Anda di halaman 1dari 24

Referat

ANATOMI, FISIOLOGI DAN PENYAKIT


TERSERING PADA TELINGA

Oleh:

Diah Adelia Emilia, S.Ked


Diki Septian, S.Ked
Verta Vera Syaulatia, S.Ked

Preseptor:

dr. Bara Ade Wijaya, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU


PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

“ANATOMI, FISIOLOGI DAN PENYAKIT TERSERING PADA


TELINGA”

Yang diajukan oleh:


Diah Adelia Emilia, S.Ked
Diki Septian, S.Ked
Verta Vera Syaulatia, S.Ked

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Studi


Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Malahayati Bandar Lampung.

Mengetahui:

dr. Bara Ade Wijaya, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU


PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2020

KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya. Sholawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
referat ini dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Saraf yang berjudul “ANATOMI, FISIOLOGI DAN PENYAKIT TERSERING PADA
TELINGA”.

Kami menyadari bahwa penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan kepada:

1. dr. Bara Ade Wijaya, Sp. THT selaku pembimbing referat kami yang telah
bersedia memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran yang sangat
berharga kepada kami selama menyusun referat ini.
2. Teman-teman bagian Neurologi yang telah banyak membantu dan
mendukung kami hingga akhirnya tersusunlah referat ini.
3. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan referat ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari bahwa dalam referat ini masih banyak terdapat


kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun tentunya sangat kami harapkan. Semoga segala bantuan berupa
nasehat, motivasi, masukan dan budi baik semua pihak akan mendapat rahmat,
karunia dan pahala yang diridhoi oleh Allah SWT. Dan semoga referat ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak, khususnya di bagian Ilmu Penyakit Saraf. Aamiin.

Bandar Lampung, Juli 2020

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

Secara umum gelombang dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu gelombang yang
dalam proses perambatannya memerlukan medium perantara(gelombang mekanik), dan
gelombang yang dalam proses perambatannya tidak harus selalu memerlukan medium
perantara(gelombang elektromagnetik).

Gelombang akustik adalah gelombang suara yang dapat diartikan oleh pendengaran
manusia. Gelombang akustik termasuk gelombang mekanik yang dapat merambat melalui zat
padat,cair atau gas. Gelombang akustik pada dasarnya merupakan gelombang perubahan
tekanan pada medium tempat gelombang akustik itu berjalan. Perubahan tekanan yang
dimaksud adalah variasi besarnya tekanan udara disekitar tekanan statis (tekanan
keseimbangan) yang diakibatkan oleh perpindahan partikel-partikel dalam medium ketika
dilewati gelombang akustik.

Seseorang menerima suara berupa getaran pada gendang telinga dalam daerah
frekuensi pendengaran manusia. Getaran tersebut dihasilkan dari sejumlah variasi tekanan
udara yang dihasilkan oleh sumber bunyi dan dirambatkan ke medium sekitar nya, yang
dikenal sebagai medan akustik.

Menurut besarnya frekuensi gelombang akustik dapat dibagi menjadi tiga:

1. gelombang infrasonik, yaitu gelombang akustik yang mempunyai frekuensi yang sangat
rendah yaitu dibawah 20Hz.
2. gelombang sonik, yaitu gelombang akustik yang memiliki frekuensi dengan rentang
antara 20Hz-20KHz.
3. gelombang ultrasonik,yaitu gelombang akustik yang memiliki frekuensi yang sangat
tinggi yaitu diatas 20KHz.

Suara merupakan suatu sinyal analog (kontinyu) yang secara teoritis mengandung
informasi yang tak terhingga jumlahnya, yang direpresentasikan pada tak terhingga
banyaknya jumlah frekuensi dan tiap frekuensi tersebut memiliki informasi fasa dan
magnituda. Suara yang didengar telinga manusia mengalami perubahan dari sinyal akustik
yang bersifat mekanik menjadi sinyal listrik yang diteruskan saraf pendengaran ke otak.
Proses mendengar tentunya tidak lepas dari organ pendengaran manusia yakni telinga. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai mekanisme pendengaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telinga
2.1.1 Definisi Telinga
Telinga merupakan organ yang berfungsi sebagai indra pendengaran dan berfungsi
sebagai keseimbangan tubuh. Telinga sebagai organ pendengaran manusia yang dapat
menangkap dan merubah bunyi berupa energi mekanis menjadi energi elektris yang
kemudian diteruskan ke otak untuk di terjemahkan.1

2.1.2 Anatomi Telinga

Telinga sebagai organ pendengaran dan keseimbangan dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
telinga bagian luar (auris externa), telinga bagian tengah (auris media) dan telinga bagian
dalam (auris interna) . Dimana bagian luar telinga (auris externa) meliputi pinna auricular,
MAE (Meatus Acusticus Externus) dan membrane timpani, bagian telinga tengah (auris
media) meliputi cavum timphani, tulang pendengaran (ossicula auditiva) dan tuba auditiva,
bagian telinga dalam (auris interna) meliputi canalis semisircularis, vestibular, choclear.2,3

Gambar 2.1 Telinga

2.1.2.1 Telinga Bagian Luar (Auris Externa)

Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari membran timpani,
terdiri dari pinna aurikulum, meatus akustikus eksternus (MAE) dan membran timpani (MT).4

Pinna aurikulum meliputi helix, schapa, fossa triangulus, tuberculum


auriculare,antihelix, concha auriculare, lobules auriculare, incisura intertragica, cavitas
concha, tragus, cavitas conchae, incisura anterior, crus helicis, cymba concha, crusa
antihelix.3
Aurikulum dialiri arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis superfisialis. Aliran
vena menuju ke gabungan vena temporalis superfisialis, vena aurikularis posterior dan vena
emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus cranial V, VII, IX dan X.5

Gambar 2.2 Pinna Auricula

MAE merupakan tabung berbentuk S, dimulai dari dasar konka aurikula sampai pada
membran timpani dengan panjang lebih kurang 2,5 cm dan diameter lebih kurang 0,5cm.
MAE dibagi menjadi dua bagian yaitu pars cartilageyang berada di sepertiga lateral dan pars
osseus yang berada didua pertiganya. Pars cartilage berjalan ke arah posterior superior,
merupakan perluasan dari tulang rawan daun telinga, tulang rawan ini melekat erat di tulang
temporal, dilapisi oleh kulit yang merupakan perluasan kulit dari daun telinga , kulit tersebut
mengandung folikel rambut, kelenjar serumen dan kelenjar sebasea. Kelenjar serumen
memproduksi bahan seperli lilin berwarna coklat merupakan pengelupasan lapisan epidermis,
bahan sebaseus dan pigmen disebut serumen atau kotoran telinga. Pars osseus berjalan ke
arah antero inferior dan menyempit di bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini
sangat tipis dan melekat erat bersamadengan lapisan subkutan pada tulang. Didapatkan
glandula sebasea dan glandula seruminosa, tidak didapatkan folikel rambut.1,5

