Anda di halaman 1dari 10

REAKSI WIDAL

Nama : Edi Robiyanto


NIM : B1A017112
Rombongan : II
Kelompok : 3
Asisten : Siti Masrifah

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBILOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi). Di Indonesia, demam tifoid
merupakan penyakit endemic (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang
waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil) dan termasuk penyakit
menular yang tercantum dalam undang-undang Nomor 6, Tahun 1962, tentang
wabah. Sumber infeksinya dari demam tifoid adalah makanan dan minuman yang
terkontaminasi dengan bakteri Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi)
(Andualem et al., 2014). Demam enteric merupakan penyakit endemik dengan
tingkat yang tinggi dan prioritas kesahatan pubilk di India dan banyak negara di
Asia Selatan. Demam enterik merupakan sebuaha infeksi sistemik yang
disebabkan oleh patogen yang beradaptasi Salmonella enterica serotype Typhi
( S. Typhi) dan S. Paratyphi A, B, dan C. Diagnosis awal dan acurat demam
enteric merupakan kunci utama untuk perawatan dengan baik untuk mencegah
carier potensial (Iyer et al., 2018).
Penularannya terjadi secara langsung dan tidak langsung (direct dan
indirect contact). Penularannya dapat terjadi melalui kontak antar manusia atau
jika makanan dan minuman yang di konsumsi terkontaminasi di karenakan
penanganan yang tidak bersih. Selang waktu antara infeksi dan permulaan sakit
(masa inkubasi) tergantung dari banyaknya bakteri apa yang masuk ke dalam
tubuh. Masa inkubasi berkisar antara 8-14 hari. Untuk menimbulkan penyakit ini,
dibutuhkan jumlah tertentu Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) yang
masuk ke dalam saluran cerna. Sebelum sampai harus melewati asam lambung.
Setelah sampai di usus halus, bakteri ini akan menempel di kelenjar getah bening
di dinding usus bagian dalam (Plak menembus dinding usus bagian dalam dan
menyebar ke kelenjar getah bening usus lainnya sampai ke hati dan limpa. Waktu
yang dibutuhkan sejak bakteri masuk sampai timbul gejala (masa inkubasi)
sekitar 7-14 hari (Patimah et al., 2015).
Demam tifoid akut merupakan penyakit infeksi akut bersifat sistemik yang
disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enteric serotype typhi yang dikenal
dengan Salmonella typhi. Penyakit ini masih sering dijumpai di negara
berkembang yang terletak di daerah tropis seperti Indonesia dan daerah subtropis.
Gejala klinis demam tifoid yang timbul pada minggu pertama sakit yaitu keluhan
demam, nyeri kepala, malaise dan gangguan gastrointestinal (Meta et al., 2016).
Manusia adalah satu-satunya penghuni reservoir untuk demam tipus dan penyakit
ini ditularkan melalui kotoran yang terkontaminasi air dan makanan di daerah
endemik terutama oleh pembawa penanganan makanan (Andualem et al., 2014).
Menurut Wardhani et al. (2005), Salmonella typhii memiliki 3 macam
antigen. Pertama, antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar
tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan
terhadap pemanasan 100oC selama 2-5 jam, alcohol dan asam yang encer. Kedua,
antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhii
dan berstruktur kimia protein. S. typhii mempunyai antigen H phase-1 tunggal
yang
juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di
atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam. Ketiga, antigen Vi
terletak di lapisan terluar S. typhii (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1
jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan
untuk mengetahui adanya karier. Keempat, antigen OMP S.typhii merupakan
bagian dinding sel yang terletak di luar membrane sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini
terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan
komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan
merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM <
6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85– 100°C.
Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat
sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas.
Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S.typhii yang sangat spesifik yaitu
antigen protein 50 kDa/52 kDa.9-11.
Widal merupakan salah satu teknik serologi untuk membantu dalam
penegakan diagnosis demam tifoid. Pemeriksaan ini didasarkan dengan adanya
antibodi aglutinin dalam serum pasien yang terinfeksi terhadap antigen H (flagel)
dan O (somatik) bakteri, Salmonella typhi. Hasil positif pemeriksaan Widal dapat
meningkatkan indeks kecurigaan adanya demam tifoid dengan titer aglutinin
sebesar ≥ 1/320 (Cerqueira et al., 2019). Uji ini bertujuan untuk menegakan
diagnosis dini demam tifoid dengan sensitivitas dan spesifisitas rendah melalui
penilaian tingkat validasi dari pemeriksaan titer aglutinin antigen O dan H S.
Typhii (Handojo et al., 2004). Prinsip tes Widal adalah pasien dengan demam
tifoid atau demam enteric akan memiliki antibodi di dalam serumnya yang dapat
bereaksi dan beraglutinasi dilusi ganda. Pada daerah endemis demam typhoid
sering ditemukan level antibodi yang rendah pada populasi normal. Penentuan
diagnosis yang tepat untuk hasil positif dapat menjadi sulit pada area yang
berbeda (Cerqueira et al., 2019).
Menurut Shanson (1985) ada tiga macam seri pengenceran. Pertama, seri
pengenceran 1/80 menunjukkan dimana dalam 1 mL darah dapat ditemukan
sebanyak 80 Salmonella typhii. Kedua, seri pengenceran 1/160 yang dapat
menunjukkan dimana dala 1 mL darah dapat ditemukan sebanyak 160
Salmonella typhii. Ketiga, seri pengenceran 1/320 yang menunjukkan dalam 1
mL darah kemungkinan terdapat 320 Salmonella typhii. Kelebihan uji widal
adalah mudah dilakukan dan tidak membutuhkan waktu analisis serta biaya yang
tinggi. Kekurangan uji ini yaitu rendahnya sensivitas dan spesifitas (Wardhani &
Prihatin, 2005).
Saat ini walaupun telah digunakan secara luas, namun belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Uji windal memiliki
beberapa keterbatasan. Pertama, positif palsu merupakan sebuah pengukuran
untuk mengetahui probabilitas seorang pasien benar-benar mengidap suatu
penyakit. Nilai positif palsu dihitung dengan membandingkan hasil benar positif
dengan seluruh hasil tes positif menurut uji skrining dalam persen. Semakin
tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang menderita penyakit
akan membantu petugas kesehatan memberikan penanganan yang tepat dan
segera. Kedua, negatif palsu merupakan probabilitas seorang pasien benar-benar
tidak mengidap suatu penyakit. Nilai negatif palsu dihitung dengan
membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh hasil tes negatif menurut uji
skrining dalam persen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan
seseorang tidak menderita suatu penyakit akan sangat membantu petugas
kesehatan menghindarkan penanganan atau pengobatan yang tidak perlu sehingga
terhindar dari efek samping pengobatan (Benson, 1998).
B. Tujuan
Tujuan praktikum acara ini adalah untuk mengetahui penetapan titer
antibodi terhadap antigen Salmonella typhii pada seseorang yang terserang
demam thyphoid (tifus).
II. MATERIAL DAN CARA KERJA

