Anda di halaman 1dari 12

TUHAN TAK PERNAH SALAH

Oleh : Pratiwi Putri

Gadis itu duduk di tepian sungai, kepalanya bersandar pada kedua lututnya yang
ditekuk. Rambut hitam panjangnya menari-nari tertiup angin. Sore itu cuaca cerah. Bahkan
meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul lima, matahari masih terasa hangatnya.
Sedangkan gadis itu tetap tak beranjak meski sudah lebih dari satu jam berada disana. Panggil
saja gadis itu “Dela”. Matanya merah, memandang hamparan kebun sawit di seberang sungai.
Makin pedih hatinya mengingat percakapan dengan ibunya sepulang sekolah tadi.

Pada siang hari di hari yang sama sepulang sekolah.


Siang itu, senyum merekah di bibir mungil Dela. Pagi tadi rapot dibagikan, Dela mendapat
nilai tertinggi lagi di kelasnya. Sudah sejak kelas satu SMP Dela selalu mendapatkan nilai
terbaik. Gadis itu ingin melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan di kota. Siang itu Dela
pulang dengan penuh semangat. Dia akan memberi membujuk ibunya lagi agar
mengizinkannya melanjutkan sekolah.
“ Assalamu’alaikum.....”
“Wa’alaikumsalam.” Suara wanita paruh baya menyahut dari bagian belakang rumah.
Dela langsung menuju dapur dan mencium tangan ibunya. Sedangkan bibirnya seakan tak
dapat berhenti tersenyum. Ibunya yang saat itu sedang mengupas buah tiwadak mengalihkan
pandangannya pada Dela sambil berkata “Meapa senyum-senyum sorang? Kena disambat
orang kada waras (Kenapa tersenyum sendiri? Nanti dikiraorang gila).”
“Dela ni waras ja Mak ae, pintar lagi. Dela dapat juara satu lagi. Boleh kada Dela sekolah
SMK di kota, Mak? (Dela ini sehat Mak, dan pintar. Dela dapat juara satu lagi. Boleh tidak
Dela sekolah SMK di kota?). Ucapnya pada ibunya dengan wajah mengiba, berharap kali ini
ibunya akan mengizinkannya sekolah di SMA di kota.
Wanita paruh baya itu meletakkan pisau ditangannya, menunduk lalu menghela nafas panjang
sebelum berkata “Dela, maka sudah mamak padahi kada boleh sekolah SMA di kota. Setelah
lulus SMP ikam belajar ja di pesantren. Belajar agama, anak bebinian harus paham agama
(Dela, kan Mama sudah bilang tidak boleh sekolah SMA di kota. Setelah lulus SMP kamu
belajar saja di pesantren, belajar agama. Anak perempuan harus tahu agama)”.
“ Tapi Mak...”
“Sudah. Ganti baju kam, lalu dengani Mamak meolah Jaruk (Sudah. Ganti baju kamu dan
bantu Mama membuat Jaruk).”
Tanpa mengatakan sepatah katapun Dela masuk ke kamar. Sudah sejak naik kelas tiga Dela
mengutarakan keinginnya untuk sekolah SMA di kota tapi ibunya, Bu Normi, belum juga
memberikan izin.
---
“Dela. Dela!” sebuah suara mengagetkannya.
Ia menoleh. “Bu Ratna.”Melihat siapa yang berada dihadapannya, ia segera berdiri dan
menghapus sisa tetas air matanya. Terlambat sudah, sosok wanita cantik yang tak lain adalah
gurunya sudah menangkap aura kesedihan itu.
Semburat jingga dilangit juga semilir angin di tepian sungai menambah dingin
suasana petang itu. Seharusnya senja adalah salah satu keindahan yang sangat di sukai Dela
di desa. Ia biasa menikmati senja di batang di belakang rumahnya sambil membaca buku.
Tapi senja kali ini terasa berbeda, tak bisa menghibur luka hatinya.
