Anda di halaman 1dari 32

KARYA TULIS ILMIAH

DAMPAK KECEMASAN DAN PENANGANAN PSIKOLOGIS


TERHADAP PANDEMI COVID19

Disusun Oleh:
I Gusti Ngurah Gede Wira 20190420021
Mahendi 20190420119
Maratus Sholekhah 20190420120
Maretta Wulandari 20190420121
Maria Anastasua Sidabutar 20190420122
Maryam Assegaf 20190420123
Meidy Adilina Firliyani 20190420124

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan limpahan
rahmatNya sehingga Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Dampak Kecemasan Dan
Penanganan Psikologis Terhadap Pandemi Covid19” dapat terselesaikan dengan
baik. Adapun pembuatan journal reading ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas dalam perlombaan karya tulis ilmiah di Fakultas Kedokteran Hang Tuah

Dalam menyusun journal reading ini penyusun telah banyak mendapatkan


bantuan serta dukungan baik langsung maupun tidak langsung dari semua pihak.
Ucapan terima kasih kepada Dokter di Fakultas Kedokteran Hang Tuah Surabaya.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih belum


sempurna sehingga masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan
referat ini. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk
perbaikan dalam penulisan berikutnya.

Demikian karya Tulis ilmiah ini disusun dengan sebaik – baiknya. Semoga
dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembaca pada umumnya dan
penyusun pada khususnya.

Surabaya, 19 Juni 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

ABSTRAK...............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1 Pendahuluan..............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan........................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1 Definisi Kecemasan...................................................................................3

2.2 Jenis – jenis kecemasan.............................................................................4

2.3 Macam-macam kecemasan dengan beberapa indikatornya, yaitu:...........4

2.4 Tingkat Kecemasan...................................................................................5

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Psikologis.....................................................6

2.6 Penanganan Psikologis..................................................................................7

2.6.1 Penanganan psikologis pada orang dewasa dalam masa pandemi..........8

Penanganan dapat dilakukan dengan cara melakukan kegiatan pendukung


kesejafteraan masyarakat selama isolasi /karantina seperti halnya : (IASC,
2008).................................................................................................................8

2.6.2 Penanganan pada lansia untuk mengatasi stress selama pandemi..........8

2.6.3 Penanganan pada anak-anak saat menghadapi stres selama wabah


COVID-19......................................................................................................10

2.6.4 Penanganan Psikologi Pasien...............................................................12

2.6.5 Penanganan Pasien dengan Komorbid Gangguan Psikiatrik................13

ii
2.6.6 Penanganan Psikologi Keluarga............................................................13

2.7 Pencegahan Masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial (Pencegahan


Masalah Kesehatan)...........................................................................................14

2.7.1 Pencegahan penularan...........................................................................14

2.7.2 Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial......................15

2.8 Stigma dan Media Sosial.............................................................................16

BAB 3 KESIMPULAN.......................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

iii
ABSTRAK

DAMPAK KECEMASAN DAN PENANGANAN PSIKOLOGIS


TERHADAP PANDEMI COVID19
Fakultas Kedokteran Hang Tuah, Surabaya Indonesia

I Gusti Ngurah Gede Wira1, Mahendi1, Maratus Sholekhah1,


Maretta Wulandari1, Maria Anastasua Sidabutar1, Maryam Assegaf1, Meidy
Adilina Firliyani1
Latar Belakang : Pada bulan Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) telah mengumumkan bahwa perkembangan Covid-19 sudah menjadi
emergency kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan membutuhkan kepedulian
Internasioal. Siklus penyebaran Covid-19, dimulai dari Wuhan China kemudian
menyebar ke seluruh dunia, termasuk juga ke Indonesia. Pandemi ini membuat
banyak orang merasa bingung, cemas, stres, dan frustasi. Sejumlah orang khawatir
sakit atau tertular Covid-19. Di sisi lain mereka juga risau masalah finansial,
pekerjaan, masa depan, dan kondisi setelah pandemi.
Tujuan: Untuk mengetahui dampak kecemasan dan penanganan psikologis
terhadap pandemic covid 19.

Kesimpulan : Penanganan psikologis pada orang dewasa dalam masa


pandemi bisa dengan melakukan kegiatan pendukung, yaitu olahraga, pelatihan
kognitif, olahraga relaksasi, dsb. Penanganan pada lansia untuk mengatasi stress
selama pandemic dapat dengan diberikan dukungan emosial melalui karingan
informal dan tenaga kesehatan jiwa, beri lansia informasi akurat yang mudah
dipahami, dan beri lansia latihan fisik sederhana di rumah/dalam karantina agar
tetap aktif bergerak dan mengurangi kebosanan. Sedangkan untuk penanganan
pada anak-anak saat menghadapi stres selama wabah COVID-19 dapat dilakukan
dengan mendorong terciptanya lingkungan yang sensitif dan peduli di sekeliling
anak- anak; buat kesempatan bermain dan bersantai bagi anak; jika Anak terpisah
dari pengasuhnya, pastikan kontak sering dilakukan; berikan fakta tentang yang
sedang terjadi dan informasi jelas yang sesuai untuk anak-anak tentang cara
mengurangi risiko infeksi dan tetap aman dalam bahasa yang dimengerti.
Kata Kunci: Dampak kecemasan, COVID-19

iv
ABSTRACT
IMPACT OF ANXIETY AND PSYCHOLOGICAL TREATMENT OF
PANDEMIC COVID-19
Faculty of Medicine, Hang Tuah University, Surabaya, Indonesia

I Gusti Ngurah Gede Wira1, Mahendi1, Maratus Sholekhah1,


Maretta Wulandari1, Maria Anastasua Sidabutar1, Maryam Assegaf1, Meidy
Adilina Firliyani1
Background: In January 2020, the World Health Organization (WHO) has
announced that the development of Covid-19 has become an emergency health
community around the world and requires Internasioal concern. The Covid-19
deployment cycle, started from Wuhan China then spread around the world,
including also to Indonesia. This pandemic makes many people feel confused,
anxious, stressed, and frustrated. Some people are worried about illness or
contracting Covid-19. On the other hand they are also concerned about financial
problems, jobs, the future, and the after-pandemic conditions.
Objective: To know the impact of anxiety and psychological handling of
pandemic Garry 19.
Conclusion: Psychological treatment in the adult in the period of pandemic
can be done by supporting activities, namely sports, cognitive training, relaxation
sports, etc. Treatment in the elderly to overcome stress during pandemic can be
given emotional support through informal and mental health, give elderly accurate
information that is easy to understand, and give elderly physical exercises in the
home/in quarantine to remain active in moving and reduce boredom. As for the
treatment of children while facing stress during the COVID-19 outbreak can be
done by encouraging the creation of a sensitive and caring environment around
the children; Create a chance to play and relax for the child; If the child is
separated from the caregivers, make sure the contact is frequent; Give facts about
what is happening and clear information that is appropriate for children about how
to reduce the risk of infection and stay safe in understandable language.
Key Word: Impact of anxiety, COVID-19

