Anda di halaman 1dari 19

LATAR BELAKANG LAHIRNYA SASTRA INDONESIA

MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


Sejarah Sastra yang dibina oleh Bapak Agus Hermawan, M.Pd

Oleh
Miftakhul Janah (1988201065)
Binti Kholifah (1988201010)
Nur Hidayah Mulya Ningrum (1988201029)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA KOTA BLITAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN dan SOSIAL
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
September 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, Rasa syukur kami panjatkan atas kehadirat
Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat,taufiq serta hidayahnya.Sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan karya tulis ilmiyah atau makalah dengan
judul “Perkembangan Sastra Indonesia”. karya tulis ini disusun untuk memenuhi
tugas dari mata kuliah Sejarah Sastra dari prodi PBI UNU Blitar.
Penulis sadar bahwa terselesaikanya karya tulis ini tak lepas dari pihak-pihak yang
membantu dan memberikan dukungan kepada penulis. Untuk itu, Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Agus Hermawan, M.Pd sebagai bapak kaprodi dari prodi
PBI dan sebagai dosen pembimbing kami yang telah memberikan arahan
dan bimbingan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan.
2. Semua pihak yang membantu dalam proses pembuatan karya tulis
ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih ada kekurangan, hal
ini disebabkan keterbatasan pengetahuan penulis. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan karya tulis
ilmiah ini.
Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi referensi untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Blitar,11 September2019

Penyusun

i
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB 2. PEMBAHASAN 3
2.1 Sejarah Sastra dan Bahasa Indonesia 3
2.2 Sejarah Sastra Indonesia Bidang Politik 7
2.3 Sastra Indonesia Modern 9
BAB 3. PENUTUP 14
3.1 Simpulan 14
3.2 Saran 14
DAFTAR RUJUKAN 16

ii
Bab 1.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai
macam karya sastra yang berada di Indonesia. Sastra Indonesia sendiri dapat
merujuk pada sastra yang di buat di wilayah kepulauan Indonesia. Sering juga
secara luas dirujuk pada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan bahasa
Melayu (dimana Bahasa Indonesia adalah turunannya).
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan
berbagai ragam bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu
bahasa persatuan guna menggalang semangat kebangsaan. Semangat
kebangsaan ini sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi
Indonesia. Kesadaran politis semacam inilah yang memunculkan ide
pentingnya bahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa yang dapat
menjembatani keinginan pemuda-pemudi dari berbagai suku bangsa dan
budaya di Indonesia saat itu.
Peran sastra Indonesia utamanya dalam bidang bahasa sangatlah
penting untuk persatuan Indonesia. Jika saja tidak ada bahasa yang
mempersatukan bangsa Indonesia yaitu bahasa Indonesia maka sangatlah
mungkin bangsa Indonesia sudah terpecah belah dari jaman dahulu. Segala
bentuk sastra Indonesia dilatar belakangi oleh tujuan mempersatukan bangsa
ini. Di jaman melinial ini banyak sekali masyarakat Indonesia yang tidak
mengerti sejarah sastra dan bahasa yang ini merupakan penguat memersatu
bangsa. Oleh karenanya untuk menambah pengetahuan dan memahaman kita
terhadap latar belakang sejarah sastra di Indonesia kami menyusun makalah
ini dengan harapan supaya pembaca mengerti asal muasal sastra Indonesia
dari berbagai sudut padang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Bahasa Sastra Indonesia?
2. Bagaimana Sejarah Sastra Indonesia Bidang Politik?
3. Apa Yang Dimaksud Sastra Indonesia Modern?

1
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Sastra Indnesia
b. Untuk Mengetahui Sejarah Sastra Indonesia Bidang Politik
c. Memahami Tentang Sastra Indonesia Modern

2
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sastra dan Bahasa Indonesia
Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya
sastra dari waktu ke waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu
yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di
dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, dimana
ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka
waktu tertentu karena hasil karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua
karya berupa milik bersama. Karena itu, penggolongan biasanya
berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.
2.1.1 Kesusastraan Rakyat (Kesusastraan Melayu Asli)
Kesusastraan rakyat/ Kesusastraan melayu asli, hidup ditengah-tengah
masyarakat. Cerita itu diturunkan dari orang tua kapada anaknya, dari nenek
mamak kepada cucunya, dari pencerita kepada pendengar. Penceritaan ii
dikenal sebagai sastra lisan (oral literature).  Kesusastraan yang tumbuh
tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada masa Purba
(sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayan yang
dianut masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita
mereka berhubungan dengan kepercayaan kepada roh-roh halus dan
kekuatan gaib yang dimilikinya.
2.1.2 Pengaruh Hindu dalam Kesusastraan Melayu
Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C.
Leur (Yock Fang : 1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu
adalah para Brahmana. Mereka diundang oleh raja untuk meresmikan yang
menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya agama Budha di India maka
pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar. Apalagi agama
Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan
masyarakat Melayu. Epos India dalam kesusastraan Melayu
2.1.3 Kesusastraan Zaman Peralihan Hindu-Islam, dan pengaruh Islam

