Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

KEGAWATDARURATAN JIWA

Pembimbing : dr. Sadya Wendra, Sp.KJ.

Disusun oleh :
DM UHT 42-I
DM UHT 43-P
DM UHT 43-Z

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN LAUT DR. RAMELAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

KEGAWATDARURATAN JIWA

Referat dengan judul “Kegawatdaruratan Jiwa” ini telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik Dokter Muda di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah
Sakit Pusat Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 3 April 2020

dr. Sadya Wendra, Sp. KJ

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang
Kegawatdaruratan Jiwa sebagai tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Jiwa. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. Sadya Wendra, Sp. KJ selaku dokter pembimbing, yang telah memberi
arahan dan masukan kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan referat ini. Keberhasilan dalam menyelesaikan referat ini
tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis
menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian referat ini. Penulis menyadari bahwa penulisan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan yang perlu diperbaiki. Untuk itu,
penulis mengharapkan saran yang membangun sehingga dapat
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Atas perhatiannya, penulis
mengucapkan terima kasih.

Surabaya, 3 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................2
2.1 Keadaan Gaduh Gelisah........................................................................2
2.1.1. Definisi............................................................................................2
2.1.2 Jenis Psikosis..................................................................................2
2.1.3 Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan.................................5
2.1.4 Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan...................................6
2.1.5 Tatalaksana.....................................................................................6
2.2 Tindak kekerasan (violence)...................................................................8
2.2.1 Gambaran klinis dan diagnosis........................................................9
2.2.2 Panduan wawancara dan Psikoterapi............................................10
2.2.3 Evaluasi dan penatalaksanaan......................................................10
2.2.4 Terapi Psikofarmaka......................................................................11
2.3 Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum.............................................11
2.3.1 Definisi..........................................................................................11
2.3.2 Pembagian Emile Durkheim..........................................................12
2.3.3 Psikodinamika Bunuh-Diri.............................................................13
2.3.4 Faktor Risiko.................................................................................14
2.3.5 Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri................................16
2.3.6 Panduan Wawancara dan Psikoterapi...........................................16
2.3.7 Evaluasi dan Penatalaksanaan.....................................................17
2.3.8 Terapi psikofarmaka......................................................................17
2.4 Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM)....................................................18
2.4.1 Definisi..........................................................................................18
2.4.2 Etiologi..........................................................................................19
2.4.3 Faktor Resiko................................................................................19
2.4.4 Patofisiologi...................................................................................20
2.4.5 Pemeriksaan Laboratorium............................................................20
2.4.6 Diagnosis.......................................................................................20

iii
2.4.7 Diagnosis Banding.........................................................................22
2.4.8 Penatalaksanaan...........................................................................22
2.4.9 Komplikasi.....................................................................................24
2.4.10 Prognosis......................................................................................25
2.4.11 Prevensi........................................................................................25
2.5 Delirium................................................................................................25
2.5.1 Definisi..........................................................................................25
2.5.2 Epidemiologi..................................................................................26
2.5.3 Etiologi..........................................................................................27
2.5.4 Faktor predisposisi........................................................................27
2.5.5 Faktor pencetus (presipitasi).........................................................27
2.5.6 Medikasi terkait delirium................................................................28
2.5.7 Patofisiologi...................................................................................29
2.5.8 Prognosis......................................................................................31
BAB 3 KESIMPULAN.........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa


dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus
kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan
kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa,
klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan
pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
a. Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium
Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat
penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan
medik yang terintegrasi.

Gawat darurat psikiatri memerlukan penilaian yang cepat dan tepat


melalui pendekatan pragmatis. Target dari penanganan awal adalah initial
diagnosis, identifikasi faktor pencetus, dan keputusan untuk merujuk ke
bagian yang sesuai.

