Disusun Oleh :
Nim : 181440139
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2018).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk. 2019).
Isolasi soaial adalah pengalaman kesendirian seorang individu yang diterima
sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif atau mengancam
(Wilkinson, 2017).
2. Rentang respon
Adapun rentang sosial dari adaptif sampai terjadi respon yang maladaptif (Stuart &
Sundeen, 2012), yaitu :
Saling tergantung
3. Faktor penyebab
Menurut Stuart dan Sundeen, perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor
predisposisi atau faktor yang mungkin mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa.
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yaitu faktor yang bisa menimbulkan respon sosial
yang maladaptif. Faktor yang mungkin mempengaruhi termasuk :
1) Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan
mencetuskan seseorang akan mempunyai masalah respon maladaptif.
2) Biologik
Adanya keterlibatan faktor genetik, status gizi, kesehatan
umum yang lalu dan sekarang.Ada bukti terdahulu tentang terlibatnya
neurotransmiter dalam perkembangan gangguan ini, tetepi masih perlu
penelitian.
3) Sosiokultural
Isolasi karena mengadopsi norma, prilaku dan sistem nilai yang
berbeda dari kelompok budaya mayoritas, seperti tingkat
perkembangan usia, kecacatan, penyakit kronik, pendidikan, pekerjaan
dan lain-lain.
b. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan
dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
Stressor pencetus dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1) Stressor sosiokultural
Menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah dari orang yang
berarti, misalnya perceraian, kematian, perpisahan kemiskinan, konflik
sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) dan sebagainya.
2) Stressor Psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan dan bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya, misalnya perasaan
cemas yang mengambang, merasa terancam.
Data Subyektif:
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi
pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab
isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian
apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara
berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang
lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal
kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara
berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan
berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP
tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan
untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien
memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2018)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2018), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang meliputi:
I. Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien
sewaktu bangun tidur.
II. Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua
bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB
dan BAK.
III. Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam
kegiatan mandi dan sesudah mandi.
IV. Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
keperluan berganti pakaian.
V. Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada
waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
VI. Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan
dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan
dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
VII. Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti
dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak
menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak
merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya
tanpa tujuan yang positif.
VIII. Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien
untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi
tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala
primer yang muncul padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang
dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi
bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial
pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
I. Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya
menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
II. Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan
dan sebagainya.
III. Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara
dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap
sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.
IV. Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan
bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
V. Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
VI. Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata
krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun
orang lain.
Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang
bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti
tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan
dan sebagainya.
8. Prinsip tindakan keperawatan
Menerapkan teknik therapeutik, melibatkan keluarga, kontak seringtetapi
singkat, peduli, empati, jujur, menepati janji, memenuhi kebutuhansehari ; hari,
libatkan klien TAK
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
SP 3
SP 4
o Anjurkan Klien
untuk bersosialisasi dengan orang
lain
§ Keluraga
TINDAKAN PSIKOFARMAKA
TINDAKAN MANIPULASI
LINGKUNGAN
Keluarga:
TINDAKAN PSIKOFARMAKA
TINDAKAN MANIPULASI
LINGKUNGAN
19. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ini harus dilakukan terus menerus pada
respons pasien isolasi sosial terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
Daftar pustaka
Anna Budi Keliat, SKp. (2016). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri,
Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Anonim. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Isolasi Sosial. Diakses pada tanggal 24
Juli 2012 pada http://nurse87.wordpress.com/2009/06/04/asuhan-keperawatan-pada-klien-
dengan-isolasi-sosial/
Keliat Budi Ana. 2017. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Kusumawati dan Hartono . 2013 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Nita Fitria. 2018. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.
2. Rentang respon
a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon
adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012) :
1. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
4. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secaraa kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial
2. Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik
3. Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012)
3. Faktor penyebab
a. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah:
1) Teori Biologis
a) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter,
dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat
rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik
sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara
perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak
dimana terdapat interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus
frontal dapat menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012:
29).
b) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi
perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2011) dalam gen manusia
terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype
XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta
orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100).
c) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada
jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja
ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih mudah
bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012).
d) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya
epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam
penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada
stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan
dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui
serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta
penurunan serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada
cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku
agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012).
2) Teori Psikogis
a) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase
oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep
diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri perilaku tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012)
b) Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam
lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku
yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru
perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk
menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif ( semakin
keras pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan tontonan yang sama
dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward yang
sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah anak – anak keluar dan diberi
boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontnan yang
pernah dilihatnya (Mukripah Damaiyanti,2012).
c) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 101).
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan
(Yosep, 2012):
a) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuahkonser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal
dan sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialoguntuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorangyang dewasa.
e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidakmampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
f) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap
5. Proses terjadinya
a. Strategi Preventif, terdiri dari kesadaran diri, penyuluhan/ penkes dan latihan
asertif.
b. Strategi Antisipasi, terdiri dari komunikasi, perubahan lingkungan, tindakan
prilaku dan psikofarmakologi
c. Strategi pengekangan, terdiri dari manajemen krisis, pengasingan.
6. Mekanisme koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi
diri antara lain:
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012).
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti,
2012).
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk
oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012).
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan
sebagai rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman
suaminya,akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah
Damaiyanti, 2012)
e. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja
mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya.
Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti,
2012).
7. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna
untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis
efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka
dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika,
tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti
cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014).
b. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam
terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti
membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah
mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang
pengalaman dan arti kegiatan yaitu Bagi dirinya. Terapi ni merupakan langkah
awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah
dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo,
2014).
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga
yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga
yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah
perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif
(pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif
(pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat
ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014).
d. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan
mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah
perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014).
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan
mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia
membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2012).
B. Askep Teoritis
1. Pengkajian
a. Identitas
Ini merupakan langkah awal pengkajian yang dilakukan petugas terhadap
klien. Pada identitas ini, petugas harus mencatat diantaranya: nama klien,
umur, jenis kelamin, agama, alamat lengkap, tanggal masuk, no.rekam medik,
informan, keluarga yang bisa dihubungi.
b. Alasan masuk
Biasanya klien masuk dengan memukul keluarga bahkan orang lain, merusak
alat-alat rumah tangga , marah, dan mengamuk.
c. Faktor predisposisi
Klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil dalam
pengobatan.
Klien pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan fisik
dalam keluarga.
Klien dengan perilaku kekerasan (PK) bisa herediter.
Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu/ tidak
menyenangkan.
d. Fisik
Pengkajian fisik difokuskan pada sistem dan fungsi organ yaitu: pemeriksaan
TTV(biasanya tekanan darah, nadi, dan pernafasan akan meningkat ketika
klien marah), diikuti dengan pemeriksaan fisik seperti tinggi badan, berat
badan, serta keluhan-keluhan fisik.
e. Psikososial
a) Genogram
Genogram dibuat tiga generasi yang menggambarkan hubungan klien
dengan keluarganya dan biasanya pada genogram akan terlihat ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pola komunikasi klien,
pengambilan keputusan dan
b) Konsep diri
1) Gambaran Diri
Biasanya klien menyukai semua bagian tubuhnya, tapi ada juga yang
tidak.
2) Identitas Diri
Biasanya klien tidak puas terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan
maupun yang sudah dikerjakannya.
3) Peran diri
Biasanya klien memiliki masalah dalam menjalankan peran dan
tugasnya.
4) Ideal Diri
Klien memiliki harapan yang tinggi terhadap tubuh, posisi, status
peran, dan kesembuhan dirinya dari penyakit.