3
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra
yang berunsur Hindu dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya.
Contoh karya-karya sastra yang masuk dalam masa ini adalah ; Hikayat
Puspa raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang Buana, dsb. Sastra
pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam
yang harus dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat
Nur Muhammad, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen
dsb.
2.1.4 Kesusastraan Masa Peralihan : Perkembangan dari Melayu Klasik ke
Melayu Modern
Pada masa ini perkembangan antara kesusastraan Melayu Klasik dan
kesusastraan Melayu Modern peralihannya dilihat dari sudut isi dan bahasa
yang digunakan oleh pengarangnya. Dua orang tokoh yang dikenal dalam
masa peralihan ini adalah Raja Ali Haji dari pulau Penyengat, Kepulauan
Riau, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Malaka.
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu,
para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan
Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2)
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama
Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad
bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai
bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara
pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar
1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa  Bahasa negara ialah
bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara
lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.

4
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak
zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua
franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di
seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak
abad  ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti
di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo
berangka tahun   684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M
(Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi).
Prasasti  itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa
Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa
Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832M dan di
Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942M yang juga menggunakan
bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa
kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu
juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan
sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara
maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang
datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama
Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa
yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183),
K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089).
Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang
berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa
perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan
pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun
hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri,
Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

5
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah
diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan
antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena
bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta
makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu
yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya
dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata
dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa
Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu dalam perkembangannya
muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan
bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan
pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia
(Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia
dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan
majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah
mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional
sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai
lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

6
2.2 Sejarah Sastra Indonesia Bidang Politik
Secara empiris-historis, kritik sastra dipisahkan dari aktivitas politiknya
sejak lenyapnya estetika realisme sosialis seiring dilenyapkannya para
sastrawan Lekra dari panggung kritik sastra sejak akhir dekade 1960-an.
Koinsidensi antara peristiwa politik (politisida 1965) dan peristiwa kritik
sastra (separasi antara kritik sastra dan politik) menegaskan kembali, secara
paradoksal, ketakterpisahan politik dari dunia sastra dan dunia sastra dari
konteks politiknya. Yang politis dari kritik sastra para sastrawan Lekra ini
adalah bahwa mereka berhasil mendorong — sebagai pengecualian
eksamplar dari sejarah kritik sastra sebelumnya1 — kritik sastra menjadi
entitas yang organik, yaitu sebagai alat evaluasi-diri atas kesejalanan antara
estetika sastra, sikap politik sastrawan, dan realpolitik massa, dengan segala
tuntutan revolusioner atau tantangan kontra-revolusionernya. Dalam
ungkapan lain, kritik ini mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk
menangkap dimensi subjektif dari sastra (idea sastra, estetika, bahasa,
kapasitas literer sastrawan, figur sastrawan, dst.) sekaligus
dimensi objektifnya (pembaca, situasi politik pembaca, kondisi massa,
konflik kelas, sejarah, dst.), dalam suatu relasi yang timbal-balik, terus-
menerus, dan dialektis, dengan karya sastra sebagai medium dialektikanya.
Satu-satunya ekses dari kritik sastra ini adalah ketidakmampuannya
untuk menahan diri dari godaan menggunakan lembaga politik formal
(negara) untuk memajukan kritiknya. Batas antara kritik dan keniscayaan
melakukan hegemoni melalui lembaga politik dilanggar oleh
ketidakmampuan mengangkat politik dari dalam kritik sastra itu sendiri.
Penggunaan Dekrit Presiden 8 Mei 1964 dalam pelarangan atas Manikebu
(Manifesto Kebudayaan),2 seperti sempat dilakukan oleh Pramoedya
Ananta Toer, merupakan hegemonisasi melalui kekuatan politik yang
eksternal terhadap kritik sastra itu sendiri. Hal ini juga berlaku pada lawan
politiknya, para sastrawan pendukung Manikebu, melalui Konferensi
Karyawan Pengarang se-Indonesia (KPPI) yang memanfaatkan dukungan
angkatan bersenjata.