Diperlukan keterampilan dalam assesment dan teknik


evaluasi untuk membuat diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya
sering diperlukan pemeriksaan fisik serta laboratorium yang sesuai
dan memadai. Kerja sama dalam suatu tim adalah bentuk pelayanan yang
paling diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan Consultation-Liaison
Psychiatry bermanfaat untuk beberapa penanganan kasus-kasus
kedaruratan, seperti tindakan bunuh diri, delirium, sindrom neuroleptik
maligna, dll.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keadaan Gaduh Gelisah


2.1.1. Definisi
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata
sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu
sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah
dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis
dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu
jenis psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):
1. Delirium
2. Skizofrenia katatonik
3. Gangguan skizotipal
4. Gangguan psikotik akut dan sementara
5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik
6. Amok
2.1.2 Jenis Psikosis
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan
sindroma otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun.
Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk
kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah
(Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu
mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan
patologik-anatomik (misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh
darah otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau mungkin

2
terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria,
uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan
hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai
psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak
organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada
sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi
suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak, demensia
paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu
waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk
mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan
evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal


Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh
gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu
psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui
dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti
pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di
negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak
menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate,
tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu
skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada
perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses
berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak,
terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu
meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada
proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan
gaduh-gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-

3
gelisah katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien
menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses
berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara


Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik
yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh
suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang
mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang
yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana. Gangguan psikotik
akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah
reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena
pokok gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi
atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan
juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa
bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga
disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada
jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka
aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis,
2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam
arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran
yang meloncat-loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira
luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik
meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas
tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).

5. Amok

4
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III
(Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia)
memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang
Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound
phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan
penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi
agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia
malu, tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan
menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian.
Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang
lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan
mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan Maramis, 2009).

2.1.3 Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan


Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al,
2007):
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan
tindak kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu

5
2.1.4 Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan
a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 –
24 tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial
yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk,
penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun
melukai diri sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan
lainnya)

2.1.5 Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita,
penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang
meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang dapat
menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita
sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil
tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya
agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan
dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya
tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis,
2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat
berguna untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak
terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik
rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat
neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka

6
suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg),
disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan
suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya
mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan
Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang
mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih
pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut
usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan
langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu
kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis,
2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula
agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang
orang lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan
mulai kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per
oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan
cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya,
bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik
yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara
etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

7
Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah


tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja
dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam
keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

2.2 Tindak kekerasan (violence)


Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan
oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya
sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal
behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan
psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat
mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.

8
2.2.1 Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan
adalah:
 Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila
paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan
(commanding hallucination),
 Intoksikasi alkohol atau zat lain,
 Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
 Katatonik furor
 Depresi agitatif
 Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan
gangguan pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian
ambang dan antisosial),
 Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus
frontalis dan temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah:
 Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan
tindak kekerasan,
 Adanya rencana spesifik,
 Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
 Laki-laki,
 Usia muda (15-24 tahun),
 Tatus sosioekonomi rendah,
 Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
 Tindakan antisosial lainnya
 Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan
tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya
aadalah membuat diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan,
termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak
kekerasan berikutnya.

9
2.2.2 Panduan wawancara dan Psikoterapi
 Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan
batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat
(physical restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan
pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan
menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
 Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak
dapat diterima,
 Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan
sikap tenang dan penuh kontrol.
 Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
2.2.3 Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap
beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup.
Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti kalung
atau dasi.
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan
urusan itu pada anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang
muungkin merasa bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan.
Selalu persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya
pasien menyerrnag anda. Jangan pernah membelakangi
pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara
lain:

10
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi
belum lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang
dikepal,
- Ancaman verbal,
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai
senjata (seperti garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat
pasien secara aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah
terlatih. Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin
atau antipsikotik untuk menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV,
pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik.
2.2.4 Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenangkan
pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan
dosis rata-rata per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan
(dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan
dosis yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang
mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan
antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine.
Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan
respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol. (Elvira,
Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

11
2.3 Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
2.3.1 Definisi
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira,
Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan
seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat
(Maramis dan Maramis, 2009). Ada macam-macam pembagian bunuh-
diri dan percobaan bunuh-diri.
2.3.2 Pembagian Emile Durkheim
Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang
menjadi individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan
integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak
menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah
pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung
untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia
merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh:
“Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu,
dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam
jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang
menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan
norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan
tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan

12
kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan
bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka
yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami
perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan
bunuh diri.