5) Harga Diri
Biasanya klien memiliki harga diri yang rendah pola asuh
f. Hubungan sosial
Klien tidak mempunyai orang terdekat tempat ia bercerita dalam hidupnya,
dan tidak mengikuti kegiatan dalam masyarakat.
g. Spiritual
Klien memiliki keyakinan, tetapi jarang dalam melakukan ibadah sesuai
dengan keyakinannya, karna ia kurang menghiraukan manfaat spiritual dengan
ibadah.
h. Status mental
1) Penampilan
Penampilan kadang rapi dan kadang -kadang tidak rapi. Pakaian diganti
klien ketika ia dalam keadaan yang normal.
2) Pembicaraan
Biasanya klien berbicara dengan nada yang tinggi dan keras.
3) Aktifitas Motorik
Biasanya aktifitas motorik klien tampak tegang, dan agitasi (gerakan
motorik yang gelisah), serta memiliki penglihatan yang tajam jika ditanyai
hal-hal yang dapat menyinggungnya.
4) Alam Perasaaan
Biasanya alam perasaan klien terlihat sedikit sedih terhadap apa yang
sedang dialaminya.
5) Afek
Biasanya klien selama berinteraksi emosinya labil. Dimana klien mudah
tersinggung ketika ditanyai hal-hal yang tidak mndukungnya, klien
memperlihatkan sikap marah dengan mimik muka yang tajam dan tegang.
6) Interaksi selama wawancara
Bermusuhan, tidak kooperatif, dan mudah tersinggung serta
Defensif, selalu berusaha mempertahankan pendapat dan
kebenaran dirinya.
7) Persepsi
Klien tidak ada mendengar suara-suara, maupun bayangan-bayangan yang
aneh.
8) Proses atau arus fikir
Biasanya klien berbicara sesuai dengan apa yang ditanyakan perawat,
tanpa meloncat atau berpindah-pindah ketopik lain.
9) Isi Fikir
Biasanya klien PK ini masih memiliki ambang isi fikir yang wajar, dimana
ia selalu menanyakan kapan ia akan pulang dan mengharapkan pertemuan
dengan keluarga dekatnya.
10) Tingkat Kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran klien baik, dimana ia menyadari tempat
keberadaanya dan mengenal baik bahwasanya ia berada dalam pengobatan
atau perawatan untuk mengontrol emosi labilnya.
11) Memori
Biasanya daya ingat jangka panjang klien baik, dimana ia masih bisa
menceritakan kejadian masa-masa lampau yang pernah dialaminya,
maupun daya ingat jangka pendek, seperti menceritakan penyebab ia
masuk ke RSJ.
12) Tingakat kosentrasi dan berhitung
Biasanya klien yang pernah menduduki dunia pendidikan, tidak memiliki
masalah dalam hal berhitung, (penambahan maupun pengurangan).
13) Kemampuan penilaian
Biasanya klien masih memiliki kemampuan penilaian yang baik, seperti
jika dia disuruh memilih mana yang baik antara makan dulu atau mandi
dulu, maka dia akan menjawab lebih baik mandi dulu.
14) Daya tarik diri
Biasanya klien menyadari bahwa dia berada dalam masa pengobatan untuk
mengendalikan emosinya yang labil.
j. Masalah psikososial
Biasanya klien akan mengungkapakan masalah yamg menyebabkan
penyakitnya maupun apa saja yang dirasakannya kepada perawat maupun tim
medis lainnya, jika terbina hubungan yang baik dan komunikasi yang baik
serta perawat maupun tim medis yang lain dapat memberikan soludi maupun
jalan keluar yang tepat dan tegas.
k. Pengetahuan
Biasanya klien memilki kemampuan pengetahuan yang baik, dimana ia dapat
menerima keadaan penyakitnya dan tempat ia menjalani perawatan serta
melaksanakan pengobatan dengan baik.
l. Askep medis
Diagnosa medik : Perilaku kekerasan
Obat farmakaologi : Anti ansietas dan Hipnotik sadatif,seperti : Diazepam
Anti depresan seperti : Amitriptilin
Matlexon dan Proponolol
Terapi:
a) Terapi keluarga
Dalam terapi keluarga, keluarga dibantu untuk menyelesaikan konflik, cara
membatasi konflik, saling mendukung dan menghilangkan stress.
b) Terapi kelompok
Terapi kelompok berfokus pada dukungan dan perkembangan
keterampilan sosial dan aktifitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran klien, karna masalah sebagian orang merupakan
perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
c) Terapi musik
Dengan terapi musik klien terhibur dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran klien, karna dengan perasaan terhibur maka klien dapat
mengontrol emosinya.
m. Daftar masalah
1. Resiko Mencederai dir sendiri dan orang lain
n. Pohon masalah
Resiko Mencederai diri sendiri dan
Orang lain
Perilaku Kekerasan
Halusinasi
p. Rencana keperawatan
Rencana Asuhan Keperawatan
1. Tujuan Umum
Klien dapat melanjutkan hubungan peran sesuai denga tanggung jawab
2. Tujuan Khusus
a. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
a) Kriteria Evaluasi
1) Klien mau membalas salam
2) Kien mau berjabat tangan
3) Klien mau menyebutkan nama
4) Klien mau kontak mata
5) Klien mau mengetahui nama perawat
6) Klien mau menyediakan waktu untuk kontak
b) Intervensi
1) Beri salam dan panggil nama kien
2) Sebutkan nama perawat sambil berjabat tangan
3) Jelaskan maksud hubungan interaksi
4) Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5) Beri rasa aman dan sikap empati
6) Lakukan kontak singkat tapi sering
b) Intervensi
1) Bicarakan akibat kerugian dari cara yang dilakukan klien
2) Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan oleh
klien
3) Tanyakan pada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang
sehat
q. Implementasi
Merupakan langkah ke empat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan.
r. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak. Jika tidak tercapai, maka perlu ditindak lanjuti dengan penerapan
bagian intervensi lama yang belum tercapai, atau memikirkan intervensi
terbaru
DAFTAR PUSTAKA
Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info
MEdia.
1. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan
gangguan jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan
untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri
terlihat dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan
minum secara mandiri, berhias secara mandiri, toileting (BAK/BAB)
(Damaiyanti, 2012).
Defisit perawatan diri adalah kemampuan dasar yang dimiliki manusia dalam
melengkapi kebutuhannya dalam kelangsungan hidupnya sesuai kondisi
kesehatannya. (Damaiyanti dan Iskandar, 2012).
B. Rentang Respon
1. Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu
untuk berperilaku adaptif maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan
stressor kadang-kadang pasien tidak menperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak perduli dan
tidak bisa melakukan perawatan saat stress (Ade, 2011).
C. Faktor Penyabab
a. Predisposisi
1. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu
2. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
3. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri
4. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri
b. Presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri. (Depkes, 2000, dalam Anonim, 2011) Sedangkan
Tarwoto dan Wartonah (2000), dalam Anonim(2011), meyatakan bahwa
kurangnya perawatan diri disebabkan oleh :
1. Kelelahan fisik
2. Penurunan kesadaran
Selain itu, tanda dan gejala tampak pada pasien yang mengalami Defisit
Perawatan Diri adalah sebagai berikut:
1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
2. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut
acakacakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada
pasien laki-laki tidak bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh kemampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran dan makan tidak pada
tempatnya
4. Ketidak mampuan eliminasi secara mandiri, ditandai dengan BAB/BAK
tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK (Keliat, 2011).
