Abstrak:
Kompetensi merupakan bentuk kata benda dari kata sifat kompeten yang
berarti cakap (mengetahui). Dalam linguistik, kompetensi berarti kemampuan
menguasai gramatika satuan bahasa secara abstrak atau batiniah. Hal itu, sesuai
dengan pendapat DP Tampubolon bahwa kompetensi bahasa adalah penguasaan
bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia) secara keseluruhan, terutama tata bahasa
dan kosa kata, termasuk berbagai arti dan nuansa serta ejaan dan tanda-tanda baca,
dan pengelompokan kata.. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri.
1. Kompetensi Sosiolinguistik
Muara akhir pembelajaran dan pengajaran bahasa saat ini adalah membekali
siswa dengan kompetensi komunikatif. Siswa diharapkan mampu berkomunikasi
menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan konteks sosial tertentu.
Tidak hanya itu, siswa juga dituntut berbahasa secara positif dalam kondisi
masyarakat Indonesia yang majemuk. Di sisi lain, guru adalah ujung tombak
pembelajaran dan pengajaran bahasa harus menjadi figur memadai bagi siswa.
Artinya, guru menjadi contoh nyata berbahasa harus memiliki komponen
kompetensi bahasa yang baik. Salah satunya kompetensi sosiolinguistik.
2. Kompetensi Pragmatik
Pragmatik dapat dianggap sebagai salah satu bidang kajian linguistik yang
akhir-akhir ini berkembang pesat. Wujud tuturan yang dahulu dibuang di
keranjang sampah karena tidak dapat dianalisis secara linguistik sekarang
merupakan lahan subur dalam kajian pragmatik. Baik semantik ataupun pragmatik
sama-sama mengkaji arti namun dari sudut pandang yang berbeda. Semantik
mengkaji arti lingual yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji
arti yang disebut the speakers meaning atau arti menurut tafsiran menurut
penutur yang disebut maksud. Arti menurut tafsiran penutur atau maksud itu
sangat bergantung konteks. Tanpa memperhitungkan konteks arti itu tidak dapat
dipahami. Contoh: ada seorang mahasiswa yang datang ke sebuah warung sate
terkenal di Solo, namanya Warung Sate mbok Galak (karena penjualnya
seorang wanita yang agak lanjut usia yang dipanggil mbok). Mahasiswa itu
berkata: Bu saya dibakar, dibungkus, dibawa pulang. Tuturan itu tidak dapat
dikaji menurut ilmu linguistik (mana mungkin penutur dibakar lalu dibungkus).
Namun dengan memperhitungkan konteks di mana tuturan itu terjadi, dengan
siapa dia bertutur, pengetahuan latar yang dimiliki bersama, komunikasi itu
berjalan lancar tanpa salah paham. Pengetahuan latar yang dimiliki bersama
adalah bahwa sate itu ada yang dibakar ada yang direbus. Jadi penutur itu hendak
membeli sate yang dibakar, dibungkus (tidak dimakan disitu), dibawa pulang
(dimakan di rumah).
Menurut Leech (1993: 1), pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang
semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa
warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh
para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis,
bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil
yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni
bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Leech (1993: 8) juga
mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya
dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Jenis-jenis pragmatik
a) Tindak Tutur
Pengertian Tindak Tutur. Tindak tutur adalah salah satu analisis pragmatik
yang mengkaji bahasa dengan aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur pertama
kali dikenalkan oleh Austin pada tahun 1965, yang merupakan teori yang
dihasilkan dari studinya. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969)
dengan menerbitkan sebuah buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of
Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang,
kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performance of speech
acts).
Chaer (dalam Rohmadi, 2004) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala
individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak
tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur
merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional
dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Kalimat tersebut memiliki informasi bahwa ibu dari si Ani sedang memasak di
dapur.
Tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan
dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu
dilakukan,dan lain sebagainya. Tindak tutur ilokusi berkaitan dengan beberapa
fungsi dalam pikiran pembicara.
Jika sang Ayah bicara pada anaknya, maka yang timbul di pikiran anak mungkin
saja bisa berupa teguran dari sang Ayah agar dia lebih rajin belajar karena ujian
sudah dekat.
Tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur. Tindak tutur perlokusi memiliki akibat tuturan (hal yg
dilakukan pendengar akibat ilokusi). Tindak tutur perlokusi terjadi bila lawan
tutur melakukan sesuatu setelah adanya lokusi dan ilokusi. Dari contoh 2 maka
perlokusinya adalah anak belajar dengan rajin karena ujian sudah dekat.
Tindak Tutur Langsung: Tindak tutur yang sesuai dengan fungsi kalimat yang
membentuknya (kalimat berita, tanya dan perintah). Contoh: Seorang Dokter
berkata kepada pasiennya: Buka mulutnya! Tindak Tutur Tak Langsung:
Tindak tutur yang tidak sesuai dengan fungsi kalimat yang membentuknya.