Gambar 2.3 MAE

2.1.2.2 Telinga Bagian Tengah (Auris Media)


Ossicula auditiva atau tulang tulang pendengaran yang meliputi maleus, incudes,
stapedis. Pada tulang procesus lateralis, processus anterior dan manbrium mallei akan
menempel pada membrane timpani. Caput malei akan berarticulatio dengan corpus incudes
membentuk articulation incudomalearis. Sedangkan crus logum dengan oss stapedis akan
membentuk articulation incudostapedis.3

Gambar 2.4 Ossicula Auditiva

Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic cavity. Kavum
timpani dibagi menjadi 3 yaitu epitimpani, mesotimpani dan hipertimpani. Pada bagian ini
juga terdapat struktur yang menghubungkan telinga tengah dengan faring yang dinamaka
Tuba auditiva. Tuba auditiva ini berfungi untuk menyeimbangkan tekanan di atmosfir dengan
tekanan di telinga tengah.3

Gambar 2.5 Cavum timpani dan Tuba Auditiva

2.1.2.3 Telinga Bagian Dalam (Auris Interna)


Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di dalamnya
dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD yaitu labirin, merupakan suatu
rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga TD yang dilapisi epitel.8

Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah siput dengan dua dan
satu setengah putaran pada aksis memiliki panjang lebih kurang 3,5 centimeter. Sentral
aksisdisebut sebagai modiolusdengan tinggi lebih kurang 5 milimeter, berisi berkas saraf dan
suplai arteri dari arteri vertebralis.9

Gambar 2.6 Choclear

2.1.3 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. 9 Proses
mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap pemindahan energi fisik berupa stimulus bunyi
ke organ pendengaran, tahap konversi atau tranduksi yaitu pengubahan energi fisik
stimulasi tersebut ke organ penerima dan tahap penghantaran impuls saraf ke kortek
pendengaran. 8

Mekanisme Pendengaran Telinga Luar dan Tengah

Aurikula berfungsi untuk mengetahui arah dan lokasi suara dan membedakan tinggi
rendah suara. Aurikula bersama MAE dapat menaikkan tekanan akustik pada MT pada
frekuensi 1,5 – 5 kHz yaitu daerah frekuensi yang penting untuk presepsi bicara, selanjutnya
gelombang bunyi ini diarahkan ke MAE menyebabkan naiknya tekanan akustik sebesar 10-
15 dB pada MT. 8

MAE adalah tabung yang terbuka pada satu sisi tertutup pada sisi yang lain. MAE
meresonansi ¼ gelombang. Frekuensi resonansi ditentukan dari panjang tabung, lengkungan
tabung tidak berpengaruh. Tabung 2,5 cm, frekuensi resonansi kira-kira 3,5 kHz. 8
Fo (frekuensi resonansi) = kecepatan suara (4 x panjang tabung) Dimana : Kecepatan
suara = 350 m/detik Misal panjang tabung = 2,5 cm, maka : Fo = 350 (4x2,5) = 3500 Hz = 3,5
kHz

Gelombang suara kemudian diteruskan ke MT dimana pars tensa MT merupakan


medium yang ideal untuk transmisi gelombang suara ke rantai osikular. Hubungan MT dan
sistem osikuler menghantarkan suara sepanjang telinga telinga tengah ke koklea. Tangkai
maleus terikat erat pada pusat membran timpani, maleus berikatan dengan inkus, inkus
berikatan dengan stapes dan basis stapes berada pada foramen ovale. Sistem tersebut
sebenarnya mengurangi jarak tetapimeningkatkan tenaga pergerakan 1,3 kali, selain itu luas
daerah permukaan MT 55 milimeter persegi sedangkan daerah permukaan stapes rata-rata
3,2 milimeter persegi. Rasio perbedaan 17 kali lipat ini dibandingkan 1,3 kali dari dari sistem
pengungkit , menyebabkan penekanan sekitar 22 kali pada cairan koklea. Hal ini diperlukan
karena cairan memiliki inersia yang jauh lebih besar dibandingkan udara, sehingga
dibutuhkan tekanan besar untuk menggetarkan cairan, selain itu didapatkan mekanisme
reflek penguatan, yaitu sebuah reflek yang timbul apabila ada suara yang keras yang
ditransmisikan melalui sistem osikuler ke dalam sistem saraf pusat, reflek ini menyebabkan
konstraksi pada otot stapedius dan otot tensor timpani. Otot tensor timpani menarik
tangkai maleus ke arah dalam sedangkan otot stapedius menarik stapes ke arah luar.
Kondisi yang berlawanan ini mengurangi konduksi osikular dari suara berfrekuensi rendah
dibawah 1 000 Hz. Fungsi dari mekanisme ini adalah untuk melindungi koklea dari getaran
merusak disebabkan oleh suara yang sangat keras , menutupi suara berfrekuensi rendah
pada lingkungan suara keras dan menurunkan sensivitas pendengaran pada suara orang itu
sendiri. ¹⁰

Mekanisme Pendengaran Telinga Dalam

Koklea mempunyai dua fungsi yaitu menerjemahkan energi suara ke suatu bentuk
yang sesuai untuk merangsang ujung sarafauditorius yang dapat memberikan kode
parameter akustik sehingga otak dapat memproses informasi dalam stimulus suara. 8

Koklea di dalamnya terdapat proses transmisi hidrodinamik yaitu perpindahan energi


bunyi dari foramen ovale ke sel-sel bersilia dan proses transduksi yaitu pengubahan pola
energi bunyi pada OC menjadi potensial aksi dalam nervus auditorius. Mekanisme transmisi
terjadi karena stimuli bunyi menggetarkan perilim dalam skala vestibuli dan endolim dalam
skala media sehingga menggetarkan membrana basilaris. Membrana basilaris merupakan
suatu kesatuan yang berbentuk lempeng-lempeng getar sehinga bila mendapat stimuli
bunyi akan bergetar seperti gelombang disebut traveling wave. Proses transduksi terjadi
karena perubahan bentuk membran basilaris. Perubahan tersebut karena bergesernya
membrana retikularis dan membrana tektorial akibat stimulis bunyi. Amplitudo maksimum
pergeseran tersebut akan mempengaruhi sel rambut dalam dan sel rambut luar sehinga
terjadi loncatan potensial listrik. Potensial listrik ini akan diteruskan oleh serabut saraf
aferen yang berhubungan dengan sel rambut sebagai impuls saraf ke otak untuk disadari
sebagai sensasi mendengar. 8

