Anda di halaman 1dari 9

HEPATITIS

Pembimbing :
dr. Linggom Kurniaty, SpFK

Disusun Oleh :
Yessi Henny Gloria
1765050332

KEPANITRAAN KLINIK FARMASI


PERIODE 04 NOVEMBER 2019 – 07 DESEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019
DEFINISI
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel
hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia serta seluler yang khas. Sampai
saat ini telah teridentifikasi lima tipe hepatitis virus yang pasti: hepatitis A, B, C, D, E.
Hepatitis A dan E mempunyai cara penularan yang serupa ( jalur fekal – oral ) sedangkan
hepatitis B, C, dan D memiliki banyak karateristik yang sama.

PATOFISIOLOGI
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatosit
oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degerenasi dan nekrosis sel parenkim hati.
Respon peradangan menyebabkan pembekakan dalam memblokir system drainage hati,
sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi stasis empedu (biliary) dan
empedu tidak dapat diekresikan ke dalam kantung empedu bahkan kedalam usus, sehingga
meningkat dalam darah sebagai hyperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan
kulit hepatoceluler jaundice. Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik sampai dengan
timbulnya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2
sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepatitis dengan
sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang
dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit
kronik hati atau kanker hati.
PATOFISIOLOGI HEPATITIS

Agen
(Virus atau Toksin)

Transmisi
Fekal-Oral
Parenteral, perinatal,
kontak, makanan,
minuman, dan
santasi Demam
ringan-berat Splenomegali Hepatomegali

Infiltrasi Peradangan Edema Malaise Ketidaknyamanan


pada kuadran
Degenerasi kanan atas
Kematian
Nekrosis abdomen
Hati

Nyeri
Pemblokiran
Drainage
Hati Anoreksia

Destruksi Sel
Hati

Empedu
Steatorea
Statis

Hiperbilirubinemia

Jaundice Kulit Urin Urobilinogen

Bagan 1. Patofisiologi Hepatitis


PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik:
1. Ikterus
2. Jaundice
3. Hepatomegali

TUJUAN TERAPI
1. Eradikasi virus hepatitis
2. Mencegah komplikasi hati, fibrosis, sirosis, karsinoma hepatoselular, asites, varises
esofagus, dan enselopati hepatik.
3. Supresi replikasi HBV DNA
4. Normalisasi SGPT
5. Memperpanjang survival
6. Menghindari kerusakan hati yang permanen
7. Meningkatkan regenerasi jaringan hati dengan keluarnya protein yang memadai.

