Anda di halaman 1dari 15

PEMERIKSAAN SEL-SEL IMUN GRANULOSIT DAN

AGRANULOSIT

Nama : Edi Robiyanto


NIM : B1A017112
Rombongan : II
Kelompok : 3
Asisten : Siti Masrifah

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBILOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem imun adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh dari segala macam
zat atau bahan yang membahayakan. Pertahanan imun terdiri dari sistem imun
alamiah atau non-spesifik dan spesifik (Labreque & Cermakian, 2015). Sistem
imun non spesifik merupakan pertahanan terdepan tubuh terhadap
mikroorganisme dan benda-benda asing yang akan masuk dalam tubuh. Pada
sistem imun non spesifik terdapat sel yang berperan penting, ialah sel makrofag.
Makrofag sebagai efektor pada sistem imun, berperan memusnahkan kuman atau
patogen yang akan merusak tubuh baik melalui mekanisme fagositosis langsung
maupun melalukan peran lainnya sebagai antigen presenting cell (APC) (Yusuf
et al., 2019). Sistem imun spesifik hanya dapat menghancurkan benda asing yang
sudah dikenal sebelumnya sehingga disebut spesifik. Bila tubuh terpajan kembali
dengan benda asing yang sama , maka benda asing tersebut akan dikenal lebih
cepat kemudian dihancurkan (Baratawidjaya, 2002).
Sel-sel imun dibagi menjadi lima jenis tipe berdasarkan bentuk
morfologinya yaitu basofil, eosinofil, neutrofil, limfosit dan monosit. Masing-
masing jenis sel darah putih ini memiliki ciri khas dan fungsi yang berbeda.
Neutrofil merupakan sel imun dengan jumlah terbanyak di dalam darah yang
membantu melindungi tubuh melawan infeksi bakteri dan jamur. Neutrofil
berkembang di sumsum tulang dari hematopoietic stem cell dan neutrofil yang
mature dicirikan dengan nukleus yang bersegmen dan granula yang berisi lebih
dari 700 protein (Kruger et al., 2015). Ada 2 jenis neutrofil, yaitu neutrofil
berbentuk pita (imature, belum matang) dan neutrofil bersegmen (mature,
matang). Menurut Sloane (2003), neutrofil memiliki granula kecil berwarna
merah muda dalam sitoplasmanya. Nukleusnya memiliki tiga sampai lima lobus
yang terhubungkan dengan benang kromatin tipis. Diameternya mencapai 9 μm
samapai 12 μm.
Eosinofil merupakan granulosit polimorfonuklear-eosinofilik. Jumlah
eosinofil dalam aliran darah berkisar antara 2-8% dari jumlah leukosit. Sel ini
berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam aliran darah
serta memiliki jangka hidup 3-5 hari. Eosinofil memiliki diameter sekitar 7 μm.
Fungsi utama eosinofil adalah menetralisir adanya bahan-bahan toksik, sehingga
keberadaannya dalam jumlah besar di tempat-tempat tertentu berhubungan
dengan adanya reaksi antigen-antibodi serta pada tempat tertentu tersebut
melakukan penetrasi terhadap bahan asing di dalam tubuh (Ganong, 2000).
Basofil adalah jenis sel darah putih yang memiliki jumlah persentase 0,01-
0,03 % dari total keseluruhan jumlah jenis sel darah putih yang lainnya. Basofil
memiliki granul di atas sitoplasmanya dan dua lobus. Basofil sendiri adalah salah
satu kelompok granulosit yang mampu keluar kearah jaringan tubuh tertentu.
Cara kerja sel basofil adalah jika terjadi reaksi alergi pada tubuh kita. Sehingga
dengan timbulnya reaksi alergi tersebut, basofil akan keluar dan menangkap
allergen tersebut lalu mengeluarkan histamin. Histamin tersebut akan
menyebabkan pembuluh darah berdilatasi (membesar), jadi semakin banyak
allergen yang masuk ke dalam tubuh, semakin banyak pula jumlah basophil yang
bekerja untuk melawannya. Jumlah sel basofil yang meningkat di dalam darah
disebut dengan basifilia. Ciri-ciri sel basofil adalah memiliki sifat fagosit,
berdiameter antara 12-15 mikrometer, mempunyai jumlah 0,01-0,03 % per
millimeter darah, memiliki granula yang besar, terbentuk pada sumsum tulang,
berbentuk U dan berbintik, terkadang berwarna biru dan mempunyai inti yang
tidak bersegmen (Saanin, 1968).
Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran terbesar, berdiameter
15-20 μm dan jumlahnya 3–9% dari seluruh sel darah putih. Sitoplasma sel ini
dibagi menjadi dua bagian, yaitu berwarna cerah dan berwarna lebih gelap.
Sitoplasmanya terlihat berwarna biru keabu–abuan dengan tepi inti yang tidak
beraturan, inti kromatin monosit cenderung lebih menyatu, serta pada sitoplasma
tampak adanya vakuola dan seperti berbusa. Monosit berperan sebagai prekursor
untuk makrofag, dan sel ini akan mencerna dan membaca antigen (Lokapirnasari
& Yulianto, 2014). Makrofag memiliki peran penting dalam respon system imun,
perbaikan jaringan, dan pemeliharaan homeostasis jaringan. Fungsi makrofag
yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan expresi yang dihasikan pada
permukaan antigen. Sebagian besar makrofag berasal dari peredaran darah
perifer, tetapi sebagian kecil dapat berasal dari fragmen endometrium ektopik
(Johan et al . 2019).
Limfosit terdiri dari kelompok terbesar dari sel-sel darah putih, 20 sampai 40
persen dari sel-sel darah putih adalah limfosit. Ada tiga jenis limfosit: sel T, sel B
dan sel-sel pembunuh alami. Sel B membuat antibodi yang menyerang antigen asing.
Sel T dan sel-sel pembunuh alami menyerang sel-sel asing dan juga membuat racun
yang merusak penyerang. Peningkatan limfosit biasanya menunjukkan infeksi virus
atau beberapa jenis infeksi bakteri. Sejumlah penurunan sel T ditemukan dalam
infeksi, sel-sel tumor dan virus HIV (Septiano et al., 2015).
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan sel imun adalah dengan
menggunakan metode apus darah. Metode apus darah merupakan metode yang
digunakan untuk menghitung jumlah dan jenis leukosit. Pembuatan apus darah
dilakukan dengan menyiapkan object glass dan dibersihkan kemudian ditetesi
dengan 1 tetes sampel darah, tarik object glass dari ujung dengan arah ke
belakang dengan menggunakan object glass yang lain dengan membentuk sudut
450 hingga terbentuk kapilarisasi, kemudian dorong object glass kearah depan
object glass sehingga terbentuk film tipis yang baik. Preparat yang sudah terbentu
apusan darah difiksasi selama 10 menit setelah itu diwarnai dengan larutan
Giemsa. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan apus darah,
seperti tebal film atau lapisan harus diperhatikan, fiksasi apusan penting untu
menjaga bentuk sel-sel tetap normal seperti bentuk aslinya, sebaiknya diberi zat
warna dan ditutup dengan cover glass (Sugria, 2011).
Metode perhitungan sel imun dilakukan dengan cara mengamati apusan di
bawah mikroskop dan diambil 10 lapang pandang untuk kemudian dilakukan
perhitungan leukosit dan di amati jenis-jenis leukosit yang terdapat dalam sel
darah preparat. Menurut Suprayudi, (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi
fluktuasi perhitungan sel-sel imun dalam sampel darah yaitu kondisi kesehatan
hewan atau manusia yang diambil darahnya, teknik pembuatan preparat apus
darah yaitu tebal tidaknya pewarnaan yang diberikan, keadaan alat-alat yang
digunakan dan ketelitian saat pengidentifikasian sel-sel darah. Aktivitas
fagositosis dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah umur, nutrisi
serta tingkatan stress. Usia atau stadium perkembangan hewan juga merupakan
faktor yang penting. Antigen spesifik dari kekebalan humoral dan selular
merupakan pusat untuk beradaptasi terhadap respon imun secara keseluruhan
pada hewan dewasa. Hewan neonatal dan anak hewan mengandalkan terutama
pada imunitas bawaan, maternal antibody, mediator yang bersirkulasi pada
respon peradangan dan fagositosis. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan
respon imun adalah hormon cortisol. Limfosit dan hormon cortisol akan
meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan jumlah konfigurasi protein
asing dalam darah (Mardihasbullah et al., 2013).

