pola Seksualitas/Reproduksi
Apakah sudah menikah atau belum
j. Pola Koping-Toleransi stress
Pola penanganan masalah atau cara menyelesaikan masalah. Pernah
mengkonsumsi obat atau tidak.
k. Pola Nilai Dan Keyakinan
Keyakinan terhadap agama yang dimiliki.
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Tanda-tanda vital
d. Keadaan gizi
e. Pemeriksaan head to toe :
1) Kepala : Tidak ada lesi, tidak fraktur, kepala kurang bersih,
rambut terdistribusi merata, tidak ada edema, tidak ada nyeri tekan
2) Mata : Simetris kiri kanan, konjungtiva anemis, sklera
tidak ikterik,
3) Hidung : Simetris kiri kanan, tidak ada polip, tidak ada
fraktur, tidak ada nyeri, fungsi penciuman baik.
4) Telinga : Simetris kiri kanan, tidak ada serumen, fungsi
pendengaran baik.
5) Mulut : Mukosa bibir kering dan bibir pecah-pecah, tidak
ada stomatitis, ada karies.
6) Leher : Tidak ada pembesaran Kelenjar Getah Bening dan
kelenjar tiroid.

24
7) Dada
8) Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat)
9) Jantung : (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan
frekuensi)
10) Paru : (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan
kepatenan jalan nafas)
11) Abdomen : I : Tidak membuncit, tidak ada lesi
 Pal : hepar dan lien teraba, Ada nyeri tekan epigastrium
 Per : tympani
 A : bising usus normal
12) Genetalia : I : tidak terpasang kateter, tidak dilakukan
pengkajian lebih lanjut
13) Ektremitas : I : Atas : turgor kulit sedang, terpasang infus,
tidak ada sianosis, edema pada kedua lengan bagian bawah, tidak ada
lesi, clubbing finger (-)
Bawah : tidak ada sianosis, edema pada kedua kaki
Pal : CRT < 2 detik, tidak ada nyeri
Kekuatan otot :

ESD ESS

555 555

555 555

25
7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
b. Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk
memonitoring kadar O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan
pemeriksaan AGD adalah salah satu test diagnostic untuk
menentukan status respirasi..
c. CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan
pergeseran jaringan otak.
d. Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur)
perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
e. MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
f. Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral,
perdarahan.
g. Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan
subarahnoid

B. Analisa data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 DS: Pasien mengeluh Cedera Kepala Ketidakefektifan perfusi
sesak jaringan (spesifik
DO: serebral) b.d aliran arteri
 Tampak kesulitan dan atau vena terputus,
bernafas/sesak
 Gerakan dada simetris
 Pola napas cepat dan
dangkal, irreguler
 TTV : RR: .....x/menit
2 DS: pasien mengeluh Cedera Kepala Nyeri akut b.d dengan
perih, sakit agen injuri fisik,
DO:
 Kulit kemerahan
hingga nekrosis
 Luas luka = ......

26
dengan kedalaman......
 Kulit tidak utuh
 Akral dingin, lembab
 Suhu diatas 37ºC
 Peningkatan leukosit
 Mendapatkan anti
nyeri:
3 DS: klien mengeluh sakit Cedera Kepala Defisit self care b.d
DO: dengan kelelahan, nyeri
 TTV: TD....mmHg,
Nadi: cepat diatas
80x/mnt,
S: diatas 37ᵒC,
RR: cepat diatas
22x/menit
 Pasien nampak
meringis kesakitan
sambil memegang
dada yang sakit.
 P: trauma luka
benturan
 Q : terasa nyeri
 R : sisi trauma/cidera
yang sakit
 S : Skala nyeri diatas 5
 T: Hilang timbul dan
meningkat jika adanya
aktivitas
4 DS: klien mengeluh sesak Cedera Kepala Ketidakefektifan
DO: bersihan jalan nafas
 Suara napas tambahan nafas b.d Obstruksi jalan
 Perubahan pada irama napas; terdapat benda

27
dan frekuensi pernapasan asing dijalan napas,
 Batuk tidak ada atau spasme jalan napas
tidak efektif
 Sianosis
 Kesulitan untuk
berbicara
 Penurunan suara napas
 Ortopnea
 Gelisah
 Sputum berlebihan
 Mata terbelalak

5 DS: Pasien mengeluh Cedera Kepala Ketidakefektifan pola


sesak nafas Obstruksi jalan
DO: napas; terdapat benda
 Suara napas tambahan asing dijalan napas,
 Perubahan pada irama spasme jalan napas
dan frekuensi
pernapasan
 Batuk tidak ada atau
tidak efektif
 Sianosis
 Kesulitan untuk
berbicara
 Penurunan suara napas
 Ortopnea
 Gelisah