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Pada bulan Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
mengumumkan bahwa perkembangan Covid-19 sudah menjadi emergency
kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan membutuhkan kepedulian
Internasioal. Bahkan WHO telah menyatakan bahwa Covid-19 memiliki
risiko tinggi dapat menyebar ke berbagai negara di seluruh dunia. Pada bulan
Maret 2020, WHO telah membuat penilaian bahwa Covid 19 dikategorikan
sebagai pandemi. Dalam hal ini, WHO dan otoritas kesehatan publik di
seluruh dunia telah bertindak untuk mengendalikan wabah Covid-19 (WHO,
2020).

Siklus penyebaran Covid-19, dimulai dari Wuhan China kemudian


menyebar ke seluruh dunia, termasuk juga ke Indonesia. Perkembangan
Covid-19 di Indonesia, sampai akhir bulan April 2020 berdasarkan paparan
Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, yakni dr.Achmad
Yurianto, hingga kemarin tanggal 28 April 2020 terdapat penambahan 260
kasus baru Covid-19. Ada 4.092 kasus pasien positif Covid-19 di Ibu Kota.
Selain itu, ada sejumlah daerah lain yang mencatat jumlah kasus penularan
tinggi, seperti Jawa Barat (1.009 kasus), Jawa Timur (872 kasus), dan Jawa
Tengah (711 kasus) (Kompas.com, 2020).

Penanganan secara medis untuk wabah Covid-19 ini telah dimulai sejak
awal. Oleh karena itu, untuk penanganan medis wabah Covid-19 pihak
pemerintahan sudah sangat sigap dan siap dari jauh-jauh hari. Akan tetapi,
disisi lain yang harus dikhawatirkan justru dampak psikologis masyarakat
atas adanya sebaran pandemik Corona Virus Disease (Covid-19) yang
melanda dunia sekarang ini. Informasi-informasi tentang pemberitaan
mengenai meningkatnya jumlah penderita Covid-19 dari hari perhari, dapat
berdampak serius berupa timbulnya perasaan tertekan, stres dan cemas di
kalangan masyarakat.

1
Menurut Rini Setyowati menanggapi bahwa perkembangan penyebaran
Covid-19 yang awalnya berasal dari Wuhan Cina dan sekejap telah meluas
akhir-akhir ini ke berbagai dunia termasuk Indonesia. Paling tidak, di
masyarakat luas dapat menimbulkan dampak psikologis berupa kecemasan,
stress dan perasaan tertekan dengan pemberitaan mengenai meningkatnya
jumlah penderita Covid-19. Pemberitaan yang kurang tepat atau simpang siur,
secara psikologis bisa memicu stress yang dapat mempengaruhi terhadap
hormon stress. Hal ini akan menyebabkan sistem imun manusia bisa menurun
dan akhirnya rentan tertular Covid-19. Rini Setyowati juga mengingatkan
bahwa Covid-19 yang sebarannya terus meluas termasuk di Indonesia, bukan
hanya berdampak pada gejala penyakit fisik saja. Tetapi, juga patut
diwaspadai berdampak pada kejiwaan atau psikologisnya, baik pada penderita
maupun terhadap masyarakat luas.

Pandemi ini membuat banyak orang merasa bingung, cemas, stres, dan
frustasi. Sejumlah orang khawatir sakit atau tertular Covid-19. Di sisi lain
mereka juga risau masalah finansial, pekerjaan, masa depan, dan kondisi
setelah pandemi.

Menurut Asisten Direktur di Pusat Studi Stres Traumatis Uniformed


Services University of the Health Sciences AS, Joshua Morganstein, M.D.,
emosi tersebut wajar. Bagi sebagian orang, rasa stres dan cemas menghadapi
pandemi corona bisa sampai mengganggu kesehatan mental. Terlebih jika
sebelumnya seseorang memiliki riwayat gangguan kecemasan, depresi,
serangan panik, atau gangguan obsesif kompulsif.

1.1 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan kesehatan mental ?


2. Berapa macam kesehatan mental?
3. Bagaimana dampak pandemi pada kesehatan mental masyarakat?
4. Bagaimana mengatasi dampak pandemi pada kesehatan mental
masyarakat?

2
1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kesehatan mental.


2. Untuk mengetahui macam-macam kesehatan mental.
3. Untuk mengetahui dampak pandemi pada kesehatan mental masyarakat.
4. Untuk mengetahui mengatasi dampak pandemi pada kesehatan mental
masyarakat.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kecemasan

Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang


penuh dengan rasa takut dan khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir
akan sesuatu hal yang belum pasti akan terjadi. Kecemasan berasal dari bahasa
Latin (anxius) dan dari bahasa Jerman (anst), yaitu suatu kata yang digunakan
untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologis.

Definisi kecemasan menurut Freud (Feist & Feist, 2012) menjelaskan


bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan
yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya
yang mengancam. Perasaan tidak menyenangkan ini biasanya samar-samar
dan sulit dipastikan, tetapi selalu terasa.

Menurut American Psychological Association (APA), kecemasan


merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang stress, dan
ditandai oleh perasaan tegang, pikirang yang mebuat individu merasa khawatir
dan disertai repon fisik (jantung berdetak kencang, naiknya tekanan darah, dan
lain sebagainya). atau suatu keadaan tertentu (State anxiety) dalam
mengahadapi situasi yang tidak pasti dan tidak menentu terhadap
kemampuannya dalam menghadapi tes, berupa emosi yang kurang
menyenangkan yang dialami oleh individu dan bukan kecemasan sebagai sifat
yang melekat pada kepribadiannya (M.NurGhufran & Rini Risnawita S.
2012).