2.3.3 Psikodinamika Bunuh-Diri


Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri
sebagai berikut:
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as
retaliatory abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi
tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan
seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana
dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang)
(“Death as retroflexed murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan.
Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat
merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan
keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu
itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni
khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self
punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang
terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai,
maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah
sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri

13
merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan,
rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik
lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri
dari tujuan itu.

14
2.3.4 Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
 Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri
dibanding laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi
pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih.
Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi,
dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-
obatan atau menggunakan racun.
 Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Pada laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun
sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di
atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan
bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
 Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh
diri dibanding ras kulit hitam.
 Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat
anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih
beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri.
Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki
angka bunuh diri yang tinggi.
 Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi
status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri.
Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding
pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul
spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki
resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi,

15
montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki
resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
 Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik,
nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko
bunuh diri.
 Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan
bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri
dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di
antara semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga
kepada alkohol.
 Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri.
Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-
laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri
mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu
tahun terakhir.
 Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan
kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi
untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi
untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat
menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah


gangguan mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak
bunuh diri yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan
menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi
tadi.

16
17
2.3.5 Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun
tidak, atau berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih
lama lagi” (sering dikatakan pada keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan,
harga diri, dan lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-
pesan, pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat,
membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau
menarik diri.
2.3.6 Panduan Wawancara dan Psikoterapi
 Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan
menjelaskan adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
 Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati
saja?
 Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
 Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan
rencana bunuh dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya
mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan
membaik?

18
2.3.7 Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah
(di tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di
bagian penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-
luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi
maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya
gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali
dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan
(Maramis dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh
diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda
yang dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi
pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian
apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan.
Pasien yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya
dapat mengawasi pasien secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien
alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan pengguanan
alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila
mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan
masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung
dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides.
Parasuicides yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal
berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D
dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

2.3.8 Terapi psikofarmaka


Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya
akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama
bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine,

19
misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan
memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap
pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam
bebeapa hari.

2.4 Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM)


2.4.1 Definisi
Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi
akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik
dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan
kesadaran. Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder
dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal (Sholevar, 2002).

DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan


temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia,
inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan
koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan
kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan
pengobatan neuroleptik (Kaplan dan Sadock, 2005).

Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin


biasanya dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti
skizoprenia, gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium,
gangguan tingkah laku karena dimensia, nausea, disfungsi usus dan
penyakit Parkinson (Hal dan Chopman, 2006).

Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf


otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas
tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung,
tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga
terpengaruh (Bottoni, 2001).

20
2.4.2 Etiologi
Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk
neuroleptik potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik
atipikal. SNM sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan
chlorpromazine (Sholevar, 2002).

Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi tinggi),


antipsikosik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan
antipsikotik injeksi long acting (Sholevar, 2002).

Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptic


yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama
lithium, dan juga terapi kejang listrik (Sholevar, 2002)

2.4.3 Faktor Resiko


Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM
adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan
malnutrisi (Sholevar, 2002).

Faktor genetik. Terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa


SNM dapat terjadi pada kembar identik (Sholevar, 2002).

Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren.


Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara
episode SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti
psikotik dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih
dari 2 minggu, persentasenya hanya 30% (Sholevar, 2002).

Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan


lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur (Sholevar,
2002).

Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis


neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi
(Sholevar, 2002).

21
2.4.4 Patofisiologi
Sesuai dengan istilahnya, SNM berkaitan dengan pemberian pengobatan
neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat hipotesis
yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang
menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak
(hipothamalmus, sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat
menerangkan terjadinya gejala klinis SNM (Khaldarov, 2000).

Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya


peningkatan set point sehingga terjadi demam dan juga dapat
menyebabkan ketidak stabilan otonom (Sholevar, 2002). Di sistem
nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik
dapat menyebabkan perubahan kesadaran (Khaldarov, 2000). Perubahan
status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem
nigrostartial dan mesokortikal (Bottoni, 2002).