6 DS: pasien mengeluh Cedera Kepala Kerusakan integritas
perih, sakit kulit berhubungan
DO: dengan luka terbuka.
 Kulit kemerahan

28
hingga nekrosis
 Luas luka
benturan= ..... dengan
derajat kedalaman.....
 Kulit tidak utuh
 Akral dingin, lembab
 Suhu diatas 37ºC
 Peningkatan leukosit

C. Diagnosa Keperawatan ( Menurut NANDA )


1. Ketidakefektifan perfusi jaringan (spesifik serebral) b.d aliran arteri dan
atau vena terputus,
2. Nyeri akut b.d dengan agen injuri fisik,
3. Defisit self care b.d dengan kelelahan, nyeri
4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas nafas b.d Obstruksi jalan napas;
terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas
5. Ketidakefektifan pola nafas Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing
dijalan napas, spasme jalan napas
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka terbuka.

29
D. Intervensi ( NIC dan NOC )
Diagnosa
No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC: Monitor Tekanan Intra
perfusi jaringan1.  Status sirkulasi Kranial
(spesifik serebral)2.  Perfusi jaringan serebral 1. Catat perubahan respon
b.d aliran arteri dan klien terhadap stimulus /
atau vena terputus. Setelah dilakukan tindakan rangsangan
keperawatan selama ….x 24 jam, 2. Monitor TIK klien dan
klien mampu men-capai : respon neurologis terhadap
1.   Status sirkulasi dengan aktivitas
indikator: 3. Monitor intake dan output
2. Tekanan darah sis-tolik dan 4. Pasang restrain, jika perlu
diastolik dalam rentang yang 5. Monitor suhu dan angka
diharapkan leukosit
·    3. Tidak ada ortostatik hipotensi 6. Kaji adanya kaku kuduk
·    4. Tidak ada tanda tan-da PTIK 7. Kelola pemberian antibiotik
2.  5. Perfusi jaringan serebral, 8. Berikan posisi dengan
dengan indicator : kepala elevasi 30-40O
6. Klien mampu berkomunikasi dengan leher dalam posisi
dengan jelas dan sesuai ke- netral
mampuan 9. Minimalkan stimulus dari
·  7. Klien menunjukkan perhatian, lingkungan
konsen-trasi, dan orientasi 10. Beri jarak antar tindakan
8. Klien mampu mem-proses keperawatan untuk
informasi meminimalkan peningkatan
9. Klien mampu mem-buat TIK
keputusan de-ngan benar 11. Kelola obat obat untuk
·    10. Tingkat kesadaran klien mempertahankan TIK
membaik dalam batas spesifik

Monitoring Neurologis (2620)


1. Monitor ukuran,

30
kesimetrisan, reaksi dan
bentuk pupil
2. Monitor tingkat kesadaran
klien
3. Monitor tanda-tanda vital
4. Monitor keluhan nyeri
kepala, mual, dan muntah
5. Monitor respon klien
terhadap pengobatan
6. Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
7. Observasi kondisi fisik
klien

Terapi Oksigen (3320)


1. Bersihkan jalan nafas dari
secret
2. Pertahankan jalan nafas
tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai
instruksi
4. Monitor aliran oksigen,
kanul oksigen, dan
humidifier
5. Beri penjelasan kepada
klien tentang pentingnya
pemberian oksigen
6. Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor respon klien
terhadap pemberian oksigen
8. 8Anjurkan klien untuk tetap

31
memakai oksigen selama
aktivitas dan tidur
2 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri (1400)
dengan agen injuri 1.  Nyeri terkontrol 1.  Kaji keluhan nyeri, lokasi,
fisik. 2.  Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi,
3.  Tingkat kenyamanan frekuensi, kualitas, dan
beratnya nyeri.
Setelah dilakukan asuhan 2.  Observasi respon
keperawatan selama …. x 24 jam, ketidaknyamanan secara
klien dapat : verbal dan non verbal.
1.  Mengontrol nyeri, de-ngan 3.  Pastikan klien menerima
indikator: perawatan analgetik dg tepat.
-   Mengenal faktor-faktor 4.  Gunakan strategi
penyebab komunikasi yang efektif
-   Mengenal onset nyeri untuk mengetahui respon
-   Tindakan pertolong-an non penerimaan klien terhadap
farmakologi nyeri.
-   Menggunakan anal-getik 5.  Evaluasi keefektifan
-   Melaporkan gejala-gejala nyeri penggunaan kontrol nyeri
kepada tim kesehatan. 6.  Monitoring perubahan nyeri
-   Nyeri terkontrol baik aktual maupun potensial.
7.  Sediakan lingkungan yang
2. Menunjukkan tingkat nyeri, nyaman.
dengan indikator: 8.  Kurangi faktor-faktor yang
-   Melaporkan nyeri dapat menambah ungkapan
-   Frekuensi nyeri nyeri.
-   Lamanya episode nyeri 9.  Ajarkan penggunaan tehnik
-   Ekspresi nyeri; wa-jah relaksasi sebelum atau
-   Perubahan respirasi rate sesudah nyeri berlangsung.
-    Perubahan tekanan darah 10.Kolaborasi dengan tim
-   Kehilangan nafsu makan kesehatan lain untuk memilih
tindakan selain obat untuk
3. Tingkat kenyamanan, dengan meringankan nyeri.