Kecemasan merupakan perasaan takut yang bersifat lama pada sesuatu


yang tidak jelas dan berhubungan dengan perasaan yang tidak menentu dan
tidak bedaya. Hal senada diungkapkan oleh Lubis menyatakan bahwa
kecemasan adalah takut akan kelemahan. Kecemasan meru pakan perasaan

4
yang kita alami ketika berpikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan
terjadi (Sri Adi Widodo.dkk, 2017)

Menurut Harlock kecemasan merupakan bentuk perasaan khawatir,


gelisah dan perasaan-perasaan lain yang kurang menyenangkan.Kecemasan
sering muncul pada individu manakala berhadapan dengan situasi yang tidak
menyenangkan.Pada tingkat kecemasan yang sedang, persepsi individu lebih
memfokuskan hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal yang
lainnya. Pada tingkat kecemasan yang berat/tinggi, persepsi individu menjadi
turun, hanya memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan yang lainnya,
sehingga individu tidak dapat berfikir dengan tenang (Suratmi,dkk.2017)

2.2 Jenis – jenis kecemasan

Sigmund Freud (Feist & Feist, 2012), membagi kecemasan menjadi tiga
jenis, yaitu :

a. Kecemasan Neurosis (neurotic anxiety), merupakan perasaan cemas


akiba bahaya yang tidak diketahui. Perasaan itu sendiri berada pada ego,
tetapi muncul dari dorongan id.

b. Kecemasan Realistis (realistic anxiety), kecemasan ini didefinisikan


sebagai persaaan yang tidak menyenangkan dan idak spesifik yang
mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri.

c. Kecemasan Moral (moral anxiety), bermula dari konflik antara ego dan
uperego. Ketika anak membangun superego biasanya di usia lima atau
enam tahun mereka mengalami kecemasan yang tumbuh dari konflik
antara kebutuhan realistis dan perintah superego.

2.3 Macam-macam kecemasan dengan beberapa indikatornya, yaitu:

1) Kecemasan umum,

Gemetar dan berkeringat dingin, otot tegang, pusing, mudah marah, sering
buang air kecil, sulit tidur, dada berdebardebar, mules. Mudah lelah, nafsu
makan menurun, dan susah berkonsentrasi

5
2) Kecemasan gangguan panik,

Gejalanya berupa jantung berdebar, berkeringat, nyeri dada, ketakutan,


gemetar seperti tersendak atau seperti berasa diujung tanduk, detak jantung
cepat, wajah pucat.

3) Kecemasaan sosial,

Rasa takut atau cemas yang luar biasa terhadap situasi sosial atau
berinteraksi dengan orang lain, baik sebelum, sesudah maupun sebelum dalam
situasi tersebut.

4) Kecemasan obsessif,

Ditandai dengan pikiran negatif sehingga membuat gelisah, takut dan


khawatir dan diperlukan perilaku yang berulang untuk menghilangkannya.

2.4 Tingkat Kecemasan

Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu. Peplau


mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu:

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.Kecemasan


dapat memotivasi belajar menghasilkan pertumbuhan serta kreatifitas. Tanda
dan gejala antara lain: persepsi danperhatian meningkat, waspada, sadar akan
stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta
terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologi ditandai dengan gelisah, sulit
tidur, hipersensitif terhadap suara, tanda vital dan pupil normal.

b. Kecemasan Sedang

Memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan


mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang
selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologi :
sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, gelisah,
konstipasi. sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit,

6
rangsangan luar tidak mampu diterima, berfokus pada apa yang menjadi
perhatiaannya.

b. Kecemasan Berat

Sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk


memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu: persepsinya sangat kurang,
berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat terbatas, tidak dapat
berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah, serta tidak dapat belajar secara
efektif. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, pusing, mual,
gemetar, insomnia, palpitasi, takikardi, hiperventilasi, sering buang air kecil
maupun besar, dan diare.Secara emosi individu mengalami ketakutan serta
seluruh perhatian terfokus pada dirinya.

c. Panik

Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,


ketakutan, dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang
mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan. Panik menyebabkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya
kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,
kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan
kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian.Tanda dan gejala daritingkat panik yaitu tidak dapat fokus
pada suatu kejadian.

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Psikologis

Sebuah survei mengenai distres psikologis terkait COVID-19,


dilakukan di Tiongkok, Hong Kong, Macau, dan Taiwan, melibatkan 52.730
responden. Hasil survei menunjukkan beberapa faktor yang berperan

7
meningkatkan distres psikologis, seperti peningkatan gangguan cemas
menyeluruh, panik, dan depresi, yaitu:

1. Jenis kelamin wanita lebih rentan mengalami stres dan dapat


mengalami post traumatic stress disorder / PTSD
2. Usia 18-30 tahun atau diatas 60 tahun lebih rentan, karena usia 18-30
tahun merupakan usia produktif dan lebih banyak mendapatkan informasi
dari sosial media sehingga meningkatkan terjadinya stres. Sementara,
tingginya tingkat kematian pada pasien berusia diatas 60 tahun membuat
terjadinya distres psikologis yang meningkat pada kelompok usia tersebut
3. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan self-
awareness terhadap kesehatan yang lebih tinggi, sehingga mereka mudah
mengalami stress
4. Pekerja yang bermigrasi mengalami peningkatan distres terkait
kekhawatiran risiko penularan dari transportasi publik, serta penurunan
pendapatan akibat penundaan atau pengurangan pekerjaan
5. Masyarakat yang tinggal di dekat dengan regio sentral kasus tertinggi (Qui
J., dkk, 2020)

2.6 Penanganan Psikologis

Prinsip krisis intervensi yang dapat dilakukan selama masa pandemik,


adalah memahami status mental populasi yang berbeda yang diinduksi oleh
pandemi yang terjadi; mengidentifikasi orang yang memiliki risiko tinggi
melakukan bunuh diri dan tindakan agresif; menyediakan intervensi psikologis
pada orang yang membutuhkan. (Li W., dkk, 2020)

Populasi berdasarkan target penanganan terbagi menjadi empat tingkatan,


yaitu:

8
a. Tingkat 1, populasi yang paling rentan mengalami masalah kesehatan mental,
seperti pasien yang sedang dirawat terkonfirmasi COVID-19, pasien dengan
kondisi fisik kritis, tenaga medis, dan staf administrasi di garda terdepan
b. Tingkat 2, pasien karantina, termasuk isolasi diri atau pasien dengan gejala
minimal yang kontak dengan pasien tersangka COVID-19
c. Tingkat 3, populasi yang kontak erat dengan individu tingkat 1 dan 2, seperti
keluarga, rekan kerja, teman, dan regu penyelamat atau pekerja sukarelawan
yang terlibat selama penanganan
d. Tingkat 4, populasi orang yang mengalami dampak dari kegiatan preventif
dan pengontrolan public.