2.4.5 Pemeriksaan Laboratorium


Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan
nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:

Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 – 15.000 U/


L. Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom
Neuroleptik Maligna.

Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase / AST,


alanine aminotransferase / ALT, and lactate dehydrogenase / LDH)
(Sholevar, 2002).

Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 – 30.000 x


103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat
meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun (Sholevar, 2002).

2.4.6 Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah
satu kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup

22
hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda
penting seperti ketidakstabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan
kadar CK dan myoglobinuria (Nicholson dan Chiu, 2004).

Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis


banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum
diagnosis SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu
harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain
seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidak stabilan otonom
(Nicholson dan Chiu, 2004).

Kriteria diagnosis menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders)

Memenuhi kriteria A dua-duanya dan kriteria B minimal 2 :

Kriteria A

 Rigiditas otot
 Demam

Kriteria B

 Diaphoresis
 Disfagia
 Tremor
 Inkontinensia
 Perubahan kesadaran
 Mutisme
 Takikardi
 Tekanan darah meningkat atau labil
 Leukositosis
 Hasil laboratorium menunjukkan cedera otot

Kriteria C

 Tidak ada penyebab lain (Misal: encephalitis virus)

23
Kriteria D

 Tidak ada gangguan mental

Diagnosis banding dari SNM sangat luas. Hal terpenting sumber infeksi
dari demam harus di singkirkan. Pungsi lumbal harus dipertimbangkan
untuk membedakan SNM dengan encephalitis virus atau
encephalomyelitis post infeksi. SNM harus dibedakan dari sindrom yang
disebabkan oleh pengobatan lain seperti sindrom serotonin dan hipertermi
maligna (Nicholson dan Chiu, 2004).

2.4.7 Diagnosis Banding


 Heat stroke

Pada heat stroke kulit menjadi kering dan lembek akibat hipertermi dan
hipotensi.

 Letal kataton

Letal kataton terjadi pada orang skizoprenia atau episode manik.


Neuroleptik dapat memperbaiki atau memperburuk gejalanya.
Membedakan SNM dan letal kataton sulit, meskipun riwayat pasien
menyatakan episode kataton pada saat pasien tidak meminum
neuroleptik. Letal kataton cenderung eksitasi dan agitasi pada prodormal
sedangkan SNM dimulai dengan rigiditas.

 Sindrom serotonin

Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan


menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis
dan tidak adanya rigiditas berat (Sholevar, 2002).

2.4.8 Penatalaksanaan
Sindrom Neuroleptik Maligna merupakan suatu kegawatdaruratan
neurologi dan dapat menimbulkan kematian jika tidak segera diobati.
Berhubung kasus ini sangat jarang, uji klinis sistematis kasus SNM sulit

24
dilaksanakan sehingga sampai saat ini tidak ada tatalaksana berbasis
bukti (evidence based treatment) (Bhandari, 2013).

1. Terapi Suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan
penggunaan obat-obatan neuroleptik yang diduga memicu timbulnya
sindroma ini. Langkah selanjutnya ialah diberikan terapi suportif (Strawn,
2007; Berman, 2011).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
dan memelihara fungsi organ yaitu:
1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.

2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resusitasi cairan yang


agresif, hemodinamik.

3. Untuk mengendalikan hipertermia antara lain selimut dingin atau es


batu di daerah aksila dan inguinal, antipiretik

4. Screening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thoraks,


analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah (Sholevar,
2006).