E. Proses Terjadinya
Defisit perawatan diri terjadi diawali dengan proses terjadinya gangguan jiwa
yang dialami oleh klien sehingga menyebabkan munculnya gangguan defisit
perawatan diri pada klien. Pada klien skizofrenia dapat mengalami defisit
perawatan diri yang signifikan. Tidak memerhatikan kebutuhan higiene dan
berhias biasa terjadi terutama selama episode psikotik. Klien dapat menjadi
sangat preokupasi dengan ide-ide waham atau halusinasi sehingga ia gagal
melaksanakan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari (stuart&laraia, 2011).
Faktor biologis terkait dengan adanya neuropatologi dan ketidakseimbangan
dari neurotransmiternya. Dampak yang dapat dinilai sebagai manifestasi adanya
gangguan adalah pada perilaku maladaptif pasien. Secara biologi riset
neurobiologikal mempunyai fokus pada tiga area otak yang dipercaya dapat
melibatkan perilaku agresi yaitu sistem limbik, lobus frontalis dan hypothalamus.
Lobus Frontal berperan penting menjadi media yang sangat berarti dalam
perilaku dan berpikir rasional, yang saling berhubungan dengan sistem limbik
(Suliswati,et al, 2002: Struat & Laraia, 2011). Lobus frontal terlibat dalam dua
fungsi serebral utama yaitu kontrol motorik gerakan voluntir termasuk fungsi
bicara, fungsi fikir dan kontrol berbagai ekspresi emosi. Kerusakan pada daerah
lobus frontal dapat meyebabkan gangguan berfikir, dan gagguan dalam
bicara/disorganisasi pembicaraan serta tidak mampu mengontrol emosi sehingga
berperilaku maladaptif seperti tidak mau merawat diri : mandi,
berpakaian/berhias, makan, toileting. Kondisi ini menunjukkan gejala defisit
perawatan diri.
Hypotalamus adalah bagian dari diensefalon yaitu bagian dalam dari serebrum
yang menghubungkan otak tengah dengan hemisfer serebrum. Fungsi utamanya
adalah sebagai respon tingkah laku terhadap emosi dan juga mengatur mood dan
motivasi. Kerusakan hipotalamus membuat seseorang kehilangan mood dan
motivasi sehingga kurang aktivitas dan dan malas melakukan sesuatu. Kondisi
seperti ini sering kita temui pada klien dengan defisit perawatan diri , dimana
klien butuh lebih banyak motivasi dan dukungan untuk dapat merawat dirinya
(Suliswati, 2002; Stuart & Laraia, 2011).
F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan di bagi menjadi 2 menurut
Damaiyanti 2012 yaitu:
1. Mekanisme koping adaptif Mekanisme koping yang mendukung fungsi
integrasi pertumbuhan belajar dan mencapai tujuan. Kategori ini adalah klien
bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
2. Mekanisme koping maladaptif Mekanisme koping yang menghambat fungsi
integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.
G. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Obat anti psikosis : Penotizin.
b. Obat anti depresi : Amitripilin.
c. Obat antu ansietas : Diasepam, bromozepam, clobozam.
d. Obat anti insomia : phnebarbital.
2. Terapi
a. Terapi Keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi masalah
klien dengan memberikan perhatian :
1) Jangan memancing emosi klien.
2) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga.
3) Berikan kesempatan klien mengemukakan pendapat.
4) Dengarkan, bantu, dan anjurkan pasien untuk mengemukakan
masalah yang dialaminya.
b. Terapi Aktivitas Kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan sosial, atau
aktivitas lainnya, dengan berdiskusi serta bermain untuk mengembalikan
keadaan klien karena maslah sebagian orang merupakan perasaan dan
tingkah laku pada orang lain. Ada 5 sesi yang harus dilakukan :
1) Manfaat perawatan diri.
2) Menjaga kebersihan diri.
3) Tata cara makan dan minum.
4) Tata cara eliminasi.
5) Tata cara berhias.
c. Terapi Musik
Dengan musik klien bisa terhibur, rileks, dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran pasien.
Penatalaksanaan manurut herman (Ade, 2011) adalah sebagai berikut :
1) Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri.
2) Membimbing dan menolong klien merawat diri.
3) Ciptakan lingkungan yang mendukung.
f. Implementasi keperawatan
Merupakan langkah ke empat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan
g. Evaluasi keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan
cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai atau tidak. Jika tidak tercapai, maka perlu ditindak lanjuti dengan
penerapan bagian intervensi lama yang belum tercapai, atau memikirkan
intervensi terbaru
DAFTAR PUSTAKA
Anna Keliat, Budi. 2011. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta :
Buku Kedokteran EGC.
Faisal, Deny. 2014. “Asuhan Keperawatan Jiwa pada Tn.J dengan Gangguan Defisit
Perawatan diri : Kebersihan Diri dan Pakaian/Berhias di Ruangan Abimanyu RSJ
Daerah Surakarta”. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Ellya. 2014. Keperawatan Jiwa: Landasan Teori Defisit Perawatan Diri.
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI
A. Konsep Dasar :
a. Pengertian
Halusinasi adalah suatu keadaan hilangnya kemampuan individu dalam
membedakan antara rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia
luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan rtanpa objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan suara – suara tetapi
pada kenyataannyatidak ada orang yang berbicara (Abdul muhith, 2015).
Halusinasi adalah suatu gangguan persepsi panca indera tanpa disertai dengan
adanya rangsangan dari luaryang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana
pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik (Abdul muthith, 2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan persepsi sensori : merasakan sensori palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan (Abdul muhith, 2015).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa halusinasi
adalah gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran
yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua
sistem penginderaan (Abdul muhith, 2015).
b. Rentang Respon
Respon adaptif berdasarkan tentang respon halusinasi menurut (Yusuf, Rizki & Hanik,
2015) meliputi:
1) Pikiran logis berupa pendapat atau pertimbangan yang dapat di terima akal.
2) Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang tentang suatu peristiwa secara
cermat dan tepat sesuai perhitungan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman berupa ke mantepan perasaan jiwa yang timbul
sesuai dengan peristiwayang pernah di alami.
4) Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan individu
tersebut di wujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak bertentangan dengan
moral.
5) Hubungan sosial dapat di ketahui melalui hubungan sosial dengan orang lain dalam
pergaulan di tengah masyarakat.
Respon maladaptif berdasarkan tentang respon halusinasi menurut (Yusuf, Rizki &
Hanik, 2015) meliputi :
d. Faktor Penyebab
1. Faktor Predisposisi
a) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan pasien terganggu mislnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan pasien tidak mampu mandiri sehjak kecil,
mudah frustasi, hilangnya percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima di ingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c) Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya
stress yang berlebih dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress
berkepanjangan menyebabakan teraktivasinya neutransmitter otak.
d) Faktor Psikologi
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus padapenyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa
depannya. Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyataa
menuju alam hayal.
e) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalamai skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh
padapenyakit ini. (Prabowo, 2014: 132-133)
2. Faktor Presipitasi
a) Biologis
Gangguan dalam momunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.
b) Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stresosor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menamggapi
stress.(Prabowo, 2014 : 133)
d) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan
nyata dan tidak.
e) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,
intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang lama.
f) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat
berupa peritah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang
perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu
terhadap ketakutan tersebut.
g) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya
halusinasi merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang
menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang
dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol semua
perilaku klien.
h) Dimensi social
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat
membahayakan. Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi
dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interkasi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
i) Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu.