Koklea di dalamnya terdapat 4 jenis proses bioelektrik, yaitu : potensial endokoklea


(endocochlear potential) , mikrofoni koklea (cochlear microphonic) , potensial sumasi
(summating potensial), dan potensial seluruh saraf (whole nerve potensial). Potensial
endokoklea selalu ada pada saat istirahat, sedangkan potensial lainnya hanya muncul
apabila ada suara yang merangsang. Potensial endokoklea terdapat pada skala media
bersifat konstan atau direct current (DC) dengan potensial positif sebesar 80 – 100 mV. Stria
vaskularis merupakan sumber potensial endokoklea yang sangat sensitif terhadap anoksia
dan zat kimia yang berpengaruh terhadap metabolisme oksidasi. Mikrofoni koklea adalah
alternating current (AC) berada di koklea atau juga di dekat foramen rotundum, dihasilkan
area sel indera bersilia dan membrana tektoria oleh pengaruh listrik akibat vibrasi suara
pada silia atau sel inderanya. Potensial sumasi termasuk DC tidak mengikuti rangsang suara
dengan spontan, tetapi sebanding dengan akar pangkat dua tekanan suara. Potensial sumasi
dihasilkan sel-sel indera bersilia dalam yang efektif pada intensitas suara tinggi. Sedangkan
mikrofoni koklea dihasilkan lebih banyak pada outer hair cell. Bila terdapat rangsangan
diatas nilai ambang, serabut saraf akan bereaksi menghasilkan potensial aksi. Serabut saraf
mempunyai penerimaan terhadap frekuensi optimum rangsang suara pada nilai ambangnya,
dan tidak bereaksi terhadap setiap intensitas. Potensial seluruh saraf adalah potensial listrik
yang dibangkitkan oleh serabut saraf auditori. Terekam dengan elektroda di daerah foramen
rotundum atau di daerah saraf auditori, memiliki frekuensi tinggi dan onset yang cepat. 8

2.2 Penyakit Tersering pada Telinga

2.2.1 Impaksi Serumen


2.2.1.1 Definisi Impaksi Serumen

Impaksi serumen adalah gangguan pendengaran yang timbul akibat


penumpukan serumen di liang telinga dan menyebabkan rasa tertekan yang
mengganggu (Mansjoer, Arif :1999).

Infaksi serumen adalah gangguan pendengaran yang timbul akibat penumpukan


serumen di liang telinga dan menyebabkan rasa tertekan yang mengganggu. Serumen
dihasilkan dari produksi kelenjar sebasea dan kelenjar serumen yang terdapat di kulit
luar liang telinga yang apabila tidak pernah dibersihakan dapat menimbulkan sumbatan
liang telinga. Konsistensi serumen biasanya lunak, tetapi kadang-kadang padat,
terutama dipengaruhi oleh faktor keturunan, iklim dan usia. Sepertiga bagian luar dari
lubang telinga mengandung kelenjar yang berfungsi menghasilkan serumen. Pada
sebagian orang dihasilkan banyak serumen seperti halnya sebagian orang lebih mudah
berkeringat dibandingkan yang lain. Oleh karena sengaja dibentuk, tentunya serumen
tidak dimaksudkan sebagai pengganggu, justru sebaliknya serumen merupakan suatu
bentuk perlindungan terhadap telinga. Serumen di lubang telinga akan menangkap debu,
mikroorganisme, maupun partikel-partikel asing, dan mencegahnya masuk ke struktur
telinga yang lebih dalam. Serumen pun memiliki efek bakterisidal (dapat membunuh
bakteri). Efek tersebut diduga berasal dari komponen asam lemak, lisozim dan
immunoglobulin yang dikandungnya. Selain itu, pH serumen yang relatif rendah
merupakan suatu faktor tambahan yang dapat mencegah terjadinya infeksi telinga.
Serumen juga berfungsi sebagai pelumas, yang akan menjaga telinga supaya tidak
kekeringan. Dalam kondisi kekeringan, lubang telinga akan sangat mudah terluka,
akibatnya telinga akan terasa nyeri dan rentan terhadap infeksi. Ini membuktikan bahwa
serumen tidak hanya melindungi telinga dari ancaman yang datang dari luar, namun
juga menjaga agar lingkungan di dalam telinga tetap berada dalam kondisi yang
fisiologis.

2.2.1.2 Etiologi

a. Dermatitis kronik pada telinga luar


b. Liang telinga sempit
c. Produksi serumen terlalu banyak dan kental,
d. Terdorongnya serumen ke lubang lebih dalam (karena kebiasaan mengorek
telinga).

2.2.1.3 Tanda dan Gejala Impaksi Serumen

1. Pendengaran berkurang.
2. Nyeri di telinga karena serumen yang mengeras
3. Merasakan lingkungan di sekitarnya berputar (vertigo)
4. Telinga berdengung (tinutitis)

2.2.1.4 Patofisiologi

Dermatitis, produksi serumen yang banyak dan atau kental serta menyebabkan
peningkatan jumlah serumen di dalam liang telinga sehingga serumen terdorong
kedalam dan menyebabkan rasa nyeri dan penuh serta terkadang mengakibatkan
vertigo karena fungsi dari eustachuis sebagai organ penyeimbang tekanan menjadi
terhambat. Kebiasaan membersihkan telinga yang salah serta kondisi liang telingga
yang sempit mengakibatkan serumen menjadi terdorong kedalam dan mengakibatkan
rasa nyeri. Keadaan nyeri ini akan bertambah parah jika tidak di tangani. Klien dengan
impaksi serumen akan merasakan tekanan suara tinggi dui dalam, berdenging sehingga
timbul rasa cemas, tidak nyaman dalam beraktivitas maupun beristirahat serta risiko
gangguan persepsi sensori auditory menjadi meningkat.

