Anda di halaman 1dari 15

Kompetensi Sosiolinguistik, Prakmatik dan Kompetensi Bahasa

Universitas Nahdlatul Ulama


Noviza Hesty Amalina
Randi Bayu Prabowo
Novizahestya@gmail.com
Praboworandi75@gmail.com

Abstrak:

Kompetensi merupakan bentuk kata benda dari kata sifat ‘kompeten’ yang
berarti cakap (mengetahui). Dalam linguistik, kompetensi berarti kemampuan
menguasai gramatika satuan bahasa secara abstrak atau batiniah. Hal itu, sesuai
dengan pendapat DP Tampubolon bahwa kompetensi bahasa adalah penguasaan
bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia) secara keseluruhan, terutama tata bahasa
dan kosa kata, termasuk berbagai arti dan nuansa serta ejaan dan tanda-tanda baca,
dan pengelompokan kata.. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri.

Kata Kunci: Kompetensi, sosiolinguistik, pragmatik, bahasa


A. Kompetensi Sosiolinguistik dan Pragmatik

1. Kompetensi Sosiolinguistik

Kompetensi Sosiolinguistik adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa


tepat dalam konteks yang berbeda. Kompetensi sosiolinguistik signifikan tumpang
tindih dengan kompetensi wacana karena ada hubungannya dengan
mengungkapkan, interpreting dan negosiasi makna yang diturunkan sesuai dengan
norma-norma budaya dan harapan. Kompetensi sosiolinguistik yang paling jelas
bagi kita ketika konvensi yang mengatur penggunaan bahasa yang entah
bagaimana dilanggar, seperti misalnya ketika seorang anak polos menggunakan
"buruk" kata atau ketika harapan hadir di satu budaya yang tidak berhasil
diterjemahkan bagi orang lain. Ini adalah kompetensi sosiolinguistik kita yang
memungkinkan kita untuk menjadi sopan sesuai dengan situasi kita dalam dan
untuk dapat menyimpulkan maksud orang lain. Dalam kehidupan kita sehari-hari
kita bervariasi jenis bahasa yang kita gunakan sesuai dengan tingkat formalitas
dan keakraban. Kami menyatakan solidaritas dalam kelompok yang kita milik
atau ingin milik, misalnya di dalam kelas chatting dengan siswa lain, atau di
sebuah pesta. Dalam situasi di mana kita akhirnya mungkin telah solidairty
dengan yang lain ini, tapi belum tahu mereka dengan baik, kami menyampaikan
rasa hormat, misalnya pada pertemuan internasional sarjana di bidang yang sama.
Dalam situasi di mana ada perbedaan status yang jelas antara peserta, kita berhati-
hati untuk menyatakan jumlah yang tepat hormat. Sosiolinguistik menaruh
perhatian pada kondisi masyarakat yang mempengaruhi penggunaan bahasa.
Lebih lanjut, Holmes (2001:1) mengatakan bahwa sosiolinguistik digunakan
untuk menjelaskan bagaimana orang berbicara secara berbeda dalam konteks
sosial berbeda. Selain itu, sosiolinguistik juga memfokuskan pada
pengidentifikasian fungsi sosial bahasa dan cara bahasa digunakan untuk
menyampaikan makna sosial. Seperti halnya definisi Holmes, Wardhaugh
(1990:12) memaparkan bahwa sosiolinguistik ditujukan untuk menginvestigasi
hubungan bahasa dan masyarakat dengan tujuan pemahaman terhadap struktur
bahasa dan fungsi bahasa dalam komunikasi.

Setelah mengetahui bahwa objek kajian sosiolinguistik berupa variasi


penggunaan bahasa dalam masyarakat, tentu saja memiliki kontribusi strategis
dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa. Kontribusi tersebut dapat berupa
ihwal praktis dan teoretis. Terkait dengan pembelajaran dan pengajaran bahasa,
ada tiga pandangan konseptual yang diajukan Kumaravadivelu (2008:3-4) yaitu
bahasa sebagai sistem, bahasa sebagai wacana, dan bahasa sebagai ideologi.
Secara singkat ketiganya akan diuraikan berikut ini.