(Damaiyanti, 2012 : 57-58)
f. Proses Terjadinya
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase memiliki
karakteristik yang berdeda yaitu:
a) Fase I
Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa
bersalah dan takut serta mencoba berfokus pada pikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Di sini pasien tersenyum atau tertawa yang tidak
sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam
dan asyik sendiri.
b) Fase II
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien mulai lepas
kendali dan mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumberdipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tandatanda sistem saraf
otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital ( denyut jantung,
pernapasan, dan tekanan darah), asyik dengna pengalaman sensori dan
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan reaita.
c) Fase III
Pasien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini pasien sukar berhubungan dengan
orang ain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang ain
dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutamajika akan
berhubungan dengan orang lain.
d) Fase IV
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien mengikuti
perintah halusinasi. Di sni terjadi perikalu kekerasan, agitasi, menarik diri,
tidak mampu berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu
berespon lebih dari 1 orang. Kondisi pasien sangan membahayakan.
( Prabowo, 2014: 130- 131)
g. Mekanisme Koping
1. Regresi : menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2. Proyeksi : menjeslaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengaliskan tanggung jawab kepada orang lain
3. Menarik diri : sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimuus internal.
(Prabowo, 2014 :134)
h. Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin harus diberikan, disini peran keluarga sangat
penting karena setelah mendapatkan perawatan di RSJ pasien dinyatakan boleh
pulang sehingga keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam hal
merawat pasien, menciptakan lingkungan keluarga yang kondusif dan sebagai
pengawas minum obat
1. Farmakoterapi Neuroleptika
dengan dosis efektif bermanfaat pada penderita skizofrenia yang
menahun,hasilnyalebih banyak jika mulai diberi dalam dua tahun
penyakit.Neuroleptika dengan dosis efek tiftinggi bermanfaat pada penderita
psikomotorik yang meningkat.
B. Askep Teoritis :
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun, alamat,
pendidikan, agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin, nomor
rekam medis dan diagnosa medisnya.
b. Alasan masuk
Menanyakan kepada klien/keluarga/pihak yang berkaitan dan tulis
hasilnya, apa yang menyebabkan klien datang ke rumah sakit, apa yang
sudah dilakukan oleh klien/keluarga sebelumnya atau di rumah untuk
mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya. Klien dengan halusinasi
biasanya dilaporkan oleh keluarga bahwa klien sering melamun,
menyendiri, dan terlihat berbicara sendiri.
c. Faktor predisposisi
Menanyakan apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu,
pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya, adanya trauma masa lalu,
faktor genetik dan sisilah orang tuanya dan pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan.
d. Fisik
Mengkaji keadaan umum klien, tanda – tanda vital, tinggi badan/berar
badan, atau/tidak keluhan fisik seperti nyeri dan lain – lain.
e. Psikososial
i. Genogram
Membuat genogram beserta keterangannya untuk mengetahui
kemungkinan adanya riwayat genetik yang menyebabkan
menurunkan gangguan jiwa.
ii. Konsep diri
Citra tubuh, bagaimana persepsi klien terhadap
tubuhnya, bagian tubuhnya yang paling/tidak disukai.
Identitas diri, bagaimana persepsi tentng status dan
posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap
suatu/posisi tersebut, kepuasan klien sebagai laki – laki
atau perempuan.
Peran, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya,
posisi, status, tugas/peran yang harapannya dalam
keluarga, kelompok, masyarakat dan bagaimana
kemampuan klien dalam melaksanakan tugas/peran
tersebut.
Ideal diri, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya,
posisi, status, tugas/peran dan harapan klien terhadap
lingkungan.
Harga diri, bagaimana persepsi klien terhadap dirinya
dalam hubungannya dengan orang lain sesuai dengan
kondisi dan bagaimana penilaian/penghargaan orang
lain terhadap diri dan lingkungan klien.
f. Hubungan sosial
Mengkaji siapa orang yang berarti/terdekat dengan klien, bagaimana peran
serta dalam kegiatan dalam kelompok/masyarakat serta ada/tidak
hambatan dalam berhubungan dengan orang lain.
g. Spiritual
Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana persepsi, nilai, norma, pandangan
dan keyakinan diri klien, keluarga, dan masyarakat setempat tentang
gangguan jiwa sesuai dengan norma budaya dan agama yang dianut.
h. Status mental
i. Penampilan
Observasi penampilan umum klien yaitu penampilan usia, cara
berpakaian, kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekspresi
wajah, kontak mata.
ii. Pembicaraan
Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien, apakah
cepat, keras. Gagap, inkoheren, apatis, lambat, membisu dan lain
– lain.
iii. Aktivitas motorik (psikomotor)
Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu dicatat
dalam hal tingkat aktivitas (latergik, tegang, gelisah, agitasi),
jenis (TIK, tremor) dan isyarat tubuh yang tidak wajar.
iv. Afek dan emosi
Afek merupakan nada perasaan yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan berlangsung
relatif lama dan dengan sedikit komponen fisiologis/fisik serta
bangga, kecewa. Emosi merupakan manifestasi afek yang
ditampilkan/diekspresikan keluar, disertai banyak komponen
fisiologis dan berlangsung relatif lebih singkat/spontan seperti
sedih, ketakutan, putus asa, khawatir atau gembira berlebihan.
v. Interaksi selama wawancara
Bagaimana respon klien saat wawancara, kooperatif/tidak,
bagaimana kontak mata dengan perawat dan lain – lain.
vi. Persepsi sensori
Memberikan pertanyaan kepada klien seperti “apakah anda sering
mendengar suara saat tidak ada orang? Apa anda mendengar
suara yang tidak dapat anda lihat? Apa yang anda lakukan oleh
suara itu. Memeriksa ada/tidak halusinasi, ilusi.
vii. Proses pikir
Bagaimana proses pikir klien, bagaimana alur pikirnya
(koheren/inkoheren), bagaimana isi pikirannya realitas/tidak.
viii. Kesadaran
Bagaimana tingkat kesadaran klien menurun atau meninggi.
ix. Orientasi
Bagaimana orientasi klien terhadap waktu, tempat dan orang.
x. Memori
Apakah klien mengalami gangguan daya ingat, seperti : efek
samping dari obat dan psikologis.
xi. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi,
bagaimana kemampuan berhitung klien, seperti : disaat ditanya
apakah klien menjawab pertanyaan sesuai dengan yang
ditanyakan oleh observer.
xii. Kemampuan penilaian
m. Askep medis
Salah satu diagnosa medis di keperawatan jiwa adalah Skizofrenia.
Skizofrenia dapat menyebabkan terjadinya masalah keperawatan
halusinasi. Angka kejadian halusinasi meningkat dari tahun ke tahun.
Masalah keperawatan halusinasi jika tidak dilakukan intervensi akan
menyebabkan resiko tinggi menciderai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Pervelensi penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya adalah 80% dari 1.350 jiwa. Tujuan dari penelitian ini adalah
melaksanakan asuhan keperawatan klien dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi pada klien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Menur
Surabaya. Metode yang digunakan adalah studi kasus dengan melakukan
asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi dengan memfokuskan intervensi pada
penerapan terapi aktivitas kelompok (TAK). Hasil penelitian kepada 2
klien halusinasi selama diberikan asuhan keperawatan dan ditambah
dengan tindakan keperawatan menggunakan terapi aktivitas kelompok
(TAK) selama 1 hari, didapatkan hasil klien mengalami penurunan
halusinasi, klien dapat mengontrol halusinasiya, keadaan klien menjadi
lebih tenang dan nyaman. Simpulan dari penelitian pada perilaku
halusinasi adalah diberikan terapi aktivitas kelompok (TAK) untuk
mengatasi halusinasi agar tidak muncul lagi serta penanganan yang tepat
dan cepat dapat mempercepat kesembuhan klien. Saran untuk Rumah Sakit
Jiwa Menur Surabaya adalah perawat dan petugas mempertahankan
pemberian terapi aktivitas kelompok (TAK) pada klien untuk mencegah
kambuhnya halusinasi.