2.2.1.5 Pemeriksaan diagnostik

a. CT Scan tulang tengkorak


b. Scan Gallum 67
c. Scan Tekhnetium 99
d. MRI
e. Tes Laboratorium
f. Kelenjar auditorius
g. Uji Weber
h. Uji Rinne

2.2.1.6 Therapy dan Penatalaksanaan

Pengeluaran serumen harus dilakukan dalam keadaan terlihat jelas.

a. Serumen yang lembek, dibersihkan dengan kapas yang dililit pada aplikator
(pelilit).
b. Serumen yang keras, dikeluarkan dengan pengait atau kuret.
c. Serumen yang sangat keras (membatu), dilembekkan dulu dengan karbogliserin
10%, 3 kali 5 tetes sehari, selama 3 – 5 hari, setelah itu dikeluarkan dengan
pengait atau kuret dan bila perlu dilakukan irigasi telinga dengan air yang
suhunya sesuai dengan suhu tubuh.
d. Serumen yang terlalu dalam dan mendekati membran timpani, dikeluarkan
dengan cara mengirigasi liang telinga dengan menggunakan air hangat, suhu 37
derajat Celcius supaya tidak timbul vertigo karena terangsangnya vestibuler dan
perlu diperhatikan iritasi liang telinga.

2.2.2 Otitis Eksterna (OE)


2.2.2.1 Definisi

Otitis eksterna (OE) adalah peradangan atau infeksi pada saluran eksternal
pendengaran (SEP), daun telinga, atau keduanya. Kondisi ini dapat ditemukan pada
semua kelompok umur.

OE dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Otitis Eksterna Difus Akut – Bentuk Otitis Eksterna Paling umum, umumnya
terlihat pada perenang.
b. Otitis Eksterna Lokal Akut – Terkait dengan infeksi dari folikel rambut.
c. Otitis Eksterna Kronis – Sama seperti Otitis Eksterna Difus Akut tapi memiliki
durasi yang lebih lama (> 6 minggu).
d. Otitis Eksterna Eksematosa (eczematoid) - Meliputi berbagai kondisi dermatologi
(seperti, dermatitis atopik, psoriasis, lupus eritematosus sistemik, dan eksim)
yang dapat menginfeksi SEP dan menyebabkan Otitis Eksterna.
e. Otitis Eksterna Nekrotik (ganas) – Infeksi yang meluas ke jaringan yang lebih
dalam yang berdekatan dengan SEP, terjadi terutama pada orang dewasa yang
memiliki gangguan sistem imun (penderita diabetes, penderita AIDS).
f. Otomikosis – Infeksi saluran telinga dari spesies jamur (Candida, Aspergillus).
2.2.2.2 Etiologi

OE paling sering disebabkan oleh bakteri patogen; varietas lain termasuk OE


fungal/jamur (otomikosis) dan OE eksematoid (psoriasis). Dalam sebuah penelitian,
91% dari kasus OE disebabkan oleh bakteri. Selain itu ditemukan bahwa sebanyak
40% dari kasus OE tidak teridentifikasi mikroorganisme primer sebagai agen
penyebab. Bakteri penyebab yang paling umum adalah spesies Pseudomonas (38%
dari semua kasus), spesies Staphylococcus, dan anaerob dan organisme gram–
negatif

2.2.2.3 Gejala

Ciri gejala fisik dari Otitis Eksterna adalah nyeri pada palpasi tragus
(anterior ke saluran telinga) atau aplikasi dari daya cengkeram ke pina (ciri khas
Otitis Eksterna).

Pasien umumnya memiliki gejala berikut :

a. Otalgia (rasa nyeri pada telinga) – Rentang dari ringan hingga berat, umumnya
berkembang selama 1 – 2 hari.
b. Gangguan/penurunan pendengaran.
c. Telinga terasa penuh atau tertekan (fullness) di liang telinga. Keluhan ini biasa
terjadi pada tahap awal otitis eksterna difus dan sering mendahului otalgia dan
nyeri tekan daun telinga.
d. Dengungan pada telinga (tinitus).
e. Demam (jarang).
f. Gatal/pruritus (terutama di Otitis Eksterna bakteri/fungal atau Otitis Eksterna
kronis).
g. Cairan (discharge) yang mengalir dari liang telinga.

2.2.2.4 Penatalaksanaan

Kebanyakan penderitaOtitis Eksterna diperlakukan secara empiris.

Pengobatan primer melibatkan berikut:

1 Manajemen nyeri.
2 Penghapusan debris dari SEP.
3 Pemberian obat topikal untuk mengontrol edema dan infeksi.
4 Menghindari faktor.

2.2.2.5 Farmakoterapi

1. Obat topikal (seperti, asam asetat dalam aluminium asetat, hidrokortison dan
larutan acetic acid otic, campuran alcohol vinegar otic).
2. Agen analgesik (seperti, acetaminophen, acetaminophen and codeine).
3. Antibiotik (seperti, hydrocortisone/neomycin/polymyxin B, otic ofloxacin,
otic ciprofloxacin, otic finafloxacin, gentamicin 0.3% / prednisolone 1%
ophthalmic, dexamethasone / tobramycin, otic ciprofloxacin dan
dexamethasone, otic ciprofloxacin dan hydrocortisone suspension).

4. Antibiotik oral (seperti, ciprofloxacin).


5. Agen antijamur (seperti, larutan otic clotrimazole 1%, bubuk nistatin).

2.2.2.6 Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

a. Rutin mengeringkan telinga setelah cuci rambut maupun mandi, dan


keringkan dengan hati-hati serta perlahan dengan memiringkan telinga ke
salah satu sisi kemudian tarik perlahan pada cuping telinga apabila
kemasukan air.
b. Pakai penyumbat telinga pada waktu berenang, serta jangan berenang pada
air yang kotor (sungai) dan tempat lain yang berpolusi.
c. Pakai sampo yang tidak mengandung parfum, serta hindari penggunaan
produk penata rambut dan pewarna rambut.
d. Apabila memakai pengering rambut, gunakan dengan suhu rendah, serta jaga
jarak ± 30 cm dengan telinga.

2.2.3 Otitis Media Akut


2.2.3.1 Definisi OMA

Otitis media akut adalah infeksi pada telinga tengah yang onsetnya bersifat akut,
terdapat tanda efusi pada telinga tengah dan inflamasi telinga tengah. Otitis media adalah
istilah umum untuk inflamasi pada telinga bagian tengah, dan otitis media
diklasifikasikan secara klinis menjadi otitis media akut dan otitis media dengan efusi,
otitis media dengan efusi kronis, otitis media mukoid, dan otitis media supuratif kronis.
Otitis media dapat terjadi akibat terganggunya tuba eusthacius, dimana paling sering
disebabkan oleh infeksi virus pada saluran pernafasan atas dan diperparah oleh infeksi
sekunder oleh bakteri (Shaikh dan Hoberman, 2010; Cunningham dkk., 2012).