Kumaravadivelu (2008:4) menjelaskan pusat inti dari bahasa sebagai sistem


terdiri dari sistem fonologi yang berkaitan dengan pola suara, sistem semantik
yang berkaitan dengan kata-kata, dan sistem sintaksis yang berhubungan dengan
aturan tata bahasa. Bahasa sebagai wacana mengacu pada contoh bahasa lisan atau
tulis yang memiliki hubungan internal bentuk dan makna dan berhubungan secara
koheren dengan fungsi komunikatif eksternal dan tujuan yang diberikan lawan
bicara. Sementara itu, bahasa sebagai ideologi merujuk pada satu benang merah
yaitu kekuasaan dan dominasi. Ideologi bahasa mewakili persepsi bahasa dan
wacana yang dibangun untuk kepentingan kelompok sosial atau budaya tertentu.

Kajian sosiolinguistik pada dasarnya mencakup tiga pandangan konseptual


bahasa tersebut. Artinya, hasil kajian disiplin ilmu ini baik secara teoretis maupun
praktis akan diperlukan untuk mengembangkan desain pembelajaran dan
pengajaran bahasa. Bahkan oleh ahli linguistik terapan pedoman konseptual
tentang bahasa digunakan dan dimanfaatkan untuk tujuan pengajaran di kelas.
Selanjutnya, dalam buku Understanding Language Teaching karya
Kumaravadivelu (2008) dikenal dua istilah yang berkaitan dengan pengajaran
bahasa, yaitu komponen kompetensi dan area pengetahuan. Kedua istilah itu
menyebutkan sosiolinguistik sebagai sebuah kompetensi dan pengetahuan yang
dibutuhkan oleh peserta didik ataupun guru dalam pengajaran dan pembelajaran
bahasa.

Kompetensi sosiolinguistik selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu


kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi wacana. Kedua komponen ini
berurusan dengan bahasa sebagai wacana yang merujuk pada aspek berbeda.
Canale (1983:7) melalui Kumaravadivelu (2008:17) memberi pengertian
kompetensi sosiolinguistik sebagai pengetahuan tentang sejauh mana ujaran-
ujaran diproduksi dan dipahami dengan tepat dalam konteks sosiolinguistik
berbeda bergantung pada faktor kontekstual seperti partisipan, tujuan interaksi,
dan norma-norma atau konvensi interaksi.

Selain itu, kompetensi dan pengetahuan sosiolinguistik juga menekankan


bagaimana ujaran-ujaran atau kalimat dan teks terkait dengan tujuan komunikatif
pengguna bahasa dan fitur penggunaan pengaturan bahasa. Pengetahuan-
pengetahuan seperti pengetahuan dialek/variasi, register, ekspresi idiomatik, dan
bentuk ujaran dibutuhkan untuk mencapai kompetensi sosiolinguistik. Jika
dikaitkan dengan tujuan interaksi pada lawan tutur yang khusus, kompetensi ini
memberikan pengetahuan kapan untuk berbicara dan kapan untuk diam dalam
situasi tertentu. Tak hanya itu, kompetensi ini juga mencakup pengetahuan
bagaimana berbicara yang sesuai dalam konteks formal dan informal.

Di samping itu kompetensi sosiolinguistik memberi pemahaman tentang cara


berbeda ketika berinteraksi dengan laki-laki atau perempuan. Jika dikaitkan
dengan komunitas monolingual, termasuk pembelajaran menggunakan bahasa
komunitas yang menandakan satu keanggotaan komunitas tertentu. Jika dikaitkan
dengan bilingualisme dan multilingualisme, kompetensi ini mencakup
pengetahuan kapan harus beralih kode dan bercampur kode saat bertemu dengan
penutur lain. Tidak hanya itu, kompetensi sosiolinguistik mencakup pembelajaran
bersikap terhadap perbedaan variasi bahasa penutur lain. Kompetensi ini
menjelaskan bahwa semua anggota komunitas butuh untuk memahami dialek
standar dalam suatu bahasa.