2.6.1 Penanganan psikologis pada orang dewasa dalam masa pandemi

Penanganan dapat dilakukan dengan cara melakukan kegiatan pendukung


kesejafteraan masyarakat selama isolasi /karantina seperti halnya : (IASC,
2008)

 Olahraga (mis. yoga, tai chi, pelenturan otot) 


 Pelatihan kognitif 
 Olahraga relaksasi (mis., latihan pernapasan, meditasi, mindfulness) 
 Membaca buku dan majalah 
 Mengurangi waktu melihat gambar-gambar menakutkan di TV 
 Mengurangi waktu mendengarkan rumor 
 Mencari informasi dari sumber-sumber terpercaya
 Mengurangi waktu mencari informasi (1-2 kali per hari, bukan setiap jam.

2.6.2 Penanganan pada lansia untuk mengatasi stress selama pandemi

Warga lansia, terutama yang di isolasi dan yang mengalami


penurunan kognitif/demensia bisa semakin resah, marah, tertekan, gelisah,
tertutup, terlalu curiga selama wabah/berada di karantina. Beri dukungan

9
emosional melalui jaringan informal (keluarga) dan tenaga kesehatan jiwa.
Sampaikan fakta-fakta sederhana tentang yang sedang terjadi dan informasi
yang jelas tentang cara mengurangi risiko infeksi dengan bahasa yang dapat
dimengerti lansia dengan/tanpa gangguan kognitif. Sampaikan ulang jika
perlu. (IASC, 2008) 

Saran-saran berikut berlaku secara umum untuk warga lansia di


tengah masyarakat. Untuk warga lansia di panti (mis., panti werdha), petugas
administrasi dan staf perlu memastikan adanya langkah-langkah keamanan
guna mencegah infeksi satu sama lain dan merebaknya kekhawatiran atau
panik yang berlebihan (seperti di rumah sakit). Dukungan juga perlu diberikan
bagi staf layanan yang terkarantina dalam waktu yang lama bersama warga
dan tidak dapat berkumpul dengan keluarga. 

Warga lansia lebih rentan terhadap COVID-19 karena sumber


informasi yang terbatas, sistem imun yang lebih lemah, dan tingkat kematian
COVID-19 yang lebih tinggi di antara kelompok usia lanjut. Beri kelompok-
kelompok rentan perhatian lebih, seperti lansia yang hidup sendiri/tanpa
keluarga dekat; dari status sosio-ekonomi rendah dan/atau penyandang
penyakit lainnya seperti penurunan kognitif/demensia atau kondisi kesehatan
jiwa lainnya. Lansia dengan gangguan kognitif ringan atau demensia stadium
awal perlu diberi tahu apa yang terjadi sesuai kapasitasnya dan didukung
untuk meringankan kekhawatiran dan tekanan. Kebutuhan medis dan
keseharian penyandang demensia sedang dan berat perlu dipenuhi selama
karantina.

Kebutuhan medis lansia dengan/tanpa COVID-19 perlu dipenuhi


selama wabah, termasuk akses obat-obatan penting (diabetes, kanker, sakit
ginjal, HIV) yang tidak terputus. Layanan medis telemedicine atau online
dapat digunakan untuk memberikan layanan medis.

10
Lansia terisolasi atau terinfeksi harus diberikan informasi yang
benar tentang faktor-faktor risiko dan kemungkinan kesembuhan. Selama
karantina, sesuaikan layanan rumah perawatan (respite care 

service) atau perawatan di rumah agar menggunakan teknologi (WeChat,


WhatsApp) untuk memberikan pelatihan/konseling bagi pelaku rawat keluarga di
rumah, termasuk pertolongan pertama psikologis (WHO, 2018).

Akses warga lansia pada aplikasi perpesanan seperti WeChat mungkin terbatas. 

 Beri lansia informasi akurat yang mudah dipahami dan fakta


tentang wabah, perkembangan, pengobatan , dan strategi efektif mencegah
infeksi COVID-19.
 Informasi harus mudah diakses (bahasa jelas dan sederhana,
huruf berukuran besar) dan dari sumber (media) terpercaya (media masal,
media sosial dan tenaga kesehatan terpercaya) untuk mencegah perilaku
tidak rasional seperti menimbun jamu yang tidak efektif.
 Cara terbaik menghubungi warga lansia adalah melalui telepon rumah atau
kunjungan berkala (jika mungkin). Dorong keluarga atau teman untuk
menelpon anggota keluarganya yang lansia dan ajari lansia menggunakan
panggilan video. 
Lansia mungkin tidak akrab dengan penggunaan alat perlindungan
atau metode pencegahan atau menolaknya. Sehingga panduan penggunaan alat
perlindungan perlu disampaikan secara jelas padat, sopan dan sabar.
Lansia mungkin tidak tahu cara menggunakan layanan daring seperti
belanja untuk persediaan sehari-hari, konsultasi/bantuan, atau layanan Kesehatan.
Berikan petunjuk terperinci cara mendapatkan bantuan praktis jika perlu, seperti
memanggil taksi, atau pengantaran persediaan. Distribusi barang dan jasa seperti
perlengkapan pencegahan penularan (seperti masker, disinfektan), bahan
belanjaan yang cukup, dan akses transportasi kedaruratan dapat mengurangi
keresahan sehari-hari. 

11
Beri lansia latihan fisik sederhana di rumah/dalam karantina agar tetap
aktif bergerak dan mengurangi kebosanan. Semangati lansia yang memiliki
keahlian, pengalaman dan kekuatan untuk menjadi sukarelawan dalam upaya
masyarakat menanggapi wabah COVID-10. Lansia dapat memberikan dukungan,
memantau lingkungan, dan menjaga anak-anak untuk petugas yang harus berada
di rumah sakit untuk melawan COVID-19. (WHO, 2020).
2.6.3 Penanganan pada anak-anak saat menghadapi stres selama wabah
COVID-19 

Dorong anak-anak mendengar aktif dan sikap pengertian dengan anak-


anak lainnya. Anak-anak dapat menanggapi situasi sulit/meresahkan dengan
cara yang berbeda-beda: menjadi manja kepada pengasuh, gelisah,
menyendiri, merasa marah atau resah, mengalami mimpi buruk, mengompol,
sering berubah suasana hati, dan lain-lain (WHO, 2020).

Anak-anak biasanya merasa lega jika dapat mengungkapkan


dan mengomunikasikan perasaan tidak nyaman di lingkungan yang aman dan
mendukung. Tiap anak memiliki cara mengungkapkan emosinya. Terkadang,
melakukan kegiatan kreatif, seperti bermain dan menggambar dapat
mempermudah proses ini. Bantulah anak mencari cara positif mengungkapkan
perasaan tidak enak seperti amarah, takut dan kesedihan. 