B. Tujuan
Tujuan praktikum acara ini adalah :
1. Mengetahui sel-sel imun granulosit dan agranulosit beserta fungsinya &
bentuknya.
2. Mengetahui persentase sel-sel imun pada berbagai hewan.
II. MATERIAL DAN CARA KERJA

A. Materi
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah darah (ikan nilem,
mencit, ayam, dan manusia), methanol absolut, pewarna Giemsa 7 %, alcohol
70%, minyk imersi, EDTA.
Alat yang digunakan adalah lanset, object glass, beaker glass, spuit 1cc,
dan pipet tetes

B. Cara Kerja
1. Darah diambil kemudian darah diteteskan di ujung object glass.
2. Darah diapus dengan gelas objek dan membentuk sudut 45o.
3. Preparat difiksasi dengan metanol ± 5 menit .
4. Preparat di CKA(cuci kering anginkan).
5. Preparat diwarnai dengan larutan giemsa 7% ± 10 menit.
6. Preparat di CKA (cuci kering anginkan).
7. Preparat diperiksa dengan lensa objektif perbesaran 1000 X sesudah ditetesi
minyak imersi.
8. Sel-sel imun granulosit dan agranulosit di hitung dengan 10 lapang pandang
dan hasilnya dinyatakan dengan persen (%).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Tabel 3.1. Hasil Pengamatan Sel-sel Imun Granulosit dan Agranulosit
%
Kelompo Neutrofil
Preparat Limfosi Monosi
k Batang Segme Eusinofil Basofil
t t
n
1 Mencit 9.09 18.18 - 45.45 - 27.27
2 Ikan 80 20 - - - -
Nilem
3 Ayam 40 8 - 32 - 20
4 Manusia 99.13 0.58 - 0.29 - -

Perhitungan Kelompok 3
10
Limfosit = x 100 %=40 %
25
2
Monosit = x 100 %=8 %
25
Neutrofil batang
8
Neutrofil segmen = x 100 %=32 %
25
Eusinofil
5
Basofil = x 100 %=20 %
25