7
Dalam arti tertentu, kritik sastra dapat menggunakan lembaga politik
tercermin dari manuver-manuver yang dilakukan oleh dua kubu sebagai
reaksi satu sama lain untuk mendorong efektivitas kritik sastra itu sendiri
sebagai kekuatan literer, dan pada gilirannya mendorong kritik sastra untuk
memperoleh kepenuhan manifestasinya dalam realpolitik (kebijakan negara,
politisasi massa secara langsung, dst.), tetapi pada saat yang sama,
melahirkan risiko membawa politik kepada kulminasinya yang berujung
dalam penjenuhan (saturation) dimensi politis itu sendiri sehingga
melahirkan kecenderungan sebaliknya: depolitisasi kritik sastra. Titik balik
atau, tepatnya, patahan itu terjadi pada dua momen politis yang pada dirinya
merupakan depolitisasi (depolitisasi politik melalui politik): pembubaran
PKI menyusul Gestok 1965 dan Simposium Bahasa dan Kesusastraan
Indonesia 1966, momen par excellence dari perumusan arah baru kritik
sastra Indonesia.
Fragmen sejarah itu penting dikutip bukan semata karena nilai sejarah
pada dirinya, melainkan karena momen bersejarah itu menjadi lokus bagi
perubahan arah dan orientasi kritik sastra itu sendiri sebagai suatu kekuatan
literer dalam hubungannya dengan “politik” — perubahan modalitas-
modalitasnya, kerangka kerjanya, bahasa dan bentuk ekspresinya, dan
bahkan objeknya; perubahan itu nyaris total atau absolut. Ia tidak hanya
mengubah bentuk kritik sastra, tetapi memberi batasan-batasan baru yang
secara formal tidak memungkinkan lagi politik dalam kritik sastra dimaknai
dan diterapkan dalam artinya yang lama. Kritik sastra dari era baru ini
mensublimasi politik dari sifatnya yang langsung dan efektif ke dalam
dimensi baru yang tampak tak langsung dan tidak efektif, meskipun pada
dasarnya sama-sama efektif, yaitu sebagai operasi “sublim” dari
ideologi.4 Kita dapat menyebut hal ini perubahan dari “Sastra yang menjadi
bagian dari Dunia” menjadi “Dunia yang terlipat ke dalam Sastra”, atau
perubahan dari heteronomi sastra kepada otonomi sastra. Tulisan ini akan
mengkaji perubahan itu dalam kritik sastra dan teori sastra setelah dekade
1960-an dan praktik-praktik politik yang dihindarkan atau dimunculkan
olehnya.

8
2.3 Sastra Indonesia Modern
Seperti halnya dengan pengertian sastra Indonesia, masalah permulaan
sastra Indonesia modern ini pun menimbulkan beberapa macam pendapat.
Dalam garis besarnya ada 4 macam pendapat, yaitu:
2.3.1 Slametmuljana (1953: 17) dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Ke Mana
Arah Perkembangan Puisi Indonesia?” berpendapat bahwa sastra Indonesia
yang resmi haruslah dimulai dari tahun 1945. Pengertian tentang sastra
Indonesia tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama satu negara.
Negara Republik Indonesia baru ada sejak diumumkannya Proklamasi
Kemerdakaan Republik Indonesia pada tahun 1945 dan baru pada tahun itu
pulalah bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara Republik
Indonesia dan dicantumkan di dalam UUD 1945. Slametmuljana dengan
tegas berpendapat bahwa berbicara tentang Indonesia sebagai suatu istilah
dewasa ini tidak dapat terlepas dari masalah politik.
“Indonesia sebagai nama negara memang soal politik. Segala hal
bersangkut paut dengan Indonesia sebagai nama negara tak dapat lepas dari
soal politik. Kesusastraan Indonesia bersangkut paut dengan Indonesia
sebagai nama negara. Oleh karena itu, bagaimanapun batas waktu 1945
merupakan batas pembagian kesusastraan pula. Di samping itu, haruslah
diakui bahwa gerakan Pujangga Baru merupakan persiapan kesusastraan
Indonesia. Hal ini penting karena Pujangga Baru memang menuju arah
Indonesia merdeka.” (1953: 17)
Sebagai akibat dari pendapat di atas, Slametmuljana menganggap
bahwa semua hasil sastra sebelum tahun 1945 harus dipandang sebagai
sastra daerah. Novel “Sitti Nurbaya, Salah Asuhan”, dan kumpulan puisi
“Percikan Permenungan” drama bersajak “Bebasari” dan bahkan hasil-hasil
sastra Pujangga Baru semuanya adalah sastra daerah, yaitu sastra Melayu.
Terhadap pendapat Slametmuljana ini banyak orang merasa berkeberatan
karena sastra sebagai suatu aspek kebudayaan tidak selamanya sejalan
dengan politik. Peristiwa-peristiwa kenegaraan tidak selalu bersamaan
dengan kehidupan kebudayaan suatu bangsa dan demikian pula sebaliknya.
Sastra suatu bangsa tidak mesti dimulai dari saat bangsa itu memperoleh