Dorong terciptanya lingkungan yang sensitif dan peduli di sekeliling


anak- anak. Anak-anak memerlukan kasih sayang orang dewasa dan seringkali
perhatian lebih dalam masa-masa sulit.

Ingat bahwa emosi anak-anak sering terpengaruh oleh orang-orang


dewasa yang penting bagi hidup mereka. Jadi, cara orang dewasa menanggapi
krisis ini sangat penting. Orang dewasa perlu mengelola baik emosinya sendiri
dan tetap tenang, mendengarkan kekhawatiran anak dan lembut berbicara serta
menghibur anak. Jika pantas dan sesuai usia, dorong orang tua/pengasuh untuk
memeluk anak-anaknya dan sering mengatakan mereka mengasihi dan bangga
akan anak itu hingga anak merasa lebih baik dan aman.

12
Jika memungkinkan, buat kesempatan bermain dan bersantai bagi
anak. Pastikan anak tetap dekat orang tua dan keluarga, jika dirasa aman untuk
anak, dan sebisa mungkin jangan pisahkan anak dari pengasuh. Jika anak
harus dipisahkan dari pengasuh utamanya, pastikan anak diberi asuhan
alternatif dan petugas sosial atau yang setara sering menengok keadaan anak.

Jika Anak terpisah dari pengasuhnya, pastikan kontak sering dilakukan


(mis., melalui panggilan telepon, video) dan anak ditenangkan.
Pastikan semua langkah perlindungan dan keamanan anak sudah diambil.
Sebisa mungkin tetap jalankan rutinitas dan jadwal yang ada atau
bantu membuat aktivitas baru di lingkungan yang baru, seperti belajar,
bermain dan bersantai. Jika mungkin, tetap jalankan kegiatan sekolah, belajar
atau rutinitas lain yang tidak membahayakan anak-anak atau dilarang
dinas kesehatan. Anak sebaiknya tetap bersekolah jika tidak berisiko bagi
kesehatan.

Berikan fakta tentang yang sedang terjadi dan informasi jelas yang
sesuai untuk anak-anak tentang cara mengurangi risiko infeksi dan tetap aman
dalam bahasa yang dimengerti. Demonstrasikan kepada anak cara menjaga
keamanan diri (mis., tunjukkan cara cuci tangan yang efektif. 

Jangan berspekulasi tentang rumor atau informasi yang belum pasti


di dekat anak-anak. y Berikan informasi tentang apa yang telah terjadi atau
mungkin terjadi dengan cara yang menenangkan, jujur dan sesuai umurnya.

Dukung orang dewasa/pengasuh dengan kegiatan untuk anak


selama isolasi/karantina di rumah. Kegiatan-kegiatan ini sebaiknya
menjelaskan tentang virus tetapi juga menjaga agar anak tetap aktif ketika
tidak masuk sekolah, seperti: (WHO, 2020)

 permainan mencuci tangan dengan lagu


 cerita rekaan tentang penjelajahan virus di dalam tubuh
 jadikan pembersihan dan disinfeksi rumah permainan menyenangkan
 gambar virus/mikroba yang kemudian diwarnai oleh anak
 jelaskan alat perlindungan diri (APD) kepada anak agar mereka tidak takut

13
2.6.4 Penanganan Psikologi Pasien

Pemberian baik farmakoterapi maupun intervensi psikososial yang sesuai


dengan gangguan mental yang dialami akan membantu pemulihan pasien.
Intervensi psikososial dapat dilakukan baik perorangan maupun kelompok.
Intervensi ini berguna untuk meningkatkan pemahaman pasien tentang apa
yang ia alami, cara penanganan hingga mengkoneksikan dengan bantuan-
bantuan komunitas yang ia perlukan kelak. Penyediaan bimbingan agama atau
pemuka suatu kebudayaan dapat menolong memberikan harapan dan
kepercayaan diri bahwa ia mampu melewati masa wabah tersebut. Bagi
beberapa pasien khususnya pasien lansia dan pasien dengan komorbid
gangguan jiwa, pendampingan oleh orang sekitar diperlukan agar mampu
mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan. (Yang Y, dkk, 2020).

Pasien yang berhasil diselamatkan dari suatu wabah atau yang berhasil
melewati wabah, juga mungkin dapat mengalami gangguan traumatik seperti
gangguan stres akut dan PTSD. Hal ini menjadi pertimbangan pentingnya
melakukan penapisan gangguan psikiatrik setelah pandemik berakhir,
terutama untuk mencari adanya gejala gangguan stres akut, PTSD, gangguan
depresi, gangguan penyalahgunaan zat, dan gangguan terkait stigma yang
terjadi. (Levin J, 2019)

14
2.6.5 Penanganan Pasien dengan Komorbid Gangguan Psikiatrik

Bagi pasien dengan komorbid gangguan psikiatrik perlu diberikan


perhatian khusus, dapat melalui diskusi serta pencarian solusi bersama
keluarga. Beberapa kebijakan yang dapat diberikan adalah:

1. Pemberian jatah obat yang diperpanjang menjadi beberapa bulan pada masa
pandemic, tetapi harus dengan melibatkan pengawasan dari keluarga yang
dapat dipercaya
2. Melakukan pemantauan yang lebih ketat sesuai derajat keparahan penyakit
setelah pandemik berakhir, misalnya dengan merutinkan konsultasi menjadi
dua kali sebulan atau bahkan mingguan
3. Bagi pasien yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan maka dapat
dilakukan telepsikiatri jika memungkinkan (Li W, dkk, 2020)

2.6.5 Penanganan Pasien dengan Komorbid Gangguan Psikiatrik

Bagi pasien dengan komorbid gangguan psikiatrik perlu diberikan


perhatian khusus, dapat melalui diskusi serta pencarian solusi bersama
keluarga. Beberapa kebijakan yang dapat diberikan adalah:

1. Pemberian jatah obat yang diperpanjang menjadi beberapa bulan pada masa
pandemic, tetapi harus dengan melibatkan pengawasan dari keluarga yang
dapat dipercaya
2. Melakukan pemantauan yang lebih ketat sesuai derajat keparahan penyakit
setelah pandemik berakhir, misalnya dengan merutinkan konsultasi menjadi
dua kali sebulan atau bahkan mingguan
4. Bagi pasien yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan maka dapat
dilakukan telepsikiatri jika memungkinkan. (Li W, dkk, 2020)