Tindak Tutur Literal: Tindak tutur yang memiliki maksud yang sama dengan
kata-kata yang menyusunnya.
Contoh: Ayah: Nilai raportmu bagus, ya!
Tindak tutur yang disampaikan seorang ayah kepada anaknya, ketika melihat nilai
raport yang diperolehnya bagus.
Tindak tutur bernada ironis yang disampaikan oleh seorang dosen ketika
mahasiswanya berisik. Bukan berarti dia memuji mahasiswa, akantetapi
menyuruh mereka untuk tidak berisik.
b) Implikatur
Jenis Implikatur
Seorang kakak mengatakan pada adiknya yang sedang menangis: Bapak datang.
Jangan menangis lagi!
Pernyataan tersebut bukan berarti seorang bapak yang datang dari suatu tempat,
tapi kebiasaan Si Bapak yang marah jika melihat anaknya menangis, sehingga
kakak menyuruh adiknya untuk tidak menangis lagi.
c) Deiksis
Menurut Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke
hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan
menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis sebagai berikut:
Ø Deiksis Orang
Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam
peristiwa berbahasa Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah
peran pemeran serta dalam peristiwa berbahasa tersebut. Bahasa Indonesia
mengenal pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang
pertama, orang kedua, dan orang ketiga.
Ø Dieksis Tempat
Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang
dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu Dalam
berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini
dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak
dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan
tidak pula dekat dari pendengar.
Ø Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau
jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat. Contoh deiksis
waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.
Contoh:
Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.Saya tidak dapat menolong Anda
sekarang ini.
Ø Deiksis Wacana
Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang
telah diberikan atau yang sedang dikembangkan. Deiksis wacana ditunjukkan oleh
anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan bersifat anafora apabila perujukan
atau penggantinya merujuk kepada hal yang sudah disebutkan.Contoh kalimat
yang bersifat anafora: Mobil keluaran terbaru itu harganya sangat mahal. Kata itu
merujuk pada mobil yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga berupa dieksis
anafora.
Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat katafora jika rujukannya menunjuk
kepada hal yang akan disebutkan. Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat
dilihat dalam kalimat berikut.
Di sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.Setelah dia masuk, langsung Toni
memeluk adiknya.
Ø Deiksis Sosial
Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?Saya harap Pak Haji berkenan
memenuhi undangan saya.
Kompetensi merupakan bentuk kata benda dari kata sifat kompeten yang
berarti cakap (mengetahui). Dalam linguistik, kompetensi berarti kemampuan
menguasai gramatika satuan bahasa secara abstrak atau batiniah. Hal itu, sesuai
dengan pendapat DP Tampubolon[1] bahwa kompetensi bahasa adalah
penguasaan bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia) secara keseluruhan, terutama
tata bahasa dan kosa kata, termasuk berbagai arti dan nuansa serta ejaan dan
tanda-tanda baca, dan pengelompokan kata.. Bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jadi, kompetensi bahasa adalah
kemampuan seseorang dalam menguasai keterampilan bahasa untuk
berkomuniksi.
Seseorang yang memiliki kompetensi bahasa, adalah orang yang memiliki
kemampuan bahasa. Kemampuan bahasa adalah kecakapan seseorang
menggunakan bahasa yang memadai dilihat dari sistem bahasa, Dalam
kompetensi bahasa, seseorang harus menguasai empat keterampilan bahasa, yaitu
menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan bahasa :
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis memiliki keterkaitan satu dengan
yang lainnya, empat keterampilan tersebut saling mempengaruhi satu dengan
yangn lainnya. Pada beberapa tugas yang lalu telah diuraikan mengenai
keterampilan keterampilan bahasa, dan strategi pengajarannya.
Salah satu model yang paling terkenal dari kemampuan bahasa dikenal
sebagai "Kompetensi Komunikatif [2]." Model ini dikembangkan untuk
menjelaskan jenis orang pengetahuan perlukan untuk menggunakan bahasa dalam
interaksi bermakna. Istilah ini awalnya diciptakan oleh antropolog Dell Hymes
sebagai sarana untuk menggambarkan pengetahuan pengguna bahasa perlu selain
bentuk-bentuk gramatikal dari bahasa. Istilah ini kemudian diadopsi oleh
komunitas pengajaran bahasa setelah itu telah berkembang menjadi model untuk
Field yang oleh Michael Canale dan Swain Merrill (1980), kemudian oleh Sandra
Savignon (1997).
DAFTAR RUJUKAN
http://duniayeniernawati.blogspot.com/2011/05/kompetensi-bahasa.html?m=1
https://widiyantoroagungpbi05.wordpress.com/2013/04/25/kompetensi-dan-
pengetauhuan-sosiolingustik-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-
bahasakompetensi-dan-pengetauhuan-sosiolingustik-dalam-pengajaran-dan-
pembelajaran-bahasa/