Dela bukannya tak sadar dimana dia hidup dan dibesarkan. Tapi tidak ada yang salah
dengan keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik bukan? Di desa tempat
Dela tinggal tidak ada listrik, penerangan masih menggunakan tenaga surya. Begitu pula
dengan jaringan telepon, hanya titik-titik tertentu di desanya yang terjangkau sinyal telepon,
di tempat yang berada di tepian sungai. Rumah Dela salah satunya. Desanya pun tak dapat
dijangkau melalui jalur darat, jika ingin ke desa bisa melalui jalur air dengan menggunakan
longboat selama tiga puluh menit atau satu jam dengan menggunakan perahu kecil yang
disini biasa disebut dengan kelotok. Tapi Dela sudah berniat ingin sekolah sedari kecil. Meski
rata-rata gadis di desanya hanya tamatan SMP, Dela ingin paling tidak bisa lulus SMA.
“Del..., lihat ibu. Kamu kenapa?” Bu Ratna memengang kedua pundak Dela. Dilihatnya
siswanya itu terlihat murung. Tak seperti biasanya, Dela adalah gadis yang ceria.
Dela tak berani menatap ibu gurunya. Ia malu Bu Ratna harus melihatnya seperti itu.
Tapi berbohongpun tak mungkin. Ia tak biasa berbohong dan tak sanggup membohongi Bu
Ratna. Selama ini Bu Ratna selalu baik dan perhatian pada siswanya. Dela tak tahu harus
mengatakan apa. Ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya tapi ia tidak ingin Bu Ratna
berpikiran negatif tentang orang tuanya. Rasanya tidak pantas saja membicarakan hal itu,
Ibunya tetaplah ibunya. Bu Ratna menangkap keraguan di wajah Dela. Hari juga sudah
semakin gelap, suara adzan sudah terdengar dari masjid di tengah-tengah desa. “Ya sudah.
Kamu masuk rumah saja dulu. Kalau kamu mau, kamu bisa cerita sama ibu kapan saja.”
---
Teng...teng...teng...teng...teng...teng..teng....
Bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak berhamburan keluar kelas. Seperti biasa,
pulang sekolah adalah salah satu hal yang menyenangkan untuk anak-anak. Satu persatu
mereka menyalami guru-guru. Tidak banyak memang, hanya ada empat guru yang mengajar
di SMP tempat Dela bersekolah. Teman sekolah Dela pun tak banyak, hanya ada empat belas
siswa dari kelas tujuh hingga kelas sembilan. Siang itu Dela sengaja menunggu teman-
temannya pulang, ia duduk di bawah pohon jambu di samping gedung kelas tujuh.
Bu Ratna sedang merapikan meja kerjanya ketika Dela mengetuk pintu. Pucuk dicinta
ulam tiba. Sudah seminggu sejak kejadian ditepi sungai itu tapi Dela tak menceritakan
apapun pada Bu Ratna, karenanya Bu Ratna berencana memanggil gadis itu sepulang
sekolah besok.
“Eh, Dela. Masuk nak, duduk disini.” Ujar Bu Ratna.
“Iya, Bu. Terimakasih.” Malu-malu Dela masuk dan duduk di depan meja kerja Bu Ratna.
Untuk waktu yang cukup lama Dela terdiam. Duduk memandangi lantai kayu di kantor
gurunya itu. Ia sungguh bingung harus bagaimana mengatakannya. Ia ingin meminta bantuan
Bu Ratna tapi ia juga tak ingin menyusahkan orang lain. Keinginannya untuk sekolah
sungguh kuat. Akhirnya ia memberanikan diri untuk berterus terang. Dela menceritakan apa
yang terjadi pada Bu Ratna, tentang keinginannya untuk melanjutkan sekolah serta penolakan
ibunya akan niatnya tersebut. Tentang rencana ibunya untuk mengirimnyake pesantren saja.
Parau suara Dela menahan tangis.
