Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320514510

PENGARUH KONDISI KEUANGAN, REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE, DAN


CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENERIMAAN OPINI AUDIT GOING
CONCERN

Conference Paper · March 2012

CITATIONS READS

0 2,803

3 authors, including:

Irine Herdjiono Evelyn Setiawan


Musamus University Petra Christian University
10 PUBLICATIONS   36 CITATIONS    8 PUBLICATIONS   17 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Entrepreneurship Intention and Social Cognitive Theory View project

All content following this page was uploaded by Evelyn Setiawan on 20 October 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGARUH KONDISI KEUANGAN, REPUTASI AUDITOR, DISCLOSURE,
DAN CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENERIMAAN OPINI AUDIT
GOING CONCERN

Novialina
Maria V. Irene
Evelyn Setiawan
Program Studi Akuntansi Universitas Pelita Harapan Surabaya

Abstrak
Masalah going concern merupakan hal yang kompleks dan terus ada. Prediksi
apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya
sangat penting untuk diketahui dan dipahami oleh auditor, investor, dan pengguna laporan
keuangan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh
kondisi keuangan, reputasi auditor, disclosure, dan corporate governance terhadap
penerimaan opini audit going concern. Sampel penelitian sebanyak 35 perusahaan dan
dipilih melalui metode purposive sampling pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2007 sampai dengan 2010. Pengujian hipotesis
menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan yang diproksikan
dengan Z Score Altman berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going
concern. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik kondisi keuangan perusahaan
maka semakin kecil kemungkinan perusahaan tersebut menerima opini audit going
concern dari auditor dan semakin buruk kondisi keuangan perusahaan, maka akan
semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor.
Reputasi auditor, disclosure, kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit tidak
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.

Kata kunci: opini audit going concern, kondisi keuangan, reputasi auditor, disclosure,
kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit.

Pendahuluan
Pasca krisis moneter 1997 yang menyebabkan memburuknya kondisi ekonomi
Indonesia, membuat sektor riil terutama industri manufaktur nasional harus berusaha
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Faktor eksternal seperti meningkatnya
harga energi, pemberian insentif yang tidak terarah, ketidakpastian hukum, kebijakan
perburuhan yang membuat produktivitas rendah serta makin ketatnya persaingan di pasar
global membuat sektor industri nasional semakin terpuruk. Keterpurukan ekonomi ini
dapat menyebabkan kinerja perusahaan terlihat sangat buruk. Kondisi perusahaan yang
memburuk dapat mempengaruhi investor dan kreditur yang akan berinvestasi di
perusahaan tersebut. Oleh karena itu, auditor perlu mengungkapkan isu-isu yang sedang
dihadapi oleh suatu entitas bisnis untuk kepentingan pihak eksternal.
Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang dapat mengancam
kelangsungan hidup perusahaan, misalnya manipulasi dan kejahatan akuntansi yang
dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. Akibat dari adanya kejahatan tersebut, para
pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mulai mempertanyakan kembali
eksistensi akuntan publik sebagai pihak indepeden yang menilai kewajaran laporan
keuangan perusahaan. Peristiwa manipulasi akuntansi ini pernah terjadi pada beberapa
perusahaan besar di Amerika, seperti Enron dan WorldCom yang melibatkan KAP Arthur
Andersen. Dalam kasus Enron, perusahaan tersebut menerima opini wajar tanpa
pengecualian sebelum terjadi kebangkrutan (Tucker et al., 2003). Fakta ini memunculkan
pertanyaan, mengapa perusahaan yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian
dapat berhenti beroperasi dalam waktu singkat.

1
2

Praktik manipulasi ini memberi dampak negatif terhadap kelangsungan hidup


(going concern) suatu entitas dan aktivitas bisnis. Jika praktik manipulasi yang dilakukan
oleh pihak manajemen terungkap, maka akan menimbulkan kerugian bagi pihak
manajemen perusahaan dan semua pihak yang terkait seperti auditor, analis, kreditur, dan
debitur. Manajemen diharapkan memiliki integritas dan kesadaran yang tinggi dalam
menyajikan laporan keuangan yang wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum.
Going concern adalah kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya selama periode waktu pantas, yaitu tidak lebih dari satu tahun
sejak tanggal laporan keuangan auditan (SPAP, 2001:341). Opini audit going concern
merupakan kesimpulan yang diambil oleh auditor bahwa terdapat ketidakpastian atas
kelangsungan hidup perusahaan, dengan mempertimbangkan permasalahan-permasalahan
yang sedang dihadapi oleh perusahaan tersebut (Arens et al., 2003:74). Opini audit going
concern ini biasanya diungkapkan dalam explanatory paragraph di laporan auditor
independen, dengan merujuk pada keterangan yang terdapat pada catatan atas laporan
keuangan perusahaan.
Opini audit going concern yang diberikan oleh auditor bagi suatu entitas bisnis
sangatlah penting. Pemberian opini audit going concern yang tidak diharapkan oleh
perusahaan, berdampak pada kemunduran harga saham, kesulitan dalam meningkatkan
modal pinjaman, ketidakpercayaan investor, kreditur, pelanggan, dan karyawan terhadap
manajemen perusahaan. Faktor-faktor yang mendorong auditor mengeluarkan opini audit
going concern penting untuk diketahui, karena faktor-faktor inilah yang akan menjadi
salah satu pertimbangan bagi pihak manajemen dalam menyajikan laporan keuangan
yang sesuai dengan asumsi going concern. Oleh karena itu, penelitian ini menguji lima
faktor yang nantinya akan dilihat pengaruhnya terhadap penerimaan opini audit going
concern. Faktor-faktor tersebut adalah faktor keuangan yaitu kondisi keuangan, faktor
non keuangan yaitu reputasi auditor dan disclosure, dan faktor corporate governance
yaitu kepemilikan manajerial dan keberadaan komite audit.
Penelitian sebelumnya yang menguji faktor non keuangan pada opini going
concern menyimpulkan bahwa tiga variabel non keuangan (tenure, reputation, dan
disclosure) yang diuji, berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going
concern dan satu variabel non keuangan (size) tidak signifikan terhadap penerimaan
opini audit going concern (Junaidi dan Hartono, 2010). Penelitian Santosa dan Wedari
(2007) yang menguji salah satu faktor keuangan sebagai variable independennya dengan
proksi model kebangkrutan The Altman Model dan The Springate Model menyimpulkan
bahwa kondisi keuangan berpengaruh negatif terhadap kecenderungan penerimaan opini
audit going concern.
Penelitian Carcello dan Neal (2000) menunjukkan bahwa semakin besar
persentase komisaris independen dalam komite audit, semakin kecil kemungkinan auditor
akan mengeluarkan opini audit going concern. Sedangkan Ramadhany (2004)
menunjukkan bahwa komisaris independen dalam komite audit tidak berpengaruh pada
opini going concern. Penelitian Ballesta dan Garcia-Meca (2005), menunjukkan bahwa
perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang lebih besar cenderung tidak menerima
opini yang qualified (wajar dengan pengecualian). Hal ini menunjukkan pengaruh
beberapa variabel dari corporate governance yaitu kepemilikan manajerial dan
keberadaan komite audit memberi dampak negatif terhadap penerimaan opini audit going
concern.
Mengingat banyaknya kasus manipulasi akuntansi yang terjadi secara global
maupun secara khusus di Indonesia, membuat peneliti ingin menguji apa saja faktor yang
menyebabkan suatu entitas menerima opini audit going concern. Begitu besar pengaruh
diberikannya opini audit going concern atas laporan keuangan auditee yaitu hilangnya
kepercayaan publik terhadap manajemen perusahaan dalam mengelola bisnisnya,
3