9
kemerdekaannya. Di samping itu tampaknya Slametmuljana
mencampuradukkan pengertian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan kemudian
mengaitkan kehidupan sastra Indonesia dengan saat ditetapkannya bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi. Padahal, kenyataannya bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional sudah berkembang sebelum Proklamasi
Kemerdekaan.
2.3.2 Umar Junus di dalam karangannya yang berjudul “Istilah dan Masa Waktu
Sastra Melayu dan Sastra Indonesia” yang termuat dalam majalah Medan
Ilmu Pengetahuan 1/3 Juli 1960 berpendapat bahwa sastra Indonesia baru
mulai berkembang pada sekitar 28 Oktober 1928, yaitu saat diikrarkannya
Tri Sumpah Pemuda. Sebagai seorang linguis, Umar Junus beranggapan
bahwa sastra terikat erat sekali dengan bahasa. Tidak ada bahasa maka
sastra pun tidak akan ada juga. Oleh karena itu, kriteria penamaan suatu
hasil sastra, harus terutama berdasarkan media bahasa yang dipergunakan.
Suatu hasil sastra disebut sastra X karena bahasa yang digunakan ialah
bahasa X.
Berdasarkan pemikiran tersebut, perkembangan sastra Indonesia
dimulai sejak adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Karena
menurut Umar Junus bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lahir sejak
tahun 1928 maka perkembangan sastra Indonesia harus dimulai sejak tahun
1928, yang dapat maju atau mundur dari tahun tersebut asal disertai dengan
suatu tanggung jawab. Jika ditarik garis mundur sebelum tahun 1928, kita
akan bertemu dengan hasil-hasil sastra Balai Pustaka, yang dianggapnya
tidak tepat untuk digolongkan sebagai hasil sastra Indonesia karena hasil
sastra tersebut tidak mengandung unsur nasional.
Sebaliknya, jika ditarik garis maju sesudah tahun 1928, kita akan
bertemu dengan hasil sastra Pujangga Baru. Menurut Umar Junus, sastra
Pujangga Baru sudah dengan tegas membawa suara Indonesia, sudah
bercorak nasional sehingga pada tempatnyalah apabila hasil-hasil sastra
pada masa itu dipandang sebagai sastra Indonesia. Dengan keterangan di
atas, kemudian ia menyimpulkan bahwa sastra Indonesia baru berkembang