“Jadi begitu ceritanya.” Bu Ratna mengusap kepala Dela pelan. “Ibu senang kamu punya
keinginan yang kuat untuk belajar, untuk melanjutkan pendidikan. Ibu juga menghargai
sikapmu yang tetap berbakti dan mencari jalan lain untuk berbicara pada orang tuamu, bukan
dengan melawan orang tuamu. Biar nanti ibu coba bantu bicara dengan ibumu. Mudah-
mudahan kita bisa mencari jalan keluar yang terbaik.”
Siang itu Dela pulang sekolah dengan perasaan yang lebih baik. Paling tidak ia sudah
mengutarakan isi hatinya dan berusaha mencari jalan agar ia bisa melanjutkan sekolah.
Sebagai anak perempuan satu-satunya ia juga tidak ingin mengecewakan orang tuanya, tapi
sekeras apapun Dela berpikir, ingin melanjutkan sekolah bukanlah hal yang buruk dan
merugikan. Jadi ia ingin berusaha sambil terus berdoa. Jika doanya memang tidak terkabul,
berarti Tuhan punya rencana yang lebih baik untuknya.
---
Bu Ratna memang benar memenuhi janjinya pada Dela. Setelah semalaman di guyur
hujan, pagi ini berkabut. Udara dingin meresap ke dalam tulang. Namun semua itu tak
menyurutkan niat Bu Ratna untuk ke rumah Dela, berharap usahanya akan membuahkan
hasil. Diraihnya jaket tebal berwarna hijau yang tergantung dii balik pintu, tak lupa kerudung
dan juga syal untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Rumah Dela hanya berjarak dua rumah
dari rumah dinasnya, tak jauh. Hanya saja pagi ini desa nampak sepi, sepertinya semua orang
enggan beranjak dari rumah. Cuaca dingin bukanlah waktu yang tepat untuk keluar rumah.
Jika tidak memikirkan muridnya itu, mungkin saat ini ia juga masih bercengkerama dengan
guling dan selimut di kamarnya. Sengaja ia datang pagi, ia khawatir jika menunggu siang
yang dicarinya sudah tidak ada dirumah.
Orang tua Dela menyambut kedatangan Bu Ratna dengan hangat. Tak lama ibu Dela
keluar membawa teh dan sepiring tiwadak goreng. Harumnya menggoda selera. Bu Ratna
duduk berhadapan dengan ibunya Dela, Bu Normi, yang duduk bersebelahan dengan ayah
Dela.
“dimakan, Bu. Ulun handak menyuruh Dela meantar tiwadak goreng ke wadah pian tadi ni.
Eh bedahulu pian kemari. (dimakan, Bu. Saya mauu meminta Dela mengantarkan tiwadak
goreng ini ketempat ibu tadi. Eh duluan kemari.)”
“inggih, Kak. Kada usah repot pan. Meuyuhi orang pian meantar kerumah segala. (Iya, Bu.
Tidak usah repot. Menyusahkan ibu saja mengantarkan kerumah.”)
Bu Ratna meminum teh hangat di depannya. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, jadi
bingung harus darimana memulaipembicarakan. Yang ada dalam hatinya semoga saja orang
tua Dela mau menerima pandangannya tentang sekolah Dela.
“em...mohon maaf lah ulun. Sebujurnya ada yang handak ulun panderkan Kak ae. Masalah
sekolah Dela. (Eh...saya minta maaf. Sebenanrnya ada yang mau saya bicarakan tentang
sekolah Dela.)”
“tameen sekolah Dela? (Kenapa sekolah Dela)” ujar Bu Normi. Ada sedikit kecemasan
dalam nada suara wanita bertubuh kurus itu.
Bu Ratna menceritakan apa yang dilihatnya, mulai Dela yang termenung dipinggir
sungai sampai keinginan Dela untuk sekolah. Ia juga memberikan pendapat tentang
pentingnya sekolah untuk masa depan Dela. Anak perempuan dan tinggal di desa bukanlah
halangan untuk dapat melanjutkan pendidikan. Justru jika desa ini ingin maju maka generasi
muda yang bersemangat dalam pendidikan untuk mencapai kemajuan seperti Dela sangatlah
diperlukan.
