Anda di halaman 1dari 11

A.

DEFINISI KORUPSI

korupsi sebagai suatu bentuk kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.

 Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”
berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut
kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda).

Korupsi dapat dikatakan suata budaya, yang artinya sebagai suatu tindakan yang sering dilakukan dari
waktu ke waktu sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Untuk menghindari atau memberantas korupsi
berarti harus memberantas hal-hal kecil yang menjadi akar dari korupsi. Sebagai mahasiswa contoh
yang paling sering kita temui dan mungkin tidak kita sadari bahwa perbuatan tersebut sebagai bentuk
budaya korupsi kecil yaitu titip absen, plagiat, mencatut bayaran SPP, dan markup harga buku. Perilaku
ini jika dibiarkan akan menjadi budaya buruk, kebiasaan buruk, dan merusak nilai kejujuran secara dini.
Ketika perilaku tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan, tidak dipungkiri ketika ia telah lulus dan
akhirnya bekerja mental korup yang ada pada dirinya akan membawa dampak buruk bagi pekerjaannya.
Segala sesuatu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Jadi, untuk menghilangkan koruptor di
negara ini, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu memusnahkan budaya-budaya korupsi kecil di
sekitar kita dan mengedepankan nilai kejujuran atau integritas.

Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan
kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan
keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan. Dalam
kata lain, korupsi terjadi karena pelaku tindak korupsi memiliki jabatan.
A. Pengertian, bentuk-bentuk, contoh kasus dan penyebab korupsi. Dari beberapa definisi korupsi
yang dipaparkan disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik,
dimana mereka menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
Bentuk-bentuk korupsi sesuai UU No 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, Tindak pidana
korupsi (Tipikor) yang awalnya dibagi 30 bentuk diubah menjadi 7 bentuk. Yaitu :
 Merugikan keuangan negara (penyalahgunaan wewenang jabatan atau tindakan
melanggar aturan hukum yang berakibat merugikan keuangan negara).
Contohnya : mobil dinas yang disediakan untuk melakukan pekerjaan pejabat negara
palah digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
 Suap-menyuap (memberi sejumlah uang untuk memuluskan kebutuhan si penyuap)
Contoh: para pelanggar lalu lintas yang memberikan sejumlah uang kepada polisi yanG
berjaga agar lolos dari hukuman.
 Penggelapan dalam jabatan (penggelapan uang/dokumen untuk keuntungan pribadi)
Contoh: menggunakan kuitansi kosong agar sejumlah uang yang ada didalamya dapat
direkayasa oleh si pelaku.
 Pemerasan (memaksa orang lain melakukan sesuatu untuk keuntungan pribadi)
Contoh: pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh aparat pemerintah kepada masyarakat
untuk tarif pengurusan dokumen tertentu, padahal sebenarnya tidak dipungut biaya.
 Perbuatan curang (segala bentuk kecurangan = korupsi).
Contoh : pemborong proyek bangunan yang melibatkan kecurangan kontraktor, tukang,
dan toko bahan bangunan.
 Benturan kepentingan dalam pengadaan (seorang pejabat yang dihadapkan pada peluang
untuk menguntungkan dirinya sendiri, keluarga, ataupun kroni-kroninya).
Contoh: meskipun dilakukan tander di dalam proyek pegawai negri mengikutsertakan
perusahaan miliknya dalam proses yang ada.
 Gratifikasi (pemberian hadiah dalam bentuk apapun dengan maksud tertentu). Dapat
berupa tiket pesawat, paket liburan gratis, dan parsel hari raya.

Penyebab tindak pidana korupsi tersebut menurut Gone Theory yaitu: greeds (keserakahan),
opportunities (kesempatan), needs (kebutuhan), exposure (pengungkapan). Korupsi juga
dapat terjadi karena terpaksa, memaksa, dan dipaksa.

