Anda di halaman 1dari 18

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9/PMK.03/2018
 
TENTANG
 
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014
TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

Pajak pertambahan nilai


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan semua setiap pertambahan nilai
dari barang atau dagang dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.Merupakan jenis pajak
konsumsi yang dalam bahasa Inggris disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services
Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh
pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau
produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak
masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen untuk penyerahan
dalam negeri dan 0 persen untuk ekspor.
Dasar hukum dari penerapan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia adalah Undang-undang
Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Penyebutan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dengan nama Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983.
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku 1 April 1985 adalah
Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1994 (berlaku 1 Januari 1995), Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000 (berlaku 1 Januari 2001), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (berlaku 1
Januari 2010).

 Pajak tidak langsung (indirect tax), maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung
jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
 Multitahap (multi stage), maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai
jalur produksi dan jalur distribusi dari pabrikan.
 Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak tanpa melihat
kondisi subjek pajak.
 bersifat netral. yaitu PPN tidak hanya dikenakan pada barang tetapi juga jasa.
 Menghindari pengenaan pajak berganda (double tax). karena PPN hanya dikenakan pada
pertambahan nilainya saja.
 dipungut menggunakan faktur.
 PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic consumptions).
 Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan
memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

Dasar Pengenaan Pajak


Dasar Pengenaan Pajak dalam Undang-Undang PPN 1984 dan perubahannya adalah jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang yang ditetapkan Menteri
Keuangan Republik Indonesia yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984 dan perubahannya dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
Nilai Lain misalnya atas kegiatan membangun sendiri yang terutang PPN = 20 persen dari biaya
yang dikeluarkan.

Daerah Pabean 
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan
ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas
kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan yaitu
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang
nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan.

Objek Pajak Pertambahan Nilai[Objek Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam
pasal 4 Undang-undang PPN 1984 dan perubahannya (UU 42 Tahun 2009 yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 2010) adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Objek Pajak Pertambahan Nilai yang lain diatur dalam pasal 16 C dan Pasal 16 D UU PPN 1984
dan perubahannya yaitu

1. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan
2. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak,
kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.

Faktur Pajak
Indonesia menganut metode pengurangan secara tidak langsung (indirect subtraction
method) menggunakan mekanisme pengkreditan dengan faktur pajak (invoice method) sehingga
keberadaan faktur pajak sangat penting dalam membuktikan adanya transaksi yang terutang
pajak pertambahan nilai.
Faktur Pajak didefiniskan dalam pasal 1 angka 23 UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti
pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
Bagi Penjual Faktur pajak yang diterima merupakan bukti Pajak Keluaran sedangkan bagi
pembeli faktur pajak tersebut merupakan pajak masukan.
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak (tandatangan secara
elektronik diperbolehkan).
.

Pengecualian[Indonesia menganut prinsip Negative list, dimana pada dasarnya semua


barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak sehingga dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali yang disebutkan lain dalam Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Jenis barang dan jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN diatur dalam Pasal 4A
Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang No. 42 Tahun 2009, yaitu:
Barang tidak kena PPN[barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya, meliputi:

1. minyak mentah (crude oil).


2. Gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat.
3. Panas bumi.
4. asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin,
leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa,
perlit, fosfat(phospat), talk, tanah serap (fullers earth),tanah diatome, tanah liat, tawas
(alum),tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan.
6. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih
bauksit.

 Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:

1. beras
2. gabah
3. jagung
4. sagu
5. kedelai
6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan,dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,digarami,
dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
8. telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang dibersihkan,diasinkan, atau
dikemas
9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan,
tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak
dikemas
10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses
dicuci, disortasi, dikupas,dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak
dikemas
11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan
pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah

 makanan dan minuman yang disajikan di hotel,restoran, rumah makan, warung, dan


sejenisnya,meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak,
termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering.

 Uang, emas batangan, dan surat berharga


Jasa tidak kena PPN

 jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:

1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.