10
sekitar tahun 1928 dan tepatnya pada thuan 1930-an. Ada beberapa
keberatan terhadap pendapat Umar Junus tersebut, antara lain sebagai
berikut:
a. Dalam kenyataannya hubungan antara sastra dengan bahasa tidak selalu
bersifat mutlak. Banyak sastra dari beberapa negara yang ditulis dalam
bahasa yang sama, misalnya bahasa Inggris untuk sastra Amerika, Inggris,
Australia, dan sebagainya.
b. Perkembangan sastra sebelum tahun 1928 tidak terbatas hanya pada
kegiatan dan hasil-hasil Balai Pustaka. Beberapa pengarang di luar Balai
Pustaka banyak yang menulis ketika itu, misalnya Moh. Yamin, Sanusi
Pane, Rustam Effendi, dan yang lain.
c. Andai kata Balai Pustaka satu-satunya badan yang berperan dalam
perkembangan sastra pada masa itu, kita juga mengajukan beberapa
persoalan:
(1) Apakah tidak ada satupun karya Balai Pustaka yang bercorak nasional,
meski masih secara tersirat atau samar-samar? Jika kita dengan teliti
membaca novel “Salah Asuhan” karangan Abdul Moeis, kita menyangsikan
kesimpulan di atas. Pada akhir cerita novel itu kita dapati kata ibu Hanafi:
“Sekalipun ia sudah bersekolah, tetapi pelajaran agama kita janganlah
ditinggalkan. Salah benar ibu mengasuh Hanafi masa dahulu karena
sedikitpun ia tidak diberi pelajaran agama. Sedangkan kecilnya ia sudah
mengasingkan diri daripada perjuangan bangsanya.”
(2) Sutan Takdir Alisjahbana, seorang yang sering disebut pelopor
Pujangga Baru, adalah seorang pengarang yang banyak berperan dalam
kegiatan Balai Pustaka. Ia pernah menjabat hoofdredacteur majalah Panji
Pustaka, sebuah majalah Balai Pustaka. Dengan demikian, bagaimanakah
halnya dengan karangan Sutan Takdir Alisjahbana sebelum tahun 1928,
seperti “Tak Putus Dirundung Malang”?
3. Nugroho Notosusanto, seorang sarjana Ilmu Sejarah, berpendapat
bahwa berbicara tentang sastra Indonesia, bukan berarti berbicara tentang
bahasa Indonesia, melainkan tentang sastra Nasional Indonesia. Dengan
demikian, prinsip sastra Indonesia adalah prinsip kebangsaan. Kapankah

11
kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia mulai bangkit? Karena kita telah
menetapkan tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional maka
berarti bahwa setiap kegiatan bangsa Indonesia sejak saat itu sudah
didorong oleh aspirasi nasional. Sastra Indonesia sebagai bagian
kebudayaan bangsa Indonesia, seharusnya sudah pula memancarkan unsur
kebangsaan itu. Dengan demikian, sastra Indonesia sebagai sastra Nasional
Indonesia sudah berkembang sejak permulaan abad ke-20.
Terhadap pendapat Nugroho Notosusanto tersebut ada satu keberatan.
Meskipun dasar pemikirannya benar, pendapat itu tidak berlandaskan hasil-
hasil sastra yang konkret. Pada permulaan abad ke-20 kita belum dapat
menunjukkan karangan-karangan yang dapat dipandang sebagai hasil sastra
yang bernilai atau bercorak nasional.
Kecuali itu, teori yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto
tersebut ternyata tidak sesuai dengan periodisasi yang dibuatnya. Nugroho
Notosusanto dalam periodisasi sastranya memulai perkembangan sastra
Indonesia modern pada tahun 20-an, bukan pada permulaan abad ke-20.
4. Pendapat yang terakhir menyatakan bahwa sastra Indonesia modern mulai
berkembang sekitar tahun 20-an.
Mereka yang berpendapat demikian itu antara lain: Fachruddin Ambo
Enre, Ajip Rosidi, H.B. Jassin, dan A. Teeuw. Alasan yang mereka
kemukakan tidak sama, tetapi pada dasarnya menyangkut dua hal, yaitu:
a. Media Bahasa yang Dipergunakan
Meskipun bahasa Indonesia itu secara formal diakui sebagai bahasa
persatuan pada tahun 1928, realitasnya bahasa tersebut sudah pasti sudah
berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1928 adalah sekedar
tahun peresmiannya saja atau tahun pemandiannya (menurut istilah A.
Fokker) menjadi bahasa Nasional. Kenyataan kehadirannya harus kita cari
beberapa tahun sebelumnya. Apabila kita perhatikan buku-buku hasil sastra
Balai Pustaka sekitar tahun 20-an, misalnya novel “Azab dan Sengsara, Sitti
Nurbaya”, dan juga puisi-puisi Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam
Effendi, yang termuat dalam majalah Yong Sumatra, majalah Timbul,
nyatalah bahwa bahasa yang dipergunakan dalam karangan-karangan