2. Daftar masalah
a. Gangguan persepsi sensori : Halusinasi penglihatan
b. Harga diri rendah
3. Pohon masalah
Halusinasi penglihatan
(Core problem)
(Penyebab)
4. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan sensori persepsi: halusinasi b/d menarik diri
A. Konsep dasar
1. Pengertian
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai ideal (Stuart & Sundeen. 2015)
Harga diri rendah adalah individu merasa kenyataan dirinya menjadi
mendekati ideal diri, mempunyai harga diri tinggi, sedangkan individu yang
merasa dirinya jauh dari titik kesesuaian antara ideal diri dengan kenyataan akan
mempunyai harga diri rendah (Wartonah.2015).
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat.2014).
3. Faktor penyebab
a. Predisposisi
Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri rendah meliputi :
1) Faktor predisposisi gangguan citra tubuh
I. Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan
fungsi)
II. Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat
pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit)
III. Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktur
maupun fungsi tubuh
IV. Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterpi, transplantasi
2) Faktor predisposisi gangguan harga diri
I. Penolakan dari orang lain
II. Kurang penghargaan
III. Pola asuh yang salah : terlalu dilarang, terlalu dikontrol,
terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten
IV. Persaingan antar saudara
V. Kesalahan dan kegagalan yang berulang
VI. Tidak mampu mencapai standar yang ditentukan
3) Faktor predisposisi gangguan peran
I. Transisi peran yang sering terjadi pada proses
perkembangan, perubahan situasi dan keadaan sehat sakit
II. Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan
yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi
III. Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya
tentang harapan peran yang spesifik dan bingung tentang
tingkah laku peran yang sesuai
IV. Peran yang terlalu banyak
4) Faktor predisposisi gangguan identitas diri
I. Ketidak percayaan orang tua pada anak
II. Tekanan dari teman sebaya
III. Perubahan dari struktur sosial
b. Faktor presipitasi
Faktor pencetus terjadinya gangguan konsep diri bisa timbul dari sumber
internal maupun eksternal klien, yaitu :
a) Trauma, seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
kejadian yang mengancam kehidupannya.
b) Ketegangan peran, berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustasi, ada tiga
jenis transisi peran:
Transisi peran perkembangan adalah perubahan normative yang
berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan
norma-norma budaya, nilai-nilai dan tekanan penyesuaian diri.
Transisi peran situasi terjadi dengan bertambahnya atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan
sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh :
Kehilangan bagian tubuh. Perubahan bentuk, ukuran,
panampilan, dan fungsi tubuh. Perubahan fisik berhubungan
dengan tumbuh kembang normal. Prosedur medis keperawatan.
5. Proses terjadinya
Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan
kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri terdiri atas
komponen : citra diri, ideal diri, harga diri, penampilan peran dan identitas
personal. Respons individu terhadap konsep dirinya berfluktuasi sepanjang
rentang konsep diri yaitu dari adaptif sampai maladatif. Salah satu komponen
konsep diri yaitu harga diri dimana harga diri adalah penilaian individu
tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai
dengan ideal diri. Sedangkan harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai
sesuatu yang berharga dan tidak bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri
rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri
diperoleh dari diri sendiri dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan
menerima penghargaan dari orang lain.Harga diri rendah di gambarkan
sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri
sendiri, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain,
perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan menarik diri secara
sosial.Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan
ideal diri yang tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin
ditimbulkan dari sumber internal dan eksternal seperti :
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksirkan
kejadian yang mengancam.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Ada tiga jenis
transisi peran, yaitu :
Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang
berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap
perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan
norma-norma budaya, nilai-nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari
keadaan sehat ke keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan
oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis
dan keperawatan.
6. Mekanisme koping
a. Jangka pendek
1) Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis
identitas (misal : konser musik, bekerja keras, menonton televisi
secara obsesif)
2) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara
(misal : ikut serta dalam aktivitas social, agama, klub politik,
kelompok, atau geng)
3) Aktivitas sementara menguatkan perasan diri (misal : olah raga
yang kompetitif, pencapaian akademik, kontes untuk
mendapatkan popularitas)
4) Aktivitas yang mewakili upaya jangka pendek untuk membuat
masalah identitas menjadi kurang berarti dalam kehidupan
individu (misal:penyalahgunaan obat )
b. Jangka panjang
1) Penutupan identitas : adopsi identitas prematur yang diinginkan
oleh orang yang penting bagi individu tanpa memperlihatkan
keinginan, aspirasi, dan potensi diri individu tersebut.
2) Identitas negatif : asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat
diterima oleh nilai dan harapan masyarakat.
c. Mekanisme pertahanan ego:
Penggunaan fantasi
Disosiasi
Isolasi
Projeksi
Pergeseran ( displasement )
Peretakan ( splitting )
Berbalik marah pada diri sendiri
Amuk
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Memberi kesempatan untuk berhasil
Menanamkan gagaasan
Mendorong aspirasi
Membantu membentuk koping
b. Penatalaksanaan Medis
a. Clorpromazine (CPZ)
- Indikasi: untuk sindrom psikosis yaitu berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, waham, halusinasi,
gangguan perasaan dan perilaku aneh, tidak bekerja, hubungan
sosial dan melakukan aktivitas rutin.
- Efek samping: sedasi, gangguan otonomik serta endokrin.
b. Haloperidol (HPL)
- Indikasi: berdaya berat dalam kemampuan menilai realitaas
dalam fungsi netral serta fungsi kehidupan sehari-hari.
- Efek samping: sedasi, gangguan otonomik dan endokrin.
c. Trihexyphenidyl (THP)
- Indikasi: segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca
enchepalitis dan idiopatik.
- Efeksamping: hipersensitif terhadap trihexyphenidyl, psikosis
berat, psikoneurosis dan obstruksi saluran cerna.
d. Psikotherapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan
apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan
dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan
pemahaman diri sudah baik.Psikotherapi pada klien dengan
gangguan jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).
e. Therapy Modalitas
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas
kelompok stimulasi kognitif atau persepsi, therapy aktivitas
kelompok stimulasi sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi
realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi. Dari empat jenis
therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan
pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah
therapyaktivitas kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas
kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah therapy yang
mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan
pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok,
hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau
alternatif penyelesaian masalah.
f. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang
adaptif dengan melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik.
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik
atau manual untuk membatasi mobilitas fisik klien.
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam
ruangan khusus.
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini
diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih
terang dari sinar ruangan).
4) ECT (Electro Convulsif Therapie)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran
listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik
maupun klonik.
g. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas dimana
terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih
(sosialisasi).
o) Isi fikir
Obsesi : pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha
menghilangkannya.
Phobia : ketakutan yang patologis atau tidak logis terhadap objek atau
situasi tertentu.
Hipokondria : keyakinan terhadap adanya gangguan organ tubuh yang
sebenarnya tidak ada.
Depersonalisasi : perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang
lain dan lingkungan.
Ide yang terkait : keyakinan klien terhadap kejadian yang terjadi
dilingkungan yang bermakna yang terkait pada dirinya.
Pikiran magis : keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan
hal-hal yang mustahil atau diluar kemampuannya.
p) Tingkat kesadaran
Bingung : tampak bingung dan kacau (perilaku yang tidak mengarah
pada tujuan).