B. Sejarah korupsi dan pemberantasan korupsi di Indonesia.


1. Sejarah korupsi di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu:
 Fase kerajaan : pada masa kerajaan ini terdapat penarikan upeti atau pajak kepada
rakyat. Dalam pelaksanaannya, upeti yang dibayarkan kepada petugas tidak sampai ke
kerajaan karena digelapkan oleh para petugas pengambil upeti.
 Fase Penjajahan: pada zaman penjajahan, rakyat Indoneisa diberlakukan seolah-olah
seperti boneka, mereka dipekerjakan untuk menarik upeti kepada rakyat, hal ini
menyebabkan rakyat Indpnesia tak segan untuk menindas bangsanya sendiri.
 Fase Kemerdekaan: setelah mengalami kemerdekaan, Indonesia sedang gencar-
gencarnya melakukan pembangunan. Para pejabat penyelenggara negara mulai mencari
keuntungan dari proyek tersebut dengan cara yang tidak benar.
 Fase modern/saat ini: di era reformasi, semua penyelenggara negara telah terjangkit virus
korupsi. Baik itu bawahan, pimpinan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat
semuanya terjangkit korupsi. Contohnya proyek pembangunan gedung-gedung,
pengadaan e-ktp, alat kesehatan, bahkan juga terjadi tindak pidana di Depertemen
Agama.
C. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Banyak lembaga khusus yang didirikan untuk memberantas tindak pidana korupsi, yaitu:
 PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), yang kemudian diganti namanya menjadi
KONTRAR (Komando Tertinggi Aparatur Revolusi) sekitar tahun 1963. Namun
pemerintah pada masa itu hanya setengah hati menjalankannya dan pemberantasan
korupsi dimasa itu dinyatakan gagal.
 TPK (Tim Pemberantas Korupsi) di tahun 1970. TPK dipimpin oleh seorang jaksa agung,
namun mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes ketidakseriusan TPK
dalam bekerja.
 Komite Empat, dipimpin oleh tokoh senior yang diangga bersih dan berwibawa. Yaitu
Prof. Johannes, Kasimo, Wilopo, dan A. Cokroaminoto. Namun komite ini tidak mampu
menjalankan tugasnya dengan maksimal, karena akses temuannya tentang dugaan
korupsi di Pertamina tidak direspon oleh pemerintah.
 OPSTIB (Operasi Tertib), dipimpin oleh bangsa Manasudomo. Tetapi bukannya
memberantas korupsi, palah terjadi konflik dengan Jendral Nasution terkait perbedaan
pendapat antara keduanya. Akhirnya OPSTIB hilang dengan sendirinya.
 KKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) dan TGPTPK (Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Di tengah semangat anggota tim melalui
Medicial Review MA, akhirnya lembaga tersebut dibubarkan.
 KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Didirikan tahun 2002 melalui UU No. 30 Tahun
2002. Sampai sekarang lembaga tersebut masih eksis dan bekerja dengan baik dalam
memberantas korupsi.

Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde
Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat
dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

1. Pra Kemerdekaan
A. Masa Pemerintahan Kerajaan
a. Budaya-tradisi korupsi yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan
dan wanita.
b. Perebutan kekusaan di beberapa Kerajaan.
c. Perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali
peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di
Indonesia
d. Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena
perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
B. Masa Kolonial Belanda
 Penduduk Jawa digambarkan sangat nrimo atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di
pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus
terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu
keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya
adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi
dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.
 Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak
suka menerima kritik dan saran.
 Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-
sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya dibiarkan miskin, tertindas, tunduk
dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak penguasa.
 Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan itu turut menyuburkan budaya
korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil
upeti (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh
Demang akan diserahkan kepada Tum enggung. Abdi dalem di Katemenggungan
setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada
Raja atau Sultan.
 Kebiasaan mengambil upeti dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara.
 Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang
terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus
penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel (CS)” yang secara harfiah
berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
2. Pasca Kemerdekaan
a. Orde Lama
 Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)
dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun ternyata
pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
 Pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan istilah sekarang:
daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata
kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung
kepada Presiden.
 Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan
korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/ Kasab dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu
meneruskan kasuskasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari
dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi
dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
 Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian
diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di
mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu
akhirnya mengalami stagnasi.
 Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk
kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi
Budhi dihentikan.
b. Orde Lama
 Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
 Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi
seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa
memprotes keberadaan TPK.
 Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya
gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi
Soeharto.
 Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokohtokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan ATjokroaminoto.
Tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan
ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon
pemerintah.
 Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib
(Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini
hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa
bekas sama sekali.
c. Reformasi
 Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit
“Virus Korupsi” yang sangat ganas.
 Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
 Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari
anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya
dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya
pemberantasan KKN.
 Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus Dur juga dianggap tidak bisa
menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
 Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan
Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa
Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
 Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana yang
menonjol adalah otoritas kekuasaan.
 Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul
Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan
MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi
bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi.
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para
pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian
nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-
kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
 Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
 Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK.
KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan
institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance”
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun
konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.