2. Jasa dokter hewan.
3. Jasa ahli kesehatan, seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi.
4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5. Jasa paramedis dan perawat.
6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,
dan sanatorium.
7. Jasa psikolog dan psikiater. ((konsultan kesehatan))
8. Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

 jasa pelayanan sosial, meliputi:

1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.


2. Jasa pemadam kebakaran.
3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4. Jasa lembaga rehabilitasi.
5. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
 jasa pengiriman surat dengan prangko meliputi jasa pengiriman surat dengan
menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.

 jasa keuangan, meliputi:

1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2. jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek,
atau sarana lainnya.
3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
1. sewa guna usaha dengan hak opsi;
2. anjak piutang;
3. usaha kartu kredit; dan/atau
4. pembiayaan konsumen;
4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia
5. jasa penjaminan

 jasa asuransi

 jasa keagamaan, meliputi:

1. Jasa pelayanan rumah ibadah.


2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan
4. Jasa lainnya di bidang keagamaan.

 jasa pendidikan, meliputi:

1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan


umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan
keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.

 jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang
kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselenggarakan secara cuma-cuma.

 jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan

 jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.

 jasa tenaga kerja, meliputi:


1. jasa tenaga kerja.
2. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

 jasa perhotelan, meliputi:

1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah


penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, dan hostel.

 jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum
 jasa penyediaan tempat parkir
 jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
 jasa pengiriman uang dengan wesel pos
 jasa boga atau katering

PPN atas kegiatan membangun sendiri[Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan diluar
kegiatan usaha atau pekerjaannya terutang PPN berdasarkan Pasal 16 C Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Persyaratan agar dikenakan PPN adalah bahwa bangunan yang berupa satu atau lebih konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan /atau perairan
dengan konstruksi utamanya dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejensi, dan atau
baja yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas keseluruhan paling
sedikit 200 meter persegi.
PPN atas kegiatan membangun sendiri dikenakan tanpa melihat apakah yang melakukan
kegiatan tersebut pengusaha kena pajak atau bukan baik orang pribadi atau badan.
PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah sebesar 10 persen dikalikan Dasar Pengenaan
Pajak (20 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan)

Pahami Istilah, Cara, dan Contoh Menghitung Nilai PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

untuk Barang dan Jasa Usaha Anda

   Seorang pelaku usaha juga merupakan seorang konsumen. Tak jarang mereka
menciptakan sebuah bisnis yang belum ada sebelumnya yang disebabkan oleh rasa frustasi
yang dialami karena tidak mendapatkan solusi yang layak atas permasalahan yang ada. Karena
pelaku bisnis pun juga merupakan seorang konsumen, tentunya sudah tidak asing lagi dengan
istilah PPN atau kepanjangan dari Pajak Pertambahan Nilai.

Ya, biasanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini selalu ada ketika kita membeli sesuatu dimana
total harga yang kita beli akan dikenakan biaya tambahan sebesar 10% yang tercantum pada
struk belanja. Bagi yang belum memahami apa itu Pajak Pertambahan Nilai atau yang akrab
disingkat menjadi PPN, melansir dari website Online-Pajak, PPN merupakan pungutan yang
dibebankan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi
atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Singkatnya, yang
memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para
pedagang/penjual yang didapat dari konsumen yang membayarkan atas transaksinya. Jadi,
yang berkewajiban untuk membayar PPN adalah konsumen yang diwadahi oleh
penjual/pedagang.

Pengertian lain dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
barang dan jasa yang memiliki pertambahan nilai dalam peredarannya dari konsumen dan
produsen. Jenis pajak yang satu ini disebut juga dengan Value Added Tax (VAT) atau Goods
and Service Tax (GST).

Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Berikut dibawah ini beberapa objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN yang
biasa disebut dengan Objek PPN:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak yang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Apa itu Pengusaha Kena Pajak (PKP)?


Bagi pebisnis pemula yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bisnis, istilah Pengusaha
Kena Pajak atau PKP memang kurang akrab didengar. Menurut ketentuan PMK No.
197/PMK.03/2013, Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah suatu perusahaan atau seorang
pengusaha yang transaksi penjualannya melampaui jumlah Rp 4,8 miliar dalam setahun. Jika
Pengusaha tidak dapat mencapai transaksi dengan jumlah tersebut, maka pengusaha dapat
mengajukan permohonan pengukuhan sebagai PKP. 