“ulun tu tahu ja Bu kalau Dela handak sekolah. Tapi Dela tu anak binian ulun satu-satunya,
ulun takutan melepas Dela sekolah di kota. Mungkin pian sudah melihat jua, banyak bawi di
desa ni nang lalu betianan bila disekolahkan di kota. Kada tuntung sekolahnya malah
memberi malu. Kada satu dua ja, Bu. Banyak. Ulun kada handak anak ulun kaya itu jua, biar
am kada sekolah kada dapat ijazah asal selamat. (Saya tahu Bu kalau Dela ingin sekolah.
Tapi Dela adalah anak perempuan saya satu-satunya. Saya takut melepaskan Dela sekolah di
kota. Mungkin Ibu sudah melihat juga, banyak anak perempuan desa ini yang hamil
jikasekolah di kota. Tidak lulus sekolahnya dan justru membuat malu keluarga. Tidak Cuma
satu atau dua. Banyak. Saya tidak mau anak saya seperti itu juga, biar saja tidak sekolah tidak
mendapat ijazah.)”
“Mak! Sudah. Kada boleh menyambat anak orang.(Bu! Sudah. Tidak boleh mengata-ngatai
anak orang.)” Ayah Dela yang sedari tadi diam angkat suara.
“memang itu kenyataannya Bah ae. Makanya kita handak Dela belajar di pesantren ja. Biar
tahu agama. Kena mun tuntung kawa jadi guru mengaji di desa kita. Daripada inya sekolah
SMA, kita kada beisi duit jua gasan menguliahkannya. Percuma jua. (Memang begitu
kenyataannya Bah. Makanya kita mau Dela belajar di Pesantren saja. Supaya tahu agama.
Nanti kalau sudah selesai bisa jadi guru mengaji di desa kita. Daripada dia sekolah SMA, kita
tidak punya uang juga untuk dia kuliah nanti. Percuma saja.)” jelas Bu Normi panjang lebar.
Bu Ratna tidak terkejut mendengar alasan ibu Dela. Dua tahun mengajar di desa ini, ia
sudah panjang lebar mendengar berrbagai macam kisah termasuk yang sudah keluar dari
mulut ibu Dela tadi. Sedikit banyak Bu ratna juga tahu tabiat orang kampung sini. Memang
banyak yang tidak ingin menyekolahkan anaknya. Alasannya beragammulai dari masalah
biaya hingga untuk apasekolah tinggi-tinggi. Apalagi anak perempuan, kebanyakan anak-
anak disini akan dikirim ke pesantren oleh orang tuanya setelah lulus SMP, bahkan beberapa
ada yang langsung dikirim ke pesantren setelah lulus SD. Sebenarnya tidak ada yang salah
dengan belajar di pesantren, toh sekarang ini banyak pesantren yang juga dengan sekolah
umum. Jadi anak-anak akan tetap mendapatkan ijazah sekolah seperti pada umumnya. Tapi
pesantren yang dimaksud ibu Dela tadi bukan yang seperti itu. Tidak ada sekolah umum
disana. Sedangkan Dela ingin juga belajar umum seperti siswa SMA pada umumnya.
“Kak. Maaf lah. Ini saran ulun ja pang lah. Dela tu kan handak sekolah umum, dapat ijazah,
handak begawi nang kaya orang jua. Inya kada papa pan di pesantren tapi lawan sekolah
jua. Jadi kaya apa mun orang pian cari ja pesantren yang ada sekolah umumnya. Kan
nyaman. Dela senang kawa belajar, pian kada beganangan jua.(Kak. Maaf ya. Ini Cuma
saran saya saja. Dela itu kan ingin sekolah, dapat ijazah, ingin bisa kerja seperti orang lain
juga. Dia tidak apa-apa di pesantren tapi dia ingin sekolah juga. Jadi gimana kalau dicarikan
pesantren yang ada sekolah umumnya. Kan enak. Dela senang bisa belajar, kakak juga tidak
kepikiran.)” Bu Ratna berusaha menjelaskan solusi supaya tidak ada yang kecewa. Keinginan
orang tua Dela mulia, di sisi lain keinginan Dela juga baik.