Sedasi : mengatakan merasa melayang-layang antara sadar atau tidak
sadar
Stupor : gangguan motorik seperti kekakuan, gerakan yang diulang-
ulang, anggota tubuh klien dalam sikap yang canggung dan
dipertahankan klien tapi klien mengerti semua yang terjadi
dilingkungannya
Orientasi : waktu, tempat dan orang
Jelaskan apa yang dikatakan klien saat wawancara
q.) Memori
Gangguan mengingat jangka panjang : tidak dapat mengingat kejadian
lebih dari 1 bulan.
Gangguan mengingat jangka pendek : tidak dapat mengingat kejadian
dalam minggu terakhir.
Gangguan mengingat saat ini : tidak dapat mengingat kejadian yang
baru saja terjadi.
Konfabulasi : pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dengan
memasukan cerita yang tidak benar untuk menutupi gangguan daya
ingatnya.
r) Tingkat konsentrasi
Mudah beralih : perhatian mudah berganti dari satu objek ke objek
lainnya.
Tidak mampu berkonsentrasi : klien selalu minta agar pertanyaan
diulang karena tidak menangkap apa yang ditanyakan atau tidak dapat
menjelaskan kembali pembicaraan.
Tidak mampu berhitung : tidak dapat melakukan penambahan atau
pengurangan pada benda-benda yang nyata
s) Daya tilik diri
Mengingkari penyakit yang diderita : klien tidak menyadari gejala
penyakit (perubahan fisik dan emosi) pada dirinya dan merasa tidak
perlu minta pertolongan atau klien menyangkal keadaan penyakitnya,
klien tidak mau bercerita tentang penyakitnya
Menyalahkan hal-hal diluar dirinya : menyalahkan orang lain atau
lingkungan yang menyebabkan timbulnya penyakit atau masalah
sekarang
i. Persiapan pulang
1) Makan
Tanyakan frekuensi, jumlah, variasi, macam dan cara makan, observasi
kemampuan klien menyiapkan dan membersihkan alat makan.
2) Buang Air Besar dan Buang Air Kecil
Observasi kemampuan klien untuk Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air
Kecil (BAK), pergi menggunakan WC atau membersihkan WC.
3) Mandi
Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara mandi, menyikat gigi, cuci
rambut, gunting kuku, observasi kebersihan tubuh dan bau badan klien.
4) Berpakaian
Observasi kemampuan klien dalam mengambil, memilih dan mengenakan
pakaian, observasi penampilan dandanan klien.
5) Istirahat dan tidur
Observasi dan tanyakan lama dan waktu tidur siang atau malam, persiapan
sebelum tidur dan aktivitas sesudah tidur.
6) Penggunaan obat
Observasi penggunaan obat, frekuensi, jenis, dosis, waktu, dan cara
pemberian.
7) Pemeliharaan kesehatan
Tanyakan kepada klien tentang bagaimana, kapan perawatan lanjut, siapa saja
sistem pendukung yang dimiliki.
8) Aktivitas di dalam rumah
Tanyakan kemampuan klien dalam mengolah dan menyajikan makanan,
merapikan rumah, mencuci pakaian sendiri, mengatur kebutuhan biaya sehari-
hari.
9) Aktivitas di luar rumah
Tanyakan kemampuan klien dalam belanja untuk keperluan sehari-hari,
aktivitas lain yang dilakukan di luar rumah.
j. Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada
orang orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri).
k. Masalah psikososial
Klien menutupi diri dari keluarga, lingkungan, kelompok dan masyarakat.
l. Pengetahuan
Pasien kurang mempunyai pengetahuan tentang faktor presipitasi, koping, obat-
obatan, dan masalah lain tentang isolasi sosial
m. Aspek medis
Therapy medis: Stelazine 5 mg 3 x 1 tablet
Tryhexsipindile (THD) 2 mg 3 x 1 tablet
CP2 (Clopamizine) 100 mg 1 x 1 tablet
2. Daftar Masalah
1) Harga diri rendah
2) Mekanisme koping individu tidak efektif
3) Isolasi sosial
4) Halusinasi
5) Defisit perawatan diri
3. Pohon masalah
Halusinasi
Isolasi sosial
Defisit perawatan diri
Mekanisme koping
individu tidak efektif
6. Implementasi keperawatan
Merupakan langkah ke empat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan.
7. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Jika tidak tercapai, maka perlu ditindak lanjuti dengan penerapan bagian
intervensi lama yang belum tercapai, atau memikirkan intervensi terbaru
DAFTAR PUSTAKA
Fitria.2012.asuhan keperawatan jiwa.bandung: refika aditama
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN MASALAH PSIKOSOSIAL: HDR SITUASIONAL
1. Konsep Dasar :
1. Pengertian
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang nilai personal yang
diperoleh dengan menganalisis seberapa baik prilaku seseorang sesuai dengan
ideal diri (Stuart.2013).
Gangguan harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, hilang kepercayaan diri, serta merasa gagal mencapai keinginan
(Keliat.2011).
Harga diri rendah situasional adalah perasaan diri atau evaluasi diri negatif yang
berkembang sebagai respon terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri
seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif dan bila tidak dapat
diatasi dapat menyebabkan harga diri rendah kronis (Leight.2016).
Kerancuan Depolarisasi
Aktualisasi Diri Konsep diri HDR
positif identitas
6. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang ditujukan untuk
penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri mekanisme
koping terdiri dari pertahanan koping jangka pendek atau jangka panjang
serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi diri
sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan.
a. Pertahanan jangka pendek
Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dari krisis
identitas diri (misalnya konser musik, menonton televisi secara
obsesif).
Aktivitas yang memberikan identitas pengganti sementara
( misalnya ikut serta dalam klub sosial, agama, politik, kelompok,
gerakan, atau geng ).
Aktivitas yang sementara menguatkan atau meningkatkan
perasaan diri yang tidak menentu (misal : olahraga yang
kompetitif, prestasi akademik, kontes untuk mendapatkan
popularitas).
Aktivitas yang merupakan upaya jangka pendek untuk membuat
identitas di luar dari hidup yang tidak bermakna saat ini
(misalnya: penyalahgunaan obat).
b. Pertahanan jangka panjang
Penutupan identitas adalah adopsi identitas prematur yang
diinginkan oleh orang terdekat tanpa memperhatikan keinginan,
aspirasi, atau potensi diri individu.
Identitas negatif adalah asumsi identitas yang tidak sesuai
dengan nilai dan harapan yang diterima masyarakat.
Mekanisme pertahanan ego termasuk penggunaan fantasi,
disosiasi, isolasi, proyeksi, pengalihan (displacement), Splitting,
berbalik marah terhadap terhadap diri sendiri, dan amuk.
7. Penatalaksanaan
a. Terapi medis
Pemberian terapi medis pada kasus harga diri rendah juga tidak
digolongkan sendiri dan lebih mengarah kepada pemberian obat golongan
antidepresan, karena fungsi dari obat anti depresan adalah memblok
pengambilan kembali neurotransmitter norepineprin dan serotonin,
meningkatkan konsentrasinya pada sinaps dan mengkoreksi defisit yang
diperkirakan menyebabkan alam perasaan melankolis. Hal ini sesuai dengan
masalah neurotransmitter yang dihadapi oleh klien dengan harga diri rendah
yaitu adanya penurunan neurotransmitter seperti serotonin,
norepineprin.Terdapat banyak jenis antidepresan tetapi pada kasus harga diri
rendah kali ini pemberian obat yang dapat diberikan lebih banyak dalam jenis
Tricyclic Anti Depresan (TCA) : Amitriptiline, Imipramine, desipramine,
notriptilin, sesuai dengan fungsi dari obatnya yaitu untuk meningkatkan
reuptake seorotonin dan norepinefrin sehingga meningkatkan motivasi klien
dan sesuai dengan indikasinya yaitu pengobatan yang diberikan pada klien
dengan depresi tetapi juga mengalami skizofrenia sehingga mempunyai efek
pengobatan yang saling meningkatkan.
b. Terapi keperawatan
Tindakan keperawatan pada klien :
Tujuan :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Kien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
Klien dapat menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai
kemampuan
Klien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
Klien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya
a) Terapi generalis
Prinsip tindakan :
Identifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien.