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya di atas, Pengusaha Kena Pajak (PKP) merupakan
pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN dimana setiap tanggal di akhir bulan adalah
batas akhir waktu penyetoran dan pelaporan PPN oleh PKP.

Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh PKP, ada dua istilah yang perlu diketahui,
yaitu Pajak Keluaran dan Pajak Masukan. Apa yang dimaksud dengan kedua pajak ini? Pajak
Keluaran adalah PPN yang dipungut ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual produknya.
Sedangkan Pajak Masukan adalah PPN yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP)
membeli, memperoleh maupun membuat produknya.

Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Menurut ketentuan Undang-Undang No. 42 tahun 2009 pasal 7, tarif PPN terbagi menjadi 3
bagian seperti dibawah ini:
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
3. Ekspor Jasa Kena Pajak
b. Tarif pajak seperti yang dimaksud pada nomor 1 dapat berubah menjadi paling rendah
5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur
oleh Peraturan Pemerintah.

Untuk tarif PPN yang dibebankan kepada konsumen adalah PPN atas pembelian barang
sebesar 10% dari nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau harga barang itu sendiri.

Cara Menghitung PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Untuk dapat menghitung PPN, rumus yang harus digunakan yakni:
Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Atau
10% x DPP

Agar dapat lebih mudah memahami dara penghitungan dan penggunaan tarif PPN, berikut
dibawah ini contoh yang dapat kamu jadikan referensi:

PT. Sejahtera merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjual Barang Kena Pajak
(BKP) pada PT. ADC dengan harga Rp 50.000.000. Maka, PPN terutang yang perlu disetorkan
adalah:

PPN Terutang: 10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000

Jadi, Rp 5.000.000 merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PT. Sejahtera dari PT. ADC.

Contoh Menghitung PPN 2


PT. Elektronik Maju merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menjual barang elektronik
di Jakarta. Selama bulan Agustus 2018, PT. Elektronik Maju melakukan berbagai transaksi
sebagai berikut:

1. Penjualan secara langsung kepada konsumen sebesar Rp 1.600.000.000.


2. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), yaitu barang elektronik kepada Pemerintah DKI
Jakarta sebesar Rp 600.000.000. Harga sudah termasuk PPN.
3. PT. Elektronik Maju juga membangun sebuah gedung elektronik seluas 500m2 di
kawasan pergudangan sendiri dengan biaya sebesar Rp 550.000.000.
4. Menyumbang ke sebuah yayasan panti jompo 1 buah televisi dengan harga Rp
2.000.000 termasuk keuntungan Rp 200.000.

Selain transaksi di atas, terdapat tambahan transaksi selama bulan Agustus sebagai berikut:
1. PT. Elektronik Maju Membeli sebuah mobil box untuk mengangkut barang dengan
harga Rp 550.000.000 dan harga tersebut sudah termasuk PPN.
Dari beberapa transaksi yang dilakukan di atas, maka kita akan menghitung PPN dari transaksi
tersebut dan mengetahui berapa total PPN yang harus diserahkan.

Jawab:
Transaksi Pertama
PPN = 10% x Rp 1.600.000.000 = Rp 160.000.000 (pajak keluaran/penjualan)

Transaksi Kedua
DPP* = 100/110 x Rp 660.000.000 = Rp 600.000.000
*Dasar Pengenaan Pajak

PPN = 10% x Rp 600.000.000 = Rp 60.000.000 (pajak keluaran/penjualan)

Transaksi Ketiga
DPP = 20% x Rp 550.000.000 = Rp 110.000.000
PPN = 10% x Rp 110.000.000 = Rp 100.000.000 (pajak keluaran)

Transaksi Keempat
DPP = Rp 2.000.000 - Rp 200.000 = Rp 1.800.000 (Pajak keluaran)

Transaksi Tambahan
DPP = 100/110 x Rp 550.000.000 = Rp 500.000.000
PPN = 10% x Rp 500.000.000 = Rp 50.000.000 (pajak masukan)

