Anda di halaman 1dari 6

Manusia Paripurna: Perspektif Pancasila

Oleh: Yudi Latif

Sebagai kajian filsafati, Pancasila mengandung dasar-dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Ontologi Pancasila menggali hakikat nilai-nilai Pancasila dalam semesta kodrat eksistensi manusia.
Epistemologi Pancasila memberikan kerangka interpretasi konseptual untuk membaca Pancasila
sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Aksiologi Pancasila memberikan kerangka
operasional dalam bidang etika dan estetika, juga dalam ideologi yang merupakan wujud praksis dari
hakikat dan cara berfikir Pancasila.

Dimensi Keyakinan-Ontologis

Dimensi ontologis filsafat mengacu pada “struktur makna terdalam” yang menjadi substansi
(dasar) mengapa sesuatu mengada. Alam pikir filsafat Pancasila merumuskan ontologi Pancasila
dalam konteks struktur makna terdalam dari ide yang mendasari Pancasila. Struktur terdalam tersebut
adalah kehendak mencari titik temu (“persetujuan”) dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan
bersama (al-masalahah al-ammah, bonum commune) dalam suatu masyarakat bangsa yang mejemuk. 1

Struktur makna terdalam itu lahir dari pengangkatan nilai-nilai yang ada di dalam Lebenswelt
kehidupan berbangsa (sebagai hasil sintesis kreatif antara nilia-nilai lokal dan global) untuk dijadikan
akar bagi ide Pancasila. Struktur terdalam tersebut ialah ide-ide yang pada awalnya menjadi pijakan
Bung Karno dalam merumuskan Pancasila, dan dalam perkembangannya disempurnakan oleh Tim 9
dan anggota PPKI. Pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari
persetujuan, mencari persetujuan faham”:

Kita bersama-sama mencari persatuan Philosofische grondslag, mencari satu


‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin
setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang
saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua
mencari satu modus.

1
Pada pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyerukan “bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan
faham”: “Kita bersama-sama mencari persatuan Philosofische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang
kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki
Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian
setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”
Titik temu (“persetujuan”) dalam menghadirkan kemalahatan umum itu memperoleh pendasarannya
pada lima nilai fundamental (Pancasila) berikut turunan visinya: kehidupan kebangsaan yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Seluruh sila Pancasila berikut turunan visinya diarahkan untuk kemaslahatan-kebahagiaan


hidup bersama (common good). Untuk itu, pertama-tama, persatuan nasional harus diperjuangkan
dengan menghadirkan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Demi persatuan nasional itu, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Demi keadilan sosial itu, negara harus berdasar atas kedaulatan rakyat dalam
permusyawaratan perwakilan. Dan semuanya itu menuntut fundamen etis, semangat Ketuhanan
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Semua prasyarat ini terkandung dalam empat
pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Singkat kata, kelima sila Pancasila saling tali-temali yang
secara integral diharapkan dapat memenuhi dasar ontoligisnya dalam kerangka kemaslahatan publik.
Kehendak untuk mewujudkan kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama juga tercermin pada tiga
prinsip dasar Pancasila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan sosio-religius), yang pada analisis
terakhir terkristalisasi dalam semangat gotong-royong (semangat welas asih untuk kerjasama, tolong-
menolong, saling menhormati).

Dalam pandangan dunia Pancasila, konsepsi kemasalahatan hidup bersama itu dicari
pendasarannya pada keyakinan akan kodrat keberadaan manusia sebagai makhluk dengan sifat-sifat
“kehanifan” (kecenderungan pada kebaikan) religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereignitas dan
sosialitas. Secara esensial, setiap sila Pancasila mencerminkan suatu perspektif keyakinan akan
keutuhan integritas kodrat kemanusiaan. Bahwa kodrat manusia pada dasarnya bisa dikerucutkan ke
dalam lima unsur, yang satu sama lain saling kait-mengait, saling menyempurnakan.

Sila pertama meyakini bahwa kodrat keberadaan manusia merupakan perwujudan istemewa dari
semesta sebagai kristalisasi dari cinta kasih Yang Tak Terhingga (Tuhan). Keberadaan manusia
diyakini merupakan ada yang diciptakan oleh cinta kasih Sang Maha Pencipta sebagai ada pertama.
Meski merupakan perwujudan istimewa dari semesta, manusia tetaplah merupakan bagian dari
semesta, yang dengan keistimewaannya itu tidaklah menghadirkan kerusakan (fasad), melainkan
membawa harmoni (maslahat-manfaat) dalam relasi kemanusiaan dan kealaman. Sebagai bagian dari
semesta, manusia bersifat terbatas, relatif dan tergantung, sehingga memerlukan keterbukaan pada
sesuatu yang transenden dan menjalin kerjasama dengan yang lain. Keterbukaan pada yang transenden
itu diperlukan untuk mencegak absolutisme (memutlakan hal-hal yang imanen), yang dengan itu
paham persamaan manusia dan kerjasama secara berkeadaban dimungkinkan.

Sila kedua meyakini bahwa keberadaan manusia merupakan ada bersama. Manusia tidak bisa
berdiri sendiri, terkucil dari keberadaan yang lain. Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia
tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta, dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang
adil dan beradab.