2. Terapi Farmakologi
Benzodiazepin dapat diberikan untuk mengurangi gejala Sindrom
Neuroleptik Maligna dan meningkatkan prognosis. Pada kasus Sindrom
Neuroleptik Maligna yang berat dapat diberikan terapi empirik seperti
bromokriptin dan dantrolen. Bromokriptin merupakan suatu agonis
dopamin, sedangkan dantrolene ialah relaksan otot yang bekerja dengan
menghambat pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma. Bromokriptin
berguna untuk membalikkan keadaan hipodopaminergik dan diberikan
secara oral atau via nasogastric tube (NGT), dimulai dengan dosis 2,5 mg
2-3 kali per hari dan dosis ditingkatkan 2,5 mg setiap 24 jam hingga timbul
respon atau hingga dosis maksimal tercapai yaitu 45 mg per hari.
Dantrolene dapat diberikan secara intravena, dimulai dengan dosis awal 1

25
sampai 2,5 mg per kgBB secara bolus, diikuti dengan dosis 1 mg per
kgBB setiap 6 jam hingga dosis maksimal 10 mg per kgBB per hari.
Dantrolene oral diberikan untuk kasus yang lebih ringan atau untuk
tappering down dari dosis intravena setelah beberapa hari dengan dosis
berkisar 50-200 mg per hari (Strawn, 2007; Berman, 2011; Benzer, 2018).

Karena risiko hepatotoksisitas, dantrolene biasanya dihentikan


setelah gejala membaik. Bromokriptin umumnya dipertahankan untuk
setidaknya 10 hari pada kasus Sindrom Neuroleptik Maligna dengan
neuroleptik oral dan setidaknya 2-3 minggu untuk neuroleptik injeksi. Obat
lain yang dapat diberikan ialah golongan benzodiazepin, yang dapat
membantu meringankan agitasi. Terapi tidak boleh dihentikan mendadak
walaupun gejala klinis membaik karena dapat menyebabkan kambuhnya
Sindrom Neuroleptik Maligna. Terapi elektrokonvulsif diberikan kepada
para penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan dan
terapi suportif (Strawn, 2007; Benzer, 2018).

Gambar 1. Tatalaksana SNM (Strawn, 2007)

26
2.4.9 Komplikasi
Komplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna yang paling umum
adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan
akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal,
pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress
respirasi, sepsis, disseminated intravascular coagulation, kejang, infark
myocardial (Hal and Chopman, 2006).

Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena


psikotik yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan
anti psikotik karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten,
kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di hentikan (Sholevar, 2006).

2.4.10 Prognosis
Angka mortalitas kasus Sindroma Neuroleptik Maligna >30%,
namun bila ditangani dengan cepat angka tersebut dapat menurun sampai
10%. Bila dikenali dini dan segera ditatalaksana, biasanya Sindroma
Neuroleptik Maligna tidak berakibat fatal dan sebagian besar penderita
akan sembuh sempurna dalam jangka waktu 2-14 hari. Namun bila
diagnosis dan tatalaksana terlambat, penyembuhan dapat berlangsung
beberapa minggu atau lebih lama, dan penderita yang mampu bertahan
hidup dapat mengalami katatonia residual atau parkinsonism, atau
morbiditas berhubungan dengan komplikasi renal atau kardiopulmonar.
Kematian biasanya disebabkan oleh komplikasi aritmia, DIC, gagal
jantung, gagal napas, dan gagal ginjal (Berman, 2011).

2.4.11 Prevensi
Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari
terjadinya sindrom ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan
memonitor onset efek samping ekstra piramidal. Deteksi awal dan
memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstra piramidal,
terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut
Sindroma Neuroleptik Maligna dan komplikasinya (Nicholson, 2004).

27
2.5 Delirium
2.5.1 Definisi
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang
dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah
laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global.
Kelainan mood, persepsi dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang
umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi dan inkontinensia
urin merupakan gejala neurologis yang umum.
Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak
(beberapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan berfluktuasi
dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan
dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat
bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada
berbagai tingkat usia namun tersering pada usia diatas 60 tahun.
Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi
intensitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4
minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium dengan fluktuasi yang
menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi
progresif kearah dementia

2.5.2 Epidemiologi
Delirium merupakan kelainan yang sering pada :
 sekitar 10 sampai 15 persen adalah pasien bedah dan 15
sampai 25 persen pasien perawatan medis di rumah sakit.
Sekitar 30 persen pasien dirawat di ICU bedah dan ICU
jantung. 40 sampai 50 pasien yang dalam masa penyembuhan
dari tindakan bedah pinggul memiliki episode delirium.
 Penyebab dari pasca operasi delirium termasuk stress dari
pembedahan, sakit pasca operasi, pengobatan anti nyeri,
ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan kehilangan
darah.