32
indicator : 11.Tingkatkan istirahat yang
-  Klien melaporkan kebutuhan adekuat untuk meringankan
tidur dan istirahat tercukupi nyeri.

Manajemen pengobatan
(2380)
1.  Tentukan obat yang
dibutuhkan klien dan cara
mengelola sesuai dengan
anjuran/ dosis.
2.  Monitor efek teraupetik
dari pengobatan.
3. Monitor tanda, gejala dan
efek samping obat.
4. Monitor interaksi obat.
5. Ajarkan pada klien /
keluarga cara mengatasi efek
samping pengobatan.
6. Jelaskan manfaat
pengobatan yg dapat
mempengaruhi gaya hidup
klien.

Pengelolaan analgetik (2210)


1.  Periksa perintah medis
tentang obat, dosis &
frekuensi obat analgetik.
2.  Periksa riwayat alergi klien.
3.  Pilih obat berdasarkan tipe
dan beratnya nyeri.
4.  Pilih cara pemberian IV
atau IM untuk pengobatan,

33
jika mungkin.
5.  Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgetik.
6.  Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
7.   Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi tanda dan
gejala efek samping, misal
depresi pernafasan, mual dan
muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8.  Kolaborasi dgn dokter
untuk obat, dosis & cara
pemberian yg diindikasikan.
9. Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum
pengobatan.
10.Berikan obat dengan
prinsip 5 benar
11.Dokumentasikan respon
dari analgetik dan efek yang
tidak diinginkan
3 Defisit self care b.d NOC: NIC: Membantu perawatan diri
de-ngan kelelahan, Perawatan diri : klien Mandi dan toiletting
nyeri. (mandi, Makan Toiletting, Aktifitas:
berpakaian) 1.  Tempatkan alat-alat mandi
di tempat yang mudah
Setelah diberi motivasi perawatan dikenali dan mudah dijangkau
selama ….x24 jam, pasien klien
mengerti cara memenuhi ADL 2.   Libatkan klien dan
secara bertahap sesuai kemam- dampingi

34
puan, dengan kriteria : 3.  Berikan bantuan selama
 Mengerti secara seder-hana cara klien masih mampu
mandi, makan, toileting, dan mengerjakan sendiri
berpakaian serta mau mencoba NIC: ADL Berpakaian
se-cara aman tanpa cemas Aktifitas:
 Klien mau berpartisipasi dengan 1.  Informasikan pada klien
senang hati tanpa keluhan dalam dalam memilih pakaian
memenuhi ADL selama perawatan
2.  Sediakan pakaian di tempat
yang mudah dijangkau
3. Bantu berpakaian yang
sesuai
4. Jaga privcy klien
5. Berikan pakaian pribadi yg
digemari dan sesuai

NIC: ADL Makan


1.  Anjurkan duduk dan
berdo’a bersama teman
2. Dampingi saat makan
3. Bantu jika klien belum
mampu dan beri contoh
4.  Beri rasa nyaman saat
makan

Ketidakefektifan NOC: status pernapasan: NIC: manajemen jalan napas


4 bersihan jalan nafas ventilasi
1. posisiskan klien untuk
nafas b.d Obstruksi
memaksimalkan
jalan napas; terdapat
ventilasi
benda asing dijalan Setelah dilakukan tindakan selama
2. lakukan penyedotan
napas, spasme jalan 1x 24 jam masalah teratasi dengan
melalui endotrakea dan
napas kriteria hasil:
nasotrakea

35
No Skala Awal Akhir 3. kelola nebulizer
1 Kemudaha ultrasonik
n bernapas 4. posisikan untuk
2 Frekuensi
meringankan sesak
dan irama
napas
pernapasan
3 Pergerakan 5. monitor status
sputum pernapasan dan
keluar dari oksigenasi
jalan napas
4 Pergerakan
sumbatan
keluar dari
jalan napas
Indikator:

1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
tidak ada gangguan
Ketidakefektifan NOC: status pernapasan: NIC: manajemen jalan napas
5 pola nafas Obstruksi ventilasi
1. posisiskan klien untuk
jalan napas; terdapat
memaksimalkan
benda asing dijalan
ventilasi
napas, spasme jalan Setelah dilakukan tindakan
2. lakukan penyedotan
napas selama .......x 24 jam masalah
melalui endotrakea dan
teratasi dengan kriteria hasil:
nasotrakea
3. kelola nebulizer