membuat peneliti tertarik untuk mengkaji sekali lagi mengenai opini audit going concern.
Untuk itu, peneliti mengambil judul ”Pengaruh Kondisi Keuangan, Reputasi Auditor,
Disclosure, dan Corporate Governance Terhadap Penerimaan Opini Audit Going
Concern”.

Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis


Going concern adalah asumsi bahwa perusahaan dapat mempertahankan
kelangsungan hidupnya (going concern), secara langsung akan mempengaruhi laporan
keuangan (Setiawan, 2006). Prediksi tentang kemungkinan bangkrut atau tidaknya suatu
perusahaan termasuk salah satu komponen keputusan tentang going concern. Adanya
going concern akan mengakibatkan suatu entitas dianggap akan mampu mempertahankan
kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek
(Setyarno et al., 2006).
Opini audit going concern merupakan opini yang dikeluarkan auditor untuk
memastikan apakah perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (SPAP,
2001). Seorang auditor mempertimbangkan penerbitan opini audit going concern jika ia
menemukan alasan atas keraguan keberlangsungan suatu perusahaan berdasarkan
pengujian. Audit report dengan modifikasi mengenai going concern mengindikasikan
bahwa dalam penilaian auditor, terdapat resiko perusahaan tidak dapat bertahan dalam
bisnis (Praptitorini dan Januarti, 2007). Oleh karena itu, faktor yang mendorong auditor
mengeluarkan opini going concern penting untuk diketahui, karena opini ini dapat
dijadikan referensi investor berkaitan dengan investasinya (Junaidi dan Hartono, 2010).

Pengaruh kondisi keuangan terhadap penerimaan opini audit going concern.


Kondisi keuangan perusahaan menggambarkan kondisi kesehatan perusahaan
yang sebenarnya. McKeown et al. (1991) membuktikan bahwa auditor hampir tidak
pernah mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan yang tidak mengalami
kesulitan keuangan. Carcello dan Neal (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
semakin kondisi keuangan terganggu atau memburuk, maka akan semakin besar
perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor. Pendapat tersebut juga
didukung oleh Setyarno et al. (2007), Santosa dan Wedari (2007), serta Rudyawan dan
Badera (2009) yang menyatakan bahwa semakin baik kondisi keuangan perusahaan
semakin kecil kemungkinan auditor memberikan opini audit going concern.
Altman dan McGough (1974) menemukan bahwa tingkat prediksi kebangkrutan
dengan menggunakan suatu model prediksi mencapai tingkat keakuratan 82% dan
menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu auditor untuk
memutuskan kemampuan perusahaan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Fanny
dan Saputra (2005) menemukan bahwa penggunaan model prediksi kebangkrutan yang
dikembangkan oleh Altman mempengaruhi ketepatan pemberian opini audit.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Santosa dan Wedari (2007), dalam
penelitian ini digunakan satu model prediksi kebangkrutan untuk mengukur kondisi
keuangan perusahaan yaitu Revised Altman Model (1993). Kebangkrutan biasanya
dihubungkan dengan kesulitan keuangan, yaitu kondisi dimana kondisi keuangan
perusahaan tidak sehat, yang diukur dengan Z Score. Total Z Score diperoleh dari
perhitungan lima kategori rasio keuangan yaitu liquiditas, profitabilitas, leverage, rasio
uji pasar dan aktivitas yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
mempertahankan kelangsungan usahanya. Kriteria skor dengan menggunakan model
prediksi revisi Z Score Altman, sebagai proksi kondisi keuangan perusahaan, maka
perusahaan dengan Z Score rendah berpotensi besar menerima opini audit going concern
dari auditor, sedangkan perusahaan dengan Z Score yang tinggi tidak berpotensi
menerima opini going concern dari auditor. Saat kondisi keuangan perusahaan dianggap
baik oleh auditor, maka auditor yakin bahwa perusahaan tersebut mampu
4

mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam beberapa periode ke depan, sehingga


auditor tidak akan memberikan opini audit going concern pada perusahaan tersebut.
H1: Kondisi keuangan perusahaan berpengaruh terhadap penerimaan opini audit
going concern.

Pengaruh reputasi auditor terhadap penerimaan opini audit going concern.


Ramadhany (2004) menyatakan bahwa perusahaan audit skala besar memiliki
insentif yang lebih untuk menghindari kritikan kerusakan reputasi dibandingkan pada
perusahaan audit skala kecil. Perusahaan audit skala besar juga lebih cenderung untuk
mengungkapkan masalah-masalah yang ada pada kliennya, karena mereka cenderung
lebih kuat menghadapi resiko proses pengadilan (Susanto, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Komalasari (2004) mengenai kualitas auditor yang
diproksikan dengan skala auditor (besaran KAP) diperoleh hasil bahwa auditor yang
berkualitas lebih cenderung mempengaruhi auditor dalam memberikan opini audit dengan
going concern berhasil ditolak. Hasil penelitian Komalasari (2004) selaras dan konsisten
dengan penelitian Setyarno et al. (2006), Santosa dan Wedari (2007) dan Ramadhany
(2004). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang menggunakan jasa KAP besar yang
bereputasi tidak dapat menentukan apakah perusahaan akan mendapat opini audit going
concern atau tidak. KAP Big Four atau tidak, akan selalu bersikap obyektif dalam
memberikan pendapat pada kliennya.
Penelitian Rahayu (2007) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu reputasi auditor
mempengaruhi pemberian opini audit going concern. KAP big four cenderung
memberikan opini audit going concern daripada KAP non big four. Selaras dengan
penelitian Geiger dan Rama (2006) dan Junaidi dan Hartono (2010) yang menunjukkan
bahwa reputasi auditor mempengaruhi opini going concern. Hasil penelitian ini
menunjukkan semakin besar dan semakin baik reputasi auditor maka auditor akan
semakin independen dan semakin berani menyatakan masalah-masalah yang dihadapi
oleh kliennya, sehingga auditor akan semakin berani memberikan opini audit going
concern pada klien yang bermasalah.
H2: Reputasi auditor berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern

Pengaruh disclosure terhadap penerimaan opini audit going concern.