15
2.6.6 Penanganan Psikologi Keluarga

Penanganan keluarga sering tidak menjadi fokus dalam suatu wabah,


sehingga isu mengenai kesehatan mentalnya sering terlewat. Keluarga masuk
ke dalam tingkat ke-3 dari tingkatan risiko gangguan jiwa, karena itu
penanganan psikologi keluarga juga membutuhkan peran serta penentu
kebijakan dan pemangku kepentingan, seperti:

1. Menyediakan pelayanan krisis intervensi bagi keluarga, termasuk


menyediakan terapi kognitif dan perilaku secara online untuk mengatasi gejala
depresi
2. Menyediakan peralatan perlindungan diri yang memadai, pengaturan jadwal
kerja, akomodasi sementara, dan layanan komunikasi bagi tenaga medis agar
keluarga merasa terlindungi dan tetap dapat memberikan dukungan dua arah
5. Menyediakan informasi yang memadai dari pemerintah mengenai situasi
pandemik maupun kondisi keluarganya. Hal ini akan meningkatkan perasaan
memiliki kontrol diri, pemahaman dan kemampuan mengatasi dampak
psikologis dari wabah yang dihadapi. (Ying Y, dkk, 2020)

2.7 Pencegahan Masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial (Pencegahan


Masalah Kesehatan)

2.7.1 Pencegahan penularan 

• Jarak sosial (Social distancing): Jarak sosial adalah jarak interaksi sosial
minimal 2 meter, tidak berjabat tangan, dan tidak berpelukan sehingga
penularan virus dapat dicegah. Jarak sosial ini sepertinya membuat interaksi
menjadi semakin jauh, rasa sepi dan terisolasi. Hal ini dapat diatasi dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosial melalui media sosial yang tidak
berisiko terkena percikan ludah (Keliat, 2018)

16
• Jarak fisik (Physical distancing): Jarak fisik adalah jarak antar orang
dimanapun berada minimal 2 meter, artinya walaupun tidak berinteraksi
dengan orang lain jarak harus dijaga dan tidak bersentuhan. Tidak ada jaminan
baju dan tubuh orang lain tidak mengandung virus COVID-19 sehingga jarak
fisik dapat mencegah penularan (Keliat, 2018).
• Cuci tangan dengan sabun pada air yang mengalir sebelum dan sesudah
memegang benda. Tangan yang memegang benda apa saja mungkin sudah ada
virus COVID-19, sehingga cuci tangan pakai sabun dapat menghancurkan
kulit luar virus dan tangan bebas dari virus. Hindari menyentuh mulut, hidung
dan mata, karena tangan merupakan cara penularan yang paling
berbahaya. (Keliat, 2018)
• Pakai masker kain yang diganti setiap 4 jam. Pada situasi pandemi tidak
diketahui apakah orang lain sehat atau OTG (yang tidak memperlihatkan tanda
dan gejala pada hal sudah mengandung virus corona), jadi pemakaian masker
kain bertujuan tidak menularkan dan tidak ketularan (Keliat, 2018).
• Setelah pulang ke rumah. Pada situasi yang terpaksa harus ke luar
rumah, maka saat pulang ke rumah upayakan meninggalkan sepatu di luar
rumah, lalu segera mandi dan pakaian segera dicuci (Keliat, 2018).
Oleh karena itu setiap orang diminta tinggal di rumah (stay at home)
artinya bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah, dan
semua aktifitas dilakukan di rumah. Hindari pertemuan-pertemuan seperti
pesta ulang tahun, pesta perkawinan, ibadah berjamaah, dan kerumunan orang
banyak (Keliat, 2020). 

2.7.2 Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial 

Masalah kesehatan jiwa dan psikososial dapat berupa ketakutan,


cemas, dan panik terhadap kejadian COVID-19. Orang semakin enggan
bertemu dengan orang lain dan muncul curiga orang lain dapat menularkan.
Perasaan ini akan memberikan respons pada tubuh untuk cepat melakukan
perlindungan untuk memastikan keamanan (Keliat, 2019)

17
Gejala awal yang terjadi adalah khawatir, gelisah, panik, takut mati,
takut kehilangan kontrol, takut tertular, dan mudah tersinggung. Jantung
berdebar lebih kencang, nafas sesak, pendek dan berat, mual, kembung, diare,
sakit kepala, pusing, kulit terasa gatal, kesemutan, otot otot terasa tegang, dan
sulit tidur yang berlangsung selama dua minggu atau lebih (HIMPSI, 2020)

2.4.1.1 Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial oleh individu 


Sikap mental menghadapi situasi ini dapat berupa: 

• Sikap Reaktif 

Sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang,


agresif terhadap keadaan yang terjadi dan menyebabkan kecemasan
dan kepanikan. Contoh perilakunya adalah: memborong bahan
makanan, masker, hands-sanitizer, vitamin dll. Sikap reaktif ini dapat
dikendalikan dengan cara mencari berbagai info atau masukan dari
banyak orang sebelum mengambil keputusan. 

• Sikap Responsif 

Sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari


tahu apa yang harus dilakukan dan memberikan respons yang tepat
dan wajar. Sikap responsif dapat dikembangkan agar tidak terjadi
masalah kesehatan jiwa dan psikososial. 
2.7.2.1 Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial dalam
keluarga 

Kegiatan keluarga yang konstruktif semakin menguatkan ikatan


emosional dan keluarga semakin harmonis. Keluarga dapat merencanakan
kegiatan 5B: belajar, beribadah, bermain, bercakap-cakap dan berkreasi
bersama. 

2.7.2.2 Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial di sekolah


dan tempat kerja 

Proses pembelajaran yang dilakukan secara daring dapat


menimbulkan kebosanan/ kejenuhan, sehingga mengakibatkan
meningkatnya stress pada anak didik. Sekolah dan kampus dapat
mengorganisasikan proses pembelajaran yang menarik dan

18
komunikatif seperti voice note atau video mengajar, pertemuan
lewat daring yang santai dan fleksibel, serta dapat menggunakan
surel dan media sosial. Di tempat kerja, dibuat jadwal bekerja yang
fleksibel, sehingga membuat lebih nyaman dalam bekerja untuk
mencegah penurunan imunitas karyawannya. Pimpinan harus
memiliki protokol standar kesehatan dan keselamatan dalam
bekerja. 