Gambar 3.1.1 Lapang Pandang Gambar 3.1.1 Lapang Pandang


Ke-1 Perbesaran 1000X Ke-2 Perbesaran 1000X
2 3

4 2

Gambar 3.1.1 Lapang Pandang Gambar 3.1.1 Lapang Pandang


Ke-3 Perbesaran 1000X Ke-4 Perbesaran 1000X

Gambar 3.1.1 Lapang Pandang Gambar 3.1.1 Lapang Pandang


Ke-5 Perbesaran 1000X Ke-6 Perbesaran 1000X

1
1

4
2

Gambar 3.1.1 Lapang Pandang Gambar 3.1.1 Lapang Pandang


Ke-7 Perbesaran 1000X Ke-8 Perbesaran 1000X
4
2

4
1

Gambar 3.1.1 Lapang Pandang


Ke-7 Perbesaran 1000X

Keterangan :
1. Basofil
2. Limfosit
3. Monosit
4. Neutrofil segmen
B. Pembahasan
Hasil perhitungan kelompok 3 rombongan II menunjukkan bahwa
terdapat limfosit sebanyak 40%, basofil 20 %, neutrofil segmen 32%,dan
monosit 8%. Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Baratawidjaja (2009)
untuk neutrofil segmen dalam darah berkisar antara 50-70 %, nilai normal
neutrofil batang adalah 2-6%, nilai normal eosinofil antara 1-3%, nilai normal
basofil antara 0-1 %, nilai normal monosit berkisar antara 2-8 % dan nilai
normal limfosit adalah sekitar 20-40%. Menurut Tyastarini & Saraswati (2017),
rendahnya jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count atau TLC) sebagai
salah satu komponen pemeriksaan darah lengkap rutin memiliki kaitan dengan
malnutrisi sehingga jumlah limfosit dapat digunakan sebagai parameter status
nutrisi dan untuk memprediksi prognosis suatu penyakit.
Bahas kenapa nilai basofilnya bisa tinggi banget.
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk
melindungi tubuh terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup (Kresno, 2004). Pertahanan tubuh terhadap patogen terdiri dari
sistem imun alamiah atau nonspesifik yang sudah ada dalam tubuh, dan dapat
bekerja segera bila ada ancaman. Sedangkan sistem imun spesifik baru bekerja
setelah tubuh terpapar dengan mikroorgansime ke dua kali atau lebih. Sistem
imun nonspesifik terdiri dari faktor fisik seperti kulit, selaput lendir, silia, batuk
dan bersin, faktor larut yang terdiri dari faktor biokimia seperti lisozim
(keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin dan asam neuraminik,
faktor humoral sepeti komplemen, interferon dan CRP (C-reactive protein).
Sedangkan faktor seluler seperti sel fagosit (mono dan polimorfonukliar), sel
NK, sel mast dan sel basofil. Sistem imun spesifik terdiri dari faktor humoral
seperti berbagai antibodi yang diproduksi oleh sel B dan faktor seluler sel T.
Darah juga memiliki limfosit untuk mengenal konfigurasi asing. Memori
spesifitas dan pengenalan zat asing merupakan dasar dari respon imun. Faktor
lain yang juga mempengaruhi pembentukan respon imun adalah hormon
kortisol. Limfosit dan hormone kortisol akan meningkat jumlahnya seiring
dengan peningkatan jumlah konfigurasi protein asing dalam darah
(Mardihasbullah et al., 2013). Status imun atau status kekebalan seseorang akan
menjadi acuan tingkat keparahan reaksi kontaminasi bakteri di dalam darah
(Dubey, 2015).
Tahapan respon sistem imun terhadap antigen adalah makrofag akan
memakan antigen tersebut yang kemudian membawanya munuju ke sel T
penolong (helper T cell) untuk dikenali. Sel T penolong akan mensekresikan
molekul yang dinamakan interleukin yakni sebuah molekul yang dapat
mengaktifkan sel limfosit B agar mengikat antigen tersebut dan membuat
antibodi. Antibodi yang dihasilkan berupa protein dan akan tersimpan dalam
plasma darah dan cairan limfa. Ada beberapa cara yang dilakukan antibodi
dalam menghancurkan antigen yakni netralisasi, penggumpalan (aglutinasi),
pengendapan dan pengaktifan sistem komplemen atau protein komplemen.
Netralisasi yaitu pemblokiran tempat-tempat yang digunakan oleh antigen untuk
berikatan. Pemblokiran ini menyebabkan tempat tersebut menjadi tidak aktif dan
dilakukan dengan cara menempati tempat tersebut. Selain itu, netralisasi juga
dilakukan dengan cara menyelimuti bagian racun dari patogen sehingga menjadi
aman pada saat dimakan oleh sel fagosit. Penggumpalan patogen dapat
dilakukan dengan mudah oleh antibodi karena pada antibodi terdapat minimal
dua daerah ikatan (binding site). Bila ini dilakukan, maka pemusnahan patogen
dapat dilakukan lebih efektif karena sudah terkumpul sehingga tinggal
menunggu dimakan oleh sel fagosit. Pengendapan hampir mirip dengan
penggumpalan, hanya saja hal ini terjadi bila patogen terlarut bersama antibodi.
Disini antibodi akan membuat patogen tidak bisa bergerak sehingga
memudahkan kerja sel fagosit untuk memakannya. Pengaktifan sistem
komplemen merupakan perpaduan antara antibodi dengan protein komplemen
untuk menghancurkan patogen. Caranya yakni dengan membuat lobang pada
dinding sel patogen sehingga lisozim dapat masuk ke dalam patogen dan
melakukan penghancuran dari dalam (Sudiono, 2014).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat diambil