Otitis media akut adalah salah satu penyakit tersering pada anak-anak, terhitung
sekitar satu dari empat dari semua peresepan obat untuk anak-anak di bawah 10 tahun di
US. Meski otitis media akut sering sembuh dengan sendirinya dalam 4-7 hari tanpa
memakai antibiotik (self limiting), tapi kondisi ini dapat mempengaruhi intelektual anak
& kemampuan berbahasa, begitu juga dengan prestasinya di sekolah (Cheong dan
Hussain, 2012).
Otitis media akut adalah peradangan telinga tengah yang gejalanya berlangsung
cepat seperti tanda-tanda dari efusi telinga tengah dan tanda inflamasi pada telinga
tengah. Otalgia dan demam adalah tanda paling klasik dari otitis media akut yang telah
terjadi pernanahan. Penemuan spesifik dari pemeriksaan otoskop adalah hilangnya reflek
cahaya, hilangnya bentuk normal membran timpani, dan pembengkakan pada membran
timpani (Toll dan Nunez, 2012).

2.2.3.2 Etiologi
2.2.3.2.1Virus

Kebanyakan anak-anak terinfeksi oleh respiratory syncytial virus (RSV) pada


awal tahun kehidupan. Prevalensi virus saluran pernafasan pada cairan pada telinga
tengah dari 456 anak berumur tujuh bulan sampai tujuh tahun dengan otitis media
akut adalah 41%. RSV adalah yang paling sering ditemukan, diikuti dengan
parainfluenza, influenza, enterovirus dan adenovirus. Penemuan ini dikonfirmasi
dengan penelitian lain dan ditambahkan beberapa virus ke dalam daftar seperti
rhinovirus, coronavirus, metapheumovirus (Corbeel, 2007).

2.2.3.2.2 Bakteria

Sekitar 70% pasien dengan otitis media akut, bakteri ditemukan pada kultur
pada telinga tengah. Spesies yang paling sering adalah haemophilus influenzae dan
streptococcus pneumoniae. Kultur pada nasofaring dapat memberikan informasi
berguna dalam keterlibatan bakteri pada otitis media akut. Heikkinen dkk menemukan
pada 25% dari pasiennya disebabkan oleh steptococcus penumoniae, haemophilus
influenzae pada 23%, moraxella catarrhalis sekitar 15%. Telah didemostrasikan
bahwa kekambuhan dari otitis media akut memiliki hubungan positif dengan hasil
kultur bakteri yang positif pada nasofaring (Corbeel, 2007).

2.2.3.3 Faktor Risiko OMA


Faktor risiko dari otitis media pada populasi anak-anak (pediatric)
tergantung pada banyak faktor seperti faktor inang dan faktor lingkungan. Faktor
risiko ini adalah usia, kolonisasi bakteri, menyusui, dan merokok pasif (Bardy dkk.,
2014).

1. Usia
Puncak insiden dari otitis media akut adalah pada dua tahun pertama
kehidupan, khususnya pada 6-12 bulan. Peningkatan kerentanan terhadap otitis
media akut dapat dikaitkan dengan keadaan anatomi, dimana tuba Eusthacius
lebih pendek dan lebih horizontal dibandingkan dengan dewasa dan juga karena
faktor imunitas. Otitis media akut adalah penyakit musiman, dominan terjadi pada
musim salju tapi juga pada musim gugur dan semi (Shaikh dan Hoberman, 2010)
2. Kolonisasi bakteri
Kolonisasi pada nasofaring oleh otopathogen memprediksi onset awal dan
frekuensi dari otitis media pada semua anak-anak. Penelitian pada kelompok
pribumi menunjukan bahwa kolonisasi otopathogen ini lebih sering pada usia
muda dan dengan jumlah bakteri yang terkandung lebih tinggi (Bardy dkk., 2014).

3. Kondisi lingkungan
Risiko terkena otitis media meningkat dengan adanya kontak dengan anak
lain, rumah dengan jumlah anggota keluarga yang melebihi seharusnya, kumuh,
dan interaksi dengan individual dengan otitis media akut. Beberapa studi meneliti
antara kondisi lingkungan yang tidak baik dengan risiko otitis media pada
komunitas pribumi. Lingkungan yang padat sudah dipastikan sebagai masalah
utama pada komunitas pribumi (Bardy dkk., 2014).

4. ASI
Literatur internasional menyatakan bahwa kekurangan ASI ekslusif pada enam
bulan pertama kehidupan meningkatkan risiko otitis media akut pada bayi di
bawah satu tahun, tetapi pada penilitan 280 anak - anak pribumi menunjukan
bahwa kurangnya ASI ekslusif tidak meningkatkan risiko otitis media pada enam
bulan awal kehidupan (Bardy dkk., 2014).

5. Merokok
Merokok pasif merupakan resiko yang penting terjadinya otitis media pada
anak-anak (Bardy dkk., 2014).

2.2.3.4 Gejala Klinis OMA


Gejala otitis media akut yang paling sering adalah kemerahan pada membran
timpani sebanyak 52,8% episode dan sakit pada telinga dilaporkan sebanyak 48,4%
episode. Keluarnya cairan dari telinga dilaporkan sebanyak 14,4% episode, tidak
ditemukan perbedaan gejala otitis media akut pada kelompok usia tertentu (Liese dkk,
2013).

Orang dewasa dengan otitis media akut biasanya terdapat sakit telinga yang
mendadak, tetapi pada anak-anak yang belum bisa bicara biasanya ditandai dengan
memegang telinga, menangis berlebih, demam, perubahan kebiasaan dan pola tidur
(Anonim, 2014).

Beberapa studi mengevaluasi hubungan antara temuan pada pemeriksaan


otoskop pada otitis media akut dan timpanosintesis. Peneliti mengkorelasi warna
membran timpani, mobilitas, dan posisi dengan tanda cairan telinga tengah. Otitis
media akut didiagnosis jika ditemukan cairan pada telinga tengah dan anak
mengalami demam, sakit telinga, iritabilitas, bersamaan dengan gejala gangguan
sistem pernafasan akut. Kombinasi dari membran timpani keruh dan mengembung
dengan gangguan motilitas adalah pertanda adanya otitis media akut dengan
menggunakan diagnosis berdasarkan gejala, dengan sensitivitas dan spesifitas
tertinggi (95% and 85%). Selanjutnya adalah kekeruhan membran timpani sebagai
pertanda terbaik dengan sensitivitas tinggi (74%) dan spesifitas tinggi (93%),
mengembungnya membran timpani memiliki spesifitas tinggi (93%) tetapi rendah
sensitivitas (51%). Membran timpani yang hemoragik, sangat merah, atau merah
sedang juga berkorelasi dengan otitis media akut, dan membran timpani yang sedikit
merah pada membran timpani tidak membantu dalam mendiagnosis (Anonim, 2014).