Disclosure merupakan sarana pencapaian efisiensi dan sebagai sarana
akuntabilitas publik yang signifikan. Dye (1991) menyatakan bahwa pengungkapan
informasi dapat membantu dalam memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
kegiatan perusahaan dan dengan demikian mengurangi konflik antara investor dan
manajemen. Adanya pengungkapan yang memadai dalam laporan keuangan perusahaan,
diharapkan mampu menjadi pedoman bagi pengguna laporan keuangan untuk
pengambilan keputusan.
Lennox (2000) menyebutkan bahwa, pemimpin perusahaan lebih sering tidak
mengungkapkan informasi bad news mengenai perusahaan, ketika auditor memberikan
opini unqualified. Krishnan dan Zhang (2005) berpendapat bahwa disclosure yang
memadai atas informasi laporan keuangan dapat mengurangi litigation risk. Litigation
risk adalah resiko litigasi atau yang berkenaan dengan peradilan. Litigasi adalah proses
gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik
sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua
pilihan yang bertentangan.
Dalam penelitiannya, mereka menemukan bukti bahwa perusahaan yang
melakukan pengungkapan sesuai dengan standar pengungkapan cenderung menerima
clean opinion. Gaganis dan Pasiouras (2007) menemukan bukti bahwa perusahaan yang
mengungkapkan lebih sedikit informasi akuntansi cenderung menerima opini unqualified
dari auditor eksternal. Adanya pengungkapan yang cukup (adequate disclosure), akan
menunjukkan bahwa kondisi kelangsungan hidup perusahaan dalam kondisi yang baik,
5

sehingga auditor tidak akan memberikan opini audit going concern pada perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H3: Disclosure berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern

Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap penerimaan opini audit going concern.


Pemegang saham mayoritas dalam suatu perusahaan memiliki bagian
kepentingan yang besar dalam perusahaan. Adanya kepentingan yang besar membuat
pemegang saham mayoritas dapat lebih mengawasi perusahaan dengan lebih baik dan
mencegah manajemen melakukan tindakan yang tidak efisien. Kepemilikan manajerial
adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer
tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Christiawan dan Tarigan, 2007).
Jensen dan Meckling (1976) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi
mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan
kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham.
Penelitian ini diharapkan mampu menunjukkan bahwa kepentingan manajer
dengan pemegang saham eksternal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer
diperbesar sehingga manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya dan
manajer akan semakin meningkatkan kinerjanya terhadap perusahaan. Hal ini akan
berdampak pada kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Saat kinerja perusahaan baik,
maka kelangsungan hidup perusahaan juga akan semakin baik sehingga perusahaan tidak
akan mendapatkan opini audit going concern dari auditor.
H4: Proposi kepemilikan manajerial yang lebih besar berpengaruh terhadap
penerimaan opini audit going concern

Pengaruh keberadaan komite audit terhadap penerimaan opini audit going concern.
Keberadaan komite audit sangat penting untuk menjaga agar auditor bisa tetap
menjadi pihak yang independen saat memberikan opini kepada kliennya. Komite audit
juga berfungsi untuk meredakan tekanan yang dilakukan oleh pihak manajemen terhadap
auditor untuk menghasilkan opini wajar tanpa pengecualian. Komite audit dianggap
sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak
manajemen dalam menangani masalah pengendalian (Nasution dan Setiawan, 2007).
Keberadaan komite audit berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam
mengawasi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan (Mayangsari, 2004).
Adanya pengawasan dari komite audit, membuat pihak manajemen akan lebih berhati-
hati dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Adanya fungsi kontrol yang dilakukan oleh
komite audit, maka manajemen akan membuat laporan keuangan yang menggambarkan
kondisi perusahaan yang sebenarnya, sehingga kelangsungan hidup perusahaan akan
semakin baik dan perusahaan tidak akan mendapat opini audit going concern dari auditor.
H5: Keberadaan komite audit berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going
concern.

Metode Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di
BEI yang bergerak dalam bidang manufaktur pada tahun 2007 sampai dengan tahun
2010, yang dipilih dengan metode purposive sampling. Dalam purposive sampling,
pemilihan kelompok subyek didasarkan pada ciri atau sifat yang dipandang memiliki
sangkut paut yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.
Metode ini dipandang dapat memberikan data secara maksimal karena dapat mewakili
populasi dan tidak menimbulkan bias bagi tujuan peneliti. Sampel dipilih dengan kriteria
sebagai berikut:
6

Pemilihan Sampel Perusahaan Periode 2007 – 2010


Jumlah
No. Keterangan Perusahaan
1 Perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam BEI 115
2 Perusahaan yang tidak menerbitkan laporan keuangan
selama periode 2007 – 2010 -16
3 Perusahaan yang mengalami rugi bersih setelah
pajak selama periode 2007 – 2010 -61
4 Perusahaan yang tidak menggunakan mata uang rupiah -3
Total perusahaan yang terpilih sebagai sampel 35
Sumber: data diolah

Definisi operasional dan pengukuran dari variabel-variabel yang digunakan


dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Opini audit going concern
Opini audit going concern adalah opini yang dikeluarkan auditor untuk memastikan
apakah perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (SPAP, 2001).
Opini audit diukur dengan menggunakan variabel dummy yang bernilai 1 untuk
perusahaan manufaktur yang menerima opini audit going concern dan bernilai 0
untuk perusahaan manufaktur yang tidak menerima opini audit going concern.
2. Kondisi keuangan
Kondisi keuangan adalah gambaran atas kinerja sebuah perusahaan. Kondisi
keuangan diukur dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan Revised Altman
Model (1993) yang biasanya disebut dengan istilah Z score. Model revisi Altman
adalah sebagai berikut (Arga dan Linda, 2007):
Z = 0,717Z1 + 0,84Z2 + 3,107Z3 + 0,420Z4 + 0,998Z5
Keterangan:
Z1 = working capital/ total assets
Z2 = retained earnings/ total assets
Z3 = earnings before interest and taxes/ total assets
Z4 = book value of equity/ book value of debt
Z5 = sales/ total assets
Nilai Z diperoleh dengan menghitung kelima rasio tersebut berdasarkan data pada
neraca dan laporan laba rugi dikalikan dengan koefisien masing-masing rasio
kemudian dijumlahkan dengan hasilnya. Berdasarkan nilai Z tersebut, apabila nilai Z
di atas 2.9 maka perusahaan digolongkan sebagai perusahaan yang sehat dan diberi
nilai 1; nilai diantara 1.81 sampai dengan 2.9 maka kondisi perusahaan tidak
diketahui sehat atau tidak dan diberi nilai 0; nilai di bawah 1.81 maka perusahaan
digolongkan sebagai perusahaan tidak sehat dan diberi nilai -1 (Altman, 1968).
3. Reputasi Auditor
Reputasi auditor merupakan prestasi dan kepercayaan publik yang disandang oleh
auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut. Auditor yang memiliki
reputasi baik akan cenderung mempertahankan kualitas auditnya agar reputasinya
tetap terjaga dan tidak kehilangan klien. Variabel reputasi auditor diproksikan
dengan skala Kantor Akuntan Publik (KAP) (Mutchler, 1986) dan diukur dengan
menggunakan variabel dummy. KAP yang mengaudit laporan keuangan perusahaan
dinilai berdasarkan reputasi KAP tersebut. Peneliti memberikan nilai 1 jika KAP
tersebut termasuk dalam the big four accounting firm yaitu KAP PWC
(PricewaterHouse Cooper), Deloitte Touche Tohmatsu, Ernst & Young, dan KPMG
dan 0 jika tidak termasuk dalam the big four accounting firm.
7