kesimpulan bahwa :
1. Macam macam sel imun ada dua yaitu granulosit dan agranulosit.
agranulosit terdiri dari limfosit yang berfungsi untuk menghasilkan antibodi
dan monosit berfungsi untuk menghancurkan sel-sel asing. Monosit yang
berada dalam jaringan disebut makrofag. Sel limfosit granulosit dimana
memiliki tiga jenis antara lain basofil yang memiliki fungsi untuk memberi
reaksi antigen dan alergi dengan mengaktifkan histamine, neutrofil
merupakan sel darah granulosit yang paling banyak ditemukan pada
kebanyakan hewan, dan eusinofil yang berfungsi melawan parasit. Bentuk
basofil dan neutrofil berbentuk bulat, eosinofil berbentuk bulat dan
mempunyai 2 lobi, limfosit berbentuk bulat dengan inti yang besar dan
monosit berbentuk menyerupai limfosit besar dengan inti berbentuk ginjal.
2. Persentase sel-sel imun pada ayam yang digunakan yaitu limfosit 40%,
monosit 8 %,Neutrofil segmen 32 %, dan Basofil 20%.
DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaja, K. G., 2002. Imunologi Dasar. Edisi 5. Jakarta: FKUI Press.


Dubey, A. 2015. Issues Pertaining to Blood Transfusion in Immunocompromised
Patients. Journal of Immune Research, 2(2), pp. 1-2.
Johan, M. Z., Wendy, V. I., Sarah, A. R., & Hull, M. L., 2019. Macrophages
Infiltrating Endometriosis-Like Lesions Exhibit Progressive Phenotype
Changes In A Heterologous Mouse Model. Journal of Reproductive
Immunology, 132, pp. 1-8.
Kresno, S. B. 2004. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi
keempat. Jakarta: Universitas Indonesia.
Kruger, P., Mona, S., Alexander, N.R.W., Nikolaus, R., Markus, R., Hors, V.B.,
Charaf, B., Dirk, R., Julia, S., Dominik, H. 2015. Neutrophils: Between Host
Defence, Immune Modulation, and Tissue Injury. PLoS Pathogens, 11(3),
pp.1-23.
Labrecque, N. & Cermakian, N., 2015. Circadian clocks in the immune system. Journal
of biological rhythms, 30(4), pp. 277-290.
Lokapirnasari, W. P. & Yulianto, A. B., 2014. Gambaran Sel Eosinofil, Monosit, dan
Basofil Setelah Pemberian Spirulina pada Ayam yang Diinfeksi Virus Flu
Burung. Jurnal Veteriner, 15(4), pp. 499-505.
Mardihasbullah, E., M. Idris, & K. Sabilu. 2013. Akumulasi Nikel (Ni) Dalam Darah
Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal) yang Dibudidayakan di Sekitar Area
Tambang. Jurnal Mina Laut Indonesia, 1(1), pp. 1-9.
Saanin, H., 1968. Biologi Umum. Yogyakarta: Kanisius. (LIPI), L. I. P. I., 2009.
Kolesterol. Pangan dan Kesehatan. Bogor : UPT - Balai Informasi Teknologi.
Septianto, D. R., Ardana, I. B. K., Sudira, I. W., & Dharmayudha, A. A. G. O., 2015.
Profil Hematologi (Diferensial Leukosit, Total Leukosit, dan Trombosit) pada
Mencit dengan Pemberian Jamu Temulawak (Curcuma xanthorriza, Roxb)
Secara Oral. Buletin Veteriner Udayana, 7(1), pp. 34-40.
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sudiono, J., 2014. Sistem Kekebalan Tubuh. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Sugria, A. 2011. Pemeriksaan kadar Leukosit Mencit yang diberi Ekstrak
Temulawak, Jahe dan Kunyit. Makassar : Makassar University.
Suprayudi, M.A. 2006. Pengaruh Penambahan Bahan-Bahan Imunostimulan dalam
Formulasi Pakan Buatan terhadap Respon Imunitas dan Pertumbuhan Ikan
Kerapu, Bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Akuakultur Indonesia. 5(1), pp.
77-86.
Tyastarini, N. P. A. T. & Saraswati, M. R., 2017. Hubungan Jumlah Limfosit Tital
dengan Status Nutrisi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2014. Jurnal Medika,
6(8), pp. 1-8.
Yusuf, M. I., Firdayanti. & Wahyuni., 2019. Peningkatan Imunitas Non Spesifik
(Innate Immunity) Mencit Balb/C yang Diberi Ekstrak Etanol Daun
Tumbuhan Galing (Cayratia Trifolia L. Domin). Medical Sains, 3(2), pp. 83-
92.

Anda mungkin juga menyukai