BAB 2 : FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor
transnasional.

1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika
meraih dan mempertahankan kekuasaan.
2. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi
lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan
dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas
(non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain
(baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan
perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau
terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu
memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak
fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan.
4. Faktor organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di
mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal 2000). Bilamana organisasi tersebut
tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka
korupsi tidak akan terjadi.
C. Penyebab Korupsi dalam Perspektif Teoretis
1. teori means-ends scheme yang diperkenalkan oleh Robert Merton. dinyatakan bahwa
korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial, sehingga
menyebabkan pelanggaran norma-norma. bahwa setiap sistem sosial memiliki tujuan dan
manusia berusaha untuk mencapainya melalui cara-cara (means) yang telah disepakati.
Teori Merton ini ditujukan untuk menjawab bagaimana kebudayaan terlalu menekankan
sukses ekonomi tetapi membatasi kesempatan-kesempatan untuk mencapainya yang akan
menyebabkan tingkat korupsi yang tinggi.
2. Teori lain yang menjabarkan terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas Sosial yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim (1858-1917). Menurut pandangan teori ini masyarakat
mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam membentuk prilaku individu dari pada
lingkungannya. Dalam konteks korupsi, itu berarti dalam masyarakat yang system budaya
dan lembaganya korup akan membentuk individu yang korup seberapa besarpun kesalehan
individu.
3. Teori yang juga membahas mengenai prilaku korupsi, dengan baik dihadirkan oleh Jack
Bologne (Bologne : 2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory
terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan atau korupsi
yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan
Exposure (pengungkapan). Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.
D. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci
menjadi:
a. Aspek Perilaku Individu
 Sifat tamak/rakus manusia. Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka
membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah
berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur
penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat
tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
 Moral yang kurang kuat, Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda
untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
 Gaya hidup yang konsumtif. Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya
hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan
yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan
untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
b. Aspek Sosial, Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang
untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits
pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan
hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
E. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku.
a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi. Pada umumnya jajaran manajemen selalu
menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat
sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
b. Aspek ekonomi. Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan
ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.
Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan
melakukan korupsi.
c. Aspek Politis, Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan
harapan
masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas
yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan
demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan
kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi
d. Aspek Organisasi
 Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan,
 Tidak adanya kultur organisasi yang benar
 Kurang memadainya sistem akuntabilitas Institusi pemerintahan
 Kelemahan sistim pengendalian manajemen Pengendalian.
 Lemahnya pengawasan.