28
 Sekitar 20% pasien dengan luka bakar berat dan 30-40 %
pasien dengan sindrom imunodefisiensi didapat (AIDS)
 Usia lanjut merupakan faktor resiko dari terjadinya delirium,
sekitar 30 – 40 persen dari pasien yang dirawat berusia 65
tahun dan memiliki episode delirium

2.5.3 Etiologi
Penyebab utama delirium :
1. Penyakit pada CNS – encephalitis, space occupying lesions,
tekanan tinggi intrakranial setelah episode epilepsi.
2. Demam - penyakit sistemik
3. Intoksikasi dari obat-obatan atau zat toksik
4. Withdrawal alkohol
5. Kegagalan metabolik – kardiak, respiratori, renal, hepatik,
hipoglikemia

2.5.4 Faktor predisposisi


 Demensia
 Obat-obatan multipel
 Umur lanjut
 Kecelakaan otak seperti stroke, penyakit Parkinson
 Gangguan penglihatan dan pendengaran
 Ketidakmampuan fungsional
 Hidup dalam institusi
 Ketergantungan alkohol
 Isolasi sosial
 Kondisi ko-morbid multipel
 Depresi
 Riwayat delirium post-operative sebelumnya

29
2.5.5 Faktor pencetus (presipitasi)
 Penyakit akut berat (termasuk, tetapi tak terbatas kondisi di
bawah ini)
o Infeksi, dll 10-35%
o Intoksikasi obat/racun 22-39%
o Withdrawal benzodiazepin
o Withdrawal alkohol ± defisiensi thiamin
o Ensefalopati metabolik (25%)
o Asam basa dan gangguan elektrolit
o Hipoglikemia
o Hipoksia atau hiperkapnia
o Gagal hepar/ginjal
 Polifarmasi
 Bedah dan anestesi
 Nyeri post op yang tak dikontrol baik
 Neurologis 8% (anoksia, stroke, epilepsi, dll)
 Perubahan dari lingkungan keluarga
 'sleep deprivation'
 Albumin serum rendah
 Demam/hipothermia
 Hipotensi perioperati
 Pengekangan fisik
 Pemekaian kateter terus menerus
 Kardiovaskular 3%
 Tak ditemukan penyebab 10%

2.5.6 Medikasi terkait delirium


Beberapa jenis obat-obatan, baik yang resmi dan terlarang dapat
menyebabkan delirium, antara lain :
1. Sedatif hipnotik

30
a. Benzodiazepin
b. Kloralhidrat, barbiturat
c. Anti kolinergik
d. benztropin, oksibutirin
2. Antihistamin misal difenhidramin
3. Antispasmodik misal : belladona, propanthelin
4. Fenothiazin misal: thioridazin
5. Antidepresan trisklik
6. Antiparkinson misal levodopa, amantadin, pergolid,
bromokriptin
7. Analgetik misal opiat (khususnya pethidin), jarang :
NSAID,aspirin
8. Obat anestesi
9. Antipsikotik, khususnya beefek antikolinergik, misal klozapin
10. Steroid : dapat tergantung dosis
11. Antagonis histamin- 2, khususnya simetidin, tetapi juga
golongan ranitidin.
12. Antibiotik:aminoglikosid, penicillin, sefalosporin, sulfonamid dan
beberapa flurokuinolon seperti siprofloksasin.
13. Obat kardiovaskuler dan antihipertensi, kinin, digoxin
(padakadar normal), amiodaron, propanolol, methiodopa
14. Antikonvulsan : fenitoin, karbamazepin, valproat, pirimidin,
klonazzepam, klobazam.
15. Lain-lain : lithium, flunoksilin, metoclopramid, imunosupresan.