GUIDELINE TERAPI
1. Terapi tanpa obat: Terapi tanpa obat bagi penderita penyakit hati adalah dengan diet
seimbang, jumlah kalori yang dibutuhkan sesuai dengan tinggi badan, berat badan, dan
aktivitas. Pada keadaan tertentu, diperlukan diet rendah protein, banyak makan sayur dan
buah serta melakukan aktivitas sesuai kemampuan untuk mencegah sembelit, menjalankan
pola hidup yang teratur dan berkonsultasi dengan petugas kesehatan. Kalori berlebih
dalam bentuk karbohidrat dapat menambah disfungsi hati dan menyebabkan terjadinya
penimbunan lemak pada hati. Jumlah kalori dari lemak seharusnya tidak lebih dari 30%
jumlah kalori secara keseluruhan karena dapat membahayakan sistem kardiovaskular.
2. Terapi dengan obat: Golongan obat yang digunakan antara lain adalah
aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus, diuretik, kolagogum, koletitolitik dan
hepatik protektor dan multivitamin dengan mineral.
3. Terapi dengan Vaksinasi: Interferon mempunyai sistem imun alamiah tubuh dan
bertugas untuk melawan virus. Obat ini bermanfaat dalam menangani hepatitis B, C dan
D. Imunoglobulin hepatitis B dapat membantu mencegah berulangnya hepatitis B setelah
transplantasi hati. Interferon adalah glikoprotein yang diproduksi oleh sel-sel tertentu dan
T limfosit selama infeksi virus. Pada proses ini, sepotong DNA dari leukosit yang
mengandung gen interferon, dimasukkan ke dalam plasmid kuman E.coli. Dengan
demikian, kuman ini mampu memperbanyak DNA tersebut dan mensintesa interferon.
Vaksin mengandung partikel HBsAg yang tidak menular. Tiga injeksi serial akan
menghasilkan antibodi terhadap HBsAg pada 95% kasus yang divaksinasi, namun tidak
memiliki efek terhadap individu pembawa.
4. Terapi Transplantasi Hati: Transplantasi hati dewasa ini merupakan terapi yang
diterima untuk kegagalan hati fulminan yang tak dapat pulih dan untuk komplikasi
penyakit hati kronis tahap akhir. Penentuan saat transplantasi hati sangat kompleks. Para
pasien dengan kegagalan hati fulminan dipertimbangkan untuk transplantasi bila terdapat
tanda-tanda ensefalopati lanjut, koagulapati mencolok (waktu prothrombin 20 menit) atau
hipoglikemia. Pada pasien dengan penyakit hati kronis dipertimbangkan untuk
transplantasi bila terdapat komplikasi-komplikasi yang meliputi asites refrakter, peritonitis
bakterial spontan, ensefalopati, perdarahan varises atau gangguan parah pada fungsi
sintesis dengan koagulopati atau hipoalbuminemia. Lebih dari 2000 transplantasi hati telah
dilakukan sejak tahun 1963. Ada dua tipe utama transplantasi:
a. Homotransplantasi auksilaris dimana sebuah hati ditransplantasikan di tempat lain
dari hati yang sudah ada dibiarkan tetap ditempatnya.
b. Transplantasi ortotopik dimana sebuah hati baru diletakkan pada tempat hati yang
lama.
c. Transplantasi hati yang berhasil merupakan usaha gabungan medis dan bedah. Masa
bertahan hidup 1 tahun adalah 60-70% bagi orang dewasa dan 80% pada anak-anak.
Transplantasi untuk keganasan memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih buruk
daripada untuk penyakit jinak, karena kekambuhan penyakitnya. Transplantasi untuk
gagal hati akut pada mereka yang diperkirakan tidak memiliki kemungkinan untuk
dapat bertahan hidup misalnya pada gagal hati fulminan akibat hepatitis non A, non
B, hepatitis halotan atau keracuran Paracetamol yang disertai dengan koagulopati
berat atau bilirubin >100 μmol/L, jika dilakukan sebelum terjadinya edema serebral,
memiliki prognosis yang baik.
PILIHAN TERAPI
No Nama Obat Hepatitis
1 Dapat sembuh sendiri baik dengan istirahat dan diet A
2 Lamivudin dan Interferon B
3 Interferon dan Ribavirin C
4 Tidak ada D
5 Tidak ada E
1. 6 Tidak ada G
Lamivudin
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik ,
Absorpsi : penyebaran dengan makanan lebih lambat dibandingkan secara
intramuscular dan subkutan
Distribusi : ekstravaskular
Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim sitokrom P45
Ekskresi : ginjal
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus.
b. Indikasi
Lamivudine : hepatisis B kronik
c. Kontraindikasi
Lamivudine : wanita menyusui dan penderita yang hipersensitif terhadap
lamivudine
d. Efek samping
Lamivudine : Infeksi saluran nafas bagian atas, mual, muntah, diare, nyeri perut,
batuk, sakit kepala, insomnia, malaise, nyeri muskuloskelatal, gejala nasal