4. Disclosure
Disclosure adalah pengungkapan informasi keuangan mengenai konsistensi
penggunaan metode akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan, kebijakan-
kebijakan perusahaan, kerjasama perusahaan dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa perusahaan, serta kejadian setelah tanggal neraca dalam hal
pemberian opini audit going concern.
Variabel ini diukur dengan menggunakan indeks, dimana peneliti akan melihat dari
pengungkapan atas informasi keuangan perusahaan dibandingkan dengan jumlah
yang seharusnya diungkapkan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan BAPEPAM
SE-02/PM.2002. Hal ini dikarenakan peneliti ingin melihat seberapa besar jumlah
item pengungkapan wajib laporan keuangan berpengaruh terhadap penerimaan opini
audit going concern. Misal jumlah item yang dijadikan pedoman kelengkapan
pengungkapan 68, sedangkan yang dipenuhi perusahaan dalam laporan tahunan nya
adalah 50, maka indeksnya sebesar 50/68=0.735. Jadi rumusnya adalah:
n
Indeks = k
Keterangan:
n= jumlah butir pengungkapan yang mampu dipenuhi
k= jumlah semua butir pengungkapan yang harus dipenuhi
Jika butir yang diungkapkan pada perusahaan yang tertera pada scoring instrument
ada, maka yang didapat adalah 1, sedangkan jika tidak ada, maka diberi skor 0.
5. Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan
atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham
perusahaan (Christiawan dan Tarigan, 2007). Kepemilikan manajerial diukur dengan
menggunakan skala rasio melalui persentase jumlah saham yang dimiliki pihak
manajemen dari seluruh jumlah saham yang beredar.
Jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen
KPMJ = Tota l modal saham yang beredar
6. Keberadaan Komite Audit
Komite audit menurut Kep. 29/PM/2004 merupakan komite yang dibentuk oleh
dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan.
Keberadaan komite audit diukur dengan menggunakan variabel dummy, dimana
bernilai 1 jika dalam perusahaan terdapat komite audit; bernilai 0 jika sebaliknya.
Untuk menguji hipotesis, menggunakan variabel-variabel yang dimodelkan
sebagai berikut:
GC = α + β1(ALT) + β2(REP) + β3(DISC) + β4( ) + β5( )
Keterangan:
GC : Opini audit going concern.
: Kondisi keuangan perusahaan.
: Reputasi Auditor.
: Disclosure.
MANown : Kepemilikan manajerial.
: Keberadaan komite audit.
Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi logistik karena dalam
penelitian ini variabel dependen diukur dengan menggunakan variabel dummy, sehingga
peneliti memilih menggunakan alat uji tersebut untuk mengetahui pengaruh dari 4
variabel independen yaitu kondisi keuangan, reputasi auditor, disclosure dan corporate
governance.
8

Analisis Data dan Pembahasan


Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif berfungsi untuk mengetahui karakteristik data penlitian yang
digunakan dalam penelitian. Tabel 4.2 menampilkan hasil pengujian statistik deskriptif
untuk variabel dependen dan variabel independen dalam penelitian.
Tabel Descriptive Statistics
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
GC 140 0 1 .29 .038 .453
ALT 140 -1 1 -.58 .057 .669
REP 140 0 1 .33 .040 .471
DISC 140 .4559 .7059 .5770 .00418 .0495
140 .0000 .7000 .040647 .0121784 .1440972
AC 140 0 1 .59 .042 .494
Valid N
140
(listwise)
Sumber: data diolah
Tabel Klasifikasi Perusahaan berdasarkan Opini Auditor
Opini Audit Total
Going Concern 40
Non Going Concern 100
Jumlah Data
Penelitian 140
Sumber: data diolah
Tabel Klasifikasi Perusahaan berdasarkan Reputasi Auditor
Reputasi Auditor Total
KAP Big Four 46
KAP Non Big Four 94
Jumlah Data Penelitian 140
Sumber: data diolah
Tabel Klasifikasi Perusahaan berdasarkan Keberadaan Komite Audit
Komite Audit Total
Ada Komite Audit 82
Tidak Ada Komite
Audit 58
Jumlah Data Penelitian 140
Sumber: data diolah
Hasil pengujian menunjukkan jumlah sampel (N) penelitian sebanyak 140 yang
merupakan laporan keuangan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI
selama periode 2007 – 2010 dan memenuhi kriteria yang ditetapkan. Variabel kondisi
keuangan yang diproksikan dengan Z Score menunjukkan bahwa nilai Z Score minimum
yang dihasilkan adalah sebesar -1 dan nilai Z Score maksimum adalah 1. Rata-rata nilai Z
Score perusahaan yang menerima opini audit going concern adalah sebesar -0,58.
Disclosure yang diukur dengan menggunakan indeks pengungkapan, menunjukkan
bahwa nilai minimum yang dihasilkan adalah 0,4559 dan nilai maksimum yang
dihasilkan adalah 0,7059. Nilai rata-rata disclosure adalah 0,5770. Kepemilikan
manajerial yang diukur dengan menghitung jumlah proporsi saham yang dimiliki oleh
pihak manajemen dibandingkan dengan jumlah saham yang beredar menunjukkan nilai
9

minimum yang dihasilkan adalah 0,00 dan nilai maksimumnya adalah 0,70. Hal ini
menunjukkan proporsi kepemilikan saham terbesar yang dimiliki oleh pihak manajemen
perusahaan sebesar 0,70 atau 70%.
Variabel dependen yaitu going concern dapat dilihat pada tabel 4.3 dan variabel
independen yaitu reputasi auditor pada tabel 4.4 dan keberadaaan komite audit pada tabel
4.5 tidak diikutsertakan dalam perhitungan statistik deskriptif karena variabel-variabel
tersebut diukur dengan menggunakan dummy variabel (mempunyai skala nominal). Skala
nominal merupakan skala pengukuran kategori atau kelompok (Ghozali, 2006). Angka ini
hanya berfungsi sebagai label kategori semata tanpa nilai intrinsik. Oleh sebab itu
tidaklah tepat menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi dari variabel tersebut
(Ghozali, 2006).