Sementara sedari tadi Dela tengah mendengarkan semua percakapan itu dari kamar
tidurnya. Rumahnya tidak besar dan terbuat dari kayu, pun kamarnya terletak tepat di sebelah
ruang tamu sehingga Dela bisa mendengar dengan jelas apa yang terjadi dibalik dinding
kamarnya itu. Dalam hati ia membenarkan perkataan Bu Ratna, ibunya pun sebenarnya tidak
salah. Tapi Dela bukanlah anak yang gampang goyah oleh pergaulan. Ia pun tahu bagaimana
harus menjaga diri dan kehormatan keluarganya. Sejak kecil ayahnya sudah keras
mendidiknya jika soal agama. Rasanya ia akan bisa hidup jauh dari orang tua dan tetap
menjadi anak yang baik.
---
Dela terlihat sedikit gelisah. Ia hanya membolak-balik buku yang ada di tangannya
tanpa membaca isinya. Sudah hampir dua minggu sejak kedatangan Bu Ratna kerumahnya,
tapi ibunya belum juga mengatakan sesuatu tentang sekolah. Ia khawatir ibunya masih tidak
mengizinkannya. Tiba-tiba terdengar suara kelotok Abahnya berhenti di batang belakang
rumahnya. Pagi tadi abahnya memang berpamitan untuk ke kota.
“Assalamualaikum...” terdengar suara berat seorang lelaki, suara itu bukan suara abahnya, ia
hafal betul suara abahnya.
Tak lama terdengar suara abahnya, juga ada suara anak lelaki dan seorang wanita. Tapi ia tak
berani keluar kamar. Abahnya tidak mengizinkan Dela keluar kamar bila ada tamu, kecuali
abahnya memanggil.
“Dela...keluar nak.” Terdengar abahnya memanggil. Ia bergegas berganti baju dan keluar.
Dilihatnya tiga orang asing duduk dengan abahnya di lantai yang ditutupi karpet bergambar
batik diruang tamunya. Sepertinya semua keluarga, batin Dela.
Abahnya memperkenalkan tamu tersebut sebagai sahabatnya. Namanya Pak Arif.
Dulu mereka bertemu ketika abahnya bekerja di perkebunan sawit di seberang. Pak Arif ini
adalah salah satu manajer di perusahaan tersebut. Abah Dela merupakan orang yang jujur,
ramah dan mudah bergaul; Pak Arif pun bukan orang yang sombong. Jadi selama masa
perantauan tersebut abahnya lahh yang banyakmembantu Pak Arif berkomunikasi dengan
para pekerja yang tidak bisa Bahasa Indonesia. Maklum, Pak Arif asli orang Jawa sedangkan
kebanyakan pekerja adalah penduduk setempat yang menggunakan bahasa Banjar sebagai
bahasa sehari-hari. Tapi sudah liima belas tahun tahun Pak Arif pulang ke Jawa karena orang
tua beliau sakit. Dan sekarang, kebetulan Pak Arif ada pekerjaan di kota Pembuang Hulu
yang berada di seberang jadi beliau mampir untuk bertemu abah. Begitulah kira-kira kisah
persahabatan mereka.
Siang itu mereka asik bercerita, saling bertukar kabar dan bernonstalgia. Sedangkan
Dela sibuk di dapur membantu ibunya menyiapkan makan. Kebetulan pagi tadi abahnya
dapat ikan cukup banyak ikan dari hasil merengge. Ibu Dela memasak gangan asam, juga
pais Ikan Baung, tak lupa sambal rembang sebagai pelengkap. Memang bukan masakan
mewah ala kota tapi itulah kemewahan ala desa. Nafsu makan dela selalu meningkat bila
ibunya memasak gangan asam.
Siang itu mereka makan dengan lahap. Dela melihat tamu abahnya menikmati makan
siang mereka. Bahkan istri Pak Arif sampai menanyakan resep gangan asam dan pais pada
ibunya. Gangan asam yang dimasak ibu Dela memang berbeda dengan sayur asam ala Jawa.