2.2.3.5 Patogenesis OMA


Patogenesis otitis media oleh virus :

Terdapat 3 bakteri patogen yang paling sering pada otitis media akut
(streptococcus pneumoniae, haemophilus influenzae, moraxella catarrahalis) yang
berkolonisasi pada nasofaring mulai dari saat masa bayi dan dianggap sebagai flora
normal pada tubuh manusia. Bakteri patogen ini tidak menimbulkan gejala atau
keluhan sampai terjadi perubahan pada lingkungan pada nasofaring. Virus pada
infeksi saluran pernafasan atas (upper tract infection) memiliki peran penting pada
patogenesis dari otitis media akut ini dimana virus ini menyebabkan inflamasi pada
nasofaring, yang menyebabkan perubahan pada sifat kepatuhan bakteri dan
kolonisasi, dan gangguan fungsi dari tuba Eusthacius. Tuba Eusthacius adalah
pelindung alami yang mencegah kolonisasi dari nasofaring ke telinga tengah.
Anak-anak biasanya rentan terhadap otitis media akut karena imunitas sistemik
yang tidak matang dan imunitas anatomi yang tidak matang (Maron dkk., 2012).

Virus pada infeksi saluran pernafasan atas membuat inflamasi pada


nasofaring dan tuba Eusthacius yang merangsang peningkatan kolonisasi dari
bakteri. Virus influenza A, Corona virus NL63, dan respiratory syntical virus
(RSV) meningkatkan sifat kepatuhan bakteri pada sel epitel. Virus influenza A juga
memacu kolonisasi S. pneumoniae pada nasofaring. Virus juga memodifikasi
fungsi imunitas dan mengganggu aktivitas antibiotik. Virus juga merubah propertis
dari jaringan mukus dan menghilangkan pembersihan pada mukosiliar yang
melapisi sel epitel dengan cara mengurangi produksi dari zat anti bakteri pada
nasofaring, tuba Eusthaius, dan rongga telinga tengah, sehingga meningkatkan
keagresifan dari bakteri. Perubahan mukosiliar dari tuba Eusthacius menyebabkan
tersumbatnya tuba Eusthacius dan terjadi tekanan negatif pada telinga tengah,
dimana tekanan negatif ini terjadi lebih parah pada anak-anak. Tekanan negatif ini
memfasilitasi masuknya bakteri dan virus patogen ke dalam rongga telinga tengah
menyebabkan inflamasi telinga tengah, akumulasi cairan telinga tengah, dan gejala
otitis media akut (Maron dkk., 2012).

2.2.3.6 Diagnosis OMA


Diagnosis pasti dari otitis media akut sering susah dilakukan pada anak-anak.
Gejala sering tumpang tindih dengan gejala gangguan saluran pernafasan atas. Sakit
pada telinga yang merupakan gejala paling spesifik sering tidak didapatkan pada
pasien dengan otitis media akut (Shaikh dan Hoberman, 2010).

Dalam The American Academy of Family Physicians and American Academy


of Pediatric terdapat beberapa kriteria untuk mendiagnosis otitis media akut, yaitu:

1. Riwayat gejala yang mendadak dan bersifat akut.


2. Tanda dari efusi pada telinga bagian tengah, seperti menggembungnya membran
timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang
keluar dari telinga.
3. Tanda inflamasi pada telinga bagian tengah, seperti kemerahan atau erythema
pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia.
Gejala dengan nilai prediktif paling tinggi untuk mendiagnosis efusi telinga
tengah pada otitis media akut adalah mengembungnya membran timpani (bulging).
Nilai prediktif dari bulging ini bisa meningkat jika berkombinasi dengan gangguan
motilitas dan warna yang berubah pada membran timpani (Toll dan Nunez, 2012).

Dalam Alberta Clinical Practice Guideline, dalam membedakan antara


miringitis dan otitis media akut, terdapat perbedaan yang paling dasar adalah
kurangnya mobilitas dari membran timpani. Berkurangnya mobilitas membran
timpani merupakan komponen utama untuk mendiagnosis otitis media akut. Otalgia
dan demam adalah tanda paling khas dari otitis media supuratif. Penemuan spesifik
pemeriksaan otoskop adalah hilangnya reflek cahaya, hilangnya bentuk (contour)
normal dan mengembung (bulging) dari membran timpani (Toll dan Nunez, 2012).

2.2.3.7 Pencegahan OMA


Pencegahan dari otitis media akut sangat penting untuk mengurangi
komplikasi, biaya kesehatan, serta waktu yang dihabiskan di tempat kerja dan
sekolah. Edukasi orang tua, vaksinasi, chemophylaxis, dan terkadang operasi memiliki
peran untuk pencegahan kejadian otitis media akut (Cunningham dkk., 2012).

Dokter harus mampu mengedukasi orang tua pasien tentang cara mengurangi
eksposur untuk mencegah kejadian otitis media. Beberapa faktor risiko yang perlu
dibicarakan dengan pasien, yaitu:

a. ASI minimal tiga bulan dapat proteksi melawan otitis media akut untuk tahun
pertama kehidupan.
b. Day care adalah program, organisasi, atau tempat yang merawat anak – anak
atau manula pada siang hari, biasanya disaat anggota keluarga lain sedang
bekerja. Day care memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian infeksi saluran
pernafasan atas dan kambuhnya otitis media akut. Day care yang baik dan
selektif dapat mengurangi eksposur.
c. Keluarga harus diberi tahu akan bahaya merokok yang hubungannya dengan
pencegahan eksposur terjadinya otitis media.
d. Pemakaian dot setelah usia enam bulan meningkatkan risiko kekambuhan
(Cunningham dkk, 2012).
Pencegahan dari otitis media akut dapat dilakukan dengan pencegahan pada
infeksi saluran pernafasan atas, pencegahan atau eliminasi dari kolonisasi bakteri
patogen pada nasofaring, dan pengobatan awal untuk infeksi saluran pernafasan atas.
Pada saat ini, pencegahan efektif dan pengobatan untuk virus pernafasan yang tersedia
hanya untuk virus influenza. Menurut studi, Trivalent Inactived Influenza Vaccine
(TIV) dan Live Atttenuated Influenza Vaccine (LAIV) menunjukan efektif dalam
pencegahan melawan influenza dan influenza yg terkait morbiditas. LAIV sekarang
ditetapkan untuk anak-anak di atas dua tahun (Maron dkk., 2012).

