Anda di halaman 1dari 3

Kasus Pajak Google dan Facebook di Indonesia, Apa

Bedanya?
Selasa, 20 Desember 2016 | 20:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  Perusahaan raksasa penyedia layanan internet asal Amerika


Serikat (AS) Google bukanlah satu-satunya perusahaan yang terlilit kasus pajak di Indonesia.
Facebook juga mengalami hal yang sama. Namun perusahaan yang didirikan oleh Mark
Zuckerberg tidak begitu disorot layaknya kasus Pajak Google.
Menurut Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus Muhammad Haniv, petinggi Facebook memiliki
keinginan untuk datang ke Indonesia menyelesaikan kasus pajaknya.
"Modusnya sama dengan Google, hanya saja kami tidak mengajukan Bukti Permulaan
kepada Facebook," ujar Haniv di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (20/12/2016).
Ditjen Pajak melihat upaya itu cermin dari adanya niat baik Facebook untuk membayar pajak
atas keuntungan yang meraka dapat di Indonesia.
Bila dikomparasi, kasus pajak kedua perusahaan asal AS itu memang tidak berbeda yaitu sama-
sama tidak membayar pajak sesuai bisnisnya di Indonesia.
Namun sikap kedua menjadi pembeda. Sejak awal, Google begitu ngotot dan tidak mau melunak
terkait utang-utang pajaknya di Indonesia.
Perusahaan raksasa internet AS itu juga mengembalikan surat pemeriksaan atas pajak-pajaknya.
Ditjen Pajak menilai sikap Google itu sebagai bukti penolakan terhadap pemeriksaan pajak.
Bahkan setelah diberikan kesempatan untuk mencari "angka damai" melalui tax
settlement, Google tetap tidak mau melunak.
Ditjen Pajak lantas memberikan peringatan kepada perusahaan raksasa internet asal Amerika
Serikat (AS) itu.
Pemeriksaan Pajak Google akan dilanjutkan dengan tahapan bukti permulaan yang berarti ada
indikasi pidana.
"Tahun depan bukan settlement (penghitungan pajak) lagi. Settlement saya tutup. Itu omongan
saya. Kami harus kencang. Saya minta Google tahun depan berikan datanya (keuangan), saya
hitung pajaknya, dan ingat konsekuensinya denda 150 persen," lanjut Haniv.
Tax planning
Menurut pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam,
persoalan Pajak Google dan sejumlah perusahaan layanan internet di suatu negara, dipicu oleh
praktik perencanaan pajak yang agresif atau aggressive tax planning.
"Kasus ini kan sebenarnya dipicu semakin maraknya praktik aggressive tax planning dengan
intensi mencari kelemahan ketentuan pajak baik dalam level domestik dan internasional," ujar
Darusalam kepada Kompas.com.
Dalam istilah pajak, tax planning diartikan sebagai usaha-usaha wajib pajak untuk
meminimalkan pembayaran pajaknya.
Namun ada satu titik dari tax planning yang dianggap tidak bisa ditoleransi yakni aggressive tax
planning.
Saat mencapai titik agresif itu, para wajib pajak mencoba mencari kelemahan ketentuan pajak di
satu negara. Di Indonesia, kelemahan ketentuan pajak bisa terlihat dari persoalan Google.
Seperti diketahui, pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari
iklan.
Namun perusahaan asal AS itu belum membayar pajak untuk transaksi yang dilakukan di Tanah
Air.
Google hanya menempatkan perwakilannya yakni Google Indonesia yang berkantor di Jakarta
dan bukan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT).
Sementara di Indonesia, pengenaan pajak bisa dilakukan bila suatu badan usaha merupakan
BUT.
Persoalan BUT diakui Ditjen Pajak sangat pelik. Hingga saat ini Google menolak disebut BUT.
Padahal menurut Ditjen Pajak, Google Indonesia sudah berbentuk badan hukum dengan status
sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) sejak 15 September 2011 dan menginduk kepada
dari Google Asia Pacific Pte Ltd.
Darussalam mengatakan persoalan Google dan perusahaan penyedia layanan internet lainnya
sudah mulai diantisipasi oleh banyak negara.
Bahkan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan negara G-20
sudah menyepakati satu hal. "Mewajibkan wajib pajak untuk mengungkapkan skema tax
planningnya. Ini tertuang dalam aksi no 12 Base Erosion Profit Shifting (BEPS)," kata dia.
Ketentuan kewajiban pengungkapan tax planning itu disebut dengan mandatory disclosure rule
(MDR). Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa Indonesia harus menerapkan MDR untuk
mencegah skema aggressive tax planning.
Selain itu kata Darussalam, sejumlah negara mulai melakukan pendekatan moral untuk
"memerangi" agressive tax planning.
Pendekatan moral dibangun agar kepatuhan membayar pajak hadir dari inisiatif bukan paksaan
atau ancaman.
Saat ini, negara yang berhasil menerapkan hal tersebut adalah Inggris. Menurut Ditjen Pajak,
Inggris adalah negara yang mampu membuat Google mau membayar pajak atas bisnisnya di
negeri Ratu Elizabeth tersebut.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/12/20/203046026/kasus.pajak.google.dan.facebook.di.i
ndonesia.apa.bedanya

Faktor 4 : Utang pajak Google dan Facebook di Indonesia

Utang pajak Google dan Facebook menyebabkan sistem akuntansi di Indonesia menjadi memburuk.
Pasalnya perusahaan Google dan Facebook enggan membayar beban pajaknya atas bisnisnya di
Indonesia. Hal ini akan berdampak pada penerimaan negara berkurang atas kasus ini.

Analisis Artikel Berita :

Utang pajak Google dan Facebook di Indonesia terjadi karena kedua perusahaan tersebut enggan
mengakui beban pajak atas bisnisnya yang dijalankan di Indonesia. Menurut pengamat pajak dari
Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, persoalan Pajak Google dan sejumlah
perusahaan layanan internet di suatu negara, dipicu oleh praktik perencanaan pajak yang agresif
atau aggressive tax planning. Namun ada satu titik dari tax planning yang dianggap tidak bisa
ditoleransi yakni aggressive tax planning. Persoalan BUT diakui Ditjen Pajak sangat pelik.
Hingga saat ini Google menolak disebut BUT. Padahal menurut Ditjen Pajak, Google Indonesia
sudah berbentuk badan hukum dengan status sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) sejak 15
September 2011 dan menginduk kepada dari Google Asia Pacific Pte Ltd.

Anda mungkin juga menyukai