Total PPN yang harus disetorkan:


PPN Keluaran
Transaksi Pertama + Transaksi Kedua + Transaksi Ketiga + Transaksi Keempat
Rp 160.000.000 + Rp 60.000.000 + Rp 100.000.000 + Rp 1.800.000 = Rp 321.800.000

PPN Masukan
Rp 50.000.000

Cara menghitung PPN yang harus disetorkan: Pajak Keluaran - Pajak Masukan
Rp 321.800.000 - Rp 50.000.000 = Rp 271.800.000

Jadi, total PPN yang harus disetorkan atar transaksi yang dilakukan selama bulan Agustus 2018
oleh PT. Elektronik Maju adalah sebesar Ro 271.800.000.

Dasar Hukum PPN


Dasar hukum atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tertuang pada Undang-Undang Nomor 42
tahun 2009. Dalam undang-undang ini diatur juga hal-hal yang berkaitan dengan PPN seperti
Objek PPN, Tarif PPN, Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan, dan sebagainya.

Pajak Bumi dan Bangunan: Pengertian, Ketentuan dan Cara Membayar

Dalam mengelola sebuah usaha, seringkali kita membutuhkan sebuah kantor. Kantor ini, pada
umumnya, memiliki lokasi fisik dalam bentuk bangunan. Jika begitu, tentu saja kamu harus
mengetahui aturan dan hukum yang berlaku sehubungan dengan hal tersebut. Salah satu hal yang
wajib kamu ketahui adalah perihal pajak—disebut juga Pajak Bumi dan Bangunan. Semua pihak
yang memiliki objek pajak bumi maupun bangunan wajib membayar pajak ini, tapi sebetulnya
bagaimana sih ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan ini? Yuk, kita simak informasi berikut ini!

Apa itu Pajak Bumi dan Bangunan?

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang
memiliki suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya. Jadi, kalau kamu menetap atau
mengelola bisnis di suatu bangunan, kamu wajib membayarkan PBB yang berlaku. Pajak ini
bersifat kebendaan, yang artinya besarannya ditentukan dari keadaan objek bumi atau bangunan
yang bersangkutan.
Nah, mungkin sekarang kamu bertanya-tanya, “Apa sih objek bumi dan objek
bangunan?” Objek bumi terdiri dari sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan dan tambang.
Sementara itu, objek bangunan terdiri dari rumah tinggal, bangunan usaha, gedung bertingkat,
pusat perbelanjaan, pagar mewah, kolam renang dan jalan tol. Jika kamu memiliki satu—atau
lebih—dari contoh-contoh di atas, maka kamu adalah yang disebut juga sebagai subjek Pajak
Bumi dan Bangunan.
Apa sih sebetulnya subjek PBB? Subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi
dan/atau organisasi yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, memperoleh manfaat atas
bumi, memiliki bangunan, menguasai bangunan dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Jika kamu memiliki sebuah ladang/tanah atau bangunan/gedung, maka kamu pun termasuk salah
seorang subjek pajak yang wajib membayarkan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

 Isi form berikut ini untuk mendapatkan demo gratis aplikasi JojoPayroll hari ini.

Apa Saja yang Tidak Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan?

Meskipun sesuatu termasuk ke dalam contoh-contoh objek bumi dan objek bangunan, belum
tentu ia termasuk ke dalam objek Pajak Bumi dan Bangunan. Berikut adalah beberapa contoh
objek bumi dan objek bangunan yang tidak diwajibkan Pajak Bumi dan Bangunan:

 Objek bumi atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional—tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan
 Objek bumi atau bangunan yang digunakan sebagai kuburan, peningggalan purbakala
atau hal sejenis
 Objek bumi atau bangunan yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai suatu desa dan tanah negara yang
belum dibebani suatu hak
 Objek bumi atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan
berdasarkan asas perlakuan timbal balik
 Objek bumi atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan

Undang-Undang Apa Saja yang Mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan?