Dalam konteks pembelajaran dan pengajaran bahasa yang dilakukan guru,


kompetensi sosiolinguistik memiliki banyak peran dalam mendukung kesuksesan
pembelajaran. Kompetensi sosiolinguistik dapat dijadikan pedoman dalam
mendesain dan menilai program pembelajaran bahasa. Guru juga memiliki
pengetahuan bagaimana berinteraksi dengan kondisi siswa yang homogen dan
heterogen. Akibatnya guru bertindak hati-hati dalam pemilihan bahasa ketika
proses pengajaran dan pembelajaran berlangsung. Di aspek lain, guru juga dapat
mengajarkan sikap berbahasa secara santun dalam konteks berbeda.

Di samping itu, kompetensi sosiolinguistik menekankan kepada guru


bagaimana menggunakan bahasa untuk fungsi berbeda. Misalnya, ketika guru
meminta siswa untuk melakukan penugasan, ketika guru akan mengajarkan
bahasa kepada penutur asing. Selain itu, dengan modal kompetensi sosiolinguistik
ini guru dapat memilih bahan ajar dan metode yang tepat untuk mengajarkan
bahasa sesuai dengan karakteristik siswa.

Muara akhir pembelajaran dan pengajaran bahasa saat ini adalah membekali
siswa dengan kompetensi komunikatif. Siswa diharapkan mampu berkomunikasi
menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan konteks sosial tertentu.
Tidak hanya itu, siswa juga dituntut berbahasa secara positif dalam kondisi
masyarakat Indonesia yang majemuk. Di sisi lain, guru adalah ujung tombak
pembelajaran dan pengajaran bahasa harus menjadi figur memadai bagi siswa.
Artinya, guru menjadi contoh nyata berbahasa harus memiliki komponen
kompetensi bahasa yang baik. Salah satunya kompetensi sosiolinguistik.

2. Kompetensi Pragmatik

Pragmatik dapat dianggap sebagai salah satu bidang kajian linguistik yang
akhir-akhir ini berkembang pesat. Wujud tuturan yang dahulu dibuang di
keranjang sampah karena tidak dapat dianalisis secara linguistik sekarang
merupakan lahan subur dalam kajian pragmatik. Baik semantik ataupun pragmatik
sama-sama mengkaji “arti” namun dari sudut pandang yang berbeda. Semantik
mengkaji arti lingual yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji
“arti” yang disebut “the speaker’s meaning” atau arti menurut tafsiran menurut
penutur yang disebut “maksud”. Arti menurut tafsiran penutur atau maksud itu
sangat bergantung konteks. Tanpa memperhitungkan konteks arti itu tidak dapat
dipahami. Contoh: ada seorang mahasiswa yang datang ke sebuah warung sate
terkenal di Solo, namanya “Warung Sate mbok Galak” (karena penjualnya
seorang wanita yang agak lanjut usia yang dipanggil “mbok”). Mahasiswa itu
berkata: “Bu saya dibakar, dibungkus, dibawa pulang.” Tuturan itu tidak dapat
dikaji menurut ilmu linguistik (mana mungkin penutur dibakar lalu dibungkus).
Namun dengan memperhitungkan konteks di mana tuturan itu terjadi, dengan
siapa dia bertutur, pengetahuan latar yang dimiliki bersama, komunikasi itu
berjalan lancar tanpa salah paham. Pengetahuan latar yang dimiliki bersama
adalah bahwa sate itu ada yang dibakar ada yang direbus. Jadi penutur itu hendak
membeli sate yang dibakar, dibungkus (tidak dimakan disitu), dibawa pulang
(dimakan di rumah).