2.8 Stigma dan Media Sosial

Pasca perawatan atau pandemik, beberapa pasien atau tenaga medis


mengalami stigma tertentu, seperti penolakan oleh komunitas lokalnya. Hal ini
dapat menimbulkan sikap menyalahkan diri sendiri, halangan untuk kembali
ke rumah atau pekerjaan, dan halangan untuk mencari pertolongan. Sedangkan
media sosial yang tidak terkendali akan menyebabkan kondisi pemberitaan
yang berlebihan, menyebarkan ketakutan, bahkan meningkatkan risiko
gangguan jiwa pada yang menerima pesan ataupun mengirim pesan. Selain itu
media sosial juga dapat meningkatkan stigma terhadap pasien dan tenaga
kesehatan yang menjalani karantina. (Sun Y., dkk, 2019)

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi stigma adalah:

1. Memberikan validasi terhadap pengalaman yang ia alami, khususnya oleh


orang terdekat dan lingkungan sekitar
2. Beberapa Negara memberikan gelar pahlawan bagi tenaga kesehatan atau
pasien yang berhasil selamat
3. Pembinaan ketahanan diri orang tersebut dan komunitasnya, sehingga dapat
mencapai efikasi diri dan pertahanan dalam menghadapi perbedaan yang
terjadi (Levin J, 2019)

19
Telah diketahui dari penelitian bahwa pesan yang banyak dibagikan akan
meningkatkan pengaruh dari persepsi sehingga dapat meningkatkan perubahan
perilaku yang dipengaruhi oleh pesan tersebut. Oleh karena itu, pembatasan
penyebaran informasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan pembuatan media
resmi untuk penyebaran informasi valid yang berasal dari pemerintah,
diperlukan untuk membantu pemahaman tentang situasi yang terjadi. Li W.,
dkk, 2020)

Media sosial dan pesan yang disampaikan terus-menerus dapat


dimanfaatkan sebagai intervensi perilaku. Perubahan perilaku yang diharapkan
berupa penerapan pola hidup sehat yang diperlukan untuk pengontrolan
infeksi seperti penerapan mencuci tangan, social distancing, work from home,
penggunaan alat perlindungan diri, etika batuk dan bersin. Bagi individu yang
memanfaatkan media sosial penting untuk melakukan pembatasan
penggunaan dan penyaringan tentang isi media sosial agar dapat mengurangi
kecemasan yang dirasakan. (Kim JW. 2018)

20
BAB 3
KESIMPULAN

Kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang penuh dengan


rasa takut dan khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir akan sesuatu hal
yang belum pasti akan terjadi. Kecemasan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
kecemasan neurosis, kecemasan realistis, dan kecemasan moral. Terdapat 4
indikator kecemasan, antara lain kecemasan umum, kecemasan gangguan
panik, kecemasaan sosial, kecemasan obsessif. Semua orang pasti mengalami
kecemasan pada derajat tertentu. Peplau mengidentifikasi 4 tingkatan
kecemasan yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat, dan
panik.

Sebuah survei mengenai distres psikologis terkait COVID-19,


dilakukan di Tiongkok, Hong Kong, Macau, dan Taiwan, melibatkan 52.730
responden. Hasil survei menunjukkan beberapa faktor yang berperan
meningkatkan distres psikologis, seperti peningkatan gangguan cemas
menyeluruh, panik, dan depresi, yaitu jenis kelamin wanita lebih rentan
mengalami stres dan dapat mengalami post traumatic stress disorder / PTSD,
usia 18-30 tahun atau diatas 60 tahun lebih rentan, karena usia 18-30 tahun
merupakan usia produktif dan lebih banyak mendapatkan informasi dari sosial
media sehingga meningkatkan terjadinya stress dan tingginya tingkat kematian
pada pasien berusia diatas 60 tahun membuat terjadinya distres psikologis
yang meningkat pada kelompok usia tersebut, tingkat pendidikan yang lebih
tinggi berkaitan dengan self-awareness terhadap kesehatan yang lebih tinggi,
sehingga mereka mudah mengalami stress, pekerja yang bermigrasi
mengalami peningkatan distres terkait kekhawatiran risiko penularan dari
transportasi publik, serta penurunan pendapatan akibat penundaan atau
pengurangan pekerjaan, masyarakat yang tinggal di dekat dengan regio sentral
kasus tertinggi.

Untuk menanganani kondisi psikologis harus mengetahui tingkatan populasi


yang dibagi menjadi 4 tingkatan yaitu tingkat 1, populasi yang paling rentan

21
mengalami masalah kesehatan mental ; tingkat 2, pasien karantina ; tingkat 3,
populasi yang kontak erat dengan individu tingkat 1 dan 2 ; Tingkat 4, populasi
orang yang mengalami dampak dari kegiatan preventif dan pengontrolan publik.
Penanganan psikologis pada orang dewasa dalam masa pandemi bisa dengan
melakukan kegiatan pendukung, yaitu olahraga, pelatihan kognitif, olahraga
relaksasi, dsb. Penanganan pada lansia untuk mengatasi stress selama pandemic
dapat dengan diberikan dukungan emosial melalui karingan informal dan tenaga
kesehatan jiwa, beri lansia informasi akurat yang mudah dipahami, dan beri lansia
latihan fisik sederhana di rumah/dalam karantina agar tetap aktif bergerak dan
mengurangi kebosanan. Sedangkan untuk penanganan pada anak-anak saat
menghadapi stres selama wabah COVID-19 dapat dilakukan dengan mendorong
terciptanya lingkungan yang sensitif dan peduli di sekeliling anak- anak; buat
kesempatan bermain dan bersantai bagi anak; jika Anak terpisah dari
pengasuhnya, pastikan kontak sering dilakukan; berikan fakta tentang yang
sedang terjadi dan informasi jelas yang sesuai untuk anak-anak tentang cara
mengurangi risiko infeksi dan tetap aman dalam bahasa yang dimengerti.
Penanganan Psikologi Pasien dengan pemberian baik farmakoterapi maupun
intervensi psikososial yang sesuai dengan gangguan mental yang dialami akan
membantu pemulihan pasien. Penanganan Pasien dengan Komorbid Gangguan
Psikiatrik dengan cara Pemberian jatah obat yang diperpanjang menjadi beberapa
bulan pada masa pandemik, Melakukan pemantauan yang lebih ketat sesuai
derajat keparahan penyakit setelah pandemik berakhir, melakukan telepsikiatri.
Penanganan psikologis keluarga dengan cara Menyediakan pelayanan krisis
intervensi bagi keluarga, Menyediakan peralatan perlindungan diri yang memadai,
Menyediakan informasi yang memadai dari pemerintah mengenai situasi
pandemik maupun kondisi keluarganya. Melakukan pencegahan penularan dengan
cara jarak social, jarak fisik, cuci tangan, pakai masker kain yang diganti setiap 4
jam, dan setelah pulang ke rumah. Pasca perawatan atau pandemik, beberapa
pasien atau tenaga medis mengalami stigma tertentu, seperti penolakan oleh
komunitas lokalnya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi
stigma adalah memberikan validasi terhadap pengalaman yang ia alami, beberapa
negara memberikan gelar pahlawan bagi tenaga kesehatan atau pasien yang