Sila ketiga meyakini bahwa dalam ada bersama, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan
ruang hidup yang konkrit dan pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan. Cara menghidupkan cinta
kasih dalam kebhinekaan manusia yang mendiami tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah
manusia mengembangkan rasa kebangsaan.

Sila keempat meyakini bahwa dalam mengembangkan kehidupan bersama, cara mengambil
keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh dengan semangat cinta kasih. Ukuran utama
dari cinta adalah saling menghormati. Cara menghormati manusia dengan memandangnya sebagai
subyek yang berdaulat, bukan obyek manipulasi, eksploitisasi dan eksklusi, itulah yang disebut
demokrasi dalam arti sejati.

Sila kelima meyakini bahwa keberadaan manusia adalah roh yang menjasmani. Secara
jasmaniah, manusia memerlukan papan, sandang, pangan, dan pelbagai kebutuhan material lainnya.
Perwujudan khusus kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan
jasmaniah secara fair itulah yang disebut dengan keadilan social (Driyarkara, 2006: 831-865).

Dengan demikian, semua sila dipersatukan oleh cinta kasih. Semangat cinta kasih untuk
bekersama, tolong-menolong dan saling menghormati itulah yang dalam kata kerjanya disebut Bung
Karno dengan istilah “gotong-royong”. Di atas landasan cinta kasih, semua sila Pancasila hendak
dikembangkan dengan semangat gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus
berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan
yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong
(yang berperikemanusian dan berperikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan
eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan
dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau
menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan
musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (diktator mayoritas) atau
minoritas elit penguasa-pemodal (tirani minoritas). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-
royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat
kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang
mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Dimensi Pengetahuan-Epistemologis
Dimensi ontologis-keyakinan Pancasila mengandung konsekuensi paradigmatis-teoritis yang
dapat menurunkan konsepsi-konsepsi pengetahuan (epistemologis). Dengan kata lain, filosofi
Pancasila berkaitan juga dengan cara berpikir (epistemologi) ala Pancasila.

Dimensi ontologis tentang kemaslahatan publik ini dipraktikkan pada level epistemologis
melalui cara mengetahui yang bersifat sintetis, yang menyatukan berbagai ide menjadi ide baru
bernama Pancasila. Maka, ide ketuhanan bersintesa dengan kemanusiaan, ide kebangsaan bersintesa
dengan demokrasi, ide keadilan sosial bersintesa dengan kemanusiaan, demikian seterusnya. Inilah
yang membuat antar-sila di dalam lima sila Pancasila, mesti dibaca sebagai kesatuan yang saling
mengandaikan dan mengunci.

Proses berpikir yang sintetis ini bukan menjadi bagian dari upaya kompromi politik antar-
berbagai ideologi dan kelompok yang mengusungnya, namun menjadi bagian dari kebijaksanaan
masyarakat Indonesia dalam berpikir. Karena kita melihat realitas sebagai kesatuan kosmik, setiap
unsur di dalamnya selalu terkait (sintetis) membentuk kebulatan hidup dan pandangan terhadap hidup.
Basis ontologis dan epistemologis seperti ini yang menjadi pijakan bagi praksis aksiologis Pancasila,
yang menandai pengamalan nilai-nilai Pancasila, baik ke ranah tindakan maupun praktik kelembagaan
di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Secara kultural, wawasan epistemologi Pancasila merupakan pantulan dari sistem mental
primordial budaya Nusantara, yang bersenyawa dengan pandangan dunia dari luar yang sejalan.
Arkeolog Belanda, FDK Bosch (1946), melukiskan genius Nusantara sebagai kemampuan
mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang warisan budaya lokal yang membentuk suatu
kebaruan dan entitas harmonis, yang berujung kelahiran tipe peradaban yang lebih tinggi dari
sebelumnya.

Spiritualitas-ketuhanan adalah jantung budaya Nusantara, dengan kaum cendekiawan (guru)


keagamaan sebagai agen budaya terpentingnya. PJ Zoetmulder menyimpulkan, tradisi filsafat yang
berkembang pada masyarakat Indonesia utamanya menyangkut filsafat yang berkaitan dengan
ketuhanan. Berbeda dengan filsafat Barat yang lebih obyektif dengan kecenderungan mengarahkan
kesadaran pada dunia di luar dirinya, filsafat Nusantara lebih reflektif-introspektif dengan
mengarahkan kesadaran pada dirinya sendiri. Implikasi dari proses introspektif ini, filsafat Nusantara
lebih menekankan laku (perbuatan) ketimbang teori.

Clifford Geertz, dalam Religion as a Cultural System (1966), menengarai adanya dua inti
keberagamaan: world view (sistem kayakinan dan pandangan dunia) dan ethos (nilai moral, emosi dan
motivasi). Pandangan dunia religi primordial di Tanah Air ini pada umumnya bercorak
iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan pasangan-pasangan yang
saling mengidentifikasi, saling melengkapi, saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.
Pandangan dunia modern, yang berbasis pada logika Aristotelian, menolak entitas kontradiktif yang
mengakui adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling bertentangan. Tapi dalam logika primordial
suku-suku bangsa di Indonesia, segala sesuatu itu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme.
Hidup berkembang dalam logika dwitunggal, loro-loroning atunggal (dua yang menyatu). Bahkan
yang “beragam itu” (Bhinna ika), pada dasarnya bisa dilihat sebagai “satu itu” (tunggal ika). Segala
Keragaman yang saling bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari “Yang Esa” (Tuhan),
yang tidak bergantung (Sumardjo, 2014).