Pragmatik mengkaji kondisi-kondisi penggunaan bahasa manusia yang


ditentukan oleh konteks kemasyarakatan. Penggunaan bahasa bersifat real atau
nyata yang melibatkan penutur dan mitra tutur dalam situasi pemakaian tertentu,
mengenai hal tertentu. Kondisi penggunaan bahasa itu ditentukan oleh konteks
kemasyarakatan.
Pengertian Pragmatik menurut Para Ahli

 Menurut Leech (1993: 1), pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang
semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa
warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh
para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis,
bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil
yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni
bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Leech (1993: 8) juga
mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya
dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).

 Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai


makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks.
Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan
bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya
pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).

 Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik


yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat
komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-
tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.

Jenis-jenis pragmatik

a) Tindak Tutur

Pengertian Tindak Tutur. Tindak tutur adalah salah satu analisis pragmatik
yang mengkaji bahasa dengan aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur pertama
kali dikenalkan oleh Austin pada tahun 1965, yang merupakan teori yang
dihasilkan dari studinya. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969)
dengan menerbitkan sebuah buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of
Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang,
kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performance of speech
acts).

Leech (1994: 4) menyatakan bahwa sebenarnya dalam tindak tutur


mempertimbangkan lima aspek situasi tutur yang mencakup: penutur dan mitra
tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai sebuah
tindakan/aktivitas dan tuturan sebagai produk tindak verbal.

Chaer (dalam Rohmadi, 2004) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala
individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak
tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika


peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi
antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih
cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu.

Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur
merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional
dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

Jenis-Jenis Tindak Tutur

Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus


deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif
adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji
–benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Misalnya
seseorang mengatakan “Jakarta ibu kota Indonesia”. Sedangkan tindak tutur
performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan
sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau
benar, tetapi sahih atau tidak. Contoh: Penghulu yang mengatakan “Saya nyatakan
kalian sah sebagai suami istri”.

Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga macam tindakan


Tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat
sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.

Contoh: Ani: “Ibu sedang memasak di dapur”

Kalimat tersebut memiliki informasi bahwa ibu dari si Ani sedang memasak di
dapur.

Tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan
dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu
dilakukan,dan lain sebagainya. Tindak tutur ilokusi berkaitan dengan beberapa
fungsi dalam pikiran pembicara.

Contoh: Ayah: “Ujian sudah dekat”

Jika sang Ayah bicara pada anaknya, maka yang timbul di pikiran anak mungkin
saja bisa berupa teguran dari sang Ayah agar dia lebih rajin belajar karena ujian
sudah dekat.

Tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur. Tindak tutur perlokusi memiliki akibat tuturan (hal yg
dilakukan pendengar akibat ilokusi). Tindak tutur perlokusi terjadi bila lawan
tutur melakukan sesuatu setelah adanya lokusi dan ilokusi. Dari contoh 2 maka
perlokusinya adalah anak belajar dengan rajin karena ujian sudah dekat.

Pembagian Tindak Tutur

 Tindak Tutur Langsung: Tindak tutur yang sesuai dengan fungsi kalimat yang
membentuknya (kalimat berita, tanya dan perintah). Contoh: – Seorang Dokter
berkata kepada pasiennya: “Buka mulutnya!” Tindak Tutur Tak Langsung:
Tindak tutur yang tidak sesuai dengan fungsi kalimat yang membentuknya.

Contoh: Andi: “Bu, mau bikin kopi, tidak ada gulanya”

Ibu: “Ini uangnya. Beli sana”

 Tindak Tutur Literal: Tindak tutur yang memiliki maksud yang sama dengan
kata-kata yang menyusunnya.
Contoh: Ayah: “Nilai raportmu bagus, ya!”

Tindak tutur yang disampaikan seorang ayah kepada anaknya, ketika melihat nilai
raport yang diperolehnya bagus.

 Tindak Tutur Non-Literal: Tindak tutur yang memiliki maksud yang


berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya.

Contoh: Dosen: “Bagus, berisik aja terus!”