22
berhasil selamat, pembinaan ketahanan diri orang tersebut dan komunitasnya.
Perubahan perilaku melalui media social yang diharapkan berupa penerapan pola
hidup sehat yang diperlukan untuk pengontrolan infeksi seperti
penerapan mencuci tangan, social distancing, work from home, penggunaan alat
perlindungan diri, etika batuk dan bersin. Bagi individu yang memanfaatkan
media sosial penting untuk melakukan pembatasan penggunaan dan penyaringan
tentang isi media sosial agar dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adi Widodo, Sri. dkk. (2017). Analisis Faktor Tingkat Kecemasan, Motivasi dan
Prestasi Belajar Mahasiswa, jilid 1, no 1.
APA (American Psychological Association). (2017). Stress in America™ 2017:
Technology and Social Media. Part 2. Stresinamerica.org dan Kecemasan Suatu
Petunjuk Bagi Praktisi. Alih Bahasa: Rusda Koto Sutadi.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Proses Edisi Revisi.


Jakarta : Rineka Cipta.

Brooks SK, Webster RK, Smith LE, Woodland L, Wessely S, Greenberg N, et al.
The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the
evidence. The Lancet. 2020 Mar 14;395(10227):912–20.
Feist, J., dan Feist, G.J. (2011). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Ghufron, M. Nur., dan Rini Risnawita S. (2012). Teori-Teori Psikologi.
Jogjakarta: ArRuzz Media

Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Modul Analisis Data. Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia.

Hastono, Sutanto Priyo. (2013). Modul Analisis Data. Fakultas Kesehatan


Masyarakat Universitas Indonesia.

Hurlock, E. B. (2010). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang.


Rentang Kehidupan (Alih Bahasa Istiwidayanti, dkk). Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.

IASC. Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency


settings: checklist for field use. IASC: Geneva, 2008. 

Ikatan Psikolog Klinis Indonesia. (2020). Panduan Layanan Psikologi Klinis


dalam Rangka Penanggulangan Pandemi COVID-19. 

Inter-Agency Standing Committee (IASC). IASC Guidelines on Mental Health


and Psychosocial Support in Emergency Settings. IASC: Geneva, 2007

24
Keliat, B.A., Marliana, T. (2018). Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psiko Sosial
(Mental Health and Psycho Social Support):Keperawatan Jiwa . Jakarta:
ISBN:978-602-1283-51-6 

Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E., Daulima, N. H. C., Wardani, I. Y.,
Susanti, H., Hargiana, G., & Panjaitan, R. U. (2019). Asuhan keperawatan jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC 

Keliat, B.A., Marliana, T., Windarwati, H. W., Mubin, M. F., Sodikin, M. A.,
Prawiro, A. D., Trihadi, D., & Kembaren, L. (2020). Dukungan Kesehatan Jiwa
dan Psiko Sosial (Mental Health and Psycho Social Support) COVID-
19:Keperawatan Jiwa . Jakarta: ISBN:dalam proses 

Kim JW. They liked and shared: Effects of social media virality metrics on
perceptions of message influence and behavioral intentions. Comput Hum Behav.
2018 Jul 1;84:153–61.

Lee H, Park S-A. Third-Person Effect and Pandemic Flu: The Role of Severity,
Self-Efficacy Method Mentions, and Message Source. J Health Commun. 2016
Dec 1;21(12):1244–50.
Levin J. Mental Health Care for Survivors and Healthcare Workers in the
Aftermath of an Outbreak. In: Huremović D, editor. Psychiatry of Pandemics: A
Mental Health Response to Infection Outbreak [Internet]. Cham: Springer
International Publishing; 2019. p. 127–41. Available from:
https://doi.org/10.1007/978-3-030-15346-5_11
Levin J. Mental Health Assistance to Families and Communities in the Aftermath
of an Outbreak. In: Huremović D, editor. Psychiatry of Pandemics: A Mental
Health Response to Infection Outbreak [Internet]. Cham: Springer International
Publishing; 2019. p. 143–51. Available from: https://doi.org/10.1007/978-3-030-
15346-5_12
Liu S, Yang L, Zhang C, Xiang Y-T, Liu Z, Hu S, et al. Online mental health
services in China during the COVID-19 outbreak. Lancet Psychiatry. 2020 Apr
1;7(4):e17–8.

25
Li W, Yang Y, Liu Z-H, Zhao Y-J, Zhang Q, Zhang L, et al. Progression of
Mental Health Services during the COVID-19 Outbreak in China. Int J Biol Sci.
2020;16(10):1732–8.
Missouri Department of Health and Senior Services. Pandemic influenza plan:
psychosocial services preparedness [Internet]. 2018. Available from:
https://health.mo.gov/emergencies/panflu/pdf/panfluplanpsychosocial.pdf

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.


Qiu J, Shen B, Zhao M, Wang Z, Xie B, Xu Y. A nationwide survey of
psychological distress among Chinese people in the COVID-19 epidemic:
implications and policy recommendations. Gen Psychiatry. 2020 Mar
1;33(2):e100213.
Sastroasmoro, S. dan Ismail, S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian
KlinisEdisi III. Jakarta: CV Agung Seto

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.
Sun Y, Bao Y, Ravindran A, Sun Y, Shi J, Lu L. Mental health challenges raised
by rapid economic and social transformations in China: a systematic review. The
Lancet. 2019 Oct 1;394:S52.
Suratmi. dkk. (2017, Februari 22). Personal interview.
WHO and the International Labour Organization (ILO). Occupational safety and
health in public health emergencies: A manual for protecting health workers and
responders. WHO & ILO: Geneva, 2018.

WHO. Helping children cope with stress during the 2019-nCOV outbreak
(Handout). WHO: Jenewa, 2020.

Yang Y, Li W, Zhang Q, Zhang L, Cheung T, Xiang Y-T. Mental health services


for older adults in China during the COVID-19 outbreak. Lancet Psychiatry. 2020
Apr 1;7(4):e19.

Ying Y, Kong F, Zhu B, Ji Y, Lou Z, Ruan L. Mental health status among family
members of health care workers in Ningbo, China during the Coronavirus Disease
2019 (COVID-19) outbreak: a Cross-sectional Study. medRxiv. 2020 Mar
17;2020.03.13.20033290.

26

Anda mungkin juga menyukai