Ada beberapa undang-undang dalam konstitusi Indonesia yang mengatur tentang pemungutan
dan prosedur Pajak Bumi dan Bangunan. Mengetahui peraturan-peraturan yang tertera ini sangat
penting bagi kita—terutama perusahaan—agar tidak terkena denda. Berikut adalah undang-
undang yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan:

 UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan mengatur semua tentang pungutan atas Pajak Bumi dan Bangunan
 UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah membahas kewenangan
dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang
telah diserahkan ke pemerintah kabupaten atau kota.
 Undang-undang yang sama mengatur Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pertambangan,
Perhutanan dan Perkebunan (PBB P3) di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat
Jenderal Pajak (DJP)

Cara dan Ketentuan Mendaftarkan Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Kalau kamu memiliki objek bumi atau bangunan yang terkena Pajak Bumi dan Bangunan, kamu
wajib melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat dari objek tersebut. Cara
mendaftarkannya cukup sederhana, tapi kamu perlu mengetahui ketentuan-ketentuan yang ada
sehubungan dengan pendaftaran itu. Dengan begini, harapannya, kamu tidak akan merasa
kebingungan dalam mendaftarkannya. Berikut adalah prosedur pendaftaran objek PBB:

 Datangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) yang mengatur daerah objek pajakmu terletak
 Isi formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang bisa kamu dapatkan di KPP
atau KP2KP tersebut secara gratis

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dalam Mendaftarkan Objek Pajak

Dalam proses pendaftaran objek pajak bumi dan/atau bangunan milikmu, ada sejumlah hak dan
kewajiban yang kamu miliki sebagai subjek pajak. Ketahuilah hak dan kewajiban yang kamu
miliki, agar tidak terjadi kesalahpahaman sekaligus kecurangan yang tidak diinginkan.

Hak Wajib Pajak dalam Mendaftarkan Objek Pajak

 Formulir SPOP tersedia GRATIS di KPP, KP2KP dan tempat lain yang ditunjuk oleh
pemerintah—jangan sampai kamu diminta membayar untuk ini
 Kamu berhak mendapat penjelasan atau keterangan tentang tata cara pengisian dan
penyampaian kembali SPOP pada KPP dan KP2KP
 Kamu berhak mendapatkan tanda terima pengembalian SPOP dari KPP atau KP2KP
 Kamu boleh memperbaiki atau mengisi ulang SPOP jika terdapat kesalahan dalam
pengisian, tapi harus disertai dengan fotokopi bukti sah sertifikat tanah, akta jual beli tanah dan
lain sebagainya
 Kamu berhak menunjuk pihak lain selain karyawan DJP sebagai tanda kuasa wajib pajak
untuk mengisi dan menandatangani SPOP, dengan syarat melampirkan surat kuasa khusus
disertai materai
 Kamu berhak mengajukan permohonan secara tertulis soal penundaan penyampaian
SPOP asalkan tidak melampaui batas waktu dan menyebutkan alasan-alasan yang sah

Kewajiban Wajib Pajak dalam Mendaftarkan Objek Pajak

 Kamu wajib mendaftarkan objek pajak, dengan cara mengisi SPOP


 SPOP harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap, sehingga dapat dibaca dan tidak
menimbulkan kesalahpahaman, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan terisi seluruhnya,
lalu ditandatangani (dan melampirkan surat kuasa khusus bila diwakilkan)
 Kamu wajib memberikan atau menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi ke KPP
atau KP2KP paling lambat 30 hari setelahnya
 Kamu wajib melaporkan perubahan data atas objek pajak ke KPP Pratama atau KP2KP
dengan mengisi kembali SPOP dan melampirkan dokumen pendukung

Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

Setelah mengetahui pengertian, dasar hukum, subjek dan objek PBB, kini saatnya kita mengulas
tentang dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Singkatnya, dasar pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Apa itu NJOP? NJOP adalah harga rata-
rata atau harga pasar pada transaksi jual beli tanah, yang setiap tahunnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Beliau menetapkan harga-harga tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari
bupati dan walikota setempat.
Dalam menetapkan NJOP tersebut, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan.
Untuk NJOP Bumi, dasar penetapannya adalah letak, pemanfaatan, peruntuhan dan kondisi
lingkungan. Sementara itu, penetapan NJOP Bangunan dipengaruhi oleh bahan yang digunakan
di dalam bangunan, rekayasa, letak dan kondisi lingkungan. Namun bagaimana kalau tidak
terjadi transaksi jual beli? Untuk itu pun ada dasar penetapan NJOP-nya, yakni sebagai berikut:
 Perbandingan harga dengan objek lainnya — yaitu objek yang masih sejenis,
lokasinya berdekatan dan memiliki fungsi yang sama, atau objek lain sebagai gambaran yang
kurang lebih bisa mendekati nilai objek pajak
 Nilai Perolehan Baru — dengan cara menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk
memperoleh objek pajak, dikurangi dengan penyusutan yang terjadi, misalnya pada kondisi fisik
objek
 Nilai Jual Pengganti — berdasarkan hasil produk objek pajak, dengan kata lain nilai jual
didasarkan pada keluaran yang dihasilkan oleh objek pajak itu sendiri
Selain NJOP, ada pula yang disebut dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). NJOPTKP adalah batas Nilai Jual Objek
Pajak atas bumi dan bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya di masing-masing wilayah
memang cenderung berbeda-beda. Meskipun begitu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 201/KMK.04/2000, NJOPTKP untuk setiap daerah di kabupaten/kota ditetapkan
setinggi-tingginya senilai Rp 12.000.000,- dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. Setiap wajib pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak 1 kali dalam 1 Tahun
Pajak.
2. Jika wajib pajak memiliki lebih dari 1 objek pajak, maka yang bisa atau mendapat
pengurangan NJOPTKP hanya 1 objek pajak yang nilainya paling besar dan tidak bisa
digabungkan dengan objek pajak lainnya yang wajib pajak miliki.

 Isi form berikut ini untuk mendapatkan demo gratis aplikasi Travelonomic hari ini.
 NAMA LENGKAP*

Sementara itu, NJKP adalah dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan. NJKP juga dikenal
sebagai assessment value atau nilai jual objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan
pajak terutang. Dengan kata lain, NJKP merupakan bagian dari NJOP.

Dalam KMK Nomor 201/KMK.04/2000, ketentuan presentase NJKP sudah ditetapkan oleh
pemerintah, yaitu sebagai berikut:

 Objek pajak perkebunan sebesar 40%.


 Objek pajak pertambangan sebesar 40%.
 Objek pajak kehutanan sebesar 40%.
 Objek pajak lainnya seperti Pedesaan dan Perkotaan dilihat dari nilai NJOP-nya, yakni:
o Jika NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar 40%.
o Sedangkan, jika NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar 20%.

Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan

Nah, sekarang kamu sudah tahu semua prosedur, ketentuan dan persenannya. Tapi semua itu
tidak ada gunanya kalau kamu tidak tahu menahu cara menghitung pajak yang harus kamu
bayarkan. Oleh karena itu, yuk kita sekarang melihat bagaimana cara menghitung Pajak Bumi
dan Bangunan!

Pada dasarnya, perhitungan PBB adalah perkalian tarif 0,5% dengan NJKP yang sudah
dijelaskan di atas. NJKP sendiri merupakan 20% dari NJOP. Apakah sudah cukup jelas?
Misalnya NJOP suatu objek adalah Rp 4.000.000. Maka berapa jumlah PBB yang harus
dibayarkan? Berikut adalah penghitungannya.
Pertama, kita harus hitung terlebih dahulu NJKP-nya:
NJKP: 20% x Rp 4.000.000,- = Rp 800.000,-
Lalu sekarang kita hitung PBB-nya:
PBB: 0,5% x Rp 800.000,- = Rp 4.000,-
Baiklah, itu adalah cara sederhana menghitung besaran PBB, tapi bagaimana kalau penghitungan
ini kita implementasikan di kehidupan nyata? Coba kita gunakan rumus ini di situasi tertentu!

Anggap saja kamu memiliki rumah seluas 50 meter persegi yang berdiri di atas sebidang tanah
seluas 100 meter persegi. Misalkan harga bangunan tersebut adalah Rp 500.000, sementara harga
tanah tersebut adalah Rp 1.000.000. Jadi berapakah PBB yang harus kamu bayarkan?

Pertama, kita hitung terlebih dahulu nilai bangunan dan tanahnya:


Bangunan: 50 x Rp500.000 = Rp25.000.000
Tanah: 100 x Rp 1.000.000 = Rp100.000.000
Kedua, kita hitung NJOP nya dengan menjumlahkan nilai bangunan dan tanah:
Nilai Bangunan: Rp25.000.000
Nilai Tanah:   Rp100.000.000
————————————— +
         Rp. 125.000.000
Terakhir, setelah diketahui NJOP nya, kita bisa langsung menghitung PBB nya:
NJKP: 20% x Rp125.000.000 = Rp25.000.000
PBB: 0,5% x Rp 25.000.000 = Rp125.000
Nah, sekarang kamu tahu deh besaran PBB yang harus kamu bayarkan. Mudah bukan? Tentu
saja, cara paling mudah untuk mengetahui berapa Pajak Bumi dan Bangunan yang harus kamu
bayarkan, kamu bisa memeriksa saja tagihan PBB milikmu. Bagaimana caranya?

Cara Memeriksa Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan

Sebetulnya kamu bisa mengambil tagihan PBB yang berupa SPPT biasanya di kecamatan atau
kelurahan, bahkan bisa langsung dari Ketua RT masing-masing. Biasanya pihak kecamatan atau
kelurahan telah menyerahkan SPPT tersebut melalui Ketua RW, yang menyerahkannya ke pihak
RT setempat. Selain itu, kamu juga bisa menanyakan tentang SPPT di kantor pajak terkait.

Mengikuti perkembangan zaman yang sudah beralih ke dunia digital, kini tagihan PBB pun bisa
dicek secara online. Meskipun ini baru bisa diakses untuk daerah-daerah tertentu saja, metode ini
pasti bisa jauh lebih memudahkanmu untuk memeriksa tagihanmu kapanpun dan dimana pun
kamu berada. Lebih enak, bukan?

Dengan menggunakan tagihan online, kamu juga bisa mengecek tagihan pembayaran pajak
tahun-tahun sebelumnya—apakah sudah terlunasi atau belum, misalnya. Situs pajak tersebut
akan menyajikan tagihan pembayaran pajakmu secara lengkap dari tahun ke tahun. Selain itu,
tagihan online ini juga memungkinkanmu untuk mengecek apakah suatu bangunan pajaknya
sudah lunas atau belum, ketika kamu ingin membelinya. Dengan begitu, kamu tidak perlu takut
terjerat sengketa dengan pemilik bangunan sebelumnya.

Website yang ada untuk mengecek tagihan Pajak Bumi dan Bangunan per daerahnya berbeda-
beda, namun rata-rata memiliki prosedur yang serupa. Biasanya terdapat Nomor Objek Pajak
(NOP) yang harus dimasukkan. Setelah NOP dimasukkan, kamu bisa memilih tagihan PBB
tahun berapakah yang ingin kamu lihat. Di situ lalu akan muncul data pajak PBB seperti nama
wajib pajak. Selain data dan tagihan PBB kamu, di website tersebut, kamu juga bisa melihat
rincian lainnya, antara lain besarnya total NJOP, NJOP dan NJKP.

Bagaimana? Apa kalian jadi memiliki pengertian yang lebih mendalam tentang Pajak Bumi dan
Bangunan? Mungkin sekarang kalian sudah siap melakukan pembayaran pajak ini. Kalau kalian
memikirkan tentang pajak ini sehubungan dengan bisnismu, mungkin kamu jadi lumayan pusing.
Bagaimana ya caranya untuk bisa mengelola pajak ini sekaligus dengan pengeluaran-
pengeluaran lainnya? Untuk pengelolaan manajemen finansial perusahaan yang optimal,
serahkan semuanya ke JojoExpense. Dengan begini, kamu tidak perlu lagi pusing menghitung
dan mendata semuanya secara manual. Biarkan prosesnya berjalan secara otomatis!

Anda mungkin juga menyukai