Tindak tutur bernada ironis yang disampaikan oleh seorang dosen ketika
mahasiswanya berisik. Bukan berarti dia memuji mahasiswa, akantetapi
menyuruh mereka untuk tidak berisik.

Searle menggolongkan tindak tutur menjadi lima jenis, yaitu:

1) Representatif.Representatif merupakan tindak tutur yang mengikat


penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur
jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak
tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui,
menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan,
berspekulasi. Contoh: “Bapak Gubernur meresmikan gedung baru ini”.

2) Direktif. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dimaksudkan


penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang
disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif disebut juga dengan
tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara
lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak,
menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang,
memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”.
Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan
itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang
sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki
tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang
dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3) Ekspresif. Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif.
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan
dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh,
mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.
Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa
mencukupi kebutuhan keluarga”.

4) Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat


penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam
ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan
kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah
“Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu
mengikat penuturnya untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-
baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa
yang telah dituturkannya.

5) Deklarasi. Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang


dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal (status, keadaan, dan
sebagainya) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati.
Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud
mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan,
mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, memaafkan.
Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari contoh berikut ini.

“Ibu tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)“Bapak memaafkan


kesalahanmu.” (memaafkan)“Saya memutuskan untuk mengajar di SMA
almamater saya.” (memutuskan).

b) Implikatur

Implikatur mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama”antara penutur dan


lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus
saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada
masing-masing ujaran. Artinya,makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara
harafiah pada ujaran itu. Didalam implikatur, hubungan antara tuturan yang
sesungguhnya dengan maksud tertentu yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak.

Jenis Implikatur

Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari


makna kata, bukan dari prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung
implikatur konvensional. Contoh:Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-
ceplos.Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.

· Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi


pragmatik yang tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi, tuturan
selalu menyajikan suatu fungsi pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah
terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi pragmatik lain yang dinamakan
implikatur percakapan. Contoh:

Seorang kakak mengatakan pada adiknya yang sedang menangis: “Bapak datang.
Jangan menangis lagi!”

Pernyataan tersebut bukan berarti seorang bapak yang datang dari suatu tempat,
tapi kebiasaan Si Bapak yang marah jika melihat anaknya menangis, sehingga
kakak menyuruh adiknya untuk tidak menangis lagi.

A: “Jam berapa ini?”

B: “tenang saja, gerbang sekolah ditutup sepuluh menit lagi”

c) Deiksis

Menurut Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke
hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan
menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.

Agustina (dalam http://yusrizalfirzal.wordpress.com/2011/03/11/deiksis/)


menyatakan bahwa deiksis adalah kata atau frasa yang menunjuk kepada kata,
frasa, atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan diberikan.

Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis sebagai berikut:
Ø Deiksis Orang

Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam
peristiwa berbahasa Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah
peran pemeran serta dalam peristiwa berbahasa tersebut. Bahasa Indonesia
mengenal pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang
pertama, orang kedua, dan orang ketiga.

Contoh: “Saya dan Ani makan di tempat yang kami sukai”

‘kami’ merujuk pada ‘saya dan Ani’

Ø Dieksis Tempat

Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang
dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu Dalam
berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini
dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak
dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak dekat dari si pembicara dan
tidak pula dekat dari pendengar.

Contoh: Duduklah bersamaku di sini.

Ø Deiksis Waktu

Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau
jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat. Contoh deiksis
waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.

Contoh:

Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.Saya tidak dapat menolong Anda
sekarang ini.

Ø Deiksis Wacana

Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang
telah diberikan atau yang sedang dikembangkan. Deiksis wacana ditunjukkan oleh
anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan bersifat anafora apabila perujukan
atau penggantinya merujuk kepada hal yang sudah disebutkan.Contoh kalimat
yang bersifat anafora: Mobil keluaran terbaru itu harganya sangat mahal. Kata ‘itu’
merujuk pada ‘mobil’ yang telah disebutkan sebelumnya, sehingga berupa dieksis
anafora.

Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat katafora jika rujukannya menunjuk
kepada hal yang akan disebutkan. Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat
dilihat dalam kalimat berikut.