Hasil Pengujian Kualitas Data


Kelayakan model regresi logistik dinilai dengan menggunakan Goodness of fit
test yang diukur dengan nilai Chi-Square. Probalitas signifikansi yang diperoleh
kemudian dibandingkan dengan tingkat signifikansi (α) 5%. Hipotesis untuk menilai
kelayakan model regresi adalah sebagai berikut:
H0: Tidak ada perbedaan antara model dengan data
Ha: Ada perbedaan antara model dengan data
Hosmer and Lemeshow Test
Chi-square Df Sig.
6.372 8 .606
Sumber: data diolah
Tabel 4.6 menunjukkan hasil pengujian Hosmer dan Lemeshow Test. Probabilitas
signifikansi menunjukkan angka 0,606. Angka tersebut menunjukkan bahwa H0 tidak
dapat ditolak (diterima) karena hasil pada output Hosmer and Lemeshow Goodness-of-Fit
Test mengindikasikan bahwa nilai signifikansinya lebih dari 0,05. Hal ini berarti model
regresi layak untuk digunakan dalam analisis selanjutnya, karena tidak ada perbedaan
yang nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati. Dapat
dikatakan bahwa model mampu memprediksi nilai observasinya.
Iteration History
Iteration -2 Log likelihood Coefficients
Constant Constant
1 167.616 -.857
2 167.515 -.916
3 167.515 -.916
Sumber: data diolah
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square Df Sig.
Step 33.731 5 .000
Block 33.731 5 .000
Model 33.731 5 .000
Sumber: data diolah
Pengujian overall model fit dilakukan untuk mengetahui apakah model fit dengan
data, baik sebelum dan sesudah variabel bebas dimasukkan ke dalam model. Nilai -2 Log
Likelihood adalah sebesar 167.515 yang akan dibandingkan dengan nilai Chi-Square pada
taraf signifikansi 0,05. Nilai df sebesar N-1 dengan N adalah jumlah sampel, berarti 140 –
1 = 139. Pada tabel Chi-Square diperoleh nilainya adalah 33.731. Jadi -2 Log Likelihood
> Chi-Square tabel yang berarti bahwa model dengan konstanta sudah layak.
10

Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar variabilitas


variabel-variabel independen mampu memperjelas variabilitas variabel dependen.
Besarnya nilai koefesien determinasi pada model regresi logistik ditunjukkan oleh nilai
Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square dapat diinterpretasikan seperti nilai R
Square pada regresi berganda (Ghozali, 2006).
Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square


1 133.785(a) .214 .307
Sumber: data diolah
Hasil output pada tabel 4.9 menunjukkan nilai Nagelkerke R Square sebesar
0,307. Nilai 0,307 menunjukkan bahwa kelima variabel bebas mampu menjelaskan
varians penerimaan opini audit going concern sebesar 30,7% dan sisanya yaitu sebesar
69,3% dijelaskan oleh faktor lain.

Hasil Pengujian Hipotesis


Classification Table
Observed Predicted
GC Percentage Correct
Non going
concern Going concern
Non going concern 97 3 97.0
Going concern 38 2 5.0
Overall Percentage 70.7
Sumber: data diolah
Matrik klasifikasi menunjukkan kekuatan prediksi dari model regresi untuk
memprediksi kemungkinan penerimaan opini audit going concern pada perusahaan
manufaktur. Kemampuan prediksi model secara keseluruhan adalah sebesar 70,7%
dengan tingkat prediksi perusahaan yang menerima opini audit non going concern
sebesar 97%, yaitu sebanyak 97 perusahaan dari 100 perusahaan yang mampu diprediksi
untuk menerima opini audit non going concern. Tingkat prediksi perusahaan yang
menerima opini audit going concern sebesar 5%, yaitu sebanyak 2 perusahaan dari total
40 perusahaan. Tingkat prediksi model dapat dilihat pada tabel 4.10.
Variables in the Equation
B Sig.
Step 1 ALT -2.868 .005
REP -.218 .679
DISC -1.527 .742
-18.465 .374
AC -.154 .713
Constant -2.102 .463
Sumber: data diola
Berdasarkan tingkat signifikansi pengujian hipotesis menunjukkan bahwa
hipotesis pertama dengan tingkat signifikansi 0,005 berpengaruh signifikan dengan arah
negatif sebesar 2,868. Hipotesis kedua, ketiga, keempat, dan kelima dengan nilai
signifikansi yang lebih besar dari 0.05 dengan arah negatif tidak berhasil didukung
(ditolak). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis kedua, ketiga, keempat, dan kelima tidak
signifikan atau tidak berpengaruh terhadap variabel terikatnya, yaitu penerimaan opini
audit going concern. Adapun model hipotesisnya adalah:
11

GC = -2,102 - 2,868(ALT) - 0,218(REP) - 1,527(DISC) - 18,465( ) - 0,154(


)

Pembahasan
Pengaruh Kondisi Keuangan terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern.
Hasil pengujian pada hipotesis pertama memberikan bukti empiris bahwa kondisi
keuangan perusahaan yang diproksikan dengan model prediksi kebangkrutan Z Score
Altman berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin baik kondisi keuangan perusahaan maka semakin kecil
kemungkinan bagi auditor untuk memberikan opini audit going concern pada perusahaan
tersebut dan semakin buruk kondisi keuangan perusahaan, maka akan semakin besar
kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor (McKeown et
al., 1991).
Seorang auditor akan sangat memperhatikan kondisi keuangan perusahaan dalam
menerbitkan opini audit going concern. Perusahaan yang tidak mempunyai permasalahan
yang serius kemungkinan besar tidak akan menerima opini audit going concern (Santosa
dan Wedari, 2007). Perusahaan yang mengalami permasalahan keuangan secara terus-
menerus dapat mengakibatkan nilai rasio Z Score menjadi rendah sehingga akan
berpeluang besar untuk menerima opini audit going concern. Permasalahan keuangan
yang dihadapi adalah:
1. tingkat likuiditas aktiva. Semakin likuid suatu aktiva, maka semakin cepat aktiva
tersebut dikonversikan menjadi kas, begitu pula sebaliknya.
2. profitabilitas perusahaan. Semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang
dimilikinya untuk membangun laba kumulatif.
3. produktivitas dari aktiva perusahaan dimana jika rasio ini lebih kecil dari rata-rata
tingkat bunga yang dibayar, berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih sedikit
daripada bunga pinjaman.
4. penurunan nilai aktiva. Nilai ini menunjukkan seberapa banyak aktiva perusahaan
dapat turun nilainya sebelum jumlah utang lebih besar daripada aktivanya dan
perusahaan menjadi pailit
5. kemampuan perusahaan dalam bersaing di pasar.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Ramadhany (2004), Fanny dan Saputra
(2005), Setyarno et al. (2006), Santosa dan Wedari (2007), dan Susanto (2009) yang
menunjukkan bahwa kondisi keuangan perusahaan berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan opini audit going concern. Perusahaan yang baik (sehat) mempunyai
profitabilitas yang memadai dan cenderung memiliki laporan keuangan yang sewajarnya
sehingga potensi untuk mendapatkan opini yang baik akan lebih besar. Saat kondisi
keuangan perusahaan dianggap baik oleh auditor, maka auditor yakin bahwa perusahaan
tersebut mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam beberapa periode ke
depan, sehingga auditor tidak akan memberikan opini audit going concern pada
perusahaan tersebut.