Begitu juga pais, rasanya mirip dengan pepes kalau di Jawa. Mereka berkumpul di teras
belakang rumah, memandangi sungai sambil mmenikmati buah Durian. Iya, sekarang
memang sedang musim Durian. Hampir setiap malam puluhan durian jatuh dari kebun abah
Dela.
“Dela, saya dengar dari ayahmu kalau kamu ingin melanjutkan sekolah. Benar begitu?” tanya
Pak Arif, hal tersebut tentu mengagetkan Dela. Ia tak tahu kapan abahnya menceritakan hal
tersebut.
“Iya, Pak. Saya ingin bisa sekolah di kota. Supaya saya bisa belajar lebih banyak lagi.” Jawab
Dela dengan percaya diri.
Pak Arif melihat keinginan yang kuat dari mata Dela. Pak Arif juga sudah mendengar dari
orang tua Dela tentang prestasi Dela di sekolah.
“Apa kamu mau sekolah di kota Bapak? Kebetulan anak Bapak, Fahmi, juga akan masuk
SMA tahun depan. Bapak berencana menyekolahkan Fahmi di Jombang, ada sebuah sekolah
bagus di Pondok Pesantren Darul Ulum di Jombang. Tapi masuk di sekolah itu harus tes, dan
banyak saingannya. Tidak semua di terima.” Ucap Pak Arif panjang.
Dela senang bukan kepalang mendengar penuturan Pak Arif. Bukankah hal itu berarti
orang tuanya telah merestui niatnya untuk sekolah. Ia hanya perlu belajar lebih giat supaya
bisa diterimadi sekolah yang diceritakan pak Arif. Besok ia akan bicara pada Bu Ratna,
mungkin Bu Ratna punya waktu untuk membantunya belajar. Sore itu senja terasa lebih
indah, air di sungai pun terasa lebih menyejukkan.
Benar saja, Bu Ratna bersedia membantu Dela belajar. Selain untuk persiapan Ujian
Sekolah dan Ujian Nasional, Dela juga mempersiapkan diri untuk tes masuk sekolah di
Pondok Pesantren yang diceritakan Pak Arif. Bu Ratna bahkan membantunya mencari soal-
soal dari internet ketika Bu ratna ke kota untuk mengambil gaji. Tak ada satu haripun yang
dilalui Dela tanpa belajar. Dela juga makin rajin membantu ibunya. Meski ibunya
memintanya untuk fookus belajar, tapi Dela masih tetap membantuibunya. Ia bersyukur
ibunya mengizinkan ia sekolah.
---
Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa Ujian Sekolah dan ujian nasional sudah
dilalui Dela. Setelah pengumuman tes, Dela diantar abahnya ke Jawa naik kapal laut. Harga
tiket pesawat memang terlalu mahal, lebih baik uangnya digunakan untuk keperluan yang
lain. Dela yakin pasti banyak biaya yang harus dikeluarkan abahnya meski tak sekalipun
abahnya menyinggung masalah biaya. Satu-satunya yang dikatakan abahnya hanyalah agar ia
mengerjakan tesnya dengan sebaik mungkin.
Setelah satu hari satu malam sampailah Dela dan abahnya di pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya. Rupanya Pak Arif sudah menanti kedatangan Deladan ayahnya. Pak Arif
menjemput mereka menggunakan mobil. Setelah makan dan shalat dhuhur, mereka berangkat
langsung ke Jombang. Rumah Pak arif memang di Jombang, akan tetapi sedikit jauh dari
Pondok Pesantren tempat Dela dan Fahmi akan ikut tes. Rumah Pak Arif ada di dekat
Universitas Darul Ulum Jombang.