A. Materi
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah serum penderita tifus,
serum kontrol (darah sehat), Antigen S. typhii H dari produk Murex.
Alat yang digunakan adalah mikropipet, microtube, spuit, sentrifugator,
mikroskop, object glass, yellow tips, dan batang pengaduk.
B. Cara Kerja
1. Object glass difiksasi dengan cara dilap dengan kapas yang telah dibasahi
dengan alcohol.
2. 20 µL serum penderita tifus dipipetkan dengan mikropipet dan yellow tips
pada object glass.
3. Sebanyak 1 tetes reagen atau antigen Salmonella typhii diteteskan kemudian
dihomogenkan dengan batang pengaduk.
4. Object glass tersebut digoyang-goyang selama 1 menit.
5. Object glass diamati dibawah mikroskop ada tidaknya kompleks antigen-
antibodi.
6. Jika terbentuk komplek antigen-antibodi (hasil positif), ulangi langkah kerja
1-5 dengan 10 µL dan 5 µL serum penderita tifus secara bertahap.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 3.1 Kontrol Positif Gambar 3.2 Kontrol Negatif

Gambar 3.3 Hasil Gambar 3.4 Hasil


Pengenceran 1/80 Pengenceran 1/160

Gambar 3.5 Hasil


Pengenceran 1/320
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil pada pengenceran 1/80,
1/160 dan 1/ 320. Menurut Soemarno (2000), apabila terjadi aglutinasi maka
serum yang digunakan positif terinfeksi bakteri S. typhii sedangkan apabila tidak
terjadi aglutinasi pada serum maka serum tidak terinfeksi bakteri S. typhii.
Menurut Volk & Wheeler (1984), serum 20 µl yang di tetesi dengan reagen
Salmonella typhii dengan titer 1/80 mendapatkan hasil positif karena terdapat
aglutinasi. Hasil positif dilanjutkan ke pengenceran selanjutnya, ini bertujuan
untuk mengetahui kemungkinan bakteri Salmonella mencemari darah, seperti
pemeriksaan yang diperoleh hasil positif hingga pengenceran 1/320 yang berarti
kemungkinan dalam 1 ml darah terdapat 320 bakteri Salmonella. Serum 10 µl
dengan titer 1/160 tebentuk gumpalan karena adanya reaksi antara antigen
dengan antibodi. Setelah itu, serum 5 µl dengan titer 1/320 tebentuk gumpalan
karena adanya reaksi antara antigen dengan antibodi. Hal ini menunjukkan
bahwa serum praktikan terinfeksi oleh bakteri S. typhii yang digolongkan
kedalam infeksi berat.

Jelaskan juga apa yang terjadi ketika seseorang terinfeksi S. typhii; reaksi
yang terjadi dalam tubuhnya
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa


penetapan titer antibody terhadap antigen Salmonella typhii yaitu titer 1: 320
menunjukkan hasil positif karena terjadi penggumpalan pada sampel. Hasil ini
menunjukkan bahwa penderita tidak memiliki antibodi terhadap Salmonella typhii
atau dengan kata lain mengalami demam typhoid akut.
DAFTAR PUSTAKA

Andualem, G., Abebe, T., Kebede, N., Solomon, G. S., Mihret, A. & Alemayehu,
H., 2014. A Comparative Study of Widal Test with Blood Culture in The
Diagnosis of Typhoid Fever In Febrile Patients. Biomed Central, 7(1), pp.
653-664.
Benson, H. J. 1998. Microbilogical Application : Laboratory Manual in General
Microbiology. Edisi VII. Boston : McGraw-Hill.
Cerqueira, M. A. B., Ni Nyoman, M. & I Wayan Putu Sutirta, Y., 2019. Pemeriksaan
Widal untuk Mendiagnosa Salmonella typhii di Puskesmas Denpasar Timur 1.
Intisari Sains Media, 10(3), pp. 777-780.
Handojo, I., Edijanto, S. P., M. Yolanda P. & Mahartini, N. N. 2004. Comparison
of the Diagnostic Value of Local Widal Slide Test with Imported Widal
Slide Test. Southeast Asia Journal Tropical Medicine Public Health, 35 (2).
pp. 366-370.
Iyer, V., Ayushi, S., Susanna, A. C., Subhransu, M., Hitesh, R. P., Mahendra, V.,
Parul, S., Bhavini, S., Bhavin, S. & Sumeeta, S., 2018. A Retrospective Audit
of Widal Testing for Enteric Fever in the City of Ahmedabad. Eastern Jurnal
Medical Sciences, 3(2), pp. 14-20.
Meta, S., Wiranto, B., Tjiptaningrum, A., & Umiana, S. T., 2016. Proportion Of
Positive Igm Anti-Salmonella typhi Examination Using Typhidot With
Positive Widal Examination In Clinical Patient Of Acute Typhoid Fever In
Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Jurnal Kesehatan Universitas
Lampung. Jurnal Majority, 3(1), pp. 79-86.
Patimah, P., Kusumawati, E., & Nugroho, R. A., 2015. Pengaruh Air Rebusan
Tepung
Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Terhadap Titer Antibodi, Jumlah
Leukosit dan Jenis Leukosit Mencit (Mus musculus L.) yang Diinfeksi
Salmonella enterica Serovar Typhi. BIOPROSPEK: Jurnal Ilmiah
Biologi, 10(2), pp. 7-14.
Shanson, D. C. 1985. Microbiology in Clinical Practice Edisi III. London : Wright
Bristol.
Soemarno., 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinis. Yogyakarta: Akademi
Analis
kesehatan Yogyakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Volk, W. A. & Wheeler, M. F., 1984. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Erlangga.
Wardhani, P., Prihatini., & Probohoesodo., 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal
Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory, 12(1), pp. 31-37.

Anda mungkin juga menyukai