Pengaruh Reputasi Auditor terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern


Hipotesis kedua yang diproksikan dengan skala auditor (afiliasinya dengan KAP
the big four) pada tabel 4.11 menunjukkan nilai koefisien regresi negatif sebesar 0,218
dengan tingkat signifikansi 0,679, sehingga hipotesis kedua tidak berhasil didukung.
Hasil pengujian pada hipotesis kedua memberikan bukti empiris bahwa reputasi auditor
tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern.
Penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2007),
Susanto (2009), dan Junaidi dan Hartono (2010) yang menyatakan bahwa reputasi auditor
berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern, dimana auditor berskala besar
dapat menyediakan kualitas audit yang lebih baik dibanding auditor berskala kecil,
12

termasuk dalam mengungkapkan masalah going concern. Hasil penelitian ini konsisten
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fanny dan Saputra (2005), dan
Setyarno et al. (2006) yang menunjukkan bukti bahwa reputasi KAP tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kemungkinan penerimaan opini audit going concern pada
auditee.
Auditor yang bekerja di KAP besar maupun di di KAP kecil mempunyai
kemampuan yang sama dengan kualitas audit yang sama. Hal ini menunjukkan reputasi
auditor didasarkan pada kepercayaan pemakai jasa auditor bahwa auditor mempunyai
kekuatan monitoring yang secara umum tidak dapat diamati. Selain itu, untuk
mempertahankan reputasinya, seorang auditor yang berada di KAP besar atau kecil akan
berusaha menghindar dari hal-hal yang dapat merusak reputasi auditor tersebut.
Auditor skala besar maupun auditor skala kecil memiliki insentif yang sama
untuk mendeteksi dan melaporkan masalah going concern kliennya. Apabila auditor
meragukan kelangsungan hidup perusahaan kliennya, maka opini yang akan diberikan
adalah opini audit going concern, tanpa memandang apakah auditor tersebut berasal dari
KAP besar maupun KAP kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa auditor akan berusaha
untuk bersikap objektif dalam memberikan pendapat bagi laporan keuangan kliennya
(Setyarno et al., 2006).

Pengaruh Disclosure terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern


Hipotesis ketiga yang diproksikan dengan indeks pengungkapan pada tabel 4.11
menunjukkan koefisien negatif sebesar 1,527 dengan tingkat signifikansi 0,742.dengan
skala auditor (afiliasinya dengan KAP the big four), sehingga hipotesis ketiga tidak
berhasil didukung. Hasil pengujian pada hipotesis ketiga memberikan bukti empiris
bahwa disclosure tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going
concern.
Auditor tidak terlalu memperhatikan kelengkapan pengungkapan dalam laporan
keuangan perusahaan saat memberikan opini audit going concern. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa auditor lebih memperhatikan ketentuan SPAP Seksi 342 (2004)
untuk menilai ketidakpastian terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Ketidakpastian yang dimaksud disebabkan oleh kondisi sebagai
berikut:
1. Tren negatif, misalnya kerugian operasi yang terjadi berulang-ulang, kekurangan
modal kerja, arus kas negatif, jeleknya rasio keuangan.
2. Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan, misalnya kegagalan dalam
memenuhi kewajiban utang, pembayaran deviden yang menunggak, restrukturisasi
utang serta terjadinya penjualan sebagian besar asset perusahaan.
3. Masalah internal, misalnya pemogokan kerja, ketergantungan besar atas suksesnya
suatu proyek tertentu.
4. Masalah eksternal, misalnya pengaduan gugatan pengadilan, keluarnya undang-
undang yang menganca keberadaan perusahaan kehilangan franchise, lisensi atau
paten, bencana yang tidak diasuransikan, kehilangan pelanggan atau pemasok utama.
Tidak semua kondisi yang terjadi dalam perusahaan dapat diungkapkan dalam
laporan keuangan, misalnya masalah internal yaitu pemogokan kerja dan masalah
eksternal yaitu kehilangan pelanggan atau pemasok. Kondisi tersebut dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan. Auditor dapat memperoleh informasi
tersebut pada saat visitasi. Selain itu, saat melakukan visitasi, auditor akan memeriksa
kecocokkan antara nilai yang tersaji dalam laporan keuangan dan bukti-bukti yang ada di
lapangan.
Kondisi yang ditemukan selama visitasi inilah yang akan menjadi pertimbangan
auditor dalam memberikan opini kepada auditee. Jika auditor menemukan masalah-
masalah seperti yang di cantumkan dalam SPAP Seksi 342 (2004), maka auditor akan
memberikan opini audit going concern pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu,
13

pengungkapan dalam laporan keuangan yang sesuai dengan peraturan BAPEPAM SE-
02/PM.2002 tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going
concern.
Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Junaidi dan Hartono (2010)
yang menguji pengaruh faktor non keuangan, salah satunya adalah disclosure terhadap
penerimaan opini audit going concern. Penelitian tentang pengaruh disclosure terhadap
opini audit going concern ini masih terbatas, sehingga peneliti belum menemukan
penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini.

Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Penerimaan Opini Audit Going


Concern
Hasil pengujian pada hipotesis keempat dengan nilai koefisien regresi negatif
sebesar sebesar 18,465 dengan tingkat signifikansi 0,374 mengindikasikan bahwa
hipotesis keempat tidak berhasil didukung. Penelitian ini mendukung penelitian Januarti
(2008) yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap
penerimaan opini audit going concern. Besarnya kepemilikan manajerial dalam
perusahaan tidak menjamin perusahaan untuk tidak menerima opini audit going concern
dari auditor.
Hasil penelitian ini masih belum mampu membuktikan adanya pengaruh
kepemilikan manajerial dalam penerimaan opini audit going concern. Rendahnya
persentase kepemilikan manajerial di perusahaan Indonesia menjadi salah satu
penyebabnya. Data yang terdapat dalam tabel 4.2 (Descriptive Statistic) menunjukkan
bahwa rata-rata kepemilikan manajerial dalam suatu perusahaan hanya sebesar 4%.
Hanya sedikit sekali perusahaan yang memiliki kepemilikan manajerial di atas 50%.
Bahkan tidak semua perusahaan dalam sampel penelitian mempunyai kepemilikan
manajerial.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan hal lain yang menyebabkan sedikitnya
pengaruh kepemilikan manajerial terhadap penerimaan opini audit going concern adalah
pengaruh dominan pemilik untuk mengatur tata kelola perusahaan. Kondisi ini
mengakibatkan konflik kepentingan antara manajer dan pemilik tidak dapat
diminimalisir. Dengan demikian, manajemen yang punya persentase kepemilikan
manajerial yang kecil dalam perusahaan, akan tetap melakukan hal-hal untuk memenuhi
kepentingannya sendiri, yang dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

Pengaruh Komite Audit terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern


Hasil pengujian terhadap variabel komite audit yang diproksikan dengan variabel
dummy pada tabel 4.11 menunjukkan nilai koefisien regresi negatif sebesar 0,154 dengan
tingkat signifikansi 0,713. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa keberadaan komite
audit tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.
Penelitian ini konsisten dengan penelitian Ramadhany (2004) yang menyatakan
bahwa keberadaan komite audit tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going
concern. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja komite audit dalam mengawasi
dan memonitoring tata kelola perusahaan belum efektif, karena posisi komite audit masih
sebatas untuk mematuhi peraturan dan persyaratan pencatatan perusahaan di bursa.
Hasil penelitian ini mengindikasikan belum dipahaminya secara luas prinsip-
prinsip dan praktek good corporate governance oleh komunitas bisnis dan publik pada
umumnya (Kaihatnu, 2006). Komite audit sebagai bagian dari mekanisme corporate
governance semestinya dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan lebih baik dalam
hal tata kelola perusahaan. Tanggung jawab tersebut diatur oleh Forum for Corporate
Governance Indonesia (FCGI) yang digunakan sebagai pedoman untuk komite audit,
yaitu memastikan, bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai undang-undang dan
peraturan yang berlaku, melaksanakan usahanya dengan beretika, melaksanakan
14

pengawasannya secara efektif terhadap benturan kepentingan dan kecurangan yang


dilakukan oleh karyawan perusahaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada atau tidaknya keberadaan komite
audit belum mampu membuat tata kelola perusahaan menjadi semakin baik, sehingga
tidak mempengaruhi auditor dalam pemberian opini audit going concern bagi perusahaan.
Hasil penelitian ini juga dapat menjadi suatu tantangan bagi komite audit agar dapat
membantu dewan komisaris dengan lebih efektif dalam hal fungsi pengawasan dan
monitoring kepada pihak manajemen dalam hal pengelolaan perusahaan.

Kesimpulan
Simpulan
Penelitian ini menguji pengaruh variabel kondisi keuangan, reputasi auditor,
disclosure, kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit terhadap penerimaan
opini audit going concern. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 35 perusahaan dari
tahun 2007 – 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, dari 140 pengamatan, 40
perusahaan menerima opini going concern dan 100 perusahaan menerima opini non going
concern.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan
bukti empiris bahwa variabel kondisi keuangan perusahaan berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
memberikan opini audit going concern, seorang auditor tentu saja sangat memperhatikan
kondisi keuangan auditee. Auditee yang tidak mempunyai permasalahan keuangan yang
serius tentu tidak akan menerima opini audit going concern. Sementara perusahaan yang
mengalami permasalahan keuangan dan kerugian terus - menerus seperti kerugian operasi
yang berulang – ulang, kekurangan modal kerja, arus kas negatif, kegagalan dalam
memenuhi kewajiban utang, dan jeleknya rasio keuangan lainnya (SPAP, 2004) yang
mengakibatkan rasio Z Score rendah berpeluang besar menerima opini going concern.
Variabel reputasi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini
audit going concern. Hal ini menunjukkan bahwa besar atau kecilnya skala audit (ukuran
KAP) tidak mempengaruhi kualitas audit yang diberikan oleh auditor. Variabel disclosure
juga tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Hasil temuan ini
menunjukkan bahwa dalam memberikan opini audit going concern, auditor lebih
memperhatikan ketentuan SPAP Seksi 342 (2004) untuk menilai ketidakpastian terhadap
kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Informasi
mengenai hal tersebut dapat diperoleh auditor pada melakukan visitasi di perusahaan.
Variabel selanjutnya yang tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
opini audit going concern adalah kepemilikan manajerial dan keberadaan komite audit.
Dalam perusahaan manufaktur di Indonesia, kesadaran dalam penerapan good corporate
governance masih kurang, sehingga fungsi pengawasan tidak dapat berjalan dengan baik.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan kepentingan antara pihak manajemen dan
pemilik perusahaan tidak dapat diminimalisir.

Implikasi
Penelitian ini memperkuat teori dan hasil penelitian sebelumnya tentang opini
audit, khususnya bahwa penerimaan opini audit going concern dipengaruhi oleh kondisi
keuangan. Reputasi auditor, disclosure, kepemilikan manajerial, dan komite audit
ternyata tidak dapat dijadikan pertimbangan auditor dalam memberikan opini audit going
concern kepada kliennya. Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman serta dapat dijadikan sebagai referensi pengetahuan, bahan diskusi, dan
bahan kajian lanjut bagi pembaca tentang masalah yang berkaitan dengan opini audit
going concern.
Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi investor dan calon investor yang
hendak melakukan investasi sebaiknya lebih memperhatikan kondisi keuangan
15

perusahaan dalam melakukan investasi dan sebaiknya tidak berinvestasi pada perusahaan
yang mendapat opini audit going concern. Bagi auditor hendaknya memahami dan
mewaspadai kondisi keuangan perusahaan dalam memberikan opini audit going concern.
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada pihak manajemen perusahaan
agar dapat mengenali lebih dini tanda-tanda kebangkrutan usaha dengan melakukan
analisis terhadap laporan keuangannya sehingga dapat mengambil kebijakan sesegera
mungkin guna mengatasi masalah tersebut dan terhindar dari penerimaan opini going
concern.

Rekomendasi
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas variabel dengan menguji
faktor keuangan, faktor non keuangan dan faktor pasar lainnya yang dapat diduga
mempengaruhi opini going concern. Selain itu, peneliti selanjutnya juga disarankan untuk
memperluas sampel penelitian, dan dapat melihat jauh lebih dalam tentang kompetensi
dari komite audit dalam perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
Altman, E. I. (1968). Financial Ratios: Discriminan Analysis and The Prediction of
Corporate Bankruptey. Journal of Finance Edition 123 .
Altman, E., dan McGough, T. (1974). Evaluation of A Company as A Going Concern.
Journal of Accountancy , pp. 50-57.
Arens, A. A., dan lobbecke, J. K. (2003). Auditing. In A. A. Jusuf, Pendekatan Terpadu
(5 Jillid 1 ed.). Jakarta: Salemba Empat.
Ballesta, J.P., dan E,G.-M. (2005). Audit Qualifications and Corporate Governance in
Spanish Listed Firms. Managerial Auditing Journal , Vol 20, pp. 725-738.
Carcello, J. V., dan L, N. T. (2000). Audit Committee Composition and Auditor
Reporting. The Accounting Review ,Vol 75, No. 4, pp. 453-467.
Choi, Jong-Hang, JB, K., dan Yoonseok, Z. (2010). Audit Office Size Audit Quality and
Audit Pricing. Auditing: A Journal of Practice and Theory , Vol 29, No. 1, pp. 73-
97.
Christiawan, Y. J., & Tarigan, J. (2007). Kepemilikan Manajerial: Kebijakan Hutang,
Kinerja dan Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan , Vol 9, No. 1, pp.
1-8.
Dang Li, Kevin F Brown, B D McCullough. (2004). Assessing Audit Quality : A Value
Relevance Respective.
Darmawati, Deni, Khomsiyah, dan K, R. R. (2004). Hubungan Corporate Governance
dan Kinerja Perusahaan. Simmposium Nasional Akuntansi VII.
DeAngelo, L. (1981). Auditor Independence, "Low Balling" and Disclosure Regulation .
Journal of Accounting and Economics , pp. 113-127.
Faisal. (2004). Analisis Agency Costs, Struktur Kepemilikan, dan Mekanisme Corporate
Governance. Simposium Nasional Akuntansi.
Fanny, M., & Saputra, S. (2005). Opini Audit Going Concern: Kajian Berdasarkan Model
Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, dan Reputasi Kantor Akuntan
Publik (Studi pada Emiten Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi
VIII , pp. 966-978.
16