dilaporkan adanya neuropati periferal, neutropenia, dan anemia (dalam kombinasi
dengan zidovudin), trombositopenia dilaporkan terjadinya peningkatan enzim hati
dan amilase serum.
e. Interaksi Obat
 Trimethoprim, dapat menurunkan pembuangan lamivudine, sehingga
menumpuk dalam darah.
 Zidovudine, berisiko menyebabkan amnesia
2. Ribavirin
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Absorbsi : efektif secara per oral dan intravena
Distribusi : seluruh tubuh dan menunjukkan retensi dalam jaringan otak
Metabolisme : metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas rata-ratanya menjadi
64%.
Ekskresi : metabolitnya dikeluarkan di dalam urine yaitu karboksamid triasol dan
asam karbosiklik triasol dan 12% dikeluarkan di dalam feses.
Ribavirin mempunyai 2 jalur metabolisme: jalur fosforilasi yang reversibel di
dalam sel-sel berinti dan jalur degradasi yang melibatkan deribosilasi dan hidrolisis
senyawa amid yang menghasilkan metabolit asam karbosiklik triasol.
b. Indikasi
Ribavirin 200 mg kapsul diindikasikan sebagai kombinasi dengan injeksi interferon
alfa-2b untuk pengobatan hepatitis C kronis pada pasien dengan penyakit hati
terkompensasi yang sebelumnya tidak diterapi dengan interferon alfa atau yang
kambuh setelah terapi Interferon alfa.
c. Kontraindikasi
1. Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap Ribavirin.
2. Pasien dengan riwayat penyakit jantung yang berat, termasuk penyakit jantung
tidak stabil atau tidak terkontrol, dalam jangka waktu 6 bulan sebelum terapi.,
Ribavirin menunjukkan efek teratogenik dan/atau kematian janin.
3. Hemoglobinopati (contoh: talasemia, sickle-cell anemia).
4. Kondisi kesehatan yang lemah dan berat, termasuk pasien dengan gagal ginjal
kronis atau bersihan kreatinin < 50 mL/menit.
5. Epilepsi dan/atau gangguan fungsi susunan saraf pusat (SSP).
6. Sirosis hati tidak terkompensasi.
7. Pasien yang sedang menjalani terapi atau yang baru saja mendapat terapi
imunosupresan kecuali penghentian sesaat terapi kortikosteroid.
8. Hepatitis autoimun atau penyakit autoimun.
9. Pasien penerima transplantasi yang mendapat imunosupresan.
10. Penderita tiroid yang mendapat terapi konvensional
d. Efek Samping
Efek toksik Ribavirin yang utama adalah anemia hemolitik. Penurunan kadar
hemoglobin terjadi dalam 1-2 minggu pertama pengobatan. Kelainan jantung dan
paru yang berkaitan dengan anemia terjadi sekitar 10% pada pasien yang mendapat
terapi Ribavirin juga gangguan pendengaran dan vertigo.
1. Sistem saraf pusat atau tepi: Nyeri kepala.
2. Sistem pencernaan: Nyeri perut, nafsu makan menurun, diare, dispepsia, mual dan
muntah.
3. Sistem otot dan kerangka: nyeri sendi, dan nyeri otot.
4. Gangguan kejiwaan: cemas, gangguan konsentrasi, depresi, labilitas, emosi,
insomnia, iritabilitas.
5. Gangguan sel darah merah: anemia.
6. Sistem pernafasan: batuk, sesak nafas, faringitis, rinitis, sinusitis.
7. Kulit : rambut rontok hingga kebotakan, ruam kemerahan, gatal-gatal, kulit
kering.
e. Interaksi Obat
Ribavirin: Tidak ditemukan adanya interaksi obat dengan senyawa obat lain.
3. Interferon
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Absorbsi : secara intralesi, subkutan, dan lesi
Distribusi : dalam darah
Metabolisme : di dalam hepar
Ekskresi : melalui ginjal
Dapat menginduksi hipotiroidisme dan hipertiroidisme, tiroiditis maupun
disfungsi kelenjar tiroid
b. Indikasi
Interferon : Saat ini interferon- α dilaporkan dapat mengurangi marker hepatitis B
yang kronik dan hepatitis C yang kronik aktif.
c. Kontraindikasi
Interferon : wanita hamil dan suami dari ibu hamil, pasangan yang berencana
memiliki anak kandung.
d. Efek Samping
Interferon : demam, mengigil, diare
e. Interaksi Obat
Interferon : meningkatkan risiko efek samping obat seperti pada zidovudine dan
stavudine.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan Gan Sulistia. 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Akbar H. N., 2007. Hepatitis B in: Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.1sted. Jakarta:
Jayabadi pp. 201-4.
3. Baratawidjaja.K. G., 2009. Immunologi Dasar. 8thed. Jakarta: FKUI pp. 560 –83
4. Kowdley K. V., 2010. Hepatitis B, in: Netter’s Gastroenterology.2nded. Philadelphia:
Saunders pp. 632 –34

Anda mungkin juga menyukai