2.5.7 Patofisiologi
Tanda dan gejala delirium merupakan manifestasi dari
gangguan neuronal, biasanya melibatkan area di korteks serebri
dan reticular activating sistem. Dua mekanisme yang terlibat
langsung dalam terjadinya delirium adalah pelepasan
neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik dan
dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal. Aktivitas yang

31
berlebih dari neuron kolinergik muskarinik pada reticular activating
sistem, korteks, dan hipokampus berperan pada gangguan fungsi
kognisi (disorientasi, berpikir konkrit, dan inattention) dalam
delirium. Peningkatan pelepasan dopamin serta pengambilan
kembali dopamin yang berkurang misalnya pada peningkatan
stress metabolik. Adanya peningkatan dopamin yang abnormal ini
dapat bersifat neurotoksik melalui produksi oksiradikal dan
pelepasan glutamat, suatu neurotransmiter eksitasi. Adanya
gangguan neurotransmiter ini menyebabkan hiperpolarisasi
membran yang akan menyebabkan penyebaran depresi membran.
Berdasarkan tingkat kesadarannya, delirium dapat dibagi tiga:
1. Delirium hiperaktif
Ditemukan pada pasien dalam keadaan penghentian alkohol
yang tiba-tiba, intoksikasi Phencyclidine (PCP), amfetamin, dan
asam lisergic dietilamid (LSD)
2. Delirium hipoaktif
Ditemukan pada pasien Hepatic Encefalopathy dan hiperkapnia
3. Delirium campuran

Mekanisme delirium belum sepenuhnya dimengerti. Delirium dapat


disebabkan oleh gangguan struktural dan fisiologis. Hipotesis
utama adalah adanya gangguan yang irreversibel terhadap
metabolisme oksidatif otak dan adanya kelainan multipel
neurotransmiter.
Asetilkolin
Obat-obat anti kolinergik diketahui sebagai penyebab
keadaan acute confusional states dan pada pasien dengan
gangguan transmisi kolinergik seperti pada penyakit Alzheimer.
Pada pasien dengan post-operative delirium, aktivitas serum
anticholonergic meningkat.
Dopamin

32
Diotak terdapat hubungan reciprocal antara aktivitas
kolinergic dan dopaminergic. Pada delirium, terjadi peningkatan
aktivitas dopaminergic
Neurotransmitter lain
Serotonin: ditemukan peningkatan serotonin pada pasien hepatic
encephalopathy dan sepsis delirium. Agen serotoninergic seperti
LSD dapat pula menyebabkan delirium. Cortisol dan
betaendorphins: pada delirium yang disebabkan glukokortikoid
eksogen terjadi gangguan pada ritme circadian dan beta-endorphin.
Mekanisme inflamasi
Mekanisme inflamasi turut berperan pada patofisiologi
delirium, yaitu karena keterlibatan sitokoin seperti intereukin-1 dan
interleukin-6, Stress psychososial dan angguan tisur berperan
dalam onset delirium
Mekanisme struktural
Formatio retikularis batang otak adalah daerah utama yang
mengatur perhatian kesadaran dan jalur utama yang berperan
dalam delirium adalah jalur tegmental dorsalis yang keluar dari
formatio reticularis mesencephalic ke tegmentum dan thalamus.
Adanya gangguan metabolik (hepatic encephalopathy) dan
gangguan struktural (stroke, trauma kepala) yang mengganggu
jalur anatomis tersebut dapat menyebabkan delirium.

2.5.8 Prognosis
Setelah identifikasi dan menghilangkan faktor penyebab,
gejala delirium biasanya menghilang dalam periode 3-7 hari,
walaupun beberapa gejala mungkin membutuhkan waktu sampai 2
minggu untuk menghilang secara lengkap. Semakin lanjut usia
pasien dan semakin lama pasien mengalami delirium semakin lama
waktu yang diperlukan bagi delirium untuk menghilang. Ingatan
tentang apa yang dialami selama delirium, jika delirium telah
berlalu, biasanya hilang timbul, dan pasien mungkin

33
menganggapnya sebagai mimpi buruk, sebagai pengalaman yang
mengerikan yang hanya diingat secara samar-samar.

BAB 3

KESIMPULAN
Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang memerlukan
intervensi psikiatrik segera, dimana kita bisa mendapatkannya di tempat
seperti rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Lalu
ada beberapa keadaan yang termasuk kedaruratan seperti kondisi gaduh
gelisah, tindak kekerasan, percobaan bunuh diri, gejala ekstrapiramidal
akibat obat, delirium.