12
tersebut tidak jauh berbeda dengan bahasa yang kemudian diresmikan
menjadi bahasa persatuan pada tahun 1928. Berdasarkan kenyataan itu, kita
beralasan untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia sudah ada sekitar
tahun 20-an.
b. Corak Isi yang Terdapat Didalamnya
Corak isi karya sastra sudah mencerminkan sikap watak bangsa
Indonesia, artinya mengandung unsur kebangsaan. Pada bagian sebelumnya
sudah dikemukakan, bahwa hasil-hasil sastra sekitar tahun 20-an sudah
mengandung unsur kebangsaan. Terlebih apabila kita perhatiakan hasil
sastra di luar Balai Pustaka, unsur itu amat jelas. “Tanah Air” kumpulan
puisi Moh. Yamin temanya ialah kecintaan penyair pada tanah air dan
bangsanya yang pada waktu itu hidup dalam penjajahan.
“Memang tanah air yang dinyanyikan pemuda yamin dalam sajak-
sajaknya itu belum lagi tanah air Indonesia dalam arti geografis yang
sekarang. Tetapi hal tersebut akan berkembang dengan dia sendiri (turut)
memagang peranan utama: enam tahun kemudian ia sendiri mempelopori
pengakuan bahasa, tanah air, dan bangsa Indonesia sebagai dasar persatuan
nasioanal Indonesia. Keberatan yang bisa kita kemukakan dalam
memandang “Tanah Air” Yamin yang belum lagi meliputi Indonesia Raya
melainkan baru Sumatra, Andalas, Pulau Perca, Tanah Melayu, dan lain-lain
adalah keberatan yang juga bisa kita ajukan kepada pengakuan Boedi
Oetomo yang bersifat sosial dan bercita-cita kejawen yang sekarang telah
diresmikan sebagai perintis kebangkitan kesadaran nasional Indonesia.”
(Rosidi, 1964: 7-8).
Ternyata bahwa kesadaran kebangsaan Yamin pada “Tanah Air” (1922)
yang masih terbatas pada Pulau Andalas itu kemudian mengalami
perkembangan dan pada “Indonesia Tumpah Darahku” (1928) kesadaran
kebangsaan itu sudah meluas meliputi seluruh Indonesia Raya.
Dua hal itulah yang kita pergunakan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa
sastra Indonesia modern mulai berkembang sekitar tahun 1920-an.

13
BAB 3.
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra
dari waktu ke waktu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra
merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia,
sejarah sastra Jawa dan sejarah sastra Inggris.
3.1.2 Secara empiris-historis, kritik sastra dipisahkan dari aktivitas politiknya
sejak lenyapnya estetika realisme sosialis seiring dilenyapkannya para
sastrawan Lekra dari panggung kritik sastra sejak akhir dekade 1960-an.
Koinsidensi antara peristiwa politik (politisida 1965) dan peristiwa kritik
sastra (separasi antara kritik sastra dan politik) menegaskan kembali, secara
paradoksal, ketakterpisahan politik dari dunia sastra dan dunia sastra dari
konteks politiknya.
3.1.3 Meskipun bahasa Indonesia itu secara formal diakui sebagai bahasa
persatuan pada tahun 1928, realitasnya bahasa tersebut sudah pasti sudah
berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan
Rustam Effendi, yang termuat dalam majalah Yong Sumatra, majalah
Timbul, nyatalah bahwa bahasa yang dipergunakan dalam karangan-
karangan tersebut tidak jauh berbeda dengan bahasa yang kemudian
diresmikan menjadi bahasa persatuan pada tahun 1928. Berdasarkan
kenyataan itu, kita beralasan untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia
sudah ada sekitar tahun 20-an.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan penulisan makalah ini maka dikemukakan saran sebagai
berikut
3.2.1 Sejarah sastra Indonesia sangatlah penting untuk dipelajari kare agar kita
dapat mengetahui bagai mana asal muasal sebuah sastra itu tercipta
3.2.2 Politik dan sastra memang mempunyai hubungan yang cukup erat maka dari
itu dengan mempelajari sastra dengan melihat sudut pandang politik akan
menambah cakrawala kita bahwa politik juga termasuk sastra

14
3.2.3 Sebuah sastra selalu mengalami perkembangan. Di dalam perkembangan
sastra modern terdapat kemajuan-kemajuan sastra. Oleh aren itu sangatlah
penting untuk mempelajari sastra modern agar karya yang dihasilkan lebih
relevan dengan jaman.

15
Daftar Rujukan
 Aneka makalah https://www.anekamakalah.com/2012/09/sejarah-

bahasa-dan-sastra-indonesia.html
 Ngucap http://cahyasinda.blogspot.com/2016/01/awal-mula-lahirnya-

sastra-indonesia.html
 Moch. Ari Nasichuddin https://medium.com/@arynas92/politik-teori-

sastra-di-indonesia-fe89a159bb62
 Sastraseratuskilometer

https://sastra100km.wordpress.com/2014/04/30/masa-permulaan-
sastra-indonesia-modern/

16

Anda mungkin juga menyukai