BAB 3 ; DAMPAK MASIF KORUPSI

1. Dampak ekonomi
a. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi,
b. Penurunan Produktifitas
c. Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
d. Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak
e. Meningkatnya Hutang Negara
2. Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat
a. Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan Publik
b. Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat
c. Meningkatnya Angka Kriminalitas
d. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin
e. Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi
3. RUNTUHNYA OTORITAS PEMERINTAH
a. Matinya Etika Sosial Politik
b. Tidak Efektifnya Peraturan dan Perundang-undangan
c. Birokrasi Tidak Efisien
4. Dampak Terhadap Politik dan Demokrasi
a. Munculnya Kepemimpinan Korup
b. Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi
c. Menguatnya Plutokrasi (sitem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis)
d. Hancurnya Kedaulatan Rakyat.
5. Dampak terhadap penegakan hukum
a. Fungsi Pemerintah Mandul
b. Hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara
6. Dampak terhadap pertahanan dan keamanan
a. Kerawanan Hakamnas Karena lemahnya alusisra dan SDM
b. Lemahnya garis batas Negara
c. Menguatnya sisi kekerasab dalam masyarakat
7. Dampak kerusakan lingkungan
a. Menurunnya kualitas Lingkungan
b. Menurunnya kualitas hidup

BAB 4 : NILAI DAN PRINSIP ANTI KORUPSI

Nilai-nilai pendidikan anti korupsi : kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisplinan, tanggung jawab,
kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan.

Prinsip-prinsip pendidikan anti korupsi :

1. Akuntabilitas, Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua
lembaga mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam bentuk konvensi
(de facto) maupun konstitusi (de jure),
2. Transparansi
Salah satu prinsip penting anti korupsi lainnya adalah transparansi. Prinsip transparansi
ini penting karena pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi dan mengharuskan
semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan
dapat diketahui oleh publik.
3. Kebijakan ini, berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi penyimpangan yang
dapat merugikan negara dan masyarakat.
4. Kontrol kebijakan, Kontrol kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul
efektif dan mengeliminasi semua bentuk korupsi
5. Prinsip fairness atau kewajaran ini ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi
(ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran
lainnya.

korupsi dana bantuan bencana di NTB (lombok)

Beberapa waktu lalu wilayah Nusa Tenggara Barat diguncang gempa maha dahsyat. Gempa pun
berlangsung berkali-kali hingga korban berjatuhan. Tak cuma itu, banyak rumah dan fasilitas umum
porak poranda. Berbagai bantuan mengalir untuk warga NTB, baik materil maupun moril. Namun yang
cukup mengejutkan dana bantuan untuk perbaikan sekolah disunat oleh anggota DPRD. Berikut fakta-
fakta kasus korupsi bantuan NTB: Anggota DPRD Mataram minta jatah Rp 30 juta, Kelakuan anggota
DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat inisial MH membuat geram. Dia tega meminta jatah Rp 30
juta kepada kepala dinas pendidikan Kota Mataram dan kontraktor dari anggaran perbaikan sekolah
pascagempa di NTB. Uang yang diminta bagian dari pengesahan perubahan anggaran proyek rehabilitasi
SD dan SMP pascagempa senilai Rp 4,2 miliar. Dana tersebut telah dibahas dan ditetapkan DPRD Kota
Mataram dalam APBD-P Tahun 2018. MH akhirnya ditangkap oleh Kejaksaan Negeri Mataram.

Kejaksaan Negeri Mataram melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap anggota DPRD Kota
Mataram dari Partai Golkar berinisial HM. Ia dinilai telah memeras Dinas Pendidikan Kota Mataram.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, dia memeras, tidak ada suap-menyuap dalam kasus ini,”
ujar Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, I Ketut Sumedana, ketika dihubungi Tirto, Jumat (14/9/2018).

Dalam melakukan aksinya, HM berdalih sebagai orang yang telah memuluskan rencana dana proyek
senilai Rp4,2 miliar yang dianggarkan dari APBD Perubahan tahun 2018 untuk perbaikan 14 unit gedung
SD dan SMP terdampak bencana gempa di Kota Mataram. Penangkapan ini dilakukan berdasar laporan
dari masyarakat soal oknum yang sering meminta duit tidak hanya ke dinas saja, tapi juga ke
masyarakat. “Pelaku meminta-minta ke dinas, dinas sudah biasa dimintai seperti itu. Tapi kali ini Dinas
Pendidikan (yang jadi target). Masyarakat juga tahu, begitu kerjaannya (HM meminta-minta),” terang
Ketut. Barang bukti yang disita oleh petugas ialah uang Rp30 juta, satu unit sepeda motor, dan dua unit
telepon. Usai melakukan OTT, tambah Ketut, jajarannya menggeledah kantor DRPD serta menyegel
ruangan milik HM. HM ditangkap saat menerima sejumlah uang di salah satu rumah makan di Kota
Mataram. Ia diduga menerima uang terkait rehabilitasi sekolah pasca-gempa Lombok dari kontraktor.
Saat ini HM ditahan di LembagaPemasyarakatan Kota Mataram selama 20 hari penahanan. Ia dikenakan
Pasal 12e dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. HM terancam dipidana minimal empat
tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1
miliar. 