Untuk mengurangi kolonisasi bakteri, sekarang sudah tersedia vaksin untuk S.


Pneumoniae. Seven-valent pneumonococcal conjugate vaccine (PCV-7) tersedia
untuk pemakaian rutin pada anak-anak di Amerika Serikat pada tahun 2000. Vaksin
ini ditujukan untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh tujuh yang paling umum
pada lebih dari 90 serotype dari S. Pneumoniae. PCV-7 secara dramatis mengurangi
insiden dari penyakit invasif dari pneumococcal (Maron dkk., 2012).

2.2.3.8 Komplikasi OMA


Komplikasi dari otitis media akut bervariasi dari ringan sampai berat. Efusi
pada telinga tengah yang berhubungan dengan otitis media akut atau otitis media
dengan efusi bisa menyebabkan kehilangan pendengaran yang bersifat sementara atau
permanen. Kehilangan pendengaran lebih sering tipe konduktif tapi bisa juga tipe
sensorineural pada kasus langka. Pada anak-anak dengan efusi yg menetap memiliki
nilai pada tes kemampuan berbicara, bahasa, dan kognitif yang lebih rendah
dibandingkan yang tidak terdapat efusi (Cunningham dkk., 2012).

Perforasi dari membran timpani dapat terjadi pada otitis media akut. Kondisi
ini disebabkan oleh tekanan dari efusi telinga tengah yang menyebabkan iskemia
tengah, nekrosis, dan menyusul perforasi membran (Cunningham dkk., 2012).

Perluasan infeksi dari telinga tengah pada otitis media bisa mengenai struktur
di sekitarnya yang dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti mastoiditis,
labyrinthitis, dan petrositis. Komplikasi intrakranial seperti meningitis, epidural
abcess, brain abcess, lateral sinus thrombosis, cavernous sinus thrombosis, subdural
empyema, dan carotid artery thrombosis (Cunningham dkk, 2012).

2.2.3.9 Penatalaksanaan OMA


1. Pemberian antibiotika
Berdasarkan AAP dan AAFP clinical practice guideline pada otitis
media akut, apakah pasien harus diobservasi atau diberi terapi antibakteri pada
otitis media akut dengan kriteria sebagai berikut:

a. Anak-anak kurang dari enam bulan harus menerima terapi antibakteri, tanpa
memperhatikan tingkat kepastian dari diagnosis otitis media akut.
b. Terapi antibakteri untuk anak-anak umur enam bulan sampai dua tahun
direkomendasikan saat diagnosis otitis media akut sudah pasti, atau saat
penyakitnya parah meski diagnosis belum pasti. Penyakit parah jika terjadi
otalgia sedang sampai berat atau suhu tubuh > 39°C dalam 24 jam terakhir.
Observasi adalah pilihan pada grup usia ini saat diagnosis belum pasti dan
penyakitnya tidak parah.
c. Terapi antibakteri untuk anak-anak lebih dari dua tahun direkomendasikan
saat diagnosis dari otitis media akut sudah pasti dan penyakitnya parah.
Observasi adalah pilihan saat diagnosis pasti atau tidak pasti tapi
penyakitnya ringan.
d. Observasi hanya dianggap sebagai pilihan yang cocok saat pasien dapat
dimonitor perkembangannya dan terapi antibakteri dapat dimulai saat gejala
tetap atau memburuk.
Pemilihan antibiotik yang tepat untuk pengobatan otitis media akut
sangat penting untuk pemberantasan bakteri pada telinga tengah. Kegagalan dan
kesuksesan pemberantasan infeksi bakteri berhubungan dengan kegagalan
pengobatan dan otitis media akut yang menetap dan berulang (Cunningham
dkk., 2012). Beberapa antibiotik yang dapat diberikan seperti:

1. Amoksisilin, pada dosis tinggi (80-90mg/kg/hari) efektif melawan kelompok


dari S. Pneumoniae yang rentan, setengah resisten, dan beberapa yang
sangat resisten. Harga yang murah dan efek samping yang rendah membuat
amoksisilin menjadi pilihan yang menarik sebagai terapi garis pertama pada
anak-anak dengan otitis media akut. Kegagalan pengobatan dengan
amoksisilin dosis tinggi paling sering disebabkan oleh organisme beta
laktamase positif dan S. Pneumoniae yang tidak rentan penisilin dengan
menggangu protein yang mengikat penisilin (Cunningham dkk., 2012).
2. Makrolida (Azitromisin dan Klaritromisin) adalah pilihan untuk terapi awal
untuk pasien dengan penyakit ringan dan riwayat alergi penisilin. Obat ini
tidak direkomendasikan untuk pasien yang sensitif pada penisilin atau
pasien yang mengalami kegagalan terapi dengan amoksisilin. Makrolida
memiliki aktivitas yang terbatas melawan nontipe H. Influenzae dan hanya
efektif melawan S. Pneumoniae yang rentan penisilin (Cunningham dkk.,
2012).
3. Cephalosporin, cefdinir, cefpodoxime dan cefuxime direkomendasikan
sebagai pengobatan oral garis pertama pada pasien dengan alergi penisilin
yang bukan tipe satu dan penyakit yang ringan. Karena tingginya
kemungkinan untuk resisten, efektivitas yang rendah, rasa yang tidak enak.
Cephalosprin yang diminum secara oral sebaiknya tidak dijadikan garis
pertama untuk otitis media akut, kecuali pasien memiliki gejala yang ringan
dengan riwayat alergi penisilin yang bukan tipe satu (Cunningham dkk.,
2012).
4. Cefriaxone secara intramuskular dosis tunggal adalah pilihan terapi pada
pasien dengan gejala yang berat dengan alergi penisilin, dan pada pasien
yang menunjukan kegagalan terapi dengan antibiotik lain. Jika gejala tidak
membaik, dosis kedua dan ketiga dapat dilakukan (Cunningham dkk., 2012).
5. Clindamycin direkomendasikan untuk pasien dengan kegagalan terapi otitis
media akut dengan alergi penisilin dan gejala yang ringan. Clindamycin
hanya efektif melawan 60-80% dari S. Pneumoniae dan tidak memberi
pertahanan melawan bakteri gram negatif seperti H. influenzae dan M.
catarrhalis (Cunningham dkk., 2012).