Gaganis, Chrysovalantis, dan Pasiouras, F. (2007). A Multivariate Analysis of the


Determinants of Auditors' Opinions on Asian Banks. Managerial Auditing
Journal , Vol 22, No. 3, pp. 268-287.
Geiger, Marshall, A., dan V, R. D. (2006). Audit Firm Size and Going Concern Reporting
Accuracy. Accounting Horizons , Vol 20, No. 1, pp. 1-17.
Ghozali, Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam, Chariri dan Anis. (2007). Teori Akuntansi. Edisi ketiga. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Haron, Hasnah, Bambang, H., Mahfooz, A., & Ishak, I. (2009). Factors Influencing
Auditor's Going Concern Opinion. Asian Academic of Management Journal , Vol
14 No. 1, pp. 1-19.
Ikatan Akuntansi Indonesia. (2001). Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta:
Salemba Empat.
Januarti, I. (2008). Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Auditor, Kepemilikan
Perusahaan terhadap Penerimaan Opini Going Concern. Simposium Nasional
Akuntansi XIII .
Jensen, M., & Meckling, W. (1976). Theory of the Firm, Managerial Behaviour, Agency
Costs & Ownership Structure. Journal of Financial Economics , Vol 3, pp. 305-
360.
Junaidi, & Hartono. (2010). Faktor Non Keuangan pada Opini Going Concern.
Simposium Nasional Akuntansi XIII , pp. 1-22.
Kaihatu, T. (2006). Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan , Vol 8 No. 1, pp. 1-9.
Komalasari, A. (2004). Analisis Pengaruh Kualitas Opini Auditor dan Proxy Going
Concern terhadap Opini Auditor. Jurnal Akuntansi dan Keuangan , Vol 9 No.2,
pp. 1-14.
Krishnan, Jagan, & Zhang, Y. (2005). Auditor Litigation Risk and Corporate Disclosure
of Quaterly Review Report. Auditing: A Journal of Practice & Theory ,Vol 24,
pp. 115-138.
lennox, C. (2000). Do Companies Successfully Engage in Opinion Shopping: Evidence
from the UK? Journal of Accounting and Economics , Vol 29, pp. 321-327.
Mayangsari, S. (2004). Analisis Pengaruh Independensi, Kualitas Audit, Serta
Mekanisme Corporate Governance terhadap Integritas Laporan Keuangan.
Simposium Nasional Akuntansi VI , pp. 1255-1269.
McKeown, J., Mutchler, J., & Hopwood, W. (1991). Towards an Explanation of Auditor
Failure to Modify the Audit Opinions of Bankrupt Companies. Auditing: A
Journal Practice & Theory , pp. 1-13.
Mulyadi. (2002). Auditing Buku 1. Yogyakarta: Salemba Empat.
Mutchler, J. F. (1985). A Multivariate Analysis of the Auditor's Going Concern Opinion
Decision. Journal of Accounting Research , pp. 66-68.
Mutchler, J. F. (1986). Empirical Evidence Regarding the Auditor';s Going Concern
Opinion Decision. Auditing: A journal of Practice & Theory , Vol 6 No.1, pp.
148-163.
17

Mutchler, J. F., Willian, H., & M, M. J. (1997). The Influence of Contrary Information
and Mitigating Factors on Audit Opinion Decisions on Bankrupt Companies.
Journal of Accounting Research , Vol 35 No. 2, pp. 295-310.
Nasution, M., & Setiawan, D. (2007). Pengaruh Corporate Governance terhadap
Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia. Simposium Nasional
Akuntansi X .
Praptitorini, M. D., & Januarti, I. (2007). Analisis Pengaruh Kualitas Audit, Debt Default,
dan Opinion Shopping terhadap Penerimaan Opini Going Concern. Simposium
Nasional Akuntansi X .
Rahayu, P. (2007). Assesing Going Concern Opinion: A Study Based On Financial and
Non Financial Informations (Empirical Evidence of Indonesian Banking Firms
Listed on JSX and SSX). Simposium Nasional Akuntansi X , pp. 1-32.
Ramadhany, A. (2004). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini
Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang mengalami Financial Distress
di Bursa Efek Jakarta. Jurnal MAKSI , Vol 4, pp. 146-160.
Rudyawan, Arry, P., & Badera, I. D. (2009). Opini Audit Going Concern: Kajian
Berdasarkan Prediksi Model Kebangkrutan, Pertumbuhan, Leverage, dan
Reputasi Auditor. Audi (Jurnal Akuntansi dan Bisnis) ,Vol 4 No. 2, pp. 129-138.
Sanjaya, I. P. (2008). Auditor Eksternal, Komite Audit, dan Manajemen Laba. Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia , Vol 11 No. 1, pp. 97-116.
Santoso, A. F., & Wedari, L. K. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern. Jurnal JAAI , Vol 11
No. 2, pp. 141-158.
Setiawan, S. (2006). Opini Going Concern dan Prediksi Kebangkrutan Perusahaan.
Jurnal Ilmiah Akuntansi , Vol 5 No.1 , pp. 59-67.
Setyarno, Budi, E., Januarti, I., & Faisal. (2006). Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi
Keuangan Perusahaan, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan
PerusahaanTerhadap Opini Audit Going Concern. Simposium Nasional Akuntansi
IX , pp. 1-25.
Sugiyono, P. D. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta CV.
Susanto, Y. K. (2009). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going
Concern pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur. Jurnal Bisnis dan Akuntansi
, Vol 11, pp. 155-173.
Tucker, Robert, R., Matsumura, E. M., & Subramanyam, K. R. (2003). Going Concern
Judgements; A Experimental Test of The Self-fulfillinf Prophecy and Forecast
Accuracy. Retrieved from http://www.ssrn.com.
Utama, M. (2004). Komite Audit, Good Corporate Governance, dan Pengungkapan
Informasi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia , Vol 1, pp. 61-79.
Wedari, A. F. (2007). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan
Penerimaan Opini Audit Going Concern. JAAI , Vol 11, pp. 141-158.
Kurniati, Y., & Yanfiri. (2010). Dinamika Industri Manufaktur dan Respon Terhadap
Siklus Bisnis. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan , pp. 135 - 168.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai