Anda di halaman 1dari 33

PATOFISIOLOGIS KASUS KEBIDANAN

Dosen Pengampu : Oktaviani SSiT.M.Keb

Eviza Kharisma Nadya

Nim : PO.62.24.2.20.336

PROGRAM STUDI PROFESI KEBIDANAN ANGKATAN II

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA

TAHUN 2020

1
DAFTAR ISI

A. Inkontinensia Urine..................................................................3
B. Inkontinensia Fekalis................................................................9
C. Frolaps Organ Panggul............................................................15
D. Fistula Urogenital ....................................................................19
E. Dispareunia...............................................................................23

2
1. Inkontinensia Urin

A. Pengertian

Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam
merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine
adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan
terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses).Inkontinensia urine
(beser) adalah kondisi ketika dorongan berkemih tidak mampu dikontrol oleh sfingter
ekternal. Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan otot sfingter ekternal sementara
atau menetap untuk mengontrol ekresi urine. Inkontinensia urine adalah keluarnya urin
secara tidak terkendali atau tidak pada tempatnya. Inkontinensia urine adalah eliminasi
urine dari kandung kemih tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan.

B. Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.

Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran
kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya
gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

1. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis
atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi
perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila
terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya
serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.

2. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

3
3. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai.

4. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma,


atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.

5. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan
dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien

6. lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang


dideritanya. Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul,
karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia
lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan
selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan
lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.

7. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor
risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang
semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi
perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul

C. Patofisiologi

1. Patofisologi inkontinensia secara umum

Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika


Urinaria (Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-
600 ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml.
Berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika
keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot detrusor kontrasi dan sfingter
internal dan sfingter ekternal relaksasi,yang membuka uretra.Pada orang dewasa
muda hampir semua urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua
urine dikeluarkan, tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah
yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya retensi urine.Terjadinya
pengisian kandung kemih sehingga meningkatkan tekanan didalam kandung

4
kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung kemih) memberikan
respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume daya tamping. Bila titik
daya tampung telah tercapai biasanya 150-200 ml urin akan merangsang stimulus
yang ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat reflek untuk
mikturisasi.

Impuls kemudian disalurkan melalui serabut efferen dari lengkungan reflek ke


kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfingter interna yang dalam
keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka dan urine masuk ke
urethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot perineal mengikuti dan isi
kandung kemih keluar. Reflek ini bisa mengalami interupsi sehingga berkemih
dikeluarkan oleh impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar
kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari sistem ini mengalami kerusakan,
akan bisa terjadinya inkontinensia urin.

2. Patofisiologi inkontinensi urin berdasarkan tipe nya


a. Inkontinensia urin karena penurunan kadar esterogen pada wanita lansia
Esterogen dapat mempertahankan kontinensia dengan meningkatkan
sensitifitas alfa adreno reseptor pada otot polos uretra. Inkontinensia urin
disebabkan oleh perubahan pada jaringan epitel dan vaskular yang terdapat
didalam mukosa dan jaringan otot, terjadi akibat proses penuaan dan
penurunan kadar esterogen. Secara mekanisme dapat disebabkan :
1) Uretra hipermobilitas
Terjadi dimana uretra tidak menutup secara sempurna dan sangat
mudah digerakkan. Kondisi ini terjadi ila otot dasar pelvis menjadi
lemah akibat proses penuaan dan mengikuti hal – hal seperti
dibawah ini :
a) Tekanan dari otot dasar pelvis berkurang
b) Kandung kemih akan turun kebawah
c) Mendesak otot – otot yang mengelilingi kandung kemih
2) Stress Inkontinensia
Inkontinensia tipe ini sering terjadi pada wanita. Otot dasar
pamggul, vagina, dan ligamen nya menyokong kandung kemih.
Jika struktur tersebut melemah, maka kandung kemih akan turun,
menekan sedikit keluar dari pelvis kearah vagina. Hal ini
mencegah otot – otot yang biasanya memberikan kekuatan untuk
menutup uretra untuk bekerja sehingga urin dapat keluar selama
moment stres fisik seperti saat batuk, tertawa, dll.
3) Urgency Inkontinensia
Tindakan otot kandung kemih yang tidak disadari dapat
terjadi karena kerusakan saraf pada kandung kemih ke nervus

5
sistem (spinal cord dan SSP) atau otot. Sinyal saraf yang abnormal
mungkin disebabkan karena spasme pada kandung kemih
4) Overflow Inkontinensia
Terjadi jika karena kandung kemih tidak dapat
mengosongkan dengan baik karena itu masih ada sisa urin di dalam
kandung kemih. Otot kandung kemih yang lemah atau sumbatan
uretra dapat menyebabkan inkontinensia urin tipe ini.

D. Manifestasi Klinis
a. Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.
Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
b. Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran
seringnya terburu-buru untuk berkemih.
c. Tidak bisa menahan untuk miksi
d. Terdapat rembesan urin
e. Urin keluar sebelum sampau tempatnya
f. Frekuensi urin bertambah
g. Pasien tidak merasa puas saat berkemih
h. Urin menetes
i. Keluar urin tanpa disadari

E. Faktor Resiko
1. Kondisi kesehatan secara umum/ riwayat keluarga yang menderita DM
2. Bertambahnya usia yang membuat kapasitas kandung kemih menurun
3. Merokok dan sering terpapar asap rokok
4. Bronkitis yang membuat orang sering batuk
5. Trauma atau cedera kandung kemih atau uretra
6. Stoke, Parkinson disease
7. Batu pada kandung kemih
8. Konstipasi
9. Konsumsi alkohol
10. Konsumsi cafein atau minuman bersoda terlalu banyak
11. Penggunaan obat diuretic, antidepresan, sedative, narcotic dan obat – obat diet

F. Diagnosis
1. Anamnesa
Pada inkontinensia urin pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan
kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai dikamar mandi. Pasien juga
kadang mengatakansaat tertawa terbahak, tanpa sadar urin keluar dengan sendirinya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Abdomen
6
Mengenali adanya kandung kemih yang penuh (fullblast), rasa nyeri, massa,
atau riwayat pembedahan.
b. Pemeriksaan genitalia
c. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis
d. Pemeriksaan rectum (rectal touche)
Mendapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter,
sensasi perineal, dan refleks bulbocavernosus, Nodul prostat.
e. Pemeriksaan Pelvis
Mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot,
prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
f. Evaluasi neurologis
Sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksaan sensasi
perineum, tonus otot, dan refleks bulbocavernosus. Pemeriksaan Neurologis
juga perlu untuk mengevaluasi penyakit seperti : kompresi medulla spinalis
dan parkinson disease.

G. Pemeriksaan Penunjang
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang air
kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan
pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung
kemih tidak adekuat. Urinalisis : dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk
mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin
seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik
lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan
tersebut adalah :
1. Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosa sitologi.
2. Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
3. Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat
4. Imaging tes atau pemotretan terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bawah.
5. Laboratorium
6. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu : Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan
kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
7. Catatan berkemih (voiding record)
8. Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia
urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin.
Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut
7
dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai
intervensi terapeutik karena dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor
yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
H. Penatalaksanaan
1. Mengurangi faktor resiko
2. Mempertahankan homeostasis
3. Mengontrol Inkontinensia urin
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
a. melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi berkemih 6-7 x/hari.
Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap
jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap
2-3 jam.
b. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promoted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
c. Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul
tersebut adalah dengan cara :
-Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10
kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
-Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ±
10 kali.Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.

I. Pencegahan
1. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkan
inkontinensia urin
2. Berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain
3. Makan tinggi serat agar terhindar dari sembelit
4. Mengurangi konsumsi cafein dan minuman bersoda
5. Rajin berolahraga
6. Berhenti konsumsi alkohol
7. Mengontrol berat badan agar tidak kegemukan
8. Jangan menahan-nahan keinginan untuk buang air kecil
8
9. Untuk wanita, jangan terlalu sering hamil dan melahirkan

2. Inkontinensia Fekalis
A. Pengertian
Inkotinensia fekal adalah ketidakmampuan seseorang dalam menahan dan
mengeluarkan tinja pada waktu dan tempat yang tepat. Perubahan pada kebiasaan
defekasi normal yang dikarakteristikan dengan pasase feses involunter (Nanda
Diagnose, 2009-2011).Penyebab utama timbulnya inkotinensia fekal adalah masalah
sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti demensia
dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan
kerusakan sfingter rektum.

B. Patofisiologi
Penyebab inkontinensia fekal dapat dibagi menjadi 4 kelompok (Brocklehurst
dkk, 1987; Kane dkk, 1989) :
1. Inkontinensia fekal akibat konstipasi
Konstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan
sumbatan/impaksi dari masa feses yang keras (skibala). Masa feses yang tidak
dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan
perubahan dari besarnya sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul dan
tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses
yang cair akan merembes keluar (Broklehurst dkk, 1987). Skibala yang terjadi
juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi
cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang impaksi
akan keluar dan terjadi inkontinensia fekal (Kane dkk, 1989)
2. Inkontinensia fekal simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus
besar. Inkontinensia fekal simtomatik merupakan penampilan klinis dari
macam-macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan
ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan
bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter
terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam
membedakan flatus dan feses yang cair (Brocklehurst dkk, 1987). Penyebab

9
yang paling umum dari diare pada usia lanjut usia adalah obat-obatan, antara
lain yang mengandungunsur besi, atau memang akibat pencahar (Brocklehurst
dkk, 1987; Robert-Thomson).
3. Inkontinensia fekal akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi
(inkontinensia neurogenik). Inkontinensia fekal neurogenik terjadi akibat
gangguan fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi
regangan/distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gastro-
kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan
menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi
rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung
kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal,
karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri (Brocklehurst dkk,
1987)
4. Inkontinensia fekal karena hilangnya refleks anal. Inkontinensia fekal ini
terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot serat lintang.
Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh
Brocklehurst dkk, 1987), menunjukkan
berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter
dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal,
berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat
berakibat inkontinensia fekal pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan
prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada
ahli proktologi untuk pengobatannya (Brocklehurst
dkk, 1987)

Klinis inkontinensia alvi/fekal tampak dalam dua keadaan: Feses yang cair atau
belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes dan keluarnya feses yang
sudah berbentuk, sekali atau dua kali perhari, dipakaian atau ditempat tidur

C. Pemeriksaan Fisik
Umum : tinggi badan, berat badan, gangguan neuromuscular dan trauma medulla
spinalis,adanya demansia atau gangguan saraf lainya(stroke, penyakit Parkinson)

10
Lokal : meliputi pemeriksaan inspeksi dan pemeriksaan rectum, pada inspeksi di
lihat bagaimana kontraksi anus saat dikerutkan, reflek kulit anus, dan sensasi
dermatomlumbosaktral, pemeriksaan rectum dapat mengetahui adanya kelemahan
pada sfingter, tonus anus.
- Pengkajian
Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat
melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen,
menginspeksi karakteristik feses dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang
berhubungan.
a. Pola defekasi
 Kapan anda biasanya ingin BAB ?
 Apakah kebiasaan tersebut saat ini mengalami perubahan ?
b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
 Apakah anda memperhatikan adanya perubahan warna, tekstur (keras, lemah,
cair), permukaan, atau bau feses anda saat ini ?
c. Masalah eliminasi fekal
d. Masalah apa yang anda rasakan sekarang (sejak beberapa hari yang lalu)
berkaitan dengan BAB (konstipasi, diare, kembung, merembes /
inkontinensia{tidak tuntas}) ?
e. Kapan dan berapa sering hal tersebut terjadi ?
f. Menurut anda kira-kira apa penyebabnya (makanan, minuman, latihan, emosi,
obat-obatan, penyakit, operasi) ?
g. Usaha apa yang anda lakukan untuk mengatasinya dan bagaimana hasilnya ?
 Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi
 Menggunakan alat bantu BAB. Apa yang anda lakukan untuk
mempertahankan kebiasaan BAB normal ? Menggunakan bahan-
bahan alami seperti makanan /minuman tertentu atau obat-obatan ?
 Diet. Makanan apa yang anda percaya mempengaruhi bab ?
Makanan apa yang biasa anda makan ? Yang biasa anda hindari,
berapa kali anda makan dalam sehari ?

11
 Cairan. Berapa banyak dan jenis minuman yang anda minum
dalam sehari ? (misalnya 6 gelas air, 2 cangkir kopi)
 Aktivitas dan latihan. Pola aktivitas / latihan harian apa yang biasa
dilakukan ?
 Medikasi. Apakah anda minum obat yang dapat mempengaruhi
sistem pencernaan (misalnya fe, antibiotik) ?
 Stress. Apakah anda merasakan stress. Apakah dengan ini anda
mengira berpengaruh pada pola bab (defekasi) anda?bagaimana ?

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Anal Manometry, memeriksa keketatan dari sfingter anal dan kemampuan
sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas dan fugsi dari rektum. MRI
terkadang juga digunakan untuk mengevaluasi sfingter.
2. Anorectal Ultrasonography, memeriksa dan mengevaluasi struktur dari sfingter
anal
3. Proctography, menunjukan berapa banyak feses yang dapat ditahan oleh rektum,
sebaik apa rektum mampu menahannya dan sebaik mana rektum mampu
mengosongkannya.
4. Progtosigmoidoscopy, melihat kedalam rektum atau kolon untuk menemukan
tanda-tanda penyakit atau masalah yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal
seperti inflamasi, tumor, atau jaringan parut.

. E. Penanganan
1. Peningkatan Keteraturan Defekasi
Perawat dapat membantu klien memperbaiki keteraturan defekasi dengan
a. Memberikan privacy kepada klien saat defekasi
b. Mengatur waktu, menyediakan waktu untuk defeksi
c. Memperhatikan nutrisi dan cairan, meliputi diit tinggi serat seperti sayuran,
buah-buahan, nasi; mempertahankan minum 2 – 3 liter/hari
d. Memberikan latihan / aktivitas rutin kepada klien
e. Positioning

12
2. Privacy
Privacy selama defekasi sangat penting untuk kebanyakan orang. Perawat
seharusnya menyediakan waktu sebanyak mungkin seperti kepada klien yang perlu
menyendiri untuk defeksi. Pada beberapa klien yang mengalami kelemahan,
perawat mungkin perlu menyediakan air atau alat kebersihan seperti tissue dan tetap
berada dalam jangkauan pembicaraan dengan klien.
3. Waktu
Klien seharusnya dianjurkan untuk defeksi ketika merasa ingin defekasi.
Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat berdiskusi
ketika terjadi peristaltik normal dan menyediakan waktu untuk defekasi. Aktivitas
lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita waktu untuk defekasi.
4. Nutrisi dan Cairan
Untuk mengatur defekasi normal diperlukan diet, tergantung jenis feses klien yang
terjadi, frekuensi defekasi dan jenis makanan yang dirasakan klien dapat membantu
defekasi normal.
5. Untuk Konstipasi
Tingkatkan asupan cairan dan instruksikan klien untuk minum cairan hangat
dan jus buah, juga masukkan serat dalam diet.
6. Untuk Diare
Anjurkan asupan cairan dan makanan lunak. Makan dalam porsi kecil dapat
membantu karena lebih mudah diserap. Minuman terlalu panas / dingin seharusnya
dihindari sebab merangkasang peristaltik. Makanan tinggi serat dan tinggi rempah
dapat mencetuskan diare. Untuk manajemen diare, ajarkan klien sebagai berikut :
a. Minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah dehidrasi
b. Makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium. Sebagian besar
makanan mengandung Na. Kalium ditemukan dalam daging, beberapa sayuran
dan buah seperti tomat, nanas dan pisang.
c. Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti pisang
d. Hindari alkohol dan minuman yang mengandung kafein
e. Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah, sereal
f. Batasi makanan berlemak

13
g. Bersihkan dan keringkan daerah perianal sesudah BAB untuk mencegah iritasi
h. Jika mungkin hentikan obat yang menyebabkan diare
i. Jika diare telah berhenti, hidupkan kembali flora usus normal dengan minum
produk-produk susu fermentasi.
7. Untuk Flatulensi
Batasi minuman berkarbinat, gunakan sedotan saat minum dan mengunyah gusi;
untuk meningkatkan pencernaan udara. Hindari makanan yang menghasilkan gas,
seperti kubis, buncis, bawang dan bunga kol.
8. Latihan
Latihan teratur membantu klien mengembangkan pola defekasi normal. Klien
dengan kelemahan otot abdomen dan pelvis (yang mengganggu defekasi normal)
mungkin dapat menguatkannya dengan mengikuti latihan isometrik sebagai berikut :
a. Dengan posisi supine, perketat otot sbdomen dengan mengejangkan, menahan
selama 10 detik dan kemudian relax. Ulangi 5 – 10 kali sehari tergantung
kekuatan klien.
9. Positioning
Meskipun posisi jongkong memberikan bantuan terbaik untuk defekasi. Posisi
pada toilet adalah yang terbaik untuk sebagian besar orang. Untuk klien yang
mengalami kesulitan untuk duduk dan bangun dari toilet, maka memerlukan alat
bantu BAB seperti commode, bedpad yang jenis dan bentuknya disesuaikan dengan
kondisi klien.
10. Obat-obatan
Obat-obatan yang termasuk kategori mempengaruhi eliminasi alvi adalah katarsis dan
laxantive, antidiare dan antiflatulensi
11. Mengurangi flatulensi
Ada banyak cara untuk mengurangi / mengeluarkan flatus, meliputi menghindari
makanan yang menghasilkan gas, latihan, bergerak di tempat tidur dan ambulasi. Gerakan
merangsang peristaltik dan membantu melepaskan flatus dan reabsorbsi gas dalam kapiler
intestinal. Satu metode untuk penanganan flatulensi adalah dengan memasukkan
suatu rectal tube. Caranya adalah sebagai berikut :
1. Gunakan rectal tube ukuran 22 – 30 F untuk dewasa dan yanglebih kecil untuk anak

14
2. Tempatkan klien pada posisi miring
3. Berikan lubrikasi untuk mengurangi iritasi
4. Buka anus dan masukkan rectal tube dalam rektum (10 cm). Rectal tube akan
merangsang peristaltik. Jika tidak ada flatus yang keluar, masukkan tube lebih dalam.
Jangan menekan tube jika tidak bisa masuk dengan mudah.
5. Lepaskan tube jangan lebih dari 30 menit untuk menghindari iritasi. Jika terjadi
distensi abdomen, masukkan tube setiap 2 – 3 jam.
6. Jika tube tidak dapat mengurangi flatus, konsul dengan dokter untuk pemakaian
suppository, enema atau obat-obatan yang lain.

3. Frolaps Organ Panggul


A. Pengertian
Prolaps organ panggul adalah turunnya organ pelvis kedalam vagina yang
disebabkan oleh perubahan anatomi dasar panggul terutama pada wanita yang pernah
melahirkan dan sering diikuti oleh gejala gangguan berkemih, buang air besar,
seksual serta gangguan lokal pelvis. Insidens prolaps organ panggul sulit ditentukan
karena banyak diantara wanita yang mengalami prolaps organ panggul tidak mencari
pertolongan medis. Organ panggul Anda mencakup kandung kemih, uterus (rahim)
dan dubur (saluran bagian belakang). Organorgan ini ditahan pada tempatnya oleh
jaringan yang disebut “fascia” dan “ligament”. Jaringan-jaringan ini membantu
menghubungkan organ-organ panggul Anda ke sisi dinding tulang panggul dan
menahan organ-organ ini di dalam panggul Anda. Otot-otot dasar panggul anda juga
menahan organ-organ panggul Anda dari bawah. Jika fascia dan ligamen robek atau
diregangkan karena alasan apa pun, dan jika otot dasar panggul anda lemah, maka
organ-organ panggul Anda (kandung kemih, uterus, dan dubur) mungkin tidak
tertahan di tempat yang benar dan mungkin akan melorot turun ke vagina (saluran
kelahiran).
Turunnya sebagian dari dinding posterior vesica urinaria berhubungan dengan
trauma saat persalinan. Peregangan, penipisan atau laserasi pada fascia
pubovesicocervical akibat melahirkan bayi besar, multiparitas dan partus lama
meningkatkan derajat dan kemungkinan terjadinya cistocele. Uretrocele (kendurnya

15
uretra) biasanya disertai dengan cystocele, dan sering terjadi pada wanita dengan
stress incontinensia.Uretrocele bukan penyebab terjadinya incontinensia urin.
Lengkung subpubic android yang sempit menyebabkan kepala bayi terletak lebih ke
posterior sehingga menyebabkan tekanan yang melindungi dinding anterior vagina
dan uretra.

B. Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosis

Ada beberapa tanda-tanda bahwa Anda mungkin mengalami prolaps. Tanda-tanda ini
tergantung jenis prolaps dan sejauh mana penyangga organ panggul sudah hilang. Pada mulanya
Anda mungkin tidak tahu Anda menderita prolaps, tapi dokter atau perawat dapat melihat

16
prolaps bila Anda menjalani tes Pap secara rutin. Bila jatuhnya jauh ke bawah, Anda mungkin
merasakan hal-hal berikut, seperti:

1. Rasa berat atau menyeret di dalam vagina;


2. Ada sesuatu yang ‘turun’ atau gumpalan di dalam vagina;
3. Gumpalan yang menonjol keluar dari vagina, yang Anda lihat atau rasakan ketika
Anda mandi;
4. masalah seksual seperti rasa sakit atau berkurangnya rasa;
5. Kandung kemih Anda mungkin tidak kosong sebagaimana mestinya, atau aliran
kencing anda mungkin lemah;
6. Infeksi saluran kencing yang selalu kambuh; atau
7. Sulit bagi Anda untuk buang air besar.

C. Pemeriksaan Fisik
Pada cistokele (lebih dipilih yang kandung kencingnya penuh) dapat kita
termukan vaginal outlet yang lemas dengan dinding yang tipis, agak halus, masa
menonjol yang melibatkan dinding anterior vagina yang ada dibawah cervix. Apabila
perineum ditekan dan pasien diminta untuk mengejan maka masa tersebut turun,
menggembung atau menonjol dalam introitus vagina tergantung dari derajat
relaksasinya. Apabila disertai uretrocele, maka akan kita dapatkan rotasi uretra dan
meatus externanya secara pelan-pelan kearah belakang atau kedepan; pasien dengan
kandung kencing terisi sebagian diminta untuk batuk ketika sedang mengejan dapat
menggambarkan adanya stress inkontinensia urin.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan urin dari kateterisasi akan menunjukkan adanya infeksi.
Volume residu urin ditentukan dengan kateterisasi setelah pasien kencing.
2. Hasil Pemeriksaan Rontgen
Cytoscopy, membantu dalam penegakan diagnosis. Dengan medium
kontras pada kandung kencing dan mungkin suatu rantai manik metal pada uretra,

17
anteroposterior, pada pandangan lateral dapat menggambarkan adanya cystocele
dan hilangnya sudut uretrovesical posterior yang normal.

E. Faktor Risiko
- Multiaritas

F. Penatalaksanaan Konservatif(Penanganan medis)


1. Pessarium
Pasien dengan cystocele berukuran kecil sampai sedang perlu diyakinkan
bahwa gejala-gejala penekanan bukanlah akibat dari kondisi yang serius dan
meskipun relaksasi dapat secara perlahan-lahan dalam beberapa tahun, namun
tidak ada penyakit serius yang diakibatkannya. Dengan pendekatan konservatif
ini, perbaikan cystocele secara operasi jarang diindikasikan pada wanita muda
yang masih berada dalam usia melahirkan yang masih menginginkan anak.
Pessarium vagina atau suatu tampon pada bagian bawah vagina mungkin dapat
digunakan sebagai penyangga sementara untuk kendung kencing dan uretra dan
dapat mengontrol urin dengan baik. Untuk pasien yang lebih tua dan mempunyai
faktor-faktor komplikasi medik sehingga risiko operasi jauh lebih besar maka
penggunaan sementara pessarium vagina dapat mengurangi gejala-gejala sampai
kondisi umumnya membaik. Penggunaan pessarium vagina yang lama,
kadangkala dapat menyebabkan necrosis akibat tekanan dan ulserasi pada vagina.
2. Senam (latihan)
Latihan Kegel untuk mengeratkan dan menguatkan otot-otot
pubococcygeus untuk jangka waktu 6 – 12 bulan. Latihan Kegel mempunyai
keuntungan yang terbesar apabila digunakan sebagai profilaksi, yaitu dilakukan
pada awal kehamilan dan dilanjutkan selama dan setelah masa nifas. Pada pasien
yang lebih tua Latihan Kegel tidak memberikan perbaikan sepenuhnya.

18
3. Estrogen
Pada wanita menopause, terapi estrogen yang murah (dietilbestrol, 0.25
mg sehari per oral atau ekuivalennya) untuk beberapa bulan dapat memperbaiki
tonus, kualitas dan vaskularisasi musculofascial penyangga pelvis. Meskipun
demikian, cedera anatomi yang hebat (cistocele besar disertai stress
inkontinensia) tidak bisa diharapkan terkoreksi dengan penanganan medis.

4. Fistula Urogenital
A.Pengertian
Fistula rektovaginalis adalah saluran abnormal berlapis epitel yang
menghubungkan rektum dan vagina . Fistula ini dapat sangat mengganggu kehidupan
pasien maupun dokter yang menanganinya. Sebagian besar fistula rektovaginalis terletak di
atau sedikit di atas linea dentata. Fistula yang terletak di bawah linea dentata seringkali
tidak dianggap sebagai fistula rektovaginalis, tetapi disebut sebagai fistula anovaginalis
yang membutuhkan penanganan yang sangat berbeda dengan fistula rektovaginalis. Fistula
anovaginalis biasanya mempunyai diameter lebih kecil, saluran yang lebih panjang,
melintasi sfingter ani (trans-sphincter) dan tidak ada gangguan fungsi sfingter. Sebaliknya,
fistula rektovaginalis biasanya mempunyai diameter yang lebih besar dan saluran yang
lebih pendek dan terletak di luar sfingter (extrasphincteric) dan berkaitan dengan gangguan
fungsi sfingter dan gejala inkontinensia

B. Etiologi
Fistula dapat disebabkan karena kelainan kongenital maupun kelainan didapat
(acquired etiology). Berbagai proses penyakit mulai dari trauma obstetrik, radang dan
infeksi saluran cerna hingga keganasan dan terapi radiasi dapat menyebabkan fistula
rektovaginalis. Dari berbagai kelainan yang didapat, sebagian besar kasus fistula
disebabkan oleh persalinan atau trauma obstetrik. Persalinan yang sulit dan lama serta
episiotomi dapat menyebabkan nekrosis septum rektovaginalis,robekan perineum derajat
3 dan 4 dan pada akhirnya menimbulkan fistula rektovaginalis. Sekitar 90% trauma
obstetrik ini biasanya dapat sembuh dengan baik setelah diperbaiki dengan penjahitan
yang baik pada saat setelah persalinan. Meskipun demikian, penjahitan yang buruk,

19
terbukanya jahitan, gagalnya mengenali robekan ini pada saat persalinan pervaginam
serta infeksi bisa menyebabkan terbentuknya fistula rektovaginalis dan biasanya
didapatkan pada hari ke-7 sampai ke-10 paska persalinan. Beberapa kasus fistula dapat
mengalami penutupan spontan, namun sekitar 2% pasien yang mengalami robekan
perineum derajat 3 dan 4 akan mengalami fistula yang menetap dan sekitar 48% dari
pasien tersebut akan mengalami fistula rektovaginalis yang disertai inkontinensia alvi dan
defek sfingter. lnfeksi pada septum rektovaginalis juga dapat menyebabkan terjadinya
fistula rektovaginalis. Abses kelenjar Bartholini dan abses kriptoglandular anorektal
akibat impaksi feses, trauma akibat edema atau benda asing biasanya menyebabkan
fistula rektovaginalis letak rendah. Divertikulitis akibat pembedahan histerektomi yang
dilakukansebelumnyamerupakan penyebab utama infeksi yang dapat menyebabkan
terjadinya fistula letak tinggi. lnfeksi lainnya, misalnya tuberkulosis, limfogranuloma dan
skistomatosis jarang terjadi dan biasanya menyebabkan infeksi anorektal dan fistula
anovaginal yang tidak berkaitan dengan defek sfingter maupun ikontinensla alvi. akhir-
akhir ini penyakit Crohn (Crohn disease) dan penyakit radang usus _inflammatorybowel
disease) banyak disebut oleh para ahli sebagai faktor etiologi vistula rektovaginalis dan
anovaginalis yang cukup penting.

C. Klasifikasi
Berbagai jenis fistula rektovaginalis dapat dikelompokkan menurut sistem
klasifikasi tertentu berdasarkan ukuran, lokasi atau etiologi. Penggolongan berdasarkan
sistem klasifikasi ini akan menentukan tatalaksananya. Berdasarkan letaknya, fistula
rektovaginalis dapat dibagi dua:
1. Fistula letak rendah (low fistula) yaitu fistula yang terletak di antara sepertiga
bawah rektum dan setengah bagian bawah vagina. Fistula ini dekat dengan
anus dan dapat dilakukan koreksi pembedahan dengan pendekatan melalui
perineum;
2. Fistula letak tinggi (high fistula)yang terletak antara sepertiga tengah rektum
dan bagian posterior forniks vagina dan memerlukan pendekatan
transabdominal untuk koreksi pembedahan. Berdasarkan ukurannya, ada tiga
jenis fistula rektovaginalis, yaitu 1) Fistula kecil (small fistula) yang

20
berdiameter kurang dari 0,5 cm; 2) Fistula sedang (mediumsized fistula)
dengan diameter 0,5 - 2,5 cm; 3) Fistula besar (large fistula)berukuran
diameter 2,5 cm. Selain itu, sejumlah ahli juga membagi fistula rektovaginalis
dalam dua kelompok berdasarkan etiologinya, yakni fistula yang terjadi
sekunder akibat pembedahan obstetrik maupun ginekologik (obstetric
fistula)dan fistula yang terjadi berkaitan dengan terapi radiasi keganasan
panggul (radiationtherapy associated fistula). Berdasarkan tingkat kesulitan
pembedahannya, maka fistula rektovaginalis dapat dibagi menjadi fistula
rektovaginalis sederhana ( s imple rectovaginal fistula), fistula rektovaginalis
kompleks (complex rectovaginal fistula) dan fistula rekuren atau fistula
berulang (recurrent fistula).Fist u la sederhana (simple fistula) adalah fistula
berukuran kecil dan letak rendah yang terjadi akibat infeksi atau trauma.
Fistula ini biasanya mempunyai vaskularisasi yang baik di sekitar jaringan
fistula dan dapat dikoreksi dengan teknik pembedahan lokal. Sedangkan
fistula kompleks (complex fistula) adalah fistula yang berukuran besar (>2,5
cm), letak tinggi dan biasanya disebabkan oleh peradangan saluran cerna dan
membutuhkan prosedur koreksi pembedahan yang lebih rumit. Fistula rekuren
(recurrent fistula) adalah fistula yang terjadi berulang kali akibat pendarahan
yang buruk dan terbentuknya jaringan parut.

D. Manifestasi Kunis, Evaluasi Dan Penegakan Diagnosis


Gejala dan tanda klinis yang dialami oleh pasien tergantung pada ukuran dan
lokasi fistula rektovaginalis yang dideritanya. Gejala yang paling sering ditemukan
adalah flatus (buang angin) dan keluarnya feses cair dari vagina. Pasien juga dapat
mengeluhkan adanya duh vagina berbau dan vaginitis berulang. Gejala lain pada saluran
pencernaan perlu ditanyakan dalam anamnesis untuk menyingkirkan etiologi yang
berasal dari peradangan saluran cerna. Selain itu, perlu ditanyakan juga tentang riwayat
keganasan panggul.

21
Pemeriksaan fisik, terutama pemeriksaan vagina perlu dilakukan untuk menentukan letak
fistula, ukuran fistula, keutuhan jaringan sekitar dan fungsi stinter ani. Fistula dapat
teraba sebagai lekukan di bagian anterior garis medial rektum pada pemeriksaan palpasi
dan pada pemeriksaan vagina, mukosa fistula tampak lebih gelap yang tampak kontras
dengan permukaan mukosa vagina yang lebih terang. Feses di vagina dan tanda-tanda
vaginitis di mukosa vagina juga seringkali dapat ditemukan. Selain itu, perlu ditentukan
juga keutuhan sfingter ani. Sekitar sepertiga kasus fistula rektovaginalsi biasanya disertai
oleh defek pada sfingter ani dan defek ini lebih sering ditemukan bila lokasi fistula
berada 3 cm distal dari saluran anus. Bila defek sfingter ani tersebut tidak dikenali, maka
inkontinensia alvi mungkin akan terus berlanjut meskipun telah dilakukan koreksi
pembedahan. Derajat beratnya dan penyebab terjadinya inkontinensia alvi yang terjadi
juga perlu dinilai. Pemeriksaan tambahan misalnyaultrasonografi endorektal dan
transvaginal (gambar2) serta MRI dapat dilakukan untuk mengenali adanya fistula letak
rendah dan defek pada sfingter ani. Manometri dapat dipakai untuk menentukan adanya
gangguan fungsi sfingter ani yang tidak disertai kelainan anatomi. Fistula berukuran
sangat kecil (pinpoint fistula) biasanya sulit dikenali dengan pemeriksaan vagina dan
memerlukan pemeriksaan khusus dengan menggunakan kolposkopi. Probe duktus
lakrimalis atau kawat perak (silver wire probe) juga dapat digunakan untuk mengenali
adanya saluran fistula. Tampon vagina yang diberi enema biru metilen dapat
menunjukkan adanya fistula rektovaginalis. Tampon yang diberi warna biru metilen
dipasang di vagina selama 15-20 menit. Bila tidak ada noda warna, maka kemungkinan
besar bukan fistula rektovaginalis. Fistula yang terletak lebih proksimal dapat diperiksa

22
dengan vaginografi atau CT dan MRI. Bila peradangan saluran cerna dicurigai sebagai
penyebab fistula rektovaginalis, maka pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan. Selain itu,
kecurigaan akan keganasan panggul perlu dibuktikan dengan biopsi.

E. Tatalaksana Penanganan Konservatif


Beberapa kasus fistula rektovaginalis, misalnya fistula yang berukuran sangat
kecil dan gejala klinis yang ringan dapat berespons pada pemberian obat yang
mengendalikan fung si saluran cerna dan obat penghenti diare. Sayangnya, sebagian
besar kasus memerlukan penanganan bedah.

5. Dispareunia
A. Pengertian
Dispareunia berasal dari kata Yunani kuno yang berarti «sulit kawin atau
menikah (diffi cult mating)» atau «jodoh yang buruk» apapun penyebabnya,
“pasangan buruk yang tidak selalu serasi/harmonis”. Istilah dyspareunia dahulu
pernah dipakai di Inggris hanya untuk mengacu ke nyeri senggama dengan
penyebab organik.Dispareunia berarti nyeri alat kelamin yang menetap atau
berulang, yang berkaitan dengan hubungan seksual (masuknya penis ke vagina)
atau upaya memasukkan objek ke vagina (baik sebagian atau keseluruhan), yang
menyulitkan diri sendiri atau menimbulkan ketidaknyamanan. Makna lain
dispareunia adalah sensasi nyeri saat vagina sedang atau telah lengkap
dimasuki,pengalaman nyeri selama persetubuhan (sexual intercourse) dan/atau
nyeri nonseksual dengan penetrasi vagina,atau nyeri alat kelamin yang dialami
sebelum, selama, atau setelah senggama.Secara singkat, dispareunia ialah hubungan
seksual yang menimbulkan rasa nyeri pada kelamin atau sekitar kelamin.
Dispareunia dapat dialami oleh pria maupun wanita, wanita lebih sering.
Dispareunia dapat bersifat dangkal (superfi cial) atau dalam (deep), akut atau
kronis, sementara atau sepanjang waktu. Dispareunia bersama vaginismus dan nyeri
seksual nonkoitus (Noncoital Sexual Pain) dikelompokkan sebagai gangguan nyeri
seksual (Sexual Pain Disorders, SPD). SPD adalah salah satu kelompok dari
gangguan fungsi seksual pada wanita (Female Sexual Dysfunctions). Terminologi

23
dispareunia bersinonim dengan dyspareunia, painful coitus, painful vaginal
intercourse, pain during sexual intercourse.

B. Etiologi
Beberapa penyebab dispareunia
1. Vulva
Beberapa kondisi di vulva yang dapat menyebabkan dispareunia:
a) Selaput dara tertutup (imperforate hymen); kejadian ini dialami 1 dari 1000 hingga
1 dari 10.000 wanita,30
b) Radang vulva menahun disertai jamur (chronic yeast vulvitis),
c) Penyakit vulvar vestibulitis,
d) Penyakit kulit apa pun di vulva (eksim, psoriasis, dsb.),
e) Episiotomi yang kurang sempurna,
f) Infl amasi dan/atau infeksi,
g) Perlekatan (adhesi) klitoris,
h) Kista atau abses kelenjar Bartholini,
i) Condyloma acuminata,
j) Kraurosis vulvae,
k) Kurang menjaga kesehatan dan kebersihan kelamin.
2. Vagina Beberapa kondisi di vagina yang dapat menyebabkan dispareunia:
a) Kurang lubrikasi
b) Infeksi jamur menahun,
c) Vaginismus,
d) Alergi terhadap douche atau kontrasepsi,
e) Radiasi
f) neoplasma,
g) Iatrogen, misalnya operasi perbaikan ruang anterior, posterior terlalu sempit/rapat,
h) Atrofi pascamenopause (terjadi penurunan lubrikasi dan elastisitas).

Anatomi vagina yang diukur dengan kaliber introital, panjang (jarak), dan
vulvovaginal atrophy, tidak berkorelasi dengan fungsi seksual, juga dengan gejala
dispareunia dan kekeringan vagina (vaginal dryness).

24
3. Pelvis (rongga panggul) Beberapa kondisi di pelvis dan sekitarnya yang dapat
menyebabkan dispareunia:
a) sembelit/konstipasi; proctitis,
b) interstitial cystitis
c) pelvic varicosities,
d) endometriosis,
e) sel telur di dalam cul-de-sac,
f) perlekatan peritoneum. Wanita dispareunia memperlihatkan reaksi protective-like
defensive dari otot dasar pelvis (pelvic fl oor muscles) selama upaya penetrasi
vagina. Studi lain menunjukkan kekurangan kapasitas kontraksi otot dasar pelvis.
Endometriosis, sindrom kongesti pelvis, dan interstitial cystitis berkaitan erat
dengan deep dyspareunia.

4. Obat
Penggunaan antihistamin jangka panjang dapat menghambat lubrikasi
vagina. Penggunaan antibiotik jangka panjang memungkinkan timbulnya infeksi
jamur kronis. Kontrasepsi hormonal (kontrasepsi oral, transdermal patch, vaginal
ring) berkaitan erat dengan vestibulodynia (dahulu disebut vestibulitis), penyebab
paling umum dispareunia pada wanita premenopause. Pada studi kasus kontrol,
wanita pengguna kontrasepsi oral berpeluang 9,3 kali terkena vestibulodynia
dibandingkan kontrol. Kontrasepsi oral dapat menyebabkan vestibulodynia karena
menurunkan kadar testosteron bebas bersirkulasi yang membahayakan epitel
vestibuli vulva. Medikasi psikotropik juga dapat menjadi penyebab hypoactive
sexual desire disorder (HSDD) dan female sexual arousal disorder (FSAD). Baik
HSDD maupun FSAD dapat berkontribusi terhadap dispareunia karena efek pada
lubrikasi vagina.

5. Psikis (Psikogenik) Beberapa faktor psikis pencetus dispareunia, seperti:


a) Riwayat trauma seksual, misalnya: incest, diperkosa. Ada yang beranggapan hal ini
tidak berperan penting menyebabkan dispareunia,
b) Persetubuhan sebelumnya nyeri, dengan alasan/penyebab apapun,

25
c) Rasa takut, cemas (ansietas) berlebihan,
d) Rasa bersalah (konflik dengan keluarga, agama, sistem nilai, adat-istiadat, sahabat,
kerabat, dsb), ketidaktahuan (harapan penampilan yang tak realistik, fantasi seksual
berlebihan, misinformasi seksualitas dan hubungan sosial, dsb), faktor lingkungan
(kejenuhan, tidak ada keleluasaan pribadi atau privacy, preokupasi karir atau
orangtua, kurangnya waktu, kurangnya kehangatan dan kebersamaan),
e) Problematika pernikahan, misalnya: penderitaan, tekanan, ketidakharmonisan, dan
sebagainya.

6. Faktor psikososial
Meliputi faktor perilaku (behavioural), kognitif, dan afektif. Pada studi yang
melibatkan lebih dari 1400 remaja wanita, mereka yang dispareunia setidaknya
dalam 6 bulan terakhir, lebih banyak melaporkan riwayat siksaan seksual di masa
lalu (past sexual abuse), ketakutan terhadap siksaan fi sik, dan ansietas bila
dibandingkan dengan kontrol.Penyiksaan atau trauma seksual dan fi sik di masa
anak (severe physical or sexual childhood abuse) berisiko 4-6 kali lipat menjadi
dispareunia dan nyeri genital di masa dewasa.

C. Anamnesis
1. Kapan (saja) dan di mana lokasi nyeri?
2. Apakah nyeri di awal penetrasi atau setelahnya?
3. Apakah ada nyeri perut? Bagaimana dengan nyeri di sekitar perut?
4. Apakah penderita merasakan ”terlalu sempit” untuk penetrasi?
5. Apakah nyeri setiap saat senggama?
6. Keluhan lain. Apakah penderita depresi/ stres? Apakah disertai keputihan?
7. Apakah didahului dengan foreplay. Apakah lubrikasi sudah mencukupi?
8. Bagaimana relasi pasangan?
9. Bagaimana arti menjadi orang tua? Apakah kehamilannya dikehendaki,
direncanakan, atau tidak pernah diinginkan? Apakah bayi tidur bersama? Apakah
sedang menggunakan kontrasepsi? Apakah sedang menyusui?

26
10. Riwayat trauma seksual masa lalu
11. Riwayat dispareunia sebelumnya
12. Riwayat persalinan, episiotomi
13. Riwayat konsumsi obat: golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs),
serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), monoamine oxidase
inhibitors (MAOIs), antipsikotik, benzodiazepin (BZD), beta-bloker, alfa-bloker,
diuretik, digoxin, antihistamin H2-receptor blockers, antikonvulsan, dan/atau
steroid.

D. Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang


Pemeriksaan fisik terutama evaluasi perut, pelvis/panggul serviks, dan
vagina untuk memastikan penyebab dispareunia. Pemeriksaan colposcopic vulva,
pemeriksaan sensoris menggunakan kapas lembap untuk menentukan area nyeri
dilakukan secara sistematis di semua area anogenital, termasuk: labia majora,
preputium klitoris, perineum, dan intralabial sulci. Pemeriksaan spekulum vagina
(biasanya menggunakan spekulum Graves ukuran pediatrik) juga diperlukan.
Pemeriksaan manual dilakukan dengan satu jari. Vaginal discharge dapat
diperiksa dengan mikroskop.
Uji peningkatan sensitivitas vestibula vulva meliputi uji pelvis dan
evaluasi vagina bertujuan untuk menjelaskan gejala awal penderita dispareunia.
Pengukuran aliran darah vestibuler dengan teknik termal dan laser Doppler
digunakan untuk mengetahui pengaruh rangsangan seksual pada genital (alat
kelamin) dan sensasi nongenital.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan darah
diperlukan untuk mengevaluasi kadar serum estradiol, testosteron total,
testosteron bebas, albumin, sex hormone-binding globulin, follicle stimulating
hormone, dan prolaktin.
Glikoprotein, sex hormone binding globulin (SHBG), perlu diukur jika
mengonsumsi steroid estrogen eksogen, seperti etinil estradiol atau estradiol, atau
memiliki riwayat hipertiroidisme, penyakit hati, anoreksia nervosa, atau

27
pemakaian obat nonestradiol lainnya (misal: fenitoin). Berbagai keadaan ini
diketahui dapat meningkatkan nilai SHBG.
Terdapat beragam kuesioner untuk tujuan spesifi k pada penderita
dispareunia. Untuk menilai automatic aff ective sex-related associations,
digunakan Aff ective Simon Task (AST). McGill-Melzack Pain Questionnaire
menilai tingkat keparahan nyeri. Changes Sexual Functioning Questionnaire,
Female Sexual Function Index, McCoy Female Sexuality Questionnaire, dan
Female Sexual Distress Scale untuk mengidentifi kasi dan mendiagnosis individu
dengan disfungsi seksual. GolombokRust Inventory of Sexual Satisfaction
(GRISS) dan The Sexual Satisfaction Scale for Woman untuk mengukur
perbaikan atau peningkatan atau kepuasan terapi. Jika disertai depresi atau cemas,
maka dapat digunakan Beck Anxiety Inventory. The Female Sexual Distress
Scale (FSDS) untuk mengukur penderitaan (distress) individu yang berkaitan
dengan seksual.
Untuk membedakan aspek kognisi wanita dengan dan tanpa female sexual
disorder, terutama pada kasus dyspareunia dan vaginismus, digunakan kuesioner
Vaginal Penetration Cognition Questionnaire (VPCQ). Kuesioner ini memiliki
lima subskala: pengendalian kognisi (kesadaran, pemahaman), malapetaka
(catastrophic) dan kognisi (pengenalan) nyeri, kognisi self-image, kognisi genital
incompatibility. Reliabilitas subskala ini berkisar dari 0,70 hingga 0,83.
Untuk menilai fungsi seksual perempuan, digunakan kuesioner Female
Sexual Function Index (FSFI). Kuesioner ini adalah suatu multidimensional self-
report instrument, berisi 19 pertanyaan singkat, mencerminkan kondisi seksual
selama 4 minggu terakhir, telah divalidasi reliabilitas dan validitasnya, terutama
untuk studi epidemiologi dan uji klinis.
FSFI terdiri dari 6 dimensi atau domain pokok, yaitu: (1) orgasme
(meliputi frekuensi, kesulitan, kepuasan), (2) nyeri (meliputi frekuensi selama
penetrasi vagina, frekuensi yang mengikuti penetrasi vagina, tingkat selama atau
mengikuti penetrasi vagina), (3) bangkitan atau arousal (meliputi frekuensi,
tingkat, kepercayaan diri, kepuasan), (4) hasrat atau desire (meliputi: frekuensi,
tingkat), (5) pelumasan atau lubrikasi (meliputi frekuensi, kesulitan, frekuensi

28
serta kesulitan di dalam pemeliharaan atau mempertahankan), dan (6) kepuasan
(meliputi rata-rata kehidupan seksual, dengan partner seksual, kedekatan/
keintiman).
Untuk menilai profi l biopsikososial wanita dengan dyspareunia, perlu
dilakukan pemeriksaan ginekologis standar, endovaginal ultrasound, dan
colposcopy. Dilakukan juga interview terstruktur tentang nyeri selain
dyspareunia, fungsi seksual, riwayat penyiksaan/trauma, penggunaan kuesioner
Brief Symptom Inventory, Sexual Opinion Survey, dan Locke-Wallace Marital
Adjustment Scale.

E. Penanganan
Terapi dilakukan sesuai penyebab atau faktor yang mendasarinya.
Intervensi terapi medis (farmakoterapi) meliputi pemakaian anestesi lokal
(misalnya lidokain topikal) atau salep kortikosteroid. Alternatif medikamentosa
lainnya berupa fl uconazole dan cromolyn cream. Pada kasus vulvar vestibulitis
syndrome (VVS), pembedahan/operasi (misalnya dengan terapi laser,
vestibulectomy atau pembuangan jaringan vestibular yang nyeri). Untuk
mengatasi kekeringan vagina, dapat diberikan kontrasepsi oral estrogen dosis
rendah, histamine-1 blockers generasi pertama, tamoxifen, dan agen
antikolinergik (misalnya: diphenhydramine HCl). Untuk mengatasi nyeri vulva,
dipertimbangkan pemberian kromolin sulfat topikal; salep likokain 5% dipakai
malam hari untuk 7 minggu, krim capsaicin 0,025%, dipakai selama 20 menit
setiap hari, selama 12 minggu. atau gabapentin topikal (2% hingga 6%).
Gel aplikasi vagina yang mengandung ekstrak tanaman Hops (Humulus
lupulus) dapat efektif mengatasi dispareunia.Untuk kasus entry dyspareunia yang
disebabkan provoked vestibulodynia, obat pilihannya adalah amitriptilin topikal
2% di dalam krim sorbolene (cetomacrogol aqueous).Terapi estrogen lokal efektif
mengurangi dispareunia dan kekeringan vagina (vaginal dryness). Terapi hormon
sistemik dengan estrogen, estrogen/progesteron, estrogen/ testosteron dan tibolon
memiliki pengaruh positif pada disfungsi seksual selama masa peri- dan
pascamenopause.Terapi medis dapat memperbaiki deep dyspareunia, tindakan

29
laparoscopic excision lesi endometriosis profunda tidak hanya menyembuhkan
deep dyspareunia namun juga memperbaiki kualitas kehidupan seksual. Kasus
deep dyspareunia yang berkaitan dengan sindrom kongesti pelvis dapat diobati
dengan pendekatan pelvic vein embolization. Terapi intravesical efektif untuk
deep dyspareunia pada wanita dengan interstitial cystitis. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan deep dyspareunia sebaiknya langsung ditujukan kepada faktor
kausatif karena disfungsi seksual sekunder dapat muncul dari patologi pelvis
organik.
Pada kasus atrofi genitouretral atau vagina pada wanita pascamenopause,
jika hormone replacement therapy (HRT) tidak direkomendasikan, dapat
digunakan vaginal suppository mengandung asam hialuronat, vitamin E, dan
vitamin A per hari selama 14 hari pertama, dapat dilanjutkan 14 hari berikutnya.
Terapi ini terbukti aman dan efektif mengatasi tanda-gejala yang berkaitan dengan
atrofi vagina (dispareunia, gatal, sensasi terbakar, infl amasi atau pembengkakan
vagina, iritasi, terdapat abrasi dan iritasi vagina). Tidak ada efek samping berat
selama masa pengobatan.85 Terapi nonmedis meliputi terapi fi sik (seperti
electromyographic biofeedback) dan cognitive-behavioral therapy (CBT). Terapi
fi sik ini bertujuan untuk mengendalikan dan merelaksasikan otot dasar panggul.
Sedangkan fokus utama program CBT adalah manajemen nyeri, perbaikan,
sekaligus peningkatan fungsi seksual terutama peningkatan hasrat seksual.86 Cara
lain yakni dengan program “penetration desensitization”, yaitu: penderita
didukung penuh untuk memasukkan satu jarinya, lalu dua, kemudian tiga, ke
dalam vaginanya, sambil merelaksasi otot-otot organ bagian bawah (seperti:
vagina dan panggul), dilakukan secara bertahap dan teratur. Program ini hanya
disarankan untuk wanita yang telah menikah, bukan untuk mereka yang masih
gadis/ perawan.87 Penting diingat dan ditekankan untuk mengendalikan spasme
otot involunter yang terjadi.88 Terapi desensitisasi berupa latihan merelaksasikan
vagina dapat mengurangi nyeri. Senam Kegel diperlukan untuk otot perineum.
Terapi dasar panggul juga efektif mengatasi dispareunia. Bila perlu, boleh
dipadukan dengan terapi seks, psikoterapi, dan konseling.

30
Konseling efektif untuk pasien dispareunia memakai model konseling
seksual PLISSIT, meliputi P-Permission (memberikan ijin kepada pasien untuk
memulai diskusi seksual dan memberi kuasa/wewenang untuk membuat pilihan
dan perubahan, semua penyedia layanan kesehatan haruslah berfungsi pada
tingkat ini). LI-Limited Information (menyediakan informasi faktual kepada
pasien sebagai respons terhadap pertanyaan atau observasi, mengajarkan dasar
anatomi organ genital dan respons fisiologis fungsi seksual dan menjelaskan
bahwa penyakit dan terapi dapat mempengaruhi fungsi seksual, sebagian besar
penyedia layanan kesehatan dapat memberikan informasi tipe ini). Specific
Suggestions (menjelaskan penyebab problem kepada pasien dan membantu pasien
dengan petunjuk sangat spesifik menemukan solusi, termasuk memberikan
pemahaman tentang intervensi farmakologis dan/atau psikologis). IT-Intensive
Therapy (menyediakan terapi bagi problematika dispareunia yang sedang
dihadapi pasien, penyedia layanan kesehatan mengidentifi kasi situasi yang
memerlukan terapi intensif dan membuat rujukan medis yang diperlukan).
Pendekatan hypno-analgesia dan glove anasthesia untuk membangkitkan
ereksi penis pada pria penderita dispareunia dapat dilakukan sebagai alternatif.
Pendekatan yang sama disertai hypno-exploration juga dapat digunakan pada
perempuan penderita dispareunia. Efektivitas pendekatan hipnosis ini masih
memerlukan riset lanjutan.91 Pendekatan phytomedicine (herbal), ekstrak
Trifolium pratense dan Cimicifuga racemosa berpotensi mengatasi dispareunia,
namun masih memerlukan riset lanjutan.

F. Pencegahan
Dispareunia dapat dicegah dengan cara
1. Menciptakan suasana dan mencari lingkungan romantis.
2. Membina dan menjalin komunikasi seksual yang terbuka baik sebelum,
selama, dan setelah melakukan hubungan seks.
3. Mencoba berbagai variasi atau metode alternatif tentang ekspresi seksual
termasuk berfokus kepada sensasi seksual; mencatat munculnya pikiran-
pikiran negatif dan menganalisis saat nyeri seksual muncul; memperlama

31
foreplay; menggunakan aromaterapi, kemenyan, lilin, musik untuk
meningkatkan kualitas pengalaman seksual; memakai pelumas vagina berbasis
air untuk vaginal moisturizers; menggunakan fantasi yang disetujui bersama;
memakai alat perangsang.
4. Menghindari ego seksual terhadap pasangan, yakni: hanya baik kepada
pasangan, hanya mau memuji, bersikap mesra dan romantis, bersikap baik
hanya bila mau mengajak berhubungan intim.
5. Menghindari mengajak berhubungan intim bila ia merasa lelah, tidak sedang
bergairah, kurang mood, sedang banyak masalah, atau sedang tidur. Bila istri
dibangunkan hanya untuk bersenggama, akan memiliki anggapan dirinya
hanya sebagai pemuas nafsu seks semata.
6. Saling mencintai, saling mengasihi, saling memahami, saling setia, saling
pengertian, saling memiliki, sehingga tercipta keharmonisan dan tidak
menimbulkan kesalahpahaman.
7. Sosialisasi kesehatan reproduksi sesuai tingkat pendidikan dan pemahaman
masyarakat. Diperlukan kerjasama lintassektoral dan multidisiplin ilmu.
8. Edukasi dan konseling berkesinambungan dan berkelanjutan guna mengubah
paradigma negatif masyarakat tentang seks (misalnya, bicara seks itu tabu). 9
9. Konseling dan terapi kesehatan seksual sebelum, selama, dan setelah masa
persalinan atau melahirkan.
10. Keintiman seksual adalah aspek fundamental kemanusiaan. Keterlibatan rasa,
jiwa, hati, dan pikiran secara totalitas di dalam aktivitas seksual amatlah
penting untuk dilakukan secara berkesinambungan.
11. Edukasi seksualitas secara holistik.

32
DAFTAR PUSTAKA

Brocklehurst, J.C. and S.C. Allen, eds. Geriatric Medicine for Students. 3 ed. Multidimensional
Debeche-Adams TH, Bohl JL. Rectovaginal fistulas. Clinics in colon and rectal surgery.
2010;23(2):99-103
Dito Anurogo, Memahami Dispareunia.Brain and Circulation Institute of Indonesia, Surya
University, Indonesia
Ellis CN. Rectovaginal Fistula. Semin Colon Rectal Surg. 2009;20:58-62
Gonsalves S, Sagar P, Lengyel J, et al. Assessment of the efficacy of the rectovaginal button
fistula plug for the treatment of ileal pouch-vaginal and rectovaginal fistulas. Dis Colon
Rectum.2009;52(11):1877-81
Herdman, T. H. (2010). Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta:
EGC
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/fecalincontinence/fecalincontinence.pdf
http://www.acg.gi.org/physicians/guidelines/FecalIncontinence.pdf
Kane, R.L., J.G. Ouslander, and I.B. Abrass, eds. Evaluating The Geriatric Patient. 4 ed.
Keperawatan.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%201-V_1.pdf
Martono, Hadi. 2011. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Purnomo, Basuki. 2009. Dasar – Dasar Urologi Edisi ke IV. Jakarta : CV Sagung Seto
Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25132/4/Chapter%2011.pdf
Pustaka.unpad.ac.id/.../Pustaka_Unpad_Inkontinensia_Urin.pdf.pdf
Sudoyo, Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Universitas Sriwijaya. Inkontinensia Urin. URL http/:digilib.unsri.ac.id/ download inkontinensia
%20urine.pdf.Diakses pada juli 2020
Toglia MR, Brubaker L, Chen WL. Rectovaginal and anovaginal Fistula. Uptodate. 2020 [cited
2020 july 06]; Available from: www.uptodate.com

33

Anda mungkin juga menyukai