BAB III
KESIMPULAN

Telinga merupakan indra pendengaran bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Selain itu juga membantu menjaga keseimbangan. Informasi yang masuk ke telinga dan
posisi kepala disampaikan oleh saraf pendengaran ke otak untuk diartikan. Telinga terdiri
dari telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari auricula (pinna) dan meatus
acusticus externus.
Telinga luar berfungsi mengumpulkan suara dan mengubahnya menjadi energi
getaran sampai ke gendang telinga.
Telinga tengah atau cavitas tympani adalah suatu ruangan yang penuh berisi udara
yang dilapisi oleh membrane mucosa dan terletak di antara meatus acusticus externus dan
labirin Telinga tengah menghubungkan gendang telinga sampai ke kanalis semisirkularis
yang berisi cairan. Di telinga tengah ini, gelombang getaran yang dihasilkan tadi
diteruskan melewati tulang-tulang pendengaran sampai ke cairan di kanalis semisirkularis;
adanya ligamen antar tulang mengamplifikasi getaran yang dihasilkan dari gendang
telinga.
Telinga dalam disebut labirin karena kompleksitas dari bentuknya. Bagian ini
terdiri dari enam struktur mekanoreseptif: tiga kanalis semisirkularis, utrikulus, dan
sakulus yang merupakan organ keseimbangan, serta cochlea yang berfungsi mendeteksi
gelombang suara. Telinga dalam terdiri dari dua bagian: labirin osseus, yaitu pars petrosa
dari tulang temporal, dan labirin membranosa, yang menghubungkan sakulus dan duktus
pada labirin osseus.
Telinga dalam merupakan tempat ujung-ujung saraf pendengaran yang akan
menghantarkan rangsangan suara tersebut ke pusat pendengaran di otak manusia.
Proses pendengaran ini diawali dengan masuknya gelombang bunyi yang ditangkap
oleh daun telinga melewati meatus acusticus eksternus. Kemudian gelombang suara yang
telah ditangkap akan membuat membran tympani telinga bergetar. Setelah melalui
membran tympani, getaran tersebut akan menggetarkan ketiga tulang pendengaran
(maleus, incus, stapes). Getaran dari tulang pendengaran diteruskan melalui jendela oval,
yang kemudian akan menggerakkan fluida sehingga membran basiliar ikut bergetar akibat
resonansi. Organ korti yang terletak di permukaan membran basiliar yang terdiri dari sel-
sel rambut ini akan mengubah getaran mekanik menjadi sinyal listrik. Kemudian sel saraf
(aferen) menerima pesan dari sel rambut dan meneruskannya ke saraf auditori, yang akan
membawa informasi tersebut ke otak, yaitu korteks serebri area pendengaran (area
Broadmann 41 dan 42) dan disadari sebagai rangsang pendengaran.
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan secara kualitatif (cara klasik) dan secara
kuantitatif (cara modern). Pemeriksaan yang merupakan tes kualitatif antara lain: tes
Rinne, tes Weber, tes Swabach, tes Bing (oklusi), dan tes Stenger. Pemeriksaan yang
merupakan tes kuantitatif yaitu: pemeriksaan dengan menggunakan audiometer,
pemeriksaan autoskop, Welch Allyn Audioscope 3 (WAA), Visual Reinforcement
Audiometry (VRA), Elektrostagmografi, GSR dan EEG audiometri. Tes semi kuantitatif
yaitu tes berbisik.
Manfaat memeriksa gangguan fungsi pendengaran yaitu untuk memeriksa derajat
ketulian seseorang, kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif,
penyebab tuli hantaran tulang, untuk mendeteksi peradangan akut, untuk mendeteksi
gangguan telinga bagian luar, untuk melihat adanya benjolan, dan untuk memeriksa
meningitis bulosa.

DAFTAR ISI

Anonim. 2014. Clinical Practice Guideline : The Diagnosis and Management of Acute Otitis
Media. The American Academy of Pediatric.

Anonymus. 2008. Meatus acusticus externus gland. 2000. Citation available from :
www.uptodate.com. acces on September 30th.
Ballenger JJ. 1997. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa: Staf
pengajar FKUI-RSCM. 13rd ed. Jakarta: Binarupa Aksara:105-9.

Cheong K. H. & Hussain, S. S. M. 2012. Management of reccurent acute otitis media in


children: systematic review of the effect of different interventions on otitis media
recurrence, recurrence frequency and total recurrence time. The journal of
laryngology & otology; 126: 874-885.

Corbeel, L. 2007. What Is New with Otitis Media. Eur J Pediatr; 166: 511-519.

Donalson JA, Duckert LG. 1991. Anatomy of the ear. In: Paparella MM, Shumrick DA eds.
Otolaryngology. 3thed. Philadelphia: WB Saunders co: 23-58.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Setiawan I, Tengadi
KA, Santoso A. 1 st ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC: 827-34.

Liese, J. G. 2013. The Incidence and Clinical Presentation of Acute Otitis Media in Children
Aged <6 year in European Medical Practices. Epidemiol. Infect; 142: 1778-1788.

Liston SL, Duvall AJ. 1997. Embriologi, anatomi dan fisiologi telinga. Dalam: Boeis eds.
Boeis buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W. 6thed. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC:30-8

Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Indonesia.

Maron, T., Koivisto, J. N., Chonmaitree, T. 2012. Viral Bacterial Interaction in Acute Otitis
Media. Curr Allergy Asthma Rep; 12: 551-558.

Meyerhoff WL, Carter JB.1984. Anatomy and physiology of hearing. In: Meyerhoff WL eds.
Diagnosis and management of hearing loss. Philadelphia: WB Saunders: 1 -12.

Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. 2006. Anatomy and physiology of hearing. In: Bailey JB,
Johnson JT. Head and neck surgery otolaryngology. 4 ed, Vol 2. Philadelphia:
Lippincott W, Wilkins:1883-1902.

Paulsen F, Washcks J. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala Leher dan
Neuroanatomi Jilid 3, Edisi 23. EGC : Jakarta.

Shaikh, N. & Hoberman. A. 2010. Update: Acute Otitis Media. Pediatric Annal; 39: 1.

Sherwood L. 2014. Telinga : pendengaran dan keseimbangan Damal : Fisiologi Manusia dari
Sel ke Sistem Edisi 8. EGC : Jakarta.

Soetirto I, Hendramin H, Bashirudin J. 2007. Gangguan pendengaran dan kelainan telinga


dalam : Supardi EA , Iskandar N, Bashiruddin J eds. Buku ajar ilmu penyakit
telinga, hidung dan tenggorok .Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: 10-22.
Toll, E.C., & Nunez, D. A. 2012. Diagnosis and Treatment of Acute Otitis Media : Review.
The Journal of laryngology & otology; 126: 976-983.

Anda mungkin juga menyukai