No Skala Awal Akhir ultrasonik


1 Kemudaha 4. posisikan untuk
n bernapas meringankan sesak
2 Frekuensi
napas
dan irama
monitor status pernapasan dan

36
pernapasan oksigenasi
3 Pergerakan
sputum
keluar dari
jalan napas
4 Pergerakan
sumbatan
keluar dari
jalan napas
Indikator:

1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
tidak ada ganggua
6 Kerusakan integritas NOC : NIC :
kulit berhubungan
 Tissue Integrity : Skin and  Pressure Management
dengan lesi pada
Mucous Membranes 1. Anjurkan pasien untuk
kulit
Setelah dilakukan tindakan menggunakan pakaian
keperawatan selama….. kerusakan yang longgar.
integritas kulit pasien teratasi 2. Hindari kerutan pada
dengan kriteria hasil: tempat tidur.
3. Jaga kebersihan kulit
1. Integritas kulit yang baik
agar tetap bersih dan
bisa dipertahankan (sensasi,
kering.
elastisitas, temperatur,
4. Mobilisasi pasien (ubah
hidrasi, pigmentasi)
posisi pasien) setiap dua
2. Tidak ada luka/lesi pada
jam sekali.
kulit.
5. Monitor kulit akan
3. Perfusi jaringan baik.
adanya kemerahan .
4. Menunjukkan pemahaman
6. Oleskan lotion atau
dalam proses perbaikan
minyak/baby oil pada
kulit dan mencegah

37
terjadinya sedera berulang. derah yang tertekan .
5. Mampu melindungi kulit 7. Monitor aktivitas dan
dan mempertahankan mobilisasi pasien.
kelembaban kulit dan 8. Monitor status nutrisi
perawatan alami pasien.
9. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat.
10. Kaji lingkungan dan
peralatan yang
menyebabkan tekanan.

E. Implementasi
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk mengevaluasi
yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
2. Tahap 2 : intervensi
Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan
emosional. Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan :
independen,dependen,dan interdependen.
3. Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang
lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.

F. Evaluasi

38
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan
keberhasilan tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan
jalan membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut.
Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara
tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
Sasaran evaluasi adalah sebagai berikut:
1. Proses asuhan keperawatan, berdasarkan criteria/ rencana yang telah disusun.
2. Hasil tindakan keperawatan ,berdasarkan criteria keberhasilan yang telah di
rumuskan dalam rencana evaluasi.

Hasil Evaluasi
Macam Evaluasi:
1. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif pengembalian pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
menerapkan rencana keperawatan guna menyetujui tindakan keperawaatan
yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini memuat empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yaitu subjektif (data berupa
keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data
(menghubungkan data denagn teori), dan perencanaan.
2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua kegiatan
kepwrawatan seelsai dilakukan. Evalusi sumatif ini mendukung penilaian dan
pemantauan kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang
dapat digunakan pada evaluasi Jenis ini melakukan wawancara pada akhir
layanan, meminta tanggapan klien dan keluarga terkait layanan keperawatan,
pertemuan bertemu pada akhir layanan.
Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
1. Tujuan tercapai,apabila pasien telah menunjukan perbaikan/
kemajuan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

39
2. Tujuan tercapai sebagian,apabila tujuan itu tidak tercapai secara
maksimal, sehingga perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
3. Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukan
perubahan/kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru.dalam hal ini
perawat perlu untuk mengkaji secara lebih mendalam apakah terdapat data,
analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang
menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.

40
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media


Aesculapius
Barbara C. Long, (1996), Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, Bandung
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah  Edisi
8 Vol. 3, Jakarta, EGC
Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Carpenito. Linda Juall,
(2000),Rencana Asuhan Keperawatan  dan Dokumentasi Keperawatan E
disi 8, Jakarta, EGC
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Diagnosa NANDA (NIC & NOC) Disertai Dengan Dischange Planning. 2007-
2008. Jakarta: EGC
Doenges. M. E, (1999),  Rencana Asuhan Keperawatan  Pedoman Untuk 
Perencanaan dan  Pendokumentasi perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta,
EGC
Engelbert, J dan Bostford, (1993), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yogyakarta,
Yayasan Esentia Medica
Hudak dan Gallo, (1996), Keperawatan Kritis, edisi VI, Jakarta, EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi
3. Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Nasrul Effendy, (1998), Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta,
EGC
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

41
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Pathophysiology : Clinical Concept of Disease
Processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC
Rothtrock. Jane C, (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif,
Jakarta, EGC
Sandra M. Nettina. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan, Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical
– Surgical Nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Tarwoto, Wartonah, Eros, (2007), Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta, CV Sagung Seto
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

42

Anda mungkin juga menyukai