Esok harinya, pagi-pagi sekali setelah shalat subuh dan sarapan Pak Arif mengantar
Dela dan Fahmi ketempat tes. Pak Arif memang sengaja berangkat lebih pagi supaya Dela
dan Fahmi punya waktu untuk bersiap. Dela terkagum-kagum melihat bangunannya,sungguh
tidak seperti bayangannnya. Pondok pesantren ini luas sekali, dari pintu gerbang sampe
tempat tes saja dia sudah melihat ada satu SMP, satu MAN, dan juga satu SMK. Belum lagi
bangunan lain yang sepertinya adalah asrama. Mungkin masih banyak lagi sekolah lain jika
Dela mengelilingi pondok.
“Fahmi, Dela. Lakukan yang terbaik ya. Jangan memikirkan lulus atau tidaknya. Jangan lupa
berdoa.” Pesan Pak Arif.
“Kalian juga harus jujur. Jika ingin hasil yang baik, kalian harus dapatkan dengan cara yang
baik pula.” Tambah ayah Dela.
Dela dan Fahmi masuk ke ruang tes. Tes dilakukan di Aula yang sangat luas. Kursi
sudah tertata rapi. Tempat duduk mereka berjauhan, sepertinya tempat tes perempuan ada di
depan dan laki-laki di belakang. Dalam waktu satu jam setengah merek aharus mengerjakan
lima puluh soal Tes Intelegensi Umum dan lima puluh soal Tes Potensi Akademik. Jantung
dela berdetak kencang, ia gugup sekali. Ia tidak mau mengecewakan orang tuanya yang
sudah mengusahakan segala sesuatunya supaya ia bisa sekolah.
Hanya tiga hari setelah tes pengumuman sudah bisa dilihat di web sekolah. Pak Arif
membantu mereka membuka pengumuman. Bukan Cuma Dela dan Fahmi yang harap-harap
cemas, kecemasan juga terlihat di wajah Pak Arif dan ayah Dela. Mereka membaca
pengumuman yang telah di download Pak Arif. Bersama-sama membaca satu persatu nama
yang tertera disana. Di lembar pertama merekamenemukan nama Fahmi, berada di urutan ke
sepuluh. Dela semakin cemas, kini tinggal mencari namanya. Semoga Tuhan mengambulkan
doanya. Ada nama Dela di urutan ke dua puluh. Ada kegembiraan terpancar di wajah mereka.
Biar bagaimanapun bukan hal yang mudah mengalahkan saingannya yang hampir seribu
orang sedangkan yang diterima hanya seratus lima puluh orang.
Setelah mengurus pendaftaran, Dela dan abahnya pulang. Tentu ada yang harus
dipersiapkan sebelum pindah ke pondok. Dela juga masih harus menunggu ijazahnya yang
belum keluar. Dela juga belum mengucapkan perpisahan pada teman-temannya. Dan yang
paling penting, Dela ingin memberi tahu ibunya secara langsung bahwa ia lulus tes.
---
Seperti biasa suasana Desa tak pernah ramai di hari kerja. Setelah sampai dirumah,
Dela langsung menghambur dalam pelukan ibunya. Dela yakin jika segala sesuatu yang ia
dapatkan tak lepas dari doa ibunya. Panjang lebar Dela menceritakan tentang tempatnya
bersekolah nanti. Betapa luasnya pondok tersebut, dan betapa bagusnya sekolahnya nanti.
Hanya saja asrama Dela agak jauh dari sekolah, bukan karena tidak ada srama yang dekat
dengan sekolah tetapi asramayang dekat sekolah cukup mahal. Jadi Dela memilih untuk
tinggal di asrama lain, jaraknya memang agak jauh. Tapi dari yang ia dengar dari bibi yang
berjualan di dekat gerbang bahawa asrama yang dipilihnya juga bagus. Jadwal mengaji dan
ustadzah yang mengajar sama bagusnya dengan asrama yang di dekat dengan sekolah. Dela
tahu diri, iabukanlah anak orang kaya. Bisa bersekolah saja sudah sangat bersyukur.