Dengan pandangan dunia seperti itu, etos budaya Nusatara (terutama Jawa) bersifat adaptif,
gradualistik, estetik dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau paling jauh hanya
bisa ditolelir selama tidak membahayakan. Sebaliknya, perbedaan harus diterima secara riang gembira
sebagai bagian dari kesempurnaan hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling menyerap, saling
berbagi, saling menghormati.

Dalam perkembangannya, pandangan dunia dan etos Nusantara itu tidaklah bergerak di ruang
hampa yang kedap pengaruh dari luar. Karena letak geogragrafisnya yang strategis serta kekayaan
alamnya yang berlimpah, Nusantara merupakan “jalur persilangan”, yang mengundang arus masuk
beragam peradaban.

Dimensi Tindakan-Aksiologis

Segala idealitas ontologis dan epistemologis di atas baru bisa memperoleh kepenuhan artinya
bila mampu diwujudkan dalam realitas kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dengan demikian,
basis ontologis dan epistemologis menjadi pijakan bagi praksis aksiologis Pancasila, yang menandai
pengamalan nilai-nilai Pancasila, baik ke ranah tindakan setiap individu warga (budaya kewargaan)
maupun praktik kelembagaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila sebagai kerangka pengetahuan (konseptual) menuntut perwujudan kerangka operatif


(aksiologis) sebagai pedoman perilaku penyelenggara negara dan warga negara, dalam rangka
membuat semua elemen bangsa merasa yakin dengan penuh penghayatan terhadap pandangan
dunia/hidup Pancasila (dimensi mitos yang bersifat afektif), memiliki pengetahuan tentang Pancasila
sebagai kerangka visi-paradigmatik (dimensi logos yang bersifat kognitif), memiliki komitmen untuk
mengamalkan Pancasila dalam tindakan dan kebijakan (dimensi etos yang bersifat konatif).

Sebagai nilai-nilai yang mengandung keadaban publik, Pancasila menjadi dasar bagi perilaku
kewargaan (citizenship) bagi setiap warga negara. Hal ini berkaitan dengan posisi setiap individu yang
pada satu sisi berada di ranah privat, namun pada saat bersamaan berada di ranah publik. Di ranah
privat, setiap orang memiliki kepentingannya sendiri, termasuk kepentingan keluarga dan kelompok.
Sedangkan di ranah publik, ia berada di tengah kepentingan publik dengan segala keragamannya yang
tidak bisa diukur berdasarkan kepentingan privat.
Parameter nilai-nilai kewargaan lahir dari nilai-nilai kepublikan yang disepakati bersama lintas
budaya, agama dan kelompok. Dalam kaitan ini, Pancasila merupakan nilai-nilai kepublikan yang
melampaui berbagai nilai kelompok, budaya dan agama yang ada di negeri ini, meski nilai-nilai
kepublikan tersebut bisa saja terinspirasi dari nilai-nilai agama, budaya dan keyakinan yang
berkembang di setiap kelompok masyarakat.

Dalam kaitan itu, setiap individu ditempatkan Pancasila sebagai warga negara, bukan anggota
kelompok atau umat beragama semata. Artinya, posisi individu lebih merupakan subjek hukum yang
memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang setara, melampaui identitas primordialnya. Pada titik
ini, setiap warga negara harus menghormati kesetaraan itu, dan tidak melakukan penilaian hanya
berdasarkan nilai-nilai primordialnya.

Pola perilaku seperti ini merupakan cerminan dari tindakan setiap warga negara dalam rangka
keadaban budaya kewargaan (civic culture). Di sini, tindakan kewargaan didorong oleh keinginan
mewujudkan kebaikan publik. Di dalam tindakan ini, nilai-nilai yang memandu ialah Pancasila,
konstitusi, konvensi-konvensi kenegaraan dan etika publik.

Selain tindakan sebagai karakter (budaya) kewargaan, Pancasila juga memuat wawasan tindakan
yang menjadi prinsip bagi karakter kelembagaan sosial-politik (tata kelola) dan karakter kelembagaan
ekonomi (tata sejahtera). Karakter kolektif dalam kedua ranah kelembagaan itu diidealisasikan
berwatak gotong-royong, yang secara politik termanifestasi dalam semangat musyawarah, sedang
secara ekonomi termanifestasi dalam semangat kooperatif. Kedua ciri karakter kolektif itu harus
mewarnai kerangka peraturan, kebijakan dan tindakan penyelenggara negara, kepemimpinan politik
dan dunia usaha.

Uraian yang lebih mendalam tentang topik ini, lihat buku terbaru saya Wawasan Pancasila
(Sedang proses pencetakan di Mizan).

Anda mungkin juga menyukai