Bantu klien menilai kemampuan yang dapat digunakan
Bantu klien memilih atau menetapkan kemampuan yang akan dilatih
Latih kemampuan yang dipilih klien
Beri pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien
Bantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
Evaluasi kemampuan pasien sesuai jadwal kegiatan harian
Latih kemampuan kedua
Motivasi klien memasukkan kemampuan kedua kedalam jadwal harian
b) Terapi Kognitif
Prinsip tindakan :
Sesi I : Mengungkapkan pikiran otomatis
Sesi II : Mengungkapkan alasan
Sesi III : Tanggapan terhadap pikiran otomatis
Sesi IV : Menuliskan pikiran otomatis
Sesi V : Penyelesaian masalah
Sesi VI : Manfaat tanggapan
Sesi VII : Mengungkapkan hasil
Sesi VIII : Catatan harian
Sesi IX : Support system
2) Daftar masalah
a. Harga diri rendah situasional
b. Ketidakefektifan koping
c. Gangguan citra tubuh
d. Gangguan identitas personal
e. Ketidakberdayaan
f. Keputusasaan
3) Pohon masalah
Keputusaasan
Ketidakberdayaan
Koping Gangguan
Gangguan citra tubuh identitas
tidakefektif
Direja ade herman.2011.buku ajar asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: nuha medika
A. Konsep dasar
1. Pengertian
Ansietas adalah perasaan was-was, khawatir,atau tidak nyaman seakan-akan
akan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman Ansietas berbeda dengan
rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap ssuatu yang berbahaya,
sedangkan ansietas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut (Keliat,
2012).
Sedangkan menurut (Riyadi&Purwanto,2010) Ansietas adalah suatu perasaan
takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai
gejala fisiologis, sedangkan pada gangguan ansietas terkandung unsur penderitaan
yang bermakna dan gangguan fungsi yang disebabkan oleh kecemasan tersebut.
Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental
yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidak mampuan mengatasi
suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut
pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau
disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2010)
2. Rentang respon
3. Faktor penyebab
1. Faktor predisposisi
Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang
dapat menyebabkan timbulnya kecemasan Direja Surya(2011). Ketegangan
dalam kehidupan tersebut dapat berupa :
a. Peristiwa Traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan
berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis
perkembangan atau situasional.
b. Konflik Emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan
dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan
kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.
c. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu
berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan.
d. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
e. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan
ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep
diri individu.
f. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress
akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik yang
dialami karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari
dalam keluarga.
g. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi
respons individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi
kecemasannya.
2. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang
dapat mencetuskan timbulnya kecemasan. Direja Surya(2011). Stressor
presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam
integritas fisik yang meliputi :
Sumber Internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem
imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya :
hamil).
Sumber Eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan
bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak
adekuatnya tempat tinggal.
b. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal :
Sumber Internal : kesulitan dalam berhubungan interpersonal di
rumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.
Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam
harga diri.
Sumber Eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian,
perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya.
6. Mekanisme koping
Ketika mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme
koping untuk mencoba mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas
secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis.
Ansietas tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa yang serius. Tingkat ansietas
sedang dan berat menimbulkan 2 jenis mekanisme koping :
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitis tuntutan situasi
stress.
b. Mekanisme pertahanan ego, membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang,
tetapi jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan diri dan
distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptif
terhadap stress.
7. Penatalaksanaan
Menurut keliat,(2010). penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahaan dan
terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu
mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan
psikoreligius. Selengkpanya seperti pada uraian berikut :
1) Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress, dengan cara :
a. Makan makanan yang berigizi dan seimbang
b. Tidur yang cukup
c. Olahraga yang teratur
d. Tidak merokok dan tidak minum minuman keras
2) Terapi Psikofarmaka
Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti cemas (anxiolytic),
yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone HCl,
meprobamate dan alprazolam.
3) Terapi Somatik
Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan atau
akibat dari kecemasan yang bekerpanjangan. Untuk menghilangkan keluhan-
keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada
organ tubuh yang bersangkutan.
4) Psikoterapi
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain
a. Psikoterapi Suportif
b. Psikoterapi Re-Edukatif
c. Psikoterapi Re-Konstruktif
d. Psikoterapi Kognitif
e. Psikoterapi Psikodinamik
f. Psikoterapi Keluarga
5) Terapi Psikoreligius
Untuk meningkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stressor psikososial.
B. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
- Initial : Ansietas lebih rentan terjadi pada wanita daripada laki-laki,
karena wanita lebih mudah stress dibanding pria.
- Umur : Toddler-lansia
- Pekerjaan : Pekerajaan yang mempunyai tingkat stressor yang besar.
- Pendidikan : Orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah
lebih rentan mengalami ansietas
b. Alasan masuk
Sesuai diagnosa awal klien ketika pertama kali masuk rumah sakit.
c. Faktor predisposisi
- Dalam pandangan psikoanalitis, ansietas adalah konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen kepribadian : id dan superego.
- Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasan takut
terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Ansietas juga
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu.
- Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi
yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk
mencapai tujuan yang diinginkan
- Kajian keluarga menunjukan bahwa gangguan ansietas biasanya
terjadi dalam kelurga. Gangguan ansietas juga tumpang tindih antara
gangguan ansietas dengan depresi
d. Fisik
Tanda Vital:
- TD : Meningkat, palpitasi, berdebar-debar bahkan sampai pingsan.
- N : Menurun
- S : Normal (36˚C - 37,5˚C ), ada juga yang mengalami hipotermi
tergantung respon individu dalam menangania ansietasnya
- P : Pernafasan , nafas pendek, dada sesak, nafas dangkal, rasa
tercekik terengah- engah
- Ukur : TB dan BB: normal (tergantung pada klien)
- Keluhan Fisik : refleks, terkejut, mata berkedip-kedip, insomnia,
tremor, kaku, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum, gerakan
e. Psikososial
Konsep diri:
1. Gambaran diri : wajah tegang, mata berkedip-kedip, tremor, gelisah,
keringat berlebihan.
2. Identitas : gangguan ini menyerang wanita daripada pria serta terjadi
pada seseorang yang bekerja dengan sressor yang berat.
3. Peran : menarik diri dan menghindar dalam keluarga / kelompok /
masyarakat.
4. Ideal diri : berkurangnya toleransi terhadap stress, dan kecenderungan
ke arah lokus eksternal dari keyakinan kontrol.
5. Harga diri : klien merasa harga dirinya rendah akibat ketakutan yang
tidak rasional terhadap objek, aktivitas atau kejadian tertentu.
f. Hubungan sosial
- Orang yang berarti: keluarga
- Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat: kurang berperan
dalam kegiaran kelompok atau masyarakat serta menarik diri dan
menghindar dalam keluarga / kelompok / masyarakat.
- Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain: +
g. Spiritual
- Nilai dan keyakinan
- Kegiatan ibadah
h. Status mental
- Penampilan : pada orang yang mengalami ansietas berat dan panik
biasanya penampilannya tidak rapi.
- Pembicaraan : bicara cepat dan banyak, gagap dan kadang-kadang
keras.