Dela menyempatkann diri untuk mengunjungi Bu Ratna, ia dengar Bu Ratnaakan ke
kota besok. Takut tak bisa bertemu dengan guru kesayangannya tersebut Dela buru-buru
kerumah Bu Ratna. Sambutan Bu Ratna masih sama hangatnya dengan yang dulu. Bu Ratna
juga memberikan selamat dan nasihat untuk Dela. Tak hanya itu, Bu ratna bahkan
memberikan hadiah untuk Dela, sebuah gamis berwarna soft pink dengan jilbab lebar
berwarna sandstone. Dela menangis memeluk ibu gurunya itu. Tak henti-hentinya ia
mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan Bu ratna padanya.
---
Hari keberangkatan Dela pun tiba. Ia berpamitan dengan ibunya, meminta doa restu.
Kali ini ia akan sendirian ke Jombang, orang tuanya hanya mengantarnya sampai pelabuhan
saja. Dela juga tak ingin merepotkan abahnya, jika berdua tentu saja membutuhkan biaya
yang lebih banyak. Toh ia sudah pernah ke Jombang sekali, Pak Arif akan menjemputnya di
pelabuhan di Surabaya. Ia bertekad akan menjadi anak yang lebih mandiri, berusahan sebaik
yang ia bisa.
“Dela, hati-hati lah nak. Beuntung betuah, mudahan berhasil.. (Dela, hati-hati ya nak.
Semoga selalu beruntung, dan berhasil.)” kata ibunya sambil memeluk Dela.
“kena mun sudah di Jombang, umpati apa jar Pak Arif. Abah sudah betitip lawan sidin
gasan menjaga ikam. Bila ada apa-apa padah ja lawan sidin. (Nanti kalau sudah di
Jombang, ikuti apa kata pak Arif. Abah sudah minta tolong beliau untuk menjagamu. Kalau
ada sesuatu bilang saja dengan beliau.)” abahnya menambahi.
Dela bersalaman dengan kedua orang tuanya kemudian naik kapal. Ia tidak langsung
masuk ke dalam kamarnya di kapal. Ia berdiri di dek kapal sambil melihat orang tuanya.
Senyum orang tuanya mengembang, terlihat kesedihan dan kegembiraan disana. Dela terus
melambaikan tangan pada orang tuanya sampai petugas menyuruh orang tuanya keluar dari
ruang tunggu.
Ada butiran bening dari mata Dela. Ia menangis. Bersyukur ia dapat sekolah, tapi ia
tak dapat menahan kesedihannya berpisah dengan kedua orang tuanya. Sejak lahir, ini adalah
kali pertama mereka berpisah. Dela bertekad akan belajar dengan giat. Bersyukur Tuhan
mengabulkan doa-doanya, ia berjanji pada diri sendiri akan berusaha dengan lebih baik dan
terus berdoa. Tak ada usaha yang menghianati hasil, dan tak ada yang tak mungkin bila
Tuhan berkehendak.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” ucap Dela dalam hati.

Keterangan:
Tiwadak : Buah khas kalimantan yang bentuknya seperti nangka. Buah ini bisa
didoreng seperti membuat pisang goreng atau dimakan langsung. Kulitnya bisa di masak atau
dijadikan Jaruk.
Jaruk : kulit Buah tiwadak yang diawetkan dengan cara direndam dalam air garam
atau cumadi beri garam saja. Jarukini bisabertahan hingga satu bulan.
Batang : deratan kayu yang disusun berjajar di sungai, biasanya digunakan orang
untuk duduk ketika mencuci atau mandi di sungai.
Kelotok : perahu kecil yang biasa digunakan untuk menyeberang sungai.
Penulis: Pratiwi Putri
Aku seorang guru SMP di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah. Sebagai orang
Jawa yang pindah ke Kalimantan aku mendapatkan banyak hal baru. Mengajar di desa
memberikan pengalaman baru untukku. Selain itu aku juga bisa belajar bahasa setempat. Aku
biasanya mengisi waktu luang setelah mengajar di sekolah dengan membaca novel atau
menonton film. Selain itu aku juga juga menulis di blog pribadi untuk membagikan
pengalaman.

Anda mungkin juga menyukai