Analisis :  Menurut saya kasus ini merupakan suatu hal yang sangat memalukan.Ketika warga sedang
kesusahan skibat adanya bencana gempa ketua Pokmas tersebut malah melakukan tindakan yang tidak
sepantasnya,walaupun ia tidak mengakuinya.sebagai ketua Pokmas ia harusnya memperjuangkan nasib
masyarakat,bukannya malah mengambil keuntungan untuk diri sendiri.hal ini membuat masyarakat
makin terbebani dari segi ekonomi,mental mereka pun juga tertekan. Warga-warga sangat
membutuhkan tempat untuk tinggak akibat rumahnya hancur karena gempa.keadaan ini sungguh
sangat memprihatinkan.padahal masyarakat hanya mendapatkan bantuan sebesar Rp.5 juta dan itupun
dilakukan 2 tahap.tetapi untuk mendapatkan bantuan tersebut masyarakat malah dipungut
biaya,padahal itu adalah hak mereka yang harusnya mereka terima tanpa syarat apapun. Dengan dana
bantuan yang tidak terlalu besar tersebut,masyarakat bisa memulai hidup yang lebih baik.Harusnya
umpeti tidak lagi diterapkan kepada masyarakat masyarakat kecil.

Dalam kasus ini harusnya badan penanggulangan bencana mengawasi kegiatan kegiatan yang
dilaksanakan dilapangan agar tidak terjadi ketimpangan ketimpangan seperti yang terjadi pada kasus
diatas.Badan badan pengawas harus menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab agar
tidak ada miss communication antar instansi instansi Dan hal yang paling penting adalah seharusnya
warga Kampungjua, melaporkan hal itu ke polisi. Di ranah hukum, polisi pun harus segera
menindaklanjuti laporan warga supaya, kasus tersebut jelas.Apalagi hal ini menyangkut hak hidup orang
banyak. Ini masalah antara hak dan tanggung jawab antara lembaga lembaga.

Bencana telah dijadikan sebagai ladang korupsi. Para pelaku tidak hanya berani menyelewengkan dana
dan proyek bantuan, tetapi juga tega memeras korban bencana. Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat
”tabu” bagi para pelaku korupsi untuk melancarkan aksinya. Setelah kegiatan terkait ”ketuhanan”,
seperti pengadaan Al Quran dan penyelenggaraan ibadah haji, kini bantuan ”kemanusiaan” untuk
korban bencana pun jadi sasaran korupsi.

Dari tiga bencana terakhir yang melanda Indonesia, semua diwarnai kasus korupsi. Dalam gempa di
Lombok, Nusa Tenggara Barat, anggota DPRD dan pegawai Kementerian Agama (Kemenag) Lombok
Barat masing-masing ditangkap kejaksaan dan kepolisian di Mataram. Anggota DPRD diduga memeras
kepala dinas pendidikan dan kontraktor terkait proyek rehabilitasi gedung sekolah yang terdampak
gempa, sedangkan pegawai Kemenag memotong dana pembangunan masjid pascagempa.