Gaduh gelisah merupakan suatu keadaan tertentu, suatu sindrom


dengan beberapa gejala, bisa disebabkan gangguan organik, skizofrenia
dll, pasien gaduh gelisah juga harus dipantau karena memiliki
kemungkinan melakukan tindak kekerasan, untuk penanganannya pasien
juga diperiksa untuk menyingkirkan ganguan organic, kemudian bisa
diberi neuroleptikum untuk menurukan psikomotorik.

Tindak Kekerasan adalah agresi fisik, bisa pada diri sendiri maupun
orang lain, bisa timbul akibat gangguan psikiatri. Penanganan pada pasien
tindak kekerasan adalah mencagah kekerasan itu terjadi, bisa dengan
menjaga diri dan waspada tanda-tanda kekerasan, bisa juga dengan
mengikat pasien dan pemberian obat seperti antipsikotik.

34
Bunuh diri adalah kematian yang direncanakan pada diri sendiri,
kita harus mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri seperti pernah
ada usaha bunuh diri dan menyatakan niatnya terang-terangan dan
sebagainya, pada pasien seperti ini biasanya kita temukan di IGD karena
sudah ada usaha bunuh diri mangkanya kita harus mengobati lukanya
terlebih dahulu, lalu dilakukan wawancara untuk menggali penyebabnya,
lalu untuk pengobatannya lebih disarankan untuk dilakukan rawat inap,
dan pemberian obatnya tergantung penyebabnya dan bila memberi obat
disarankan sedikit-sedikit agar pasien dapat kontrol tiap beberapa hari
sekali.

SNM (Sindroma Neuroleptik Maligna) merupakan Sindrom akibat


penggunaan obat anti psikotik, hal ini sering terjadi pada penggunaan
haloperidol dan chlorpromazine, Mekanisme pastinya belum diketahui,
tetapi hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade
dopamin yang menyebabkan SNM. Untuk terapi pada kasus ini dapat
diberikan terapi suportif dan untuk terapi farmako bisa diberi
benzodiazepine

Delirium adalah gangguan kognitif dan tingkah laku, biasanya


mendadak, dan merupakan manifestasi dari gangguan neuronal sehingga
terjadi pelepasan neurotransmiter yang berlebihan (kolinergik muskarinik
dan dopamin) serta jalannya impuls yang abnormal. Penanganannya
harus mencari penyebabnya dan menanganinya, prognosisnya semakin
tua usia maka penanganannya semakin lama.

35
DAFTAR PUSTAKA

Benzer, Theodore, 2018, Neuroleptic Malignant Syndrome,


http://www.emedicine.com (diakses pada 23 Maret 2020).

Berman, BD, 2011, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Review for


Neurohospitalists, Neurohospitalist Volume 1, No.1. Page 41-47.

Bhandari, G, 2013, Neuroleptic Malignant Syndrome. Chapter 118.


www.apiindia.org/medicine_ update_2013/chap118.pdf. (diakses
pada 23 Maret 2020).

Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,


http:://www.turner-white.com

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the
Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors,
Pathophysiology, and Treatment, Clinical Geriatry Vol 14 No. 5,
John Hopskins Medicine. Page 39-45.

Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook


of Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-
67.

Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic


Malignant Syndrome, Hospital Physician.

Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndrome,


Geriatrics August 2004 Volume 59, No.8. Page 38-40.

36
Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem,
Geriatrics August 2004 Volume 59, Number 8

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition.
New York: Lippincott Williams & Wilkins.

Sholevar, DP., 2002, Neuroleptic Malignanat Syndrome,


http://www.emedicine.com

Sholevar, DP., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome,


http://www.emedicine.com (diakses pada 23 Maret 2020).

Strawn, JR., Keck, PE., Caroff, SN., 2007, Neuroleptic Malignant


Syndrome, American Journal of Psychiatry, Volume 164, No.6.
Page 870-875.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

37

Anda mungkin juga menyukai