- Aktivitas motorik : lesu, tegang, gelisah, agitasi, dan tremor.
- Alam perasaan : sedih, putus asa, ketakutan dan khawatir.
- Afek : labil
- Interaksi selama wawancara: tidak kooperatif, mudah tersingung dan
mudah curiga, kontak mata kurang.
- Persepsi : berhalusinasi, lapang persepsi sangat sempit dan tidak
mampu menyelesaikan masalah.
- Proses pikir : persevarsi
- Isi pikir : obsesi, phobia dan depersonalisasi
- Tingkat kesadaran : bingung dan tidak bisa berorietansi terhadap
waktu, tempat dan orang (ansietas berat)
- Memori : pada klien yang mengalami OCD (Obsessive Compulsif
Disorder) akan terjadi gangguan daya ingat saat ini bahkan sampai
gangguan daya ingat jangka pendek.
- Tingkat konsentrasi dan berhitung : tidak mampu berkonsentrasi
- Kemampuan penilaian : gangguan kemampuan penilaian ringan
- Daya titik diri : menyalahkan hal-hal diluar dirinya: menyalahkan
orang lain/ lingkungan yang menyebabkan kondisi saat ini.
j. Mekanisme koping
Adaptif (ansietas ringan) dan maladaptif (ansietas sedang, berat dan
panik). Menurut Stuart (2011). Individu menggunakan berbagai mekanisme
koping untuk mencoba mengatasinya, ketidakmampuan mengatasi ansietas
secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis.
Ansietas ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar, sedangkan
ansietas berat dan sedang menimbulkan 2 jenis mekanisme koping :
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan
berorientasi pada tindakan untuk memenuhi tuntunan situasi stres secara
realistis
b. Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan
sedang. Tetapi karena mekanisme tersebut berlangsung secara relative
pada tingkat tidak sadar dan mencakup penipuan diri dan distorsi realitas,
mekanisme ini dapat menjadi repon maladaptif terhadap stres.
k. Masalah psikososial
- Masalah dengan dukungan kelompok: klien kurang berperan dalam
kegiatan kelompok atau masyarakat serta menarik diri dan
menghindar dalam keluarga/ kelompok/ masyarakat.
- Masalah berhubungan dengan lingkungan: lingkungan dengan
tingkat stressor yang tinggi akan memicu timbulnya ansietas.
- Masalah dengan pendidikan: seseorang yang pernah gagal dalam
menempuh pendidikan, tidak ada biaya untuk melanjutkan jenjang
pendidikan berikutnya.
- Masalah dengan pekerjaan: mengalami PHK, target kerja tidak
tercapai.
- Masalah dengan perumahan: pasien kehilangan tempat tinggalnya
karena bencana alam, pengusuran dan kebakaran.
- Masalah ekonomi: pasien tidak mempunyai kemampuan finansial
dalam mencukupi kebutuhannya sehari-hari dan keluarganya.
- Masalah dengan pelayanan kesehatan: kurang percaya dengan
petugas kesehatan.
l. Pengetahuan
Pasien kurang mempunyai pengetahuan tentang faktor presipitasi, koping,
obat-obatan, dan masalah lain tentang ansietas.
m. Aspek medis
Diagnosa Medik:
1. Adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistic terhadap dua
atau lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman perasaan ini
menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang (inability
to relax)
2. Terdapat paling sedikit 6 dari 18 gejala-gejala berikut:
Ketegangan Motorik:
a) Kedutan otot atau rasa gemetar
b) Otot tegang/kaku/pegel linu
c) Tidak bisa diam
d) Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas Otonomik:
2. Daftar masalah
a. Ansietas
b. Harga diri rendah
c. Gangguan citra tubuh
d. Koping individu inefektif
e. Kurangnya pengetahuan
3. Pohon masalah
Stressor
4. Kemungkinan diagnosa
a. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan cemas
b. Gangguan alam perasaan: cemas berhubungan dengan koping individu
inefektif
5. Rencana keperawatan
Tujuan Intervensi
Tujuan umum : Cemas berkurang atau 1. Jadilah pendengar yang hangat dan
hilang responsif
Tujuan khusus: 2. Beri waktu yang cukup pada pasien
TUK 1 : Pasien dapat menjalin dan unuk berespon
membina hubungan saing percaya 3. Beri dukungan pada pasien untuk
mengekspresikan perasaannya
4. Identifikasi pola perilaku pasien atau
pendekatan yang dapat menimbulkan
perasaan negatif
5. Bersama pasien mengenali perilaku
dan respon sehingga cepat belajar dan
berkembang
TUK 2 : Pasien dapat mengenali 1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
ansietasnya dan menguraikan perasaannya
2. Hubungkan perilaku dan perasaannya
3. Validasi kesimpulan dan asumsi
terhadapa pasien
4. Gunakan pertanyaan terbuka untuk
mengalihkan dari topik yang
mengancam ke hal yang berkaitan
dengan konflik
5. Gunakan konsultasi untuk membantu
pasien mengungkapkan perasaannya
TUK 3 Pasien dapat memperluas 1. Bantu pasien menjelaskan situasi dan
kesadarannya terhadap perkembangan interaksi yag dapat segera menimbulkan
asietaas ansietas
2. Bersama pasien meninjau kembali
penilaian pasien terhadap stressor yang
drasakan mengacam dan menimbulkan
konflik
3. Kaitkan pengalaman yang baru
terjadi dengan pengalaman masa lalu
yang relevan
TUK 4 Pasien dapat menggunakan 1. Gali cara pasien mengurangi ansietas
mekanisme koping yang adaptif di masa lalu
2. Tunjukkan akibat mal adaptif dan
destruktif dari respon koping yang
digunakan
3. Dorong pasien utnuk menggunakan
respon koping adaptfi yang dimilikinya
4. Bantu pasien untuk menyusun
kembali tujuan hidup, memodifikasi
tujuan menggunakan sumber dan
koping yang baru
5. Latih pasien dengan menggunakan
ansietas sedang
6. Beri aktivitas fisik untuk
menyalurkan energinya
7. Libatkan pihak yang berkepentingan
sebagai suber dan dukungan sosial
dalam membantu pasien menggunakan
loping adaptif yang baru
TUK 5 Pasien dapat menggunakan 1. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk
teknik relaksasi meningkatkan kontrol dan rasa percaya
diri
2. Dorong pasien untuk menggunakan
relaksasi dalam menurunkan tingkat
ansietas
6. Implementasi
Implementasi merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan.
Fokus intervensi dalam mengatasi kecemasan anatara lain:
a. Cemas berkurang atau hilang
b. Pasien dapat mengenali ansietasnya
c. 3 Pasien dapat memperluas kesadarannya terhadap perkembangan asietaas
d. Pasien dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif
e. Pasien dapat menggunakan teknik relaksasi
7. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada pasien. Evaluasi ini harus dilakukan terus menerus pada
respons ansietas pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Daftar pustaka
Direja Surya, Herman Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika
Erna Cahyani.2016. Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Ansietas.
(Online. Available) From: https://www.scribd.com/document/320503011/LP-SP-
Ansietas , Diakses pada Kamis, 1 September 2016 pukul 16.00
Nanda Internasional.2012.Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta
Kususmawati, F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Nuriinaya Muhammad Toha. 2012. Laporan Pendahuluan Ansietas Jiwa.
(Online.available). From: https://www.scribd.com/doc/148768349/Lp-Ansietas-
Jiwa, Diakses pada Kamis, 1 September 2016 pukul 16.00
Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Sulastri, S.Kep. 2013. Keperawatan Kesehatan Jiwa