Dalam gempa-tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, giliran Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang menangkap pengusaha dan pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR). Mereka terlibat suap, salah satunya proyek pembangunan sistem penyediaan air minum untuk
korban gempa-tsunami. Kasus paling akhir berkaitan dengan tsunami Selat Sunda. Polisi menetapkan
beberapa pegawai Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Drajat Prawiranegara, Serang, sebagai tersangka.
Mereka melakukan pungutan liar dalam proses pengurusan jenazah korban tsunami.
Tiga titik rawan

Potensi korupsi tidak hanya pada saat fase bencana terjadi, tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Jadi,
paling tidak ada tiga titik rawan yang harus diwaspadai. Pertama, fase prabencana. Pada fase ini,
sasaran korupsi adalah proyek pengadaan atau pelatihan terkait dengan mitigasi bencana. Korupsi
pembangunan shelter tsunami di Labuan, Pandeglang, Banten, bisa dijadikan contoh. Dibangun dengan
biaya hingga Rp 18 miliar dari dana APBN dengan tujuan meminimalkan korban, tetapi tak bisa
digunakan ketika tsunami benar-benar menerjang daerah Labuan.

Kedua, fase saat bencana tengah terjadi atau fase tanggap darurat. Fase ini yang paling rawan karena
proyek atau kegiatan dilakukan di tengah kesibukan membantu korban bencana. Pengadaan-pengadaan
harus dilakukan secara cepat dan masif. Pola-pola korupsi seperti penggelembungan (mark-up) harga
dan manipulasi penerima bantuan mudah untuk dilakukan.

Ketiga, pascabencana atau fase rehabilitasi. Pada fase ini pun potensi korupsi sangat besar sebab
melibatkan uang yang begitu banyak, terutama untuk kegiatan rehabilitasi atau pembangunan hunian
tetap dan hunian sementara. Selain suap seperti dalam kasus yang melibatkan pejabat di Kementerian
PUPR, modus korupsi lainnya adalah mark up, pembangunan fiktif, atau pengurangan spesifikasi.

Minimnya pengawasan merupakan penyebab utama yang membuat bantuan terkait bencana begitu
rentan diselewengkan. Semua lebih memilih berkonsentrasi mencari dan menyelamatkan korban, serta
mengumpulkan dan mendistribusikan bantuan. Apalagi banyak yang meyakini bahwa tidak akan ada
orang yang tega dan berani mencari keuntungan dari bencana. Kondisi tersebut ditambah informasi
mengenai bantuan bencana yang cenderung tertutup.

Selain pengawasan, faktor lain adalah keleluasaan bagi pemerintah melakukan penunjukan langsung
dalam pengadaan bantuan, khususnya pada fase tanggap darurat. Mekanisme ini bisa dengan cepat
merespons kebutuhan korban jika dibandingkan proses tender, tetapi sangat rawan penyelewengan.
Tanpa ada pengawasan, kolusi dalam penentuan pemenang, mark up harga, ataupun manipulasi
distribusi bantuan sangat mungkin terjadi.

Jadi, sangat jelas, korupsi memperburuk dampak bencana dan memperberat derita para korban. Praktik
tercela itu menjadi biang keladi atas kegagalan upaya meminimalkan kerusakan dan jumlah korban.
Termasuk menghambat proses rehabilitasi pascabencana, terutama dalam pembangunan hunian dan
fasilitas umum. Salah satu upaya untuk memerangi korupsi bencana adalah memberikan sanksi berat
kepada para pelaku. Terlepas dari usulan penerapan hukuman mati seperti yang tengah
dipertimbangkan pimpinan KPK, hukuman berat bisa menjadi salah satu cara agar muncul efek jera.
Hukuman penjara maksimal hingga pemiskinan akan membuat siapa pun berpikir ulang untuk
menyalahgunakan bantuan bencana. Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi sudah
membuka ruang itu.

Selain sanksi, meningkatkan pengawasan dan tata kelola dana bencana juga jadi kebutuhan penting.
Jangan karena dalih bencana, semua pengadaan dan kegiatan dibuat serba tertutup. Pemerintah bisa
belajar dari lembaga atau kelompok masyarakat yang secara swadaya mengumpulkan dan menyalurkan
bantuan setiap kali terjadi bencana. Secara rutin dan terbuka mereka mengumumkan donasi dan
penggunaannya.

Anda mungkin juga menyukai