Di sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.Setelah dia masuk, langsung Toni
memeluk adiknya.

Ø Deiksis Sosial

Deiksis sosial adalah mengungkapkan atau menunjukkan perbedaan ciri sosial


antara pembicara dan lawan bicara atau penulis dan pembaca dengan topik atau
rujukan yang dimaksud dalam pembicaraan itu. Contoh deiksis sosial misalnya
penggunaan kata mati, meninggal, wafat dan mangkat untuk menyatakan keadaan
meninggal dunia. Masing-masing kata tersebut berbeda pemakaiannya. Begitu
juga penggantian kata pelacur dengan tunasusila, kata gelandangan dengan
tunawisma, yang kesemuanya dalam tata bahasa disebut eufemisme (pemakaian
kata halus). Selain itu, deiksis sosial juga ditunjukkan oleh sistem honorifiks
(sopan santun berbahasa). Misalnya penyebutan pronomina persona (kata ganti
orang), seperti kau, kamu, dia, dan mereka, serta penggunaan sistem sapaan dan
penggunaan gelar. Contoh pemakaian deiksis sosial adalah pada kalimat berikut.

Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?Saya harap Pak Haji berkenan
memenuhi undangan saya.

B. Kompetensi Penggunaan Bahasa

         Kompetensi merupakan bentuk kata benda dari kata sifat ‘kompeten’ yang
berarti cakap (mengetahui).  Dalam linguistik, kompetensi berarti kemampuan
menguasai gramatika satuan bahasa secara abstrak atau batiniah. Hal itu, sesuai
dengan pendapat DP Tampubolon[1] bahwa kompetensi bahasa adalah
penguasaan bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia) secara keseluruhan, terutama
tata bahasa dan kosa kata, termasuk berbagai arti dan nuansa serta ejaan dan
tanda-tanda baca, dan pengelompokan kata.. Bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Jadi, kompetensi bahasa adalah
kemampuan seseorang dalam menguasai keterampilan bahasa untuk
berkomuniksi.
Seseorang yang memiliki kompetensi bahasa, adalah orang yang memiliki
kemampuan bahasa. Kemampuan bahasa adalah kecakapan seseorang
menggunakan bahasa yang memadai dilihat dari sistem bahasa, Dalam
kompetensi bahasa, seseorang harus menguasai empat keterampilan bahasa, yaitu
menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Keempat keterampilan bahasa :
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis memiliki keterkaitan satu dengan
yang lainnya, empat keterampilan tersebut saling mempengaruhi satu dengan
yangn lainnya. Pada beberapa tugas yang lalu telah diuraikan mengenai
keterampilan – keterampilan bahasa, dan strategi pengajarannya.
Salah satu model yang paling terkenal dari kemampuan bahasa dikenal
sebagai "Kompetensi Komunikatif [2]." Model ini dikembangkan untuk
menjelaskan jenis orang pengetahuan perlukan untuk menggunakan bahasa dalam
interaksi bermakna. Istilah ini awalnya diciptakan oleh antropolog Dell Hymes
sebagai sarana untuk menggambarkan pengetahuan pengguna bahasa perlu selain
bentuk-bentuk gramatikal dari bahasa. Istilah ini kemudian diadopsi oleh
komunitas pengajaran bahasa setelah itu telah berkembang menjadi model untuk
Field yang oleh Michael Canale dan Swain Merrill (1980), kemudian oleh Sandra
Savignon (1997). 
DAFTAR RUJUKAN
http://duniayeniernawati.blogspot.com/2011/05/kompetensi-bahasa.html?m=1
https://widiyantoroagungpbi05.wordpress.com/2013/04/25/kompetensi-dan-
pengetauhuan-sosiolingustik-dalam-pengajaran-dan-pembelajaran-
bahasakompetensi-dan-pengetauhuan-sosiolingustik-dalam-pengajaran-dan-
pembelajaran-bahasa/

Anda mungkin juga menyukai